Anda di halaman 1dari 36

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Anestesia pada anak berbeda dengan anestesia pada dewasa, dimana


banyak faktor seperti anatomi dan fisiologi yang belum matang, salah satu yang
sering menjadi masalah adalah jalan napas.1 Pediatrik pada anestesia dibagi atas
neonatus (0-1 bulan), bayi (1-12 bulan), balita (12-24 bulan), dan anak kecil (2-12
tahun) dimana pembagian usia penting dalam menilai perkembangan organ
sehingga mengetahui perubahan anatomi dan fisiologi dikaitkan dengan masalah
anestesia.2
Di Amerika, sekitar 1 dari 33 kelahiran memiliki defek, dimana dapat
bersifat minor, namun pada 1 dari 100-200 bayi ditemukan defek jantung, diikuti
defek tabung saraf, orofasial dan traktus urinarius. Defek ini memicu risiko
penyakit tinggi dan disabilitas, serta kematian pada 20% bayi. Setiap tahunnya,
25% dari anak-anak membutuhkan tindakan medis termasuk terapi yang
membutuhkan bantuan anestesi pediatrik. Kebutuhan anak dalam anestesi
pediatrik diperkirakan lewat jumlah operasi anak sebanyak 640.000 pertahun.3
Pediatric Perioperative Cardiac Arrest (POCA) Registry memberi data
untuk mengasesmen risiko anestesi. Kasus anak mengalami henti jantung atau
kematian saat diberi obat atau saat pemulihan dari anestesi pada anestesi umum
atau digabung anestesi regional. Dalam 289 kasus henti jantung, anestesi
berkontribusi >50% (150 kasus), sehingga risiko henti jantung pada anestesi
pediatrik sekitar 1,4 dalam 10.000 anestesi. Perlu diingat, walau mortalitas pada
status fisik American Society of Anesthesiologists (ASA) 1 dan 2 hanya 4%,
namun 33% mortalitas pasien akibat henti jantung, dan 55% dari mortalitas itu
berasal dari neonatus. Tidak hanya masalah henti jantung, namun gangguan
respirasi ditemukan termasuk laringospasme, obstruksi jalan napas dan kesulitan
intubasi.2 Berkembangnya pengetahuan terhadap anestesi pediatrik terutama
anestesi umum dan toksisitas, menyebabkan kita harus memahami dunia
pediatrik. Mulai dari embriologi, anatomi, fisiologi hingga farmakologi terkait
dengan anestesi, guna mengurangi komplikasi-komplikasi anestesi tersebut.
2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Pediatrik


2.1.1 Saluran Napas
a. Tengkorak1
Tengkorak berkembang dari neurokranium membranosa dan kartilaginosa.
Neurokranium membranosa akan membentuk tulang pipih tengkorak (calvaria)
dan neurokranium kartilaginosa (kondrokranium) membentuk dasar
tengkorak/basis kranii. Pembentukan dasar tengkorak merupakan hasil proses
antara basis kranii, faring, wajah dan palatum. Pada janin, pertumbuhan cepat otak
dominan mempengaruhi pembentukan dasar tengkorak, sementara pada usia <1
tahun lebih dominan akibat nasal, dan pada anak pembentukan lebih dipengaruhi
faring karena fungsi bicara. Anak memiliki kepala dan oksiput lebih besar
dibanding badan sehingga fleksi leher memicu obstruksi jalan napas ketika posisi
supine.
b. Hidung1
Hidung berasal dari ektoderm kranial dan terdiri dari hidung ekternal dan
kavum nasal. Hidung eksternal dari tulang nasal, bagian nasal os.frontal dan
prosesus frontal dari maksila. Kavum nasal dibagi dua oleh septum nasi. Dalam
perkembangan, kavum nasal meluas dibawah pengaruh fusi prosesus palatum.
Perubahan ini menyebabkan membran yang memisahkan prosesus palatum dari
kavum oral menjadi lebih tipis dan akhirnya ruptur membentuk koana. Pasase
udara utama berasal dari konka inferior, dan ketika intubasi dengan endotracheal
tube disarankan mengikuti rute ini dengan melalui secara langsung ke belakang
mengikuti dasar hidung. Pada bagian posterior sering terasa resistensi pasase
akibat hipertrofi adenoid. Pernapasan anak dominan lewat hidung, akibat apertura
nasal anak mudah tersumbat oleh sekresi, edema atau darah akan memicu sulitnya
manajemen jalan napas.
3

c. Faring1
Jalur utama pernapasan melalui faring dimana tersambung dengan kavum
nasal, mulut dan laring. Nasofaring tersambung melalui istmus faring, dimana
tertutup saat menelan. Persarafan sensorik dari trigeminal dan glosofaring. Selama
perkembangan, kedalaman nasofaring meningkat akibat remodeling palatum serta
perubahan angulasi dasar tengkorak sehingga membentuk jalan napas hidung
membesar.
Orofaring memanjang dari palatum molle ke ujung epiglotis, dimana
menempel dengan basis lidah lewat lipatan glosoepiglotika. Persarafan sensorik
orofaring dari saraf glosofaring dan laringeal superior. Respon refleks sirkulatorik
terhadap laringoskop direk dan intubasi trakeal menyebabkan stimulasi dinding
faring oleh bilah laringoskop, respon kecil terbentuk akibat endotracheal tube
pada korda vokalis. Pada anak, inflamasi tonsil sering mengobstruksi saluran
napas. Ukuran lidah besar, dan penurunan tonus otot meningkatkan risiko
obstruksi. Pada usia <1 tahun dengan posisi supine, lidah biasa meratakan palatum
molle pada inspirasi dan menetap saat ekspirasi pasif lewat hidung.

d. Laring1,2
Merupakan organ fonasi dan proteksi trakeobrakial ketika menelan dan
batuk. Mulai berkembang pada usia 3 minggu kehamilan dengan pembentukan
tuba laringotrakeal dari dinding ventral foregut. Laring dapat diidentifikasi pada
41 hari kehamilan, kartilago krikoid dan tiroid mulai kondrifikasi pada minggu ke
7, dan glotis terbentuk pada minggu ke 10 dimana terjadi saat korda vokalis
membelah. Gangguan proses ini menyebabkan perlengketan/atresia laring.
4

Laring terdiri dari kartilago tiroid, kartilago krikoid, sepasang aritenoid


dan epiglotis, bersamaan dengan kartilago kornikulatum dan kuneiformis. Fondasi
kartilago terikat oleh ligamen, dimana bergerak mengikuti pergerakan otot laring.
Kartilago terbesar adalah kartilago tiroid, dimana terbuka secara posterior dan
membentuk prominensia laring (jakun). Sewaktu lahir, batas bawah kartilago
krikoid pada batas bawah vertebra servikal keempat.

e. Paru3,4
Perkembangan paru setelah lahir merupakan perkembangan paru postnatal,
dimana terbagi beberapa stadium, alveoli sesungguhnya yang mengandung septa
sekunder tampak pada minggu ke 36, dimulai pada fase alveolar dan berakhir
5

pada usia 1-2 tahun. Alveolarisasi postnatal dimulai pada fase pembesaran
alveolarisasi dalam 6 bulan pertama lahir. Maturasi mikrovaskular merupakan
tahap berikutnya, dimana terjadi dari beberapa bulan kelahiran hingga usia 3
tahun. Mengikuti usia, dari usia 2 tahun hingga dewasa, jaringan paru meluas
dengan volume paru mengikuti peningkatan berat badan.

2.1.2 Sistem Kardiovaskular3-5


Miokard neonatus tidak terlalu kontraktil sehingga ventrikel kurang
komplians dan kurang dalam menghasilkan tekanan ketika kontraksi yang
membatasi ukuran volume sekuncup. Parasimpatis vagus lebih dominan sehingga
mudah terjadi bradikardi. Bradikardi dihubungkan dengan penurunan curah
jantung dan memicu hipoksia sehingga perlu oksigen dan ventilasi. Curah jantung
sekitar 300-400ml/kgBB/menit saat lahir, dan 200ml/kgBB/menit setelah
beberapa bulan, atau dapat dinilai memakai rumus indeks kardiak CI = CO dibagi
luas permukaan tubuh m2 (normal pada 3,5-4,5L/menit/m2)
6

Rata-rata volume darah bayi baru lahir 85-90ml/kg, usia 6 minggu-2 tahun
85ml/kg, dan 2 tahun hingga pubertas 80ml/kg. Sel darah merah dibuat dari
kavitas medula dan spons, seturut pubertas sumsum akan digantikan lemak dan
produksi sel darah merah hanya pada bagian atas femur dan humerus, vertebra,
sternum, iga, skapula dan inominata. Untuk pembetukan sel darah merah
dibutuhkan asam amino, besi, vitamin B12 dan B6, dan asam folat.
7

