Anda di halaman 1dari 62

ANALISIS PENGARUH PARAMETER PROSES STERILISASI

TERHADAP BOTOL SUSU STERIL PENYOK


DI PT XYZ

MAHARDHIKA ADI NUGRAHA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pengaruh


Parameter Proses Sterilisasi terhadap Botol Susu Steril Penyok di PT XYZ adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2018

Mahardhika Adi Nugraha


NIM F24140111
ABSTRAK
MAHARDHIKA ADI NUGRAHA. Analisis Pengaruh Parameter Proses
Sterilisasi terhadap Botol Susu Steril Penyok di PT XYZ. Dibimbing oleh
SUGIYONO.

PT. XYZ merupakan perusahaan yang memproduksi susu steril berperisa.


Pada bulan Januari hingga Februari 2018, jumlah produk yang ditolak karena
tidak sesuai standar adalah sekitar 2% dari total produksi. Ketidaksesuaian yang
paling sering terjadi adalah botol penyok. Kemasan yang digunakan pada produk
merupakan botol berbahan High-Density Poliethylene (HDPE) yang mudah
terdeformasi ketika diberikan suhu yang tinggi, sehingga tahapan produksi yang
diduga menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan botol adalah proses
sterilisasi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menganalisis
pengaruh parameter proses sterilisasi terhadap persentase botol penyok yang
dihasilkan. Prosedur penelitian yang dilakukan terbagi menjadi 5 tahap, yaitu
pengamatan proses produksi, identifikasi masalah, pengumpulan data parameter
proses sterilisasi, pengumpulan data jumlah produk dengan botol penyok, dan
analisis data. Analisis regresi linear berganda dilakukan untuk melihat pengaruh
parameter proses sterilisasi terhadap persentase botol penyok. Hasil analisis
regresi linear berganda terhadap data parameter-parameter proses sterilisasi retort
A dengan persentase botol penyok di PT. XYZ menghasilkan persamaan Y = -
163.743 + 1.008 X11 + 1.078 X10 + 11.825 X12 – 3.432 X4 +13.060 X7 – 0.737
X8 dengan nilai adjusted R2 0.221 yang menunjukkan bahwa variabel yang
berpengaruh signifikan terhadap persentase botol penyok adalah parameter suhu
maksimal proses (X11), laju penurunan suhu cooling II (X10), tekanan maksimal
proses (X12), laju kenaikan suhu heating (X4), rata-rata tekanan holding (X7),
dan laju penurunan suhu cooling I (X8). Data dari retort B menghasilkan
persamaan Y = - 10.949 + 2.826 X4 + 2.835 X3 + 0.599 X8 dengan nilai adjusted
R2 0.039 yang menunjukkan bahwa variabel-variabel yang berpengaruh signifikan
terhadap persentase botol penyok di antaranya adalah laju kenaikan suhu heating
(X4), laju kenaikan tekanan mixing (X3), dan laju penurunan suhu cooling I (X8).
Kecilnya nilai adjusted R2 persamaan yang dihasilkan data retort B menyebabkan
persamaan retort B tidak dapat digunakan untuk menduga hubungan antara
parameter proses sterilisasi dengan jumlah botol penyok yang dihasilkan dengan
baik. Dengan demikian, hanya persamaan dari retort A yang digunakan. Parameter
yang paling berpengaruh berdasarkan nilai standardized beta coefficient dari
variabel-variabel persamaan retort A adalah suhu maksimal proses (X11), laju
kenaikan suhu heating (X4), dan laju penurunan suhu cooling II (X10). Kedua
persamaan yang dihasilkan memiliki nilai adjusted R2 yang kecil. Hal tersebut
menunjukkan bahwa parameter-parameter proses sterilisasi memiliki hubungan
linear yang rendah dengan jumlah botol penyok yang dihasilkan. Oleh karena itu,
terdapat faktor lain yang diduga lebih berpengaruh terhadap jumlah produk
dengan botol penyok yang dihasilkan.

Kata kunci: HDPE, regresi linear berganda, sterilisasi, susu steril


ABSTRACT
MAHARDHIKA ADI NUGRAHA. Analysis of Sterilization Process
Parameter Effects on Sterilised Milk Bottles at PT. XYZ. Supervised by
SUGIYONO.

PT. XYZ is a company that produces flavored sterilised milk. In January


until February 2018, the number of rejected products due to noncompliant to
standard was about 2% out of total production. The most occuring noncompliance
was dented bottle. Packaging used for the product is made of High-Density
Polyethylene (HDPE) which is easier to deform when exposed to high
temperature. Therefore, production step that was suspected to be the main cause
of bottle dent was sterilization process. The objective of this research was to
identify and analyze the effect of sterilization process parameters on the amount
of dented bottle produced. The research was conducted in 5 stages which were
observation of production process, identification of the problem, sterilization
process parameters data collection, the amount of dented bottle produced data
collection, and data analysis. Multiple linear regression analyses were conducted
to study the effect of sterilization process parameters on the dented bottle
percentage. The multiple linear regression analysis of retort A sterilization process
parameters data and dented bottle percentage in PT. XYZ produced a model of Y
= -163.743 + 1.008 X11 + 1.078 X10 + 11.825 X12 – 3.432 X4 +13.060 X7 –
0.737 X8 with adjusted R2 value of 0.221 which showed that the variables that
significantly affected dented bottle percentage were maximum process
temperature (X11), cooling II temperature gradient (X10), maximum process
pressure (X12), heating temperature gradient (X4), average holding pressure (X7),
and cooling I temperature gradient (X8). Data from retort B produced a model of
Y = - 10.949 + 2.826 X4 + 2.835 X3 + 0.599 X8 with adjusted R2 value of 0.039
which showed that the variables that significantly affected dented bottle
percentage were heating temperature gradient (X4), mixing pressure gradient
(X3), and cooling I temperature gradient (X8). The low adjusted R2 value of the
model produced from retort B data had caused the model to be unusable to predict
the effect of sterilization process parameters towards the number of dented bottle.
Therefore, only the model produced from retort A data was used. The parameters
that had the most effect towards the amount of product with dented bottle based
on standardized beta coefficient value of the variables from retort A model were
maximum process temperature (X11), heating temperature gradient (X4), and
cooling II temperature gradient (X10). The low adjusted R2 value of both models
showed that sterilization process parameters had low linear correlation with the
amount of product with dented bottle produced. Therefore, it is sugested that there
were other factors that had more effect towards the amount of products with
dented bottle.

Keywords: HDPE, multiple linear regression, sterilised milk, sterilization


ANALISIS PENGARUH PARAMETER PROSES STERILISASI
TERHADAP BOTOL SUSU STERIL PENYOK
DI PT XYZ

MAHARDHIKA ADI NUGRAHA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-
Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang
dilakukan selama magang pada Januari sampai Mei 2018 adalah Analisis
Pengaruh Parameter Proses Sterilisasi Terhadap Botol Susu Steril Penyok di PT
XYZ. Skripsi ini menyajikan penelitian mengenai -parameter proses sterilisasi dan
pengaruhnya terhadap jumlah botol penyok yang dihasilkan. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat berguna bagi PT. XYZ dan dapat menjadi bahan pembelajaran
bagi civitas akademika lainnya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Sugiyono, M. AppSc
selaku dosen pembimbing skripsi dan Bapak Widi Djanu SP, S.Si selaku
pembimbing di PT. XYZ yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan
penulisan karya ilmiah. Selain itu, terima kasih kepada Dr. Ir. Budi Nurtama, M.
Si dan Ir. Subarna, MSi selaku dosen penguji sidang skripsi. Terima kasih penulis
juga ucapkan untuk rekan-rekan Departemen Quality Assurance dan Produksi
yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian. Selain itu, terima kasih
penulis ucapkan untuk Iwan Waluya (Ayah), Ery Widiarini (Ibu), Aria, Aji, dan
segenap keluarga besar atas doa dan kasih sayang kepada penulis. Tak lupa juga
untuk rekan-rekan magang di PT. XYZ, Billy, Eka, Andini, Rizal, Kelvin, dan
Ricky atas bantuannya selama magang berlangsung, sahabat-sahabat selama
kuliah di IPB, Kirana, Hamzah, Devi, Fitrul, Sarah, Asih, Cita, Hardi, Ulfah,
Fitriyah, Bela, Johanes, Hana dan Bayang atas segala bentuk dukungannya selama
penulisan, keluarga kontrakan Dramaga Regensi B-15 Iqbal, Raka, Luri, Hendri,
Rijal, keluarga besar Paguyuban Mahasiswa Bandung IPB, serta rekan-rekan ITP
angkatan 51, dan semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari segala kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan untuk menyempurnakan
skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2018

Mahardhika Adi Nugraha


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPIRAN v
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
METODE 3
Lokasi dan Waktu 3
Alat 3
Tahapan Penelitian 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
Proses Produksi Susu Steril Berperisa 6
Masalah dalam Produksi Susu Steril 10
Data Parameter Proses Sterilisasi 12
Data Jumlah Produk dengan Botol Penyok 20
Pengaruh Parameter Proses Sterilisasi terhadap Jumlah Produk dengan
Botol Penyok 21
SIMPULAN DAN SARAN 28
Simpulan 28
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 32
RIWAYAT HIDUP 48
DAFTAR TABEL

1. Jenis ketidaksesuaian penyebab produk reject 10


2. Rata-rata dan standar deviasi relatif prameter proses sterilisasi 13
3. Daftar variabel 22
4. Luaran SPSS model summary persamaan regresi linear retort A 22
5. Luaran SPSS model summary persamaan regresi linear retort B 23
6. Luaran SPSS ANOVA persamaan regresi linear retort A 23
7. Luaran SPSS ANOVA persamaan regresi linear retort B 23
8. Luaran SPSS koefisien persamaan regresi linear retort A 24
9. Luaran SPSS koefisien persamaan regresi linear retort B 25

DAFTAR GAMBAR
1. Retort chart record proses sterilisasi 4
2. Ilustrasi botol penyok 11
3. Suhu dan tekanan proses sterilisasi dan segmentasi tahapan proses 12
4. Bentuk umum grafik kendali 14
5. Hasil analisis grafik kendali parameter proses sterilisasi retort A 15
6. Hasil analisis grafik kendali parameter proses sterilisasi retort B 16
7. Persentase botol penyok yang dihasilkan retort A 20
8. Persentase botol penyok yang dihasilkan retort B 20

DAFTAR LAMPIRAN

1. Diagram alir proses produksi susu steril di PT. XYZ 33


2. Grafik kendali individual dan moving range laju kenaikan suhu filling 34
3. Grafik kendali individual dan moving range laju kenaikan suhu mixing 35
4. Grafik kendali individual dan moving range laju kenaikan tekanan mixing 36
5. Grafik kendali individual dan moving range laju kenaikan suhu heating 37
6. Grafik kendali individual dan moving range rata-rata tekanan heating 38
7. Grafik kendali individual dan moving range rata-rata suhu holding 39
8. Grafik kendali individual dan moving range rata-rata tekanan holding 40
9. Grafik kendali individual dan moving range laju penurunan suhu cooling I 41
10. Grafik kendali individual dan moving range penurunan tekanan cooling 42
11. Grafik kendali individual dan moving range laju penurunan suhu cooling II 43
12. Grafik kendali individual dan moving range suhu maksimal proses 44
13. Grafik kendali individual dan moving range tekanan maksimal proses 45
14. Tabel nilai korelasi Pearson antar variabel data retort A 46
15. Tabel nilai korelasi Pearson antar variabel data retort B 47
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Susu menurut US-FDA (2017) adalah sekresi lakteal, bebas dari kolostrum,
yang diperoleh dari pemerahan sapi yang sehat. Susu memiliki aktivitas air tinggi,
nilai pH yang berkisar di antara 6.6 hingga 6.7 dan sangat kaya akan nutrien
(Tamime 2009). Oleh karena itu banyak mikroorganisme, terutama bakteri yang
dapat tumbuh di dalam susu. Perlakuan panas yang tujuan utamanya untuk
membunuh bakteri berbahaya hampir selalu diterapkan pada susu, di antaranya
pasteurisasi dan sterilisasi (Walstra et al 2006).
PT XYZ merupakan perusahaan yang memproduksi produk nutrisi berbasis
susu. Produk yang dihasilkan oleh PT XYZ merupakan susu sterilisasi berperisa.
Berdasarkan Perka BPOM No 21 Tahun 2016 tentang Kategori Pangan, susu steril
adalah produk susu cair yang diperoleh dari susu yang dipanaskan pada suhu tidak
kurang dari 1000C selama waktu yang cukup untuk mencapai keadaan steril
komersial dan dikemas secara kedap (hermetis) (BPOM 2016). Dalam
menghasilkan produknya, PT. XYZ berkomitmen untuk menghasilkan produk
yang aman, halal, dan bermutu tinggi sesuai persyaratan pelanggan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku melalui implementasi Sistem Manajemen
Mutu dan Keamanan Pangan serta Jaminan Halal dengan perbaikan secara
berkesinambungan.
Mutu merupakan faktor penting dalam produk pangan. ISO 9000:2015
mendefinisikan mutu sebagai derajat kemampuan sekumpulan karakteristik yang
dimiliki sebuah objek dalam memenuhi syarat (ISO 2015). Pemerintah Indonesia
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu
dan Gizi Pangan mewajibkan setiap produsen pangan untuk menerapkan sistem
manajemen mutu. Sistem manajemen mutu adalah sekumpulan proses-proses
bisnis yang berfokus pada memenuhi persyaratan dan meningkatkan kepuasan
konsumen (ISO 2015). Montgomery (2009) menyatakan bahwa manajemen mutu
yang efektif mampu melibatkan tiga aktivitas dengan baik, yaitu perencanaan
mutu, penjaminan mutu, serta pengendalian dan perbaikan mutu. Pengendalian
dan perbaikan mutu melibatkan sekumpulan kegiatan yang dilakukan untuk
memastikan produk yang dihasilkan sesuai dengan syarat dan diperbaiki secara
terus menerus.
Kegiatan pengendalian mutu yang dilakukan di PT. XYZ adalah uji fisik,
kimia, dan mikrobiologis pada saat proses dan produk akhir, pengendalian volume
bersih produk, penggunaan leak detector dan metal detector, serta inspeksi
manual seluruh produk akhir. Inspeksi manual adalah tahap yang dilakukan untuk
menyeleksi produk dan memisahkan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
Karakteristik produk yang diperiksa adalah karakteristik fisik, yaitu kesesuaian
pada botol, label, alucap, serta kode produksi dan tanggal kadaluarsa. Inspeksi
produk dilakukan secara manual dengan cara memegang dan melihat kondisi fisik
setiap produk yang dihasilkan. Data jumlah produk yang tidak sesuai spesifikasi
dicatat dan dikategorikan berdasarkan jenis-jenis ketidaksesuaiannya.
Berdasarkan data hasil inspeksi manual pada 7 Januari hingga 23 Februari
2018, produk yang ditolak (reject) karena tidak sesuai standar (non-conforming)
2

masih dihasilkan dalam jumlah yang cukup banyak, yaitu sekitar 2% dari total
produksi. Ketidaksesuaian utama yang paling sering terjadi adalah botol penyok,
yaitu sekitar 1.6% dari seluruh total produksi atau 82% dari total reject. Tingginya
jumlah produk yang ditolak akan berpengaruh terhadap biaya mutu (cost of
quality). Menurut Duffy (2013), biaya mutu adalah biaya yang berhubungan
dengan penyediaan mutu produk atau jasa yang buruk. Produk yang ditolak akan
menjadi waste yang menyebabkan tingginya biaya kegagalan internal.
Kemasan yang digunakan pada produk susu steril berperisa merupakan
botol berbahan High-Density Poliethylene (HDPE). Merah et al (2006)
menyatakan bahwa yield stress dan modulus elastisitas material berbahan HDPE
menurun secara linear seiring dengan meningkatnya suhu. Yield stress adalah sifat
bahan yang didefinisikan sebagai gaya tegang (stress) yang dibutuhkan untuk
suatu bahan untuk terdeformasi secara plastis dan modulus elastisitas adalah
ketahanan suatu bahan untuk terdeformasi secara elastis ketika sebuah gaya
tegang diberlakukan terhadap bahan tersebut (Young dan Lovell 2011). Tahapan
proses produksi yang diduga menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan
penyok pada botol adalah sterilisasi. Sterilisasi merupakan penggunaan proses
panas untuk menghasilkan produk pangan yang shelf-stable atau steril komersial
(Singh dan Heldman 2013). Proses sterilisasi di PT. XYZ dilakukan dengan suhu
mencapai 121.9 oC dan tekanan sebesar 2 bar menggunakan retort dengan jenis
full water immersion.

