BAB 1
PENDAHULUAN
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
c. Faring1
Jalur utama pernapasan melalui faring dimana tersambung dengan kavum
nasal, mulut dan laring. Nasofaring tersambung melalui istmus faring, dimana
tertutup saat menelan. Persarafan sensorik dari trigeminal dan glosofaring. Selama
perkembangan, kedalaman nasofaring meningkat akibat remodeling palatum serta
perubahan angulasi dasar tengkorak sehingga membentuk jalan napas hidung
membesar.
Orofaring memanjang dari palatum molle ke ujung epiglotis, dimana
menempel dengan basis lidah lewat lipatan glosoepiglotika. Persarafan sensorik
orofaring dari saraf glosofaring dan laringeal superior. Respon refleks sirkulatorik
terhadap laringoskop direk dan intubasi trakeal menyebabkan stimulasi dinding
faring oleh bilah laringoskop, respon kecil terbentuk akibat endotracheal tube
pada korda vokalis. Pada anak, inflamasi tonsil sering mengobstruksi saluran
napas. Ukuran lidah besar, dan penurunan tonus otot meningkatkan risiko
obstruksi. Pada usia <1 tahun dengan posisi supine, lidah biasa meratakan palatum
molle pada inspirasi dan menetap saat ekspirasi pasif lewat hidung.
d. Laring1,2
Merupakan organ fonasi dan proteksi trakeobrakial ketika menelan dan
batuk. Mulai berkembang pada usia 3 minggu kehamilan dengan pembentukan
tuba laringotrakeal dari dinding ventral foregut. Laring dapat diidentifikasi pada
41 hari kehamilan, kartilago krikoid dan tiroid mulai kondrifikasi pada minggu ke
7, dan glotis terbentuk pada minggu ke 10 dimana terjadi saat korda vokalis
membelah. Gangguan proses ini menyebabkan perlengketan/atresia laring.
4
e. Paru3,4
Perkembangan paru setelah lahir merupakan perkembangan paru postnatal,
dimana terbagi beberapa stadium, alveoli sesungguhnya yang mengandung septa
sekunder tampak pada minggu ke 36, dimulai pada fase alveolar dan berakhir
5
pada usia 1-2 tahun. Alveolarisasi postnatal dimulai pada fase pembesaran
alveolarisasi dalam 6 bulan pertama lahir. Maturasi mikrovaskular merupakan
tahap berikutnya, dimana terjadi dari beberapa bulan kelahiran hingga usia 3
tahun. Mengikuti usia, dari usia 2 tahun hingga dewasa, jaringan paru meluas
dengan volume paru mengikuti peningkatan berat badan.
Rata-rata volume darah bayi baru lahir 85-90ml/kg, usia 6 minggu-2 tahun
85ml/kg, dan 2 tahun hingga pubertas 80ml/kg. Sel darah merah dibuat dari
kavitas medula dan spons, seturut pubertas sumsum akan digantikan lemak dan
produksi sel darah merah hanya pada bagian atas femur dan humerus, vertebra,
sternum, iga, skapula dan inominata. Untuk pembetukan sel darah merah
dibutuhkan asam amino, besi, vitamin B12 dan B6, dan asam folat.
7
2.1.4 Metabolisme
a. Hati3
8
Tugas utama hati dalam metabolisme substansi yang diserap oleh usus,
menunjukkan bahwa hati memiliki banyak sistem enzim untuk mengubah
substansi xenobiotik. Imaturitas hati dapat mengubah fungsi pembersihan obat,
menyebabkan mudah rusak dan pemecahan produk. Metabolisme obat bayi
bergantung pada massa hati, ikatan protein dan aliran darah, serta metabolisme
enzimatik dan proses pembersihan. Metabolisme obat menyertakan proses
perubahan struktur kimia, diikuti konjugasi supaya lebih polar (larut air), sehingga
dapat diekskresi lewat urin.
b. Ginjal3,4
Filtrasi glomerulus merupakan proses air dan zat terlarut melewati
membran glomerulus. Ultrafiltrat merupakan plasma dengan protein sangat kecil.
Pada pediatrik, berat ginjal dan laju filtrasi glomerulus/GFR berkorelasi dengan
luas permukaan. Luas permukaan tubuh berdasarkan rumus BSA (m2) = 0,024265
x Berat0,5378 x Tinggi0,3964. Filtrasi dimulai sejak janin minggu ke 9, pada prematur
minggu ke 30 mencapai 12mL/min/1,73m2, dan bayi matur 20mL/min/1,73m2.
