Anda di halaman 1dari 14

EVALUASI LAHAN

DIkutip dari http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id


Pendahuluan
Kebutuhan lahan yang semakin meningkat, langkanya lahan pertanian yang subur
dan potensial, serta adanya persaingan penggunaan lahan antara sektor pertanian
dan non-pertanian, memerlukan teknologi tepat guna dalam upaya
mengoptimalkan penggunaan lahan secara berkelanjutan. Untuk dapat
memanfaatkan sumber daya lahan secara terarah dan efisien diperlukan
tersedianya data dan informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim, tanah dan
sifat lingkungan fisik lainnya, serta persyaratan tumbuh tanaman yang diusahakan,
terutama tanaman-tanaman yang mempunyai peluang pasar dan arti ekonomi
cukup baik. Data iklim, tanah, dan sifat fisik lingkungan lainnya yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan tanaman serta terhadap aspek manajemennya perlu
diidentifikasi melalui kegiatan survei dan pemetaan sumber daya lahan.
Data sumber daya lahan ini diperlukan terutama untuk kepentingan perencanaan
pembangunan dan pengembangan pertanian. Data yang dihasilkan dari kegiatan
survei dan pemetaan sumber daya lahan masih sulit untuk dapat dipakai oleh
pengguna (users) untuk suatu perencanaan tanpa dilakukan interpretasi bagi
keperluan tertentu. Evaluasi lahan merupakan suatu pendekatan atau cara untuk
menilai potensi sumber daya lahan. Hasil evaluasi lahan akan memberikan
informasi dan/atau arahan penggunaan lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai
harapan produksi yang kemungkinan akan diperoleh. Beberapa sistem evaluasi
lahan yang telah banyak dikembangkan dengan menggunakan berbagai
pendekatan, yaitu ada yang dengan sistem perkalian parameter, penjumlahan, dan
sistem matching atau mencocokkan antara kualitas dan sifat-sifat lahan (Land
Qualities/Land Characteritics) dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang disusun
berdasarkan persyaratan tumbuh komoditas pertanian yang berbasis lahan. Sistem
evaluasi lahan yang pernah digunakan dan yang sedang dikembangkan di Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Balai Penelitian Tanah Bogor
diantaranya:
1.Klasifikasi kemampuan wilayah (Soepraptohardjo, 1970) 2.Sistem pendugaan
kesesuaian lahan secara parametrik (Driessen, 1971) 3.Sistem yang digunakan oleh
Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi atau P3MT (Staf PPT, 1983)
4.Sistem yang digunakan dalam Reconnaissance Land Resources Surveys 1:250.000
scale Atlas Format Procedures (CSR/FAO, 1983) 5.Land Evaluation Computer
System atau LECS (Wood, and Dent, 1983) 6.Automated Land Evalution System atau
ALES (Rossiter D.G., and A.R. Van Wambeke, 1997)
Adanya berbagai sistem atau metode yang digunakan dalam evaluasi lahan tanpa
mempertimbangkan tingkat dan skala peta dalam hubungannya dengan
ketersediaan dan kehandalan (accuracy) data, dapat mengakibatkan terjadinya
kerancuan dalam interpretasi dan evaluasi lahan. Sebagai contoh sistem Atlas
Format (CSR/FAO, 1983) yang pada awalnya ditujukan untuk keperluan evaluasi
lahan pada tingkat tinjau (reconnaissance) skala 1:250.000, sering juga digunakan
untuk evaluasi lahan pada skala yang lebih besar (semi detil atau detil). Hal ini
mengakibatkan informasi dan data yang begitu lengkap dari hasil pemetaan semi
detil dan detil, tidak nampak peranannya dalam hasil evaluasi lahan, sehingga hasil
tersebut masih sulit digunakan untuk keperluan alih teknologi dalam perencanaan
pembangunan pertanian khususnya untuk skala mikro. Untuk mengatasi hal
tersebut diperlukan adanya suatu Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan yang dapat
digunakan sesuai dengan tingkat pemetaan dan skala peta, serta tujuan dari evaluasi
lahan yang akan dilakukan dalam kaitannya dengan ketersediaan dan validitas data.
Petunjuk teknis ini disusun mengacu kepada Kriteria Kesesuaian Lahan untuk
Komoditas Pertanian Versi 3.0 (Djaenudin et al., 2000), dan dirancang untuk
keperluan pemetaan tanah tingkat semi detil (skala peta 1:50.000).
Dasar Evaluasi Lahan
Dalam melaksanakan evaluasi lahan perlu terlebih dahulu memahami istilah-istilah
yang digunakan, baik yang menyangkut keadaan sumber daya lahan, maupun yang
berkaitan dengan kebutuhan atau persyaratan tumbuh suatu tanaman. Berikut
diuraikan secara ringkas mengenai: pengertian lahan, penggunaan lahan,
karakteristik lahan, kualitas lahan, dan persyaratan penggunaan lahan.
Lahan
Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian
lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan bahkan
keadaan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan
berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Lahan dalam pengertian
yang lebih luas termasuk yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna
dan manusia baik di masa lalu maupun saat sekarang, seperti lahan rawa dan pasang
surut yang telah direklamasi atau tindakan konservasi tanah pada suatu lahan
tertentu.
Penggunaan yang optimal memerlukan keterkaitan dengan karakteristik dan
kualitas lahannya. Hal tersebut disebabkan adanya keterbatasan dalam penggunaan
lahan sesuai dengan karakteristik dan kualitas lahannya, bila dihubungkan dengan
pemanfaatan lahan secara lestari dan berkesinambungan. Pada peta tanah atau peta
sumber daya lahan, hal tersebut dinyatakan dalam satuan peta yang dibedakan
berdasarkan perbedaan sifat-sifatnya terdiri atas: iklim, landform (termasuk
litologi, topografi/relief), tanah dan/atau hidrologi. Pemisahan satuan lahan/tanah
sangat penting untuk keperluan analisis dan interpretasi potensi atau kesesuaian
lahan bagi suatu tipe penggunaan lahan (Land Utilization Types = LUTs). Evaluasi
lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam
kualitas lahan (land qualities), dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas satu
atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Beberapa karakteristik lahan
umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam pengertian kualitas
lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan dan/atau pertumbuhan
tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan
(peternakan, perikanan, kehutanan).
