Kerjanya
Dickson Kho Komponen Elektronika
Pengertian Saklar Listrik dan Cara Kerjanya – Saklar atau lebih tepatnya adalah Saklar
listrik adalah suatu komponen atau perangkat yang digunakan untuk memutuskan atau
menghubungkan aliran listrik. Saklar yang dalam bahasa Inggris disebut dengan Switch ini
merupakan salah satu komponen atau alat listrik yang paling sering digunakan. Hampir
semua peralatan Elektronika dan Listrik memerlukan Saklar untuk menghidupkan atau
mematikan alat listrik yang digunakan.
Berdasarkan dua keadaan tersebut, Saklar pada umumnya menggunakan istilah Normally
Open (NO) untuk Saklar yang berada pada keadaan Terbuka (Open) pada kondisi awal.
Ketika ditekan, Saklar yang Normally Open (NO) tersebut akan berubah menjadi keadaan
Tertutup (Close) atau “ON”. Sedangkan Normally Close (NC) adalah saklar yang berada
pada keadaan Tertutup (Close) pada kondisi awal dan akan beralih ke keadaan Terbuka
(Open) ketika ditekan.
Pole adalah banyaknya Kontak yang dimiliki oleh sebuah saklar sedangkan Throw adalah
banyaknya kondisi yang dimiliki oleh sebuah Saklar.
Berikut ini adalah beberapa contoh jenis Saklar Listrik yang digolongkan berdasarkan Pole
dan Throw :
SPST : Single Pole Single Throw, yaitu Saklar ON/OFF yang paling sederhana
dengan hanya memiliki 2 Terminal. Contohnya Saklar Listrik ON/OFF pada lampu.
SPDT : Single Pole Double Throw, yaitu Saklar yang memiliki 3 Terminal. Saklar
jenis ini dapat digunakan sebagai Saklar Pemilih. Contohnya Saklar pemilih
Tegangan Input Adaptor yaitu 110V atau 220V.
DPST : Double Pole Single Throw, yaitu saklar yang memiliki 4 Terminal. DPST
dapat diartikan sebagai 2 Saklar SPST yang dikendalikan dalam satu mekanisme.
DPDT : Double Pole Double Throw, yaitu saklar yang memiliki 6 Terminal. DPDT
dapat diartikan sebagai 2 Saklar SPDT yang dikendalikan dalam satu mekanisme.
SP6T : Single Pole Six Throw, yaitu saklar yang memilki 7 Terminal yang pada
umumnya berfungsi sebagai Saklar pemilih. Jenis Saklar ini banyak ditemui dalam
Rangkaian Adaptor yang dapat memilih berbagai Tegangan Output, misalnya pilihan
output 1,5V, 3V, 4,5V, 6V, 9V dan 12V.
Berikut ini adalah Simbol Saklar berdasarkan jumlah Pole dan Throw-nya.
Selain jenis-jenis Pole dan Throw diatas, adanya juga 1P3T, 2P6T, TPST dan masih banyak
lagi tergantung keperluan dan penerapannya.
Dengan perkembangan teknologi, kini sebuah Multimeter atau Multitester tidak hanya dapat
mengukur Ampere, Voltage dan Ohm atau disingkat dengan AVO, tetapi dapat juga
mengukur Kapasitansi, Frekuensi dan Induksi dalam satu unit (terutama pada Multimeter
Digital). Beberapa kemampuan pengukuran Multimeter yang banyak terdapat di pasaran
antara lain :
1. Display
2. Saklar Selektor
3. Probe
Gambar dibawah ini adalah bentuk Multimeter Analog dan Multimeter Digital beserta
bagian-bagian pentingnya.
Pengertian dan Bunyi Hukum Coulomb – Ilmu Listrik dan Ilmu Elektronika merupakan
ilmu yang mempelajari tentang fenomena fisika yang berhubungan dengan aliran muatan
listrik. Yang dimaksud dengan Muatan listrik adalah muatan dasar yang dimiliki oleh suatu
benda, yang membuatnya mengalami gaya pada benda lain yang juga memiliki muatan listrik
dan berada pada jarak yang berdekatan. Satuan Muatan Listrik adalah Coulomb yang
biasanya dilambangkan dengan huruf C. Sedangkan Muatan Listrik sering disimbolkan
dengan Q dalam Rumus-rumus Elektronika.
Istilah Coulomb ini berasal dari penemunya yang bernama Charles Augustin de Coulomb,
yaitu seorang ahli fisika Perancis yang berhasil menemukan teori bahwa Muatan listrik pada
dasarnya terdiri dari dua jenis yaitu muatan positif (+) dan muatan negatif (-). Di antara dua
muatan ini akan terjadi interaksi tarik menarik pada muatan yang berbeda jenis sedangkan
akan terjadi interaksi tolak menolak pada muatan yang sama jenis. Teori tersebut kemudian
dikenal dengan Hukum Coulomb (Coulomb Law). Hukum Coulumb ini pertama kali
dipublikasikan oleh Charles Augustin de Coulumb pada tahun 1784.
“Gaya pada Muatan akan saling tarik-menarik apabila kedua muatan tidak sejenis,
dan akan saling tolak-menolak apabila kedua muatan sejenis”.
Jadi pada dasarnya, Hukum Coulomb adalah Hukum yang menjelaskan hubungan antara gaya
yang timbul antara dua titik muatan, yang terpisahkan pada jarak tertentu dengan nilai muatan
dan jarak pisah keduanya.
Hukum Coulomb dan Arus Listrik
Arus Listrik adalah Muatan Listrik yang mengalir dengan satuan pengukurannya adalah
Ampere (A). Besarnya arus listrik atau Kuat arus listrik adalah sebanding dengan dengan
banyaknya muatan listrik yang mengalir. Kuat Arus listrik merupakan kecepatan aliran
muatan listrik sehingga Kuat Arus Listrik dapat diartikan sebagai jumlah muatan listrik yang
melalui penampang suatu penghantar setiap satuan waktu.
Secara matematis, Hubungan Muatan Listrik, Kuat Arus Listrik dan Kecepatan aliran arus
listrik dapat ditulis menjadi rumus seperti berikut ini :
I=Q/t
Atau
Q=I.t
Dimana :
Dari Rumus atau Persamaan diatas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada dasarnya 1
Coulumb adalah sama dengan 1 Ampere Second (As).
1C = 1 As
Contoh Kasus :
Sebuah Baterai Rechargeable (Baterai isi ulang) diisi dengan arus listrik sebesar 0,5A selama
8 Jam, berapakah muatan listrik setelah waktu pengisian tersebut?
Penyelesaian :
I = 0,5A
t = 8 jam atau 28.800 detik
Q=?
Q=I.t
Q = 0,5 . 28.800
Q = 14.400 Coulomb
Pengertian Transformator (Trafo) dan Prinsip kerjanya – Hampir setiap rumah di Kota
maupun Desa dialiri listrik yang berarus 220V di Indonesia. Dengan adanya arus 220V ini,
kita dapat menikmati serunya drama Televisi, terangnya Cahaya Lampu Pijar maupun Lampu
Neon, mengisi ulang handphone dan juga menggunakan peralatan dapur lainnya seperti
Kulkas, Rice Cooker, Mesin Cuci dan Microwave Oven. Arus listrik 220V ini merupakan
jenis arus bolak-balik (AC atau Alternating Current) yang berasal dari Perusahaan Listrik
yaitu PLN. Tegangan listrik yang dihasilkan oleh PLN pada umumnya dapat mencapai
puluhan hingga ratusan kilo Volt dan kemudian diturunkan menjadi 220V seperti yang kita
gunakan sekarang dengan menggunakan sebuah alat yang dinamakan Transformator.
Transformator disebut juga dengan Transformer.
Sedangkan Inti besi pada Transformator atau Trafo pada umumnya adalah kumpulan
lempengan-lempengan besi tipis yang terisolasi dan ditempel berlapis-lapis dengan
kegunaanya untuk mempermudah jalannya Fluks Magnet yang ditimbulkan oleh arus listrik
kumparan serta untuk mengurangi suhu panas yang ditimbulkan.
Beberapa bentuk lempengan besi yang membentuk Inti Transformator tersebut diantaranya
seperti :
E – I Lamination
E – E Lamination
L – L Lamination
U – I Lamination
Dibawah ini adalah Fluks pada Transformator :
Rasio lilitan pada kumparan sekunder terhadap kumparan primer menentukan rasio tegangan
pada kedua kumparan tersebut. Sebagai contoh, 1 lilitan pada kumparan primer dan 10 lilitan
pada kumparan sekunder akan menghasilkan tegangan 10 kali lipat dari tegangan input pada
kumparan primer. Jenis Transformator ini biasanya disebut dengan Transformator Step Up.
