Anda di halaman 1dari 17

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) UNTUK

PENENTUAN WILAYAH KESESUAIAN LAHAN TANAMAN


GAHARU DI PROVINSI SULAWESI BARAT

Muhamad Rafli

Departemen Geografi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia

Abstrak

Provinsi Kepulauan Sulawesi Barat secara geografis terletak di 0°12' - 03°38' Lintang Selatan (LS)
dan 118°43' 15'' - 119° 54' 3'' Bujur Timur (BT). Wilayah Provinsi Sulawesi Barat terdiri atas
dataran tinggi dan dataran rendah. Umunya ditiap kabupaten memiliki beberapa perbukitan dan
pegunugan, juga memiliki garis pantai yang merupakan daerah dataran rendah yang berpotensi
untuk pengembangan pertanian, perkebunan, dan perikanan. Daerah sebaran tumbuh pohon
penghasil gaharu di Indonesia dijumpai di wilayah hutan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Maluku, Irian Jaya dan Nusa Tenggara. Secara ekologis berada pada ketinggian 0 – 2400 m.dpl, pada
daerah beriklim panas dengan suhu antara 28º – 34ºC, berkelembaban sekitar 80 % dan bercurah
hujan antara 1000 – 2000 mm/th. Untuk mengembangkan potensi tanaman Gaharu di Sulawesi Barat,
dilakukan analisis wilayah kesesuaian Gaharu dengan menggunakan variabel curah hujan, kemiringan
lereng, suhu, dan ketinggian. Hasil analisa menunjukan bahwa 75% wilayah di Sulawesi Barat sesuai
untuk tempat tumbuh tanaman Gaharu.

Kata Kunci: Gaharu, wilayah kesesuaian, Provinsi Sulawesi Barat.

PENDAHULUAN
Sesuai dengan Permenhut Nomor P.35/Menhut-II/2007, gaharu termasuk dalam
daftar 490 jenis Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) nabati yang potensial untuk
dikembangkan. Selain itu, gaharu termasuk dalam 5 jenis HHBK yang mendapat prioritas
pengembangannya selain Rotan, Bambu, Madu Lebah, dan Sutera. Indonesia memiliki
sekitar 27 jenis tanaman penghasil gaharu antara lain Aquilaria spp, Aetoxylontallum spp,
Gyrinops spp, dan Gonystylus spp. yang tersebar di hutan-hutan pedalaman Sumatera,
Kalimantan, Papua yang keberadaannya semakin langka karena exploitasi yang tidak dapat
dielakan. Kelangkaan pohon gaharu terjadi karena cara mencari di alamnya dengan
menebang pohon hidup yang cukup banyak untuk mendapatkan satuan gaharu yang
dibutuhkan. Eksploitasi jenis-jenis tanaman/penghasil gaharu seperti ini dapat menyebabkan
kemerosotan genetik dan sekaligus mengancam kelestarian di populasi alamnya
Untuk melindungi jenis-jenis tanaman/penghasil gaharu terutama dari genus
Aquilaria spp dan Gyrinops sp. dari kepunahan di alamnya maka komisi CITES sejak tahun
2004 telah menetapkan larangan dan atau pembatasan pemungutan gaharu alam dengan
memasukanya dalam daftar tumbuhan Appendix II CITES. Upaya konservasi in-situ maupun
ex-situ serta budidaya di luar hutan alam terutama dari genus Aquilaria spp dan Gyrinops sp.
menjadi hal yang sangat mendesak. Selain bertujuan untuk melestarikan jenis-jenis
tanamantersebut sehingga komisi CITES mencabut dari daftar tumbuhan Appendix II CITES
sekaligus dapat dibudidayakan dalam skala masal sehingga mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat.

Dukungan penelitian dan pengembangan (Litbang) dari aspek hulu sampai dengan
hilir sangat dibutuhkan untuk dapat mewujudkan kelestarian jenis-jenis penghasil gaharu dan
sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani gaharu di seluruh centra
pengembangan gaharu. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan hasil litbang jenis-jenis
tanaman peghasil gaharu adalah penyusunan Master Plan yang meliputi beberapa aspek
sebagai berikut database potensi dan persebaran; karakteristik tempat tumbuh; konservasi
genetik dan pemuliaan pohon; silvikultur dan budidaya; pengendalian hama dan penyakit,
proses fisiologis dan inokulasi; pengolahan produk; pemasaran; kebijakan; dan kelembagaan,
sosial dan ekonomi.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data spasial mengenai areal atau wilayah
yang sesuai bagi tanaman Gaharu, sehingga dapat digunakan sebagai bahan untuk studi lebih
lanjut dalam perencanaan pengembangan komoditi Gaharu yang berkelanjutab di Provinsi
Sulawesi Barat.