Rumusan Masalah

Produksi susu steril di PT. XYZ masih menghasilkan produk tidak sesuai
standar dalam jumlah yang cukup tinggi karena terjadinya botol penyok. Tahapan
proses yang diduga sebagai penyebab terjadinya botol penyok adalah proses
sterilisasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis pengaruh parameter proses
sterilisasi terhadap jumlah botol penyok, sehingga usaha perbaikan dapat
dilakukan.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menganalisa


pengaruh parameter proses sterilisasi terhadap jumlah botol penyok dalam
produksi susu steril berperisa di PT. XYZ.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi saran dan solusi terhadap
masalah penyebab botol penyok dengan mengetahui pengaruh dari parameter
kritis proses sterilisasi. Dengan demikian, langkah perbaikan untuk mengurangi
jumlah botol penyok dapat dilakukan.
3

METODE

Lokasi dan Waktu

Kegiatan penelitian dilaksanakan selama empat bulan yaitu dari tanggal 29


Januari hingga 31 Mei 2018, dan bertempat di PT. XYZ yang berlokasi di
Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah bolpoin, papan klip, buku
catatan, serta laptop yang dilengkapi dengan program Microsoft Excel 2010,
Yokogawa Electric Coorporation SMARTDAC+ Viewer, dan IBM SPSS 22.0.

Tahapan Penelitian

Penelitian yang dilakukan terbagi menjadi 5 tahap, yaitu pengamatan proses


produksi, identifikasi masalah, pengumpulan data parameter proses sterilisasi,
pengumpulan data jumlah produk dengan botol penyok, dan analisis data.

Pengamatan Proses Produksi


Tahap pertama dari penelitian yang dilakukan adalah pengamatan proses
produksi untuk mengetahui tahapan kegiatan proses produksi susu steril berperisa
di PT. XYZ dari penerimaan bahan baku sampai dihasilkan produk akhir.
Pengamatan dilakukan dengan cara observasi secara langsung, diskusi dengan
supervisor dan operator, serta mempelajari dokumen instruksi kerja.

Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah dilakukan dengan cara diskusi dengan supervisor
mengenai permasalahan dalam proses produksi, mengenai tingginya kehilangan
produk (product loss) yang disebabkan oleh dihasilkannya produk yang tidak
sesuai standar sehingga produk tersebut ditolak. Selain itu, identifikasi juga
dilakukan terhadap jenis-jenis ketidaksesuian yang terjadi selama proses produksi
serta jumlah dari masing-masing ketidaksesuaian tersebut.

Pengumpulan Data Parameter Proses Sterilisasi


Proses sterilisasi dilakukan di PT. XYZ menggunakan retort jenis rotary full
water immersion. Proses sterilisasi terbagi menjadi beberapa tahap sejak bahan
dimasukkan ke dalam retort hingga proses sterilisasi selesai dilakukan, yaitu
filling, mixing, heating, holding, dan cooling. Masing-masing tahapan memiliki
waktu dan set point yang harus dicapai sebelum dapat memasuki tahap
selanjutnya.
4

Parameter suhu, tekanan, serta kecepatan putar secara terus menerus diukur
setiap 10 detik selama proses sterilisasi berlangsung dan data terekam dalam
retort chart recorder dalam bentuk grafik yang dapat dilihat pada Gambar 1. Data
rekaman proses tersebut tersimpan dalam bentuk file dengan ekstensi *.dad di
dalam komputer Departemen Quality Control setiap proses sterilisasi selesai
dilakukan. File tersebut dapat dibuka menggunakan program Yokogawa Electric
Coorporation SMARTDAC+ Viewer. Data yang terdapat di dalam file tersebut
dapat dikonversikan menjadi file Microsoft Excel. Untuk menelusuri file rekaman
proses sterilisasi dari kode produksi sebuah lot, tanggal dan waktu dilakukannya
proses sterilisasi perlu diketahui terlebih dahulu. Tanggal dan waktu proses
sterilisasi tercatat dan dapat diperoleh dari record sterilisasi yang terdapat di
Departemen Quality Management System (QMS).

Suhu

Tekanan

RPM

Gambar 1 Retort chart record proses sterilisasi


Terdapat beberapa parameter proses sterilisasi yang dapat diperoleh dari
data retort chart recorder, yaitu suhu, tekanan, dan kecepatan putar retort.
Parameter suhu dan tekanan kemudian diolah sehingga didapatkan 12 variabel
yang diamati, yaitu laju kenaikan suhu tahap filling, mixing, dan heating, rata-rata
suhu tahap holding, laju penurunan suhu tahap cooling I dan cooling II, laju
kenaikan tekanan tahap mixing rata-rata tekanan tahap heating dan holding, laju
penurunan tekanan tahap cooling I, serta suhu dan tekanan maksimal proses
sterilisasi. Data diambil dari dua retort yang digunakan yaitu retort A dan retort B
selama proses yang dilakukan dari tanggal 7 Januari hingga 23 Februari 2018,
yaitu sebanyak 323 lot untuk retort A dan 322 lot untuk retort B.
Parameter proses kemudian dianalisis menggunakan control chart atau
grafik kendali. Jensen et al (2006) menyatakan bahwa control chart merupakan
alat yang efektif untuk memonitor kinerja dari proses-proses yang diterapkan
dalam industri. Control chart adalah grafik dari karakteristik proses yang diplot
secara berurutan, yang juga memuat rata-rata proses dan batas-batas kendali
statistik (Hubbard 2003). Jenis control chart yang digunakan dalam penelitian ini
adalah grafik kendali individual atau Shewart Control Chart for Individual
Measurements (i-chart) dan grafik kendali moving range (MR-chart). Menurut
5

Montgomery (2009) jenis grafik kendali tersebut berguna untuk memonitor proses
di mana besar sampel dalam pengukuran adalah 1 atau individual. Oleh karena itu,
grafik kendali tersebut digunakan dalam penelitian ini, di mana pengukuran
dilakukan pada setiap lot produksi. Grafik kendali individual menggunakan
moving range (MR) dari dua observasi yang berurutan sebagai basis dari
pendugaan variabilitas. Parameter-parameter grafik kendali individual adalah
sebagai berikut:
UCL

Center line

LCL
dengan MRi = | | dan nilai d2 = 1.128 untuk moving range dengan n=2
(Montgomery 2009).

Pengumpulan Data Jumlah Produk dengan Botol Penyok


Data jumlah produk dengan botol penyok dapat diperoleh dari record tahap
inspeksi akhir. Record inspeksi akhir memuat data setiap lot yang berisi kode
produksi, jumlah botol yang dihasilkan, dan jumlah produk yang tidak sesuai
standar berdasarkan jenis ketidaksesuaiannya secara spesifik. Kode produksi
memuat tanggal produk dibuat, nomor batch dan lot, serta kode retort yang
digunakan. Data yang diambil dari record tersebut adalah kode produksi, jumlah
botol yang tidak sesuai karena penyok, dan jumlah total botol dalam setiap lot
produksi. Data yang diambil adalah data hasil inspeksi produk selama 2 bulan
produksi yaitu dari 7 Januari 2018 sampai 23 Februari 2018 dari retort A dan
retort B yang berjumlah 322 lot setiap retort. Data dikumpulkan dan direkap
menggunakan program Microsoft Excel.

Analisis Data
Data yang telah diperolah pada tahap-tahap sebelumnya direkap. Analisis
data dilakukan untuk menentukan terdapat atau tidaknya pengaruh parameter
proses sterilisasi terhadap persentase botol penyok.
Metode analisis yang digunakan untuk mengolah data dalam penelitian ini
adalah analisis regresi linear berganda (multiple linear regression analysis).
Menurut Freund et al (2006), regresi linear berganda adalah ekstensi dari regresi
linear sederhana yang dapat digunakan jika terdapat lebih dari satu variabel bebas.
Tujuan dari metode ini adalah sama dengan regresi sederhana, yaitu untuk
mengetahui hubungan antara variabel terikat dengan variabel bebas untuk
memprediksi atau menjelaskan perilaku dari variabel terikat. Bentuk model
regresi linear berganda adalah sebagai berikut:

Keterangan:
: Variabel terikat
, j = 1, 2, …, m : Variabel bebas yang berbeda sejumlah m variabel
6

: intercept, nilai ketika semua variabel bebas bernilai nol


, j = 1, 2, …, m : Koefisien regresi m
: Galat acak, biasanya diasumsikan terdistribusi secara normal
dengan rata-rata nol

Variabel yang berfungsi sebagai variabel terikat adalah persentase produk


dengan botol penyok setiap proses sterilisasi. Variabel yang berfungsi sebagai
variabel bebas adalah beberapa parameter proses sterilisasi, yaitu laju peningkatan
suhu saat tahap filling, mixing, heating, rata-rata suhu saat holding, laju penurunan
suhu saat cooling, laju peningkatan tekanan saat mixing, rata-rata tekanan saat
heating hingga holding, laju penurunan tekanan saat cooling, serta suhu dan
tekanan maksimal saat proses sterilisasi berlangsung.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Produksi Susu Steril Berperisa

Produk susu steril PT. XYZ merupakan susu rekombinasi, yang berdasarkan
BPOM (2016) memiliki definisi susu cair yang diperoleh dari campuran
komponen susu (susu skim, krim) dan air atau susu, atau keduanya. Campuran
bubuk skim dan AMF merupakan bahan yang digunakan di PT. XYZ. Bubuk
skim didefiniskan sebagai produk yang dihasilkan dari proses penghilangan lemak
dan air pada susu yang memiliki kadar air tidak lebih dari 5% dan lemak tidak
lebih dari 1.5% (Chandan et al 2009). Anhydrous Milk Fat (AMF) merupakan
lemak susu yang mengandung 99.8% lemak dan 0.1% air. AMF dapat digunakan
untuk proses rekombinasi atau rekonstitusi susu, dan secara luas digunakan pada
industri es krim dan coklat (NPCS 2012). Bahan lain yang digunakan adalah gula
yang berfungsi sebagai pemanis serta premiks yang merupakan campuran antara
perisa, pengemulsi, penstabil, vitamin dan pewarna.
Rangkaian kegiatan produksi susu steril yang dilakukan di PT. XYZ diawali
dengan tahap penerimaan bahan baku dan bahan kemasan. Bahan baku utama
yang digunakan merupakan air, bubuk susu skim, anhydrous milk fat (AMF),
gula, inulin, serta premix perisa, pengemulsi, penstabil, vitamin, dan pewarna.
Kemasan yang digunakan adalah botol jenis high density polyethylene (HDPE)
serta tutup berbahan aluminium. Diagram alir proses produksi susu steril di PT.
XYZ dapat dilihat pada Lampiran 1.

Dumping, Mixing, Pasteurizing, dan Homogenizing


Tahap dumping merupakan proses memasukkan bahan baku yang telah
ditimbang ke dalam mixing tank, di mana proses mixing terjadi. Mixing dilakukan
selama 30 menit pada suhu 50 oC. Hosseini et al (2010) menyatakan bahwa
mixing adalah sebuah proses yang meningkatkan homogenitas dari suatu sistem
sehingga semua elemen-elemen terdistribusi secara merata. Produk kemudian
distandardisasi dengan cara menambahkan sejumlah air untuk mendapatkan nilai
specific gravity standar. Specific gravity, menurut Lawson (1995) adalah
perbandingan antara berat suatu cairan dengan air dengan volume yang sama.
7

Setelah hasil uji yang dilakukan terhadap produk oleh QC in process


menunjukkan bahwa standar produk sudah terpenuhi, tahap selanjutnya, yaitu
penyaringan dan homogenisasi dilakukan.
Penyaringan produk dilakukan menggunakan strainer dengan ukuran 1000
µm untuk menyaring kontaminan fisik dan endapan bahan baku yang tidak larut.
Produk yang telah disaring masuk ke dalam pasteurizer untuk proses pasteurisasi.
Ramesh (2007) menyatakan bahwa tujuan utama dari pasteurisasi adalah
membebaskan produk dari mikroorganisme yang dapat menyebabkan kerusakan
atau membahayakan kesehatan dari konsumen. Pasteurizer yang digunakan di PT.
XYZ menerapkan prinsip High Temperature Short Time (HTST) pada suhu 85 oC
dengan waktu holding 30 detik. Pasteurizer HTST merupakan sistem aliran
kontinyu menggunakan heat exchanger yang terhubung dengan timing pump,
holder, dan pengendali suhu dan laju alir. Sebagian besar pasteurizer HTST
menggunakan heat exchanger tipe plat, atau plate heat exchanger (PHE) dengan
bagian pemanasan dan pendinginan regeneratif. Laju alir produk melalui
pasteurizer kontinyu dikendalikan oleh timing pump. Pasteurizer kontinyu harus
menerapkan sinkronisasi waktu holding dan laju alir. Pengendalian suhu juga
harus dilakukan untuk memastikan suhu produk seragam dan di atas suhu batas
minimal selama holding.
Tahap yang dilakukan setelah pasteurisasi adalah proses homogenisasi
dengan prinsip penggunaan tekanan tinggi. Ciron et al (2010) menyatakan bahwa
homogenisasi merupakan tahap yang penting dalam produksi produk-produk susu.
Susu dihomogenisasi pada tekanan 200 bar dan 50 bar pada suhu 55-65 oC dengan
tujuan utama untuk meningkatkan stabilitas emulsi serta mencegah pemisahan
lemak dan pembentukan gel selama penyimpanan. Penerapan homogenisasi
tekanan tinggi dilakukan untuk memperkecil ukuran droplet emulsi yaitu globula
lemak dengan cara memaksa produk melalui celah yang sempit sambil diberi
tekanan yang tinggi (Fuquay et al 2011). Produk yang telah dihomogenisasi
kemudian ditransfer ke dalam storage tank yang dilengkapi dengan agitator dan
pendingin dengan suhu 10 oC sebelum produk dinyatakan memenuhi standar oleh
analis QC in process dan proses filling dilaksanakan.

Filling dan Sealing


Proses filling atau pengisian produk ke dalam kemasan botol HDPE
dilakukan menggunakan mesin filler yang menerapkan prinsip vacuum filling.
Mesin filling yang digunakan merupakan tipe rotary, di mana produk ditampung
di dalam filling bowl yang kondisinya sedikit vakum. Botol yang telah melalui
unscrambler dan air rinser dibawa menggunakan konveyor dan ditempatkan satu-
satu pada tumpuan atau alas pada mesin filling. Seiring dengan bergeraknya botol
mengelilingi mesin filler, tumpuan botol terangkat sampai bibir botol menekan
filler valve rubber. Dengan tertekannya valve rubber, katup filler akan terbuka
sehingga produk masuk ke dalam botol. Setelah botol terisi, botol kemudian
diturunkan sehingga katup filler tertutup, produk yang berlebih terhisap oleh
central suction karena filler bowl beroperasi dalam keadaan vakum. Botol yang
sudah terisi produk kemudian bergerak pindah ke mesin capping di mana
aluminium cap dipasang di atas botol dan diseal (Ranken 2012). Proses sealing
dilakukan dengan prinsip induction heating. Ketika botol melewati mesin sealing,
medan elektromagnetik yang dihasilkan oleh mesin sealing mempenetrasi alucap
8

yang merupakan lapisan dengan sifat konduktif dan menginduksi eddy current
flow yang dengan segera menghasilkan panas. Panas tersebut merekatkan heat
seal coating pada alucap dengan botol sehingga botol tertutup hermetis (Rudnev
et al 2002).

Sterilisasi
Produk yang sudah terkemas secara hermetis di dalam botol dipindahkan
menggunakan belt conveyor menuju mesin loader. Produk disusun secara
otomatis di dalam keranjang pada mesin loader. Satu keranjang retort diisi dengan
sekitar 1900 botol dengan posisi saling bertumpuk sebanyak 6 lapis tumpukan
botol yang masing-masing lapisannya dipisahkan oleh divider. Keranjang yang
sudah berisi produk dimasukkan ke dalam retort untuk dilakukannya proses
sterilisasi. Sebanyak 4 keranjang produk atau 7600 botol diproses dalam satu kali
proses sterilisasi. Sterilisasi dilakukan pada suhu 121.9 oC dan waktu holding 10
menit. Total waktu proses sterilisasi dari pintu retort ditutup sampai pintu retort
dibuka kembali adalah sekitar 50 menit dengan 20 menit waktu heating, 10 menit
holding, dan 20 menit waktu cooling. Singh dan Heldman (2013) menyatakan
bahwa sterilisasi komerisal merupakan penggunaan proses panas untuk
menghasilkan produk pangan yang shelf-stable atau steril komersial. Shelf-stable
atau steril komersial adalah kondisi di mana mikroorganisme yang dapat
menyebabkan penyakit dan dapat tumbuh pada produk pangan dalam suhu
ruangan selama penyimpanan dan distribusi sudah dieliminasi (Toledo 2007).
Jenis retort yang digunakan untuk proses sterilisasi di PT. XYZ adalah
retort full water immersion. Prinsip kerja dari sistem retort full water immersion
adalah menggunakan sejumlah air yang telah dipanaskan pada suhu tertentu yang
disimpan pada tanki atau vessel yang terletak di atas retort. Ketika produk sudah
berada di dalam retort dan proses sterilisasi dimulai, Air tersebut kemudian
memenuhi ruang retort dan disirkulasikan menggunakan pompa. Air yang
digunakan dalam proses ini dipanaskan oleh steam. Pembukaan katup steam
dikendalikan secara otomatis sesuai dengan parameter suhu yang terprogram.
Tekanan juga dikendalikan secara terpisah dari suhu dengan cara menginjeksikan
atau mengeluarkan udara bertekanan (Ramaswamy dan Marcotte 2005).
Retort full water immersion merupakan salah satu dari jenis retort over-
pressure. Proses sterilisasi menggunakan retort over-pressure menerapkan
tekanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan yang biasa ditimbulkan
steam untuk mempertahankan suhunya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk
mempertahankan integritas dari kemasan yang terbuat dari plastik, kaca, atau
retort pouch. Ketika produk dipanaskan dalam proses sterilisasi, tekanan di dalam
kemasan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan ruangan retort.
Tekanan tinggi ini disebabkan oleh kombinasi dari peningkatan tekanan uap air
dan pemuaian isi produk. Pada kemasan kaleng yang terbuat dari logam, bahan
kaleng dapat menahan tekanan yang ditimbulkan isi produk tanpa menimbulkan
kerusakan pada kaleng, sementara pada kemasan yang tidak sekuat kaleng seperti
kaca atau plastik, over-pressure atau tekanan yang lebih tinggi pada ruangan retort
diperlukan untuk mencegah kebocoran atau kerusakan pada kemasan (US-FDA
2014). Hanrahan (2004) menyatakan bahwa overpressure diberikan dengan cara
memasukkan udara atau steam di atas air. Pada beberapa tahap, udara
ditambahkan kepada steam yang kemudian memanaskan udara tersebut. Udara
9

yang dipanaskan mengagitasi air ketika melewati permukaannya dan memberikan


tekanan pada ruangan retort. Proses sterilisasi yang dilakukan menggunakan retort
ini terdiri atas beberapa langkah-langkah proses yang terprogram. Langkah-
langkah ini harus terlaksanakan dengan benar untuk mencapai proses sterilisasi
yang sesuai dengan standar regulasi keamanan pangan. Langkah-langkah tersebut
adalah filling, mixing, heating, holding, cooling I, dan cooling II.
Produk yang telah disterilisasi dikeluarkan dari keranjang menggunakan
mesin unloader. Produk selanjutnya tersusun di atas belt conveyor untuk melalui
tahap-tahap selanjutnya, yaitu leakage checking, labelling, dan coding.

Leakage Checking, Labelling, dan Coding


Tahap-tahap produksi setelah produk keluar dari mesin unloader terintegrasi
dengan belt conveyor. Tahap leakage checking atau deteksi kebocoran dilakukan
untuk memisahkan produk yang bocor atau memiliki seal tidak sempurna dengan
cara mendorong keluar produk-produk tersebut dari belt conveyor. Proses deteksi
kebocoran dilakukan dengan menggunakan prinsip dual sensor compression yang
memanfaatkan dua belt sejajar yang menekan botol produk di bagian sisinya
ketika melewati sistem. Hal tersebut menimbulkan kompresi pada bagian
headspace yang diukur pada saat botol masuk dan keluar sistem. Kebocoran akan
terdeteksi jika terdapat perbedaan pembacaan saat botol masuk dan keluar yang
nilainya di luar standar (Taptone 2014).
Botol yang sudah melalui leak detector dilanjutkan ke mesin pelabelan
untuk dipasang label. Label plastik diletakkan di sekeliling botol kemudian
dilewatkan melalui shrink tunnel yang di dalamnya terjadi pemanasan sehingga
label plastik mengerut dan menempel kuat pada botol. Botol yang telah diberi
label kemudian melewati mesin coding di mana tanggal kadaluarsa dan kode
produksi dicetak pada botol.

Inkubasi, sorting, dan Pengemasan Sekunder


Tahap yang dilakukan setelah coding adalah inkubasi produk. Inkubasi
produk dilakukan selama tiga hari pada suhu ruangan setelah produk dimasukkan
ke dalam dus dan disusun di atas palet. Tujuan dari inkubasi selama tiga hari
adalah untuk memastikan jika terdapat pertumbuhan bakteri yang terjadi di dalam
botol, hal tersebut dapat terlihat dengan terbentuknya gas atau timbul bau. Setelah
produk diinkubasi, produk di-sorting atau diinspeksi secara manual secara
keseluruhan untuk memastikan bahwa tidak ada produk yang tidak sesuai standar.
Produk yang lolos tahap sorting atau inspeksi manual dikemas sekunder
setiap 6 botol menggunakan plastik yang dipanaskan sehingga plastik tersebut
mengerut dan merekatkan 6 botol tersebut. Tahap ini disebut juga dengan tahap
banded. Setelah produk melalui tahap banded, produk tersebut dilewatkan melalui
metal detector dan dikemas lagi di dalam dus sebanyak 48 botol. Produk akhir
disimpan di gudang finished good sebelum kemudian dikeluarkan.
10

Masalah dalam Produksi Susu Steril

Karakteristik fisik dan visual dari setiap produk susu steril yang dihasilkan
di PT XYZ diperiksa dalam tahap sorting atau inspeksi manual. Tahap ini
dilakukan untuk mencegah sampainya produk yang tidak sesuai standar pada
konsumen. Inspeksi dilakukan setelah produk dihasilkan dan diinkubasi selama 3
hari. Karakteristik yang diperiksa dalam tahap ini adalah kesesuaian pada bentuk
fisik botol, label, aluminium cap, serta kode produksi dan tanggal kadaluarsa.
Produk-produk yang tidak memenuhi standar akan dipisahkan dan dibuang.
Berdasarkan record tahap sorting proses produksi yang dilakukan pada 7
Januari hingga 23 Februari 2018, total jumlah produk susu steril yang ditolak
karena tidak sesuai standar sebanyak 150.592 botol dari total 7.943.710 botol
produk yang dihasilkan. Jenis-jenis ketidaksesuaian yang menyebabkan produk
ditolak dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis ketidaksesuaian penyebab produk reject


No Jenis ketidaksesuaian Jumlah (botol) Persentase (%)
1 Botol penyok 124191 82.48
2 Aluminium cap lecet 8536 5.67
3 Label naik 4816 3.20
4 Coding tidak jelas 4179 2.78
5 Coding kena label 2335 1.55
6 Label turun 1518 1.01
7 Label Berlipat 1239 0.82
8 Aluminium cap sobek 703 0.47
9 Label sobek 484 0.32
10 Aluminium cap terlipat 459 0.30
11 Lain-lain 2120 1.41

Berdasarkan Tabel 1, produk dengan botol penyok merupakan jenis cacat


yang paling banyak ditemukan, yaitu sebanyak 124.191 botol atau 82.48% dari
total produk cacat yang dihasilkan. Jenis cacat kedua terbanyak adalah cap lecet,
diikuti dengan label naik, coding tidak jelas, coding terkena label, label turun,
label berlipat, dan jenis-jenis cacat yang lainnya. Jenis cacat yang paling sering
terjadi adalah botol penyok, sehingga botol penyok menjadi perhatian utama
dalam usaha mengurangi kehilangan (loss) untuk mereduksi biaya mutu dari
kegagalan internal. Kemungkinan terdapatnya tahap lain yang menjadi titik
terjadinya kehilangan selain tahap sorting sangat kecil karena proses yang
dilakukan dari mixing sampai filling terjadi dalam sistem yang tertutup.
Botol yang digunakan sebagai kemasan susu steril di PT. XYZ adalah botol
jenis HDPE. High-Density Polyethylene (HDPE) adalah polimer yang memiliki
softening point atau titik pelunakan berkisar dari 100 oC hingga 125 oC dan
kristalinitas dari 75 hingga 95%. HDPE sangat resisten terhadap bahan-bahan
kimia dan merupakan barrier gas dan air baik (Kadoya 2012). Menurut Vasile dan
Pascu (2005), HDPE lebih rigid dan lebih keras dibandingkan dengan material-
material dengan densitas lebih rendah dengan berat molekul lebih kecil dari
300.000 g/mol. HDPE juga memiliki tensile strength dan compressive strength
11

yang tinggi. HDPE memenuhi persyaratan FDA untuk penerapan kontak langsung
dengan pangan (Vasile dan Pascu 2005). Zygoura et al (2004) menyatakan bahwa
botol berbahan HDPE baik monolayer maupun multilayer dapat memberikan
perlindungan yang cukup terhadap pertumbuhan mikroba, oksidasi lemak,
lipolisis, dan proteolisis pada susu pasteurisasi yang disimpan pada cahaya
fluoresen dan pendinginan selama 7 hari.
Produk dengan botol penyok dapat teramati secara visual, yaitu terdapatnya
lekukan ke arah dalam pada bagian samping botol yang memanjang secara
vertikal. Ilustasi botol penyok dapat dilihat pada Gambar 2. Produk-produk
dengan botol penyok dapat teramati pada tahap sorting atau inspeksi manual
setelah produk diinkubasi selama 3 hari. Proses sterilisasi diduga menjadi tahap
dihasilkannya produk dengan botol penyok, karena pada proses sterilisasi, produk
diberikan suhu dan tekanan yang tinggi serta gaya agitasi yang ditimbulkan saat
keranjang produk diputar dalam retort.

Gambar 2 Ilustrasi botol penyok

Parameter proses sterilisasi dapat diamati pada panel Human Machine


Interface (HMI) mesin retort dan layar chart recorder. Panel HMI merupakan
layar sentuh yang terintegrasi dengan unit kendali mesin retort di mana semua
pengendalian proses dilakukan. Layar chart recorder merupakan layar dari alat
yang merekam parameter suhu, tekanan, serta kecepatan putar retort selama
proses sterilisasi berlangsung. Parameter-parameter proses sterilisasi memiliki
setting point yang selalu sama. Namun, berdasarkan pengamatan yang dilakukan,
terdapat variasi parameter proses yang terjadi antar proses, misalnya suhu tahap
holding dan lamanya tahap heating. Dengan demikian, pengaruh antara parameter
proses sterilisasi terhadap persentase botol penyok yang dihasilkan dapat
dibuktikan menggunakan data dari rekaman chart recorder dan hasil inspeksi
tahap sorting, sehingga parameter yang berpengaruh terhadap persentase botol
penyok dapat diketahui.
12

Data Parameter Proses Sterilisasi

Proses sterilisasi melibatkan dua parameter penting, yaitu suhu dan tekanan.
Retort yang digunakan merupakan retort jenis full water immersion yang
menerapkan prinsip over-pressure. Tekanan pada process vessel retort bukan
hanya ditimbulkan oleh uap panas, tetapi juga oleh udara bertekanan. Tahapan
proses sterilisasi yang terjadi sama seperti retort pada umumnya, yaitu heating
atau peningkatan suhu, holding di mana suhu dipertahankan, serta cooling atau
pendinginginan. Namun, pada retort jenis full water immersion terdapat tahapan
yang berbeda, yaitu filling. Filling merupakan tahap awal sterilisasi di mana
setelah produk dimasukkan ke dalam process vessel, air panas dari storage vessel
masuk ke dalam process vessel sampai merendam produk. Hal ini yang mendasari
nama jenis retort tersebut yaitu water immersion yang artinya terendam air. Selain
itu, terdapat juga perbedaan pada tahap heating dan cooling. Tahap heating dan
cooling terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap awal yang disertai dengan
perubahan tekanan, dan tahap kedua di mana proses heating dan cooling terjadi
pada tekanan yang konstan. Tahapan proses sterilisasi menggunakan full
immersion water retort dapat dilihat pada Gambar 3.