Penggunaan lahan
Penggunaan lahan untuk pertanian secara umum dapat dibedakan atas:
penggunaan lahan semusim, tahunan, dan permanen. Penggunaan lahan tanaman
semusim diutamakan untuk tanaman musiman yang dalam polanya dapat dengan
rotasi atau tumpang sari dan panen dilakukan setiap musim dengan periode
biasanya kurang dari setahun. Penggunaan lahan tanaman tahunan merupakan
penggunaan tanaman jangka panjang yang pergilirannya dilakukan setelah hasil
tanaman tersebut secara ekonomi tidak produktif lagi, seperti pada tanaman
perkebunan. Penggunaan lahan permanen diarahkan pada lahan yang tidak
diusahakan untuk pertanian, seperti hutan, daerah konservasi, perkotaan, desa dan
sarananya, lapangan terbang, dan pelabuhan. Dalam Juknis ini penggunaan lahan
untuk keperluan evaluasi diarahkan pada: kelompok tanaman pangan (serealia,
umbi-umbian, dan kacang-kacangan), kelompok tanaman hortikultura (sayuran,
buah-buahan, dan tanaman hias), kelompok tanaman industri/perkebunan,
kelompok tanaman rempah dan obat, kelompok tanaman hijauan pakan ternak, dan
perikanan air payau.
Dalam evaluasi lahan penggunaan lahan harus dikaitkan dengan tipe penggunaan
lahan (Land Utilization Type) yaitu jenis-jenis penggunaan lahan yang diuraikan
secara lebih detil karena menyangkut pengelolaan, masukan yang diperlukan dan
keluaran yang diharapkan secara spesifik. Setiap jenis penggunaan lahan dirinci ke
dalam tipe-tipe penggunaan lahan. Tipe penggunaan lahan bukan merupakan
tingkat kategori dari klasifikasi penggunaan lahan, tetapi mengacu kepada
penggunaan lahan tertentu yang tingkatannya dibawah kategori penggunaan lahan
secara umum, karena berkaitan dengan aspek masukan, teknologi, dan keluarannya.
Sifat-sifat penggunaan lahan mencakup data dan/atau asumsi yang berkaitan
dengan aspek hasil, orientasi pasar, intensitas modal, buruh, sumber tenaga,
pengetahuan teknologi penggunaan lahan, kebutuhan infrastruktur, ukuran dan
bentuk penguasaan lahan, pemilikan lahan dan tingkat pendapatan per unit
produksi atau unit areal. Tipe penggunaan lahan menurut sistem dan modelnya
dibedakan atas dua macam yaitu multiple dan compound.
Multiple: Tipe penggunaan lahan yang tergolong multiple terdiri lebih dari satu jenis
penggunaan (komoditas) yang diusahakan secara serentak pada suatu areal yang
sama dari sebidang lahan. Setiap penggunaan memerlukan masukan dan
kebutuhan, serta memberikan hasil tersendiri. Sebagai contoh kelapa ditanam
secara bersamaan dengan kakao atau kopi di areal yang sama pada sebidang lahan.
Demikian juga yang umum dilakukan secara diversifikasi antara tanaman cengkih
dengan vanili atau pisang.
Compound: Tipe penggunaan lahan yang tergolong compound terdiri lebih dari satu
jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan pada areal-areal dari sebidang
lahan yang untuk tujuan evaluasi diberlakukan sebagai unit tunggal. Perbedaan
jenis penggunaan bisa terjadi pada suatu sekuen atau urutan waktu, dalam hal ini
ditanam secara rotasi atau secara serentak, tetapi pada areal yang berbeda pada
sebidang lahan yang dikelola dalam unit organisasi yang sama. Sebagai contoh suatu
perkebunan besar sebagian areal secara terpisah (satu blok/petak) digunakan
untuk tanaman karet, dan blok/petak lainnya untuk kelapa sawit. Kedua komoditas
ini dikelola oleh suatu perusahaan yang sama.
Karakteristik lahan Karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau
diestimasi. Dari beberapa pustaka menunjukkan bahwa penggunaan karakteristik
lahan untuk keperluan evaluasi lahan bervariasi. Sebagai gambaran Tabel 1
menunjukkan variasi dari karakteristik lahan yang digunakan sebagai parameter
dalam evaluasi kesesuaian lahan oleh beberapa sumber (Staf PPT, 1983; Bunting,
1981; Sys et al., 1993; CSR/FAO, 1983; dan Driessen, 1971).
Tabel 1. Karakteristik lahan yang digunakan sebagai parameter dalam evaluasi
lahan. *INDEX
Prosedur Evaluasi Lahan
Evaluasi lahan umumnya merupakan kegiatan lanjutan dari survei dan pemetaan
tanah atau sumber daya lahan lainnya, melalui pendekatan interpretasi data tanah
serta fisik lingkungan untuk suatu tujuan penggunaan tertentu. Sejalan dengan
dibedakannya macam dan tingkat pemetaan tanah, maka dalam evaluasi lahan juga
dibedakan menurut ketersediaan data hasil survei dan pemetaan tanah atau survei
sumber daya lahan lainnya, sesuai dengan tingkat dan skala pemetaannya.
Pendekatan
Dalam evaluasi lahan ada 2 macam pendekatan yang dapat ditempuh mulai dari
tahap konsultasi awal (initial consultation) sampai kepada klasifikasi kesesuaian
lahan (FAO, 1976). Kedua pendekatan itu adalah: 1) pendekatan dua tahapan (two
stage approach); dan 2) pendekatan paralel (parallel approach).
Pendekatan dua tahapan. Pendekatan dua tahap terdiri atas tahap pertama adalah
evaluasi lahan secara fisik, dan tahap kedua evaluasi lahan secara ekonomi.
Pendekatan tersebut biasanya digunakan dalam inventarisasi sumber daya lahan
baik untuk tujuan perencanaan makro, maupun untuk studi pengujian potensi
produksi (FAO, 1976). Klasifikasi kesesuaian tahap pertama didasarkan pada
kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan yang telah diseleksi sejak awal kegiatan
survei, seperti untuk tegalan (arable land) atau sawah dan perkebunan. Konstribusi
dari analisis sosial ekonomi terhadap tahap pertama terbatas hanya untuk mencek
jenis penggunaan lahan yang relevan. Hasil dari kegiatan tahap pertama ini
disajikan dalam bentuk laporan dan peta yang kemudian dijadikan subjek pada
tahap kedua untuk segera ditindak lanjuti dengan analisis aspek ekonomi dan
sosialnya.