Kesesuaian lahan adalah penilaian dan pengelompokan atau proses penilaian atau
pengelompokan lahan dalam arti kesesuaian relatif lahan atau kesesuaian absolut lahan bagi
suatu penggunaan tertentu. Kesesuaian sebagai kenyataan adaptabilitas atau kemungkinan
penyesuaian sebidang lahan bagi suatu macam penggunaan tertentu (Arsyad, 2000).

Pengertian kesesuaian lahan (land suitability) berbeda dengan kemampuan lahan (land
capability). Kemampuan lahan lebih menekankan kepada kapasitas berbagai penggunaan
lahan secara umum yang dapat diusahakan disuatu wilayah. Jadi semakin banyak jenis
tanaman yang dapat dikembangkan atau diusahakan di suatu wilayah, maka kemampuan
lahan tersebut semakin tinggi (Djaenudin et al.,2003).

Menurut kerangka FAO (1976) dalam Djaenudin et al., (2003) dikenal dua macam
kesesuaian lahan, yaitu : kesesuaian lahan kualitatif dan kuantitatif. Masing-masing
kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai secara aktual maupun potensial, atau kesesuaian lahan
potensial dan kesesuaian lahan potensial.

Kesesuaian lahan kualitatif adalah kesesuaian lahan yang hanya dinyatakan dalam istilah
kualitatif, tanpa perhitungan yang tepat baik biaya atau modal maupun keuntungan.
Klasifikasi ini didasarkan hanya pada fisik lahan. Kesesuaian lahan kuantitatif adalah
kesesuaian lahan yang didasarkan tidak hanya pada sifat fisik lahan tetapi juga
mempertimbangkan aspek ekonomi. Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan yang
dilakukan pada kondisi penggunaan lahan sekarang (present land use), tanpa masukan
perbaikan. Kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang dilakukan pada kondisi
setelah diberikan masukan perbaikan.

Kesesuaian lahan perlu diperhatikan terhadap tanaman sehingga dapat tumbuh optimal
Kesesuaian lahan merupakan kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu. Lebih
spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat lingkungan fisiknya yang terdiri atas
iklim, tanah, topografi, hidrologi dan atau drainase sesuai untuk usahatani atau komoditas
tertentu yang produktif. Untuk dapat mengetahui kesesuaian lahan tertentu, maka perlu suatu
tindakan evaluasi lahan untuk mengumpulkan informasi tentang potensi lahan tersebut
(Djaenudin et al., 1993). Evaluasi lahan merupakan proses pendugaan tingkat kesesuaian
lahan untuk berbagai alternatif penggunaan lahan (Djaenudin et al., 1994).
Evaluasi kesesuaian lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe
penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki
oleh lahan yang akan digunakan. Dengan cara ini, maka akan diketahui potensi lahan atau
kelas kesesuaian/kemampuan lahan untuk jenis penggunaan lahan tersebut (Hardjowigeno
dan Widiatmaka, 2001).

Evaluasi kesesuaian lahan adalah proses penilaian tampilan atau keragaan (performance)
lahan jika digunakan untuk tujuan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interpretasi survei dan
studi bentuk lahan, tanah, vegetasi, iklim dan aspek lahan lainnya, agar dapat
mengidentifikasi dan membuat perbandingan berbagai penggunaan lahan yang mungkin
dikembangkan (FAO, 1976).
Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya akan menimbulkan
kerusakan-kerusakan pada lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Evaluasi lahan
dapat dilakukan dengan pendekatan dua tahap dan pendekatan pararel. Pendekatan dua tahap
terdiri atas tahapan pertama adalah evaluasi lahan secara fisik dan tahapan kedua secara
ekonomi. Kegiatan evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi pada pendekatan paralel
dilakukan secara bersamaan (FAO, 1976).