140 5.0
4.5
120
4.0
IV
100 3.5

Tekanan (bar)
III V VI
II Suhu 3.0
Suhu (oC)

80
Tekanan 2.5
60 I
2.0

40 1.5
1.0
20
0.5
0 0.0
0 500 1000 1500 2000 2500 3000
Waktu (detik)
Keterangan: (I) filling, (II) mixing, (III) heating, (IV) holding, (V) cooling I,
(VI) cooling II
Gambar 3 Suhu dan tekanan proses sterilisasi dan segmentasi tahapan proses
Tahapan-tahapan berbeda dari proses sterilisasi dijadikan landasan atas
penentuan parameter-parameter proses sterilisasi. Secara umum, hanya parameter
suhu dan tekanan yang dipertimbangkan. Namun, karakteristik suhu dan tekanan
berbeda pada tahapan sterilisasi yang berbeda. Pada tahap filling, hanya terdapat
kenaikan suhu yang terjadi akibat masuknya air panas ke dalam process vessel
dan belum ada perubahan tekanan. Pada tahap selanjutnya yaitu tahap mixing,
terjadi kenaikan suhu yang diiringi juga dengan kenaikan tekanan pada process
vessel yang disebabkan oleh masuknya uap panas dan udara bertekanan. Ketika
13

tekanan sudah mencapai setting point sebesar 2 bar, pemanasan dilanjutkan pada
tekanan yang konstan, tahap ini disebut dengan heating. Setelah suhu setting point
sebesar 121.9 oC tercapai, suhu dan tekanan dipertahankan selama 10 menit pada
tahap holding. Setelah holding selama 10 menit selesai, tahapan proses
dilanjutkan dengan cooling yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu cooling I di
mana peturunan suhu diiringi dengan penurunan tekanan dan cooling II di mana
penurunan suhu dilanjutkan pada tekanan konstan.
Berdasarkan karakteristik tahapan proses sterilisasi, parameter proses yang
digunakan dalam analisis adalah laju kenaikan suhu pada tahap filling, mixing, dan
heating, rata-rata suhu tahap holding, serta laju penurunan suhu pada tahap
cooling I dan cooling II. Selain itu, laju kenaikan tekanan pada tahap mixing, rata-
rata tekanan pada tahap heating dan holding, serta laju penurunan tekanan pada
tahap cooling I.
Data parameter-parameter proses sterilisasi diambil dari dua retort yang
digunakan, yaitu retort A dan retort B. Data yang digunakan merupakan data dari
tanggal 7 Januari hingga 23 Februari 2018, yaitu sebanyak 323 lot untuk retort A
dan 322 lot untuk retort B. Rata-rata dan standar deviasi relatif (RSD) dari
parameter proses sterilisasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Rata-rata dan standar deviasi relatif prameter proses sterilisasi

Retort A Retort B
Parameter Satuan Rata- Rata-
rata RSD rata RSD
o
Laju kenaikan suhu filling C/menit 17.94 0.132 16.83 0.183
o
Laju kenaikan suhu mixing C/menit 2.33 0.133 3.27 0.086
Laju kenaikan tekanan mixing Bar/menit 0.98 0.056 1.05 0.041
o
Laju kenaikan suhu heating C/menit 2.25 0.028 2.29 0.019
Rata-rata tekanan heating Bar 2.02 0.004 2.03 0.003
o
Rata-rata suhu holding C 121.88 0.002 122.10 0.001
Rata-rata tekanan holding Bar 2.00 0.006 1.99 0.005
o
Laju penurunan suhu cooling I C/menit 6.43 0.023 6.35 0.023
Laju penurunan tekanan cooling I Bar/menit 0.16 0.021 0.16 0.004
o
Laju penurunan suhu cooling II C/menit 3.98 0.042 3.77 0.048
o
Suhu maksimal C 122.18 0.002 122.32 0.001
Tekanan maksimal Bar 2.09 0.004 2.09 0.011

Berdasarkan rata-rata dan standar deviasi relatif pada Tabel 2, nilai rata-rata
beberapa parameter yang berhubungan dengan proses pemanasan, di antaranya
laju kenaikan suhu pada tahap mixing, dan heating, rata-rata suhu holding, suhu
maksimal proses sterilisasi, laju kenaikan tekanan mixing, serta rata-rata tekanan
heating pada retort A lebih rendah dibandingkan retort B. Namun, nilai RSD
parameter-parameter tersebut pada retort A lebih tinggi dibandingkan retort B. Hal
tersebut menunjukkan bahwa parameter proses di retort A memiliki variabilitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan retort B. Variabilitas yang tinggi tidak
diinginkan dalam parameter proses karena hal tersebut mengindikasikan
ketidakstabilan proses seiring dengan berjalannya waktu.
14

Nilai parameter-parameter proses yang didapatkan dianalisis menggunakan


control chart atau grafik kendali. Grafik kendali adalah grafik dari karakteristik
proses yang diplot secara berurutan, yang juga memuat batas-batas kendali
statistik (Hubbard 2003). Batas-batas kendali statistik pada grafik kendali di
antaranya adalah Upper Control Limit (UCL) atau batas kendali atas dan Lower
Control Limit (LCL) atau batas kendali bawah. Bentuk umum dari grafik kendali
dapat dilihat pada Gambar 4.
Jenis control chart yang digunakan dalam penelitian ini adalah grafik
kendali individual atau Shewart Control Chart for Individual Measurements (i
chart) dan grafik kendali moving range (MR chart). Grafik kendali ini berguna
untuk memonitor proses di mana besar sampel dalam pengukuran adalah 1. Grafik
kendali individual dan moving range parameter-parameter proses sterilisasi pada 7
Januari hingga 23 Februari 2018 dapat dilihat pada Lampiran 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8,
9, 10, 11, 12, dan 13.

200

UCL 180 3σ
160

140
120 1σ
Center100
line X
80

60
40

LCL 20 3σ
0
0 10 20 30 40 50

Gambar 4 Bentuk umum grafik kendali

Jamali dan Jinlin (2007) menyatakan bahwa tujuan utama dari penggunaan
grafik kendali adalah untuk mencapai stabilitas proses dan mengurangi
variabilitas. Grafik kendali dapat mendeteksi keadaan yang tidak terkendali ketika
terdapat titik yang berada di luar batas kendali. Menurut Montgomery (2009),
selain titik di luar batas kendali keadaan tidak terkendali juga dapat diindikasikan
oleh pola yang tidak acak. Oleh karena itu, pengamatan terhadap pola juga perlu
dilakukan untuk mendeteksi keadaan yang tidak terkendali. Aturan-aturan zone
rules for control charts dalam Montgomery (2009) dapat digunakan untuk
mendeteksi terdapatnya pola tidak acak pada grafik kendali. Aturan tersebut
menyatakan bahwa proses tidak terkendali apabila terjadi situasi-situasi berikut:
(1) 1 titik berada di luar batas kendali 3 sigma, (2) 2 dari 3 titik yang berurutan
berada di luar warning limit 2 sigma, (3) 4 dari 5 titik yang berurutan berada pada
jarak 1 sigma atau lebih dari center line, (4) 8 titik yang berurutan berada pada
satu sisi dari center line, (5) 6 titik yang berurutan terus meningkat, (6) 15 titik
yang berurutan berada di zona 1 sigma, (7) 14 titik yang berurutan naik turun
bergantian, (8) 8 titik yang berurutan berada pada kedua sisi center line tanpa satu
15

pun di zona 1 sigma, (9) pola tak biasa pada data, (10) 1 atau lebih titik berada di
dekat warning limit atau control limit.
Grafik-grafik kendali yang dihasilkan dari parameter proses sterilisasi
dianalisis dengan cara menghitung jumlah titik yang berada di luar batas kendali
serta menghitung jumlah pola tidak acak berdasarkan aturan-aturan zone rules for
control charts dalam Montgomery (2009)). Hasil analisis grafik kendali dapat
dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Kondisi proses yang tidak terkendali dapat
terdeteksi pada grafik kendali yang diindikasikan dengan terdapatnya titik yang
berada di luar batas kendali dan pola yang tidak acak (Montgomery 2009).
Semakin banyak titik di luar batas kendali dan pola tidak acak pada grafik kendali,
semakin tidak terkendali proses yang diamati.
180
Titik di luar batas kendali
160 (i-chart)
140 Titik di luar batas kendali
120 (MR-chart)
Jumlah (titik)

100 Pola tidak acak


80
60
40
20
0

Gambar 5 Hasil analisis grafik kendali parameter proses sterilisasi retort A

Berdasarkan Gambar 5 dan Gambar 6, parameter proses yang paling


terkendali adalah laju kenaikan suhu tahap filling yang ditandai dengan tidak
terdapatnya titik di luar batas kendali dan pola tak acak pada kedua
retort.Parameter yang paling tidak terkendali adalah rata-rata suhu holding dan
suhu maksimal proses sterilisasi karena titik yang berada di luar batas kendali
paling banyak terdapat pada kedua parameter tersebut.Parameter proses yang
tidak terkendali setelah suhu holding dan suhu maksimal adalah rata-rata tekanan
heating dan holding serta laju kenaikan suhu heating, dilanjutkan dengan laju
penurunan suhu cooling I. Parameter lain teramati lebih terkendali karena jumlah
titik di luar batas kendali dan pola tidak acak lebih sedikit dibandingkan dengan
parameter yang sudah disebutkan.
16

180
Titik di luar batas
160
kendali (i-chart)
140
Titik di luar batas
120
Jumlah (titik)

kendali (MR-chart)
100
Pola tidak acak
80
60
40
20
0

Gambar 6 Hasil analisis grafik kendali parameter proses sterilisasi retort B

Parameter yang diambil dari tahap filling adalah laju kenaikan suhu. Laju
kenaikan suhu pada tahap filling dipengaruhi oleh suhu awal air di storage vessel
saat proses sterilisasi dimulai. Selain itu, suhu awal produk juga dapat
mempengaruhi laju kenaikan suhu tahap filling. Grafik data laju kenaikan suhu
filling dapat dilihat pada Lampiran 2. Parameter laju kenaikan suhu pada tahap
filling terkendali pada kedua retort, tidak terdapat titik yang melanggar batas
kendali. Selain itu, tidak teramati pola tidak acak pada parameter ini. Laju
kenaikan suhu filling retort A memiliki nilai rata-rata 17.94 oC/menit dan standar
deviasi 2.38 oC/menit, Laju kenaikan suhu filling retort B memiliki rata-rata 16.83
o
C/menit dan standar deviasi 3.08 oC/menit.
Tahap mixing terjadi setelah tahap filling selesai, yaitu ketika tinggi
permukaan air (water level) di dalam process vessel telah merendam seluruh
produk atau sekitar 85%. Pada tahap mixing, katup uap panas dan udara
bertekanan terbuka, sehingga uap panas dan udara bertekanan masuk ke dalam
retort meningkatkan suhu dan tekanan di dalam retort secara bersamaan. Tahap
mixing berhenti ketika tekanan set point sebesar 2.00 bar sudah tercapai.
Parameter yang diukur pada tahap mixing adalah laju kenaikan suhu dan laju
kenaikan tekanan. Grafik laju kenaikan suhu tahap mixing dapat dilihat pada
Lampiran 3. Laju kenaikan suhu tahap mixing memiliki nilai rata-rata 2.33
o
C/menit dan standar deviasi 0.31 oC/menit untuk retort A, dan nilai rata-rata 3.27
o
C/menit dan standar deviasi 0.28 oC/menit untuk retort B. Dapat diamati pada
Lampiran 3 bahwa parameter laju kenaikan suhu mixing terlihat cukup terkendali
dengan jumlah titik di luar batas kendali sebanyak 8 pada retort A dan 12 pada
retort B serta pola tidak acak sebanyak 7 pada retort A dan 2 pada retort B.
Parameter lain yang terdapat dalam tahap mixing adalah laju kenaikan
tekanan. Tekanan naik dari tekanan atmosfer sampai pada tekanan setting point
17