Pendekatan paralel. Dalam pendekatan paralel kegiatan evaluasi lahan secara fisik
dan ekonomi dilakukan bersamaan (paralel), atau dengan kata lain analisis ekonomi
dan sosial dari jenis penggunaan lahan dilakukan secara serempak bersamaan
dengan pengujian faktor-faktor fisik. Cara seperti ini umumnya menguntungkan
untuk suatu acuan yang spesifik dalam kaitannya dengan proyek pengembangan
lahan pada tingkat semi detil dan detil. Melalui pendekatan paralel ini diharapkan
dapat memberi hasil yang lebih pasti dalam waktu yang singkat.
Penyiapan Data
Untuk melakukan evaluasi lahan baik dengan menggunakan pendekatan dua
tahapan maupun pendekatan paralel perlu didahului dengan konsultasi awal.
Konsultasi awal ini untuk menentukan tujuan dari evaluasi yang akan dilakukan,
data apa yang diperlukan dan asumsi-asumsinya yang akan dipergunakan sebagai
dasar dalam penilaian. Evaluasi lahan yang akan dilakukan tergantung dari
tujuannya yang harus didukung oleh ketersediaan data dan informasi sumber daya
lahan.
Pelaksanaan Evaluasi lahan dibedakan ke dalam tiga tingkatan, yaitu: tingkat tinjau
skala 1:250.000 atau lebih kecil; semi detil skala 1:25.000 sampai 50.000; dan detil
skala 10.000 sampai 25.000 atau lebih besar. Jenis, jumlah, dan kualitas data yang
dihasilkan dari ketiga tingkat pemetaan tersebut bervariasi, sehingga penyajian
hasil evaluasi lahan ditetapkan sebagai berikut: pada tingkat tinjau dinyatakan
dalam ordo, tingkat semi detil dalam kelas/subkelas, dan pada tingkat detil
dinyatakan dalam subkelas/subunit. Petunjuk Teknis ini disarankan dipakai
terutama untuk tingkat pemetaan semi detil.
Pada prinsipnya penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara
mencocokkan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating
kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan
mencakup persyaratan tumbuh/hidup komoditas pertanian yang bersangkutan,
pengelolaan dan konservasi. Kriteria kelas kesuaian lahan untuk 112 jenis
komoditas pertanian yang berbasis lahan disajikan pada Lampiran 16. Pada proses
matching hukum minimum dipakai untuk menentukan faktor pembatas yang akan
menentukan kelas dan subkelas kesesuaian lahannya. Dalam penilaian kesesuaian
lahan perlu ditetapkan dalam keadaan aktual (kesesuaian lahan aktual) atau
keadaan potensial (kesesuaian lahan potensial). Keadaan potensial dicapai setelah
dilaksanakan usaha-usaha perbaikan (Improvement = I) terhadap masing-masing
faktor pembatas untuk mencapai keadaan potensial.
Asumsi-asumsi dalam Evaluasi Lahan
Sebelum melaksanakan evaluasi lahan, terlebih dahulu harus ditetapkan asumsi-
asumsi yang akan diterapkan. Dalam hal ini apakah evaluasi lahan akan dilakukan
dengan asumsi pada kondisi tingkat manajemen rendah (sederhana), sedang, atau
tinggi. Evaluasi lahan untuk tujuan perencanaan pembangunan pertanian
perkebunan besar dengan masukan teknologi tinggi, tentu berbeda asumsinya jika
tujuan evaluasi lahan hanya untuk perkebunan rakyat yang cukup dengan masukan
teknologi menengah. Demikian pula dalam hal penggunaan alat-alat pengolahan
tanah dalam pembukaan lahan pertanian. Jika lahan akan diolah secara manual
(cangkul atau bajak) maka asumsi yang dapat digunakan dalam menilai kualitas dan
karakteristik lahan berbeda dengan penggunaan alat-alat berat (mekanik). Sebagai
contoh penilaian terhadap tekstur tanah yang liat dan/atau berkerikil untuk
pengolahan tanah secara manual tidak terlalu bermasalah dibandingkan jika
menggunakan alat mekanik. Kasus serupa dalam menghadapi kualitas lahan terrain
dalam hal ini lereng. Pada lereng lebih besar dari 8% jika tanah diolah dengan
menggunakan traktor merupakan masalah, tetapi tidak demikian kalau diteras
dengan menggunakan alat pengolah tanah yang sederhana.
Asumsi dapat dibedakan terutama atas dua hal: (1) yang menyangkut areal proyek;
dan (2) yang menyangkut pelaksanaan evaluasi/interpretasi serta waktu
berlakunya dari hasil evaluasi lahan. Beberapa contoh asumsi yang ditetapkan
untuk evaluasi lahan secara kuantitatif fisik adalah sebagai berikut:
Data tanah yang digunakan hanya terbatas pada informasi atau data dari satuan
lahan atau satuan peta tanah. Reliabilitas data yang tersedia: rendah, sedang, tinggi
Lokasi penelitian atau daerah survei
Kependudukan tidak dipertimbangkan dalam evaluasi Infrastruktur dan
aksesibilitas serta fasilitas pemerintah tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.
Tingkat pengelolaan atau manajemen dibedakan atas 3 tingkatan yaitu rendah,
sedang, dan tinggi. Pemilikan tanah tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.
Pemasaran hasil produksi serta harga jual tidak dipertimbangkan dalam evaluasi.
Evaluasi lahan dilaksanakan secara kualitatif, kuantitatif fisik atau kuantitatif
ekonomi. Usaha perbaikan lahan untuk mendapatkan kondisi potensial
dipertimbangkan dan disesuaikan dengan tingkat pengelolaannya.
Aspek ekonomi hanya dipertimbangkan secara garis besar.
Parameter Evaluasi Lahan
Berikut karakteristik tanah atau lahan dan cara memprediksi data secara praktis di
lapangan maupun kriteria pengelompokannya. Karakteristik tanah/lahan yang
dipakai sebagai parameter dalam evaluasi lahan tersebut antara lain: temperatur
udara, drainase, tekstur, alkalinitas, bahaya erosi, dan banjir/genangan.