Daerah sebaran tumbuh pohon penghasil gaharu di Indonesia dijumpai di wilayah hutan
Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian Jaya dan Nusa Tenggara. Secara
ekologis berada pada ketinggian 0 – 2400 m.dpl, pada daerah beriklim panas dengan suhu
antara 28º – 34ºC, berkelembaban sekitar 80 % dan bercurah hujan antara 1000 – 2000
mm/th. Lahan tempat tumbuh pada berbagai variasi kondisi struktur dan tekstur tanah, baik
pada lahan subur, sedang hingga lahan marginal. Gaharu dapat dijumpai pada ekosistem
hutan rawa, gambut, hutan dataran rendah atau hutan pegunungan, bahkan dijumpai pada
lahan berpasir berbatu yang ekstrim.
Beberapa sifat biofisiologis tumbuh pohon penghasil gaharu yang penting untuk
diperhatikan adalah faktor sifat fisiologis pertumbuhan, sebagian besar pohon pada fase
pertumbuhan awal (vegetatif) memiliki sifat tidak tahan akan intensitas cahaya langsung
(semitoleran) hingga berumur 2 - 3 tahun. Faktor lain sifat fenologis pembungaan dimana
setiap jenis, selain dipengaruhi oleh kondisi iklim dan musim setempat juga akan dipengaruhi
oleh kondisi edafis lahan tempat tumbuh. Sifat fenologis buah/benih yang rekalsitran, badan
buah pecah dan tidak jatuh bersamaan dengan benih. Sifat fisiologis benih memiliki masa
istirahat (dormansi) yang sangat rendah, benih-benih yang jatuh di bawah tajuk pohon induk
pada kondisi optimal setelah 3 – 4 bulan akan tumbuh dan menghasilkan permudaan alam
tingkat semai yang tinggi dan setelah 6 – 8 bulan akan terjadi persaingan, sehingga populasi
anakan tingkat semai akan menurun hingga 60 – 70 %. Aspek pertumbuhan permudaan alam
tingkat semai penting diketahui sebagai dasar dalam penyediaan bibit tanaman dengan cara
memanfaatkan cabutan permudaan alam.

Hasil penelitian Pratiwi et al., (2010) menunjukkan bahwa performance pohon penghasil
gaharu khususnya Aquilaria crassna dan A.microcarpa yang tumbuh di Hutan Penelitian
Dramaga dan Kampung Tugu (Sukabumi) menunjukkan pertumbuhan yang lebih bagus
dibandingkan di kawasan hutan dengan tujuan khusus (KHDTK) Carita. Dari segi
lingkungan, ketiga lokasi memiliki lingkungan yang hampir sama, yaitu curah hujan tipe A,
suhu berkisar antara 20-30 0C,kelembaban udara 77-85% dan topografi datar sampai
bergelombang. Yang membedakan ketiga lokasi agaknya terkait dengan tingkat kesuburan
tanahnya. Tanah di KHDTK Carita telah mengalami pelapukan lanjut dibandingkan tanah di
Hutan Penelitian Dramaga dan Kampung Tugu (Sukabumi), sehingga kesuburan tanah di
KHDTK Carita lebih rendah dibandingkan tanah di daerah Hutan Penelitian Dramaga dan
Kampung Tugu (Sukabumi). Sementara itu Sumarna (2008) menyatakan bahwa di hutan
alam daerah Jambi (Kecamatan Tabir Angin, Kabupaten Merangin) ekologi (tempat tumbuh)
yang sesuai untuk penyebaran pohon induk Aquilaria malaccensis dan A.microcarpa, yaitu
suhu 27oC pada ketinggian 100 m di atas permukaan laut (dpl.), kelembaban nisbi 78%, dan
intensitas cahaya 75%. Pada ketinggian 200 m dpl diperoleh nilai rata-rata suhu rata-rata
24oC,kelembaban sekitar 85%, intensitas cahaya sekitar 67%. Pada ketinggian di atas 200 m
dpl,suhu rata-rata 20oC, kelembaban udara sekitar 81% dan intensitas cahaya seitar 56%. Dari
penelitian di atas dapat dikatakan bahwa jenis Aquilaria spp. dapat tumbuh baik pada suhu
antara 20-33oC, kelembaban berkisar 77-85% serta intensitas cahaya sekitar 56-75%.
Penelitian di daerah Jambi ini belum meIihat aspek kesuburan tanahnya,sehingga aspek ini
masih perlu diteliti lebih lanjut. Demikian juga penelitian karakteristik lahan di hutan alam
dari jenis-jenis pohon penghasil gaharu lainnya masih belum banyak dilakukan.