2.1.3 Sistem Saraf Pusat


Otak dapat cidera akibat aliran darah ke otak berlebih seperti pada
peningkatan TIK, maka terdapat mekanisme untuk mengatur aliran darah yaitu
respon vasokonstriksi, autoregulasi tekanan dan kopeling neurovaskular. Pada
bayi matur, pembuluh darah sudah fungsional, sementara pada prematur belum
fungsional dan lebih rapuh sehingga hipoksia, hiperkarbia, hipernatremia,
manipulasi jalan napas sadar, pemberian bikarbonat dan fluktuasi tekanan
darah/aliran darah berisiko perdarahan otak. Sawar otak pada bayi belum
berkembang baik sehingga barbiturat, opioid, antibiotik dan bilirubin dapat mudah
menyebrang dan memicu lama kerja obat memanjang. Sementara narkotik
memiliki risiko tinggi depresi respon ventilasi terhadap peningkatan PaCO2. 3
Fungsi temperatur sudah berfungsi sejak lahir, bayi mengandalkan lemak
coklat (4% berat badan bayi) untuk menghasilkan panas karena fungsi menggigil,
dan vasokonstriksi masih belum maksimal. Selian itu, panas dibentuk dari
metabolisme, menggigil dan refleks pilomotor. Akan tetapi bila terus menerus
dapat menyebabkan penumpukan asam lemak bebas dan terjadi asidosis
metabolik.5

2.1.4 Metabolisme
a. Hati3
8

Tugas utama hati dalam metabolisme substansi yang diserap oleh usus,
menunjukkan bahwa hati memiliki banyak sistem enzim untuk mengubah
substansi xenobiotik. Imaturitas hati dapat mengubah fungsi pembersihan obat,
menyebabkan mudah rusak dan pemecahan produk. Metabolisme obat bayi
bergantung pada massa hati, ikatan protein dan aliran darah, serta metabolisme
enzimatik dan proses pembersihan. Metabolisme obat menyertakan proses
perubahan struktur kimia, diikuti konjugasi supaya lebih polar (larut air), sehingga
dapat diekskresi lewat urin.
b. Ginjal3,4
Filtrasi glomerulus merupakan proses air dan zat terlarut melewati
membran glomerulus. Ultrafiltrat merupakan plasma dengan protein sangat kecil.
Pada pediatrik, berat ginjal dan laju filtrasi glomerulus/GFR berkorelasi dengan
luas permukaan. Luas permukaan tubuh berdasarkan rumus BSA (m2) = 0,024265
x Berat0,5378 x Tinggi0,3964. Filtrasi dimulai sejak janin minggu ke 9, pada prematur
minggu ke 30 mencapai 12mL/min/1,73m2, dan bayi matur 20mL/min/1,73m2.
Maturasi terjadi cepat pada postnatal dengan GFR meningkat 2 kali lipat dalam 2
minggu, dan GFR dewasa dicapai saat usia 18-24 bulan. GFR rendah diakibatkan
vasokonstriksi lewat sistem renin-angiotensin untuk adaptasi kehilangan cairan
dan elektrolit berlebih karena tubulus masih imatur. Dampak tubulus imatur
tampak pada ekskresi natrium cukup tinggi pada bayi (terutama prematur)
sehingga pada minggu pertama kelahiran ekskresi lebih banyak dibanding intake,
sementara ekskresi bikarbonat baru terkontrol pada usia 1 tahun. Namun pada
tubulus imatur, kalium dan fosfat mengalami ekskresi lebih sedikit dibanding
dewasa. Pengaturan ekskresi air sudah dimiliki sejak hari kedua lahir, dengan
minimal 1mL/kg/jam.

2.2 Manajemen Anestesi Pediatrik


2.2.1 Preoperatif
a. Kunjungan preanestetik
Kunjungan preanestetik diperlukan untuk meninjau rekam medis terutama
berhubungan riwayat anestesi sebelumnya dan masalah, teknik manajemen jalan
9

napas, dan riwayat penyakit kardiorespirasi atau anomali saluran napas. Bayi dan
anak memiliki risiko tinggi kematian terkait anestesi, terutama akibat komplikasi
pernapasan dan jantung. Klasifikasi ASA tidak didesain utnuk anak sehingga
kurang akurat sebagai prediktor. Risiko komplikasi pernapasan anak termasuk
laringospasme, bronkospasme, hipoksia dan stridor postekstubasi. Faktor risiko
komplikasi adalah infeksi saluran napas atas, asma, obstructive sleep apnea/OSA,
displasia bronkopulmoner, obesitas, perokok pasif, riwayat keluarga asma/atopik,
serta kondisi spesial (seperti sindrom Down).6
Identifikasi masalah psikologis diperlukan karena kondisi perioperatif
dapat memicu stres bagi anak dan keluarga. Ansietas dan prilaku stres sering pada
anak, dan diasosiasikan dengan hasil postoperatif dimana muncul delirium,
peningkatan nyeri, pemakaian analgesik berlebih, ansietas dan kesulitan tidur.
Konsultasi preoperasi diperlukan untuk membina raport dengan anak dan
mengurangi ansietas dan distres. Penilaian ansietas dapat memakai skoring seperti
modified Yale Preoperative Anxiety Scale. Untuk mengurangi risiko stres, dapat
dilakukan intervensi kognitif (distraksi, hipnosis), intervensi orangtua (akupuntur,
psikoedukasi), dan intervensi kontekstual (kehadiran orangtua, ruang induksi,
pakai pakaian sendiri). Selain itu, edukasi diperlukan kepada anak dan orang tua
mengenai perioperasi. Anak kecil lebih tertarik terhadap pengenalan ruang
operasi, sementara anak remaja dilakukan pendekatan lewat jenis anestesi,
prosedur, nyeri dan komplikasi.6
Pemeriksaan fisik pada bayi untuk operasi minor dapat dinilai dari segi
nutrisi, warna kulit, pernapasan, dan adanya sekret hidung. Saat memeriksa anak,
perlu diperhatikan beberapa hal. Usia 4-8 tahun, anak harus dicek giginya karena
gigi susu mulai lepas. Penilaian infeksi saluran napas anak dengan batuk, rinitis
dan faringitis, dan harus diperhatikan apakah rinitis pasien berupa infeksi, alergi
atau akibat menangis. Pembesaran nodus servikalis dan otitis media dihubungkan
dengan infeksi saluran napas.3,6
10
11

2.2.2 Perioperatif
a. Perencanaan3
Kompleksitas perencanaan tergantung dengan kebutuhan pasien dan
keluarga. Pertimbangan dalam perencanaan perioperatif termasuk:
 Identifikasi setting operasi: tipe rumah sakit, lokasi operasi, tipe
admisi
 Menyusun praktisi yang kompeten: anestesiologis pediatrik
disarankan terutama dengan risiko besar, serta subspesialis
anestesiologis pediatrik (bila terdapat risiko spesifik seperti
penyakit jantung)
 Formulasi rencana anestesi spesifik: preparasi dan premedikasi,
perencanaan puasa, induksi (jenis induksi, parenteral), managemen
intraoperatif (monitor, analgesia), dan managemen postoperatif
(destinasi dan monitoring khusus)
 Identifikasi keperluan alat khusus
12

b. Manajemen jalan napas3,6


Peralatan untuk jalan napas perlu dipersiapkan sebelum pasien datang,
terdiri dari sungkup, laringoskop dan bilahnya, tracheal pipe, oral airway,
laryngeal mask dan kateter suction. Pemberian suksinilkolin 4-5mg/kgBB IM
harus tersedia bila timbul laringospasme. Ventilasi sungkup harus disesuaikan
ukuran dengan hidung dan mulut. Saat induksi inhalan, sungkup menutupi
hidung-mulut dan dipertahankan selama stadium rangsangan. Sesudah hilang
kesadaran, pemberian tekanan positif kontinu 5-10cmH2O. Triple manuver terdiri
dari head tilt, chin lift, dan jaw thrust guna mengembalikan patensi jalan napas
dan mengurangi obstruksi. Oral airway berguna untuk anak yang terbangun
dengan mencegah menggigit tracheal tube dan patensi jalan napas sesudah
ekstubasi. Pemasangan laryngeal mask semakin sulit pada usia pasien semakin
muda, jaw thrust dapat membantu dengan memposisikan epiglotis terangkat dan
memungkinkan ujung masker masuk ke spingter esofagus atas tanpa melipat
epiglotis.