yaitu sebesar 2.00 bar. Grafik kendali laju kenaikan tekanan tahap mixing dapat
dilihat pada Lampiran 4. Laju kenaikan tekanan tahap mixing memiliki nilai rata-
rata 0.98 Bar/menit dan standar deviasi 0.06 Bar/menit untuk retort A, dan nilai
rata-rata 1.05 Bar/menit dan standar deviasi 0.04 Bar/menit untuk retort B.
Parameter laju kenaikan tahap mixing terkendali dengan jumlah titik di luar batas
kendali sebanyak 11 pada retort A dan 9 pada retort B serta pola tidak acak
sebanyak 7 pada retort A dan 20 pada retort B.
Tahap heating adalah tahap ketika tekanan sudah mencapai setting point
yaitu sebesar 2 bar dan kenaikan suhu masih berlangsung pada tekanan yang
konstan. Parameter yang diamati pada tahap ini adalah laju kenaikan suhu dan
rata-rata tekanan selama heating berlangsung. Grafik kendali parameter laju
kenaikan suhu tahap heating dapat dilihat pada Lampiran 5. Laju kenaikan suhu
tahap heating memiliki nilai rata-rata 2.25 oC/menit dan standar deviasi 0.06
o
C/menit untuk retort A, dan nilai rata-rata 2.29 oC/menit dan standar deviasi 0.04
o
C/menit untuk retort B. Berdasarkan Lampiran 5 dapat teramati bahwa terdapat
trend yang jelas pada kenaikan suhu heating retort A, yaitu terjadi kecenderungan
nilai yang semakin turun dari lot 196 sampai lot 244, pola ini tidak teramati pada
retort B. Namun teramati pola naik turun yang tidak sejelas pada retort A.
Pada tahap heating, tekanan dipertahankan pada setting point sebesar 2 bar.
Grafik kendali parameter rata-rata tekanan tahap heating dapat dilihat pada
Lampiran 6. Parameter rata-rata tekanan tahap heating memiliki nilai rata-rata
2.02 bar dan standar deviasi 0.008 bar untuk retort A, dan nilai rata-rata 2.03 bar dan
standar deviasi 0.006 bar untuk retort B. Berdasarkan Lampiran 6, parameter rata-
rata tekanan tahap heating kurang terkendali, terutama pada retort A. Pada retort
A, dapat teramati terdapatnya trend dan pergeseran rata-rata pada lot 129 sampai
lot 192, sehingga sebagian besar titik di antara kedua lot tersebut berada di atas
UCL. Pada retort B, teramati adanya trend naik turun walaupun tidak sebesar pada
retort A. Trend teramati pada kedua retort, namun bentuk pola yang teramati pada
kedua retort berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan parameter tekanan
tidak disebabkan oleh suplai uap panas atau udara bertekanan, karena sumber
suplai uap panas dan udara bertekanan yang digunakan sama.
Tahap holding merupakan tahap di mana suhu dan tekanan setting point
yang sudah tercapai dipertahankan selama 10 menit. Setting point suhu adalah
121.9 oC dan tekanan sebesar 2 bar. Parameter yang diamati pada tahap ini adalah
rata-rata suhu dan rata-rata tekanan selama tahap holding berlangsung. Grafik
kendali individual rata-rata suhu holding dapat dilihat pada Lampiran 7. Parameter
rata-rata suhu tahap holding memiliki nilai rata-rata 121.88 oC dan standar deviasi
0.21 oC untuk retort A, dan nilai rata-rata 122.10 oC dan standar deviasi 0.16 oC
untuk retort B. Berdasarkan Lampiran 7, parameter rata-rata suhu holding tidak
terkendali. Pada retort A, terdapat 168 lot atau sebanyak 52.01% dari proses yang
diamati di mana parameter proses berada di luar batas kendali. Pada retort B,
terdapat 140 lot atau 43.48% dari proses yang diamati di mana parameter proses
berada di luar batas kendali.
Parameter lain yang diamati pada tahap holding adalah rata-rata tekanan
yang seharusnya di pertahankan pada setting point sebesar 2 bar. Grafik kendali
individual rata-rata tekanan holding dapat dilihat pada Lampiran 8. Parameter
rata-rata tekanan tahap holding memiliki nilai rata-rata 2.00 bar dan standar deviasi
0.012 bar untuk retort A, dan nilai rata-rata 1.99 bar dan standar deviasi 0.009 bar
18

untuk retort B. Berdasarkan Lampiran 8 parameter rata-rata tekanan holding


kurang terkendali. Terlihat trend yang jelas pada kedua retort. Selain itu, pada
kedua retort terdapat nilai-nilai yang melanggar batas kendali. Pada retort A,
terdapat 19 lot yang nilai parameternya lebih besar dari UCL dan 6 lot yang lebih
rendah dari LCL. Sementara pada retort B, terdapat 2 lot yang lebih tinggi dari
UCL dan 5 lot yang lebih rendah dari LCL.
Proses pendinginan terbagi menjadi dua tahap, yaitu cooling I di mana
penurunan suhu diiringi dengan penurunan tekanan dan cooling II di mana
penurunan suhu terjadi pada tekanan konstan. Parameter yang diamati pada tahap
cooling I adalah laju penurunan suhu dan laju penurunan tekanan. Grafik kendali
individual laju penurunan suhu cooling I dapat diamati pada Lampiran 9.
Parameter laju penurunan suhu tahap cooling I memiliki nilai rata-rata 6.43
o
C/menit dan standar deviasi 0.151 oC/menit untuk retort A, dan nilai rata-rata
6.35 oC/menit dan standar deviasi 0.159 oC/menit untuk retort B. Berdasarkan
Lampiran 9, parameter laju penurunan suhu cooling I kurang terkendali pada
kedua retort, karena masih teramati adanya pola naik turun, serta terdapat
beberapa lot yang nilai parameternya di luar batas kritis, yaitu 3 lot di atas UCL
dan 15 lot di bawah UCL pada retort A dan 6 lot di atas UCL dan 16 lot di bawah
LCL pada retort B. Pergerakan trend pada retort A dan retort B memiliki pola
yang mirip, sehingga dapat diperkirakan bahwa variasi dari parameter laju
penurunan suhu cooling I dipengaruhi oleh suhu air cooling dan suhu air chilling,
karena sumber air cooling dan air chilling kedua retort sama.
Parameter lain yang diamati pada tahap cooling I adalah laju penurunan
tekanan. Grafik kendali individual laju penurunan tekanan tahap cooling I dapat
dilihat pada Lampiran 10. Parameter laju penurunan tekanan tahap cooling I
memiliki nilai rata-rata 0.16 bar dan standar deviasi 0.003 bar untuk retort A, dan
nilai rata-rata 0.16 bar dan standar deviasi 0.004 bar untuk retort B. Berdasarkan
Lampiran 10, parameter laju penurunan tekanan tahap cooling I cukup stabil pada
kedua retort. Namun terdapat beberapa titik yang melanggar batas kritis, yaitu 1
lot yang bernilai lebih tinggi dari UCL dan 2 lot yang memiliki nilai lebih rendah
dari LCL pada retort A serta 2 lot yang memiliki nilai lebih tinggi dari UCL dan 8
lot yang memiliki nilai lebih rendah dari LCL.
Tahap cooling II adalah tahap ketika penurunan suhu dilanjutkan dari tahap
cooling I dan terjadi dalam tekanan konstan. Parameter yang diamati pada tahap
ini adalah laju penurunan suhu. Grafik kendali individual pameter laju penurunan
suhu tahap cooling II dapat dilihat pada Lampiran 11. Parameter laju penurunan
suhu tahap cooling II memiliki nilai rata-rata 3.98 oC/menit dan standar deviasi
0.169 oC/menit untuk retort A, dan nilai rata-rata 3.77 oC/menit dan standar
deviasi 0.180 oC/menit untuk retort B. Berdasarkan Lampiran 11, parameter laju
penurunan suhu cooling I cukup stabil. Hanya terdapat 1 lot pada retort A dan 2
lot pada retort B di mana nilai laju penurunan suhu cooling II lebih tinggi dari
UCL.
Parameter terakhir yang diamati adalah suhu dan tekanan tertinggi yang
tercapai pada process vessel saat proses sterilisasi berlangsung. Suhu tertinggi
dicapai process vessel retort pada perpindahan dari tahap heating menuju tahap
holding.Grafik kendali individual parameter suhu maksimal sterilisasi dapat
dilihat pada Lampiran 12. Parameter suhu maksimal proses sterilisasi memiliki
nilai rata-rata 122.18 oC dan standar deviasi 0.22 oC untuk retort A, dan nilai rata-
19

rata 122.32 oC dan standar deviasi 0.16 oC untuk retort B. Berdasarkan Lampiran
12, parameter suhu tertinggi pada kedua retort tidak terkendali. Pada retort A,
terdapat 108 lot atau 33.44% dari proses yang diamati di mana nilai parameter
suhu maksimal berada di luar batas kritis, sebanyak 58 lot lebih tinggi dari UCL
dan 50 lot lebih rendah dari LCL. Pada retort B, terdapat 141 lot atau 43.79% dari
proses yang diamati di mana nilai parameter suhu maksimal tidak terkendali atau
berada di luar batas kritis, sebanyak 78 lot lebih tinggi dari nilai UCL dan 63 lot
lebih rendah dari nilai LCL.
Tekanan maksimal terjadi pada akhir tahap mixing sebelum memasuki tahap
heating. Grafik kendali parameter tekanan maksimal proses sterilisasi dapat
dilihat pada Lampiran 13. Parameter tekanan maksimal proses sterilisasi memiliki
nilai rata-rata 2.09 bar dan standar deviasi 0.008 untuk retort A, dan nilai rata-rata
2.09 dan standar deviasi 0.023 untuk retort B. Berdasarkan Lampiran 13
parameter tekanan maksimal saat proses sterilisasi berlangsung pada retort A
terlihat cukup stabil, namun masih terdapat 9 lot dari proses yang diamati di mana
nilai tekanan maksimal berada di luar batas kritis, 7 lot bernilai lebih tinggi dari
UCl dan 2 lot lebih rendah dari LCL. Parameter tekanan maksimal proses
sterilisasi pada retort B cukup terkendali namun terdapat 8 titik yang bernilai
sangat jauh di atas UCL.
Berdasarkan grafik kendali individual parameter-parameter proses
sterilisasi, terdapat parameter proses yang terkendali dan tidak terkendali.
Parameter proses yang stabil dan terkendali adalah laju kenaikan suhu tahap
filling. Parameter-parameter proses yang cukup terkendali dan stabil namun
terdapat sedikit titik yang melanggar batas kritis di antaranya adalah laju kenaikan
suhu dan tekanan tahap mixing, laju penurunan tekanan tahap cooling I, dan laju
penurunan suhu tahap cooling II, serta tekanan maksimal proses. Parameter-
parameter proses yang kurang terkendali dan terdapat trend naik turun yang jelas
di antaranya adalah laju kenaikan suhu tahap heating, rata-rata tekanan tahap
heating dan holding, dan laju penurunan suhu tahap cooling I. Parameter proses
yang paling tidak terkendali adalah rata-rata suhu tahap holding serta suhu
maksimal proses sterilisasi.
Pada umumnya, parameter-parameter yang tidak atau kurang terkendali
adalah parameter yang berhubungan dengan proses pemanasan yaitu pada tahap
heating dan holding di mana salah satu faktor yang paling berpengaruh adalah
kondisi steam atau uap panas. Kondisi yang dapat memengaruhi keadaan steam
dalam retort adalah suplai steam dari boiler dan katup solenoid yang berfungsi
untuk mengatur masuknya steam ke dalam retort. Katup solenoid dikendalikan
oleh sistem kendali otomatik retort agar kondisi retort sesuai dengan set point.
Stabilitas parameter proses kemungkinan tidak dipengaruhi oleh steam supply.
Hal ini dapat dibuktikan dengan teramatinya perbedaan pola pergerakan parameter
rata-rata suhu holding pada retort A dan retort B. Jika variabilitas suhu holding
dipengaruhi oleh steam, seharusnya terdapat pola pergerakan parameter proses
yang sama pada retort A dan retort B karena kedua retort tersebut menggunakan
sumber steam yang sama. Oleh karena itu, kondisi katup solenoid uap dan sistem
otomatis diperkirakan lebih berpengaruh terhadap parameter-parameter proses
pemanasan dibandingkan dengan kondisi sumber steam. Selain itu, perbedaan
yang cukup signifikan antara rata-rata nilai-nilai parameter proses retort A dan
retort B pada Tabel 2 juga mengindikasikan adanya perbedaan kondisi katup-
20

katup solenoid dan sistem otomatik pada kedua retort karena setting point, sumber
steam, udara bertekanan, serta air pendingin yang digunakan pada kedua retort
sama.

Data Jumlah Produk dengan Botol Penyok

Data jumlah botol penyok dikumpulkan dari record tahap inspeksi manual
dari tanggal 7 Januari hingga 23 Februari 2018 sebanyak 323 lot untuk retort A
dan 322 lot retort B. Jumlah botol penyok dibagi dengan jumlah total botol yang
diproses dalam satu kali proses retorting atau satu lot sehingga dihasilkan nilai
persentase botol penyok setiap lotnya. Grafik persentase botol penyok yang
dihasilkan oleh retort A dan retort B dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.

4.0

3.5

3.0
Jumlah botol penyok (%)

2.5

2.0

1.5

1.0

0.5

0.0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320
Lot produksi
Gambar 7 Persentase botol penyok yang dihasilkan retort A bulan Januari -
Februari 2018
5.0
4.5
Jumlah botol penyok (%)

4.0
3.5
3.0
2.5
2.0
1.5
1.0
0.5
0.0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320
Lot produksi
Gambar 8 Persentase botol penyok yang dihasilkan retort B bulan Januari -
Februari 2018
21

Kedua retort menghasilkan nilai persentase botol penyok yang fluktuatif


dengan rata-rata 2.10% pada retort A dan 2.28% pada retort B. Rata-rata jumlah
botol yang diproses dalam satu kali proses retorting atau satu lot adalah sebanyak
7565 botol, sehingga rata-rata jumlah botol penyok yang dihasilkan dalam setiap
lot adalah 164 botol untuk retort A dan 172 botol untuk retort B. Retort B
menghasilkan rata-rata botol penyok lebih banyak dibandingkan dengan retort B.
Terdapat trend atau kecenderungan pergerakan data persentase botol penyok
yang sama antara retort A dan retort B. Persentase botol penyok cenderung
mengalami kenaikan pada lot 1 sampai sekitar lot 50, dan turun sampai lot 90.
Kecenderungan untuk naik terjadi lagi sampai lot 110, dan naik lagi dengan
kemiringan yang lebih rendah sampai sekitar lot 230. Pada lot 230 hingga 280,
teramati kecenderungan persentase botol penyok untuk turun.

Pengaruh Parameter Proses Sterilisasi terhadap Jumlah Produk dengan


Botol Penyok

Peristiwa penyok pada botol diakibatkan oleh sifat plastisitas bahan.


Plastisitas adalah sifat yang mendeskripsikan deformasi dari bahan padat yang
mengalami perubahan non-reversible sebagai akibat dari gaya yang diterapkan
(Lubliner 2008). Menurut Massey (2006), material HDPE dapat mempertahankan
stabilitas dan integritas dimensinya pada proses sterilisasi dengan kondisi
terkontrol. Namun, Merah et al (2006) menyatakan bahwa yield stress dan
modulus elastisitas HDPE menurun secara linear seiring dengan meningkatnya
suhu. Yield stress adalah gaya tegang (stress) yang dibutuhkan suatu bahan untuk
terdeformasi secara plastis (Young dan Lovell 2011). Selain yield stress,
deformasi bahan juga dipengaruhi oleh creep property atau sifat creep. Yeo dan
Hsuan (2010) menyatakan bahwa material HDPE memiliki perilaku creep. Creep
adalah kecenderungan sebuah bahan padat untuk terdeformasi secara permanen di
bawah pengaruh tegangan mekanis yang konstan. Hal tersebut terjadi sebagai
akibat dari paparan tegangan yang nilainya di bawah yield stress dalam waktu
yang lama. Peristiwa creep terjadi lebih signifkan pada suhu yang tinggi. Laju dari
deformasi creep merupakan fungsi dari sifat bahan, lamanya paparan, suhu
paparan, dan besar gaya tegangan yang diaplikasikan (Jones 2009).
Salah satu faktor yang diduga berpengaruh terhadap terjadinya penyok pada
botol adalah parameter-parameter proses sterilisasi. Analisis regresi linear
berganda dilakukan untuk melihat pengaruh parameter-parameter sterilisasi
terhadap persentase botol penyok yang dihasilkan. Analisis regresi dilakukan
untuk menentukan korelasi antara dua atau lebih variabel yang memiliki
hubungan sebab-akibat, dan untuk membuat sebuah prediksi berdasarkan
hubungan tersebut. Analisis regresi linear berganda adalah analisis regresi dengan
satu variabel terikat dan lebih dari satu variabel bebas (Uyanik dan Guler 2013).
Analisis regresi linear berganda dilakukan menggunakan program IBM SPSS 22.0
dengan menggunakan metode stepwise. Metode stepwise digunakan untuk
mengidentifikasi variabel-variabel utama yang memengaruhi variabel bebas
(Armstrong dan Hilton 2011). Program SPSS akan secara otomatis memilih
variabel-variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikat dalam
menghasilkan modelnya. Parameter-parameter proses sterilisasi di-input sebagai
22

variabel bebas, sementara persentase botol penyok di-input sebagai varibel terikat
seperti pada Tabel 3.