Estimasi temperatur berdasarkan ketinggian tempat (elevasi) Di tempat-tempat
yang tidak tersedia data temperatur (stasiun iklim terbatas), maka temperatur
udara dapat diduga berdasarkan ketinggian tempat (elevasi) dari atas permukaan
laut. Pendugaan tersebut dengan menggunakan pendekatan rumus dari Braak
(1928) dalam Mohr et al. (1972). Berdasarkan hasil penelitiannya di Indonesia
temperatur di dataran rendah (pantai) berkisar antara 25-27C, dan rumus yang
dapat digunakan (rumus Braak) adalah sebagai berikut: 26,3C (0,01 x elevasi
dalam meter x 0,6C)
Berdasarkan penelitian Braak tersebut temperatur tanah pada kedalaman 50 cm di
Indonesia lebih tinggi 3-4,5C, sehingga untuk menduga temperatur tanah pada
kedalaman 50 cm, maka rerata temperatur udara ditambah sekitar 3,5C. Tetapi
menurut Wambeke et al. (1986) temperatur tanah lebih tinggi 2,5C dari
temperatur udara. Hasil pendugaan temperatur dan ditambah perbedaan
temperatur udara dan temperatur tanah tersebut digunakan untuk menentukan
rejim temperatur tanah seperti yang ditetapkan dalam Taksonomi Tanah (Soil
Survey Staff, 1992; 1998).
Drainase tanah Kelas drainase tanah dibedakan dalam 7 kelas sebagai berikut:
1. Cepat (excessively drained), tanah mempunyai konduktivitas hidrolik tinggi
sampai sangat tinggi dan daya menahan air rendah. Tanah demikian tidak cocok
untuk tanaman tanpa irigasi. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah
berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi dan aluminium serta warna gley
(reduksi).
2. Agak cepat (somewhat excessively drained), tanah mempunyai konduktivitas
hidrolik tinggi dan daya menahan air rendah. Tanah demikian hanya cocok untuk
sebagian tanaman kalau tanpa irigasi. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu
tanah berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi dan aluminium serta
warna gley (reduksi).
3. Baik (well drained), tanah mempunyai konduktivitas hidrolik sedang dan daya
menahan air sedang, lembab, tapi tidak cukup basah dekat permukaan. Tanah
demikian cocok untuk berbagai tanaman. Ciri yang dapat diketahui di lapangan,
yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak atau karatan besi dan/atau mangan
serta warna gley (reduksi) pada lapisan sampai = 100 cm.
4. Agak baik (moderately well drained), tanah mempunyai konduktivitas hidrolik
sedang sampai agak rendah dan daya menahan air rendah, tanah basah dekat ke
permukaan. Tanah demikian cocok untuk berbagai tanaman. Ciri yang dapat
diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna homogen tanpa bercak atau karatan
besi dan/atau mangan serta warna gley (reduksi) pada lapisan sampai = 50 cm.
5. Agak terhambat (somewhat poorly drained), tanah mempunyai konduktivitas
hidrolik agak rendah dan daya menahan air rendah sampai sangat rendah, tanah
basah sampai ke permukaan. Tanah demikian cocok untuk padi sawah dan sebagian
kecil tanaman lainnya. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah berwarna
homogen tanpa bercak atau karatan besi dan/atau mangan serta warna gley
(reduksi) pada lapisan sampai =25 cm.
8. Terhambat (poorly drained), tanah mempunyai konduktivitas hidrolik rendah
dan daya menahan air rendah sampai sangat rendah, tanah basah untuk waktu yang
cukup lama sampai ke permukaan. Tanah demikian cocok untuk padi sawah dan
sebagian kecil tanaman lainnya. Ciri yang dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah
mempunyai warna gley (reduksi) dan bercak atau karatan besi dan/atau mangan
sedikit pada lapisan sampai permukaan.
7. Sangat terhambat (very poorly drained), tanah dengan konduktivitas hidrolik
sangat rendah dan daya menahan air sangat rendah, tanah basah secara permanen
dan tergenang untuk waktu yang cukup lama sampai ke permukaan. Tanah
demikian cocok untuk padi sawah dan sebagian kecil tanaman lainnya. Ciri yang
dapat diketahui di lapangan, yaitu tanah mempunyai warna gley (reduksi)
permanen sampai pada lapisan permukaan.
Tekstur Tekstur adalah merupakan gabungan komposisi fraksi tanah halus
(diameter =2 mm) yaitu pasir, debu dan liat. Tekstur dapat ditentukan di lapangan
seperti disajikan pada Tabel 3.
Posted by supli rahim at 00:37 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
SOIL SURVEY
Soil survey, or soil mapping, is the process of classifying soil types and other soil
properties in a given area and geo-encoding such information. It applies the
principles of soil science, and draws heavily from geomorphology, theories of soil
formation, physical geography, and analysis of vegetation and land use patterns.
Primary data for the soil survey are acquired by field sampling and by remote
sensing. Remote sensing principally uses aerial photography, but LiDAR and other
digital techniques are steadily gaining in popularity. In the past, a soil scientist
would take hard-copies of aerial photography, topo-sheets, and mapping keys into
the field with them. Today, a growing number of soil scientists bring a ruggedized
tablet computer and GPS into the field with them. The tablet may be loaded with
digital aerial photos, LiDAR, topography, soil geodatabases, mapping keys, and
more.
The term soil survey may also be used as a noun to describe the published results.
In the United States, these surveys were once published in book form for individual
counties by the National Cooperative Soil Survey. Today, soil surveys are no longer
published in book form; they are published to the web and accessed on NRCS Web
Soil Survey where a person can create a custom soil survey. This allows for rapid
flow of the latest soil information to the user. In the past it could take years to
publish a paper soil survey. Today it takes only moments for changes to go live to
the public. Also, the most current soil survey data is made available at NRCS Soil
Data Mart for high end GIS users such as professional consulting companies and
universities.
The information in a soil survey can be used by farmers and ranchers to help
determine whether a particular soil type is suited for crops or livestock and what
type of soil management might be required. An architect or engineer might use the
engineering properties of a soil to determine whether it is suitable for a certain type
of construction. A homeowner may even use the information for maintaining or
constructing their garden, yard, or home.