Maturasi terjadi cepat pada postnatal dengan GFR meningkat 2 kali lipat dalam 2
minggu, dan GFR dewasa dicapai saat usia 18-24 bulan. GFR rendah diakibatkan
vasokonstriksi lewat sistem renin-angiotensin untuk adaptasi kehilangan cairan
dan elektrolit berlebih karena tubulus masih imatur. Dampak tubulus imatur
tampak pada ekskresi natrium cukup tinggi pada bayi (terutama prematur)
sehingga pada minggu pertama kelahiran ekskresi lebih banyak dibanding intake,
sementara ekskresi bikarbonat baru terkontrol pada usia 1 tahun. Namun pada
tubulus imatur, kalium dan fosfat mengalami ekskresi lebih sedikit dibanding
dewasa. Pengaturan ekskresi air sudah dimiliki sejak hari kedua lahir, dengan
minimal 1mL/kg/jam.
napas, dan riwayat penyakit kardiorespirasi atau anomali saluran napas. Bayi dan
anak memiliki risiko tinggi kematian terkait anestesi, terutama akibat komplikasi
pernapasan dan jantung. Klasifikasi ASA tidak didesain utnuk anak sehingga
kurang akurat sebagai prediktor. Risiko komplikasi pernapasan anak termasuk
laringospasme, bronkospasme, hipoksia dan stridor postekstubasi. Faktor risiko
komplikasi adalah infeksi saluran napas atas, asma, obstructive sleep apnea/OSA,
displasia bronkopulmoner, obesitas, perokok pasif, riwayat keluarga asma/atopik,
serta kondisi spesial (seperti sindrom Down).6
Identifikasi masalah psikologis diperlukan karena kondisi perioperatif
dapat memicu stres bagi anak dan keluarga. Ansietas dan prilaku stres sering pada
anak, dan diasosiasikan dengan hasil postoperatif dimana muncul delirium,
peningkatan nyeri, pemakaian analgesik berlebih, ansietas dan kesulitan tidur.
Konsultasi preoperasi diperlukan untuk membina raport dengan anak dan
mengurangi ansietas dan distres. Penilaian ansietas dapat memakai skoring seperti
modified Yale Preoperative Anxiety Scale. Untuk mengurangi risiko stres, dapat
dilakukan intervensi kognitif (distraksi, hipnosis), intervensi orangtua (akupuntur,
psikoedukasi), dan intervensi kontekstual (kehadiran orangtua, ruang induksi,
pakai pakaian sendiri). Selain itu, edukasi diperlukan kepada anak dan orang tua
mengenai perioperasi. Anak kecil lebih tertarik terhadap pengenalan ruang
operasi, sementara anak remaja dilakukan pendekatan lewat jenis anestesi,
prosedur, nyeri dan komplikasi.6
Pemeriksaan fisik pada bayi untuk operasi minor dapat dinilai dari segi
nutrisi, warna kulit, pernapasan, dan adanya sekret hidung. Saat memeriksa anak,
perlu diperhatikan beberapa hal. Usia 4-8 tahun, anak harus dicek giginya karena
gigi susu mulai lepas. Penilaian infeksi saluran napas anak dengan batuk, rinitis
dan faringitis, dan harus diperhatikan apakah rinitis pasien berupa infeksi, alergi
atau akibat menangis. Pembesaran nodus servikalis dan otitis media dihubungkan
dengan infeksi saluran napas.3,6
10
11
2.2.2 Perioperatif
a. Perencanaan3
Kompleksitas perencanaan tergantung dengan kebutuhan pasien dan
keluarga. Pertimbangan dalam perencanaan perioperatif termasuk:
Identifikasi setting operasi: tipe rumah sakit, lokasi operasi, tipe
admisi
Menyusun praktisi yang kompeten: anestesiologis pediatrik
disarankan terutama dengan risiko besar, serta subspesialis
anestesiologis pediatrik (bila terdapat risiko spesifik seperti
penyakit jantung)
Formulasi rencana anestesi spesifik: preparasi dan premedikasi,
perencanaan puasa, induksi (jenis induksi, parenteral), managemen
intraoperatif (monitor, analgesia), dan managemen postoperatif
(destinasi dan monitoring khusus)
Identifikasi keperluan alat khusus
12
pembukaan pada abdomen atau dada, prosedur intrakranial, bila kontrol PCO2
arteri diperlukan, dan bila ada limitasi akses karena prosedur kepala-leher atau
posisi tengkurap/lateral. Dalam intubasi trakea bayi, pemberian bantal tidak
disarankan karena oksiput besar akan menyebabkan fleksi yang dapat
mengobstruksi jalan napas. Laringoskop direk sering dipakai untuk intubasi anak.