Tabel 3 Daftar variabel


Variabel Paremeter proses
X1 Laju kenaikan suhu filling
X2 Laju kenaikan suhu mixing
X3 Laju kenaikan tekanan mixing
X4 Laju kenaikan suhu heating
X5 Rata-rata tekanan heating
X6 Rata-rata suhu holding
X7 Rata-rata tekanan holding
X8 Laju penurunan suhu cooling I
X9 Laju penurunan tekanan cooling I
X10 Laju penurunan suhu cooling II
X11 Suhu maksimal
X12 Tekanan maksimal
Y Persen botol penyok

Analisis regresi linear berganda menggunakan IBM SPSS menghasilkan


luaran berupa model atau persamaan yang dapat digunakan untuk memprediksi
pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat. Terdapat beberapa
tabel dalam luaran yang dihasilkan oleh program IBM SPSS dalam analisis
regresi linear, di antaranya adalah tabel model summary, tabel ANOVA, serta
tabel koefisien.
Tabel 4 dan Tabel 5 menunjukan model summary yang menjelaskan
karakteristik dari persamaan yang dihasilkan. Informasi tentang besarnya
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dapat diperoleh dari tabel model
summary. Nilai adjusted R2 menjelaskan proporsi nilai Y yang dipengaruhi oleh
variabel X, dengan kata lain nilai adjusted R2 menggambarkan besarnya pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat (Armstrong dan Hilton 2011).
Berdasarkan Tabel 4 dan Tabel 5, nilai adjusted R2 dari persamaan regresi linear
dari data retort A adalah 0.221 dan dari retort B 0.039. Artinya, hanya 22.1% dari
ragam data persentase penyok retort A dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas
persamaan yang dihasilkan dan hanya 3.9% dari ragam data persentase penyok
pada retort B dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas persamaan yang
dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa persamaan yang dihasilkan dari data
retort A dapat menunjukkan hubungan antara parameter proses sterilisasi dengan
jumlah botol penyok lebih baik dibandingkan dengan persamaan dari data retort
B.

Tabel 4 Luaran SPSS model summary persamaan regresi linear retort A


Adjusted R Std. Error of the Durbin-
Model R R Square Square Estimate Watson
a
.486 .174 .221 .68552 1.183
a. Predictors: (Constant), X11, X10, X12, X4, X7, X8
23

Tabel 5 Luaran SPSS model summary persamaan regresi linear retort B


Adjusted R Std. Error of the Durbin-
Model R R Square Square Estimate Watson
a
.219 .048 .039 .80932 .877
a. Predictors: (Constant), X4, X3, X8
Luaran hasil ANOVA menjelaskan signifikansi statistik akan berpengaruh
atau tidaknya variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat. Uji ANOVA
memiliki hipotesis nol bahwa persamaan yang dihasilkan sama sekali tidak
menjelaskan ragam pada variabel terikat (Armstrong dan Hilton 2011). Luaran
ANOVA dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7. Tabel 6 menunjukan bahwa
persamaan yang dihasilkan dari data retort A memiliki nilai sig. atau nilai p
sebesar 0.000, lebih kecil dari 0.05. Oleh karena itu, persamaan yang dihasilkan
secara statistik dapat menjelaskan variabel terikat secara signifikan dengan taraf
signifikansi 95%. Tabel 7 menunjukan bahwa persamaan yang dihasilkan dari
data retort B memiliki nilai sig. atau nilai p sebesar 0.001, lebih kecil dari 0.05.
Oleh karena itu persamaan yang dihasilkan secara statistik dapat menjelaskan
variabel terikat secara signifikan dengan taraf signifikansi 95%.

Tabel 6 Luaran SPSS ANOVA persamaan regresi linear retort A


Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression
45.804 6 7.634 16.245 .000a
Residual 148.499 316 .470
Total 194.303 322
a. Predictors: (Constant), X11, X10, X12, X4, X7, X8

Tabel 7 Luaran SPSS ANOVA persamaan regresi linear retort B


Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
Regression
10.536 3 3.512 5.362 .001a
Residual 208.291 318 .655
Total 218.826 321
a. Predictors: (Constant), X4, X3, X8
Luaran koefisien persamaan regresi linear berganda retort A dapat dilihat
pada Tabel 8. Luaran koefisien memberikan informasi mengenai besarnya
koefisien parsial dari masing-masing variabel pada persamaan. Freund et al
(2006) menyatakan bahwa koefisien parsial regresi menunjukan perubahan respon
variabel terikat yang terjadi ketika nilai sebuah variabel bebas berubah dan
variabel lainnya tetap konstan. Dengan kata lain, koefisien menjelaskan besarnya
pengaruh parsial masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Kolom
unstandardized coefficients B merupakan koefisien persamaan regresi. Tabel 8
menunjukan bahwa persamaan regresi linear berganda yang dihasilkan dari data
Retort A adalah Y = -163.743 + 1.008 X11 + 1.078 X10 + 11.825 X12 – 3.432 X4
24

+13.060 X7 – 0.737 X8. Maka variabel yang berpengaruh terhadap persentase


botol penyok adalah suhu maksimal, laju penurunan suhu cooling II, tekanan
maksimal, laju kenaikan suhu heating, rata-rata tekanan holding, dan laju
penurunan suhu cooling I. Nilai koefisien menunjukkan besarnya pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat (Freund et al 2006). Berdasarkan
persamaan yang dihasilkan, kenaikan suhu maksimal sebesar 1 oC akan
meningkatkan persentase botol penyok sebesar 1.008%, peningkatan laju
penurunan suhu cooling II sebesar 1 oC/menit akan meningkatkan persentase botol
penyok sebesar 1.078% , kenaikan tekanan maksimal sebesar 1 bar akan
meningkatkan persentase botol penyok sebesar 11.825%, penurunan laju
peningkatan suhu heating sebesar 1 oC/menit akan meningkatkan persentase botol
penyok sebesar 3.432%, peningkatan rata-rata tekanan holding sebesar 1 bar akan
meningkatkan persentase botol penyok sebesar 13.060%, dan peningkatan laju
penurunan suhu cooling I sebesar 1 oC/menit akan menurunkan persentase botol
penyok sebesar 0.737%.
Kolom standardized beta coefficient menunjukkan nilai koefisien yang
distandardisasi sehingga ragam variabel bebas dan terikat bernilai 1. Nilai
standardized beta coefficient menunjukkan variabel bebas yang paling
berpengaruh terhadap variabel terikat (Freund et al 2006). Semakin tinggi nilai
standardized beta coefficient sebuah variabel bebas, semakin berpengaruh
variabel tersebut terhadap variabel terikat. Dengan demikian, berdasarkan nilai
standardized beta coefficient, urutan parameter dari yang paling berpengaruh
hingga yang paling tidak berpengaruh adalah suhu maksimal, laju penurunan suhu
heating, laju penurunan suhu cooling II, rata-rata tekanan holding, laju penurunan
suhu cooling I, dan tekanan maksimal.

Tabel 8 Luaran SPSS koefisien persamaan regresi linear retort A


Unstandardized Standardized Collinearity
Coefficients Coefficients Statistics
Std.
Model B Error Beta t Sig. Tolerance VIF
(Constant) -163.743 22.252 -7.359 .000
X11 1.008 .189 .288 5.339 .000 .828 1.207
X10 1.078 .304 .235 3.545 .000 .552 1.812
X12 11.825 6.041 .118 1.958 .051 .665 1.505
X4 -3.432 .746 -.273 -4.603 .000 .687 1.456
X7 13.060 4.430 .199 2.948 .003 .532 1.880
X8 -.737 .345 -.144 -2.138 .033 .535 1.868

Luaran koefisien persamaan regresi linear berganda retort B dapat dilihat


pada Tabel 9. Tabel 9 menunjukan bahwa persamaan regresi linear berganda yang
dihasilkan dari data retort B adalah Y = - 10.949 + 2.826 X4 + 2.835 X3 + 0.599
X8. Berdasarkan persamaan tersebut, maka variabel-variabel yang memengaruhi
persentase botol penyok di antaranya adalah laju kenaikan suhu heating, laju
kenaikan tekanan mixing, laju penurunan suhu cooling I. Setiap peningkatan laju
25

kenaikan suhu heating sebesar 1 oC/menit akan meningkatkan persentase botol


penyok sebesar 2.826%, setiap peningkatan laju kenaikan tekanan mixing sebesar
1 bar/menit akan menyebabkan peningkatan persentase botol penyok sebesar
2.835%, dan setiap peningkatan laju penurunan suhu cooling I sebesar 1 oC/menit
akan meningkatkan persentase botol penyok sebesar 0.599%.
Berdasarkan nilai standardized beta coefficient, urutan parameter dari yang
paling berpengaruh hingga yang paling tidak berpengaruh terhadap jumlah produk
dengan botol penyok pada retort B adalah laju kenaikan tekanan mixing, laju
kenaikan suhu heating, dan laju penurunan suhu cooling II.

Tabel 9 Luaran SPSS koefisien persamaan regresi linear retort B


Unstandardized Standardized Collinearity
Coefficients Coefficients Statistics
Std.
Model B Error Beta t Sig. Tolerance VIF
(Constant) -10.949 3.429 -3.193 .002
X4 2.826 1.080 .144 2.618 .009 .990 1.010
X3 2.835 1.066 .147 2.659 .008 .985 1.015
X8 .599 .285 .115 2.103 .036 .993 1.007

Hasil analisis regresi linear berganda dari data 2 retort yang berbeda
menghasilkan 2 persamaan yang berbeda yang menunjukkan bahwa terdapat
pengaruh signifikan antara parameter proses sterilisasi terhadap jumlah botol
penyok. Terdapat kejanggalan jika kedua persamaan yang dihasilkan
dibandingkan. Seharusnya tidak terdapat perbedaan parameter yang berpengaruh
terhadap jumlah botol penyok yang dihasilkan antara retort A dan retort B. Namun
hasil analisis menunjukan bahwa terdapat 6 parameter yang memengaruhi jumlah
botol penyok pada retort A dan hanya 3 parameter yang memengaruhi jumlah
botol penyok pada retort B. Parameter laju kenaikan tekanan mixing berpengaruh
di retort B, tetapi tidak berpengaruh di retort A. Parameter laju kenaikan suhu
heating dan laju penurunan suhu cooling II memiliki korelasi negatif dengan
jumlah produk dengan botol penyok yang dihasilkan pada persamaan retort A,
tetapi kedua parameter tersebut berkorelasi positif dengan jumlah produk dengan
botol penyok yang dihasilkan pada retort B. Selain itu, persamaan yang dihasilkan
memiliki nilai adjusted R squared yang kecil. Persamaan dari retort A memiliki
nilai adjusted R2 sebesar 0.221, sementara persamaan dari retort B hanya 0.039.
Nilai adjusted R2 persamaan yang dihasilkan dari data retort B sangat kecil karena
hanya dapat menjelaskan 3.9% dari ragam variabel terikat, sehingga persamaan
yang dihasilkan dari data retort B tidak dapat digunakan untuk menduga hubungan
antara parameter proses sterilisasi dengan jumlah botol penyok yang dihasilkan
dengan baik. Dengan demikian persamaan dari retort A digunakan untuk menduga
hubungan antara parameter proses sterilisasi dengan jumlah produk dengan botol
penyok yang dihasilkan.
Sebagian besar variabel yang berdasarkan analisis regresi linear
memengaruhi persentase botol penyok berdasarkan persamaan dari data retort A
merupakan parameter-parameter proses yang kurang atau tidak terkendali. Dari 6
26

variabel yang berpengaruh terhadap persentase botol penyok, 4 variabel di


antaranya merupakan parameter-parameter proses yang tidak terkendali
berdasarkan analisis grafik kendali individual, di antaranya adalah suhu maksimal
proses sterilisasi, rata-rata tekanan holding, laju peningkatan suhu heating, dan
laju penurunan suhu cooling I. Peningkatan kestabilan parameter-parameter
tersebut diharapkan dapat mengurangi persentase botol penyok yang dihasilkan.
Berdasarkan nilai standardized beta coefficient persamaan retort A,
parameter suhu maksimal proses merupakan parameter yang paling berpengaruh
terhadap jumlah botol penyok. Parameter tersebut juga merupakan parameter yang
tidak terkendali, dengan indikator ketidakterkendalian terbanyak kedua pada retort
A dan retort B. Suhu maksimal proses adalah suhu tertinggi yang dicapai process
vessel selama proses sterilisasi berlangsung yang biasanya dicapai di akhir tahap
heating. Tingginya suhu akan menurunkan yield stress HDPE (Merah et al 2006),
sehingga semakin tinggi suhu semakin kecil tekanan yang dibutuhkan bahan
untuk terdeformasi. Hal ini yang menjelaskan korelasi positif antara suhu
maksimal proses dengan persentase botol penyok. Semakin tinggi suhu, semakin
mudah pula botol untuk terdeformasi sehingga botol penyok yang dihasilkan
semakin banyak. Pada proses sterilisasi, tekanan retort dan tekanan internal
kemasan bertindak sebagai gaya tegang (stress) dalam proses deformasi material
botol. Beban botol lain dalam keranjang yang menjepit botol saat keranjang retort
bergerak memutar juga dapat berpengaruh terhadap stress yang dialami oleh
botol. Rata-rata tekanan holding yang bertindak sebagai gaya stress yang tinggi
akan mengakibatkan tingkat strain yang dialami oleh material HDPE botol akan
meningkat. Strain merupakan tingkat dari deformasi yang dialami sebuah material
ketika gaya stress diaplikasikan terhadap bahan tersebut (Jones 2009).
Parameter yang paling berpengaruh kedua terhadap jumlah botol penyok
adalah laju kenaikan suhu heating. Material HDPE memiliki perilaku creep (Yeo
dan Hsuan 2010). HDPE akan mengalami deformasi permanen akibat gaya stress
konstan dalam waktu yang lama. Semakin lama gaya diaplikasikan terhadap
bahan, semakin besar tingkat creep strain. Creep strain adalah tingkat deformasi
bahan yang diakibatkan oleh perilaku creep. Hal ini yang menjelaskan korelasi
negatif antara laju kenaikan suhu heating dengan persentase botol penyok.
Parameter tersebut berkorelasi positif dengan lamanya proses sterilisasi
berlangsung. Semakin lama proses sterilisasi berlangsung, semakin besar pula
creep strain pada botol, sehingga botol penyok yang dihasilkan semakin banyak.
Selain suhu maksimal proses dan laju kenaikan suhu heating, laju
penurunan suhu cooling II juga merupakan parameter yang memiliki pengaruh
besar terhadap jumlah produk dengan botol penyok yang dihasilkan. Ketika tahap
cooling berlangsung, penurunan suhu akan menyebabkan penurunan tekanan dan
terbentuknya vakum. Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari penyusutan volume
gas dan kondensasi uap air (Singh dan Heldman 2014). Penurunan suhu yang
terlalu cepat akan menimbulkan selisih yang besar antara tekanan internal produk
dan tekanan process vessel. Selisih tekanan yang besar akan menyebabkan stress
tinggi pada botol yang dapat menyebabkan botol penyok. Hal ini yang
menjelaskan korelasi positif antara laju penurunan suhu cooling II.
Parameter suhu maksimal, laju kenaikan suhu heating dan laju penurunan
suhu cooling II yang tinggi menyebabkan dihasilkannya produk dengan botol
penyok. Namun penyok tidak terjadi pada seluruh produk dalam satu lot,
27

