Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh

belahan dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada

anak-anak baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan

tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor

lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor. Prevalensi asma pada

anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10%

pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.2

Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering dijumpai

baik pada anak maupun dewasa. Prevalensi asma pada anak sangat bervariasi di

antara negara-negara di dunia, berkisar antara 1- 18%. Meskipun tidak menempati

peringkat teratas sebagai penyebab kesakitan atau kematian pada anak, asma

merupakan masalah kesehatan yang penting. Jika tidak ditangani dengan baik, asma

dapat menurunkan kualitas hidup anak, membatasi aktivitasi sehari-hari,

mengganggu tidur, meningkatkan angka absensi sekolah, dan menyebabkan

prestasi akademik di sekolah menurun. Bagi keluarga dan sektor pelayanan

kesehatan, asma yang tidak terkendali akan meningkatkan pengeluaran biaya.2

Asma adalah penyakit multifaktorial dengan perjalanan klinis yang

bervariasi pada setiap anak dan dapat berubah seiring berjalannya waktu. Asma

tidak dapat sembuh, tetapi dapat dikendalikan agar gejala tidak sering muncul.

Komunikasi, informasi, dan edukasi kepada orang tua merupakan kunci penting

untuk mencapai asma terkendali.1

1
2

BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


2.1.1 Identitas pasien
Nama : An. RA
No RM : 50.88.xx
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal lahir : 20 April 2005
Usia : 14 tahun 1 bulan
Alamat : Alue Awe
Agama : Islam
Suku : Aceh
Pekerjaan :-
Tanggal masuk RS : 22 Mei 2019
Tanggal pemeriksaan : 22 Mei 2019
2.1.2 Identitas orang tua
Nama ayah : Alm. Tn. F Nama ibu : Ny. K
Usia : 1-1-1970 Usia : 43 tahun
Pekerjaan :- Pekerjaan : IRT
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMP

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan utama : Sesak napas sejak 2 hari sebelum masuk rumah
sakit.
2.2.2 Keluhan tambahan : Batuk berdahak, pilek dan demam
2.2.3 Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke UGD RSU Cut Meutia diantar oleh keluarga dengan
keluhan sesak napas yang memberat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
napas dapat timbul bila pasien terpapar udara dingin, debu dan paparan asap rokok.
3

Pasien mengeluhkan sesak napas dapat memberat bila malam hari sehingga pasien
sulit untuk tidur dan terdengar suara “ngik” ketika bernapas. Pasien juga
mengalami demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam yang
dirasakan pasien juga diikuti keluhan pilek dan batuk berdahak. Keluarga pasien
mengaku keluhan sesak napas yang dialami pasien sudah pernah dialaminya
sebelumnya. Keluhan mual dan muntah sebelumnya tidak ada, BAB dan BAK
dalam batas normal.
2.2.4 Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah mengalami penyakit yang sama dan telah dirawat inap di
rumah sakit sebanyak 1 kali dengan keluhan yang sama. Keluhan sesak napas
pertama kali muncul sejak pasien berumur 13 tahun. Terakhir kali, pasien
mengalami keluhan sesak napas pada bulan Desember tahun 2018. Riwayat
penyakit lainnya tidak ada.
2.2.5 Riwayat penyakit keluarga
Ibu dari adik pasien memiliki riwayat penyakit yang sama dengan pasien.
Riwayat penyakit lainnya tidak ada.
2.2.6 Riwayat pemakaian obat
Keluarga pasien mengatakan tidak pernah konsumsi obat-obatan rutin,
namun sudah mengkonsumsi obat penurun panas sejak 3 hari SMRS.
2.2.7 Riwayat kehamilan dan persalinan
Pasien merupakan kehamilan anak ketiga dari 5 bersaudara lahir secara
spontan di bidan dengan usia kehamilan 38-40 minggu. Berat badan lahir 3200
gram dan panjang badan 47 cm. Riwayat bayi segera menangis, menghisap kuat,
dan gerakan aktif.
2.2.8 Riwayat makanan
ASI mulai diberikan sejak saat lahir sampai usia 12 bulan. Riwayat makanan
pendamping ASI berupa susu formula sejak usia 4 bulan sampai usia 2 tahun. Usia
2 tahun keatas makan biasa.
2.2.9 Riwayat alergi
Riwayat alergi makanan (-), obat (-), debu (+), udara dingin (+), asap rokok
(+).
4

2.2.10 Riwayat imunisasi


Ibu pasien mengaku pasien mendapatkan imunisasi lengkap sesuai dengan
umurnya di posyandu.
2.2.11 Riwayat tumbuh kembang
Pasien mampu mengangkat kepala 3 bulan, mampu duduk 6 bulan dan
berjalan saat usia 12 bulan. Tumbuh kembang anak sesuai umurnya.
2.2.12 Riwayat sosial ekonomi
Pasien tinggal bersama orangtua nya di pedesaan dan menggunakan BPJS
untuk berobat.

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Vital sign
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
HR : 115 x/menit, reguler
RR : 36 x/menit, reguler
Suhu : 36,7 0C
2.3.2 Antropometri
BB : 38 kg
TB : 151 cm
LK : 52 cm
BB/U = (BB aktual / BB baku untuk usia) x 100%
= (38/49) x 100%
= 77,5 % (Gizi Kurang)
TB/U = (TB aktual / TB baku untuk usia) x 100%
= (151/161) x 100%
= 93,7 % (Mild Stunting)
BB/TB = (BB aktual / BB baku untuk TB) x 100%
= (38/42) x 100%
= 90,4 % (Gizi Baik)
5

2.3.3 Status generalis


a. Kulit
1. Warna : Sawo matang
2. Turgor : Kembali cepat
3. Sianosis : (-)
4. Ikterus : (-)
5. Edema : (-)
6. Anemia : (-)
b. Kepala
1. Rambut : Hitam, tipis, sulit dicabut
2. Wajah : Edema (-)
3. Mata : Konjungtiva palpebra inf. pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
4. Telinga : Sekret (-/-), darah (-/-)
5. Hidung : Napas cuping hidung (-), Sekret (+/+)
6. Mulut : kandidiasis oral (-), faring hiperemis(-), Tonsil T1/T1
c. Leher
1. Inspeksi : Simetris, deviasi trakea (-)
2. Palpasi : Pembesaran KGB (-), distensi vena jugularis (-)
d. Thorax
Paru
1. Inspeksi : Bentuk simetris kanan dan kiri, pergerakan dinding dada
simetris, retraksi dinding dada (+)
2. Palpasi : Tidak ada benjolan, stem fremitus kanan sama dengan kiri
3. Perkusi : Sonor (+/+)
4. Aukultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (+/+)
Jantung
1. Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
2. Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
3. Perkusi :
Batas jantung atas: ICS II linea parasternalis (s)
Batas jantung bawah dan kiri: ICS V linea midclavicularis (s)
6

Batas jantung kanan: ICS V linea parasternalis (d)


4. Auskultasi : BJ I>BJ II, murmur (-), gallop (-)
e. Abdomen
1. Inspeksi : Simetris
2. Auskultasi : Peristaltik usus normal
3. Palpasi : soepel (+), defans muscular (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Nyeri ketok CVA (-)
4. Perkusi : Timpani
f. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
g. Ekstremitas : Akral dingin, CRT<2 detik
Superior Inferior
kanan kiri kanan kiri
Sianosis - - - -
Oedema - - - -
Fraktur - - - -

2.4 Rencana Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (23 Mei 2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan
HEMATOLOGI
Hematologi Rutin
Hemoglobin 14,0 13-18 g/dL
3
Eritrosit 4,12 4,5-6,5 juta sel/mm
3
Leukosit 8,83 4,0-11,0 ribu sel/mm
Hematokrit 33,0 42-52 %
MCV 80,1 79-99 fL
MCH 33,9 27-32 pg
MCHC 42,3 33-37 %
RDW-CV 11,0 11,5-14,5 %
3
Trombosit 274 150-450 ribu sel/mm
7

2.5 Resume
Pasien datang ke UGD RSU Cut Meutia diantar oleh keluarga dengan
keluhan sesak napas yang memberat sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak
napas timbul bila pasien terpapar udara dingin, debu dan paparan asap rokok. Pasien
mengeluhkan sesak napas dapat memberat bila malam hari sehingga pasien sulit
untuk tidur dan terdengar suara “ngik” ketika bernapas. Pasien juga mengalami
demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam yang dirasakan pasien
juga diikuti keluhan pilek dan batuk berdahak. Keluarga pasien mengaku keluhan
sesak napas yang dialami pasien sudah pernah dialaminya sebelumnya.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang
dengan kesadaran compos mentis. Tidak dijumpai pernapasan cuping hidung. Pada
auskultasi thorax dijumpai wheezing. Pemeriksaan penunjang darah rutin dalam
batas normal.