Bilah lurus memberikan kontrol lebih terhadap lidah dan dapat mengangkat
langsung epiglotis (ujung bilah pada epiglotis). Intubasi nasotrakeal lebih susah
dilakukan terutama anak dikarenakan sering terjadi epistaksis (biasa pada
hipertrofi adenoid). Pemberian oksimetazolin 0,05% atau lidokain dengan
epinefrin dapat diberikan pada mukosa nasal untuk vasokonstriksi dan cegah
epistaksis berat. Untuk pemilihan ukuran pipa, dapat dipakai rumus:
- Diameter dalam pipa trakea tanpa kaf (mm) = 4 + ¼ umur (tahun)
- Diameter dalam pipa trakea dengan kaf (mm) = 3 + ¼ umur (tahun)
- Panjang pipa orotrakeal (cm) = diameter dalam x 3
- Panjang pipa nasotrakeal (cm) = diameter dalam x 4
Pemakaian pipa trakea tanpa kaf untuk anak <8 tahun, karena bentuk
laring berbentuk kerucut dengan cincin krikoid sirkuler (kaku) sebagai bagian
tersempit, dan kemudian menjadi lebih silinder seturut usia. Selain itu, pipa tanpa
kaf memungkinkan diameter dalam lebih besar, sehingga resistensi berkurang dan
menurunkan kerja pernapasan. Untuk bayi, dapat memakai rule of thumb “1234-
78910” dimana bayi 1kg posisi pipa 7cm dari jembatan alveolar maksila, 2kg
pada posisi 8cm dan seterusnya.
Prioritas utama postoperasi adalah mempatensikan jalan napas. Asesmen
terhadap efek residual dari agen anestetik, opiodi dan sedatif, managemen jalan
napas intraoperatif, prosedur operasi, dan tindakan postoperasi. Ketika perbaikan,
pemposisian kepala-leher penting, pada posisi supine dapat diberi bantalan
dibawah pundak atau dapat dilakukan posisi mantap/lateral. Bila ada tanda sisa
opioid, dapat diberi nalokson 0,5-1mcg/kgBB. Namun bila tidak ada perbaikan,
maka dipertimbangkan untuk reintubasi.
Pasien pediatrik dengan kesulitan jalan napas terbagi atas: kesulitan untuk
ventilasi masker, dan kesulitan untuk intubasi trakea oleh praktisi dengan
14
c. Monitoring6
Risiko henti jantung akibat anestesi ditemukan 3-5 kali lebih tinggi pada
anak dibanding dewasa. Pada anak <1 tahun, insidensi 17 per 10.000 anestesi.
Pedoman monitoring intraoperasi berdasarkan American Society of
Anesthesiologists/ASA, standar monitoring pasien adanya pengawasan
anestesiologis atau perawat anestesi, dengan peralatan monitor oksigenasi, status
elektrokardiograf, dan kecukupan ventilasi serta sirkulasi. Standar minimal
monitor oksigenasi termasuk oksigen analizer pada sirkuit pernapasan, iluminasi
untuk warna kulit, dan oksimeter. Pada intubasi trakea, perlu dilakukan deteksi
ekspirasi CO2 dengan kapnografi. Standar monitoring sirkulasi diperlukan EKG,
tekanan darah dan frekuensi nadi minimal setiap 5 menit. Selain itu, dapat
dilakukan metode lainnya berupa palpasi nadi, auskultasi suara jantung, USG nadi
perifer dan lainnya. Serta pemeriksaan temperatur harus tersedia ketika secara
klinis, terjadi perubahan temperatur tubuh.
1) Pemeriksaan fisik
Kedalaman anestesi dapat dinilai dari observasi, dimana dilihat frekuensi dan pola
napas, dan obstruksi jalan napas dapat dilihat dari retraksi dada/gerakan see-saw.
15
Warna kulit dan mukosa untuk oksigenasi adekuat dan capillary refill time untuk
curah jantung. Auskultasi dapat berguna menilai perubahan frekuensi dan
karakteristik suara jantung dan napas, sehingga dapat menilai alterasi fisiologi
pada anak.