Soil survey components[edit] Typical information in a published county soil survey
includes the following:
a brief overview of the county's geography a general soil map with a brief
description of each of the major soil types found in the county along with their
characteristics detailed aerial photographs with specific soil types outlined and
indexed photographs of some of the typical soils found in the area tables containing
general information about the various soils such as total area, comparisons of
production of typical crops and common range plants. They also include extensive
interpretations for Land use planning such as limitations for dwellings with and
without basements, shallow excavations, small commercial buildings, septic tank
adsorptions, suitability for development, construction, and water management.
tables containing specific physical, chemical, and engineering properties such as soil
depth, soil texture, particle size and distribution, plasticity, permeability, available
water capacity, shrink-swell potential, corrosion properties, and erodibility. See
also[edit]
FAO soil classification USDA soil taxonomy Pedometrics Survey#Earth sciences
Posted by supli rahim at 00:30 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
KERAPATAN PENGAMATAN TIAP SURVEI
Survei tanah adalah upaya komprehensif untuk mendapatkan gambaran
menyeluruh tentang potensi dan kendala suatu hamparan lahan di suatu wilayah
yang dilaksanakan oleh suatu tim dan mendapat dana dari pihak sendiri atau
sponsor.
Berdasarkan intensitas pengamatannya, survei tanah dibedakan atas 6 tingkatan
survei, yaitu: (1) Bagan, (2) Eksplorasi, (3) Tinjau, (4) Semi Detail, (5) Detail, dan (6)
Sangat Detail.
Penjelasan mengenai kerapatan pengamatan, skala, luas tiap 1 cm2 pada peta,
satuan peta dan satuan tanah yang dihasilkan, dan contoh penggunaannya adalah
sebagai berikut:
(1) Survei Tanah Tingkat Bagan: Pada survei tanah tingkat bagan belum dilakukan
pengamatan lapang karena cukup dengan menghimpun dari data dan peta yang
sudah ada atau cukup dengan studi pustaka; kisaran skala yang dihasilkan lebih
kecil atau sama dengan 1: 2.500.000 dan pada umumnya skala yang dihasilkan
adalah 1 : 2.500.000; sehingga memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta adalah 625 km2;
satuan peta yang diperoleh adalah Asosiasi dan beberapa Konsosiasi; satuan tanah
yang ditampilkan adalah Ordo dan Sub-Ordo; contoh penggunaannya berupa:
Gambaran umum tentang sebaran tanah di tingkat nasional yang dimanfaatkan
untuk materi pendidikan.
(2) Survei Tanah Tingkat Eksplorasi: Pada survei tanah tingkat eksplorasi belum
dilakukan pengamatan lapang karena cukup dengan menghimpun dari data dan
peta yang sudah ada atau cukup dengan studi pustaka; kisaran skala yang dihasilkan
berkisar antara: 1 : 1.000.000 sampai dengan 1: 500.000 dan pada umumnya skala
yang dihasilkan adalah 1 : 1.000.000; sehingga memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta
adalah 100 km2 atau kurang; satuan peta yang diperoleh adalah Asosiasi dan
beberapa Konsosiasi; satuan tanah yang ditampilkan adalah Grup atau Sub-Grup;
contoh penggunaannya berupa: Perencanaan tingkat Nasional, untuk menentukan
penelitian secara terarah, dan dimanfaatkan untuk materi pendidikan.
(3) Survei Tanah Tingkat Tinjau: Pada survei tanah tingkat tinjau perlu dilakukan
pengamatan lapang dengan tingkat kerapatan pengamatan di lapang: 1 tiap 12,5
km2 sampai dengan 1 tiap 2 km2; kisaran skala yang dihasilkan berkisar antara: 1 :
500.000 sampai dengan 1: 200.000 dan pada umumnya skala yang dihasilkan adalah
1 : 250.000 atau 1 : 100.000; sehingga memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta adalah
625 hektar atau 100 hektar; satuan peta yang diperoleh adalah Asosiasi, kompleks
atau asosiasi; satuan tanah yang ditampilkan adalah Sub-Grup atau Famili; contoh
penggunaannya berupa: Perencanaan pembangunan makro di tingkat Regional dan
Provinsi, Penyusunan tata ruang wilayah propinsi, Penyusunan rencana
penggunaan lahan secara nasional, penentuan lokasi wilayah prioritas untuk
dikembangkan.
(4) Survei Tanah Tingkat Semi Detail: Pada survei tanah tingkat semi detail perlu
dilakukan pengamatan lapang dengan tingkat kerapatan pengamatan di lapang: 1
tiap 50 hektar; kisaran skala yang dihasilkan berkisar antara: 1 : 100.000 sampai
dengan 1: 25.000 dan pada umumnya skala yang dihasilkan adalah 1 : 50.000;
sehingga memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta adalah 25 hektar; satuan peta yang
diperoleh adalah: Konsosiasi, beberapa kompleks dan asosiasi; satuan tanah yang
ditampilkan adalah Famili atau Seri; contoh penggunaannya berupa: Penyusunan
peta tata ruang wilayah kabupaten/kota; Perencanaan mikro dan operasional untuk
proyek-proyek pertanian, perkebunan, transmigrasi, perencanaan dan perluasan
jaringan irigasi.
(5) Survei Tanah Tingkat Detail: Pada survei tanah tingkat detail perlu dilakukan
pengamatan lapang dengan tingkat kerapatan pengamatan di lapang: 1 tiap 12,5
hektar atau 1 tiap 8 hektar atau 1 tiap 2 hektar; kisaran skala yang dihasilkan
berkisar antara: 1 : 25.000 sampai dengan 1: 10.000 dan pada umumnya skala yang
dihasilkan adalah 1 : 25.000 atau 1 : 20.000 atau 1 : 10.000; sehingga memiliki luas
tiap 1 cm2 pada peta adalah 6,25 hektar atau 5 hektar atau 1 hektar; satuan peta
yang diperoleh adalah: Konsosiasi, beberapa kompleks; satuan tanah yang
ditampilkan adalah Fase dari Famili atau Seri; contoh penggunaannya berupa:
Perencanaan mikro dan operasional untuk proyek-proyek pengembangan tingkat
kabupaten atau kecamatan, perencanaan pemukiman transmigrasi, perencanaan
dan pengembangan jaringan irigasi sekunder dan tersier.