Sebaliknya, jika terdapat 10 lilitan pada kumparan primer dan 1 lilitan pada kumparan
sekunder, maka tegangan yang dihasilkan oleh Kumparan Sekunder adalah 1/10 dari
tegangan input pada Kumparan Primer. Transformator jenis ini disebut dengan Transformator
Step Down.
Kemampuan Induktor atau Coil dalam menyimpan Energi Magnet disebut dengan Induktansi
yang satuan unitnya adalah Henry (H). Satuan Henry pada umumnya terlalu besar untuk
Komponen Induktor yang terdapat di Rangkaian Elektronika. Oleh Karena itu, Satuan-satuan
yang merupakan turunan dari Henry digunakan untuk menyatakan kemampuan induktansi
sebuah Induktor atau Coil. Satuan-satuan turunan dari Henry tersebut diantaranya adalah
milihenry (mH) dan microhenry (µH). Simbol yang digunakan untuk melambangkan
Induktor dalam Rangkaian Elektronika adalah huruf “L”.
Simbol Induktor
Berikut ini adalah Simbol-simbol Induktor :
Nilai Induktansi sebuah Induktor (Coil) tergantung pada 4 faktor, diantaranya adalah :
Induktor sering disebut juga dengan Coil (Koil), Choke ataupun Reaktor.
Rangkaian Seri dan Paralel Induktor serta Cara Menghitungnya – Seperti halnya
Komponen Pasif lainnya (Kapasitor dan Resistor), Induktor atau Coil juga dapat dirangkai
secara seri dan paralel untuk mendapatkan nilai Induktansi yang diinginkan. Induktor adalah
komponen pasif elektronika yang terdiri lilitan kawat dan mampu menyimpan energi pada
medan magnet yang ditimbulkan oleh arus listrik yang melewatinya. Kemampuan
penyimpanan energi pada medan magnet ini disebut dengan Induktansi dengan satuan
unitnya Henry yang dilambangkan dengan huruf “H”.
Perlu diketahui bahwa tidak semua nilai Induktansi diproduksi secara massal oleh produsen.
Oleh karena itu, untuk mendapatkan nilai induktansi yang diinginkan kita dapat merangkai
dua atau lebih induktor secara seri maupun paralel.
Dimana :
Ltotal = Total Nilai Induktor
L1 = Induktor ke-1
L2 = Induktor ke-2
L3 = Induktor ke-3
Ln = Induktor ke-n
Berdasarkan gambar contoh rangkaian Seri Induktor diatas, diketahui bahwa nilai Induktor :
L1 = 100nH
L2 = 470nH
L3 = 30nH
Ltotal= ?
Penyelesaiannya
Dimana :
Ltotal = Total Nilai Induktor
L1 = Induktor ke-1
L2 = Induktor ke-2
L3 = Induktor ke-3
Ln = Induktor ke-n
Berdasarkan gambar contoh rangkaian Paralel Induktor diatas, diketahui bahwa nilai Induktor
:
L1 = 100nH
L2 = 300nH
L3 = 30nH
Ltotal= ?
Penyelesaiannya
Pengertian Relay dan Fungsinya – Relay adalah Saklar (Switch) yang dioperasikan secara
listrik dan merupakan komponen Electromechanical (Elektromekanikal) yang terdiri dari 2
bagian utama yakni Elektromagnet (Coil) dan Mekanikal (seperangkat Kontak
Saklar/Switch). Relay menggunakan Prinsip Elektromagnetik untuk menggerakkan Kontak
Saklar sehingga dengan arus listrik yang kecil (low power) dapat menghantarkan listrik yang
bertegangan lebih tinggi. Sebagai contoh, dengan Relay yang menggunakan Elektromagnet
5V dan 50 mA mampu menggerakan Armature Relay (yang berfungsi sebagai saklarnya)
untuk menghantarkan listrik 220V 2A.
Gambar Bentuk dan Simbol Relay
Dibawah ini adalah gambar bentuk Relay dan Simbol Relay yang sering ditemukan di
Rangkaian Elektronika.
1. Electromagnet (Coil)
2. Armature
3. Switch Contact Point (Saklar)
4. Spring
Berikut ini merupakan gambar dari bagian-bagian Relay :
Normally Close (NC) yaitu kondisi awal sebelum diaktifkan akan selalu berada di
posisi CLOSE (tertutup)
Normally Open (NO) yaitu kondisi awal sebelum diaktifkan akan selalu berada di
posisi OPEN (terbuka)
Berdasarkan gambar diatas, sebuah Besi (Iron Core) yang dililit oleh sebuah kumparan Coil
yang berfungsi untuk mengendalikan Besi tersebut. Apabila Kumparan Coil diberikan arus
listrik, maka akan timbul gaya Elektromagnet yang kemudian menarik Armature untuk
berpindah dari Posisi sebelumnya (NC) ke posisi baru (NO) sehingga menjadi Saklar yang
dapat menghantarkan arus listrik di posisi barunya (NO). Posisi dimana Armature tersebut
berada sebelumnya (NC) akan menjadi OPEN atau tidak terhubung. Pada saat tidak dialiri
arus listrik, Armature akan kembali lagi ke posisi Awal (NC). Coil yang digunakan oleh
Relay untuk menarik Contact Poin ke Posisi Close pada umumnya hanya membutuhkan arus
listrik yang relatif kecil.
Single Pole Single Throw (SPST) : Relay golongan ini memiliki 4 Terminal, 2
Terminal untuk Saklar dan 2 Terminalnya lagi untuk Coil.
Single Pole Double Throw (SPDT) : Relay golongan ini memiliki 5 Terminal, 3
Terminal untuk Saklar dan 2 Terminalnya lagi untuk Coil.
Double Pole Single Throw (DPST) : Relay golongan ini memiliki 6 Terminal,
diantaranya 4 Terminal yang terdiri dari 2 Pasang Terminal Saklar sedangkan 2
Terminal lainnya untuk Coil. Relay DPST dapat dijadikan 2 Saklar yang dikendalikan
oleh 1 Coil.
Double Pole Double Throw (DPDT) : Relay golongan ini memiliki Terminal
sebanyak 8 Terminal, diantaranya 6 Terminal yang merupakan 2 pasang Relay SPDT
yang dikendalikan oleh 1 (single) Coil. Sedangkan 2 Terminal lainnya untuk Coil.
Selain Golongan Relay diatas, terdapat juga Relay-relay yang Pole dan Throw-nya melebihi
dari 2 (dua). Misalnya 3PDT (Triple Pole Double Throw) ataupun 4PDT (Four Pole Double
Throw) dan lain sebagainya.
Untuk lebih jelas mengenai Penggolongan Relay berdasarkan Jumlah Pole dan Throw,
silakan lihat gambar dibawah ini :
Fungsi-fungsi dan Aplikasi Relay
Beberapa fungsi Relay yang telah umum diaplikasikan kedalam peralatan Elektronika
diantaranya adalah :
Cara Mengukur Relay dengan Menggunakan Multimeter – Pada artikel sebelumnya telah
menjelaskan Prinsip kerja Relay beserta fungsi-fungsinya. Pada artikel ini kita akan
membahas tentang cara untuk mengukur atau menguji Relay dengan menggunakan
Multimeter. Pada dasarnya, Relay merupakan Komponen Elektromechanical yang terdiri dari
sebuah Coil (Lilitan), seperangkat Kontak yang membentuk Saklar (Switch) dan juga Kaki-
kaki Terminal penghubung. Dengan kata lain, Relay adalah saklar yang dioperasikan secara
Elektronik. Baca juga : Pengertian Relay dan Fungsinya.
Terdapat 2 kondisi Kontak pada Relay yaitu Kondisi NO (Normally Open) dan NC
(Normally Close). Kontak yang selalu berada pada posisi OPEN (Terbuka) saat Relay tidak
diaktifkan disebut dengan NO (Normally Open). Sedangkan Kontak yang selalu berada pada
posisi CLOSE (Tertutup) saat Relay tidak diaktifkan disebut dengan NC (Normally Close).
Berikut ini adalah cara untuk Mengukur Relay dengan menggunakan Multimeter Digital :
Pengertian Piezoelectric Buzzer dan Cara Kerjanya – Buzzer Listrik adalah sebuah
komponen elektronika yang dapat mengubah sinyal listrik menjadi getaran suara. Pada
umumnya, Buzzer yang merupakan sebuah perangkat audio ini sering digunakan pada
rangkaian anti-maling, Alarm pada Jam Tangan, Bel Rumah, peringatan mundur pada Truk
dan perangkat peringatan bahaya lainnya. Jenis Buzzer yang sering ditemukan dan digunakan
adalah Buzzer yang berjenis Piezoelectric, hal ini dikarenakan Buzzer Piezoelectric memiliki
berbagai kelebihan seperti lebih murah, relatif lebih ringan dan lebih mudah dalam
menggabungkannya ke Rangkaian Elektronika lainnya. Buzzer yang termasuk dalam
keluarga Transduser ini juga sering disebut dengan Beeper.