2) EKG
Untuk anestesi pediatrik, EKG penting melihat frekuensi nadi dan tanda aritmia
dimana tersering bradikardi dan supraventrikular takikardi, serta dapat menilai
abnormalitas elektrolit. Frekuensi nadi bayi umumnya 120-160x/menit
3) Tekanan darah
Pengukuran tekanan darah dapat secara noninvasif (oksilotonometri) dan direk
(kateter arteri). Dengan noninvasif, pemasangan manset biasanya pada lengan
atas, namun bisa di lengan bawah, paha atau betis. Pengukuran direk dengan
memasukkan kateter arteri, berguna bila perlu monitoring ketat atau menilai gas
darah arteri. Biasanya memakai arteri radial, namun bisa juga arteri ulna, dorsalis
pedis, tibialis posterior & femoralis(neonatus di umbilikus/vena cava).
16
4) Temperatur
Anak berisiko timbul hipotermi atau hipertermi sebagai reaksi fisiologis, serta
risiko tinggi terjadi hipertermi malignan.
5) Output urin
Pada minggu pertama kehidupan, laju filtrasi hanya 25% dari dewasa. Neonatus
memproduksi 0,5-4ml/kgBB/jam pada 3 jam pertama kehidupan, dan pada akhir
minggu pertama produksi 0,5-5ml/kgBB/jam. Bila sudah lewat neonatus, fungsi
ginjal mulai mampu mengontrol cairan sehingga aliran urin biasa 0,5-
1ml/kgBB/jam.
17
6) Monitor gas
Monitoring gas CO2 menggunakan kapnometri pada sirkuit pernapasan, dan untuk
O2 dapat memakai oksimeter. Monitoring ini penting karena konsumsi oksigen
tinggi dan kapasitas residu fungsional sedikit sehingga risiko hipoksemia tinggi.
7) Monitor neuropsikologi
Berguna untuk menilai anestesi pada pasien dengan melihat aktivitas bioelektrik
pada kepala dan permukaan tubuh.
8) Cairan
Pemberian cairan pada anak harus ketat, sehingga disarankan dengan pompa infus
atau pemakaian mikrodrip. Kelebihan cairan dapat dilihat dari vena menonjol,
kulit memerah, tekanan darah naik, penurunan sodium dan hilangnya lipatan
kelopak mata atas. Terapi cairan dibagi atas rumatan, defisit dan pengganti.2
Kebutuhan cairan rumatan pada pediatrik dapat memakai aturan “4:2:1” :
4ml/kgBB/jam untuk 10kg pertama, 2ml/kgBB/jam pada 10kg kedua dan
1ml/kgBB/jam setiap kilogram berikutnya. Pemberian cairan D5 ½NS dengan
20mEq/L KCL cukup untuk rumatan. Pada neonatus, D5 ¼NS lebih cocok karena
kemampuan mengatur sodium masih terbatas. Hingga usia 8 tahun, butuh glukosa
6mg/kgBB/menit untuk menjaga euglikemia (40-125mg/dL); neonatus prematur
butuh 6-8mg/kgBB/menit; remaja dan dewasa hanya butuh 2mg/kgBB/menit
karena dipertahankan glikogenolisis hepatik dan glukoneogenesis.2
Pemenuhan defisit cairan dihitung memakai aturan 4:2:1, misalnya bayi
5kg tidak mendapat cairan dalam 4 jam sebelum operasi, 5kg x 4ml/kg/jam x 4
jam = 80ml. Berbeda dengan dewasa, respon bayi terhadap dehidrasi dengan
penurunan tekanan darah tanpa peningkatan frekuensi nadi. Pemberian cairan
defisit biasa ditambahkan dengan kebutuhan rumatan per jam, yaitu 50% pada jam
pertama, 25% pada jam kedua dan ketiga. Misalnya dari hitungan diatas, 5kg x
4ml/kg/jam = 20ml/jam, jadi pada jam pertama diberi 80ml x 50% + 20ml =
60ml, lalu jam kedua dan ketiga 80ml x 25% + 20ml = 40ml. Bolus dekstrosa
harus dihindari karena risiko hiperglikemi, dan cairan Ringer laktat lebih baik
dibanding normal salin karena kurang berisiko asidosis hiperkloremik.2
18
Penilaian utama adalah jalan napas anak, kemampuan bernapas dan kemampuan
melindungi napas dari darah/muntah saat ekstubasi (pelepasan alat napas bila
refleks jalan napas kembali). Ekstubasi dapat dilakukan secara dalam atau
dangkal/bangun. Ekstubasi dangkal lebih aman karena pasien sudah terbangun
dan jalan napas paten. Fase pembangunan terdiri dari tiga fase pada anak: awal,
tengah dan akhir. Fase awal dimana anak mulai batuk, gag, melawan dan meronta.