Intubasi trakea diindikasikan berdasarkan jenis operasi dan risiko aspirasi


dari isi lambung. Sebagai aturan umum, intubasi diindikasikan pada prosedur
13

pembukaan pada abdomen atau dada, prosedur intrakranial, bila kontrol PCO2
arteri diperlukan, dan bila ada limitasi akses karena prosedur kepala-leher atau
posisi tengkurap/lateral. Dalam intubasi trakea bayi, pemberian bantal tidak
disarankan karena oksiput besar akan menyebabkan fleksi yang dapat
mengobstruksi jalan napas. Laringoskop direk sering dipakai untuk intubasi anak.
Bilah lurus memberikan kontrol lebih terhadap lidah dan dapat mengangkat
langsung epiglotis (ujung bilah pada epiglotis). Intubasi nasotrakeal lebih susah
dilakukan terutama anak dikarenakan sering terjadi epistaksis (biasa pada
hipertrofi adenoid). Pemberian oksimetazolin 0,05% atau lidokain dengan
epinefrin dapat diberikan pada mukosa nasal untuk vasokonstriksi dan cegah
epistaksis berat. Untuk pemilihan ukuran pipa, dapat dipakai rumus:
- Diameter dalam pipa trakea tanpa kaf (mm) = 4 + ¼ umur (tahun)
- Diameter dalam pipa trakea dengan kaf (mm) = 3 + ¼ umur (tahun)
- Panjang pipa orotrakeal (cm) = diameter dalam x 3
- Panjang pipa nasotrakeal (cm) = diameter dalam x 4
Pemakaian pipa trakea tanpa kaf untuk anak <8 tahun, karena bentuk
laring berbentuk kerucut dengan cincin krikoid sirkuler (kaku) sebagai bagian
tersempit, dan kemudian menjadi lebih silinder seturut usia. Selain itu, pipa tanpa
kaf memungkinkan diameter dalam lebih besar, sehingga resistensi berkurang dan
menurunkan kerja pernapasan. Untuk bayi, dapat memakai rule of thumb “1234-
78910” dimana bayi 1kg posisi pipa 7cm dari jembatan alveolar maksila, 2kg
pada posisi 8cm dan seterusnya.
Prioritas utama postoperasi adalah mempatensikan jalan napas. Asesmen
terhadap efek residual dari agen anestetik, opiodi dan sedatif, managemen jalan
napas intraoperatif, prosedur operasi, dan tindakan postoperasi. Ketika perbaikan,
pemposisian kepala-leher penting, pada posisi supine dapat diberi bantalan
dibawah pundak atau dapat dilakukan posisi mantap/lateral. Bila ada tanda sisa
opioid, dapat diberi nalokson 0,5-1mcg/kgBB. Namun bila tidak ada perbaikan,
maka dipertimbangkan untuk reintubasi.
Pasien pediatrik dengan kesulitan jalan napas terbagi atas: kesulitan untuk
ventilasi masker, dan kesulitan untuk intubasi trakea oleh praktisi dengan
14

laringoskop direk. Untuk menilai dan mempertimbangkan rencana primer dan


sekunder, dapat menggunakan akronim AVAD (Anesthesia, Ventilation, Adjuncts,
Devices).

c. Monitoring6
Risiko henti jantung akibat anestesi ditemukan 3-5 kali lebih tinggi pada
anak dibanding dewasa. Pada anak <1 tahun, insidensi 17 per 10.000 anestesi.
Pedoman monitoring intraoperasi berdasarkan American Society of
Anesthesiologists/ASA, standar monitoring pasien adanya pengawasan
anestesiologis atau perawat anestesi, dengan peralatan monitor oksigenasi, status
elektrokardiograf, dan kecukupan ventilasi serta sirkulasi. Standar minimal
monitor oksigenasi termasuk oksigen analizer pada sirkuit pernapasan, iluminasi
untuk warna kulit, dan oksimeter. Pada intubasi trakea, perlu dilakukan deteksi
ekspirasi CO2 dengan kapnografi. Standar monitoring sirkulasi diperlukan EKG,
tekanan darah dan frekuensi nadi minimal setiap 5 menit. Selain itu, dapat
dilakukan metode lainnya berupa palpasi nadi, auskultasi suara jantung, USG nadi
perifer dan lainnya. Serta pemeriksaan temperatur harus tersedia ketika secara
klinis, terjadi perubahan temperatur tubuh.
1) Pemeriksaan fisik
Kedalaman anestesi dapat dinilai dari observasi, dimana dilihat frekuensi dan pola
napas, dan obstruksi jalan napas dapat dilihat dari retraksi dada/gerakan see-saw.
15

Warna kulit dan mukosa untuk oksigenasi adekuat dan capillary refill time untuk
curah jantung. Auskultasi dapat berguna menilai perubahan frekuensi dan
karakteristik suara jantung dan napas, sehingga dapat menilai alterasi fisiologi
pada anak.
2) EKG
Untuk anestesi pediatrik, EKG penting melihat frekuensi nadi dan tanda aritmia
dimana tersering bradikardi dan supraventrikular takikardi, serta dapat menilai
abnormalitas elektrolit. Frekuensi nadi bayi umumnya 120-160x/menit

3) Tekanan darah
Pengukuran tekanan darah dapat secara noninvasif (oksilotonometri) dan direk
(kateter arteri). Dengan noninvasif, pemasangan manset biasanya pada lengan
atas, namun bisa di lengan bawah, paha atau betis. Pengukuran direk dengan
memasukkan kateter arteri, berguna bila perlu monitoring ketat atau menilai gas
darah arteri. Biasanya memakai arteri radial, namun bisa juga arteri ulna, dorsalis
pedis, tibialis posterior & femoralis(neonatus di umbilikus/vena cava).
16

4) Temperatur
Anak berisiko timbul hipotermi atau hipertermi sebagai reaksi fisiologis, serta
risiko tinggi terjadi hipertermi malignan.
5) Output urin
Pada minggu pertama kehidupan, laju filtrasi hanya 25% dari dewasa. Neonatus
memproduksi 0,5-4ml/kgBB/jam pada 3 jam pertama kehidupan, dan pada akhir
minggu pertama produksi 0,5-5ml/kgBB/jam. Bila sudah lewat neonatus, fungsi
ginjal mulai mampu mengontrol cairan sehingga aliran urin biasa 0,5-
1ml/kgBB/jam.
17

6) Monitor gas
Monitoring gas CO2 menggunakan kapnometri pada sirkuit pernapasan, dan untuk
O2 dapat memakai oksimeter. Monitoring ini penting karena konsumsi oksigen
tinggi dan kapasitas residu fungsional sedikit sehingga risiko hipoksemia tinggi.
7) Monitor neuropsikologi
Berguna untuk menilai anestesi pada pasien dengan melihat aktivitas bioelektrik
pada kepala dan permukaan tubuh.
8) Cairan
Pemberian cairan pada anak harus ketat, sehingga disarankan dengan pompa infus
atau pemakaian mikrodrip. Kelebihan cairan dapat dilihat dari vena menonjol,
kulit memerah, tekanan darah naik, penurunan sodium dan hilangnya lipatan
kelopak mata atas. Terapi cairan dibagi atas rumatan, defisit dan pengganti.2
Kebutuhan cairan rumatan pada pediatrik dapat memakai aturan “4:2:1” :
4ml/kgBB/jam untuk 10kg pertama, 2ml/kgBB/jam pada 10kg kedua dan
1ml/kgBB/jam setiap kilogram berikutnya. Pemberian cairan D5 ½NS dengan
20mEq/L KCL cukup untuk rumatan. Pada neonatus, D5 ¼NS lebih cocok karena
kemampuan mengatur sodium masih terbatas. Hingga usia 8 tahun, butuh glukosa
6mg/kgBB/menit untuk menjaga euglikemia (40-125mg/dL); neonatus prematur
butuh 6-8mg/kgBB/menit; remaja dan dewasa hanya butuh 2mg/kgBB/menit
karena dipertahankan glikogenolisis hepatik dan glukoneogenesis.2
Pemenuhan defisit cairan dihitung memakai aturan 4:2:1, misalnya bayi
5kg tidak mendapat cairan dalam 4 jam sebelum operasi, 5kg x 4ml/kg/jam x 4
jam = 80ml. Berbeda dengan dewasa, respon bayi terhadap dehidrasi dengan
penurunan tekanan darah tanpa peningkatan frekuensi nadi. Pemberian cairan
defisit biasa ditambahkan dengan kebutuhan rumatan per jam, yaitu 50% pada jam
pertama, 25% pada jam kedua dan ketiga. Misalnya dari hitungan diatas, 5kg x
4ml/kg/jam = 20ml/jam, jadi pada jam pertama diberi 80ml x 50% + 20ml =
60ml, lalu jam kedua dan ketiga 80ml x 25% + 20ml = 40ml. Bolus dekstrosa
harus dihindari karena risiko hiperglikemi, dan cairan Ringer laktat lebih baik
dibanding normal salin karena kurang berisiko asidosis hiperkloremik.2
18

Kebutuhan cairan pengganti dibagi menjadi kehilangan darah dan hilang


celah ketiga. Volume darah prematur 100ml/kgBB, aterm 85-90ml/kgBB, dan bayi
80ml/kgBB. Terjadi perubahan hematokrit dimana dari 55% dapat turun ke 30%
pada usia 3 bulan dan naik kembali ke 35% pada usia 6 bulan akibat perubahan
hemoglobin dari 75% HbF jadi 100% HbA. Kekurangan darah dapat diganti
kristaloid tanpa glukosa (1ml darah = 3ml kristaloid), atau koloid (1ml darah =
1ml koloid).2 Transfusi pada pediatrik boleh dilakukan bila Hb <10g/dL, dan
wajib bila Hb <6g/dL. Pemberian packed red cell/PRC dengan dosis 10ml/kgBB
dapat meningkatkan Hb 1-2 g/dL. Transfusi fresh frozen plasma/FFP hanya
diindikasikan bila pengembalian darurat efek warfarin, koreksi perdarahan
koagulopati (peningkatan PT/APTT), atau koreksi perdarahan koagulopati dengan
transfusi masif. Dosis FFP pediatrik 10-20ml/kgBB. Sementara transfusi platelet
bila platelet <100x106/dL (prematur sakit) atau <50x106/dL (prematur sehat), atau
dapat dipersiapkan bila platelet antara 50-100x106/dL dengan rencana operasi
invasif. Dosis platelet 1 IU/10kgBB akan meningkatkan 50x106/dL.6
Kehilangan “celah ketiga” tidak dapat diukur dan hanya dapat
diperkirakan berdasarkan prosedur bedah. Pedoman utama diberikan 0-
2ml/kgBB/jam pada pembedahan atraumatik (misal koreksi strabismus) dan 6-
10ml/kgBB/jam pada pembedahan traumatik (misal abses abdominal).2
9) Induksi, pemeliharaan dan bangun dari anestesi3
Preparasi ruang operasi disingkat menjadi Suction, stylet and solution,
Airways oral and nasal, Laryngoscope, Tubes, Equipment, Drugs (SALTED).
Untuk monitoring perlu disiapkan EKG, tekanan darah, oksimetri, CO 2 tidal-akhir,
temperatur dan monitor opsional (monitor kedalaman anestesi, oksigenasi serebral
dan monitor invasif). Pengobatan darurat yang perlu disediakan adalah atropin,
suksinilkolin, propofol dan obat inotropik.
Metoda induksi anestesi dimulai dengan menghilangkan ansietas
(anksiolisis). Untuk menurunkan ansietas, dapat dengan kehadiran orangtua
(untuk usia 1-6 tahun) serta orangtua perlu diedukasi pula mengenai reaksi anak
(menangis, perlawanan, pergerakan involunter). Teknik distraksi dengan memakai
buku gambar, cerita, video dan website digunakan untuk mengendalikan emosi
19

dan ansietas. Sedasi farmakologi tersering dengan midazolam sebagai premedikasi


(dapat memakai midazolam oral dengan perasa), karena efek anksiolitik perlahan
dan memungkinkan separasi dengan orangtua secara baik. Alternatifnya dapat
diberi ketamin oral 5-6mg/kgB dengan efek samping mual-muntah postoperasi,
klonidin 2mcg/kgBB dan dexmedetomedin 2mcg/kgBB dengan efek samping
bradikardi dan anestesi memanjang.
Induksi anestesi adalah transisi dari terbangun menjadi kondisi teranestesi,
dimana memakai inhalasi, intravena, intramuskular atau rektal. Induksi inhalasi
dapat dimulai dengan oksigen 5-7L/menit dengan N2O 70% hingga tidak ada
respon verbal. Kemudian dilakukan peningkatan sevofluran hingga 8% dan
menurunkan aliran udara jadi 3-4L/menit. Berikutnya dapat dilakukan
pemasangan jalur IV serta pemberian propofol (N2O boleh distop), dan
dipasangkan LMA/pipa trakea. Anestesi dilanjutkan dengan sevofluran 8% dalam
100% oksigen. Induksi intravena dimulai dengan pemberian propofol (dapat
diberi lidokain untuk pereda nyeri atau N2O 70%) atau alternatifnya bisa ketamin,
etomidat (biasa untuk syok sepsis), dan tiopental (waktu bangun lama karena
metabolisme lambat). Intramuskular dengan ketamin jarang dilakukan karena
nyeri suntik. Induksi rektal (biasa dipakai anak <5 tahun) sudah jarang dipakai
karena kadar sulit terkontrol, risiko laringospasme dan waktu bangun lambat,
dimana dapat diberi metoheksital 15-25mg/kgBB, midazolam, ketamin atau
tiopental.
Pemeliharaan anestesi biasa dengan anestesi inhalasi (isofluran, sevofluran
dan desfluran). Ketiga anestesi ini menjaga homeostasis kardiorespiratorik, namun
desfluran dapat memicu resistensi paru pada penderita asma berat. Kecepatan
bangun dari desfluran lebih cepat dibanding isofluran dan sevofluran. TIVA
dipakai terutama pada pasien dengan riwayat hipertermia malignan, operasi
vertebra, dan riwayat mual-muntah hebat perioperatif. TIVA biasa menggunakan
propofol dan ketamin.
Pembangunan dan pemulihan dari anestesi dimulai dengan menurunkan
inhalasi atau infus obat IV. Blokade neuromuskular diantagonis dan fungsi
simpang neuromuskular diases sebelum ekstubasi, serta manajemen jalan napas.
20

Penilaian utama adalah jalan napas anak, kemampuan bernapas dan kemampuan
melindungi napas dari darah/muntah saat ekstubasi (pelepasan alat napas bila
refleks jalan napas kembali). Ekstubasi dapat dilakukan secara dalam atau
dangkal/bangun. Ekstubasi dangkal lebih aman karena pasien sudah terbangun
dan jalan napas paten. Fase pembangunan terdiri dari tiga fase pada anak: awal,
tengah dan akhir. Fase awal dimana anak mulai batuk, gag, melawan dan meronta.
Fase ini cepat berganti ke menengah atau fase diam, dimana dapat tampak seperti
anestesi dalam, apnea atau agitasi dan menahan napas, tegang, dan desaturasi
oksigen. Dengan anak terus diam, bernapas spontan, mereka masuk fase ketiga
dimana ditandai pergerakan bermakna, fleksi paha dan batuk pada pipa trakea
yang terus memberat hingga timbul meringis dan buka mata spontan. Ekstubasi
pada fase awal atau tengah berisiko gangguan napas akibat refleks vagal, sehingga
lebih aman pada fase akhir. Penyebab lamanya bangun dari anestesi: efek residu
obat, medikasi non-anestesi, simpang neuromuskular terdepresi, hipotermi,
hipo/hiperglikemi, gangguan elektrolit dan asam-basa, hiperkapnia, dan hipoksia
otak.
2.2.3 Postoperatif
a. Manajemen nyeri2
Nyeri pada pasien pediatrik biasa diberikan opioid berupa fentanyl (1-
2mcg/kgBB), morfin (0,05-0,1mg/kgBB), hidromorfon (15mcg/kgBB), dan
meperidin (0,5mg/kgBB). Teknik penggunaan dua jenis obat ketorolac (0,5-0,75
mg/kgBB) dapat mengurangi kebutuhan opioid. Asetaminofen dapat substitusi
ketorolac. Atau dapat memakai infus epidural dengan gabungan opioid dan
anestesi lokal (bupivakain atau ropivakain dengan fentanyl 2-2,5mcg/ml).
b. Manajemen saluran napas6
Komplikasi saluran napas atas terutama laringospasme dimana penutupan
glotis memanjang yang dipertahankan stimulus dan refleks protektif sehingga
penutupan komplit korda vokalis untuk melindungi trakea dari aspirasi.
Laringospasme menyebabkan hipoksemia, bradikardi, edema pulmoner tekanan
negatif postobstruksi, regurgitasi dan aspirasi, serta henti jantung. Laringospasme
lebih sering pada anak, terutama pada anak dengan riwayat baru infeksi saluran
21