Efek Piezoelectric (Piezoelectric Effect) pertama kali ditemukan oleh dua orang fisikawan
Perancis yang bernama Pierre Curie dan Jacques Curie pada tahun 1880. Penemuan tersebut
kemudian dikembangkan oleh sebuah perusahaan Jepang menjadi Piezo Electric Buzzer dan
mulai populer digunakan sejak 1970-an.
Berikut ini adalah gambar bentuk dan struktur dasar dari sebuah Piezoelectric Buzzer.
Jika dibandingkan dengan Speaker, Piezo Buzzer relatif lebih mudah untuk digerakan.
Sebagai contoh, Piezo Buzzer dapat digerakan hanya dengan menggunakan output langsung
dari sebuah IC TTL, hal ini sangat berbeda dengan Speaker yang harus menggunakan
penguat khusus untuk menggerakan Speaker agar mendapatkan intensitas suara yang dapat
didengar oleh manusia.
Piezo Buzzer dapat bekerja dengan baik dalam menghasilkan frekuensi di kisaran 1 – 5 kHz
hingga 100 kHz untuk aplikasi Ultrasound. Tegangan Operasional Piezoelectric Buzzer yang
umum biasanya berkisar diantara 3Volt hingga 12 Volt.
Cara Mengukur Thermistor PTC dan NTC
dengan Multimeter
Dickson Kho Pengujian Komponen
Cara Mengukur Thermistor PTC dan NTC dengan Multimeter – Thermistor (NTC/PTC)
merupakan jenis resistor yang nilai resistansinya dapat dipengaruhi oleh suhu atau temperatur
di sekitarnya. Untuk menguji atau mengukur apakah sebuah Thermistor NTC maupun PTC
dapat berfungsi dengan baik atau tidak, kita dapat menggunakan Multimeter Digital ataupun
Multimeter Analog dengan bantuan alat pemanas seperti solder listrik (soldering iron),
Pengering rambut (Hair dryer) atau jenis-jenis pemanas (Heater) lainnya. Selain dapat
mengukur atau menguji Thermistor, kita juga dapat membedakan jenis Thermistor yang yang
kita ukur/uji tersebut apakah merupakan jenis Thermistor PTC (Positive Temperature
Coefficient) atau jenis Thermistor NTC (Negative Temperature Coefficient).
Berikut ini adalah cara untuk mengukur Thermistor NTC dan PTC dengan menggunakan
Multimeter :
Thermistor dinyatakan Rusak atau tidak dapat berfungsi sebagai mestinya apabila saat
pengukurannya terjadi kondisi seperti dibawah ini :
Nilai pada Multimeter selalu berada di posisi “0” saat diukur, hal ini artinya
Thermistor tersebut “Short” atau terjadi “hubungan singkat”. Nilai pada Multimeter
selalu berada di posisi “Tak terhingga / infinity” saat diukur, hal ini artinya
Thermistor tersebut “Open” atau “Putus”.
Nilai pada Multimeter tidak stabil atau menunjukan pada nilai tertentu tetapi tidak
turun ataupun naik maka Thermistor tersebut juga dalam kondisi Rusak.
Jika kita ingin mengetahui apakah jenis Thermistor yang diukur tersebut adalah jenis
Thermistor PTC atau NTC, maka kita dapat mengetahuinya dengan cara membaca nilai
resistansi Thermistor yang bersangkutan pada saat diukur. Jika nilai resistansinya naik pada
suhu panas, maka Thermistor yang diukur tersebut adalah Thermistor jenis PTC. Sedangkan
jika nilai resitansinya menurun ketika suhu disekitarnya tinggi (panas) maka jenis Thermistor
tersebut adalah NTC.
Untuk lebih tepat dan jelas mengetahui karakteristik dari Thermistor kita dapat membaca data
sheet yang disediakan oleh Produsennya dengan men-download data sheet tersebut dari situs
produsennya. Baca juga : Pengertian Thermistor (PTC/NTC) dan Karakteristiknya.
Jenis-jenis Komponen Elektronika beserta
Fungsi dan Simbolnya
Dickson Kho Komponen Elektronika
A. Resistor
Resistor atau disebut juga dengan Hambatan adalah Komponen Elektronika Pasif yang
berfungsi untuk menghambat dan mengatur arus listrik dalam suatu rangkaian Elektronika.
Satuan Nilai Resistor atau Hambatan adalah Ohm (Ω). Nilai Resistor biasanya diwakili
dengan Kode angka ataupun Gelang Warna yang terdapat di badan Resistor. Hambatan
Resistor sering disebut juga dengan Resistansi atau Resistance.
B. Kapasitor (Capacitor)
Kapasitor atau disebut juga dengan Kondensator adalah Komponen Elektronika Pasif yang
dapat menyimpan energi atau muatan listrik dalam sementara waktu. Fungsi-fungsi Kapasitor
(Kondensator) diantaranya adalah dapat memilih gelombang radio pada rangkaian Tuner,
sebagai perata arus pada rectifier dan juga sebagai Filter di dalam Rangkaian Power Supply
(Catu Daya). Satuan nilai untuk Kapasitor (Kondensator) adalah Farad (F)
Jenis-jenis Kapasitor diantaranya adalah :
1. Kapasitor yang nilainya Tetap dan tidak ber-polaritas. Jika didasarkan pada bahan
pembuatannya maka Kapasitor yang nilainya tetap terdiri dari Kapasitor Kertas,
Kapasitor Mika, Kapasitor Polyster dan Kapasitor Keramik.
2. Kapasitor yang nilainya Tetap tetapi memiliki Polaritas Positif dan Negatif, Kapasitor
tersebut adalah Kapasitor Elektrolit atau Electrolyte Condensator (ELCO) dan
Kapasitor Tantalum
3. Kapasitor yang nilainya dapat diatur, Kapasitor jenis ini sering disebut dengan
Variable Capasitor.
C. Induktor (Inductor)
Induktor atau disebut juga dengan Coil (Kumparan) adalah Komponen Elektronika Pasif
yang berfungsi sebagai Pengatur Frekuensi, Filter dan juga sebagai alat kopel (Penyambung).
Induktor atau Coil banyak ditemukan pada Peralatan atau Rangkaian Elektronika yang
berkaitan dengan Frekuensi seperti Tuner untuk pesawat Radio. Satuan Induktansi untuk
Induktor adalah Henry (H).
Jenis-jenis Induktor diantaranya adalah :
Diode adalah Komponen Elektronika Aktif yang berfungsi untuk menghantarkan arus listrik
ke satu arah dan menghambat arus listrik dari arah sebaliknya. Diode terdiri dari 2 Elektroda
yaitu Anoda dan Katoda.
Berdasarkan Fungsi Dioda terdiri dari :
1. Dioda Biasa atau Dioda Penyearah yang umumnya terbuat dari Silikon dan berfungsi
sebagai penyearah arus bolak balik (AC) ke arus searah (DC).
2. Dioda Zener (Zener Diode) yang berfungsi sebagai pengamanan rangkaian setelah
tegangan yang ditentukan oleh Dioda Zener yang bersangkutan. Tegangan tersebut
sering disebut dengan Tegangan Zener.
3. LED (Light Emitting Diode) atau Diode Emisi Cahaya yaitu Dioda yang dapat
memancarkan cahaya monokromatik.
4. Dioda Foto (Photo Diode) yaitu Dioda yang peka dengan cahaya sehingga sering
digunakan sebagai Sensor.
5. Dioda Schottky (SCR atau Silicon Control Rectifier) adalah Dioda yang berfungsi
sebagai pengendali .
6. Dioda Laser (Laser Diode) yaitu Dioda yang dapat memancar cahaya Laser. Dioda
Laser sering disingkat dengan LD.
Transistor merupakan Komponen Elektronika Aktif yang memiliki banyak fungsi dan
merupakan Komponen yang memegang peranan yang sangat penting dalam dunia Elektronik
modern ini. Beberapa fungsi Transistor diantaranya adalah sebagai Penguat arus, sebagai
Switch (Pemutus dan penghubung), Stabilitasi Tegangan, Modulasi Sinyal, Penyearah dan
lain sebagainya. Transistor terdiri dari 3 Terminal (kaki) yaitu Base/Basis (B), Emitor (E) dan
Collector/Kolektor (K). Berdasarkan strukturnya, Transistor terdiri dari 2 Tipe Struktur yaitu
PNP dan NPN. UJT (Uni Junction Transistor), FET (Field Effect Transistor) dan MOSFET
(Metal Oxide Semiconductor FET) juga merupakan keluarga dari Transistor.