Fase ini cepat berganti ke menengah atau fase diam, dimana dapat tampak seperti
anestesi dalam, apnea atau agitasi dan menahan napas, tegang, dan desaturasi
oksigen. Dengan anak terus diam, bernapas spontan, mereka masuk fase ketiga
dimana ditandai pergerakan bermakna, fleksi paha dan batuk pada pipa trakea
yang terus memberat hingga timbul meringis dan buka mata spontan. Ekstubasi
pada fase awal atau tengah berisiko gangguan napas akibat refleks vagal, sehingga
lebih aman pada fase akhir. Penyebab lamanya bangun dari anestesi: efek residu
obat, medikasi non-anestesi, simpang neuromuskular terdepresi, hipotermi,
hipo/hiperglikemi, gangguan elektrolit dan asam-basa, hiperkapnia, dan hipoksia
otak.
2.2.3 Postoperatif
a. Manajemen nyeri2
Nyeri pada pasien pediatrik biasa diberikan opioid berupa fentanyl (1-
2mcg/kgBB), morfin (0,05-0,1mg/kgBB), hidromorfon (15mcg/kgBB), dan
meperidin (0,5mg/kgBB). Teknik penggunaan dua jenis obat ketorolac (0,5-0,75
mg/kgBB) dapat mengurangi kebutuhan opioid. Asetaminofen dapat substitusi
ketorolac. Atau dapat memakai infus epidural dengan gabungan opioid dan
anestesi lokal (bupivakain atau ropivakain dengan fentanyl 2-2,5mcg/ml).
b. Manajemen saluran napas6
Komplikasi saluran napas atas terutama laringospasme dimana penutupan
glotis memanjang yang dipertahankan stimulus dan refleks protektif sehingga
penutupan komplit korda vokalis untuk melindungi trakea dari aspirasi.
Laringospasme menyebabkan hipoksemia, bradikardi, edema pulmoner tekanan
negatif postobstruksi, regurgitasi dan aspirasi, serta henti jantung. Laringospasme
lebih sering pada anak, terutama pada anak dengan riwayat baru infeksi saluran
21
2.3 Medikasi
2.3.1 Obat Anestesi Inhalasi3
a. N2O
Nitros oksida merupakan molekul gas berat 44 Da dan rasio distribusi
gas/darah 0,47. Bila dihirup dengan konsentrasi 70%, ekuilibrium cepat antara
fraksi N2O inspirasi dan ekspirasi. Kinetik N2O cepat baik eliminasi dan difusi.
Efek Fink atau hipoksia difusi akibat N2O berdifusi cepat ke kavitas. MAC N2O
minimal 104% dan efek aditif bersamaan anestesi volatil dan intravena. Selain itu,
N2O ada efek euforia, neuroprotektif, analgesik dan antihiperalgesi karena
kerjanya pada reseptor NMDA. Karena itu 50% campuran N2O dan O2 sering
digunakan untuk sedasi dan analgesia.
b. Xenon
Merupakan gas mulia nonradioaktif, tidak berbau, tidak berwarna dan
tidak dapat terbakar. Karena kepadatan dan viskositas tinggi, maka tidak dapat
dipakai pada pasien dengan peningkatan tahanan jalan napas dan bayi prematur.
Distribusi darah/gas 0,14, MAC sebesar 70%. Xenon mudah melewati sawar dan
mencapai 90% ekuilibrum antara gas inspirasi dan konsentrasi gas alveolar dalam
5 menit pemberian. Walaupun termasuk gas mulia, xenon terikat pada protein
namun tidak melewati biotransformasi, dimana terikat pada kavitas-kavitas
protein. Seperti N2O, xenon antagonis reseptor NMDA, serta antinosiseptif poten
(mekanisme berbeda dengan opioid atau adrenergik). Dalam penelitian, xenon
dinilai neuroprotektif terhadap asfiksia neonatorum, serta menjaga stabilitas
kardiovaskular serta kardioprotektif. Akan tetapi karena produksi kurang dan
biaya, pemakaian xenon sangat terbatas.