napas atas. Penatalaksanaan dengan pemberian CPAP dan 100% oksigen,


pendalaman anestesi (propofol IV), dan bila hipoksemia timbul dapat diberi
suksinilkolin. Bila timbul edema pulmoner maka dapat dipertimbangkan
pemberian furosemid. Aspirasi isi lambung jarang terjadi pada anak, dan bila
terjadi aspirasi namun dalam 2 jam tidak ada gejala maka dapat dinilai tidak ada
risiko komplikasi pernapasan. Risiko aspirasi meningkat pada operasi darurat,
obstruksi usus, usia muda dan ASA status 3/4. Dan komplikasi terakhir berupa
croup postintubasi ditandai stridor, suara serak, batuk kasar dan bila berat dapat
timbul distres napas. Penyebabnya adalah restriksi aliran udara akibat edema
trakea dari trauma atau iskemi. Penatalaksanaan dapat diberikan humidifier atau
deksametason 0,5mg/kgBB hingga 10mg.
c. Manajemen mual-muntah3
Insiden mual-muntah postoperatif tergantung individu, anestesi, dan
operasi (inguinal, tonsilektomi, strabismus dan lainnya). Risiko mual-muntah
meningkat pada usia ≥3 tahun, durasi operasi ≥30 menit, operasi strabismus dan
riwayat mual-muntah postoperasi. Pasien harus dipuasakan sebelum operasi dan
tidak boleh dipaksa minum postoperasi. Anak harus diberi cairan IV dan memilih
NSAID dibanding opioid. Dapat pula diberikan profilaksis antiemetik dengan
deksametason atau antagonis reseptor serotonin (seperti ondansentron 0,05-
0,15mg/kgBB).
d. Manajemen psikologi3,7
Agitasi saat terbangun dan post-traumatic stress disorder (PTSD) dapat
terjadi. Pemakaian desfluran dan sevofluran dapat memicu agitasi saat
terbangun/emergence delirium (ED). Pada anak lebih sering karena sifat anak
lebih emosional dan impulsif, serta risiko meningkat pada timbulnya nyeri
postoperasi. Insiden ED memuncak pada anak usia 2-6 tahun, dengan penyebab
tersering sevofluran>desfluran>isofluran>>TIVA, bertahan 10-15 menit, dan
dapat hilang spontan atau diberi satu dosis propofol, midazolam, klonidin,
dexmedetomidin, ketamin atau opioid, dan dapat dicegah dengan penambahan
N2O, midazolam dan analgetik. Penyebabnya karena terjadi inhibisi pada pusat
dan memicu ketidakseimbangan neurotransmiter. Kegagalan dalam
22

menghilangkan kewaspadaan saat anestesi, menyebabkan anak mengalami


pengalaman buruk terutama bila terdapat nyeri, dan akibat hospitalisasi sehingga
timbul risiko PTSD.

2.3 Medikasi
2.3.1 Obat Anestesi Inhalasi3
a. N2O
Nitros oksida merupakan molekul gas berat 44 Da dan rasio distribusi
gas/darah 0,47. Bila dihirup dengan konsentrasi 70%, ekuilibrium cepat antara
fraksi N2O inspirasi dan ekspirasi. Kinetik N2O cepat baik eliminasi dan difusi.
Efek Fink atau hipoksia difusi akibat N2O berdifusi cepat ke kavitas. MAC N2O
minimal 104% dan efek aditif bersamaan anestesi volatil dan intravena. Selain itu,
N2O ada efek euforia, neuroprotektif, analgesik dan antihiperalgesi karena
kerjanya pada reseptor NMDA. Karena itu 50% campuran N2O dan O2 sering
digunakan untuk sedasi dan analgesia.
b. Xenon
Merupakan gas mulia nonradioaktif, tidak berbau, tidak berwarna dan
tidak dapat terbakar. Karena kepadatan dan viskositas tinggi, maka tidak dapat
dipakai pada pasien dengan peningkatan tahanan jalan napas dan bayi prematur.
Distribusi darah/gas 0,14, MAC sebesar 70%. Xenon mudah melewati sawar dan
mencapai 90% ekuilibrum antara gas inspirasi dan konsentrasi gas alveolar dalam
5 menit pemberian. Walaupun termasuk gas mulia, xenon terikat pada protein
namun tidak melewati biotransformasi, dimana terikat pada kavitas-kavitas
protein. Seperti N2O, xenon antagonis reseptor NMDA, serta antinosiseptif poten
(mekanisme berbeda dengan opioid atau adrenergik). Dalam penelitian, xenon
dinilai neuroprotektif terhadap asfiksia neonatorum, serta menjaga stabilitas
kardiovaskular serta kardioprotektif. Akan tetapi karena produksi kurang dan
biaya, pemakaian xenon sangat terbatas.
c. Agen halogenasi
Merupakan agen molekul kecil dengan berat 168-200 Da. Mereka adalah
hidrofobik dan mudah larut darah serta jaringan. Halotan merupakan alkan
23

ditambah bromida, klorida dan fluorida. Isofluran, sevofluran dan desfluran


merupakan eter, ditambahkan klorida dan fluorida (isofluran) atau hanya fluorida
(desfluran dan sevofluran).
Prinsip kerjanya adalah provokasi imobilitas melalui efek pada korda
spinalis. Selain teori Meyer-Overton, dimana efek poten anestesi berbanding lurus
dengan kelarutannya terhadap lemak, mekanisme kerja agen tampak pada kanal
ion dan reseptor korda spinalis serta otak. Mereka meningkatkan aktivitas GABA
dan reseptor glisin, inhibisi reseptor glutamat, serta inhibisi reseptor nikotinik.
Inhibitor NMDA merupakan protektor reperfusi iskemia dan mensupresi
hiperalgesia akibat operasi, namun memicu apoptosis pada otak berkembang.
Semua agen halogenasi akan terikat albumin dengan urutan:
desfluran>isofluran>halotan>sevofluran. Agen halogenasi diserap dan dieliminasi
lewat hubungan darah-alveolar. Agen ini hidrofobik, distribusi pada kompartemen
dalam, dan dapat ditemukan sisa pada beberapa minggu setelah anestesi.
Hidrofobisitas memudahkan transfer cepat ke kompartemen dan diserap lemak,
sehingga pada agen dengan solubilitas rendah mudah mencapai saturasi (pseudo-
steady state).
Farmakokinetik dimulai dari inhalasi gas berupa uap, transfer dari gas
alveolar ke darah secara cepat, dan distribusi ke kompartemen perifer, termasuk
otak. Eliminasi melalui cara sama, namun sejumlah obat akan dimetabolisme hati.
Pengambilan dan eliminasi anestesi volatil tergantung pula curah jantung dan
ventilasi. Volume kompartemen sentral tergantung curah jantung dan klirens;
klirens tergantung ventilasi per menit dan curah jantung. Ventilasi ekuivalen
dengan klirens intrinsik (metabolik), sementara curah jantung dengan aliran darah
hati. Sekitar 40% halotan dieliminasi oleh metabolisme hati.

2.3.2 Obat Anestesi Intravena3,6


24

a. Benzodiazepin
Kerja pada sistem saraf pusat dimana memicu sedasi dengan mengaktifkan
reseptor GABAA. Indikasi ini dipakai sebagai premedikasi dan sedasi. Ketika
dipakai sebagai premedikasi, dapat menimbulkan sedatif, ankiolitik dan efek
amnesia, sehingga menjadi pilihan utama terutama pada anak tidak kooperatif atau
pasien dengan prosedur multipel. Benzodiazepin tidak memberi efek pada aliran
darah otak, tekanan intrakranial dan kardiovaskular, sehingga cocok untuk sedasi
neonatus dan pasien trauma kepala.
Dosis diberikan sebagai premedikasi anak setelah usia 3-6 bulan,
midazolam 0,3-0,5 mg/kgBB (maksimal 20mg) oral/rektal 30-40 menit sebelum
induksi, diazepam 0,1mg/kgBB 60 menit sebelum operasi. Sebagai ajun induksi,
dapat memakai 0,1-0,15mg/kgBB IM atau 0,05mg/kgBB IV. Sebagai induksi
diberikan 0,3-0,6mg/kgBB IV. Flumazenil merupakan antagonis benzodiazepin,
diberikan dengan dosis bolus 5-10mcg/kgBB/menit hingga 40-50mcg/kgBB.
b. Tiopental
Tiopental dimetabolisme oleh CYP-P450. Pada pediatrik usia > 6 bulan,
klirens lebih besar dibanding dewasa. Pada neonatus dan anak muda, kinetik tidak
berubah namun farmakodinamik berubah dengan ED50 (dosis untuk
menghilangkan refleks kelopak mata pada 50% anak) adalah 3,4 (usia 0-14 hari),
6-7 (1-6 bulan), 5,5 (6-12 bulan), dan 4,2mg/kgBB (>1 tahun).
Efek sistem saraf pusat untuk sedasi diketahui tidak meningkatkan aliran
darah otak dan tekanan intrakranial. Tiopental memicu depresi napas, karena
menurunkan sensitivitas CO2, serta menurunkan tekanan darah arteri akibat
penurunan tonus vaskular dan kontraktilitas miokardium (tidak disarankan untuk
penyakit jantung). Efek lainnya dapat memicu porfiria, dan keasaman tiopental
dapat memicu nekrosis pada area injeksi.
c. Propofol
Merupakan asam lemah, dan hidrofobik kuat sehingga mudah larut lemak
(dibuat emulsi lemak). Propofol terikat pada sel darah merah dan albumin, dan
fraksi bebas <1%. Ikatan melemah pada pasien bypass kardiopulmoner dan
penurunan albumin. Farmakokinetik berbeda tergantung usia, dimana klirens lebih
25