IC (Integrated Circuit) adalah Komponen Elektronika Aktif yang terdiri dari gabungan
ratusan bahkan jutaan Transistor, Resistor dan komponen lainnya yang diintegrasi menjadi
sebuah Rangkaian Elektronika dalam sebuah kemasan kecil. Bentuk IC (Integrated Circuit)
juga bermacam-macam, mulai dari yang berkaki 3 (tiga) hingga ratusan kaki (terminal).
Fungsi IC juga beraneka ragam, mulai dari penguat, Switching, pengontrol hingga media
penyimpanan. Pada umumnya, IC adalah Komponen Elektronika dipergunakan sebagai Otak
dalam sebuah Peralatan Elektronika. IC merupakan komponen Semi konduktor yang sangat
sensitif terhadap ESD (Electro Static Discharge).
Sebagai Contoh, IC yang berfungsi sebagai Otak pada sebuah Komputer yang disebut sebagai
Microprocessor terdiri dari 16 juta Transistor dan jumlah tersebut belum lagi termasuk
komponen-komponen Elektronika lainnya.
G. Saklar (Switch)
Saklar adalah Komponen yang digunakan untuk menghubungkan dan memutuskan aliran
listrik. Dalam Rangkaian Elektronika, Saklar sering digunakan sebagai ON/OFF dalam
peralatan Elektronika.
Gambar dan Simbol Saklar (Switch) :
Pengertian Resistor dan Jenis-jenisnya – Resistor merupakan salah satu komponen yang
paling sering ditemukan dalam Rangkaian Elektronika. Hampir setiap peralatan Elektronika
menggunakannya. Pada dasarnya Resistor adalah komponen Elektronika Pasif yang memiliki
nilai resistansi atau hambatan tertentu yang berfungsi untuk membatasi dan mengatur arus
listrik dalam suatu rangkaian Elektronika. Resistor atau dalam bahasa Indonesia sering
disebut dengan Hambatan atau Tahanan dan biasanya disingkat dengan Huruf “R”. Satuan
Hambatan atau Resistansi Resistor adalah OHM (Ω). Sebutan “OHM” ini diambil dari nama
penemunya yaitu Georg Simon Ohm yang juga merupakan seorang Fisikawan Jerman.
Untuk membatasi dan mengatur arus listrik dalam suatu rangkaian Elektronika, Resistor
bekerja berdasarkan Hukum Ohm. Untuk lebih jelas mengenai Hukum Ohm, silakan baca :
Pengertian, rumus dan bunyi Hukum Ohm.
Jenis-jenis Resistor
Pada umumnya Resistor dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, diantaranya adalah
Fixed Resistor, Variable Resistor, Thermistor dan LDR.
A. Fixed Resistor
Fixed Resistor adalah jenis Resistor yang memiliki nilai resistansinya tetap. Nilai Resistansi
atau Hambatan Resistor ini biasanya ditandai dengan kode warna ataupun kode Angka. Anda
dapat membaca artikel : Cara Menghitung Nilai Resistor berdasarkan Kode Angka dan Kode
Warna.
Yang tergolong dalam Kategori Fixed Resistor berdasarkan Komposisi bahan pembuatnya
diantaranya adalah :
Resistor jenis Carbon Composistion ini terbuat dari komposisi karbon halus yang dicampur
dengan bahan isolasi bubuk sebagai pengikatnya (binder) agar mendapatkan nilai resistansi
yang diinginkan. Semakin banyak bahan karbonnya semakin rendah pula nilai resistansi atau
nilai hambatannya.
Nilai Resistansi yang sering ditemukan di pasaran untuk Resistor jenis Carbon Composistion
Resistor ini biasanya berkisar dari 1Ω sampai 200MΩ dengan daya 1/10W sampai 2W.
Resistor Jenis Carbon Film ini terdiri dari filem tipis karbon yang diendapkan Subtrat isolator
yang dipotong berbentuk spiral. Nilai resistansinya tergantung pada proporsi karbon dan
isolator. Semakin banyak bahan karbonnya semakin rendah pula nilai resistansinya.
Keuntungan Carbon Film Resistor ini adalah dapat menghasilkan resistor dengan toleransi
yang lebih rendah dan juga rendahnya kepekaan terhadap suhu jika dibandingkan dnegan
Carbon Composition Resistor.
Nilai Resistansi Carbon Film Resistor yang tersedia di pasaran biasanya berkisar diantara 1Ω
sampai 10MΩ dengan daya 1/6W hingga 5W. Karena rendahnya kepekaan terhadap suhu,
Carbon Film Resistor dapat bekerja di suhu yang berkisar dari -55°C hingga 155°C.
Metal Film Resistor adalah jenis Resistor yang dilapisi dengan Film logam yang tipis ke
Subtrat Keramik dan dipotong berbentuk spiral. Nilai Resistansinya dipengaruhi oleh
panjang, lebar dan ketebalan spiral logam.
Secara keseluruhan, Resistor jenis Metal Film ini merupakan yang terbaik diantara jenis-jenis
Resistor yang ada (Carbon Composition Resistor dan Carbon Film Resistor).
B. Variable Resistor
Variable Resistor adalah jenis Resistor yang nilai resistansinya dapat berubah dan diatur
sesuai dengan keinginan. Pada umumnya Variable Resistor terbagi menjadi Potensiometer,
Rheostat dan Trimpot.
Resistor :
Potensiometer
Potensiometer merupakan jenis Variable Resistor yang nilai resistansinya dapat berubah-ubah
dengan cara memutar porosnya melalui sebuah Tuas yang terdapat pada Potensiometer. Nilai
Resistansi Potensiometer biasanya tertulis di badan Potensiometer dalam bentuk kode angka.
Rheostat
Rheostat merupakan jenis Variable Resistor yang dapat beroperasi pada Tegangan dan Arus
yang tinggi. Rheostat terbuat dari lilitan kawat resistif dan pengaturan Nilai Resistansi
dilakukan dengan penyapu yang bergerak pada bagian atas Toroid.
Preset Resistor atau sering juga disebut dengan Trimpot (Trimmer Potensiometer) adalah
jenis Variable Resistor yang berfungsi seperti Potensiometer tetapi memiliki ukuran yang
lebih kecil dan tidak memiliki Tuas. Untuk mengatur nilai resistansinya, dibutuhkan alat
bantu seperti Obeng kecil untuk dapat memutar porosnya.
Thermistor adalah Jenis Resistor yang nilai resistansinya dapat dipengaruhi oleh suhu
(Temperature). Thermistor merupakan Singkatan dari “Thermal Resistor”. Terdapat dua jenis
Thermistor yaitu Thermistor NTC (Negative Temperature Coefficient) dan Thermistor PTC
(Positive Temperature Coefficient).
“Besar arus listrik (I) yang mengalir melalui sebuah penghantar atau Konduktor akan
berbanding lurus dengan beda potensial / tegangan (V) yang diterapkan kepadanya dan
berbanding terbalik dengan hambatannya (R)”.
Secara Matematis, Hukum Ohm dapat dirumuskan menjadi persamaan seperti dibawah ini :
V=IxR
I=V/R
R=V/I
Dimana :
V = Voltage (Beda Potensial atau Tegangan yang satuan unitnya adalah Volt (V))
I = Current (Arus Listrik yang satuan unitnya adalah Ampere (A))
R = Resistance (Hambatan atau Resistansi yang satuan unitnya adalah Ohm (Ω))
Dalam aplikasinya, Kita dapat menggunakan Teori Hukum Ohm dalam Rangkaian
Elektronika untuk memperkecilkan Arus listrik, Memperkecil Tegangan dan juga dapat
memperoleh Nilai Hambatan (Resistansi) yang kita inginkan.
Hal yang perlu diingat dalam perhitungan rumus Hukum Ohm, satuan unit yang dipakai
adalah Volt, Ampere dan Ohm. Jika kita menggunakan unit lainnya seperti milivolt, kilovolt,
miliampere, megaohm ataupun kiloohm, maka kita perlu melakukan konversi ke unit Volt,
Ampere dan Ohm terlebih dahulu untuk mempermudahkan perhitungan dan juga untuk
mendapatkan hasil yang benar.
Dari Rangkaian Elektronika yang sederhana diatas kita dapat membandingkan Teori Hukum
Ohm dengan hasil yang didapatkan dari Praktikum dalam hal menghitung Arus Listrik (I),
Tegangan (V) dan Resistansi/Hambatan (R).
Rumus yang dapat kita gunakan untuk menghitung Arus Listrik adalah I = V / R
Contoh Kasus 1 :
Setting DC Generator atau Power Supply untuk menghasilkan Output Tegangan 10V,
kemudian atur Nilai Potensiometer ke 10 Ohm. Berapakah nilai Arus Listrik (I) ?