(6) Survei Tanah Tingkat Sangat Detail: Pada survei tanah tingkat sangat detail perlu
dilakukan pengamatan lapang dengan tingkat kerapatan pengamatan di lapang: 2
tiap 1 hektar; kisaran skala yang dihasilkan berkisar antara: 1 : 10.000 atau berskala
lebih besar; pada umumnya skala yang dihasilkan adalah 1 : 5.000; sehingga
memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta adalah 0,25 hektar; satuan peta yang diperoleh
adalah: Konsosiasi; satuan tanah yang ditampilkan adalah Fase dari Seri; contoh
penggunaannya berupa: Perencanaan dan pengelolaan lahan di tingkat petani,
penyusunan rancangan usaha tani konservasi; intensifikasi penggunaan lahan
kebun.
Daftar Pustaka:
Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Fakultas Pertanian Universitas
Sriwijaya. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu
Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 233 halaman. Rayes,
M. L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta.
Yogyakarta. 298 halaman.
Posted by supli rahim at 00:28 No comments:
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to FacebookShare to Pinterest
PENGERTIAN DAN JENIS-JENIS SURVEI
1. Survei
Survei adalah teknik penelitian dengan memberi deliniasi yang jelas atas data,
penyelidikan, peninjaun di suatu daerah. Mensurvei adalah memeriksa, menyelidiki,
meninjau. Penyurvei adalah orang yang menyurvei.
2. Survei Tanah
Survei tanah adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk dapat membedakan
tanah satu dengan yang lain yang kemudian disajikan dalam berbagai peta.
Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan
tertentu. Evaluasi lahan tidak terlepas dari kegiatan survei tanah. Sedangkan survei
tanah dilakukan untuk mengetahui penyebaran jenis tanah dan menentukan
potensinya untuk berbagai alternatif penggunaan lahan. Tujuan survei tanah adalah
mengklasifikasikan dan memetakan tanah dengan mengelompokkan tanah yang
sama atau hampir sama sifatnya (Subardja. 2000). Menurut Rayes (2007) dalam
survei tanah dikenal 3 macam metode survei, yaitu: a. metode grid (menggunakan
prinsip pendekatan sintetik) b. metode fisiografi dengan bantuan interpretasi foto
udara (menggunakan prinsip amalitik) c. metode grid bebas yang merupakan
penerapan gabungan dari kedua metode survey. Biasanya dalam metode grid bebas,
pemeta bebas memilih lokasi titik pengamatan dalam mengkonfirmasi secara
sistematis menarik batas dan menentukan komposisi satuan peta. Rossiter (2000)
mengemukakan bahwa disiplin survei sumber daya lahan kini memasuki era baru
karena munculnya teknologi dan metode baru sebagai berikut : a. Satelit
penginderaan jauh (Yang dalam waktu dekat hampir sama detailnya dengan foto
udara) yang sangat bermanfaat untuk persiapan peta dasar dan klasifikasi tutupan
lahan. b. GPS (Global Positioning System) yang sangat bermanfaat untuk
menentukan lokasi secara akurat, mampu menemukan teknologi pemetaan bawah
permukaan, seta berkembangnya model elevasi digital (DEM) untuk memprediksi
karakteristik medan. c. Geostatistik dan teknik interpolasi lainnya. d. Sistem
infomasi geografi. B. Tahap-Tahap dalam Survei Tanah 1. Tahapan Persiapan
Meliputi 3 hal utama, yaitu studi pustaka, peta topografi dan foto udara. a. Studi
pustaka merupakan gambaran umum tentang daerah yang akan diteliti berdasarkan
hasil penelitian yang sudah ada atau berbagai sumber lain. Seperti tujuan, perizinan,
estimasi biaya, pembuatan kerangka acuan, pengumpulan data awal, dan bebrbagai
peta dasar serta citra. Tahapan survei atau pengamatan lapangan biasanya
dilakukan dalam tiga bentuk kegiatan survei yaitu pengamatan identifikasi
(menggunakan boring tanah), pegamatan detail (pembuatan minipit) dan dekripsi
profil. Dua kegiatan survei yang paling umum dilakukan adalah pengamatan
identifikasi yang dilakukan dengan mengambil sampel tanah menggunakan bor
tanah dan mencatat keterangan-keterangan/data-data penting di lapang. sementara
pengamatan detail juga sangat sering dilakukan pada pengamatan detail dilakukan
penggalian profil untuk identifikasi horison-horison tanah. b. Peta topografi
merupakan unsur kedua yang penting karena merupakan peta dasar untuk
melakukan pengamatan di lapangan. c. Foto udara, komponen yang penting untuk
informasi mengenai fisiografi & penggunaan tanah serta untuk memberikan mosaik.
2. Tahapan Pendahuluan Yaitu persiapan administrasi dan orientasi daerah studi. a.
Penyiapan administrasi penting dilakukan untuk mendapatkan izin dari masyarakat
di sekitar yang diwakilkan dari beberapa pihak saja. b. Orientasi daerah studi
penting dilakukan dalam rangka memperoleh gambaran umum tentang daerah
pengamatan.
3. Tahapan Utama Melakukan identifikasi jenis-jenis tanah dan faktor yang
berpengaruh terhadap kondisi tanah.
4. Pengolahan Data dan Penyusunan Laporan. Berdasarkan intensitas
pengamatannya, survei tanah dibedakan atas 6 tingkatan survei, Penjelasan
mengenai kerapatan pengamatan, skala, luas tiap 1 cm2 pada peta, satuan peta dan
satuan tanah yang dihasilkan, dan contoh penggunaannya adalah sebagai berikut:
1. Survei Tanah Tingkat Bagan Pada survei tanah tingkat bagan belum dilakukan
pengamatan lapang karena cukup dengan menghimpun dari data dan peta yang
sudah ada atau cukup dengan studi pustaka; kisaran skala yang dihasilkan lebih
kecil atau sama dengan 1: 2.500.000 dan pada umumnya skala yang dihasilkan
adalah 1 : 2.500.000; sehingga memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta adalah 625 km2;
satuan peta yang diperoleh adalah Asosiasi dan beberapa Konsosiasi; satuan tanah
yang ditampilkan adalah Ordo dan Sub-Ordo; contoh penggunaannya berupa:
Gambaran umum tentang sebaran tanah di tingkat nasional yang dimanfaatkan
untuk materi pendidikan.