besar pada anak dibanding dewasa, dan volume lebih besar 2-2,5 kali anak
dibanding dewasa, serta klirens intrakompartemen 1,5 kali lebih besar pada anak.
Propofol aman untuk pasien peningkatan tekanan intrakranial, serta
menatalaksana kejang pada status epileptikus. Efek propofol mendepresi ventilasi
dengan mengurangi sensitivitas CO2. Propofol dan tiopental menurunkan
kapasitas residual fungsional. Propofol memiliki efek inotropik negatif pada dosis
tinggi, dan menurunkan tonus vaskular, serta dapat melindungi miokardium
terhadap iskemi. Sindrom infus propofol bila pemberian propofol infus >2 hari.
Hal ini akibat efek uncoupling propofol pada rantai pernapasan di mitokondria,
dapat menunjukkan gejala asidosis laktat, rhabdomiolisis, dan kolaps
kardiovaskular. Pemakaian anestesi intravena total (TIVA) untuk beberapa jam
tidak menimbulkan efek samping pada anak-anak.
Propofol dalam bentuk 1%/2% emulsi, dan ditambahkan EDTA, sodium
metabisulfit atau benzil-alkohol sebagai antimikroba. Nyeri lokasi injeksi sangat
umum dan dapat dikurangi dengan lidokain (0,5-1mg/kgBB). Mual-muntah
postoperasi lebih jarang dibanding agen volatil. Dosis umum untuk induksi <1
bulan 4mg/kgBB, 1 bulan – 3 tahun 5-6mg/kgBB, 3-8 tahun 3-5mg/kgBB, >8
tahun 3mg/kgBB. Hilang kesadaran bertahan 5-10 menit setelah injeksi.

d. Etomidat
Terdapat dua bentuk, formulasi menggunakan propilen glikol, dan emulsi
lemak. Kedua memberi efek nyeri injeksi. Induksi anestesi dengan dosis 0,2-
26

0,3mg/kgBB pada anak gangguan kardiovaskular, dan 0,3-0,6mg/kgBB pada anak


normal. Pemberian rektal dapat dilakukan dengan dosis 6-8mg/kgBB, pemberian
kontinu tidak dianjurkan karena supresi sintesis kortisol.
e. Ketamin
Ketamin, dengan fraksi bebas 40% ketamin dan 50% norketamin,
dimetabolisme oleh CYP2B6 dan CYP3A4. N-demetilasi menghasilkan
norketamin, dimana memiliki 30% aktivitas ketamin. Akses ke reseptor sangat
cepat yaitu <1 menit. Distribusi obat cepat dan setelah injeksi 1mg/kgBB IV,
anestesi bertahan 6-10 menit.
Ketamin memberi efek hipnotik, analgesik dan antihiperalgesik serta
membuat “anestesia disosiatif”, analgesia kuat dan reaksi simpatomimetik. Selain
itu, terjadi peningkatan aktivitas EEG dan aliran darah otak sehingga tekanan
intrakranial meningkat. Ketamin memberi efek neuroprotektif pada mitokondria
melalui kanal K+ ATP-sensitif, namun masih perdebatan karena ada efek
apoptosis pula sehingga menjadi masalah pada neonatus dan bayi (belum
disarankan untuk usia <4 tahun).
Ketamin tidak mendepresi ventilasi, volume tidal dan frekuensi napas
tidak berubah, namun memicu bronkodilatasi. Efek pada kontraktilitas miokard
lemah, menjaga aktivitas simpatis dan barorefleks, dan mampu meningkatkan
sedikit tekanan darah.
Efek antihiperalgesik melalui aktivitas anti-NMDA. Ketamin membatasi
hiperalgesia terinduksi-opioid dan memiliki efek hemat morfin. Efek imun dan
inflamasi dimana ketamin merupakan imunomodulator dan anti-inflamasi dengan
bekerja menurunkan kerja nuclear factor k B dan Toll-like receptor 4.
Ketamin memiliki beberapa bentuk formulasi dengan R(-) enansiomer dan
S(+) enansiomer (S(+) kurang neurotoksik). Untuk induksi IV, 1-2mg/kgBB
dipakai, untuk menjaga anestesi 2-4mg/kgBB/jam infus. Ketamin dapat diberikan
IM 5-8mg/kgBB, dengan onset lebih lambat (5-10 menit) dan durasi lebih panjang
(20-30 menit). Dosis rendah dipakai untuk mencegah hiperalgesia postoperasi
dengan IV 0,15-0,3 mg/kg sebelum dan kontinu 0,1-0,3mg/kg/jam selama 24 jam.
27

2.3.3 Opioid3,6
Bekerja pada reseptor opiat spesifik (, δ, К). Lokasi kerja utama pada
korda spinalis, medula dan substansia grissea periakueduktal. Terdapat dua
keluarga utama yaitu kerja lama hidrofilik (biasa untuk postoperasi/nyeri kronik)
morfin, dan kerja pendek (biasa untuk perioperasi) fenilpiperidin.
a. Fenilpiperidin
Fentanyl, Merupakan bentuk obat tertua, dengan waktu paruh panjang, terutama
untuk sedasi. Setelah kelahiran, klirens fentanyl dari tubuh melebihi 50% aliran
darah hati. Fentanyl disekresi ke cairan lambung, dan dapat terjadi sirkulasi
kembali dari isi lambung dan kompartemen dalam. Dosis umumnya 2-4mcg/kgBB
bolus IV dan 1-2mcg/kgBB injeksi ulang. Dosis 1-2mcg/kgBB/jam untuk infus IV
kontinu. Infus kontinu tidak disarankan bila ada rencana ekstubasi sesudah
operasi. Waktu puncaknya 5-6 menit.
b. Morfin
28

Morfin harus dititrasi pada bayi dan anak. Neonatus dan bayi <3 bulan, IV
infus kontinu biasa cukup dengan dosis 10-30mcg/kgBB/jam dan dapat diatur
berdasarkan efek dan dampak pernapasan (usia <3 bulan mudah depresi napas).
Bayi >3 bulan dan anak <10kg, IV titrasi dimulai dari bolus 50mcg/kgBB (<12
bulan), atau 100mcg/kgBB (>12 bulan). Dosis bolus diikuti 25mcg/kgBB setiap 5
menit sampai target efek. Anak <40kg biasa mendapat 75mcg/kgBB setiap 5
menit sampai dosis efektif. Dan anak >40kg dapat diberikan dosis dewasa, yaitu
3mg bolus setiap 5 menit. Selain itu, pemberian oral harus dipertimbangkan
metabolisme hepatik (hanya 10% metabolit yang aktif/M-6-G), dan kadar puncak
baru tercapai 6-9 jam. Dosis oral morfin 0,2-0,4mg/kgBB dengan dosis maksimal
20mg setiap 6 jam.
c. Opioid lainnya
- Tramadol
- Kodein
- Asetaminofen
29

2.3.4 Pelumpuh Otot3


Obat pelumpuh otot terdapat dua kelas yaitu depolarisasi dan
nondepolarisasi. Suksinilkolin satu-satunya kelas depolarisasi yang masih
terpakai. Nondepolarisasi termasuk agen nonsteroid dan steroid.
Kontraksi otot dipicu oleh pelepasan ACh pada celah sinaptik dari
simpang neuromuskular. Mekanisme dependen-kalsium bertugas dalam pelepasan
ACh dari vesikel presinaptik. Di celah sinapti, ACh didegradasi oleh
asetilkolinesterase. ACh bekerja dengan stimulasi pembukaan reseptor asetilkolin
nikotinik otot sehingga natrium dan kalsium masuk sel. Pada anak, reseptor ini
masih dalam bentuk fetal, sementara pada usia 2-4 tahun reseptor ini mulai
digantikan oleh bentuk dewasa (respon terhadap ACh lebih baik). Selain itu, ACh
anak lebih sedikit dibanding dewasa.
a. Pelumpuh otot non-depolarisasi
Terbagi atas tipe aminosteroid (pancuronium, vecuronium dan rocuronium)
atau benzilisoquinolinium (atracurium, cisatracurium dan mivacurium). Semua
obat ini memicu durasi blok <40 menit, dengan durasi kerja mivacurium
terpendek. Obat pelumpuh otot mudah larut air dan memiliki volume distribusi
sedikit. Klirens obat pelumpuh otot nondepolarisasi biasanya rendah, kecuali
mivacurium dimana dihidrolisa oleh kolinesterase. Metabolisme aminosteroid saat
dieliminasi tidak berubah pada urin dan bilus.
Agen nondepolarisasi memiliki efek sedikit pada aliran darah otak.
Atracurium, cisatracurium dan mivacurium melepas histamin, dan berisiko
bronkokonstriksi, hipotensi dan takikardi. Pancuronium dan rocuronium dapat
blokade reseptor muskarinik dan memicu takikardi. Pemakaian bersamaan dengan
anestesi volatil dapat meningkatkan efek blokade reseptor ACh. Akan tetapi, obat
pelumpuh otot dapat berisiko reaksi anafilaktik (jarang pada bayi), dengan
rocuronium yang tersering.
- Pancuronium 0,08-0,1mg/kgBB dengan onset 3-5 menit, durasi kerja >60
menit. Injeksi ulang 0,02mg/kgBB.
- Vecuronium 0,1-0,2mg/kgBB dengan onset 1-3 menit, durasi kerja 30-40
menit. Injeksi ulang 0,1mg/kgBB, untuk pemeliharaan 1-1,2mcg/kg/menit.
30