METODOLOGI
Wilayah Penelitian
Provinsi Sulawesi Barat merupakan salah satu Provinsi di Pulau Sulawesi. Secara
astronomis, Provinsi Sulawesi Barat terletak antara 0°12' - 03°38' Lintang Selatan (LS) dan
118°43' 15'' - 119° 54' 3'' Bujur Timur (BT). Berdasarkan posisi geografisnya, Provinsi
Sulawesi Barat berbtasan dengan Sulawesi Tengah di bagian utara, Provinsi Sulawesi Selatan
di bagian selatan, Selat Makassar di bagian barat, dan Provinsi Sulawesi Selatan di bagian
timur.
Provinsi Sulawesi Barat memiliki luas wilayah daratan seluas 16.787,18 km2. Akhir
tahun 2017, wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Barat terdiri dari 6 wilayah kabupaten,
berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri no. 39 tahun 2015 luas daratan masing-masing
kabupaten/kota, yaitu: Kabupaten Majene (947,84 km2), Kabupaten Polewali Mandar
(1.775,65 km2), Kabupaten Mamasa (3.005,88 km2), Kabupaten Mamuju (4.999,69 km2),
Kabupaten Mamuju Utara (3.043,75 km2), serta Kabupaten Mamuju Tengah (3.014,37 km2).
Ibu kota dari Provinsi Sulawesi Barat ialah Kabupaten Mamuju yang merupakan kabupaten
terluas di Provinsi Sulawesi Barat seluas 48% dari seluruh wilayah di Provinsi Sulawesi
Barat.
Wilayah Provinsi Sulawesi Barat terdiri atas dataran tinggi dan dataran rendah. Umunya
ditiap kabupaten memiliki beberapa perbukitan dan pegunugan, juga memiliki garis pantai yang
merupakan daerah dataran rendah yang berpotensi untuk pengembangan pertanian, perkebunan,
dan perikanan. Jumlah sungai yang mengalir di Wilayah Sulawesi Barat tercatat sekitar 8 aliran
sungai besar, dengan jumlah aliran yang terbesar di Kabupaten polewali Mandar, yakni 5 aliran
sungai. Sungai terpanjang tercatat ada dua yaitu sungai yakni Sungai Saddang yang mengaliri
Kabupaten Polewali Mandar serta Sungai Karama di Kabupaten Mamuju. Panjang kedua sungai
tersebut masing-masing 150 km

Pengumpulan dan Pengolahan Data


Penelitian yang dilakukan dalam menentukan wilayah kesesuaian lahan perkebunan
Gaharu di Provinsi Sulawesi Barat dengan menggunakan metode weighted overlay. data
yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data skunder berupa data atau informasi yang
diperoleh dari sumber-sumber studi pustaka dan instansi terkait dengan data yang
dibutuhkan. Berikut adalah matriks pengumpulan data dalam penelititan ini:

Tabel 4. Matriks Pengumpulan Data


Jenis Data Tahun Sumber
Suhu 2018 BMKG (Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika)
Lereng 2018 DEM (Badan Informasi
Geospasial)
Ketinggian 2018 DEM (Badan Informasi
Geospasial)
Curah Hujan 2018 BMKG (Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika)

Pengolahan data spasial atau operasi spasial merupakan operasi yang mencangkup
proses-proses spasial sederhana hinggga yang bersifat kompleks dengan melibatkan lebih
dari satu data spasial, (Budiyanto et al., 2018). Pengolahan awal pada data yang terkumpul
dilakukan untuk mendapatkan variabel-variabel yang dibutuhkan untuk mendapatkan wilayah
kesesuaian. Semua data yaang memiliki informasi spasial dapat divisualisasikan dalam
bentuk peta dengan software ArcGIS 10.5. Dalam Pengolahan masing-masing variabel,
analisis yang digunakan adalah analisis Weighted Overlay (Tumpang Susun). Analisis ini
menggunakan data dasar raster.

Data DEM (Digital Elevation Model) diolah untuk mendapatkan data slope dan data
ketinggian dengan metode 3D analysis yang terdapat di arctoolbox. Data vektor penggunaan
tanah dikonversi ke data raster berdasarkan area jenis penggunaan tanahnya.

Pengolahan data dalam software ArcGIS 10.5 dapat dijelaskan menggunakan diagram
alur kerja. Diagram alur kerja merupakan diagram yang berisi gambaran kerja yang akan
dilakukan atau proses yang dilakukan untuk mendapatkan hasil. Dalam penelititan ini
diagram alur kerja dibuat mengunakan Model Builder untuk penyederhanaan gambaran
pengolahan data.