2. Survei Tanah Tingkat Eksplorasi Pada survei tanah tingkat eksplorasi belum
dilakukan pengamatan lapang karena cukup dengan menghimpun dari data dan
peta yang sudah ada atau cukup dengan studi pustaka; kisaran skala yang dihasilkan
berkisar antara: 1 : 1.000.000 sampai dengan 1: 500.000 dan pada umumnya skala
yang dihasilkan adalah 1 : 1.000.000; sehingga memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta
adalah 100 km2 atau kurang; satuan peta yang diperoleh adalah Asosiasi dan
beberapa Konsosiasi; satuan tanah yang ditampilkan adalah Grup atau Sub-Grup;
contoh penggunaannya berupa: Perencanaan tingkat Nasional, untuk menentukan
penelitian secara terarah, dan dimanfaatkan untuk materi pendidikan.
3. Survei Tanah Tingkat Tinjau Pada survei tanah tingkat tinjau perlu dilakukan
pengamatan lapang dengan tingkat kerapatan pengamatan di lapang: 1 tiap 12,5
km2 sampai dengan 1 tiap 2 km2; kisaran skala yang dihasilkan berkisar antara: 1 :
500.000 sampai dengan 1: 200.000 dan pada umumnya skala yang dihasilkan adalah
1 : 250.000 atau 1 : 100.000; sehingga memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta adalah
625 hektar atau 100 hektar; satuan peta yang diperoleh adalah Asosiasi, kompleks
atau asosiasi; satuan tanah yang ditampilkan adalah Sub-Grup atau Famili; contoh
penggunaannya berupa: Perencanaan pembangunan makro di tingkat Regional dan
Provinsi, Penyusunan tata ruang wilayah propinsi, Penyusunan rencana
penggunaan lahan secara nasional, penentuan lokasi wilayah prioritas untuk
dikembangkan.
4. Survei Tanah Tingkat Semi Detail Pada survei tanah tingkat semi detail perlu
dilakukan pengamatan lapang dengan tingkat kerapatan pengamatan di lapang: 1
tiap 50 hektar; kisaran skala yang dihasilkan berkisar antara: 1 : 100.000 sampai
dengan 1: 25.000 dan pada umumnya skala yang dihasilkan adalah 1 : 50.000;
sehingga memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta adalah 25 hektar; satuan peta yang
diperoleh adalah: Konsosiasi, beberapa kompleks dan asosiasi; satuan tanah yang
ditampilkan adalah Famili atau Seri; contoh penggunaannya berupa: Penyusunan
peta tata ruang wilayah kabupaten/kota; Perencanaan mikro dan operasional untuk
proyek-proyek pertanian, perkebunan, transmigrasi, perencanaan dan perluasan
jaringan irigasi.
5. Survei Tanah Tingkat Detail Pada survei tanah tingkat detail perlu dilakukan
pengamatan lapang dengan tingkat kerapatan pengamatan di lapang: 1 tiap 12,5
hektar atau 1 tiap 8 hektar atau 1 tiap 2 hektar; kisaran skala yang dihasilkan
berkisar antara: 1 : 25.000 sampai dengan 1: 10.000 dan pada umumnya skala yang
dihasilkan adalah 1 : 25.000 atau 1 : 20.000 atau 1 : 10.000; sehingga memiliki luas
tiap 1 cm2 pada peta adalah 6,25 hektar atau 5 hektar atau 1 hektar; satuan peta
yang diperoleh adalah: Konsosiasi, beberapa kompleks; satuan tanah yang
ditampilkan adalah Fase dari Famili atau Seri; contoh penggunaannya berupa:
Perencanaan mikro dan operasional untuk proyek-proyek pengembangan tingkat
kabupaten atau kecamatan, perencanaan pemukiman transmigrasi, perencanaan
dan pengembangan jaringan irigasi sekunder dan tersier.
6. Survei Tanah Tingkat Sangat Detail Pada survei tanah tingkat sangat detail perlu
dilakukan pengamatan lapang dengan tingkat kerapatan pengamatan di lapang: 2
tiap 1 hektar; kisaran skala yang dihasilkan berkisar antara: 1 : 10.000 atau berskala
lebih besar; pada umumnya skala yang dihasilkan adalah 1 : 5.000; sehingga
memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta adalah 0,25 hektar; satuan peta yang diperoleh
adalah: Konsosiasi; satuan tanah yang ditampilkan adalah Fase dari Seri; contoh
penggunaannya berupa: Perencanaan dan pengelolaan lahan di tingkat petani,
penyusunan rancangan usaha tani konservasi; intensifikasi penggunaan lahan
kebun.
C. Metode-Metode yang Digunakan dalam Survei Tanah
1. Metoda Grid Kaku (Rigid Grid)
a. Diterapkan pada survei tanah detil sampai dengan detil, dimana tidak tersedia
foto udara. b. Kalaupun foto udaranya tersedia, mungkin skalanya terlalu kecil dan
Mutunya sangat rendah c. Daerah yg disurvei tertutup awan/kabut d. Kenampakan
permukaan tidak jelas atau daerahnya sangat homogen dan datar, e. Daerah yang
disurvei tertutup vegetasi yg rapat dan lebat f. Daerah survei berrawa, padang
rumput atau g. Savana yang tidak menampakkan gejala permukaan.
Dalam metoda ini, pengamatan dilakukan dalam pola teratur pada interval titik
pengamatan yang berjarak sama dalam kedua arah. Sangat cocok diterapkan pada
daerah-daerah di mana posisi pemeta, sukar ditentukan dengan pasti.
Keuntungan Metoda Grid-Kaku: Tidak memerlukan penyurvei yang berpengalaman,
karena lokasi titik-titik pengamatan sudah di plot pada peta rintisan (peta rencana-
pengamatan).
Kerugian Metoda Grid-Kaku: Perlu waktu sangat lama, terutama untuk medan
berat. Penggunaan titik pengamatan, tidak efektif. Sebagian dari lokasi
pengamatan, tidak mewakili satuan peta yang dikehendaki (misal pada tempat
pemukiman, daerah peralihan 2 satuan lahan dll).
2. Metoda fisiografik (dengan bantuan foto udara) a. Sangat efektif pada survei tanah
berskala < 1 : 25.000, dan tersedia foto udara berkualitas cukup tinggi. b. Hampir
semua batas satuan peta diperoleh dari IFU, sedangkan kegiatan lapangan hanya
untuk mengecek batas satuan peta dan mengidentifikasi sifat dan ciri tanah masing2
satuan peta. c. Pengamatan dilakukan pada tempat-tempat tertentu pada masing-
masing satuan peta.