- Rocuronium 0,4-0,6mg/kgBB dengan onset 1-2 menit, durasi kerja 40-60


menit. Injeksi ulang 0,1-0,15mg/kgBB, untuk pemeliharaan 5-
15mcg/kgBB/menit.
- Atracurium 0,4-0,8mg/kgBB dengan onset 2-3 menit, durasi kerja 40-60
menit. Injeksi ulang 0,1-0,2mg/kgBB, untuk pemeliharaan 5-
15mcg/kgBB/menit.
- Cisatracurium 0,1-0,2mg/kgBB dengan onset 2-3 menit, durasi kerja 40-60
menit. Injeksi ulang 0,03-0,5mg/kgBB, untuk pemeliharaan 1-
3mcg/kgBB/menit.
- Mivacurium 0,2mg/kgBB dengan onset 1-3 menit, durasi kerja <30 menit.
Untuk intubasi, dosis rocuronium 0,6mg/kgBB pada bayi dan anak (baik
untuk intubasi <1 menit. Anak remaja perlu dosis dewasa 1,2mg/kgBB.
2.3.5 Agen Pembalik/Reversal
Agen pembalik berguna mengembalikan efek blokade neuromuskular,
dimana terbagi jadi dua kelas: inhibitor asetilkolinesterase dan sugammadex.
a. Inhibitor asetilkolinesterase
Neostigmin dan piridostigmin bekerja terikat kovalen ke asetilkolinesterase dan
membentuk kompleks karbamilasi inaktif. Neostigmin metabolisme secara cepat
pada simpang neuromuskular oleh asetilkolinesterase dan eritrosit, lalu metabolit
inaktif dibuang lewat ginjal. Edrophonium kerja lebih pendek, dan dimetabolisme
jadi konjugat glukuronid inaktif. Pada pasien pediatrik, dosis edrophonium
dibutuhkan untuk mengembalikan kontraksi 50-80% lebih tinggi dibanding
dewasa. Mekanisme kerja obat dapat memberi efek muskarinik, dimana timbul
bradikardi, salivasi dan sekresi usus, miosis, dan bronkokonstriksi (antidotum
dengan atropin/glikopirolat). Edrophonium jarang menyebabkan bradikardi
sehingga lebih dipakai untuk pediatrik, serta efek bronkokonstriksi harus
dipertimbangkan pada pasien asma.
- Neostigmin 0,03-0,07mg/kgBB bolus dengan puncak 10 menit
- Edrophonium 0,75-1mg/kgBB bolus dengan puncak 2-3 menit
Pemberian atropin 0,10-0,15mcg/kgBB atau glikopirolat 4mcg/kgBB (anak)
dan 8mcg/kgBB (bayi) sebelumnya untuk mencegah bradikardi.
31

b. Sugammadex
Merupakan siklodekstrin yang mengenkapsulasi aminosteroid. Bertugas
enkapsulasi rocuronium, vecuronium, dan pancuronium, sementara tidak
berfungsi untuk benzilisoquinolinium (atracurium, cisatracurium,
mivacurium).Eliminasi pada ginjal, dengan afinitas lebih pada vecuronium
dibanding rocuronium. Dosis diberikan 2mg/kgBB, namun pada keadaan darurat
misal kegagalan intubasi setelah dosis tinggi rocuronium maka diberi
12mg/kgBB.
2.3.6 Agen Antikolinergik
Terdapat dua agen berupa atropin dan glikopirolat, kedua ini kompetitor
non-selektif untuk ACh pada reseptor muskarinik. Pada anak, waktu paruh
glikopirolat sangat singkat (20 menit) karena klirens tinggi (22ml/kgBB/menit
dibanding dewasa 9ml/kgBB/menit) dimana volume distribusi anak lebih besar.
Atropin dimetabolisme di hati menjadi 1-hiosiamin (zat aktif), sementara
glikopirolat dibuang urin keadaan utuh. Agen antikolinergik memicu takikardi,
inhibisi sekresi dan picu bronkodilatasi. Atropin memicu midriasis sementara
glikopirolat tidak, dan toksisitas atropin punya risiko halusinasi/delirium, paralisis
dan syok. Dosis atropin 10-15mcg/kgBB, sementara dosis glikopirolat
4mcg/kgBB (anak) dan 9mcg/kgBB (usia 1 bulan-2 tahun). Glikopirolat yang
mengandung benzil-alkohol bersifat toksik pada bayi, sehingga pemberian tidak
boleh diulang.
2.3.7 Anestesi Lokal
Anestesi lokal memblokade propagasi impuls sepanjang serabut saraf
dengan inaktivasi kanal sodium, bekerja pada sisi sitosolik membran fosfolipid.
Komponen utama berupa: amino ester (2-kloroprokain, prokain, tetrakain) dan
amino amida (lidokain, bupivakain, ropivakain). Amino ester dimetabolisme oleh
pseudokolinesterase di plasma, sementara amino amida lebih stabil dan
dimetabolisme di hati.3
32

Ropivakain dan levobupivakain lebih aman dan dapat memberi kualitas dan
durasi analgesik tinggi dengan blokade motorik sedikit. Dosis maksimal 2-
2,5mg/kgBB untuk injeksi kaudal, 1,2-1,7mg/kgBB untuk injeksi epidural
lumbal/torakal, dan 0,5mg/kgBB untuk blok perifer. Infus anestesi lokal untuk
postoperasi memakai konsentrasi kecil (0,625-1mg/ml) dengan laju maksimal
0,2mg/kgBB (neonatus), 0,3mg/kgBB (1-6 bulan), dan 0,4mg/kgBB (>6 bulan).

2.4 Komplikasi Anestesi


2.4.1 Neurodegenerasi9
Pada perkembangan saraf, neurotransmiter eksitasi utama glutamat dimana
bekerja pada N-metyl-D-aspartate/NMDA reseptor (esensial untuk neurogenesis).
Neurotransmiter GABA dapat ditemukan pada minggu ke6 kehamilan, dan pada
otak imatur, reseptor GABA bersifat eksitasi dan aktivasi memicu depolarisasi.
Tiga faktor utama yang mempengaruhi toksisitas anestesi, pertama waktu
terkena eksposur. Neurotoksisitas anestesi tergantung stadium perkembangan,
dimana neuron masih rentan pada perkembangan. Puncak perkembangan berbeda
antar regio otak, dan berbeda tipe sel saraf lebih rentan terhadap anestesi. Neuron
glutaminergik dan GABAergik rentan terhadap toksik anestesi dibanding
kolinergik. Kedua faktor frekuensi dan durasi eksposur, dimana apoptosis
meningkat semakin sering tereksposur dan diketahui risiko meningkat pada
pemberian ketamin >6 jam. Dan peningkatan dosis anestesi mempengaruhi
neurotoksik.
Mekanisme dicurigai terdiri dari dua jalur; intrinsik dan ekstrinsik. Jalur
ekstrinsik terjadi akibat aktivasi TNF, sementara intrinsik dari respon sinyal dalam
33

sel sendiri dan memicu pelepasan protein pro-apoptotik. Apoptosis dipercepat


ketika anestetik diberikan saat periode reseptor GABA masih eksitatorik (pada
masa inhibitorik, efek neurotoksik kurang). Gangguan pada reseptor memicu
perubahan ekspresi sehingga terjadi depresi aktivitas saraf. Sementara propofol
dan isofluran dapat pengaruhi mielinasi akson dengan memicu apoptosis.