Gambar 1. Diagram alur kerja

Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat setidaknya tiga variabel yang digunakan berdasarakan suhu,
ketinggian dan kemiringan tanaman Gaharu. Adapun penjelasan nya yaitu sebagai berikut:
1. Suhu
Suhu menjadi faktor yang menjadi pertimbangan karena memiliki pengaruh
terhadap pertumbuhan pohon Gaharu. Dalam menentukan wilayah kesesuaian
tanaman Gaharu, terdapat beberapa area yang sesuai dan tidak sesuai karena setiap
tanaman memiliki batas minimum, optimum, dam maksimum suhu.
Berikut adalah klasifikasi wilayah kesesuaian lahan perkebunan Gaharu
berdasarkan Suhu.:
Tabel 1. Skoring Parameter Suhu

Suhu Kelas Skor Keterangan Bobot


kesesuaian
26º-34º C Sangat Sesuai 2 Gaharu merupakan tanaman yang 20
membutuhkan tempat yang teduh
dengan suhu optimal tidak terlalu
dingin ataupun panas
24º-26ºC Sesuai 2 Gaharu merupakan tanaman yang
membutuhkan tempat yang teduh
dengan suhu optimal tidak terlalu
dingin ataupun panas
<24ºC dan >34ºC Tidak sesuai 1 Tempat yang terlalu panas atau
dingin merupakan bukan tempat
tumbuh dari Gaharu yang
merupakan tanaman asli tropis

Sumber : Sidiyasa, K dan S. Suharti, 1998. Potensi jenis pohon penghasil gaharu, Prosiding
Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu, RLPS Dephut, Jakarta.

2. Lereng (Slope)
Berdasarkan tempat tumbuhnya, Gaharu membutuhkan kondisi topografi
yang relatif datar hingga bergelombang. Oleh karena itu kemiringan lereng yang
sesuai untuk tanaman Gaharu adalah wilayah yang datar hingga bergelombang.
Klasifikasi lereng didasarkan pada klasifikasi lereng van zuidam 1985. Namun untuk
kelas lereng tidak sesuai, terdapat didaerah dengan lereng yang agak curam hingga
curam. Pemberian bobot dan skor didasarkan pada kecenderungan tempat hidup
tanaman Gaharu berdasarkan literatur.
Berikut klasifikasi kesesuaian lahan perkebunan Gaharu berdasarkan kemiringan
lereng :

Tabel 2: Skoring Parameter Lereng

Lereng Keterangan Keterangan Skor Bobot


0%-2% Datar Sangat sesuai 2 30
3%-7% Sangat Landai Sesuai 2
8%-13% Landai Cukup Sesuai 2
>13% Curam Tidak Sesuai 1

Sumber : MASTER PLAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN GAHARU TAHUN 2013 – 2023
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2012)

3. Ketinggian
Klasifikasi kesesuaian lahan tanaman Gaharu terhadap wilayah ketinggian
didasarkan pada tempat tumbuhnya. Gaharu tumbuh dari ketinggian beberapa meter
di atas permukaan laut hingga kira-kira 1000 meter, dimana kisaran 500 meter adalah
yang paling ideal untuk pertumbuhannya.

Tabel 3. Skoring Parameter Ketinggian

Ketinggian (mdpl) Kelas kesesuaian Skor Bobot


400-500 Sangat Sesuai 3 20
0-400 dan 500-1000 Sesuai 2
>1000 Tidak sesuai 1
Sumber : Sumarna, Y & E. Santoso, 2003. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu,
Sosialisasi Gaharu dan Mikoriza, Biro KLN dan Investasi, Setjen Dephut, Jakarta.

4. Curah Hujan
Klasifikasi kesesuaian lahan tanaman Gaharu terhadap tingkat Curah Hujan.
Gaharu membutuhkan tempat yang teduh dan banyak air dan akan tumbuh pesat,
menghasilkan bunga dan biji sejak usia empat tahun. Untutk memenuhi kebutuhan air,
Gahari tumbuh subur pada Curah Hujan sekitar 1000-2000 mm/tahun.

Tabel 4. Skoring Parameter Curah Hujan

Ketinggian (mdpl) Kelas kesesuaian Skor Bobot


1000-2000 Sesuai 2 30
0-1000 dan >2000 Tidak Sesuai 1
Sumber : Sumarna, Y & E. Santoso, 2003. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu,
Sosialisasi Gaharu dan Mikoriza, Biro KLN dan Investasi, Setjen Dephut, Jakarta.

Analisis Data
Proses analisis spasial yakni menggabungkan informasi dari berbagai layer data yang
berbeda dengan menggunakan operasi spasial tertentu dengan mengembangkan ide yang
yang kita punya dan di aplikasikan dalam berbagai aspek (Budiyanto et al., 2018). Dalam
proses analisis data-data penelitian ada beberapa metode yang digunakan yaitu adalah metode
overlay. Overlay atau dikenal dengan istilah “tumpang susun” merupakan salah satu tools
yang berfungsi untuk menggambungkan beberapa feature atau berbagai macam informasi
yang ada dalam satu polygon, (Supriatna, 2018). Singkatnya, overlay menampalkan peta
digital pada peta digital yang lain beserta atribut-atributnya dan menghasilkan peta gabungan
keduanya yang memiliki informasi atribut dari kedua peta tersebut.

Dalam penelitian ini metode overlay yang digunakan untuk mendapatkan wilayah
kesesuaian adalah raster overlay dengan analisis weighted overlay. Proses overlay ini
dibangun dari variabel-variabel, penggunaan tanah, lereng, dan ketinggian. Model Weighted
Overlay digunakan dalam penelitian ini karena merupakan teknik yang sederhana untuk
menginferensi spasial (spatial inference). Syarat untuk menggunakan analisis ini yaitu format
data harus berupa data raster dengan ukuran pixel/cell yang sama, dalam hal ini pixel masing-
masing data harus 90 x 90 meter. Setelah itu dilakukan pengkelasan pada setiap variabel pada
skala kesesuaian (scale suitability) berdasarkan variabel yang memiliki kelas kesesuaian
paling sedikit. Dalam hal ini variabel yang memiliki kelas kesesuaian paling sedikit adalah
penggunaan tanah denagn kelas sesuai dan tidak sesuai. Penentuan bobot pada setiap variabel
berdasarkan besar-kecil pengarunya terhadap kesesuaian lahan tanaman Gaharu. Output
yang dihasilkan yaitu berupa raster yang memiliki nilai baru pada setiap piksel-piksel nya
yang menggambarkan wilayah yang sesuai dan tidak sesuai.
Tabel 5. Matriks Kesesuaian
Kelas Lereng(%) Suhu (C) Ketinggian (mdpl) Curah Hujan
Kesesuaian (mm/th)
Sesuai 0–8% 24º-30ºC 0-1000mdpl 1000-2000mm/th
Tidak Sesuai >13 % <24ºC dan >1000mdpl <1000mm/th dan
>30ºC >2000mm/th
Sumber MASTER PLAN Sidiyasa, K dan Sumarna, Y & E. Sumarna, Y & E.
PENELITIAN DAN S. Suharti, 1998. Santoso, 2003. Santoso, 2003.
PENGEMBANGAN Potensi jenis Budidaya dan Budidaya dan
GAHARU TAHUN pohon penghasil Rekayasa Produksi Rekayasa Produksi
2013 – 2023 gaharu, Gaharu, Sosialisasi Gaharu, Sosialisasi
Kementrian Prosiding Gaharu dan Gaharu dan
Lingkungan Hidup Lokakarya Mikoriza, Biro Mikoriza, Biro KLN
dan Kehutanan (2012) Pengembangan KLN dan Investasi, dan Investasi, Setjen
Tanaman Setjen Dephut, Dephut, Jakarta.
Gaharu, RLPS Jakarta.
Dephut, Jakarta.
Hasil dan Pembahasan

Gambar 11. Peta Kesesuaian Kemiringan Lereng (Sumber: SRTM, 2019)

Berdasarkan peta tersebut diketahui besaran luas wilayah area yang berada pada
kondisi sangat sesuai terbesar berada di Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten
Mamuju Utara yang terletak di Provinsi Sulawesi Barat. Pada kedua kabupaten ini
memiliki kemiringan lereng yang didominasi dengan kondisi yang datar dan landai
sehingga memiliki area yang cukup luas untuk dijadikan lokasi perkebunan Gaharu
dibandingkan dengan wilayah lainnya. Sedangkan di kabupaten atau kota di wilayah lain
hanya memiliki sedikit wilayah dengan kondisi sesuai untuk dibentuk menjadi
perkebunan Gaharu. Hal tersebut dikarenakan kondisi kemiringan lereng pada kabupaten
lain didominasi oleh kondisi topografi yang curam.

Gambar 3. Peta Kesesuaian Ketinggian (Sumber: SRTM, 2019)

Berdasarkan peta tersebut diketahui besaran luas wilayah area yang berada pada
kondisi sangat sesuai terbesar berada di Kabupaten Polewali Mandar yang terletak di
selatan Provinsi Sulawesi Barat. Pada kabupaten ini memiliki ketinggian yang didominasi
dengan dataran rendah sehingga memiliki area yang cukup luas untuk dijadikan lokasi
perkebunan Gaharu dibandingkan dengan wilayah lainnya. Sedangkan di kabupaten atau
kota di wilayah lain hanya memiliki sedikit wilayah dengan kondisi sesuai untuk dibentuk
menjadi perkebunan Gaharu. Hal tersebut dikarenakan kondisi ketinggian pada kabupaten
lain didominasi oleh kondisi topografi yang cukup tinggi dan tidak cocok untuk pohon
Gaharu.

