Anda di halaman 1dari 6

TUGAS TERSTRUKTUR

EVALUASI SUMBERDAYA LAHAN

DESAIN AGROFORESTRI PADA LAHAN KELAS VI

Oleh:
1. Mardiyah (A1L014080)
2. Nidya Maula Nurhidayah (A1L014162)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2017
DESAIN AGROFORESTRI PADA LAHAN KELAS VI

Klasifikasi kemampuan lahan merupakan klasifikasi potensi lahan untuk

penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa menjelaskan peruntukkan

untuk jenis tanaman tertentu maupun tindakan-tindakan pengelolaannya. Tujuannya

adalah untuk mengelompokkan lahan yang dapat diusahakan bagi pertanian (arable

land) berdasarkan potensi dan pembatasnya agar dapat berproduksi secara

berkesinambungan. Dalam sistem klasifikasi ini lahan dikelompokkan ke dalam tiga

kategori, yaitu kelas, subkelas, dan satuan (unit) kemampuan atau pengelolaan

(Rayes, 2007).

Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2011) dalam tingkat kelas,

kemampuan lahan menunjukkan kesamaan dari besarnya faktor-faktor penghambat.

Semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin buruk, berarti resiko kerusakan

dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan lahan yang

diterapkan semakin terbatas. Lahan kelas VI mempunyai penghambat yang sangat

berat sehingga tidak sesuai untuk pertanian dan hanya sesuai untuk tanaman rumput

ternak atau dihutankan. Penggunaan untuk padang rumput harus dijaga agar

rumputnya selalu menutup dengan baik. Bila dihutankan, penebangan kayu harus

lebih selektif.

Tanah-tanah dalam lahan kelas VI mempunyai pembatas atau ancaman

kerusakan yang tidak dapat dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor-

faktor berikut: (1) terletak pada lereng agak curam (>30% – 45%), (2) telah tererosi

berat, (3) kedalaman tanah sangat dangkal, (4) mengandung garam laut atau Natrium

(berpengaruh hebat), (5) daerah perakaran sangat dangkal, atau (6) iklim yang tidak

sesuai. Tanah-tanah kelas VI yang terletak pada lereng agak curam jika digunakan
untuk penggembalaan dan hutan produksi harus dikelola dengan baik untuk

menghindari erosi. Beberapa tanah di dalam lahan kelas VI yang daerah perakarannya

dalam, tetapi terletak pada lereng agak curam dapat digunakan untuk tanaman

semusim dengan tindakan konservasi yang berat seperti, pembuatan teras bangku

yang baik.

Gambar 1. Teras bangku

Gambar 2. Teras Bangku

Lahan kelas VI dapat dihutankan dengan Agroforestri. Menurut Lundren

dan Raintree (1982), agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan dan

teknologi dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, palem, bambu,

dan sebagainya) ditanam bersama dengan tanaman pertanian dan atau hewan

dengan satu tujuan tertentu dalam satu bentuk pengaturan spasial atau urutan

temporal dan di dalamnya terdapat interaksi ekologi dan ekosistem diantara

berbagai komponen yang bersangkutan.

Desain sistem agroforestri ditujukan untuk memperbaiki sistem yang ada

dan memberi arahan terhadap penggunaan lahan untuk kegiatan usahatani, yaitu

dengan cara mengkaji apa yang dibutuhkan untuk meningkatkan performansi


sistem dan sistem apa yang paling menjanjikan untuk dijadikan usahatani, untuk

itu diperlukan berbagai pertimbangan yang diperoleh dari kegiatan prediagnosis

dan diagnosis terhadap sistem yang ada, kemudian mencari permasalahan yang

terjadi pada sistem untuk kemudian dilakukan intervensi terhadap sistem tersebut

(Bukhari, 2009). Berikut ini merupakan desain agroforestri lahan kelas VI dengan

lereng curam.

Gambar 3. Desain Agroforestri


Keterangan:
Tanaman jati
Tanaman nangka
Tanaman pinang
Tanaman kakao
Tanaman penutup lahan

Dari gambar tersebut, tanaman jati ditanam dengan jarak 3 X 3 m. Tanaman

nangka ditanam dengan jarak 10 m X 10 m atau 100 batang per hektar, dengan

perkiraan bahwa apabila tanaman sudah besar akan mempunyai ruang yang
mencukupi dalam hal memperoleh cahaya matahari, air dan unsur hara. Pohon

pinang ditanam dengan jarak 3 m X 10 m atau 330 batang per hektar, dengan

mempertimbangkan arah larikan penanaman dari Timur ke Barat, dengan tujuan

tidak akan menaungi tanaman nangka. Jarak tanam yang digunakan juga masih

memberi ruang kepada berbagai komponen untuk dapat tumbuh dengan baik.

Tanaman kakao ditanam dengan jarak 3 m X 10 m atau 330 batang per hektar,

dengan arah larikan dari Utara ke Selatan. Tanaman pisang dipertahankan hingga

tahun ke tiga setelah penanaman, hal ini dilakukan untuk menghindari interaksi

negatif yang terjadi jika tanaman tahunan sudah besar (Bukhari, 2009). Ruang

yang ada disela-sela tanaman dapat ditanami tanaman penutup tanah, seperti

Centrocema pubescens B., Mucuna pruriens L., Phaseolus lunatus L., dan

sebagainya. Tujuannya yaitu untuk mencegah pertumbuhan gulma, mencegah

erosi, dan menahan atau mengurangi daya perusak butir-butir hujan yang jatuh

dan aliran air di atas permukaan.


DAFTAR PUSTAKA

Bukhari. 2009. Desain Agroforestri pada Lahan Kritis (Studi Kasus di Kecamatan
Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar). Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor, Bogor.

Harjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2011. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan


Perencanaan Tataguna Lahan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Lundgren BO and Raintree JB. 1982. Suistainable Agroforestry. In Nestel B


(editor). 1982. Agricultural Research for Development. Potentials and
Challenges in Asia, ISNAR, The Hague, The Netherlands. hal 37- 49.

Rayes, M.L. 2007. Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan. Andi, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai