Anda di halaman 1dari 11

Nama : Yefnira Ariska

NIM : 190301071

Rukun-Rukun Sholat:
Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah setiap perkataan atau
perbuatan yang akan membentuk hakikat shalat. Jika salah satu rukun ini
tidak ada, maka shalat pun tidak teranggap secara syar’i dan juga tidak bisa
diganti dengan sujud sahwi.

Meninggalkan rukun shalat ada dua bentuk.

Pertama: Meninggalkannya dengan sengaja. Dalam kondisi seperti ini


shalatnya batal dan tidak sah dengan kesepakatan para ulama.

Kedua: Meninggalkannya karena lupa atau tidak tahu. Di sini ada tiga
rincian,

1. Jika mampu untuk mendapati rukun tersebut lagi, maka wajib untuk
melakukannya kembali. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama.
2. Jika tidak mampu mendapatinya lagi, maka shalatnya batal menurut
ulama-ulama Hanafiyah. Sedangkan jumhur ulama (mayoritas ulama)
berpendapat bahwa raka’at yang ketinggalan rukun tadi menjadi
hilang.
3. Jika yang ditinggalkan adalah takbiratul ihram, maka shalatnya harus
diulangi dari awal lagi karena ia tidak memasuki shalat dengan benar.

Rukun pertama: Berdiri bagi yang mampu


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ٍ ‫ َج ْن‬/‫ َفإِنْ لَ ْم َتسْ َتطِ عْ َف َعلَى‬، ‫ َفإِنْ لَ ْم َتسْ َتطِ عْ َف َقا ِع ًدا‬، ‫ص ِّل َقائِمًا‬
‫ب‬ َ

“Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam


keadaan duduk. Jika tidak mampu lagi, maka kerjakanlah dengan tidur
menyamping.”[1]

Rukun kedua: Takbiratul ihram


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

ُّ ‫ة‬/ِ َ‫صال‬
‫ ال َّتسْ لِي ُم‬/‫ ال َّت ْكبِي ُر َو َتحْ لِيل ُ َها‬/‫الطهُو ُر َو َتحْ ِري ُم َها‬ /ُ ‫ِم ْف َتا‬
َّ ‫ح ال‬
“Pembuka shalat adalah thoharoh (bersuci). Yang mengharamkan dari hal-
hal di luar shalat adalah ucapan takbir. Sedangkan yang menghalalkannya
kembali adalah ucapan salam. ”[2]

Yang dimaksud dengan rukun shalat adalah ucapan takbir “Allahu Akbar” .


Ucapan takbir ini tidak bisa digantikan dengan ucapakan selainnya walaupun
semakna.

Rukun ketiga: Membaca Al Fatihah di Setiap Raka’at


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

/ِ ‫ ِب َفات َِح ِة ْال ِك َتا‬/‫صالَ َة لِ َمنْ لَ ْم َي ْق َر ْأ‬


‫ب‬ َ َ‫ال‬

“Tidak ada shalat (artinya tidak sah) orang yang tidak membaca Al
Fatihah.”[3]

Rukun keempat dan kelima: Ruku’ dan thuma’ninah


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada orang yang jelek
shalatnya (sampai ia disuruh mengulangi shalatnya beberapa kali karena
tidak memenuhi rukun),

/‫ َت ْط َمئِنَّ َرا ِك ًعا‬/‫ُث َّم ارْ َكعْ َح َّتى‬

“Kemudian ruku’lah dan thuma’ninahlah ketika ruku’.”[4]

Keadaan minimal dalam ruku’ adalah membungkukkan badan dan tangan


berada di lutut.

Sedangkan yang dimaksudkan thuma’ninah adalah keadaan tenang di


mana  setiap persendian juga ikut tenang. Sebagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam  pernah mengatakan pada orang yang jelek shalatnya
sehingga ia pun disuruh untuk mengulangi shalatnya, beliau bersabda,

‫ه‬/ُ ُ ‫ َت ْط َمئِنَّ َم َفاصِ ل‬/‫ ُر ْك َب َت ْي ِه َح َّتى‬/‫ض ُع َك َّف ْي ِه َعلَى‬


َ ‫… ُث َّم ُي َك ِّب ُر َف َيرْ َك ُع َف َي‬  ‫ أَ َح ِد ُك ْم َح َّتى يُسْ ِب َغ‬/ُ‫صالَة‬
َ ‫ َت ِت ُّم‬/َ‫ال‬
‫ِى‬/َ ‫َو َتسْ َترْ خ‬

“Shalat tidaklah sempurna sampai salah seorang di antara kalian


menyempurnakan wudhu, … kemudian bertakbir, lalu melakukan ruku’
dengan meletakkan telapak tangan di lutut sampai persendian yang ada
dalam keadaan thuma’ninah dan tenang.”[5]

Ada pula ulama yang mengatakan bahwa thuma’ninah adalah sekadar


membaca dzikir yang wajib dalam ruku’.
Rukun keenam dan ketujuh: I’tidal setelah ruku’ dan
thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek
shalatnya,

‫ل َقا ِئمًا‬/َ ‫ُث َّم ارْ َفعْ َح َّتى َتعْ َت ِد‬

“Kemudian tegakkanlah badan (i’tidal) dan thuma’ninalah.”[6]

Rukun kedelapan dan kesembilan: Sujud dan


thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada orang yang jelek
shalatnya,

ِ ‫ُث َّم اسْ ُج ْد َح َّتى َت ْط َمئِنَّ َسا‬


‫ج ًدا‬

“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud.”[7]

Hendaklah sujud dilakukan pada tujuh bagian anggota badan: [1,2] Telapak
tangan kanan dan kiri, [3,4] Lutut kanan dan kiri, [5,6] Ujung kaki kanan dan
kiri, dan [7] Dahi sekaligus dengan hidung.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

/ِ ‫ْن َوأَ ْط َرا‬


‫ف‬ ِ ‫ار ِب َي ِد ِه َعلَى أَ ْنفِ ِه – َو ْال َي َدي‬
ِ ‫ َوالرُّ ْك َب َتي‬، ‫ْن‬ َ ‫ظ ٍم َعلَى ْال َج ْب َه ِة – َوأَ َش‬ /ُ ْ‫أُمِر‬
ُ ْ‫ت أَنْ أَسْ ُج َد َعلَى َس ْب َع ِة أَع‬
ِ ‫ْال َق َد َمي‬
‫ْن‬

“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: [1] Dahi
(termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), [2,3]
telapak tangan kanan dan kiri, [4,5] lutut kanan dan kiri, dan [6,7] ujung kaki
kanan dan kiri. ”

Rukun kesepuluh dan kesebelas: Duduk di antara dua


sujud dan thuma’ninah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

ِ ‫ َت ْط َمئِنَّ َسا‬/‫ ُث َّم اسْ ج ُْد َح َّتى‬، ‫ َت ْط َمئِنَّ َجالِ ًسا‬/‫ ُث َّم ارْ َفعْ َح َّتى‬، ‫ج ًدا‬
‫ج ًدا‬ ِ ‫ُث َّم اسْ ُج ْد َح َّتى َت ْط َمئِنَّ َسا‬
“Kemudian sujudlah dan thuma’ninalah ketika sujud. Lalu bangkitlah dari
sujud dan thuma’ninalah ketika duduk. Kemudian sujudlah kembali dan
thuma’ninalah ketika sujud.”[8]
Rukun keduabelas dan ketigabelas: Tasyahud akhir
dan duduk tasyahud
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

ِ ‫َّات هَّلِل‬
ُ ‫حي‬ َّ ‫ ال‬/‫… َفإِ َذا َق َع َد أَ َح ُد ُك ْم فِى‬
ِ ‫ل ال َّت‬/ِ ُ‫ة َف ْل َيق‬/ِ َ‫صال‬

“Jika salah seorang antara kalian duduk (tasyahud) dalam shalat, maka
ucapkanlah “at tahiyatu lillah …”.”[9]

Bacaan tasyahud:

‫ ِع َبا ِد‬/‫ ال َّسالَ ُم َعلَ ْي َنا َو َعلَى‬، ‫ى َو َرحْ َم ُة هَّللا ِ َو َب َر َكا ُت ُه‬/ُّ ‫ك أَ ُّي َها ال َّن ِب‬
َ ‫ ال َّسالَ ُم َعلَ ْي‬، ‫ات‬ َّ ‫ات َو‬
/ُ ‫الط ِّي َب‬ /ُ ‫صلَ َو‬ َّ ‫ َوال‬/ِ ‫َّات هَّلِل‬
ُ ‫حي‬ ِ ‫ال َّت‬
َ َ ‫هَّللا‬ َ
‫ َوأ ْش َه ُد أنَّ م َُح َّم ًدا َع ْب ُدهُ َو َرسُول ُ ُه‬/ُ َّ‫ أ ْش َه ُد أنْ الَ إِلَ َه إِال‬، ‫ِين‬ َ َ ‫صالِح‬ َّ ‫ِ ال‬ ‫هَّللا‬

“At tahiyaatu lillah wash sholaatu wath thoyyibaat. Assalaamu ‘alaika


ayyuhan nabiyyu wa rohmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘ala
‘ibadillahish sholihiin. Asy-hadu an laa ilaha illallah, wa asy-hadu anna
muhammadan ‘abduhu wa rosuluh.” (Segala ucapan penghormatan
hanyalah milik Allah, begitu juga segala shalat dan amal shalih. Semoga
kesejahteraan tercurah kepadamu, wahai Nabi, begitu juga rahmat Allah
dengan segenap karunia-Nya. Semoga kesejahteraan terlimpahkan kepada
kami dan hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah dengan benar selain Allah dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya) [10]

Apakah bacaan tasyahud “assalamu ‘alaika ayyuhan nabi” perlu diganti


dengan bacaan “assalaamu ‘alan nabi”?

Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) pernah ditanya,

“Dalam tasyahud apakah seseorang membaca bacaan “assalamu ‘alaika


ayyuhan nabi” atau  bacaan “assalamu ‘alan nabi”? ‘Abdullah bin Mas’ud
pernah mengatakan bahwa para sahabat dulunya sebelum Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam  wafat, mereka mengucapkan “assalamu ‘alaika ayyuhan
nabi”. Namun setelah beliau wafat, para sahabat pun mengucapkan
“assalamu ‘alan nabi”.

Jawab:

Yang lebih tepat, seseorang ketika tasyahud dalam shalat mengucapkan


“assalamu ‘alaika ayyuhan nabi wa rohmatullahi wa barokatuh”. Alasannya,
inilah yang lebih benar yang berasal dari berbagai hadits. Adapun riwayat
Ibnu Mas’ud mengenai bacaan tasyahud yang mesti diganti setelah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  wafat –jika memang itu benar  riwayat
yang shahih-, maka itu hanyalah hasil ijtihad Ibnu Mas’ud dan tidak
bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang ada. Seandainya ada
perbedaan hukum bacaan antara sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam  wafat dan setelah beliau wafat, maka pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri yang akan menjelaskannya pada para sahabat.

(Yang menandatangani fatwa ini adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz sebagai
Ketua, Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, Syaikh ‘Abdullah bin
Qu’ud dan ‘Abdullah  bin Ghodyan sebagai anggota)[11]

Rukun keempatbelas: Shalawat kepada Nabi setelah


mengucapkan tasyahud akhir[12]
Dalilnya adalah hadits Fudholah bin ‘Ubaid Al Anshoriy.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendengar seseorang yang
berdo’a dalam shalatnya tanpa menyanjung Allah dan bershalawat kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengatakan, “Begitu cepatnya
ini.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan orang tadi, lalu
berkata padanya dan lainnya,

‫ بعد بما‬/‫ هللا عليه وسلم ثم يدعو‬/‫ صلى‬/‫ النبي‬/‫ على‬/‫ أحدكم فليبدأ بتمجيد هللا والثناء عليه ثم يصلي‬/‫إذا صلى‬
‫شاء‬

“Jika salah seorang di antara kalian hendak shalat, maka mulailah dengan
menyanjung dan memuji Allah, lalu bershalawatlah kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu berdo’a setelah itu semau kalian.”[13]

Bacaan shalawat yang paling bagus adalah sebagai berikut.

ِ ‫ اللَّ ُه َّم َب‬، ‫جي ٌد‬


‫ك َعلَى‬/ْ ‫ار‬ ِ ‫ك َحمِي ٌد َم‬ َ ‫ إِ َّن‬، ‫آل إِب َْراهِي َم‬ِ ‫ْت َعلَى‬ َ ‫صلَّي‬ َ ‫اللَّ ُه َّم‬
ِ ‫ص ِّل َعلَى م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
َ ‫ َك َما‬/، ‫آل م َُح َّم ٍد‬
‫جي ٌد‬
ِ ‫ك َحمِي ٌد َم‬ َ ‫ إِ َّن‬، ‫آل إِب َْراهِي َم‬
/ِ /‫ت َعلَى‬/َ ‫ار ْك‬ /ِ /‫م َُح َّم ٍد َو َعلَى‬
َ ‫ َك َما َب‬، ‫آل م َُح َّم ٍد‬

“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita


‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik
‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa barrokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala
aali Ibrohimm innaka hamidun majiid.”[14]

Rukun kelimabelas: Salam


Dalilnya hadits yang telah disebutkan di muka,

ُّ ‫ة‬/ِ َ‫صال‬
‫ ال َّتسْ لِي ُم‬/‫ ال َّت ْك ِبي ُر َو َتحْ لِيل ُ َها‬/‫الطهُو ُر َو َتحْ ِري ُم َها‬ /ُ ‫ِم ْف َتا‬
َّ ‫ح ال‬

“Yang mengharamkan dari hal-hal di luar shalat adalah ucapan takbir.


Sedangkan yang menghalalkannya kembali adalah ucapan salam. ”[15]
Yang termasuk dalam rukun di sini adalah salam yang pertama. Inilah
pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan mayoritas ‘ulama.

Model salam ada empat:

1. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri


“Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
2. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah wa barokatuh”,
salam ke kiri “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah”.
3. Salam ke kanan “Assalamu ‘alaikum wa rohmatullah”, salam ke kiri
“Assalamu ‘alaikum”.
4. Salam sekali ke kanan “Assalamu’laikum”.[16]

Rukun keenambelas: Urut dalam rukun-rukun yang


ada
Alasannya karena dalam hadits orang yang jelek shalatnya, digunakan kata
“tsumma“ dalam setiap rukun. Dan “tsumma” bermakna urutan.[17]

SYARAT-SYARAT SHALAT:

Syarat sebagaimana disebutkan definisinya oleh para ulama, sesuatu


yang apabila dia tidak ada maka mengharuskan ketiadaan dan tidak
mengharuskan adanya sesuatu atau tidak adanya. Contohnya wudhu adalah
syarat dari syarat-syarat shalat yang mengharuskan jika seorang tidak
berwudhu maka shalatnya tidak sah. Barangsiapa yang shalat tanpa wudhu
maka tidak sah shalatnya. Dalam hadits orang yang buruk shalatnya Nabi
Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata kepadanya:

‫صالَ ِة َفأَسْ ِب ِغ الوُ ضُو َء‬ َ ْ‫إِ َذا ُقم‬


َّ ‫ت إِلَى ال‬

“Jika engkau hendak berdiri untuk melakukan shalat maka sempurnakanlah


wudhumu.” (HR. Bukhari)

Apabila wudhu ini tidak ada, maka tidak sah shalat seseorang. Dan tidak
mengharuskan adanya wudhu adanya shalat. Barangsiapa yang wudhu tidak
harus dia mengerjakan shalat. Akan tetapi orang yang tidak wudhu maka tidak
sah shalatnya.

1. ISLAM
Syarat shalat yang pertama adalah Islam. Karena non Muslim atau orang kafir
amalannya tidak akan diterima dan akan terhapus seluruh amalan kebaikan
yang ia kerjakan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
َ ‫ان َف َق ْد َح ِب َط َع َمل ُ ُه َوه َُو فِي اآْل خ َِر ِة م َِن ْال َخاسِ ِر‬
﴾٥﴿ ‫ين‬ ِ ‫َو َمن َي ْكفُرْ ِباإْل ِي َم‬
“Barangsiapa yang kufur kepada keimanan maka telah terhapus amalan-
amalannya dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi.” (QS. Al-
Maidah[5]: 5)
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ِ ‫ت أعْ َمال ُ ُه ْم َوفِي ال َّن‬


‫ار ُه ْم‬ َ ‫ِين َعلَ ٰى أَنفُسِ ِهم ِب ْال ُك ْف ِر ۚ أُولَ ٰـئ‬
َ ْ ‫ِك َح ِب َط‬ َ ‫ِين أَن َيعْ ُمرُوا َم َسا ِجدَ اللَّـ ِه َشا ِهد‬
َ ‫ان ل ِْل ُم ْش ِرك‬
َ ‫َما َك‬

َ ‫َخالِ ُد‬
﴾١٧﴿ ‫ون‬

“Tidak pantas bagi orang-orang musyrik untuk memakmurkan masjid-masjid


Allah yang mereka mempersaksikan atas diri mereka diatas kekufuran.
Mereka itulah orang-orang yang terhapus amalan-amalan mereka dan
mereka akan kekal di neraka.” (QS. At-Taubah[9]: 17)
Juga firman Allah ‘Azza wa Jalla:

َ ‫ك َولَ َت ُكو َننَّ م َِن ْال َخاسِ ِر‬


﴾٦٥﴿ ‫ين‬ َ ‫ِين مِن َق ْبل َِك لَئِنْ أَ ْش َر ْك‬
َ ُ ‫ت لَ َيحْ َب َطنَّ َع َمل‬ َ ‫َولَ َق ْد أُوح َِي إِلَي‬
َ ‫ْك َوإِلَى الَّذ‬
“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada Nabi-Nabi
sebelumnya, jika engkau melakukan kesyirikan maka sungguh akan terhapus
amalan-amalanmu. Dan sungguh engkau akan termasuk orang-orang yang
merugi.“(QS. Az-zumar[39]: 65)

Maka kekufuran dan kesyirikan akan membatalkan seluruh amalan. Dan


diantara syarat-syarat shalat adalah masuk ke dalam agama ini. Dan masuk
ke dalam agama ini yaitu dengan cara mengucapkan dua kalimat syahadat
dengan memahami makna keduanya juga berazam untuk melaksanakan
maksud dari dua kalimat syahadat tersebut dengan mentauhidkan Allah dan
memurnikan keikutan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

2. BERAKAL
Syarat yang kedua dari syarat shalat adalah akal atau berakal. Dan lawannya
adalah  kegilaan. Maka orang gila, orang yang hilang akalnya tidak ditulis
untuknya dosa. Sebagaimana dalam hadits dari Nabi kita Sallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:

ِ ‫ َو َع ِن ْال َمجْ ُن‬،‫ َو َع ِن الص َِّبيِّ َح َّتى َيحْ َتلِ َم‬،‫ َع ِن ال َّنائ ِِم َح َّتى َيسْ َت ْيق َِظ‬:ٍ‫ُرف َِع ْال َقلَ ُم َعنْ َثاَل َثة‬
‫ون َح َّتى َيعْ قِ َل‬
“Catatan amal diangkat dari tiga jenis orang : orang tidur sampai dia bangun,
anak kecil sampai dia baligh dan orang gila sampai dia sembuh dari gilanya.”
(HR. Ahmad).

3. TAMYIZ
Syarat yang ketiga adalah At-Tamyiz. Yaitu seorang anak sudah sampai
umur mumayyiz. Yaitu jika dia telah sampai umur 7 tahun. Dalam hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

َ ‫ َواضْ ِربُو ُه ْم َعلَ ْي َها ل َِع ْش ِر سِ ن‬، ‫ِين‬


‫ِين‬ َّ ‫ُمرُوا أَ ْب َنا َء ُك ْم ِبال‬
َ ‫صاَل ِة ل َِسب ِْع سِ ن‬
“Perintahkanlah anak-anak kalian (dan yang dimaksud disini anak laki-laki dan
anak perempuan) untuk shalat ketika berumur 7 tahun dan pukullah jika
mereka tidak mau melaksanakan shalat ketika berumur 10 tahun” (HR. Abu
Dawud)

Karena seorang anak jika telah sampai umur 7 tahun berarti dia telah
mumayyiz dan ia telah memahami dan mengetahui cara untuk melakukan
suatu pekerjaan apabila dijelaskan kepadanya. Dan ini adalah waktu
diperintahkan seorang anak untuk melaksanakan shalat.

4. SUCI DARI HADATS


Syarat shalat yang keempat adalah suci dari hadats. Dan hadats di sini yang
dimaksud adalah hadats yang besar dan hadats kecil. Hadats besar adalah
hadats yang tidak akan hilang kecuali dengan mandi. Seperti seseorang yang
junub atau wanita yang haid. Juga hadats kecil yang tidak terangkat kecuali
dengan berwudhu dan ini adalah syarat dari syarat-syarat shalat.

Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam pernah bersabda:

‫ُور‬
ٍ ‫طه‬ُ ‫صاَل ةٌ ِب َغيْر‬
َ ‫اَل ُت ْق َب ُل‬
ِ
“Tidak akan diterima shalat kecuali dengan bersuci.” (HR. Ibnu Majah)

Barangsiapa yang shalat dan dia mempunyai hadats baik itu hadats besar
atau hadats kecil, maka tidak sah shalatnya.