c. Agen halogenasi
Merupakan agen molekul kecil dengan berat 168-200 Da. Mereka adalah
hidrofobik dan mudah larut darah serta jaringan. Halotan merupakan alkan
23
a. Benzodiazepin
Kerja pada sistem saraf pusat dimana memicu sedasi dengan mengaktifkan
reseptor GABAA. Indikasi ini dipakai sebagai premedikasi dan sedasi. Ketika
dipakai sebagai premedikasi, dapat menimbulkan sedatif, ankiolitik dan efek
amnesia, sehingga menjadi pilihan utama terutama pada anak tidak kooperatif atau
pasien dengan prosedur multipel. Benzodiazepin tidak memberi efek pada aliran
darah otak, tekanan intrakranial dan kardiovaskular, sehingga cocok untuk sedasi
neonatus dan pasien trauma kepala.
Dosis diberikan sebagai premedikasi anak setelah usia 3-6 bulan,
midazolam 0,3-0,5 mg/kgBB (maksimal 20mg) oral/rektal 30-40 menit sebelum
induksi, diazepam 0,1mg/kgBB 60 menit sebelum operasi. Sebagai ajun induksi,
dapat memakai 0,1-0,15mg/kgBB IM atau 0,05mg/kgBB IV. Sebagai induksi
diberikan 0,3-0,6mg/kgBB IV. Flumazenil merupakan antagonis benzodiazepin,
diberikan dengan dosis bolus 5-10mcg/kgBB/menit hingga 40-50mcg/kgBB.
b. Tiopental
Tiopental dimetabolisme oleh CYP-P450. Pada pediatrik usia > 6 bulan,
klirens lebih besar dibanding dewasa. Pada neonatus dan anak muda, kinetik tidak
berubah namun farmakodinamik berubah dengan ED50 (dosis untuk
menghilangkan refleks kelopak mata pada 50% anak) adalah 3,4 (usia 0-14 hari),
6-7 (1-6 bulan), 5,5 (6-12 bulan), dan 4,2mg/kgBB (>1 tahun).
Efek sistem saraf pusat untuk sedasi diketahui tidak meningkatkan aliran
darah otak dan tekanan intrakranial. Tiopental memicu depresi napas, karena
menurunkan sensitivitas CO2, serta menurunkan tekanan darah arteri akibat
penurunan tonus vaskular dan kontraktilitas miokardium (tidak disarankan untuk
penyakit jantung). Efek lainnya dapat memicu porfiria, dan keasaman tiopental
dapat memicu nekrosis pada area injeksi.
c. Propofol
Merupakan asam lemah, dan hidrofobik kuat sehingga mudah larut lemak
(dibuat emulsi lemak). Propofol terikat pada sel darah merah dan albumin, dan
fraksi bebas <1%. Ikatan melemah pada pasien bypass kardiopulmoner dan
penurunan albumin. Farmakokinetik berbeda tergantung usia, dimana klirens lebih
25
besar pada anak dibanding dewasa, dan volume lebih besar 2-2,5 kali anak
dibanding dewasa, serta klirens intrakompartemen 1,5 kali lebih besar pada anak.
Propofol aman untuk pasien peningkatan tekanan intrakranial, serta
menatalaksana kejang pada status epileptikus. Efek propofol mendepresi ventilasi
dengan mengurangi sensitivitas CO2. Propofol dan tiopental menurunkan
kapasitas residual fungsional. Propofol memiliki efek inotropik negatif pada dosis
tinggi, dan menurunkan tonus vaskular, serta dapat melindungi miokardium
terhadap iskemi. Sindrom infus propofol bila pemberian propofol infus >2 hari.
Hal ini akibat efek uncoupling propofol pada rantai pernapasan di mitokondria,
dapat menunjukkan gejala asidosis laktat, rhabdomiolisis, dan kolaps
kardiovaskular. Pemakaian anestesi intravena total (TIVA) untuk beberapa jam
tidak menimbulkan efek samping pada anak-anak.