Gambar: Lokasi titik observasi pada Metode Fisiografik Jumlah pengamatan pada
tiap-tiap satuan peta tergantung: Ketelitian IFU dan keahlian + kemampuan
Penyurvei dlm memahami hub fisiografi dan keadaan tanah. Kerumitan (kompleks
tidaknya) satuan peta tersebut. Makin rumit, makin banyak dan, Luasan satuan peta.
Makin luas, jumlah pengamatannya pun makin banyak.
3. Metoda Grid Bebas a. Perpaduan metoda grid-kaku dg metoda fisiografi. b. Pada
survei detil s/d semi-detil, yang kemampuan foto udara dianggap terbatas, dan di
tempat-tempat yang orientasi lapangan cukup sulit.
c. Pengamatan lapangan dilakukan pada titik-titik seperti pada grid-kaku, tapi jarak
titik-titik pengamatan tidak perlu sama dalam 2 arah, tetapi terntung keadaan
fisiografi. d. Jika terjadi perubahan fisiografi yang menyolok dalam jarak dekat
pengamatan, rapat. e. Jika bentuk-lahan relatif seragam, renggang. f. Sangat baik
diterapkan oleh penyurvei yang belum banyak berpengalaman dalam IFU. Lokasi
titik observasi pada Metode Grid Bebas D. Variasi Penentuan Titik Observasi Dalam
Survei Tanah
1. Penentuan titik observasi dalam Key Area ( Daerah Kunci ) Fungsi Key Area untuk
: a. Pelajari tanah secara lebih detil daripada skala peta final. b. Buat definisi satuan
peta, dg menyusun legenda peta sementara. c. Buat korelasi antara SPT dg citra foto.
d. Kumpulkan data SDL (pola tanam, LU, produksi, dosis pupuk dll) scr > lengkap.
Beberapa syarat daerah kunci adalah : Dapat mewakili sebanyak mungkin satuan
yg ada dibuat pada daerah yang hubungan tanah-landskap dapat dipelajari dengan
mudah. Luasnya tdk boleh terlalu kecil, (semi detil, 10% ; tinjau 5% dr luas
total). Tidak boleh sejajar dengan batas landform. Usahakan mencakup semua
satuan peta yang ada. Jumlahnya harus memadai. Aksesibilitasnya tinggi
2. Penentuan Titik Observasi Dalam Transek Transek juga merupakan daerah
pewakil sederhana dalam bentuk jalur/rintisan, yang mencakup satuan landform,
sebanyak mungkin.
Rectangular Callout: TransekRectangular Callout: Key Area Metode survei tanah
menggunakan dua pendekatan utama, yaitu pendekatan sintetik dan analitik:
1. Pendekatan Sintetik Untuk membagi permukaan tanah sebagai suatu satuan peta
tanah adalah dengan cara mengamati, mendeskripsikan dan mengklasifikasikan
profil-profil tanah sesuai dengan taksonomi yang digunakan sebagai acuan untuk
memberi batas pada peta tanah yang ada, batas tersebut dapat digunakan untuk
menggabungkan daerah sekitar pengamatan yang memiliki profil serupa atau yang
berbeda dengan yang lain seusai denga klasifikasi taksonomi yang digunakan.
Pendekatan analitik dilakukan di daerah survei tersebut dengan cara: Hal yang
dilakukan pertama adalah interpretasi foto udara yang ada atau didapat dari citra
satelit, gunakan acuan sifat-sifat tanah yang dapat dilihat dengan menggunakan foto
udara seperti jenis topografi, vegetasi dan bahan induk ( warna ) sehingga dapat
menentukan jenis landformnya. Kemudian memberi batas-batas permukaan tanah
yang memiliki sifat-sifat tanah yang dianggap berbeda-beda. Melaksanakan
karakterisasi satuan-satuan yang dihasilkan melaluipengamatan dan pengambilan
contoh tanah di lapangan.
2. Pendekatan Analitik Membagi suatu peta tanah berdasarkan pada pengamatan
sifat sifat tanah yang secara eksternal dapat diketahui seperti halnya tekstur,
struktur, konsistensi, hingga sifat yang mempengaruhi proses pembentukan tanah
misalnya topografi, bahan induk dan jenis vegetasi yang ada pada suatu peta tanah.
Jika menggunakan foto udara sebagai peta dasar untuk melakukan pendekatan peta
tanah maka dapat diketahui sifat-sifat tersebut yang selanjutnya dapat digunakan
untuk menentukan kontinum yang akan dibagi-bagi sebagai pembeda satu titik
dengan titik lainya pada peta tanah.
E. Manfaat Kegiatan Survei Tanah
1. Pengukuran Untuk Mencari Luas Tanah Luas tanah sangat diperlukan untuk
keperluan jual beli, penentuan pajak, dan untuk perencanaan pengembangan
daerah, rencana jalan, rencana pengairan dan rencana transmigrasi.
2. Pengukuran Untuk Mengetahui Beda Tinggi Tanah Sebelum suatu bangunan
didirikan , maka terlebih dahulu harus diketahui tinggi permukaan tanah dan
rencana meratakan tanahnya sehingga dapat dihitung seberapa tanah yang gigali
dan berapa banyak urugan yang diperlukan serta untuk menentukan peil suatu
bangunan yang akan dibangunan untuk pedoman ketinggian lantai dan sebagainya.
3. Pengukuran Untuk Pembuatan Peta Untuk memberi petunjuk berapa jauh antara
tempat A ke tempat B maka kita harus membuat sket jalan dari tempat A ke tempat
B. Gambar sket tersebut walaupun tidak sempurna dinamakan peta. Untuk
praktisnya pemerintah mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten , propinsi
bahkan setiap Negara mempunyai ganbar daerahnya yang disebut peta. Peta
tersebut harus digambar berdasarkan hasil pengukuran tanah, baik pengukuran
secara teoritis maupun secara fotogrametrik.
4. Pengukuran Untuk Merencanakan Bangunan Bila akan mendirikan rumah , maka
harus ada ijin bangunan dari dinas tata kota setempat. Pada setiap rencana
pembangunan daerah , pembuatan jalan, rencana irigasi terlebih dahulu tanah yang
akan dibangunan harus diukur dan disahkan oleh pemerintah daerah. Disamping
hal tersebut pekerjaan ukur tanah merupakan hal sangat penting dalam
merencanakan bangunan karena dapat memudahkan menghitung rencana biaya

Anda mungkin juga menyukai