5. MENGHILANGKAN NAJIS
Syarat shalat yang kelima adalah menghilangkan najis. Yaitu menghilangkan
najis dari tempat shalat, juga dari pakaian yang dipakai untuk shalat, juga dari
badan seseorang yang akan melakukan shalat. Sebagaimana firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala:

﴾٤﴿ ْ‫ك َف َطهِّر‬


َ ‫َو ِث َيا َب‬
“Dan pakaianmu maka sucikanlah.” (QS. Al-Muddatsir[74]: 4)
Dan pada asalnya bersuci itu dengan menggunakan air. Jika najis itu ada di
tanah, maka dituangkan air ke atasnya, adapun jika najis tersebut di selain
tanah, maka dibersihkan sampai suci.

6. MENUTUP AURAT
Syarat yang ke-6 adalah menutup aurat. Aurat yaitu sesuatu yang harus atau
wajib untuk ditutup dan tidak pantas untuk ditampakkan dan seorang malu jika
kelihatan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫َيا َبنِي آدَ َم ُخ ُذوا ِزي َن َت ُك ْم عِ ندَ ُك ِّل َمسْ ِج ٍد‬

“Wahai anak Adam, ambillah perhiasan-perhiasan kalian setiap ke masjid.”


(QS. Al-A’raf[7]: 31)
Yang dimaksud di sini adalah setiap shalat. Dari sini barangsiapa yang
melaksanakan shalat dan dia tidak memakai pakaian apapun, maka shalatnya
batal tidak sah menurut kesepakatan para ulama kecuali jika dia tidak
mempunyai pakaian sama sekali dan tidak tidak ada yang bisa
meminjamkannya. Juga dalam hadits:

ٍ ‫ت إِاَّل ِب ِخ َم‬
‫ار‬ َ ‫صاَل َة امْ َرأَ ٍة َق ْد َح‬
ْ ‫اض‬ َ ُ ‫اَل َي ْق َب ُل هَّللا‬
“Allah tidak akan menerima shalatnya wanita yang telah sampai haid kecuali
menggunakan kerudung.” (HR. Ibnu Khuzaimah)

Maka seorang wanita, dia harus menutup seluruh badannya ketika shalat
kecuali mukanya. Adapun jika di sekitarnya laki-laki yang bukan mahramnya,
maka wajahnya pun harus ditutup menurut dalil-dalil yang banyak yang
menyebutkan bahwasanya wajah wanita itu adalah aurat jika dilihat oleh laki-
laki yang bukan mahramnya.

7. MASUKNYA WAKTU
Syarat shalat yang ke-7 adalah masuknya waktu. Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman:

َ ‫ت َعلَى ْالم ُْؤ ِمن‬


﴾١٠٣﴿ ‫ِين ِك َتابًا م َّْوقُو ًتا‬ ْ ‫صاَل َة َكا َن‬
َّ ‫إِنَّ ال‬

“Sesungguhnya shalat diwajibkan atas orang-orang Mukmin pada waktu-


waktu yang telah ditetapkan.” (QS. An-Nisa[4]: 103)
Jadi yang dimaksud ayat ini adalah shalat itu mempunyai waktu yang tertentu.
Tidak boleh seorang melaksanakan shalat sebelum waktu tersebut, juga tidak
boleh setelahnya. Allah Ta’ala berfirman:

َ ‫آن ْال َفجْ ِر َك‬


ً ‫ان َم ْشه‬
﴾٧٨﴿ ‫ُودا‬ َ ْ‫آن ْال َفجْ ِر ۖ إِنَّ ُقر‬ َّ ‫أَق ِِم ال‬
ِ ‫صاَل َة لِ ُدلُوكِ ال َّش ْم‬
َ ْ‫س إِلَ ٰى َغ َس ِق اللَّي ِْل َوقُر‬
“Dirikanlah shalat sesudah tergelincirnya matahari sampai gelap malam, juga
dirikanlah shalat fajar. Sungguhnya shalat fajar itu dihadiri oleh para Malaikat.”
(QS. Al-Isra'[17]: 78)
Maka shalat ini harus dilaksanakan pada waktunya. Dan telah datang
Malaikat Jibril kepada Nabi Sallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kemudian mereka
Jibril memimpin Nabi untuk shalat. Malaikat Jibril shalat diawal waktu dilima
waktu shalat, kemudian esok harinya dia datang lagi dan mengimami Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan beliau shalat diakhir waktu, kemudian
Malaikat Jibril mengatakan kepada Nabi kita ‘Alaihish Shalatu was Salam:

ْ‫ْن ْال َو ْق َتي‬ ُ ‫ َو ْال َو ْق‬،‫ت اأْل َ ْن ِب َيا ِء مِنْ َق ْبل َِك‬
ِ ‫ت َما َبي َْن َه َذي‬ ُ ‫َه َذا َو ْق‬

“Ini adalah waktu-waktu shalat para Nabi sebelummu dan waktunya antara
dua waktu ini” (HR. Tirmidzi)

Maka shalat ini harus dikerjakan pada waktunya kecuali shalat dzuhur apabila
terik sangat panas, maka dianjurkan untuk mengundur shalat dzuhur
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

ْ َ ْ َ
ِ ‫ َفإِنَّ شِ َّد َة ال َحرِّ مِنْ َفي‬. ‫إذا ا ْش َت َّد ال َحرُّ َفأب ِْر ُدوا ِبالصَّال ِة‬
‫ْح َج َه َّن َم‬

“Jika panas terik sangat menyengat, maka akhirkanlah shalat sampai sedikit
agak dingin karena sesungguhnya panasnya udara dari neraka jahanam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Juga dalam sunnah, dianjurkan untuk mengakhirkan shalat Isya’. Kecuali jika
shalat itu diakhirkan menyulitkan orang-orang yang akan shalat berjamaah
maka tetap dilaksanakan diawal waktu.

8. MENGHADAP KIBLAT
Syarat shalat yang ke-8 adalah menghadap kiblat. Dan kiblat di sini adalah
Ka’bah rumah Allah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

‫ك َش ْط َر ْال َمسْ ِج ِد ْال َح َر ِام‬


َ ‫َف َو ِّل َوجْ َه‬
“Palingkanlah (hadapkanlah) wajahmu ke arah Masjidil Haram” (QS. Al-
Baqarah[2]: 144)
Ayat ini adalah dalil bahwasanya menghadap kiblat wajib bagi orang yang
ingin melakukan shalat dan syarat dari syarat sahnya shalat. Juga dalilnya
dari sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu sabda Rasul Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam kepada orang yang buruk shalatnya, beliau mengatakan:

‫ ُث َّم اسْ َت ْق ِب ِل القِ ْبلَ َة‬،‫ َفأَسْ ِب ِغ الوُ ضُو َء‬،ِ‫صالَة‬ َ ْ‫إِ َذا ُقم‬
َّ ‫ت إِلَى ال‬
“Jika engkau berdiri untuk shalat, maka sempurnakanlah wudhumu kemudian
menghadaplah ke kiblat” (HR. Bukhari)

9. NIAT
Syarat shalat yang ke-9 atau yang terakhir adalah niat. Dan niat ini tempatnya
dihati. Sebagaimana sabda Nabi ‘Alaihish Shalatu was Salam,

‫ت وإِ َّنما لِ ُك ِّل امري ٍء ما َن َوى‬


ِ ‫إ َّن َما األع َمال بال ِّنيَّا‬
“Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niatnya dan sesungguhnya
setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Pembahasan selengkapnya klik Hadits Arbain Ke 1 – Innamal A’malu


Binniyat
Dan yang dimaksud dengan niat di sini adalah yang membedakan satu
amalan dengan amalan yang lain. Maka apakah yang membedakan shalat
zuhur dengan shalat ashar? Apa yang membedakan shalat wajib dengan
shalat sunnat kecuali apa yang ada dalam hati seseorang.

Dan melafadzkan niat ini adalah bid’ah dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum. Dan
apa yang dilakukan oleh sebagian orang jika ia ingin melaksanakan shalat ia
menjaharkan niatnya dengan mengatakan, “Aku berniat untuk melaksanakan
shalat ashar empat rakaat di tempat demikian sampai akhirnya..” Ini adalah
suatu perbuatan yang bid’ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum.

Dan semua bid’ah tidak akan mendapatkan pahala. Karena seseorang


mendapatkan pahala jika ia melakukan suatu amalan yang sesuai dengan
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan semua amalan bid’ah
tertolak. Karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

‫ْس َعلَ ْي ِه أَمْ ُر َنا َفه َُو َر ٌّد‬


َ ‫َمنْ َع ِم َل َع َمالً لَي‬
“Siapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami,
maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Anda mungkin juga menyukai