Propofol dalam bentuk 1%/2% emulsi, dan ditambahkan EDTA, sodium
metabisulfit atau benzil-alkohol sebagai antimikroba. Nyeri lokasi injeksi sangat
umum dan dapat dikurangi dengan lidokain (0,5-1mg/kgBB). Mual-muntah
postoperasi lebih jarang dibanding agen volatil. Dosis umum untuk induksi <1
bulan 4mg/kgBB, 1 bulan – 3 tahun 5-6mg/kgBB, 3-8 tahun 3-5mg/kgBB, >8
tahun 3mg/kgBB. Hilang kesadaran bertahan 5-10 menit setelah injeksi.
d. Etomidat
Terdapat dua bentuk, formulasi menggunakan propilen glikol, dan emulsi
lemak. Kedua memberi efek nyeri injeksi. Induksi anestesi dengan dosis 0,2-
26
2.3.3 Opioid3,6
Bekerja pada reseptor opiat spesifik (, δ, К). Lokasi kerja utama pada
korda spinalis, medula dan substansia grissea periakueduktal. Terdapat dua
keluarga utama yaitu kerja lama hidrofilik (biasa untuk postoperasi/nyeri kronik)
morfin, dan kerja pendek (biasa untuk perioperasi) fenilpiperidin.
a. Fenilpiperidin
Fentanyl, Merupakan bentuk obat tertua, dengan waktu paruh panjang, terutama
untuk sedasi. Setelah kelahiran, klirens fentanyl dari tubuh melebihi 50% aliran
darah hati. Fentanyl disekresi ke cairan lambung, dan dapat terjadi sirkulasi
kembali dari isi lambung dan kompartemen dalam. Dosis umumnya 2-4mcg/kgBB
bolus IV dan 1-2mcg/kgBB injeksi ulang. Dosis 1-2mcg/kgBB/jam untuk infus IV
kontinu. Infus kontinu tidak disarankan bila ada rencana ekstubasi sesudah
operasi. Waktu puncaknya 5-6 menit.
b. Morfin
28
Morfin harus dititrasi pada bayi dan anak. Neonatus dan bayi <3 bulan, IV
infus kontinu biasa cukup dengan dosis 10-30mcg/kgBB/jam dan dapat diatur
berdasarkan efek dan dampak pernapasan (usia <3 bulan mudah depresi napas).
Bayi >3 bulan dan anak <10kg, IV titrasi dimulai dari bolus 50mcg/kgBB (<12
bulan), atau 100mcg/kgBB (>12 bulan). Dosis bolus diikuti 25mcg/kgBB setiap 5
menit sampai target efek. Anak <40kg biasa mendapat 75mcg/kgBB setiap 5
menit sampai dosis efektif. Dan anak >40kg dapat diberikan dosis dewasa, yaitu
3mg bolus setiap 5 menit. Selain itu, pemberian oral harus dipertimbangkan
metabolisme hepatik (hanya 10% metabolit yang aktif/M-6-G), dan kadar puncak
baru tercapai 6-9 jam. Dosis oral morfin 0,2-0,4mg/kgBB dengan dosis maksimal
20mg setiap 6 jam.
c. Opioid lainnya
- Tramadol
- Kodein
- Asetaminofen
29
b. Sugammadex
Merupakan siklodekstrin yang mengenkapsulasi aminosteroid. Bertugas
enkapsulasi rocuronium, vecuronium, dan pancuronium, sementara tidak
berfungsi untuk benzilisoquinolinium (atracurium, cisatracurium,
mivacurium).Eliminasi pada ginjal, dengan afinitas lebih pada vecuronium
dibanding rocuronium. Dosis diberikan 2mg/kgBB, namun pada keadaan darurat
misal kegagalan intubasi setelah dosis tinggi rocuronium maka diberi
12mg/kgBB.
2.3.6 Agen Antikolinergik
Terdapat dua agen berupa atropin dan glikopirolat, kedua ini kompetitor
non-selektif untuk ACh pada reseptor muskarinik. Pada anak, waktu paruh
glikopirolat sangat singkat (20 menit) karena klirens tinggi (22ml/kgBB/menit
dibanding dewasa 9ml/kgBB/menit) dimana volume distribusi anak lebih besar.
Atropin dimetabolisme di hati menjadi 1-hiosiamin (zat aktif), sementara
glikopirolat dibuang urin keadaan utuh. Agen antikolinergik memicu takikardi,
inhibisi sekresi dan picu bronkodilatasi. Atropin memicu midriasis sementara
glikopirolat tidak, dan toksisitas atropin punya risiko halusinasi/delirium, paralisis
dan syok. Dosis atropin 10-15mcg/kgBB, sementara dosis glikopirolat
4mcg/kgBB (anak) dan 9mcg/kgBB (usia 1 bulan-2 tahun). Glikopirolat yang
mengandung benzil-alkohol bersifat toksik pada bayi, sehingga pemberian tidak
boleh diulang.