2.6 Diagnosis Banding dan Diagnosis Kerja


Diagnosis banding
1. Asma bronkial
2. Bronkiolitis
3. Infeksi Saluran Pernapasan Akut
4. Tuberkulosis Paru
Diagnosis kerja
Asma bronkial

2.7 Tatalaksana
 Oksigen 2-4 L/i
 IVFD RL 20 gtt/i (makro)
 Inj. Dexamethasone 5 mg/12jam
 Inj. Ranitidin 25 mg/12jam
 Ambroxol syr 3xC1
8

 Cetirizine tab 1 x 10 mg
 Nebule ventolin 2,5 mg / 8j

2.8 Prognosis
Quo Ad vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo Ad sanationam : Dubia ad bonam

2.9 Follow Up
FOLLOW UP

Tanggal Keluhan Diagnosis Terapi


22-5-2019 RPD: Riwayat sesak napas Asma  O2 1-2L/i
sejak 2 hari SMRS Bronkial  IVFD RL 16
S: sesak napas (+), batuk gtt/i (makro)
berdahak (+), demam (-)  IV.
O: Dexamethasone
KU: sedang 5 mg/8j
Bb: 35 kg  IV. Ranitidine
RR: 36 x/menit 50 mg/12j
Nadi: 115 x/i  Nebule ventolin
2,5 mg + 3 cc
T: 36,8 oC
NaCl 0,9% / 8j
Pf:
 Ambroxol syr 3
Thorax : x C1
I: retraksi dinding dada(+)  Cetirizine tab
P: stem fremitus kiri = kanan 1 x 10mg
P: sonor
A: vesikuler (+/+), ronki (-/-),
wheezing (+/+)
P: Periksa darah rutin
9

23-5-2019 S: sesak napas (⸔), batuk Asma  O2 1-2L/i (K/P)


berdahak (+), demam (-) Bronkial  IVFD RL 16
O: gtt/i (makro)
KU: sedang  IV.
RR: 24 x/menit Dexamethasone
Nadi: 90 x/i 5 mg/8j
T: 36,6 oC  IV. Ranitidine
50 mg/12j
Pf:
 Nebule ventolin
Thorax :
2,5 mg + 3 cc
I: retraksi dinding dada(-) NaCl 0,9% / 8j
P: stem fremitus kiri = kanan  Ambroxol syr 3
P: sonor x C1
A: vesikuler (+/+), ronki (-/-),  Cetirizine tab
wheezing (+/+) ⸔ 1 x 10mg

24-5-2019 S: sesak napas (-), batuk Asma  PBJ


berdahak (⸔), demam (-) Bronkial  Salbutamol tab
O: 2x2 mg
RR: 23 x/menit  Cetirizine tab
Nadi: 88 x/i 1x10 mg
T: 36,9 oC  Ambroxol syr
Pf: 3xC1
Thorax :  Methylprednisol
on tab 2x4 mg
I: retraksi dinding dada(-)
P: stem fremitus kiri = kanan
P: sonor
A: vesikuler (+/+), ronki (-/-),
wheezing (-/-)
P: PBJ
10

BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Global Initiative for Asma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan

inflamasi kronis saluran napas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast,

eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan

episode mengi berulang, sesak napas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya

pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan

penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian

bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi

tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan napas terhadap berbagai

rangsangan.1

Agar mempermudah batasan operasional asma untuk kepentingan klinis

yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) menggunakan batasan

operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan

karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam

hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas

fisik, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta

adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.1

3.2 Epidemiologi

Penderita asma di dunia diperkirakan memiliki prevalensi 7,2% (6% pada

dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10
11

kali di negara berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat

bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3%

dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for

Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun

adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah

38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma

pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja

prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma

dibanding wanita.4

Morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade terakhir.

Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi. WHO

memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan

laporan NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu.

Sedangkan, laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang

meninggal pada usia 0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun secara

umum kematian pada anak akibat asma jarang.3,4

3.3 Faktor Resiko

Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian

asma, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa

faktor tersebut sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih

dalam penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia,

sosio-ekonomi, allergen, infeksi, atopi, lingkungan.5


12

1. Jenis kelamin

Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalensi asma

pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak

perempuan. Menurut laporan MMH, prevalensi asma pada anak laki-laki lebih

tinggi daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2 pada usia 6-11 tahun dan

meningkat menjadi 8:5 pada usia 12-17 tahun. Pada orang dewasa, rasio ini berubah

menjadi sebanding antara laki-laki dan perempuan pada usia 30 tahun.

2. Usia
Gejala asma pada asma persisten pertama kali timbul pada usia muda, yaitu

pada beberapa tahun pertama kehidupan. Di Australia, dilaporkan bahwa 25% anak

dengan asma persisten mendapat serangan mengi pada usia <6 bulan, dan 75%

mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3 tahun. Hanya 5% anak dengan

asma persisten terbebas dari gejala asma pada usia 28-35 tahun, 60% menetap

menunjukkan gejala seperti saat anak-anak, dan sisanya masih sering mendapat

serangan meskipun lebih ringan daripada saat masa kanak.

3. Riwayat atopi
Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma persisten dan

beratnya asma. Pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mengi, akan

terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah megalami hay

fever, rhinitis alergi, eksema. Anak dengan mengi persisten dalam kurun waktu 6

bulan pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih tinggi dari pada anak yang

tidak pernah mengalami mengi pada usia 9 bulan.

4. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor resiko
13

asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran

pernapasan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun

mekanismenya belum jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma,

dapat mempengaruhi gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

5. Ras

Dilaporkan prevalensi asma dan kejadian asma pada ras kulit hitam lebih

tinggi daripada kulit putih.

3.4 Faktor Pencetus


Penelitian yang dilakukan oleh pakar di bidang penyakit asma sudah

sedemikian jauh, tetapi sampai sekarang belum menemukan penyebab yang pasti.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa saluran pernapasan penderita asma

mempunyai sifat sangat peka terhadap rangsangan dari luar yang erat kaitannya

dengan proses inflamasi. Proses inflamasi akan meningkat bila penderita terpajan

oleh alergen tertentu.6

Penyempitan saluran pernapasan pada penderita asma disebabkan oleh reaksi

inflamasi kronik yang didahului oleh faktor pencetus. Beberapa faktor pencetus

yang sering menjadi pencetus serangan asma adalah :

1. Faktor Lingkungan

a. Alergen dalam rumah

b. Alergen luar rumah

2. Faktor Lain
a. Alergen makanan

b. Alergen obat – obat tertentu


14

c. Bahan yang mengiritasi

d. Ekspresi emosi berlebih

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif

f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan

3.5 Patofisiologi

Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini

merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada

mukosa saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang

merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas

sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi respon

hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari

yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi

virus, dan aktivitas fisik/olahraga. 7

Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkan obstruksi saluran napas

menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau

setelah pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran

napas adalah edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Obstruksi

terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume penutupan dan

menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat

dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi dan

fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap peningkatan risiko

obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil, recoil
15

elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil,

hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori

cohn) antar alveolus.7

Proses inflamasi kronik berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran

napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama pada

malam hari. Hiperresponsivitas saluran napas adalah respon bronkus berlebihan

yaitu penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik.1,7

3.6 Klasifikasi
Berat-ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran

klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat

inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan untuk

mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak

ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat-ringannya suatu

penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat

menentukan klasifikasi menurut berat-ringannya asma yang sangat penting dalam

penatalaksanaannya.8

Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan

(akut) :8

1. Asma saat tanpa serangan

Asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari:

- Intermitten

- Persisten ringan

- Persisten sedang
16

- Persisten berat
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum
menurut GINA

Selain pembagian berdasarkan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma

episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. 8


17

Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan PNAA:

2. Asma saat serangan

Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang

digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya

serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat

serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan

pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan

diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan

sedang dan asma serangan berat. Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik)

dengan serangan asma (aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma

persisten berat dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan

pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat,
18

bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan kematian.9

Tabel 3. Klasifikasi asma menurut derajat serangan

3.7 Manifestasi klinis dan Diagnosis

a. Anamnesis

Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis

yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma
19

berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan

produksi sputum. Chronic recurrent cough batuk kronik berulang, BKB dapat

menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan

karakteristik yang khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma.

Karakteristik yang mengarah ke asma adalah:1,10

- Gejala timbul secara episodik atau berulang.

- Timbul bila ada faktor pencetus. Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah,

asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering, makanan minuman dingin,

penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan.

 Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.

 Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold,

rinofaringitis

 Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.

- Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.

- Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu,

bahkan dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari

(nokturnal).

- Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan

pemberian obat pereda asma.

b. Pemeriksaan Fisik

Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien biasanya

tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak,

dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung audible (wheeze)


20

atau yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejal alergi lain

pada pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai

tanda alergi seperti allergic shiners atau geographictongue.1,10

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas

akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya

atopi pada pasien.1,10

• Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk

menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan

dengan peak flowmeter.

 Uji cukit kulit (skin prick test), eosinophil total darah, pemeriksaan IgEs

pesifik.

 Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric oxide),

eosinofil sputum.

 Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin

hipertonik.
21

Bagan 1. Alur Penegakan Diagnosis Asma

Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons terhadap

pemberian obat bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik

lebih lanjut. Bila respons terhadap obat asma tidak baik, sebelum memikirkan

diagnosis lain, maka perlu dinilai dahulu beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi
22

adalah apakah penghindaran terhadap pencetus sudah dilakukan, apakah dosis obat

sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya sudah benar, serta ketaatan pasien

baik. Bila semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar. Maka perlu

dipikirkan kemungkinan diagnosis bukan asma.8

Pada pasien dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang, gejala

respiratorik sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan

fokal paru dan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yang perlu

dilakukan adalah foto Rontgen paru, uji fungsi paru, dan uji provokasi. Selain itu

mungkin juga perlu diperiksa foto Rontgen sinus paranasalis, uji keringat, uji

imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji mukosilier, bahkan

tindakan bronkoskopi.9

3.8 Diagnosis Banding

Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma.

Pada anak usia 3 bulan, mengi biasanya ditemukan pada keadaan infeksi,

malformasi paru dan kelainan jantung. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang

disebabkan oleh respiratory syncitial virus merupakan penyebab mengi yang

umum. Pada anak yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi

pita suara. Selain itu, batuk berulang juga dapat ditemukan pada tuberculosis

terutama pada daerah dengan penyebaran tinggi Tuberculosis.11 Berikut ini

diagnosis banding dari asma yang sering pada anak yaitu Rhinosinusitis, infeksi

respiratorik bawah viral berulang, bronkiolitis, tuberculosis, malformasi kongenital


23

yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik, aspirasi benda asing, dan

penyakit jantung bawaan.

3.9 Penatalaksanaan

1. Edukasi terhadap pasien dan keluarga

Hal terpenting pada penatalaksanaan asma yaitu edukasi pada pasien dan

orang tuanya mengenai penyakit, pilihan pengobatan, identifikasi dan penghindaran

alergen, pengertian tentang kegunaan obat yang dipakai, ketaatan dan pemantauan,

dan yang paling utama adalah menguasai cara penggunaan obat hirup dengan benar.

Edukasi sebaiknya diberikan secara individual secaa bertahap. Pada awal konsultasi

perlu dijelaskan diagnosis dan informasi sederhana tentang macam pengobatan,

alasan pemilihan obat, cara menghindari pencetus bila sudah dapat diidentifikasi

macamnya. Kemudian perlu diperagakan penggunaan alat inhalasi yang diikuti

dengan anak diberi kesempatan mencoba sampai dapat menggunakan dengan

teknik yang benar.12

Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat

diberikan pada pasien dan keluarganya: 12

- Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh

- Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi paparan

terhadap faktor pencetus

- Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller

- Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan keluarganya

mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna mencegah asma

menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga memungkinkan penderita dan


24

dokter menyesuaikan rencana pengelolaan asma guna mencapai pengendalian

asma jangka panjang dengan efek samping minimal.

2. Mengevaluasi klasifikasi/keparahan asma

Kriteria asma terkontrol

- Tidak ada gejala asma atau minimal

- Tidak ada gejala asma malam

- Tidak ada keterbatasan aktivitas

- Nilai APE/VEP1 normal

- Penggunaan obat pelega napas minimal

- Tidak ada kunjungan ke UGD

Klasifikasi

- Asma terkontrol total: bila semua kriteria asma terkontrol dipenuhi

- Asma terkontrol sebagian: bila terdapat 3 kriteria asma terkontrol

- Asma tak terkontrol: bila kriteria asma terkontrol tidak mencapai 3 buah

Tabel 4. Tingkatan Asma Terkontrol


25

3. Menghindari pajanan terhadap faktor risiko

Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang

cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang

menyebabkan terjadinya rangsangan terhadap salur

an respiratorik yang berakibat terjadi bronkokonstriksi, edema mukosa, dan

hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi

rangsangan terhadap saluran respiratorik.12

4. Tatalaksana asma jangka panjang.

Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin

tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan

yang ingin dicapai adalah :12

1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.

2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.

3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.

4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.

5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.

6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul,

terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

Asma Episodik Jarang

Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever) seperti β2-

agonis dan teofilin. Penggunaan β2-agonis untuk meredakan serangan asma

biasanya digunakan dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat


26

inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) cukup sulit untuk

anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya diberikan pada anak yang sudah

mulai besar (usia <5 tahun) dan inipun memerlukan teknik penggunaan yang benar

yang juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat hirupan tidak ada/tidak

dapat digunakan, maka β-agonis diberikan per oral. Penggunaan teofilin sebagai

bronkodilator semakin kurang berperan dalam tatalaksana asma karena batas

keamanannya sempit. Namun mengingat di Indonesia obat β-agonis oralpun tidak

selalu ada maka dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan

timbulnya efek samping. Di samping itu penggunaan β-agonis oral tunggal dengan

dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa palpitasi, dan hal ini dapat

dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta dikombinasikan dengan teofilin. 13

Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak tidak

menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma

episodik ringan. Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan

obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma

Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis

rendah, atau kromoglikat hirupan. Jika dengan pemakaian β2-agonis hirupan lebih

dari 3x/minggu (tanpa menghitung penggunaan pra-aktivitas fisik) atau serangn

sedang/berat muncul >1x/bulan atau pengobatan yang diberikan sudah adekuat

dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak menunjukkan respon yang baik maka

tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering.13


27

Asma Episodik Sering

Jika penggunaan β2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa

menghitung penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/berat terjadi lebih

dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali

sudah terindikasi. Tahap pertama obat pengendali pada asma episodic sering adalah

pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid hirupan yang sudah sering

digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis

rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 ug/hari budesonid (50-100

ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari

budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam

penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau

setara flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka

panjang. 1,13

Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali

berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh

karena itu penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang

diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Jika setelah pengobatan selama 6-8

minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak menunjukkan respons (masih

terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka

dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai

dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika

tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya

tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksanya berpindah ke yang
28

lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka

derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid

hirupan dihentikan penggunaannya.1,13

Tabel 5. Pilihan dan dosis terapi untuk serangan asma

Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran

pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian

asma seperti rintis dan sinusitis.dan dengan penatalaksanaan rinitis dan sinusitis

secara optimal dapat memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan.

Asma Persisten

Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu dengan

menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan memberikan budenoside

200400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang

dari 12 tahun, 400-600 ug/hari budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak

berusia di atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan alternatif pengganti dengan

menggunakan steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting

β-2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau

ditambahkan Anti-Leukotriane Receptor (ALTR.).1,14


29

Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala

asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis

kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi pada pemberian >400 ug/hari budesonid

(>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan >600 ug/hari

budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. atau tetap

dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. Penambahan

LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan keberhasilannya yaitu dapat

memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas

hidupnya.15

Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak

mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan

kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah

penggunaan steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan. Langkah ini

diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping

obat. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari.

Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada

pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus berhati-hati karena mempunyai

efek samping yang cukup berat.15

Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal

atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat

dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan

asmanya. Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap

diteruskan.15
30

Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena

perbedaan kemampuan menggunakan alat inhalasi. Dmeikian juga kemauan anak

perlu dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat

hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan

berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuaikan dengan

usia.15

Tabel 6. Anjuran alat inhalasi berdasarkan usia


31

Bagan 2. Alur Tata Laksana Serangan Asma Pada Anak di Fasyankes dan Rumah Sakit
32

Bagan 3. Alur Tata Laksana Serangan Asma


33

BAB 4
PEMBAHASAN

Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering dijumpai

baik pada anak maupun dewasa. Prevalensi asma pada anak sangat bervariasi di

antara negara-negara di dunia, berkisar antara 1- 18%. Meskipun tidak menempati

peringkat teratas sebagai penyebab kesakitan atau kematian pada anak, asma

merupakan masalah kesehatan yang penting. Jika tidak ditangani dengan baik, asma

dapat menurunkan kualitas hidup anak, membatasi aktivitasi sehari-hari,

mengganggu tidur, meningkatkan angka absensi sekolah, dan menyebabkan

prestasi akademik di sekolah menurun.

Terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Akan tetapi,

faktor mana yang lebih berperan tidak dapat dipastikan karena kompleksitas

hubungan kedua faktor tersebut. Asma terjadi karena inflamasi kronik,

hiperresponsif dan perubahan struktur akibat penebalan dinding bronkus

(remodellig) saluran respiratori yang berlangsung kronik bahkan sudah ada sebelum

munculnya gejala awal asma. Penyempitan dan obstruksi pada saluran respiratori

terjadi akibat penebalan dinding bronkus, kontraksi otot polos, edema mukosa,

hipersekresi mukus.

Pada anamnesis didapatkan pasien mengalami sesak napas sejak 2 hari

sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas dapat dipicu oleh debu, paparan asap

rokok dan udara dingin serta intensitasnya bertambah bila malam hari. Keluhan

yang sama juga dialami oleh ibu dan adik dari pasien. Hal ini sesuai dengan sumber

kepustakaan yang menyebutkan bahwa terdapat faktor pencetus yang dapat


34

menimbulkan serangan asma, dan biasanya memberat bila malam hari. Hal ini juga

sesuai dengan sumber kepustakaan yang menyebutkan bahwa asma bronkial dapat

diturunkan secara genetik ke anggota keluarga lainnya.

Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya bunyi “ngik” sewaktu proses

bernapas berlansung dan dapat didengar tanpa menggunakan stetoskop. Bunyi

wheezing dijumpai di kedua lapang paru ketika dilakukan auskultasi. Hal ini sesuai

dengan sumber kepustakaan yang menunjukkan bahwa pada asma bronkial dapat

dijumpai suara tambahan paru berupa wheezing yang disebabkan karena proses

penebalan dinding bronkus, kontraksi otot polos dan edema mukosa.

Pilihan terapi untuk asma bronkial diuraikan sebagai berikut. Nebule

ventolin yang termasuk golongan Beta 2 Agonist berfungsi sebagai relaksan otot

polos jalan napas dengan cara menstimulasi reseptor Beta 2 Adrenergik dengan

meningkatkan C-AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap

bronkokonstriksi. Beta 2 agonis terdiri atas 2 kelompok yaitu short acting dan long

acting. Efek bronkodilator dari short acting beta 2 agonist berlangsung 4-6 jam

sedangkan long acting memperlihatkan waktu kerja 12 jam atau lebih. Nebule

ventolin termasuk golongan Beta 2 Agonist kelompok short acting. Dexamethasone

termasuk dalam golongan kortikosteroid yang memiliki efek anti inflamasi

sehingga dapat menekan edema yang terjadi pada saluran napas. Cetirizine

termasuk golongan antihistamin bekerja dengan menghalangi peningkatan

permeabilitas kapiler dan edema yang disebabkan oleh pelepasan histamin.


35

DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM&PLP,Departemen Kesehatan Republik Indonesia


.Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan[RI;2015]
2. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2011. h 978 – 87.
3. Alsagaff H, Mukty A. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke – 2.
Surabaya : Airlangga University Press. 2012. h 263 – 300.
4. Morris MJ. Asthma. [ updated 2011 June 13; cited 2019 february 3].
Available from : http://emedicine.medscape.com/article/296301-
overview#showall
5. Partridge MD. Examining The Unmet Need In Adults With Severe Asthma.
Eur Respir Rev 2010; 16: 104, 67–72
6. Dewan Asma Indonesia. You Can Control Your Asthma : ACT NOW!.
Jakarta. 2011 May 4th. Available from:
http://indonesianasthmacouncil.org/index.php?option=com_content&task=
view&id=13&Itemid=5
7. Anggia D. Profil Penderita Asma Bronkial yang Dirawat Inap di Bagian
Paru RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari – Desember 2009.
Pekanbaru : Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2009.
8. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Pedoman
Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta. 3 Nopember 2010.
9. Rahmawati I, Yunus F, Wiyono WH. Patogenesis dan Patofisiologi Asma.
Jurnal Cermin Kedokteran. 2009; 141. 5 – 6.
10. Widjaja A. Patogenesis Asma. Makalah Ilmiah Respirologi 2003. Surakarta
: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. 2013. h 27.
11. Noorcahyati S. Pemantauan Kadar Imunoglobulin M (Igm) dan
Imunoglobulin G (Igg) Chlamydia pneumoniae pada Penderita Asma di
36

Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan. Medan : Fakultas


Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2012.
12. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI. 2011. h
477 – 82.
13. Rengganis I. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah
Kedokteran Indonesia. Nopember 2014; 58(11), 444-51.
14. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. 2009. h 73-5
15. Mcfadden ER. Penyakit Asma. Dalam Harrison Prinsip-prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Isselbacher KJ et al, editor. Jakrta : EGC. 2006. 1311-18.

Anda mungkin juga menyukai

  • Cover DS
    Cover DS
    Dokumen2 halaman
    Cover DS
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Lesi Medula Spinalis Akut
    Lesi Medula Spinalis Akut
    Dokumen17 halaman
    Lesi Medula Spinalis Akut
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Referat Revisi
    Referat Revisi
    Dokumen25 halaman
    Referat Revisi
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Vignette Dea
    Vignette Dea
    Dokumen2 halaman
    Vignette Dea
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Slide Jurnal Reading
    Slide Jurnal Reading
    Dokumen17 halaman
    Slide Jurnal Reading
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • MR Dea Ayu Oir
    MR Dea Ayu Oir
    Dokumen30 halaman
    MR Dea Ayu Oir
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar Referat Vivi
    Kata Pengantar Referat Vivi
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar Referat Vivi
    Vivi Rovina
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi Referat Dea
    Daftar Isi Referat Dea
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi Referat Dea
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Cover Lapkas DEAAA
    Cover Lapkas DEAAA
    Dokumen1 halaman
    Cover Lapkas DEAAA
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Referat Anes Dea
    Referat Anes Dea
    Dokumen24 halaman
    Referat Anes Dea
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Referat Anes Dea
    Referat Anes Dea
    Dokumen24 halaman
    Referat Anes Dea
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Slide Referat Dea
    Slide Referat Dea
    Dokumen21 halaman
    Slide Referat Dea
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Translate Jurnal
    Translate Jurnal
    Dokumen11 halaman
    Translate Jurnal
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen3 halaman
    COVER
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar Referat Vivi
    Kata Pengantar Referat Vivi
    Dokumen2 halaman
    Kata Pengantar Referat Vivi
    Vivi Rovina
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi Referat Dea
    Daftar Isi Referat Dea
    Dokumen2 halaman
    Daftar Isi Referat Dea
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Referat Dea
    Referat Dea
    Dokumen36 halaman
    Referat Dea
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • 9 Daftar Pustaka
    9 Daftar Pustaka
    Dokumen1 halaman
    9 Daftar Pustaka
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • COVER
    COVER
    Dokumen3 halaman
    COVER
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • 3 BAB 2 Laporan Kasus
    3 BAB 2 Laporan Kasus
    Dokumen11 halaman
    3 BAB 2 Laporan Kasus
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    Ahmad Setyadi
    Belum ada peringkat
  • Bab 4
    Bab 4
    Dokumen1 halaman
    Bab 4
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Kata Pengantar
    Kata Pengantar
    Dokumen1 halaman
    Kata Pengantar
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen10 halaman
    Bab 3
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • 4 BAB 3 TINJAUAN Efusi Pleura
    4 BAB 3 TINJAUAN Efusi Pleura
    Dokumen23 halaman
    4 BAB 3 TINJAUAN Efusi Pleura
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen13 halaman
    Bab 2
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen3 halaman
    Bab 1
    Dea Fathia
    Belum ada peringkat