Gambar 4. Peta Kesesuaian Curah Hujan (Sumber : BMKG, 2018)

Berdasarkan peta tersebut diketahui besaran luas wilayah area yang berada pada
kondisi sesuai terbesar berada di Kabupaten Polewali Mandar yang terletak di selatan
Provinsi Sulawesi Barat. Pada kabupaten ini memiliki Curah Hujan yang cukup dan tidak
berlebihan pada kisaran 1000-2000mm/th sehingga memiliki area yang cukup luas untuk
dijadikan lokasi perkebunan Gaharu dibandingkan dengan wilayah lainnya. Sedangkan di
kabupaten atau kota di wilayah lain hanya memiliki sedikit wilayah dengan kondisi sesuai
untuk dibentuk menjadi perkebunan Gaharu. Hal tersebut dikarenakan kondisi iklim
curah hujan pada kabupaten lain didominasi curah hujan yang sedikit dan cukup tinggi
sehingga tidak cocok untuk pohon Gaharu.
Gambar 14. Peta Kesesuaian Suhu (Sumber: BMKG, 2018)

Berdasarkan peta tersebut diketahui besaran luas wilayah area yang berada
pada kondisi sesuai terbesar berada di Kabupaten Polewali Mandar, Mamuju Utara dan
Majene yang terletak di selatan dan Utara Provinsi Sulawesi Barat. Pada kabupaten ini
memiliki Suhu yang cukup optimal pada kisaran 24-30ºC sehingga memiliki area yang
cukup luas untuk dijadikan lokasi perkebunan Gaharu dibandingkan dengan wilayah
lainnya. Sedangkan di kabupaten atau kota di wilayah lain hanya memiliki sedikit
wilayah dengan kondisi sesuai untuk dibentuk menjadi perkebunan Gaharu. Hal tersebut
dikarenakan kondisi suhu pada kabupaten lain didominasi dengan suhu yang terlalu
dingin dan panas sehingga tidak cocok untuk pohon Gaharu.
Hasil Analisis Overlay
Hasil wilayah kesesuaian untuk lahan perkebunan Gaharu dihasilkan dari proses
weighted overlay dengan pertimbangan empat parameter yang telah ditentukan yaitu
Ketinggian, Kemiringan lereng, Suhu, dan Curah Hujan. Paramter-parameter tersebut
disajikan dalam bentuk peta yang memiliki format data raster dan memiliki resolusi
spasial yang sama (ukuran piksel) agar dapat diproses.
Setiap parameter yang digunakan mempunyai pengaruh yang berbeda-beda untuk
menganalisis wilayah kesesuaian untuk pohon Gaharu sehingga terdapat perbedaan
pembobotan pada setiap parameter. Berdasarkan hasil peta kesesuaian yang diperoleh
pada Gambar 5. Dapat dilihat bahwa area yang sangat sesuai untuk dibangun perkebunan
Gaharu memiliki presentasi yang cukup banyak. Jumlah area yang sangat sesuai
terbanyak yaitu terletak di Kabupaten Polewali Mandar, Majene, dan Mamuju Utara yang
berada di Provinsi Sulawesi Barat dan dapat di lihat pada peta sebagai area yang
berwarna hijau, sedangkan area yang sangat tidak sesuai untuk dijadikan lokasi
perkebunan Gaharu terbanyak yaitu berada di Kabupaten Mamasa yang berada di timur
Provinsi Sulawesi Barat.
Karakteristik wilayah yang memiliki tempat kelas kesesuaian berkategori sangat
tinggi di Kabupaten Mamuju Utara memiliki kemiringan lereng yaitu 0 – 2% dengan
kenampakan fisik landai dengan didominasi oleh curah hujan antara 1000-2000mm/th
dan suhu optimal antara 24-30ºC sehingga termasuk kriteria yang sangat sesuai untuk
dijadikan lokasi perkebunan Gaharu.
Pada Kabupaten Mamasa memiliki wilayah dengan wilayah tidak sesuai yang tinggi,
hal tersebut disebabkan karena berada pada wilayah pegunungan sehingga area yang
berdekatan dengan gunung tersebut memiliki kemiringan lereng lebih dari 13% dengan
kondisi cukup curam. Hal ini yang membuat sebagian besar wilayah Kabupaten Mamasa
merupakan wilayah yang paling tidak sesuai untuk dijadikan perkebunan Gaharu.
Gambar 5. Peta Kesesuaian Tanaman Gaharu (Sumber : pengolahan data, 2019)