2.4.2 Depresi Napas


Sama dengan dewasa, opioid sering memicu depresi napas pada anak.
Opioid bekerja pada reseptor opioid dimana bekerja mendepresi kemoreseptor
sentral dan perifer. Nyeri juga mempengaruhi pernapasan dengan meningkatkan
input tonik ke pusat pernapasan (medula oblongata), maka penurunan nyeri dapat
menurunkan pernapasan pula. Hal ini mungkin akibat belum matangnya reseptor,
dan kontrol pernapasan.10 Alternatif golongan opioid berupa nalbufin. Nalbufin
dinilai lebih aman untuk anak dikarenakan memiliki ceiling effect, dimana pada
efek maksimal, dosis tambahan tidak akan meningkatkan efektivitasnya. Dosis
bolus 0,2mg/kgBB dapat diulang 3-6 jam, atau infus 0,1-0,2 mg/kgBB/jam.11
2.4.3 Henti Jantung12
Risiko henti jantung pada anak meningkat terutama usia <1 tahun.
Penyebab adalah depresi kardiovaskular akibat agen inhalasi terutama halotan.
Sevofluran dinilai lebih aman karena jarang memicu bradikardi dan penurunan
34

kontraktilitas. Akan tetapi risiko ini jarang berdiri sendiri, biasa disertai masalah
lain seperti laringospasme (20% kasus), obstruksi jalan napas, riwayat penyakit
jantung, pemakaian obat anestesi lain yang menurunkan kontraktilitas, hipovolemi
dan hiperkalemia.
2.4.4 Hipertermi Malignan13
Merupakan gangguan farmakogenetik dari otot skelet sebagai respon
hipermetabolik terhadap gas anestesi volatil seperti halotan, sevofluran, desfluran,
isofluran, dan pelumpuh otot depolarisasi (suksinilkolin). Insidensi 1:10.000 hinga
1:250.000 anestesi, ditandai hipertermia, takikardi, takipnea, peningkatan
produksi CO2, peningkatan konsumsi O2, asidosis, hiperkalemia, rigiditas otot dan
rabdomiolisis. Hal ini dikarenakan pelepasan Ca2+ intrasel tidak terkontrol dari
retikulum sarkoplasmik otot skelet, dimana akan memicu peningkatan
metabolisme otot. Pengobatan utama dengan dantrolen dimana menginhibisi
dengan mengikat protein RyR1 dimana protein yang bertanggungjawab dalam
pelepasan Ca2+.
35

BAB 3
KESIMPULAN

Anestesia pada anak berbeda dengan anestesia pada dewasa kecil. Anatomi
dan fisiologi yang berbeda, serta pengetahuan mengenai perkembangan
embriologi perlu diketahui. Karena pada anak, banyak faktor yang mempengaruhi
terutama dari cairan tubuh, anatomi & fungsi kardiovaskular, anatomi & fungsi
pernapasan, perkembangan otak, hingga metabolisme. Faktor-faktor ini akan
mempengaruhi teknik anestesi, distribusi obat, mekanisme dan dosis obat anestesi,
sehingga risiko komplikasi pada anak umumnya lebih banyak dan besar dibanding
dewasa seperti depresi napas, dan henti jantung.
Pemakaian obat anestesi pada anak memakai dosis lebih rendah dibanding
dewasa, meski demikian perlu monitor ketat dikarenakan perkembangan yang
belum matang terutama segi metabolisme dan barier (sawar), maka efektivitas
cukup tinggi. Pada bayi pula haru dipertimbangkan peredaran obat dalam tubuh,
karena tinggi lemak dan banyak obat anestesi hidrofobik maka dapat terjadi
penimbunan. Dan protein plasma yang sedikit, menyebabkan rendahnya ikatan
obat dan sering terjadi toksisitas.
Persiapan pasien anak harus secara menyeluruh, karena anak sangat rentan
terhadap kondisi emosional serta risiko komplikasi. Dalam persiapan anak,
diperlukan evaluasi mengenai kondisi ansietas pasien dan dapat dilakukan
beberapa cara untuk mengontrol dengan pengenalan, distraksi, ditemani orangtua
dan lainnya. Risiko komplikasi harus dianalisa sejak awal lewat anamnesis dan
pemeriksaan fisik hingga dibuat perencanaan. Penanganan perioperasi dan
postoperasi harus dilakukan dengan baik untuk mencegah komplikasi. Dan
memahami obat-obatan anestesi dari segi farmakokinetik, farmakodinamik, dan
toksisitas pada anak dapat membentuk perencanaan yang baik.
36

DAFTAR PUSTAKA

1. Adewale L. Anatomy and assessment of pediatric airway. Pediatric


Anesthesia 2009; 19 (Suppl1): 1-8.
2. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s clinical
anesthesiology ed.5th. New York: McGrawHill Education; 2013.
3. Gregory GA, Andropoulos DB. Gregory’s pediatric anesthesia ed.5th. UK:
Wiley-Blackwell; 2012.
4. Macfarlane F. Pediatric anatomy and physiology and the basics of paediatric
anaesthesia. AnaesthesiaUK; 6 Oktober 2006.
http://www.anaesthesiauk.com/article.aspx?articleid=100544
5. MacGregor J. Introduction to the anatomy and physiology of children. New
York: Taylor & Francis e-Library; 2000.
6. Davis PJ, Cladis FP, Motoyama EK. Smith’s anesthesia for infants and
children ed.8th. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2011.
7. Da Silva LM, Braz LG, Modolo NSP. Emergence agitation in pediatric
anesthesia: current features. J Pediatr 2008; 84(2): 107-113.
8. Gupta A, Saha U. Spinal anesthesia in children: a review. J Anaesthesiol Clin
Pharmacol 2014; 30(1): 10-18.
9. Sinner B, Becke K, Engelhard K. General anaesthetics and the developing
brain: an overview. Anaesthesia 2014; 69: 1009-1022.
10. Pattinson KTS. Opioids and the control of respiration. Br J Anaesth 2008;
100: 747-58.
11. Kubica-Cielinska A, Zielinska M. The use of nalbuphine in pediatric
anaesthesia. Anaesthesiology Intensive Therapy 2015; 47(3): 252-256.
12. Bhananker SM, Ramamoorthy C, Geiduschek JM, Posner KL, Domino KB,
Haberkern CM, et al. Anesthesia-related cardiac arrest in children: update
from the pediatric perioperative cardiac arrest registry. Anesth Analg 2007;
105: 344-50.
13. Rosenberg H, Pollock N, Schiemann A, Bulger T, Stowell K. Malignant
hyperthermia: a review. Orphanet Journal of Rare Diseases 2015; 10: 93.

Anda mungkin juga menyukai

  • Cover DS
    Cover DS
    Dokumen2 halaman
    Cover DS
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Lesi Medula Spinalis Akut
    Lesi Medula Spinalis Akut
    Dokumen17 halaman
    Lesi Medula Spinalis Akut
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Referat Revisi
    Referat Revisi
    Dokumen25 halaman
    Referat Revisi
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Vignette Dea
    Vignette Dea
    Dokumen2 halaman
    Vignette Dea
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Slide Jurnal Reading
    Slide Jurnal Reading
    Dokumen17 halaman
    Slide Jurnal Reading
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • MR Dea Ayu Oir
    MR Dea Ayu Oir
    Dokumen30 halaman
    MR Dea Ayu Oir
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar Referat Vivi
    Kata Pengantar Referat Vivi
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar Referat Vivi
    Vivi Rovina
    Belum ada peringkat
  • Referat Anes Dea
    Referat Anes Dea
    Dokumen24 halaman
    Referat Anes Dea
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Cover Lapkas DEAAA
    Cover Lapkas DEAAA
    Dokumen1 halaman
    Cover Lapkas DEAAA
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi Referat Dea
    Daftar Isi Referat Dea
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi Referat Dea
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Dea
    Lapkas Dea
    Dokumen36 halaman
    Lapkas Dea
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Slide Referat Dea
    Slide Referat Dea
    Dokumen21 halaman
    Slide Referat Dea
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Translate Jurnal
    Translate Jurnal
    Dokumen11 halaman
    Translate Jurnal
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi Referat Dea
    Daftar Isi Referat Dea
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi Referat Dea
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar Referat Vivi
    Kata Pengantar Referat Vivi
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar Referat Vivi
    Vivi Rovina
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen3 halaman
    COVER
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen3 halaman
    COVER
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • 9 Daftar Pustaka
    9 Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    9 Daftar Pustaka
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Referat Anes Dea
    Referat Anes Dea
    Dokumen24 halaman
    Referat Anes Dea
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • 3 BAB 2 Laporan Kasus
    3 BAB 2 Laporan Kasus
    Dokumen11 halaman
    3 BAB 2 Laporan Kasus
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    Ahmad Setyadi
    Belum ada peringkat
  • Bab 4
    Bab 4
    Dokumen1 halaman
    Bab 4
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen10 halaman
    Bab 3
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • 4 BAB 3 TINJAUAN Efusi Pleura
    4 BAB 3 TINJAUAN Efusi Pleura
    Dokumen23 halaman
    4 BAB 3 TINJAUAN Efusi Pleura
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen13 halaman
    Bab 2
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen3 halaman
    Bab 1
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat