Anda di halaman 1dari 24

Referat

KARSINOMA NASOFARING PADA ANAK

Oleh :
Hasan Husien
NIM. 1808436385

Pembimbing :
dr. Harianto, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2019

0
BAB I
PENDAHULUAN

Sel-sel tubuh normal akan tumbuh membelah menjadi sel baru dan mati
secara teratur. Pada awal kehidupan, sel-sel normal membelah lebih cepat untuk
memungkinkan orang untuk tumbuh. Setelah dewasa, kebanyakan sel hanya
membagi untuk menggantikan sel yang usang atau sel mati atau untuk
memperbaiki cedera. Kanker dimulai ketika sel-sel di bagian tubuh mulai tumbuh
di luar kendali. Pertumbuhan sel kanker berbeda dari pertumbuhan sel yang
normal. Sel-sel kanker terus tumbuh dan membentuk sel baru, sel-sel yang
abnormal. Sel-sel kanker juga dapat menyerang (tumbuh menjadi) jaringan lain,
sesuatu yang sel normal tidak bisa dilakukan.1
Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang muncul pada
daerah nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung), sering
ditemukan pada orang dewasa, namun jarang dijumpai pada anak. Angka kejadian
KNF pada anak bervariasi antara 1% - 5% dari seluruh kejadian keganasan pada
anak dan pada umumnya berhubungan dengan infeksi virus Epstein-Barr. Insidens
KNF relatif tinggi di negara-negara Asia Tenggara, Cina khususnya bagian
Selatan, Kanada, Alaska, Greenland, dan Afrika Utara.1
Kejadian tahunan KNF di Inggris adalah 0,25 per juta (umur standar, usia
0-14 tahun), 0,1 per juta pada usia 0-9 tahun dan 0,8 per juta pada usia 10-14
tahun. Pada daerah Asia Timur dan Tenggara didapatkan angka kejadian yang
tinggi. Angka kejadian tertinggi di dunia terdapat di propinsi Cina Tenggara yakni
sebesar 40 – 50 kasus KNF diantara 100.000 penduduk. Karsinoma Nasofaring
sangat jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika Utara dengan angka
kejadian sekitar <1 dalam 100.000 penduduk. Di Indonesia, karsinoma nasofaring
merupakan salah satu jenis keganasan yang sering ditemukan, berada pada urutan
ke 4 kanker terbanyak di Indonesia setelah kanker leher rahim, kanker payudara
dan kanker paru.2
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan salah satu bentuk tumor ganas
yang berasal dari sel epitel, yang jarang ditemukan pada anak. Insiden KNF pada
anak rendah, tetapi dalam dekade terakhir terjadi peningkatan kasus pada usia

1
remaja yang datang pada stadium lanjut. Terdapat beberapa perbedaan KNF pada
anak dengan orang dewasa, walaupun tatalaksana tidak berbeda. Dari segi
manifestasi klinis, anak dengan KNF sebagian besar datang dengan keluhan masa
di leher yang tidak nyeri. Gejala klinis pada orang dewasa berbeda dengan anak,
kira-kira sepertiga pasien datang dengan massa di leher yang tidak nyeri, sepertiga
lainnya dengan gangguan pendengaran dan 20% dengan kelumpuhan saraf kranial
(nervus V dan VII).3
Pasien KNF anak umumnya datang dalam keadaan lanjut (stadium III atau
IV), namun jarang ditemukan metastasis jauh. Temuan tersebut berbeda dengan
orang dewasa, walaupun ukuran tumor saat diagnosis awal kurang lebih sama
dengan pasien anak, namun metastasis jauh dilaporkan 20% terjadi pada orang
dewasa. Gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tidak mudah
diperiksa oleh yang bukan ahli, sehingga diagnosis sering terlambat dan
menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala awal.3,4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi


Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga
hidung. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basi sphenoid, basi
occiput dan ruas pertama tulang belakang. Batas superior nasofaring adalah dasar
sinus sphenoid dan clivus, anterior dibatasi choanae, inferior dibatasi orofaring,
posterior dibatas muskulature prevertebral dan sebelah lateralnya oleh spasium
parapharyngeal.5
Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustacius dimana
orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehingga
penyebaran tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustakius
dan akan mengganggu pendengaran. Ke arah posterosuperior dari torus tubarius
terdapat fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma
nasofaring. Pada atap nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang
dibentuk oleh jaringan lunak sub mukosa, dimana pada usia muda dinding
postero-superior nasofaring umumnya tidak rata. Hal ini disebabkan karena
adanya jaringan adenoid. Di nasofaring terdapat banyak saluran getah bening yang
terutama mengalir ke lateral bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar
Rouviere).5
Secara anatomis, nasofaring berhubungan dengan cavum nasi dan
berperan sebagai saluran udara saat pernapasan, karena strukturnya yang dibangun
dari tulang, nasofaring bersifat paten dalam keadaan normal. KNF merupakan
karsinoma sel skuamosa yang berasal dari epitel nasofaring. Neoplasma ini dapat
berasal dari semua bagian nasofaring. Biasanya KNF dimulai dari fossa
Rosenmuller.6
Fossa Rosenmuller atau resessus pharyngeus lateral terletak superior dan
posterior dari torus tubarius. Konfigurasi J terbalik dari torus tubarius menjadi
dasar mengapa fossa Rosenmüller tampak posterior pada potongan axial dan
superior pada koronal dari orifisium tuba eustachius. Tuba eustachius masuk ke
nasofaring melalui sinus Morgagni, sebuah defek pada fascia pharyngobasilar

3
yang merupakan perluasan kranial dari muskulus konstriktor superior. Spasium
parapharyngeal memisahkan spasium viseral nasofaringeal dari spasium
mastikasi. KNF biasanya meluas menyeberangi Spasium parapharyngeal sehingga
dapat menginfiltrasi otot mastikasi dan menyebar perineural ke nervus mandibular
dan kavum intrakranial. Selain itu dalam spasium parapharyngeal retrostyloid juga
terdapat spasium karotid yang juga dapat diinvasi KNF.6
Faring menerima aliran darah dari sistem arteri karotis eksterna terutama
arteri pharyngeal ascendens. Vena dari faring akan mengalir ke vena jugularis
interna. Persarafan dari otot dan mukosa faring didapatkan dari pleksus
pharyngeal yang menerima serat dari nervus glossopharyngeal dan nervus vagus.
Plexus itu sendiri terletak diluar dari otot konstriktor pharyngeus medius.6
Antara nasofaring dengan corpus vertebra terdapat spasium retrofaring dan
spasium prevertebralis. Di dalam spasium retropharyngeal ada nodus
retropharyngeal lateral Rouviere. Nodus ini merupakan nodus pertama pada aliran
limfatik nasofarik dan dapat diidentifikasi sebagai nodul berukuran 3-5 mm akan
tetapi, pada 35% pasien dengan KNF, limfadenopati servikal dapat ditemukan
tanpa adanya pembesaran nodus retropharyngeal lateral. 6

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring8


Aliran limfatik dari nasofaring mengalir dalam arah anteroposterior
menuju ke basis krani dimana nervus IX dan XII berada. Jalur aliran limfatik

4
lainnya meliputi drainase ke limfonodus servikal posterior dan jugulodigastrik.
Foramen laserum dan ovale merupakan jalur yang potensial untuk penyebaran
tumor ke intrakranial. Foramen laserum terletak superolateral dari fossa
Rosenmüller dan terletak pada perlekatan fascia pharyngobasilar pada basis cranii.
Kartilago mengisi bagian inferior foramen laserum dan foramen ovale terletak di
lateral dari perlekatan fascia pharyngobasilar terhadap basis cranii.6
Hal yang perlu diketahui berikutnya adalah jenis epitel pada mukosa
nasofaring. Mukosa nasofaring terdiri dari beberapa baris epotel bersilia dan
berbeda dari orofaring dan hipofaring yang tersusun dari epitel skuamosa non
keratinisasi bertingkat.7
2.2 Definisi
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang dimulai pada nasofaring,
bagian atas tenggorokan di belakang hidung dan dekat pangkal tengkorak.
Sebagian besar tumor ganas nasofaring adalah karsinoma sel skuamosa. Menurut
WHO, terdapat 3 bentuk sel karsinoma, yaitu:2,9
 keratinisasi karsinoma sel skuamosa (tipe 1)
 karsinoma tidak berkeratinisasi (tipe 2)
 karsinoma tidak berdeferensiasi (tipe 3)
2.3 Epidemiologi
Mayoritas pasien KNF adalah anak laki-laki dengan perbandingan laki-
laki dan perempuan 10 : 3. Pengamatan tersebut sesuai dengan hasil studi di Cina
dan Pakistan yang menunjukkan proporsi lebih banyak pada pasien laki-laki.
Studi di Brunei Darussalam pada tiga suku bangsa berbeda (Cina, India dan
Melayu) juga menunjukkan hasil serupa. Kajian literatur menggambarkan
distribusi usia di negara-negara Barat dan Amerika, dengan angka kejadian
tertinggi pada usia 10 hingga 20 tahun, kemudian 40 hingga 60 tahun. Namun
distribusi tersebut tidak dijumpai di daerah endemik. Median usia pada anak-anak
adalah 13 tahun. Gambaran histopatologi WHO tipe III adalah yang tersering
ditemukan pada daerah dengan prevalensi KNF yang tinggi. Negara-negara di
Asia Tenggara termasuk Indonesia, termasuk daerah endemik KNF.3
Angka kejadian karsinoma nasofaring pada anak bervariasi dan
dipengaruhi oleh faktor geografis dan latar belakang etnis. Studi epidemiologi

5
menduga bahwa KNF terkait dengan faktor lingkungan dan kerentanan genetik,
terbukti laju peningkatan kasus KNF pada penduduk berkebangsaan Cina dan
lahir di Cina lebih tinggi dibandingkan dengan yang lahir di Amerika Utara. Studi
genetik mengemukakan risiko terkena karsinoma nasofaring tinggi pada individu
dengan human leukocyte antigen (HLA) spesifik tertentu. Selain itu, faktor
lingkungan yang dikaitkan dengan konsumsi ikan asin (mengandung nitrosamin)
sejak usia dini juga meningkatkan risiko terjadinya KNF. Virus Epstein-Barr
(EBV) telah lama diketahui sebagai penyebab pada beberapa keganasan termasuk
KNF. Titer antibodi immunoglobulin G dan A (IgG dan IgA) tinggi terhadap
antigen kapsid viral banyak ditemukan pada pasien KNF. Ketiga faktor tersebut
yaitu genetik, lingkungan dan infeksi berperan penting dalam perkembangan
KNF, namun masih memerlukan penelitian lebih lanjut.5,10
Data epidemiologi tahun 1999 menunjukkan bahwa KNF memiliki
proporsi 5,78% dari seluruh penyakit keganasan di Indonesia, dan menjadi jenis
keganasan kelima tersering pada laki-laki dan perempuan. Namun insidens
karsinoma nasofaring pada anak di Indonesia tidak diketahui secara pasti. Di
Departemen IKA RSCM, karsinoma nasofaring berada pada urutan ke-10 dan
berkontribusi 2% (24 dari 1194 pasien) seluruh keganasan pada anak tahun 2004 –
2009.2,10,11
Data dari Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin menunjukkan bahwa
sebanyak 18 % kasus karsinoma nasofaring ditemukan pada anak dibawah usia 18
tahun.
2.4 Etiologi
Ada tiga faktor yang memungkinkan terjadinya KNF yakni faktor genetik,
lingkungan dan, Epstein Barr Virus.10,12
a. Faktor Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi


kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial.13
b. Faktor lingkungan
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa merokok meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6 kali. Sekitar 60% karsinoma

6
nasofaring tipe I berhubungan dengan merokok sedangkan risiko karsinoma
nasofaring tipe II atau III tidak berhubungan dengan merokok. Rokok
mempunyai lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk nitrosamin yang
meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring. Perokok lebih dari 30
bungkus per tahun mempunyai risiko besar terkena karsinoma nasofaring.
Kebanyakan penderita karsinoma nasofaring merokok selama minimal 15
tahun (51%) dan mengkonsumsi tembakau dalam bentuk lain (47%). Merokok
lebih dari 25 tahun meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.10,13
Beberapa peneliti menyatakan bahwa insidens karsinoma nasofaring yang
tinggi di Cina Selatan dan Afrika Utara disebabkan karena asap dari pembakaran
kayu bakar. Sembilan puluh tiga persen penderita karsinoma nasofaring tinggal di
rumah dengan ventilasi buruk dan mempunyai riwayat terkena asap hasil bakaran
kayu bakar. Pajanan asap hasil kayu bakar lebih dari 10 tahun meningkatkan 6 kali
lipat terkena karsinoma nasofaring.10
c. Infeksi Virus Epstein Barr
Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun 1960
dalam biakan sel limfoblas dari pasien limfoma Burkitt. Virus ini merupakan
virus DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes
(Herpesviridae) yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa
penyakit yaitu, mononukleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt
dan KNF. Genom DNA VEB mengandung 172 kbp dan memiliki kandungan
guanin-plus-sitosin sebesar 59%. Melalui tempat replikasinya di orofaring,
VEB dapat menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada sel
ini, menetap pada pasien yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit
yang berarti.14,15
Serum pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring
primer maupun sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap
antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA);
dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi.
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma
nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Hubungan
ini juga terdapat pada pasien di Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring

7
aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini berhubungan dengan karsinoma nasofaring
tidak berdifrensiasi (undifferentiated) dan karsinoma nasofaring non-
keratinisasi (nonkeratinizing) yang aktif (dengan mikroskop cahaya).2
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, Karena pada semua pasien karsinoma nasofaring
didapatkan titer anti-virus Epstein-Barr yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi
dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ
tubuh lainnya bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun.4
d. Faktor Makanan

Paparan non-viral yang paling konsisten dan berhubungan kuat dengan


risiko karsinoma nasofaring adalah konsumsi ikan asin. Konsumsi ikan asin
meningkatkan risiko 1,7 sampai 7,5 kali lebih tinggi dibanding yang tidak
mengkonsumsi. Diet konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali sebulan
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.Potensi karsinogenik ikan asin
didukung dengan penelitian pada tikus disebabkan proses pengawetan dengan
garam tidak efi sien sehingga terjadi akumulasi nitrosamine, yang dikenal
karsinogen pada hewan. Enam puluh dua persen pasien karsinoma nasofaring
mengkonsumsi secara rutin makanan fermentasi yang diawetkan. Tingginya
konsumsi nitrosamin dan nitrit dari daging, ikan dan sayuran yang berpengawet
selama masa kecil meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Delapan puluh
delapan persen penderita karsinoma nasofaring mempunyai riwayat konsumsi
daging asap secara rutin.5,10
2.5 Gejala dan Tanda
Gejala dari karsinoma nasofaring dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf. Gejala nasofaring dapat
berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung untuk itu nasofaring harus
diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop karena sering tidak
menimbulkan gejala sedangkan tumor sudah tumbuh atau tumor tidak tampak
karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping tumor). Gangguan pada telinga
merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba
eustachius (fossa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa gangguan pendengaran,
tinitus, rasa tidak nyaman sampai rasa nyeri di telinga.2,4

8
Nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang, maka gangguan beberapa saraf otak ke III, IV, VI dan dapat pula ke V,
sehingga tidak jarang gejala diplopialah yang membawa pasien lebih dahulu ke
dokter mata. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI
dan XII jika penjalaran melalui foramen jugulare yaitu tempat yang relatif jauh
dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah
mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai
dengan dekstruksi tulang tengkorak dan bila sudah terjadi demikian, biasa
prognosisnya buruk.4,12
Sekitar 3 dari 4 orang dengan KNF datang dengan keluhan benjolan atau
massa di leher ketika mereka pertama kali berobat dokter. Mungkin ada benjolan
pada kedua sisi leher ke arah belakang. Benjolan biasanya keras dan tidak sakit.
Hal ini disebabkan oleh kanker menyebar ke kelenjar getah bening di leher,
membuat kelenjar tersebut lebih besar dari biasanya. Kelenjar getah bening adalah
kelenjar atau organ yang mengandung sel sistem kekebalan tubuh yang ditemukan
di seluruh tubuh.1

9
Gejala
optalmika
dan wajah CN III,
Trismu IV, V,
s VI
OM
sero
Foramen sa
Tub
Parapha lacerum
a
ringeal dan ovale
euta
space chiu
s Obs
Parese
nasal,
CN Ca Hidung epistak
IX, X, Nx
Nodus dan sis,
XI,
retrofari orbita proptos
XII
ngeal is

Nodus Metast
cervica asis
ll jauh
Paru-
paru,
Nyeri
Pemb. Nodus hati,
leher
upper jugular tulang
dan
kaku dan sudut
posterior

Gambar 2.2 Gejala klinis10,12

2.6 Patogenesis
Karsinoma Nasofaring merupakan keganasan berupa tumor yang berasal
dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan
dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi
kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal
terbentuknya karsinoma nasofaring adalah pada fosa Rossenmuller. Penyebaran ke
jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya
metastasis lesi karsinoma lainnya.2

10
Penyebaran KNF dapat berupa : 2
1. Penyebaran ke atas
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fosa medialis,
disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum,
kemudian ke sinus kavernosus, fosa kranii media dan fosa kranii anterior
mengenai saraf-saraf kranialis anterior (N.I – N. VI). Kumpulan gejala
yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis
tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah
diplopia dan neuralgia trigeminal (parese N. II-N.VI).
2. Penyebaran ke belakang
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia
faringobasilaris yaitu sepanjang fosa posterior (termasuk di dalamnya
foramen spinosum, foramen ovale dll), di mana di dalamnya terdapat N.
IX – XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup
posterior dari saraf otak yaitu N. VII – N. XII beserta nervus simpatikus
servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada N. IX – N. XII disebut
Sindrom Retroparotidean/Sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII
jarang mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tinggi
dalam sistem anatomi tubuh.
3. Penyebaran ke kelenjar getah bening
Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu
penyebab utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma.
Pada karsinoma nasofaring, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat
mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelenjar getah bening pada lapisan
submukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening
diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu Nodus
Rouvierre. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak
sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher
bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering
diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus,
menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi
lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang
lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang
mendorong pasien datang ke dokter.

11
4. Metastasis jauh
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau
darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang
sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan
prognosis sangat buruk.
Pertumbuhan KNF dapat bersifat eksofitik dimana massa dapat
memenuhi seluruh area post nasal dan ditandai dengan ulserasi dan
pendarahan kontak. Namun pada 10% pasien dengan KNF lesi dapat
bersifat submukosa sehingga pada pemeriksaan nasofaring, mukosa dapat
terlihat normal dan hanya tampak permukaan yang iregular. Pertumbuhan
ini disebut sebagai endofitik. Selain itu pertumbuhan endofitik juga
biasanya hanya ditandai dengan perubahan warna mukosa menjadi
kemerahan. Pada suatu kajian, pertumbuhan endofitik cenderung lebih
agresif dibandingkan eksofitik.

2.7 Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang.2
2.7.1 Anamnesis
Anamnesis dan gambaran klinis , yang terdiri dari :
Penegakan diagnosis didasarkan pada anamnesis dimana pasien datang
berbagai gejala yang dikeluhkan sesuai dengan penjalaran kanker. Gejala-gejala
dan tanda dari karsinoma nasofaring dapat dibagi atas 2 macam berdasarkan
metastasenya, yaitu:2
1. Gejala dini/gejala setempat, adalah gejala-gejala yang dapat timbul di
waktu tumor masih tumbuh dalam batas-batas nasofaring, dapat berupa:
a. Gejala hidung: pilek lama yang tidak kunjung sembuh; epistaksis
berulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan lendir
hidung sehinga berwarna merah jambu; lendir hidung seperti nanah,
encer/kental, berbau.
b. Gejala telinga: tinnitus (penekanan muara tuba eustachii oleh tumor,
sehingga terjadi tuba oklusi, menyebabkan penurunan tekanan dalam
kavum timpani), penurunan pendengaran (tuli), rasa tidak nyaman di
telinga sampai otalgia.

12
2. Gejala lanjut/gejala pertumbuhan atau penyebaran tumor, dapat berupa:
a. Gejala mata: diplopia (penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor
melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV (N.
Trochlearis) dan N. VI (N. Abducens). Bila terkena chiasma opticus
akan menimbulkan kebutaan.
b. Gejala tumor: pembesaran kelenjar limfe pada leher, merupakan tanda
penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma
nasofaring.
c. Gejala kranial, terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai
saraf-saraf kranialis, antara lain:
- Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan
metastase secara hematogen.
- Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang.
- Kesukaran pada waktu menelan
- Afoni
- Sindrom Jugular Jackson atau sindrom retroparotidean mengenai
N. IX (N. Glossopharyngeus), N. X (N. Vagus), N. XI (N.
Accessorius), N. XII (N. Hypoglossus). Dengan tanda-tanda
kelumpuhan pada: lidah, palatum, faring atau laring, M.
Sternocleidomastoideus, M. Trapezius.
2.7.2 Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan Fisis , yang dapat dilakukan yaitu :2
Inspeksi dan palpasi : tampak benjolan pada leher (lateral) dengan berbagai
ukuran, biasanya berada di level II-III dengan permukaan rata, terfiksir dan tidak
nyeri tekan. Tampak massa di dinding nasofaring berwarna kemerahan dengan
permukaan tidak rata yang tampak dengan pemeriksaan rinoskopi posterior.
Untuk mengetahui keadaan membran timpani dilakukan pemeriksaan otoskopi
sedangkan untuk mengetahui adanya penurunan pendengaran dapat dilakukan tes
garpu tala. Untuk mengetahui keadaan kavum nasi, keadaan konka inferior, konka
media serta sekret bila ada dapat dilakukan pemeriksaan rinoskopi anterior.
Pemeriksaan saraf kranial untuk mengetahui adanya perluasan tumor ke jaringan
sekitarnya.

13
Gambar 2.3 Tampak benjolan pada leher

2.7.3 Laboratorium
Hitung darah lengkap dan fungsi hati juga harus dilakukan untuk
menghilangkan kemungkinan metastasis. Titer EBV perlu diperiksa karena pada
tumor nasofaring juga dapat meningkat. Virus Epstein-Barr tergolong dalam
herpes virus dan antigen spesifik EBV dapat digolongkan menjadi antigen
replikatif, fase laten, dan antigen fase lanjutan. Pada pasien dengan KNF,
imunoglobulin A (IgA) berespon terhadap antigen awal dan viral capsid antigen
(VCA) dapat dijadikan dasar untuk diagnostik. IgA anti VCA lebih sensitif tapi
kurang spesifik dibandingkan IgA anti EA. Pada orang sehat yang terdeteksi IgA
anti VCA dapat memiliki KNF subklinis dan deteksi KNF dapat mencapai 30 kali
lebih tinggi dari populasi normal.2
Immunoglobulin IgA anti-VCA dianggap berhubungan dengan tahapan
stadium penyakit dan kadarnya dapat berkurang dengan pemberian terapi,
sehingga dapat bernilai sebagai tumor marker dan deteksi rekurensi. Selain itu
DNA EBV juga dapat digunakan sebagai tumor makrker namun sensitivitasnya
sedang.2

2.7.4 Pemeriksaan Penunjang

14
a. Biopsi
Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan hasil biopsi. Biopsi
nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke
nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.7

Gambar 2.5 Endoskopi nasal, tampak massa yang masuk diantara palatum molle
dan dinding posterior faring (kiri) dan massa dilihat dari cavum nasi7

Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang


dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik
keluar dan diklem bersama sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga
dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas.
Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan
melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang
dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor
nasofaring umumnya dilakukan dengan analgesia topikal dan dalam keadaan
tertentu dapat dilakukan dengan anestesi general.2,7
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan CT Scan sangat membantu untuk menentukan lokasi dan
perluasan tumor. MRI juga dilakukan untuk mengevaluasi kepala dan leher. Foto
thorax, Pemeriksaan PET Scan dan bone scan juga dilakukan untuk melihat
apakah ada tanda metastasis.2,16

15
Gambar 2.6. MRI KNF pada fossa rosenmuller

Modalitas radiologi dapat dilakukan untuk menilai invasi tumor ke


ruangan sekitarnya. Invasi yang dapat terjadi meliputi invasi ruang orbita.

Gambar 2.7 Modalitas CT scan menunjukkan invasi tumor ke fossa


pterygopalatina dextra (kiri) fissura orbitalis inferior dextra( tengah) dan cavung
orbita dextra (kanan)

16
Gambar 2.8 Dengan CT scan kontras potongan axial menunjukkan adanya
gambaran tumor (*) dengan penyebaran ke spasium retrofaring dan otot
prevertebral (kiri) dan extensi tumor pada dinding faring kanan (kanan)

Hal yang paling penting diketahui adalah apakah terdapat penyebaran ke


daerah yang lebih jauh misalnya ke intrakranial. Modalitas radiologi juga dapat
membantu mengungkapkan hal tersebut.

Gambar 2.9 Dengan MRI (kiri) ditemukan invasi ke otot prevertebral (panah
hitam) dan spasium karotid kiri (panah putih) dan fossa cranial posterior (*) pada
gambar kanan ditemukan penyebaran tumor melalui foramen magnum ke fossa
posterior.

2.8 KLASIFIKASI STADIUM


Klasifikasi TNM International Union Against Cancer (UICC) and
American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 2002, adalah sebagai berikut:

17
1. Tumor Primer (T)
 Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
 T0 Tidak terdapat tumor primer
 Tis Karsinoma in situ
 T1 Tumor terbatas pada nasofaring
 T2 Tumor meluas ke jaringan lunak nasofaring dan/atau nasal fossa
T2a Tanpa perluasan ke parafaringeal
T2b Dengan perpanjangan parafaringeal
 T3 Tumor masuk ke struktur tulang dan atau sinus paranasal/orofaring
 T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan atau keterlibatan saraf
kranial, infratemporal fossa, hipofaring atau orbita
2. KGB regional (N)
 NX KGB regional tidak dapat dinilai
 N0 Tidak terdapat metastasis ke KGB regional
 N1 Metastasis bilateral di KGB, 6cm atau kurang di atas fosa
suprakavikula
 N2 Metastasis bilateral di KGB, 6cm atau kurang dalam dimensi terbesar
di atas fosa suprakalvikula
 N3 Metastasis di KGB, ukuran >6cm
N3a Ukuran >6cm
N3b Perluasan ke fosa supraklavikula
3. Metastasis Jauh (M)
 MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai
 M0 Tidak terdapat metastasis jauh
 M1 Terdapat metastasis jauh

Pengelompokkan Stadium (Stage Grouping)


1. Stadium 0 Tis N0 M0
2. Stadium I T1 N0 M0
3. Stadium IIA T2a N0 M0
4. Stadium IIB T1 N1 M0; T2a N1 M0; T2b N0 M0; T2b N1 M0

18
5. Stadium III T1 N2 M0; T2a N2 M0; T2b N2 M0; T3 N0 M0; T3 N1 M0;
T3 N2 M0
6. Stadium IVA T4 N0 M0; T4 N1 M0; 7T4 N2 M0
7. Stadium IVB Semua T N3 M0
8. Stadium IVC Semua T Semua N M0

2.9 Diagnosis Banding


Nasofaring merupakan bagian faring yang sulit dilhat, untungnya banyak
manifestasi tak langsung dari karsinoma nasofaringnya bisa digunakan untuk
mencurigai adanya lesi pada nasofaring. Bila terjadi obstruksi koana huruf M
akan terdengar seperti huruf B dan N seperti huruf D. Bila pasien mengeluh
sengau dan hasil pemeriksaan hidung anterior normal curigailah sebagai kelainan
nasofaring. Sehingga beberapa lesi di nasofaring denga gejala yang hampir mirip
bisa dianggap sebagai diagnosis banding.10
1. Hipertrofi adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa. Pada anak
anak, hiperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat
suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring, umumnya berbatas tegas dan
simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda tanda infiltrasi seperti
pada KNF.
2. Angiofibroma Juvenilis
Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai
KNF yakni epsitaksis dan obstruksi nasal. Tumor ini kaya akan pembuluh darah
dan biasanya tidak infiltratif. Tumor ini memiliki lokasi tipikal yang terletak di
nasal choana dan di nasofaring dan fossa pterygopalatina. Pada foto polos akan
didapatkan suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat
meluas seperti pada penyebaran karsinoma. Biasanya aliran darah berasal dari
arteri pharyngea ascendens. Karena tumor ini kaya akan dinding vaskuler maka
arteriografi karotis eksterna sangat diperlukan sebab gambarnya sangat
karakteristik.10
2.10 Tatalaksana
Terapi dapat mencakup radiasi, kemoterapi, kombinasi keduanya, dan
didukung dengan terapi simptomatik sesuai dengan gejala.

19
Stadium I : radioterapi
Stadium II&III : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N<6cm : kemoradiasi
Stadium IV dengan N>6cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi.

2.10.1 Radioterapi
Terapi standar KNF adalah radioterapi. Radiasi diberikan kepada seluruh
stadium (I, II, III, IV lokal) tanpa metastasis jauh (M1) degan sasaran radiasi
tumor primer dan KGB leher dan supraklavikula. Keuntungan dengan
memberikan radioterapi sebagai regimen tunggal pada kanker stadium I dan II
akan memberikan harapan hidup 5 tahun 90-95%, namun kendala yang dihadapi
adalah sebagian besar pasien datang dengan stadium lanjut (stadium III dan IV),
bahkan sebagian lagi datang dengan keadaan umum yang jelek. Disamping itu
KNF dikenal sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk mengadakan
metastasis regional maupun jauh. Keberhasilan terapi sangat dipengaruhi oleh
stadium. 14
Radiasi dapat diberikan dalam bentuk:
• Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring) beserta kelenjar getah
bening leher, dengan dosis 66 Gy pada T1-2 atau 70 Gy pada T3-4; disertai
penyinaran kelenjar supraklavikula dengan dosis 50 Gy.
• Radiasi intrakaviter sebagai radiasi booster pada tumor primer diberikan dengan
dosis (4x3 Gy), sehari 2 kali
• Bila diperlukan booster pada kelenjar getah bening diberikan penyinaran dengan
elektron.

2.10.2 Kemoterapi
Kombinasi radiokemoterapi sebagai radiosensitizer terutama diberikan
pada pasien dengan T3-T4 dan N2-N3. Kemoterapi sebagai radiosensitizer
diberikan preparat platinum based 30-40 mg/m2 sebanyak 6 kali, setiap minggu
sekali 2,5 sampai 3 jam sebelum dilakukan radiasi. Kombinasi kemoterapi dan
radioterapi telah diterima oleh kebanyakan ahli onkologi sebagai standar terapi
KNF stadium lanjut. Penderita dengan keadaan umum yang buruk, gizi kurang

20
atau demam tidak diperbolehkan untuk radiasi, kecuali pada keadaan yang
mengancam hidup penderita, seperti obstruksi jalan makanan, perdarahan yang
masif dari tumor, radiasi tetap dimulai sambil memperbaiki keadaan umum
penderita.12,17
Kontraindikasi kemoterapi:
a. Kontraindikasi absolut: mendekati meninggal (stadium terminal), hamil
(trimester I), septikemia, koma.

b. Kontraindikasi relatif : bayi di bawah 3 bulan, usia lanjut ( terutama bila


tumor tumbuh lambat atau kurang sensitif terhadap kemoterapi), keadaan
umum buruk, gangguan organ tertentu seperti ginjal, hati, jantung,
sumsum tulang, metastase ke otak, resisten terhadap obat anti kanker
yang diberikan.