4.1 Persentase Luasan Wilayah Kesesuaian


Persentase yang dihasilkan setiap kelas wilayah kesesuian berbeda-beda, jumlah
persentase terbesar berada dalam kategori sesuai Sedangkan, persentase paling sedikit
yaitu kategori tidak sesuai. Pada Tabel 6. dapat dilihat bahwa wilayah kesesuaian dengan
area yang sesuai memiliki luasan area 1.248.439,687 ha atau sebesar sekitar 75% dari
luas wilayah keseluruhan. Lalu wilayah dengan kategori tidak sesuai memiliki luasan
yang cukup kecil yaitu 419.225,0153 ha atau memiliki persentase sekitar 25% dari
wilayah keseluruhan.
Persentase Luas Wilayah Kesesuaian
Lahan Tanaman Gaharu

25%

Sesuai
Tidak Sesuai

75%

Gambar 6. Grafik Persentase Luasan Wilayah Kesesuaian


Sumber: Pengolahan Data, 2019

Perbandingan Luas Wilayah


Kesesuaian Lahan Tanaman Gaharu

1500000
Luas Wilayah (ha)

1000000

500000

0
Sesuai Tidak Sesuai
Series1 1248439,687 419225,0153

Gambar 7. Grafik Perbandinga Luasan Wilayah Kesesuaian


Sumber: Pengolahan Data, 2019

Tabel 6. Persentase Luas Wilayah Kesesuaian


Kelas Kesesuaian Luas (ha)
Tidak Sesuai 419.225,0153
Sesuai 1.248.439,687
Sumber: Hasil Pengolahan Data (2018)

KESIMPULAN
Berdasarkan analisis wilayah kesesuaian lahan tanaman Gaharu dengan metode
Weighted Overlay didapatkan wilayah sesuai seluas 1.248.439,687 hektar atau sebesar sekitar
75%, dan wilayah tidak sesuai seluas 419.225,0153 hektar atau sebesar sekitar 25% dari luas
wilayah kesesuaian. Lokasi potensial untuk perkebunan Gaharu sebagain besar berada di
Kabupaten Mamuju Utara, Kabupaten Majene, dan Kabupaten Polewali Mandar. Pada
Kabupaten Mamuju dan Kabupaten Mamasa dan Kabupaten Mamuju Tengah hanya terdapat
sedikit lokasi potensial yang sesuai. Hal ini dikarenakan faktor topografi dari tempat tersebut
yang didominasi oleh wilayah perbukitan dan pegunungan sehingga berpengaruh pada cuaca
seperti suhu dan curah hujan yang tidak sesuai dengan pohon Gaharu

Berdasarkan hasil klasifikasi wilayah kesesuaian untuk pohon Gaharu, dapat diartikan
bahwa 3 dari 6 kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat yakni Kabupaten Mamuju Utara,
Kabupaten Majene, dan Kabupaten Polewali Mandar memiliki kesesuaian wilayah dengan
sebaran lokasi potensial yang sesuai untuk pohon Gaharu sehingga sangat disarankan untuk
membuat lahan perkebunan Gaharu di 3 Kabupaten tersebut untuk mengembalikan Gaharu
sebagai komoditi yang dapat diusahakan secara lestari (suistanable) dan meningkatkan
pendapatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. UPT Produksi Media Informasi. Lembaga
Sumberdaya Informasi. Institut Pertanian Bogor, IPB Press, Bogor.
Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagyo dan Hidayat, A. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi
Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Resources Management and
Conservation Service Land and Water Development Division. FAO Soil Bulletin No. 32.
FAO-UNO, Rome.
Hardjowigeno, Sarwono dan Widiatmaka. 2007. evalulasi Kesesuaian Lahan dan
Perencanaan Tataguna lahan. Penerbit Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
MASTER PLAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN GAHARU TAHUN 2013 – 2023
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2012)
Pratiwi. 2010. Karakteristik Lahan Habitat Pohon Penghasil Gaharu di Beberapa hutan
Tanaman di Jawa Barat. Pengembangan Teknologi Produksi Gaharu berbasis pemberdayaan
Masyarakat.Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi alam. Bogor.
Sidiyasa, K dan S. Suharti, 1998. Potensi jenis pohon penghasil gaharu, Prosiding Lokakarya
Pengembangan Tanaman Gaharu, RLPS Dephut, Jakarta.
Sumarna, Y & E. Santoso, 2003. Budidaya dan Rekayasa Produksi Gaharu, Sosialisasi
Gaharu dan Mikoriza, Biro KLN dan Investasi, Setjen Dephut, Jakarta
Supriatna. 2018. Sistem Informasi Geografis (SIG): Analisis dan Aplikasi Edisi 2

Anda mungkin juga menyukai