Masukan nilai Tegangan yaitu 10V dan Nilai Resistansi dari Potensiometer yaitu 10 Ohm ke
dalam Rumus Hukum Ohm seperti dibawah ini :
I=V/R
I = 10 / 10
I = 1 Ampere
Maka hasilnya adalah 1 Ampere.
Contoh Kasus 2 :
Setting DC Generator atau Power Supply untuk menghasilkan Output Tegangan 10V,
kemudian atur nilai Potensiometer ke 1 kiloOhm. Berapakah nilai Arus Listrik (I)?
Konversi dulu nilai resistansi 1 kiloOhm ke satuan unit Ohm. 1 kiloOhm = 1000 Ohm.
Masukan nilai Tegangan 10V dan nilai Resistansi dari Potensiometer 1000 Ohm ke dalam
Rumus Hukum Ohm seperti dibawah ini :
I=V/R
I = 10 / 1000
I = 0.01 Ampere atau 10 miliAmpere
Maka hasilnya adalah 10mA
Rumus yang akan kita gunakan untuk menghitung Tegangan atau Beda Potensial adalah V =
I x R.
Contoh Kasus :
Atur nilai resistansi atau hambatan (R) Potensiometer ke 500 Ohm, kemudian atur DC
Generator (Power supply) hingga mendapatkan Arus Listrik (I) 10mA. Berapakah
Tegangannya (V) ?
Konversikan dulu unit Arus Listrik (I) yang masih satu miliAmpere menjadi satuan unit
Ampere yaitu : 10mA = 0.01 Ampere. Masukan nilai Resistansi Potensiometer 500 Ohm dan
nilai Arus Listrik 0.01 Ampere ke Rumus Hukum Ohm seperti dibawah ini :
V=IxR
V = 0.01 x 500
V = 5 Volt
Maka nilainya adalah 5Volt.
Rumus yang akan kita gunakan untuk menghitung Nilai Resistansi adalah R = V / I
Contoh Kasus :
Jika di nilai Tegangan di Voltmeter (V) adalah 12V dan nilai Arus Listrik (I) di Amperemeter
adalah 0.5A. Berapakah nilai Resistansi pada Potensiometer ?
Masukan nilai Tegangan 12V dan Arus Listrik 0.5A kedalam Rumus Ohm seperti dibawah
ini :
R=V/I
R = 12 /0.5
R = 24 Ohm
Maka nilai Resistansinya adalah 24 Ohm
“Arus Total yang masuk melalui suatu titik percabangan dalam suatu rangkaian listrik sama
dengan arus total yang keluar dari titik percabangan tersebut.”
Untuk lebih jelas mengenai Bunyi Hukum Kicrhhoff 1, silakan lihat rumus dan rangkaian
I1 + I 2 + I 3 = I 4 + I 5 + I 6
Contoh Soal Hukum Kirchhoff 1
I1 = 5A
I2 = 1A
I3 = 2A
Penyelesaian :
Dari gambar rangkaian yang diberikan diatas, belum diketahui apakah arus I4 adalah arus
masuk atau keluar. Oleh karena itu, kita perlu membuat asumsi awal, misalnya kita
mengasumsikan arus pada I4 adalah arus keluar.
I2 + I3 = 1 + 2 = 3A
Karena nilai yang didapatkan adalah nilai negatif, ini berbeda dengan asumsi kita
sebelumnya, berarti arus I4 yang sebenarnya adalah arus masuk.
“Total Tegangan (beda potensial) pada suatu rangkaian tertutup adalah nol”
Untuk lebih jelas mengenai Bunyi Hukum Kirchhoff 2 ,
silakan lihat rumus dan rangkaian sederhana dibawah ini :
Perhatikan rangkaian diatas, nilai-nilai Resistor yang terdapat di rangkaian adalah sebagai
berikut :
R1 = 10Ω
R2 = 20Ω
R3 = 40Ω
V1 = 10V
V2 = 20V
Penyelesaian :
Di dalam rangkaian tersebut, terdapat 3 percabangan, 2 titik, dan 2 loop bebas (independent).
Gunakan Hukum Kirchhoff I (Hukum Arus Kirchhoff) untuk persamaan pada titik A dan titik
B
Titik A : I1 + I2 = I3
Titik B : I3 = I1 + I2
Gunakan Hukum Kirchhoff II (Hukum Tegangan Kirchhoff) untuk Loop 1, Loop 2 dan Loop
3.
Seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa I3 adalah hasil dari penjumlahan I1 dan I2, maka
persamaannya dapat kita buat seperti dibawah ini :
Jadi saat ini kita memiliki 2 persamaan, dari persamaan tersebut kita mendapatkan nilai I1 dan
I2 sebagai berikut :
I1 = -0.143 Ampere
I2 = +0.429 Ampere
Tanda Negatif (-) pada arus I1 menandakan arah alir arus listrik yang diasumsikan dalam
rangkaian diatas adalah salah. Jadi arah alir arus listrik seharusnya menuju ke V1, sehingga
V2 (20V) melakukan pengisian arus (charging) terhadap V1.
Nilai Resistor yang diproduksi oleh Produsen Resistor (Perusahaan Produksi Resistor) sangat
terbatas dan mengikuti Standard Value Resistor (Nilai Standar Resistor). Jadi di pasaran kita
hanya menemui sekitar 168 jenis nilai resistor. Berikut ini adalah tabel Standard Value
Resitor (Nilai Standar Resitor) yang terdapat di pasaran.
Rtotal = R1 + R2 + R3 + ….. + Rn
Dimana :
Rtotal = Total Nilai Resistor
R1 = Resistor ke-1
R2 = Resistor ke-2
R3 = Resistor ke-3
Rn = Resistor ke-n
Seorang Engineer ingin membuat sebuah peralatan Elektronik, Salah satu nilai resistor yang
diperlukannya adalah 4 Mega Ohm, tetapi Engineer tidak dapat menemukan Resistor dengan
nilai 4 Mega Ohm di pasaran sehingga dia harus menggunakan rangkaian seri Resistor untuk
mendapatkan penggantinya.
Penyelesaian :
Ada beberapa kombinasi Nilai Resistor yang dapat dipergunakannya, antara lain :
Atau
Dimana :
Rtotal = Total Nilai Resistor
R1 = Resistor ke-1
R2 = Resistor ke-2
R3 = Resistor ke-3
Rn = Resistor ke-n
Berapakah nilai hambatan yang didapatkan jika memakai Rangkaian Paralel Resistor?
Penyelesaiannya :
1/Rtotal = 1/R1 + 1/R2 + 1/R3
1/Rtotal = 1/100 + 1/200 + 1/47
1/Rtotal = 94/9400 + 47/9400 + 200/9400
1/Rtotal = 341 x Rtotal = 1 x 9400 (→ Hasil kali silang)
Rtotal = 9400/341
Rtotal = 27,56
Jadi Nilai Hambatan Resistor pengganti untuk ketiga Resistor tersebut adalah 27,56 Ohm.
Hal yang perlu diingat bahwa Nilai Hambatan Resistor (Ohm) akan bertambah jika
menggunakan Rangkaian Seri Resistor sedangkan Nilai Hambatan Resistor (Ohm) akan
berkurang jika menggunakan Rangkaian Paralel Resistor.
Pada Kondisi tertentu, kita juga dapat menggunakan Rangkaian Gabungan antara Rangkaian
Seri dan Rangkaian Paralel Resistor.
Untuk mengetahui cara membaca kode warna dan kode angka Resistor, silakan membaca
artikel “Cara menghitung Nilai Resistor“
Pengetahuan Pembagi Tegangan atau Voltage Divider ini sangat penting dan merupakan
rangkaian dasar yang harus dimengerti oleh setiap Engineer ataupun para penghobi
Elektronika.
Terdapat dua bagian penting dalam merancang Pembagi Tegangan yaitu Rangkaian dan
Persamaan Pembagi Tegangan.
Berikut ini adalah beberapa contoh kasus perhitungan pada Rangkaian Pembagi Tegangan
sehingga kita mendapat tegangan yang diinginkan saat merancang sebuah rangkaian
elektronika.
Contoh Kasus 1
Sebagai contoh, kita memberikan tegangan input sebesar 9V pada rangkaian pembagi
tegangan tersebut dengan nilai R1 adalah 1000 Ohm dan R2 adalah 220 Ohm berapakah
Tegangan Output pada R1 yang kita dapatkan ?
Diketahui :
Vin = 9V
R1 = 1000 Ohm
R2 = 220 Ohm
Vout = ?