2.10.3 Obat-obatan Simptomatik


Keluhan yang biasa timbul saat sedang diradiasi terutama adalah akibat
reaksi akut pada mukosa mulut, berupa nyeri untuk mengunyah dan menelan.
Keluhan ini dapat dikurangi dengan obat kumur yang mengandung antiseptik dan
adstringent, (diberikan 3 – 4 sehari). Bila ada tanda-tanda moniliasis, dapat
diberikan antimikotik.
Pemberian obat-obat yang mengandung anestesi lokal dapat mengurangi
keluhan nyeri menelan. Sedangkan untuk keluhan umum, misalnya nausea,
anoreksia dan sebagainya dapat diberikan terapi simptomatik. Radioterapi juga
diberikan pada kasus metastasis untuk tulang,paru, hati, dan otak.11

2.11 Prognosis
Prospek seorang pasien untuk pemulihan tergantung pada banyak faktor
seperti staging kankernya, usia dan kesehatan umum pada saat diagnosis. Hal ini
juga tergantung apakah mereka respon terhadap pengobatan. Umumnya KNF
yang diobati memiliki tingkat kesembuhan yang tinggi pada tahap awal dengan
persentase lebih dari 90% pasien dengan stage I karsinoma nasofaring hidup 5
tahun setelah diagnosis.11

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Society AC. Nasopharingeal facts and figure 2015. Atlanta: GA: American
Cancer Society; 2015.

22
2. Byron J. B JTJ, Shawn D. N. Nasopharyngeal cancer. In: Wei WI, editor.
Head and neck surgery - Otolaryngology. 4th ed. Philladelphia: Lippincott;
2006.
3. Novie Amelia GC, Endang Windiastuti. Karsinoma nasofaring pada anak :
karakteristik, tatalaksana, dan prognosis. Sari Pediatri. 2011;13(1).
4. Roezin A AM. Karsinoma nasofaring, pada telinga hidung tenggorok pada
kepala & leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.
5. Snow JB. Neoplasma of the nasopharynx. In: Plant RL, editor. Ballenger's
Otorhinology head and neck surgery. Shelton: People's Medical Publishing
House; 2009.
6. Lalwani A. Benign and malignant lesions of the oral cavity, oropharynx and
nasopharynx Current diagnosis and treatment otolaryngology. Philladelphia:
The McGraw-Hill Companies; 2007. p. 1-16.
7. Probst R GG, Iro H. Anatomy, physiology and immunology of the pharynx
and esophagus: Thieme; 2006.
8. Yokochi R, Decrof. Color atlas of anatomy. 4th ed: Thieme; 2005.
9. George L. A LRB, Peter A. H. BOIES - Buku ajar penyakit THT. Jakarta:
EGC; 1997.
10. Dhingra P. Disease of ear, nose, and throat. 4th ed. New Delhi: Elsevier; 2008.
11. Indonesia KKR. Panduan nasional penanganan kanker nasofaring. Jakarta:
Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN); 2015.
12. Saad S WT. Nasopharyngeal carcinoma: Current treatment options and future
directions. J Nasopharyng Carcinoma. 2014;1(16):e16.
13. Cheuk IWY WV. Genetic association on radiation induced mucosal and skin
toxicity in patients with nasopharyngeal carcinoma. J Nasopharyng
Carcinoma. 2014;1(7):e7.
14. Lacovelli N A BP, Fallai C, Gardani G, Orlandi E. Emerging prognostic
factors in Nasopharyngeal carcinoma. J Nasopharyng Carcinoma
2014;8(1):e8.
15. Zeng FW CM. Clinical application value and progress of PET/CT in
nasopharyngeal carcinoma. J Nasopharyng Carcinoma. 2014;1(2):e2.
16. Chan M SA, Fatterpekar G, Yu E. Imaging of Nasopharyngeal Carcinoma. J
Nasopharyng Carcinoma. 2014;1(11):e11.
17. Peter H. R PQM, Patrick J, G. Principles and practice of head and neck
oncology. London: Martin Dunitz Taylor and Francis Group; 2003.

23

Anda mungkin juga menyukai