melainkan hanya terjadi pada sebagian botol. Hal ini dapat disebabkan oleh
kemungkinan terdapatnya variasi dari ketebalan botol yang digunakan, sehingga
beberapa botol lebih mudah penyok karena memiliki ketebalan yang lebih rendah.
Selain itu, perbedaan posisi botol dalam keranjang juga kemungkinan dapat
menyebabkan perbedaan tingkat stress yang dialami oleh botol. Botol yang berada
di samping keranjang akan mengalami stress yang lebih tinggi dibandingkan
dengan botol yang berada di tengah keranjang, karena ketika keranjang diputar,
botol di bagian samping akan tertindih dan menahan beban yang lebih besar. Oleh
karena itu, sebagian botol yang berada di posisi samping atau luar keranjang akan
lebih rentan terhadap terjadinya penyok.
Kecilnya nilai adjusted R2 dari kedua persamaan yang dihasilkan
menunjukan bahwa parameter-parameter proses sterilisasi memiliki hubungan
linear yang rendah dengan jumlah botol penyok yang dihasilkan. Dengan
demikian, terdapat faktor lain yang diduga lebih berpengaruh terhadap jumlah
produk dengan botol penyok yang dihasilkan. Faktor-faktor selain parameter
proses sterilisasi yang diduga dapat memengaruhi variasi dari jumlah botol
penyok yang dihasilkan di antaranya adalah variasi dari mutu atau ketebalan
bahan kemasan yang digunakan, variasi dari volume produk di dalam botol,
variasi tekanan headspace produk, serta perbedaan posisi produk saat proses
sterilisasi. Kemasan yang digunakan diperoleh dari supplier, sehingga terdapat
kemungkinan adanya variasi mutu kemasan yang digunakan. Ketebalan botol dan
keseragaman ketebalan pada sekeliling botol yang digunakan sangat berpengaruh
terhadap kemungkinan dihasilkannya botol penyok. Bagian botol yang tipis akan
lebih mudah penyok ketika diberi tekanan dan suhu yang tinggi dibandingkan
dengan bagian botol yang tebal. Dengan demikian, pengawasan dan pengendalian
mutu bahan kemasan yang digunakan merupakan hal yang penting untuk
dilakukan.
Selain faktor variasi ketebalan botol, variasi dari volume produk di dalam
kemasan juga dapat berpengaruh terhadap botol penyok. Volume produk di dalam
botol akan berpengaruh terhadap volume headspace di dalam botol. Ketika tahap
heating berlangsung, tekanan internal botol akan meningkat seiring dengan
meningkatnya suhu karena terjadinya ekspansi gas dan meningkatnya tekanan uap
air. Integritas botol dipertahankan dengan cara menyeimbangkan tekanan di
process vessel dengan prinsip over-pressure (Hanrahan 2004). Ketika proses
cooling berlangsung, suhu dan tekanan diturunkan secara berkala. Tekanan vakum
terbentuk di dalam botol pada tahap cooling. Hal tersebut diakibatkan oleh
kondensasi uap air di bagian headspace (Singh dan Heldman 2014). Tekanan
vakum yang terbentuk akan lebih besar jika volume headspace lebih besar atau
volume produk lebih kecil. Tekanan vakum yang besar di dalam botol dapat
menyebabkan perbedaan tekanan yang besar antara tekanan internal produk
dengan process vessel. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyok pada
botol. Tekanan awal headspace sebelum sterilisasi dilakukan juga dapat
berpengaruh terhadap terjadinya penyok pada botol. Tekanan headspace awal
yang terlalu rendah akan meningkatkan tekanan vakum yang terbentuk ketika
tahap cooling berlangsung.
Faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap botol penyok adalah posisi
atau konfigurasi botol di dalam keranjang retort pada saat sterilisasi. Posisi botol
yang tidak optimal saat proses cage loading, misalnya jumlah botol yang kurang
28

dalam satu layer atau terdapatnya botol dengan posisi miring dapat menyebabkan
cengkeraman terhadap botol di dalam keranjang tidak optimal. Hal tersebut dapat
menyebabkan sebagian botol tertindih beban yang terlalu berat atau terbanting
ketika keranjang diputar dalam proses sterilisasi. Selain itu, botol yang berada di
bagian samping keranjang lebih rentan terhadap penyok karena botol tersebut
terjepit di antara beban botol-botol lain dalam keranjang dengan rangka keranjang.
Perbedaan posisi botol dalam keranjang juga diduga dapat menyebabkan
perbedaan besarnya panas yang diterima oleh masing-masing botol. Botol yang
menerima panas lebih tinggi akan cenderung lebih mudah untuk terdeformasi.
Kejadian-kejadian tersebut dapat berpengaruh terhadap jumlah produk dengan
botol penyok yang dihasilkan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil analisis regresi linear berganda terhadap data parameter-parameter


proses sterilisasi retort A dengan persentase botol penyok di PT. XYZ
menghasilkan persamaan Y = -163.743 + 1.008 X11 + 1.078 X10 + 11.825 X12 –
3.432 X4 +13.060 X7 – 0.737 X8 dengan nilai adjusted R2 0.221 yang
menunjukkan bahwa variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap
persentase botol penyok di antaranya adalah parameter suhu maksimal proses
(X11), laju penurunan suhu cooling II (X10), tekanan maksimal proses (X12), laju
kenaikan suhu heating (X4), rata-rata tekanan holding (X7), dan laju penurunan
suhu cooling I (X8). Data dari retort B menghasilkan persamaan Y = - 10.949 +
2.826 X4 + 2.835 X3 + 0.599 X8 dengan nilai adjusted R2 0.039 yang
menunjukkan bahwa variabel-variabel yang memiliki pengaruh signifikan
terhadap persentase botol penyok di antaranya adalah laju kenaikan suhu heating
(X4), laju kenaikan tekanan mixing (X3), dan laju penurunan suhu cooling I (X8).
Kecilnya nilai adjusted R2 persamaan yang dihasilkan data retort B menyebabkan
persamaan retort B tidak dapat digunakan untuk menduga hubungan antara
parameter proses sterilisasi dengan jumlah botol penyok yang dihasilkan dengan
baik. Dengan demikian hanya persamaan dari retort A yang digunakan untuk
menduga hubungan antara parameter proses sterilisasi dengan jumlah produk
dengan botol penyok yang dihasilkan. Parameter yang paling berpengaruh
berdasarkan nilai standardized beta coefficient persamaan retort A adalah suhu
maksimal proses, laju kenaikan suhu heating dan laju penurunan suhu cooling II.
Kedua persamaan yang dihasilkan memiliki nilai adjusted R2 yang kecil. Hal
tersebut menunjukkan bahwa parameter-parameter proses sterilisasi memiliki
hubungan linear yang rendah dengan jumlah botol penyok yang dihasilkan. Oleh
karena itu, terdapat faktor lain yang diduga lebih berpengaruh terhadap jumlah
produk dengan botol penyok yang dihasilkan.
29

Saran

Pengendalian proses untuk meningkatkan kestabilan parameter proses


sterilisasi perlu dilakukan untuk mengurangi jumlah produk dengan botol penyok
yang dihasilkan, terutama terhadap parameter-parameter proses yang tidak
terkendali dan secara signifikan berpengaruh terhadap persentase botol penyok, di
antaranya adalah suhu maksimal proses, rata-rata tekanan holding, laju kenaikan
suhu heating, dan laju penurunan suhu cooling I. Studi lanjut perlu dilakukan
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidakstabilan
pada parameter-parameter proses sterilisasi. Selain itu, studi lebih lanjut juga
perlu dilakukan untuk membuktikan faktor-faktor lain yang diduga memengaruhi
jumlah produk dengan botol penyok yang sudah disebutkan dalam pembahasan.

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong RA, Hilton AC. 2011. Statistical Analysis in Microbiology: Statnotes.


Hoboken (US): John Wiley and Sons.
[ASQ] American Society for Quality. 2017. What Is A Quality Management
System (Qms)? ISO 9001 & Other Quality Management Systems [Internet].
[Diakses pada 2018 Februari 17]. Tersedia pada http://asq.org/learn-about-
quality/quality-management-system/.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2016. Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016
Tentang Kategori Pangan. Jakarta (ID): BPOM.
Chandan RC, Kilara A, Shah NP. 2009. Dairy Processing and Quality Assurance.
Hoboken (US): John Wiley and Sons.
Cheng JC, Chou CY. 2008. A real-time inventory decision system using Western
Electric run rules and ARMA control chart. Expert Systems with Applications
35: 755–761.
Ciron CIE, Gee VL, Kelly AL, Auty MAE. 2010. Comparison of the effects of
high-pressure microfluidization and conventional homogenization of milk on
particle size, water retention and texture of non-fat and low-fat yoghurts.
International Dairy Journal 20: 314-320.
Duffy GL. 2013. The ASQ Quality Improvement Pocket Guide Basic History,
Concepts, Tools, and Relationships. Milwaukee (US): ASQ Press.
Freund J, Wilson WJ, Sa P. 2006. Regression Analysis: Statistical Modeling of a
Response Variable 2nd Edition. New York (US): Academic Press.
Fuquay JW, Fox PF, McSweeney PLH. 2011. Encyclopedia of Dairy Sciences.
New York (US): Academic Press.
Hanrahan E. 2004. Understanding the Retort Sterilization Process – Water
Immersion Retorts [Internet]. [Diakses pada 2018 Maret 1]. Tersedia pada
http://www.retorts.com/white-papers/understanding-the-retort-sterilization-
process-water-immersion-retorts/.
Hosseini S, Patel D, Ein-Mozaffari F, Mehrvar M. 2010. Study of solid–liquid
mixing in agitated tanks through electrical resistance tomography. Chemical
Engineering Science 65: 1374-1384.
30

Hubbard MR. 2003. Statistical Quality Control for the Food Industry 3rd Edition.
New York (US): Kluwer Academic.
[ISO] International Organization for Standardization. 2015. ISO 9001:2015
Quality Management Systems: Fundamentals and vocabulary [Internet].
[Diakses pada 2018 Februari 17]. Tersedia pada https://www.iso.org/obp/ui/#
iso:std:iso:9000:ed-4:v1:en.
Jamali AS, Jinlin L. 2007. Average run length performance of shewart control
chart with interpretation rules using markov chain approach. Di dalam Chandio
AF, editor. IEEE International Conference on Control and Automation; 2007
Mei 30- Jun 1; Ghuangzhou, China. New Jersey (US): Institute of Electrical
and Electronics Engineering. p 2055-2059.
Jensen WA, Jones-Farmer LA, Champ CW, Woodal WH. 2006. Effect of
parameter estimation on control chart properties: a literature review. Journal of
Quality Technology 38 (4): 349-365.
Jones RM. 2009. Deformation Theory of Plasticity. Blacksburg(US): Bull Ridge
Publishing.
Kadoya T. 2012. Food Packaging. New York (US): Academic Press.
Lawson HW. 1995. Food Oils and Fats: Technology, Utilization and Nutrition.
New York (US): Springer Science and Business.
Lubliner J. 2008. Plasticity Theory. Chelmsford (US): Courier Corporation.
Merah N, Saghir F, Khan Z, Bazoune A. 2006. Effect of temperature on tensile
properties of HDPE pipe material. Plastics, Rubber and Composites 35(5):
226-230.
Montgomery DC. 2009. Introduction to Statistical Quality Control 6th Edition.
Hoboken (US): John Wiley and Sons.
[NPCS] Niir Project Consultancy Services. 2012. The Complete Technology Book
on Dairy & Poultry Industries With Farming and Processing (2nd Revised
Edition). New Delhi (IN): Niir Project Consultancy Services.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Keamanan,
Mutu Dan Gizi Pangan. 5 Oktober 2004. Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4424.
Qiu P. 2014. Introduction to Statistical Process Control. New York (US): CRC
Press.
Ramaswamy HS, Marcotte M. 2005. Food Processing: Principles and
Applications. New York (US): CRC Press.
Ramesh MN. 2007. Pasteurization and Food Preservation. Di dalam: Rahman MS,
editor. Handbook of Food Preservation 2nd Edition. New York (US): CRC
Press.
Ranken MD. 2012. Food Industries Manual 23rd Edition. New York (US):
Springer Science and Business Media.
Robson GD. 2010. Continuous Process Improvement. New York (US): Simon and
Schuster.
Rudnev V, Loveless, Cook RL, Black M. 2002. Handbook of Induction Heating.
New York (US): CRC Press.
Singh RP, Heldman DR. 2014. Introduction to Food Engineering 5th Edition. New
York (US): Academic Press.
Tamime AY. 2009. Milk Processing and Quality Management. Hoboken (US):
John Wiley and Sons.
31