Penyelesaian :
Contoh Kasus 2
Pada saat kita merancang suatu rangkaian Elektronika, kita ingin mendapat tegangan 2,5V
dari tegangan Input 9V dengan menggunakan rangkaian dasar Pembagi Tegangan. Berapakah
nilai R1 dan R2 yang kita perlukan untuk mendapatkan tegangan yang kita inginkan?
Potensiometer (POT) adalah salah satu jenis Resistor yang Nilai Resistansinya dapat diatur
sesuai dengan kebutuhan Rangkaian Elektronika ataupun kebutuhan pemakainya.
Potensiometer merupakan Keluarga Resistor yang tergolong dalam Kategori Variable
Resistor. Secara struktur, Potensiometer terdiri dari 3 kaki Terminal dengan sebuah shaft atau
tuas yang berfungsi sebagai pengaturnya. Gambar dibawah ini menunjukan Struktur Internal
Potensiometer beserta bentuk dan Simbolnya.
Jenis-jenis Potensiometer
Berdasarkan bentuknya, Potensiometer dapat dibagi menjadi 3 macam, yaitu :
Elemen Resistif pada Potensiometer umumnya terbuat dari bahan campuran Metal (logam)
dan Keramik ataupun Bahan Karbon (Carbon).
Fungsi-fungsi Potensiometer
Dengan kemampuan yang dapat mengubah resistansi atau hambatan, Potensiometer sering
digunakan dalam rangkaian atau peralatan Elektronika dengan fungsi-fungsi sebagai berikut :
Cara mengukur Potensiometer dengan Multimeter – Kita dapat mengukur nilai Resistansi
dari sebuah Potensiometer dengan menggunakan alat ukur yang dinamakan Multimeter, baik
Multimeter yang menunjukan nilai Digital maupun Multimeter Analog. Seperti yang kita
ketahui bahwa Multimeter adalah alat ukur yang terdiri dari gabungan pengukuran Arus
Listrik (Ampere), Tegangan Listrik (Volt) dan Resistansi/Hambatan (Ohm). Untuk mengukur
Potensiometer yang merupakan komponen keluarga Resistor, Potensiometer tentunya diukur
dengan fungsi Ohm (Resistansi) yang terdapat pada Multimeter. Dalam pengukuran, kita
dapat mengetahui Nilai Maksimum Resistansi sebuah Potensiometer dan juga perubahan
Nilai Resistansi Potensiometer saat kita memutar Shaft atau Tuas pengaturnya.
Perlu diketahui, Nilai Maksimum tersebut merupakan Nilai Nominal Potensiometer dan akan
hampir sama dengan nilai yang tertera pada badan Potensiometer itu sendiri. Nilai Resistansi
Potensiometer pada Terminal 1 dan Terminal 3 akan selalu konstan. Artinya, Pemutaran
Shaft (Tuas) pengatur tidak akan berpengaruh terhadap nilai pengukurannya.
Catatan :
Potensiometer tidak mengenal Polaritas Positif dan Negatif sehingga Posisi peletakan Probe
Merah dan Probe Hitam Multimeter tidak menjadi masalah dalam pengukuran.
Untuk mengetahui Pengertian, Prinsip Kerja dan Fungsi Potensiometer, silakan baca artikel :
Pengertian dan Fungsi Potensiometer
Kapasitor merupakan Komponen Elektronika yang terdiri dari 2 pelat konduktor yang pada
umumnya adalah terbuat dari logam dan sebuah Isolator diantaranya sebagai pemisah. Dalam
Rangkaian Elektronika, Kapasitor disingkat dengan huruf “C”.
Jenis-Jenis Kapasitor
Berdasarkan bahan Isolator dan nilainya, Kapasitor dapat dibagi menjadi 2 Jenis yaitu
Kapasitor Nilai Tetap dan Kapasitor Variabel. Berikut ini adalah penjelasan singkatnya untuk
masing-masing jenis Kapasitor :
Kapasitor Nilai Tetap atau Fixed Capacitor adalah Kapasitor yang nilainya konstan atau tidak
berubah-ubah. Berikut ini adalah Jenis-jenis Kapasitor yang nilainya Tetap :
1. Kapasitor Keramik (Ceramic Capasitor)
Kapasitor Keramik adalah Kapasitor yang Isolatornya terbuat dari Keramik dan berbentuk
bulat tipis ataupun persegi empat. Kapasitor Keramik tidak memiliki arah atau polaritas, jadi
dapat dipasang bolak-balik dalam rangkaian Elektronika. Pada umumnya, Nilai Kapasitor
Keramik berkisar antara 1pf sampai 0.01µF.
Kapasitor yang berbentuk Chip (Chip Capasitor) umumnya terbuat dari bahan Keramik yang
dikemas sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan peralatan Elektronik yang dirancang makin
kecil dan dapat dipasang oleh Mesin Produksi SMT (Surface Mount Technology) yang
berkecepatan tinggi.
Kapasitor Polyester adalah kapasitor yang isolatornya terbuat dari Polyester dengan bentuk
persegi empat. Kapasitor Polyester dapat dipasang terbalik dalam rangkaian Elektronika
(tidak memiliki polaritas arah)
Kapasitor Mika adalah kapasitor yang bahan Isolatornya terbuat dari bahan Mika. Nilai
Kapasitor Mika pada umumnya berkisar antara 50pF sampai 0.02µF. Kapasitor Mika juga
dapat dipasang bolak balik karena tidak memiliki polaritas arah.
Kapasitor Elektrolit adalah kapasitor yang bahan Isolatornya terbuat dari Elektrolit
(Electrolyte) dan berbentuk Tabung / Silinder. Kapasitor Elektrolit atau disingkat dengan
ELCO ini sering dipakai pada Rangkaian Elektronika yang memerlukan Kapasintasi
(Capacitance) yang tinggi. Kapasitor Elektrolit yang memiliki Polaritas arah Positif (-) dan
Negatif (-) ini menggunakan bahan Aluminium sebagai pembungkus dan sekaligus sebagai
terminal Negatif-nya. Pada umumnya nilai Kapasitor Elektrolit berkisar dari 0.47µF hingga
ribuan microfarad (µF). Biasanya di badan Kapasitor Elektrolit (ELCO) akan tertera Nilai
Kapasitansi, Tegangan (Voltage), dan Terminal Negatif-nya. Hal yang perlu diperhatikan,
Kapasitor Elektrolit dapat meledak jika polaritas (arah) pemasangannya terbalik dan
melampui batas kamampuan tegangannya.
6. Kapasitor Tantalum
Kapasitor Tantalum juga memiliki Polaritas arah Positif (+) dan Negatif (-) seperti halnya
Kapasitor Elektrolit dan bahan Isolatornya juga berasal dari Elektrolit. Disebut dengan
Kapasitor Tantalum karena Kapasitor jenis ini memakai bahan Logam Tantalum sebagai
Terminal Anodanya (+). Kapasitor Tantalum dapat beroperasi pada suhu yang lebih tinggi
dibanding dengan tipe Kapasitor Elektrolit lainnya dan juga memiliki kapasintansi yang besar
tetapi dapat dikemas dalam ukuran yang lebih kecil dan mungil. Oleh karena itu, Kapasitor
Tantalum merupakan jenis Kapasitor yang berharga mahal. Pada umumnya dipakai pada
peralatan Elektronika yang berukuran kecil seperti di Handphone dan Laptop.
Kapasitor Variabel adalah Kapasitor yang nilai Kapasitansinya dapat diatur atau berubah-
ubah. Secara fisik, Kapasitor Variabel ini terdiri dari 2 jenis yaitu :
1. VARCO (Variable Condensator)
VARCO (Variable Condensator) yang terbuat dari Logam dengan ukuran yang lebih besar
dan pada umumnya digunakan untuk memilih Gelombang Frekuensi pada Rangkaian Radio
(digabungkan dengan Spul Antena dan Spul Osilator). Nilai Kapasitansi VARCO berkisar
antara 100pF sampai 500pF
2. Trimmer
Trimmer adalah jenis Kapasitor Variabel yang memiliki bentuk lebih kecil sehingga
memerlukan alat seperti Obeng untuk dapat memutar Poros pengaturnya. Trimmer terdiri dari
2 pelat logam yang dipisahkan oleh selembar Mika dan juga terdapat sebuah Screw yang
mengatur jarak kedua pelat logam tersebut sehingga nilai kapasitansinya menjadi berubah.
Trimmer dalam Rangkaian Elektronika berfungsi untuk menepatkan pemilihan gelombang
Frekuensi (Fine Tune). Nilai Kapasitansi Trimmer hanya maksimal sampai 100pF.
Dibawah ini adalah beberapa fungsi daripada Kapasitor dalam Rangkaian Elektronika :
Untuk mengetahui Cara Membaca nilai Kapasitor dan juga cara mengukur / menguji
Kapasitor, silakan membacanya di artikel : Cara Membaca dan menghitung Nilai Kode
Kapasitor dan Cara Mengukur Kapasitor (Kondensator).