2.3.7 Anestesi Lokal
Anestesi lokal memblokade propagasi impuls sepanjang serabut saraf
dengan inaktivasi kanal sodium, bekerja pada sisi sitosolik membran fosfolipid.
Komponen utama berupa: amino ester (2-kloroprokain, prokain, tetrakain) dan
amino amida (lidokain, bupivakain, ropivakain). Amino ester dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase di plasma, sementara amino amida lebih stabil dan
dimetabolisme di hati.3
32
Ropivakain dan levobupivakain lebih aman dan dapat memberi kualitas dan
durasi analgesik tinggi dengan blokade motorik sedikit. Dosis maksimal 2-
2,5mg/kgBB untuk injeksi kaudal, 1,2-1,7mg/kgBB untuk injeksi epidural
lumbal/torakal, dan 0,5mg/kgBB untuk blok perifer. Infus anestesi lokal untuk
postoperasi memakai konsentrasi kecil (0,625-1mg/ml) dengan laju maksimal
0,2mg/kgBB (neonatus), 0,3mg/kgBB (1-6 bulan), dan 0,4mg/kgBB (>6 bulan).
kontraktilitas. Akan tetapi risiko ini jarang berdiri sendiri, biasa disertai masalah
lain seperti laringospasme (20% kasus), obstruksi jalan napas, riwayat penyakit
jantung, pemakaian obat anestesi lain yang menurunkan kontraktilitas, hipovolemi
dan hiperkalemia.
2.4.4 Hipertermi Malignan13
Merupakan gangguan farmakogenetik dari otot skelet sebagai respon
hipermetabolik terhadap gas anestesi volatil seperti halotan, sevofluran, desfluran,
isofluran, dan pelumpuh otot depolarisasi (suksinilkolin). Insidensi 1:10.000 hinga
1:250.000 anestesi, ditandai hipertermia, takikardi, takipnea, peningkatan
produksi CO2, peningkatan konsumsi O2, asidosis, hiperkalemia, rigiditas otot dan
rabdomiolisis. Hal ini dikarenakan pelepasan Ca2+ intrasel tidak terkontrol dari
retikulum sarkoplasmik otot skelet, dimana akan memicu peningkatan
metabolisme otot. Pengobatan utama dengan dantrolen dimana menginhibisi
dengan mengikat protein RyR1 dimana protein yang bertanggungjawab dalam
pelepasan Ca2+.
35
BAB 3
KESIMPULAN
Anestesia pada anak berbeda dengan anestesia pada dewasa kecil. Anatomi
dan fisiologi yang berbeda, serta pengetahuan mengenai perkembangan
embriologi perlu diketahui. Karena pada anak, banyak faktor yang mempengaruhi
terutama dari cairan tubuh, anatomi & fungsi kardiovaskular, anatomi & fungsi
pernapasan, perkembangan otak, hingga metabolisme. Faktor-faktor ini akan
mempengaruhi teknik anestesi, distribusi obat, mekanisme dan dosis obat anestesi,
sehingga risiko komplikasi pada anak umumnya lebih banyak dan besar dibanding
dewasa seperti depresi napas, dan henti jantung.
Pemakaian obat anestesi pada anak memakai dosis lebih rendah dibanding
dewasa, meski demikian perlu monitor ketat dikarenakan perkembangan yang
belum matang terutama segi metabolisme dan barier (sawar), maka efektivitas
cukup tinggi. Pada bayi pula haru dipertimbangkan peredaran obat dalam tubuh,
karena tinggi lemak dan banyak obat anestesi hidrofobik maka dapat terjadi
penimbunan. Dan protein plasma yang sedikit, menyebabkan rendahnya ikatan
obat dan sering terjadi toksisitas.
Persiapan pasien anak harus secara menyeluruh, karena anak sangat rentan
terhadap kondisi emosional serta risiko komplikasi. Dalam persiapan anak,
diperlukan evaluasi mengenai kondisi ansietas pasien dan dapat dilakukan
beberapa cara untuk mengontrol dengan pengenalan, distraksi, ditemani orangtua
dan lainnya. Risiko komplikasi harus dianalisa sejak awal lewat anamnesis dan
pemeriksaan fisik hingga dibuat perencanaan. Penanganan perioperasi dan
postoperasi harus dilakukan dengan baik untuk mencegah komplikasi. Dan
memahami obat-obatan anestesi dari segi farmakokinetik, farmakodinamik, dan
toksisitas pada anak dapat membentuk perencanaan yang baik.
36
DAFTAR PUSTAKA