TapTone. 2014. TapTone® DSC: Dual Sensor Compression Technology


[Internet]. [Diakses pada 2018 April 27]. Tersedia pada http://www.taptone.
com/_doc/main/Brochures_Datasheets/TapTone_Data_Sheet_DSC_w_LP_lo_
102914.pdf.
Toledo RT. 2007. Fundamentals of Food Process Engineering 3rd Edition. New
York (US): Springer.
[US-FDA] United States Food and Drug Administration. 2014. Guide to
Inspections of Low Acid Canned Food 26 [Internet]. [Diakses pada 2018 Maret
1]. Tersedia pada https://www.fda.gov/ICECI/Inspections/InspectionGuides/uc
m 106191.htm.
[US-FDA] United States Food and Drug Administration. 2017. Code of Federal
Regulations Title 21 Volume 2 Food and Drugs – Chapter I Subchapter B –
Food for Human Consumption Part 131 – Milk and Cream [Internet]. [Diakses
pada 2018 Maret 8]. Tersedia pada https://www.accessdata.fda.gov/scripts/cdrh
/cfdocs/cfcfr/CFRSearch.cfm?fr=131.110.
Uyanik GK, Guller N. 2013. A study on multiple linear regression analysis.
Procedia Social and Behavioral Sciences 106: 234-240.
Vasile C, Pascu M. 2005. Practical Guide to Polyethylene. Shropshire (GB):
Smithers Rapra Publishing.
Walstra P, Wouters JTM, Geurts TJ. 2006. Dairy Science and Technology 2nd
Edition. New York (US): Taylor and Francis.
Western Electric (1956). Western Electric Statistical Quality Control Handbook.
Indianapolis (US): Western Electric Co..
Yeo SS, Hsuan YG. 2010. Evaluation of creep behavior of high density
polyethylene and polyethylene-terephtalate geogrids. Geotextiles and
Geomembranes 28: 409-421.
Young RJ, Lovell PA. 2011. Introduction to Polymers 3rd Edition. New York
(US): CRC Press.
Zygoura P, Moyssiadi T, Badeka A, Kondyli E, Savvaidis I, Kontominas MG.
2004. Shelf life of whole pasteurized milk in Greece: effect of packaging
material. Food Chemistry 87 (1): 1-9.
32

LAMPIRAN
33

Lampiran 1 Diagram alir proses produksi susu steril di PT. XYZ


34

Lampiran 2 Grafik kendali individual dan moving range laju kenaikan suhu filling
Laju kenaikan suhu 35
30
filling (oC/menit)

25 UCL
20
15 X
10
LCL
5
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual laju kenaikan suhu filling retort A
10
UCL
8
Moving range

0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range laju kenaikan suhu filling retort A
30.0
Laju kenaikan suhu
filling (oC/menit)

25.0 UCL
20.0
15.0 X
10.0
5.0 LCL
0.0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual laju kenaikan suhu filling retort B
14
12
UCL
10
Moving range

8
6
4
2
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range laju kenaikan suhu filling retort B
35

Lampiran 3 Grafik kendali individual dan moving range laju kenaikan suhu
mixing
5.02
Laju kenaikan suhu
mixing (oC/menit) 4.02

3.02 UCL

2.02 X
LCL
1.02

0.02
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot Produksi
Grafik kendali individual laju kenaikan suhu mixing retort A
1.6
1.4
1.2
Moving range

1.0
UCL
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range laju kenaikan suhu mixing retort A
5.00
Laju kenaikan suhu

4.50
mixing (oC/menit)

4.00
3.50 UCL
3.00 X
2.50
2.00
LCL
1.50
1.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual laju kenaikan suhu mixing retort B
2.0

1.5
Moving range

1.0
UCL
0.5

0.0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range laju kenaikan suhu mixing retort B
36

Lampiran 4 Grafik kendali individual dan moving range laju kenaikan tekanan
mixing
1.3
Laju peningkatan

1.2
tekanan mixing
(bar/menit)

1.1 UCL
1.0
0.9 X
0.8 LCL
0.7
0.6
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual laju kenaikan tekanan mixing retort A
0.30
0.25
Moving range

0.20
0.15 UCL
0.10
0.05
0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range laju kenaikan tekanan mixing retort A
1.3
Laju kenaikan tekanan
mixing (bar/menit)

1.2

1.1 UCL

1.0 X

0.9 LCL
0.8
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual laju kenaikan tekanan mixing retort B
0.20

0.15
Moving range

UCL
0.10

0.05

0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range laju kenaikan tekanan mixing retort B
37

Lampiran 5 Grafik kendali individual dan moving range laju kenaikan suhu
heating
2.50

2.40 UCL
Laju kenaikan suhu
heating (oC/menit)
2.30
X
2.20
LCL
2.10

2.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot Produksi
Grafik kendali individual laju kenaikan suhu heating retort A
0.30
0.25
Moving range

0.20
0.15
UCL
0.10
0.05
0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range laju kenaikan suhu heating retort A
2.50
Laju kenaikan suhu
heating (oC/menit)

2.40
UCL
2.30
X
2.20
LCL
2.10

2.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual laju kenaikan suhu heating retort B
0.25

0.20
Moving range

0.15

0.10 UCL

0.05

0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range laju kenaikan suhu heating retort B
38

Lampiran 6 Grafik kendali individual dan moving range rata-rata tekanan heating
2.05
Rata-rata tekanan

2.04
heating (bar)

2.03 UCL
2.02
X
2.01 LCL
2.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual rata-rata tekanan heating retort A
0.025

0.020
Moving range

0.015

0.010
UCL

0.005

0.000
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range rata-rata tekanan heating retort A
2.06
Tekanan heating (bar)

2.05
2.04 UCL
2.03
X
2.02
LCL
2.01
2.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual rata-rata tekanan heating retort B
0.020

0.015
Moving range

UCL
0.010

0.005

0.000
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range rata-rata tekanan heating retort B
39

Lampiran 7 Grafik kendali individual dan moving range rata-rata suhu holding
122.5

Rata-rata suhu holding 122.3


122.1
121.9
UCL
X
(oC)

121.7
LCL
121.5
121.3
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot Produksi
Grafik kendali individual rata-rata suhu holding retort A
0.60
0.50
Moving range

0.40
0.30
0.20 UCL
0.10
0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range rata-rata suhu holding retort A
Rata-rata suhu holding

122.4

122.2 UCL
(oC)

122.0 X

121.8 LCL

121.6
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual rata-rata suhu holding retort B
0.5

0.4
Moving range

0.3

0.2 UCL
0.1

0.0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range rata-rata suhu holding retort B
40

Lampiran 8 Grafik kendali individual dan moving range rata-rata tekanan holding
2.04
Rata-rata tekanan
2.03
holding (bar)
2.02
2.01
UCL
2.00
1.99 X
1.98
1.97 LCL
1.96
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual rata-rata tekanan holding retort A
0.040
0.035
0.030
Moving range

0.025 UCL
0.020
0.015
0.010
0.005
0.000
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range rata-rata tekanan holding retort A
2.03
Tekanan holding (bar)

2.02
2.01 UCL
2.00
1.99 X
1.98
1.97
1.96
LCL
1.95
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual rata-rata tekanan holding retort B
0.050

0.040
Moving range

0.030 UCL
0.020

0.010

0.000
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range rata-rata tekanan holding retort B
41

Lampiran 9 Grafik kendali individual dan moving range laju penurunan suhu
cooling I
7.0
Laju penurunan suhu
cooling I (oC/menit) 6.8
UCL
6.6
6.4
X
6.2
6.0 LCL
5.8
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot Produksi
Grafik kendali individual laju penurunan suhu cooling I retort A
0.7
0.6
0.5
Moving range

0.4 UCL
0.3
0.2
0.1
0.0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range laju penurunan suhu cooling I retort A
7.0
Laju penurunan suhu
cooling I (oC/menit)

6.8
6.6 UCL
6.4
6.2 X
6.0
LCL
5.8
5.6
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual laju penurunan suhu cooling I retort B
0.7
0.6
Moving range

0.5
0.4
UCL
0.3
0.2
0.1
0.0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range laju penurunan suhu cooling I retort B
42

Lampiran 10 Grafik kendali individual dan moving range laju penurunan tekanan
cooling I
0.18
Laju penurunan tekanan
cooling (bar/menit)

0.17 UCL

0.16 X

0.15 LCL
0.14
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual laju penurunan tekanan cooling I retort A
0.014
0.012 UCL
0.010
Moving range

0.008
0.006
0.004
0.002
0.000
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range laju penurunan tekanan cooling I retort A
0.18
Laju penurunan tekanan
cooling I (bar/menit)

0.17
UCL
0.16
X
0.15 LCL

0.14
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual laju penurunan tekanan cooling I retort B
0.020

0.015
Moving range

0.010 UCL

0.005

0.000
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range laju penurunan tekanan cooling I retort B
43

Lampiran 11 Grafik kendali individual dan moving range laju penurunan suhu
cooling II
5.0
Laju penurunan suhu
cooling II (oC/menit) 4.5
UCL
4.0
X
3.5
LCL
3.0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual laju penurunan suhu cooling II retort A
0.8
0.7
0.6
Moving range

0.5 UCL
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range laju penurunan suhu cooling II retort A
5.0
Laju penurunan suhu
cooling II (oC/menit)

4.5
UCL
4.0
X
3.5
LCL
3.0

2.5
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot Produksi
Grafik kendali individual laju penurunan suhu cooling II retort B
0.7
0.6
0.5 UCL
Moving range

0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range laju penurunan suhu cooling II retort B
44

Lampiran 12 Grafik kendali individual dan moving range suhu maksimal proses
Suhu maksimal (oC) 122.9
122.7
122.5
122.3 UCL
122.1 X
121.9
LCL
121.7
121.5
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual suhu maksimal proses retort A
0.5

0.4
Moving range

0.3
UCL
0.2

0.1

0.0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range suhu maksimal proses retort A
122.8
Suhu maksimal (oC)

122.6
122.4 UCL
122.2 X
122 LCL

121.8
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot Produksi
Grafik kendali individual suhu maksimal proses retort B

0.5

0.4
Moving range

0.3
UCL
0.2

0.1

0.0
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range suhu maksimal proses retort B
45

Lampiran 13 Grafik kendali individual dan moving range tekanan maksimal


proses
Tekanan maksimal 2.14

2.12
UCL
2.1
(bar)

X
2.08
LCL
2.06

2.04
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual tekanan maksimal proses retort A
0.05

0.04
Moving range

0.03

0.02 UCL
0.01

0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range tekanan maksimal proses retort A
2.4
Tekanan maksimal

2.3
(bar)

2.2

2.1 UCL
X
LCL
2
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali individual tekanan maksimal proses retort B
0.30
0.25
Moving range

0.20
0.15
0.10
0.05
0.00
0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340
Lot produksi
Grafik kendali moving range tekanan maksimal proses retort B
46

Lampiran 14 Tabel nilai korelasi Pearson antar variabel data retort A

X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 Y


X1 1 -.062 -.082 -.032 .046 -.004 .083 -.017 .045 -.039 -.019 .111* .068
X2 - - -
-.062 1 .373** .067 .221** .105 -.086 .129* .275** .116*
.428** .304** .370**
X3 -
-.082 .373** 1 .027 -.014 -.073 -.002 .042 -.030 -.005 -.073 .003
.332**
X4 - - -
-.032 1 .380** .043 .500** -.007 .179** .059 -.090 .332**
.428** .332** .146**
X5 .046 .067 .027 .380** 1 .615** .703** .037 .173** .025 .552** .363** .255**
X6 -.004 .221** -.014 .043 .615** 1 .352** .219** .080 .089 .942** .314** .349**
X7 -
.083 -.073 .500** .703** .352** 1 .059 .313** .025 .249** .568** .198**
.304**
X8 -.017 .105 -.002 -.007 .037 .219** .059 1 .394** .663** .210** .044 .092
X9 .045 -.086 .042 .179 **
.173 **
.080 .313 **
.394 **
1 .087 .004 .189 **
.025
X10 -.039 .129* -.030 .059 .025 .089 .025 .663** .087 1 .090 .013 .156**
X11 -.019 .275** -.005 -.090 .552** .942** .249** .210** .004 .090 1 .221** .380**
X12 -
.111* -.073 .332** .363** .314** .568** .044 .189** .013 .221** 1 .201**
.370**
Y -
.068 .116* .003 .255** .349** .198** .092 .025 .156** .380** .201** 1
.146**
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
47

Lampiran 15 Tabel nilai korelasi Pearson antar variabel data retort B

X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 Y


X1 1 .113 *
.006 -.092 .064 .028 .043 .006 .143 *
-.043 .039 -.062 -.052
X2 .113* 1 .118* .127* -.060 .044 .056 .060 -.098 .151** -.026 .524** .024
X3 .006 .118 *
1 -.094 -.187 **
-.062 -.220 **
-.074 -.127 *
-.060 -.049 -.352 **
.124*
X4 -.092 .127* -.094 1 .063 .254** .051 -.027 -.137* .017 .225** -.044 .127*
X5 .064 -.060 -.187** .063 1 .524** .737** .155** .469** .048 .510** .072 -.021
X6 .028 .044 -.062 .254 **
.524 **
1 .443 **
.050 .316 **
-.060 .947 **
.082 .071
X7 .043 .056 -.220 **
.051 .737 **
.443 **
1 .196 **
.499 **
.126 *
.390 **
.109 .038
X8 .006 .060 -.074 -.027 .155** .050 .196** 1 .518** .743** .037 .220** .101
X9 .143* -.098 -.127* -.137* .469** .316** .499** .518** 1 .097 .316** .029 .056
X10 -.043 .151 **
-.060 .017 .048 -.060 .126 *
.743 **
.097 1 -.098 .237 **
.071
X11 .039 -.026 -.049 .225** .510** .947** .390** .037 .316** -.098 1 .045 .049
X12 -.062 .524** -.352** -.044 .072 .082 .109 .220** .029 .237** .045 1 -.041
Y -.052 .024 .124 *
.127 *
-.021 .071 .038 .101 .056 .071 .049 -.041 1
*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
48

RIWAYAT HIDUP

Penulis memiliki nama lengkap Mahardhika Adi Nugraha.


Penulis lahir di Bandung tanggal 17 Agustus 1996 dan
merupakan anak ke-2 dari tiga bersaudara dari pasangan
Iwan Waluya dan Ery Widiarini. Pendidikan formal yang
ditempuh oleh penulis adalah sekolah dasar di SDN
Sejahtera 3 Bandung dan lulus tahun pada 2008,
dilanjutkan dengan SMPN 7 Bandung sampai tahun 2011,
dan SMAN 1 Bandung dan lulus pada tahun 2014. Penulis
kemudian diterima untuk melanjutkan pendidikan tinggi
di Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor melalui jalur SBMPTN.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dan sempat mengetuai Organisasi
Mahasiswa Daerah Paguyuban Mahasiswa Bandung pada tahun 2015 hingga
2016. Selain itu, penulis juga sempat menjadi staf dan ketua Divisi Eksternal
Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan IPB (Himitepa IPB) pada
tahun pada tahun 2016 hingga 2017. Penulis juga aktif menjadi panitia dalam
acara-acara yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi
Pangan IPB.

Anda mungkin juga menyukai