Cara Membaca dan Menghitung Nilai Kapasitor berdasarkan Kode Angka – Kapasitor
atau disebut juga dengan Kondensator adalah merupakan salah satu Komponen Elektronika
Pasif yang paling banyak digunakan dalam rangkaian peralatan elektronika. Fungsi Kapasitor
yang dapat menyimpan muatan listrik dalam waktu sementara membuatnya menjadi
Komponen Elektronika yang penting. Artikel sebelumnya telah membahas tentang Jenis-jenis
Kapasitor beserta Fungsi dan Simbolnya, maka untuk kesempatan ini akan membahas tentang
Cara Membaca dan Menghitung Nilai Kapasitor berdasarkan Kode Angka dan Huruf-nya.
Satuan Kapasitansi Kapasitor adalah Farad, tetapi Farad merupakan satuan yang besar untuk
sebuah Kapasitor yang umum dipakai oleh Peralatan Elektronik. Oleh Karena itu, Satuan-
satuan yang merupakan turunan dari Farad menjadi pilihan utama produsen dalam
memproduksi sebuah Kapasitor agar dapat digunakan oleh peralatan Elektronika. Satuan-
satuan tersebut diantaranya adalah : Micro Farad (µF), Nano Farad (nF) dan Piko Farad (pF ).
Berikut ini adalah ukuran turunan Farad yang umum digunakan dalam menentukan Nilai
Kapasitansi sebuah Kapasitor :
Contoh untuk membaca Nilai Kode untuk Kapasitor Keramik diatas dengan Tulisan Kode
473Z. Cara menghitung Nilai Kapasitor berdasarkan kode tersebut adalah sebagai berikut :
Kode : 473Z
Nilai Kapasitor = 47 x 103
Nilai Kapasitor = 47 x 1000
Nilai Kapasitor = 47.000pF atau 47nF atau 0,047µF
Huruf dibelakang angka menandakan Toleransi dari Nilai Kapasitor tersebut, Berikut adalah
daftar Nilai Toleransinya :
B = 0.10pF
C = 0.25pF
D = 0.5pF
E = 0.5%
F = 1%
G= 2%
H = 3%
J = 5%
K = 10%
M = 20%
Z = + 80% dan -20%
473Z = 47,000pF +80% dan -20% atau berkisar antara 37.600 pF ~ 84.600 pF.
Jika di badan badan Kapasitor hanya bertuliskan 2 angka, Contohnya 47J maka
perhitungannya adalah sebagai berikut :
Kode : 47J
Jika di badan Kapasitor tertera 222K maka nilai Kapasitor tersebut adalah :
Kode : 222K
Toleransinya adalah 5% :
Nilai Kapasitor =2200 – 5% = 1980pF
Nilai Kapasitor = 2200 + 5% = 2310pF
Untuk Kapasitor Chip (Chip Capacitor) yang terbuat dari Keramik, nilai Kapasitansinya tidak
dicetak di badan Kapasitor Chip-nya, maka diperlukan Label Kotaknya untuk mengetahui
nilainya atau diukur dengan Capacitance Meter (LCR Meter atau Multimeter yang dapat
mengukur Kapasitor).
Rangkaian Seri dan Paralel Kapasitor serta Cara Menghitung Nilainya – Kapasitor
(Kondensator) adalah Komponen Elektronika yang berfungsi untuk menyimpan Muatan
Listrik dalam waktu yang relatif dengan satuannya adalah Farad. Variasi Nilai Farad yang
sangat besar mulai dari beberapa piko Farad (pF) sampai dengan ribuan Micro Farad
(μF) sehingga produsen komponen Kapasitor tidak mungkin dapat menyediakan semua
variasi nilai Kapasitor yang diinginkan oleh perancang Rangkaian Elektronika.
Pada kondisi tertentu, Engineer Produksi ataupun penghobi Elektronika mungkin juga akan
mengalami permasalahan tidak menemukan Nilai Kapasitor yang dikehendakinya di Pasaran.
Oleh karena itu, diperlukan Rangkaian Seri ataupun Rangkaian Paralel Kapasitor untuk
mendapatkan nilai Kapasitansi Kapasitor yang paling cocok untuk Rangkaian
Elektronikanya. Yang dimaksud dengan Kapasitansi dalam Elektronika adalah ukuran
kemampuan suatu komponen atau dalam hal ini adalah Kapasitor dalam menyimpan muatan
listrik.
Berikut ini adalah nilai Kapasitansi Standar untuk Kapasitor Tetap yang umum dan dapat
ditemukan di Pasaran :
Menurut Tabel diatas, hanya sekitar 133 nilai Standar Kapasitor Tetap yang umum dan dapat
ditemukan di Pasaran. Jadi bagaimana kalau nilai kapasitansi yang paling cocok untuk
rangkaian Elektronika kita tidak ditemukan di Pasaran atau bukan nilai Standar Kapasitor
Tetap? Jawabannya adalah dengan menggunakan Rangkaian Seri ataupun Rangkaian Paralel
Kapasitor.
Dimana :
Penyelesaian :
Ctotal = C1 + C2
Ctotal = 1000pF + 1500pF
Ctotal = 2500pF
Atau
Dimana :
Seorang Engineer ingin membuat Jig Tester dengan salah satu nilai Kapasitansi Kapasitor
yang paling cocok untuk rangkaiannya adalah 500pF, tetapi nilai 500pF tidak terdapat di
Pasaran. Maka Engineer tersebut menggunakan 2 buah Kapasitor yang bernilai 1000pF yang
kemudian dirangkainya menjadi sebuah Rangkaian Seri Kapasitor untuk mendapatkan nilai
yang diinginkannya.
Penyelesaian :
Catatan :
Banyak juga Rangkaian Elektronika yang menggunakan Konstanta Waktu ini untuk
memberikan penundaan waktu ataupun perenggangan waktu pada sinyal tertentu. Salah satu
Rangkaian Konstanta Waktu yang paling sering ditemui adalah Konstanta Waktu yang
menggunakan Kapasitor dan Resistor atau sering disebut dengan Rangkaian RC (Resistor
Capacitor). Seperti yang telah kita ketahui bahwa Kapasitor adalah Komponen yang
menyimpan muatan listrik sehingga memerlukan Waktu dalam penyimpanan dan
pembuangan muatan listrik.
Rangkaian RC
Bila nilai Resistansi ( R ) kecil, maka arus akan lebih mudah mengalir sehingga proses
pengisian muatan listrik pada Kapasitor pun akan semakin cepat. Sebaliknya, semakin besar
nilai Resistansinya, semakin lambat waktu pengisiannya.
τ=RxC
dimana :
τ = Konstanta Waktu dalam satuan detik (s)
R = Resistansi / Hambatan dalam Ohm (Ω)
C = Kapasitansi dalam Farad (F)
Contoh Kasus :
Dari Rangkaian RC diatas, diketahui nilai Resistansi R adalah 2.000 Ohm dan nilai
Kapasitansi C adalah 1µF. Berapakah Waktu Konstantanya ?
Diketahui :
R = 2000 Ohm
C = 1µF
τ=?
Jawaban :
τ=RxC
τ = 2000 x 0,000001
τ = 0,002 detik
Jadi Konstanta Waktu pada Rangkaian RC tersebut adalaah 0,002 detik atau 2 milidetik.
Catatan : Satuan Kapasitansi dalam perhitungan ini harus menggunakan satuan Farad,
namun di contoh kasus ini adalah micro Farad (µF) sehingga kita harus konversikan micro
Farad ke Farad terlebih dahulu.
0,1µF = 0,0000001F
1µF = 0,000001F
10µF = 0,00001F
LCR Meter adalah alat ukur yang dapat mengukur nilai L (Induktansi / Inductance, untuk
mengukur Induktor atau Coil), C (Kapasitansi / Capacitance, untuk mengukur Kapasitor atau
Kondensator) dan R (Resistansi / Resistance, untuk mengukur Hambatan atau Resistor)
sedangkan Multimeter adalah alat ukur gabungan yang mendapat mengukur Arus, Tegangan,
Hambatan (Resistansi) dan juga menguji beberapa macam Komponen Elektronika seperti
Dioda, Kapasitor, Transistor dan Resistor.
Saat ini, telah banyak jenis Multimeter Digital yang telah mempunyai fungsi untuk mengukur
nilai Kapasitor sehingga kita tidak perlu membeli alat khusus untuk mengukur nilai
Kapasitansi Kapasitor dan tentunya Multimeter sebagai alat ukur gabungan memiliki batas
tertentu dalam Mengukur Kapasitansi sebuah Kapasitor. Kapasitor yang mempunyai
Kapasitansi yang besar terutama pada Kapasitor Elektrolit (ELCO) tidak semuanya dapat
diukur nilainya oleh sebuah Multimeter Digital. Seperti contoh pada salah satu Multimeter
dengan merek SANWA yang bertipe CD800a, batas pengukuran Kapasitansi Kapasitor hanya
berkisar antara 50nF sampai 100µF.
Untuk menguji apakah Komponen Kapasitor dapat berfungsi dengan baik, kita juga dapat
menggunakan Multimeter Analog dengan Skala Resistansi (Ohm). Multimeter Analog tidak
dapat mengetahui dengan pasti nilai Kapasitansi dari sebuah Kapasitor, tetapi cukup
bermanfaat untuk mengetahui apakah Kapasitor tersebut dalam Kondisi baik ataupun rusak
(seperti Bocor ataupun Short (hubungan pendek)).
Menguji Kapasitor dengan Multimeter Analog
Berikut ini adalah Cara menguji Kapasitor Elektrolit (ELCO) dengan Multimeter Analog :
Hal yang perlu diingat, cara diatas hanya dapat digunakan pada Multimeter Digital yang
memiliki kemampuan mengukur Kapasitansi.
Untuk lebih akurat, tentunya kita memerlukan alat ukur khusus untuk mengukur Nilai
Kapasitansi sebuah Kapasitor seperti LCR meter dan Capacitance Meter. Cara
pengukurannya pun hampir sama dengan cara menggunakan Multimeter Digital, hanya saja
kita perlu menentukan nilai Kapasitansi yang paling dekat dengan Kapasitor yang akan kita
ukur dengan cara mengatur Sakelar Selektor LCR meter dan Kapasitansi Meter. Dibawah ini
adalah gambar bentuk Capacitance Meter, LCR Meter dan Multimeter.
Pengertian LDR (Light Dependent
Resistor) dan Cara Mengukurnya
Dickson Kho Komponen Elektronika, Pengujian Komponen
Pengertian LDR (Light Dependent Resistor) dan Cara Mengukurnya – Light Dependent
Resistor atau disingkat dengan LDR adalah jenis Resistor yang nilai hambatan atau nilai
resistansinya tergantung pada intensitas cahaya yang diterimanya. Nilai Hambatan LDR akan
menurun pada saat cahaya terang dan nilai Hambatannya akan menjadi tinggi jika dalam
kondisi gelap. Dengan kata lain, fungsi LDR (Light Dependent Resistor) adalah untuk
menghantarkan arus listrik jika menerima sejumlah intensitas cahaya (Kondisi Terang) dan
menghambat arus listrik dalam kondisi gelap.
Naik turunnya nilai Hambatan akan sebanding dengan jumlah cahaya yang diterimanya. Pada
umumnya, Nilai Hambatan LDR akan mencapai 200 Kilo Ohm (kΩ) pada kondisi gelap dan
menurun menjadi 500 Ohm (Ω) pada Kondisi Cahaya Terang.
LDR (Light Dependent Resistor) yang merupakan Komponen Elektronika peka cahaya ini
sering digunakan atau diaplikasikan dalam Rangkaian Elektronika sebagai sensor pada
Lampu Penerang Jalan, Lampu Kamar Tidur, Rangkaian Anti Maling, Shutter Kamera,
Alarm dan lain sebagainya.
Hasil Pengukuran akan berubah tergantung pada tingkat intesitas cahaya yang
diterima oleh LDR itu sendiri.
Satuan terang cahaya atau Iluminasi (Illumination) adalah lux
Sebutan lain untuk LDR (Light Dependent Resistor) adalah Photo Resistor, Photo
Conduction ataupun Photocell.
LED memiliki arus maju (Forward Current) maksimum yang cukup rendah sehingga dalam
merangkai LED, kita harus menempatkan sebuah Resistor yang berfungsi sebagai pembatas
arus agar arus yang melewati LED tidak melebihi batas maksimum arus maju LED itu
sendiri. Jika tidak, LED akan mudah terbakar dan rusak.
Rata-rata arus maju (Forward Current) maksimum sebuah LED adalah sekitar 25mA sampai
30mA tergantung jenis dan warnanya. Berikut ini adalah tabel arus maju maksimum dan
tegangan maju untuk masing-masing jenis dan warna LED pada umumnya (LED bulat
dengan diameter 5mm).
Keterangan :
IF Max : Arus Maju (Forward Current) Maksimal
VL : Tegangan LED
VF Max : Tegangan Maju (Forward Voltage) maksimum
VR Max : Tegangan Terbalik (Reverse Voltage) maksimum
Rangkaian dan Cara Menghitung Nilai Resistor untuk
LED
Setelah kita mengetahui Tegangan dan Arus Maju untuk LED seperti pada tabel diatas, maka
kita dapat menghitung nilai Resistor yang diperlukan untuk rangkaian LED agar LED yang
bersangkutan tidak terbakar atau rusak karena kelebihan arus dan tegangan.
R = (VS – VL) / I
Dimana :
R = Nilai Resistor yang diperlukan (dalam Ohm (Ω))
VS = Tegangan Input (dalam Volt (V))
VL = Tegangan LED (dalam Volt (V))
I = Arus Maju LED (dalam Ampere (A))
Hal yang perlu diingat dalam perhitungan, Arus Maju LED (I) tidak boleh melebihi Arus
Maju Maksimal (IF Max) yang telah ditentukan seperti tertera di dalam tabel atas.
Resistor yang berfungsi sebagai pembatas arus ini dipasang secara seri dengan LED seperti
gambar rangkaian di bawah ini :
Contoh Kasus 1
Jika tegangan Input adalah 12V dan LED yang digunakan adalah LED Hijau (V L = 2.2V),
Arus Maju (I) adalah 20mA (diganti menjadi Ampere menjadi 0.02A). Berapakah Nilai
Resistor yang diperlukan?
Penyelesaian :
Diketahui :
VS = 12V
VL = 2.2V
I = 0.02A
R = ?
Jawaban :
R = (VS – VL) / I
R = (12V – 2.2V) / 0.02A
R = 490Ω
Berdasarkan bentuknya dan proses pemasangannya pada PCB, Resistor terdiri 2 bentuk yaitu
bentuk Komponen Axial/Radial dan Komponen Chip. Untuk bentuk Komponen
Axial/Radial, nilai resistor diwakili oleh kode warna sehingga kita harus mengetahui cara
membaca dan mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam warna tersebut sedangkan untuk
komponen chip, nilainya diwakili oleh Kode tertentu sehingga lebih mudah dalam
membacanya.
Kita juga bisa mengetahui nilai suatu Resistor dengan cara menggunakan alat pengukur Ohm
Meter atau MultiMeter. Satuan nilai Resistor adalah Ohm (Ω).
Gelang warna Emas dan Perak biasanya terletak agak jauh dari gelang warna lainnya sebagai
tanda gelang terakhir. Gelang Terakhirnya ini juga merupakan nilai toleransi pada nilai
Resistor yang bersangkutan.
Contoh :
Gelang ke 1 : Coklat = 1
Gelang ke 2 : Hitam = 0
Gelang ke 3 : Hijau = 5 nol dibelakang angka gelang ke-2; atau kalikan 105
Gelang ke 4 : Perak = Toleransi 10%
Maka nilai Resistor tersebut adalah 10 * 105 = 1.000.000 Ohm atau 1 MOhm dengan toleransi
10%.
Contoh :
Gelang ke 1 : Coklat = 1
Gelang ke 2 : Hitam = 0
Gelang ke 3 : Hijau = 5
Gelang ke 4 : Hijau = 5 nol dibelakang angka gelang ke-2; atau kalikan 105
Gelang ke 5 : Perak = Toleransi 10%
Maka nilai Resistor tersebut adalah 105 * 105 = 10.500.000 Ohm atau 10,5 MOhm dengan
toleransi 10%.
Merah, Merah, Merah, Emas → 22 * 10² = 2.200 Ohm atau 2,2 Kilo Ohm dengan 5%
toleransi
Kuning, Ungu, Orange, Perak → 47 * 10³ = 47.000 Ohm atau 47 Kilo Ohm dengan 10%
toleransi
HI CO ME O KU JAU BI UNG A PU
(HItam, COklat, MErah, Orange, KUning. HiJAU, BIru, UNGu, Abu-abu, PUtih)
Contoh :
Contoh-contoh perhitungan lainnya :
Keterangan :
Ohm = Ω
Kilo Ohm = KΩ
Mega Ohm = MΩ
1.000 Ohm = 1 kilo Ohm (1 KΩ )
1.000.000 Ohm = 1 Mega Ohm (1 MΩ)
1.000 kilo Ohm = 1 Mega Ohm (1 MΩ)