Anda di halaman 1dari 9

SEBUAH PERSPEKTIF ALTERNATIF

Disusun Oleh:

Vivien Chen 140905361

Brigita Arccita W. 170906248

Gracia Yosephine Matondang 170906262

Bea Putri Saraswati 170906307

Mizhel Rantetabong 170906300

MATA KULIAH PODUKSI KOMUNIKASI KREATIF

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

2020
I. The Golden Circle

Ilustrasi The Golden Circle oleh Simon Sinek

Konsep The Golden Circle dikemukakan oleh Simon Sinek. Sinek mengemukakan
bahwa konsep tersebut terinspirasi dari golden ratio. Golden Ratio digunakan untuk
menjelaskan keteraturan yang ada di alam. Penerapan golden ratio juga digunakan untuk
mendefinisikan berbagai bidang kehidupan (Sinek, 2009, h.41). Intinya, golden ratio
membantu manusia dalam memahami tentang alasan ketika kita melakukan sesuatu.

Setelah itu, lahirlah golden circle. Golden circle memberikan pandangan bahwa sebuah
organisasi atau pemimpin mencapai satu kesuksesan karena adanya suatu alasan dibaliknya.
Golden circle menjadi suatu konsep yang dapat memberikan gambaran mengenai pola-pola
manajemen organisasi pada suatu perusahaan. Hal ini menjadi inspirasi bagi masyarakat dan
banyak orang dalam memulai suatu bisnis atau suaha.

Sinek (2009, h.43) juga menjelaskan bahwa konsep the golden circle memiliki tiga
elemen penting, yaitu:

1. What (Apa)
Setiap perusahaan memiliki produk untuk ditawarkan. Sehingga, elemen ini
menjadi suatu hal yang dapat mengindentifikasi usaha yang dilakukan agar mudah
untuk dikerjakan. Elemen ini juga dapat berguna untuk mendiskripsikan produk
yang dihasilkan dan yang dikerjakan.
2. How (Bagaimana)
How menjadi elemen untuk mengetahui proses suatu hal dikerjakan. How dapat
berfungsi sebagai informasi yang menunjukkan sesuatu yang berbeda dari produk
yang dihasilkan. Namun, mengindentifikasi how tidak semudah mengindetifikasi
what, karena biasanya orang-orang sering keliru dan menganggap how sebagai
alasan dalam suatu keputusan.
3. Why (Mengapa)
Merupakan suatu alasan mengenai kegiatan dalam perusahaan. Elemen ini juga
menjadi tujuan dalam menjalankan perushaan. Pertanyaan yang dapat muncul dari
elemen ini adalah: Mengapa perushaan ini dibentuk? Mengapa saya harus
melakukan ini? Mengapa saya harus bekerja? dan lain sebagainya.

Contoh: Google

1. What: Dalam mendirikan perushaan Google, banyak aspek yang dipertimbangkan oleh
pendirinya. Page dan Brin (pendiri Google) mendirikan Google dnegan menawarkan
produk yaitu mesin pencaharian yang berbasisskan internet.
2. How: Google menjadi sesuatu yang berbeda dan menjadi inovasi dalam dunia internet.
3. Why: Google mendirikan perusahaan ini dengan tujuan tertentu. Karena memiliki
konsep yang unik dan inovatif (sebagai mesin pencharian ternama), membuat orang-
orang harus memilih Google sebagai alat masyarakat dalam berseluncur di internet.

II. This Is Not Opinion, This Is Biology

Ketika orang disekitar kita mulai membicarakan nilai dan kepercayaan, wajar bila kita
memiliki perasaan yang sama. Sinek menjelaskan (2009, h. 58) saat perusahaan mulai
membicarakan tentang ‘apa’ yang mereka lakukan, maka akan memiliki daya tarik namun
tidak mewakili sesuatu. Tetapi, jika membahas soal ‘mengapa’, maka merek akan berusaha
masuk ke dalam kehidupan kita. Hal ini menjadi penanda bahwa unsur ‘mengapa’ merupakan
simbol dari nila-nilai dan kepercayaan.

Adanya sifat kepercayaan membuat pelanggan merasa punya kedekatan dengan merek.
Dengan begitu, para pelanggan akan membuat fansclub baik secara online maupun langsung.
Nantinya, club ini berfungsi untuk membagikan informasi tentang kecintaanya terhadap merek
kita. Hal ini dikarenakan masing-masing anggota punya tujuan yang sama (Sinek, 2009, h. 59).

Prinsip The Golden Circle lebih dari hierarki komunikasi. Prinsipnya sangat berkaitan
pada perilaku manusia. Untuk itu, ada sebutan bahwa kekuatan ‘mengapa’ bukan pendapat
melainkan biologi.

Pada bagian otak manusia ada yang disebut otak limbik. Otak ini bertanggung jawab
atas semua perasaan kita seperti kepercayaan, kesetiaan, pengambilan keputusan, namun tidak
termasuk penggunaan bahasa (Sinek, 2009, h. 61). Sinek mengatakan ketika kita
mengkomunikasikan mengkomunikasikan “apa” yang kita lakukan dari luar ke dalam, maka
orang tentu dapat memahami informasi yang diberikan tetapi tidak mendorong perilaku.
Namun, apabila ketika kita berkomunikasi dari dalam ke luar, kita berbicara langsung ke
bagian otak yang mengendalikan pengambilan keputusan dan bagian bahasa. Dengan begitu,
memungkinkan untuk merasionalisasi keputusan-keputusan itu (2009, h. 61).

Orang yang berbicara dari luar ke dalam, akan sulit untuk memahami orang lain.
Pengambilan keputusan dan kemampuan berada di bagian otak. Otak limbik cukup kuat untuk
mendorong perilaku yang terkadang bertentangan dengan pemahaman rasional dan analitis kita
terhadap suatu situasi (Sinek, 2009, h. 63).

Menurut Sinek (2009, h. 64) perusahaan yang gagal mengomunikasikan rasa


”mengapa” akan sulit untuk membuat keputusan. Inilah sebabnya mengapa keputusan
membutuhkan lebih banyak waktu, membuat tidak pasti. Dibawah kondisi ini strategi
manipulatif yang mengeksploitasi keinginan kita seperti ketakutan, keraguan, atau fantasi
bekerja sangat baik.

III. Clarity, Discipline And Consistency


1. Clarity of WHY
Segala sesuatu berhubungan dengan clarity atau kejelasan. Tiap individu harus
mengetahui alasan dari individu melakukan hal yang dilakukannya (Sinek, 2009, h. 71).
2. Discipline of HOW
Setelah mengetahui alasan mengapa melakukan hal tersebut, selanjutnya mencari tahu
bagaimana melakukannya. Bagaimana cara atau nilai-nilai untuk mewujudkannya.
Dengan begitu, tiap individu telah berproses dan bertanggung jawab pada prinsip-prinsip
kerja (Sinek, 2009, h.72).
Sinek (2009, h. 72) juga menjelaskan setelah bagaimana, mengapa juga menjadi hal
yang penting. Hal ini untuk melatih kedisiplinan agar tidak menyimpang dari tujuan awal.
Intinya untuk melatih integritas, kejujuran, inovasi, dan komunikasi dalam diri. Hadirnya
The Golden Circle menawarkan kesuksesan jangka panjang.
3. Consistency of WHAT
Semua yang dilakukan harus membentuk suatu keyakinan dan pembuktian. Bila
bagaimana untuk mewujudkan keyakinan, sedangkan apa merupakan hasil dari keyakinan
tersebut (Sinek, 2009, h. 73). Keyakinan tersebut dibuktikan dengan perkataan dan perilaku
dari individu.
Menurut Sinek (2009, h. 75), memiliki pengetahuan dan kemampuan membuat produk
yang baik memang penting. Namun, tetap dibutuhkan pemahaman yang jelas. Bukan
sekedar memproduksi barang berkualitas tinggi. Hal tersebut tidak menjamin kesuksesan.
Dalam hal ini, keaslian menjadi dasar penjualan. Keaslian juga menumbuhkan
kepercayaan dan kesetiaan pada pembeli. Hilangnya The Golden Circle, menghasilkan
hubungan yang rentan dan tak ada kepercayaan (Sinek, 2009, h. 75).
Efek samping lainnya, tanpa suatu produk yang asli, penjual akan memanipulasi barang
yang diproduksi. Dengan begitu menghasilkan rasa takut dari penjual. Sinek mengatakan
keaslian adalah ketika penjual mengatakan dan melakukan hal yang benar-benar diyakini
(2009, h. 76).
4. The Right Order
Setelah mengapa, rasa disiplin dan bertanggung jawab pada nilai dan prinsip juga harus
dilakukan. Penjual harus konsisten dengan apa yang dikatakan dan dilakukan. Untuk itu,
perlunya melakukan sesuatu hal dengan urutan yang benar (Sinek, 2009, h.76).
5. If You Don’t Know WHY, You Can’t Know HOW

Setiap perusahaan memerlukan strategi dalam penjualannya. Semuanya harus


disamakan dengan kondisi lingkungan sekitar. Untuk itu, membuat pelanggan menjadi
loyal dan termotivasi dengan produk kita merupaka tugas dari penjual. Pelanggan harus
merasan nyaman (Sinek, 2009, h.79).

Perbedaan dan Kemiripan antara Manupulasi dan Inspirasi

Apabila mendiskusikan mengenai fenomena manipulasi dan inspirasi, maka hal yang
harus dipahami pertama-tama ialah bahwa manusia memiliki sisi konatif dan afektif yang
berjalan bersamaan dalam memproses suatu stimulan. Dalam hal ini, stimulan yang dimaksud
adalah dorongan-dorongan dari lingkungan eksternal seperti opini publik, testimoni, kalimat
dalam iklan, kemudian tekanan dari teman ataupun keluarga mampu membuat suatu individu
mengambil langkah tertentu untuk merespon stimulan tersebut. Manipulasi, mengharapkan
umpan balik dengan cara memanfaatkan sisi-sisi irasional manusia dalam merespon suatu
stimulan. Manipulasi bergerak sebagai suatu trik yang mampu mengelabuhi sisi irasional
manusia sehingga timbul suatu perasaan takut apabila individu tidak mengikuti atau sejalan
dengan stimulan yang ditujukan oleh sang manipulator. Adapun dalam hal ini, sisi-sisi afeksi
atau sisi emosional suatu individu mampu dikelola sedemikian rupa, sehingga mampu
membuat individu tidak lagi peduli pada ketidakpastiaan, biaya atau beban sesungguhnya, yang
menjadi resiko dari merespon stimulan sang manipulator.

Pada kondisi inilah individu mengalami transformasi perilaku dari tahap termotivasi
kemudian beralih ke tahap terinspirasi, dan karenanya segala pembuatan keputusan akan lebih
berpihak pada konsep diri (cara individu menilai dirinya sendiri) daripada sisi fungsional dari
produk-produk yang dibayarkan. Pada titik tersebut, suatu individu tidak lagi
memperhitungkan biaya-biaya atau usaha yang harus dibayarkan untuk mendapatkan produk
atau layanan tersebut. Menurut Sinek (2009), perilaku ini menciptakan suatu kesetiaan yang
pada akhirnya disebut sebagai loyalitas pelanggan. Hal ini didasari pada kenyataann bahwa
realitas tersebut terbangun dalam benak pelanggan, yang didasarkan pada keyakinan bahwa
keputusan konsumsi tersebut dirasa benar.

Manusia merupakan makhluk sosial yang sangat peka terhadap rangsangan atau
perilaku yang dihasilkan oleh manusia lain di sekitarnya. Rangsangan tersebut disampaikan
melalui komunikasi antar personal, yang melibatkan pembicara serta pendengar. Setiap
manusia mampu memberikan justifikasi tertentu pada sesamanya, hal ini dikarenakan setiap
individu memiliki kemampuan yang sama untuk merasakan. Dalam hal ini, yang menjadi
pembeda pada setiap individu adalah subjek lawan bicara atau kepada siapa mereka berbicara.
Poin penting yang dapat diadopsi dari logika tersebut adalah setiap ada individu yang berbicara,
pasti terdapat individu yang mendengarkan. Logika ini diturunkan dalam berbagai sisi dalam
kehidupan nyata seperti pengiklan yang menggunakan TV sebagai media komunikasinya
kepada masyarakat secara masif. Hal ini dikemas dalam konsepsi “Lingkaran Emas”, yang
kemudian mengharuskan penjual menjawab pertanyaan; Apa ; Mengapa ; Bagaimana, ketika
mengkomunikasikan produk atau layanannya kepada calon pembeli. Hal ini harus berlangsung
dengan konsisten serta sesuai dengan keyakinan calon pembeli. Karena, bagaimanapun calon
pembeli akan memandang produk sebagai representasi dari keyakinan mereka.

Berbisnis Layaknya Berpacaran

Sebagaimana pengalaman-pengalaman jatuh cinta suatu individu, hal demikian tidak hanya
terjadi dalam hubungan berpacaran saja, tidak lain pengalaman tersebut juga hadir dalam relasi
berbisnis antar penjual dan calon pembeli. Bila dianalogikan dalam hubungan berpacaran,
mengawali hal tersebut, terdapat salah satu pihak yang telah menetapkan target pasangannya
dengan standar tertentu. Untuk mendapatkan hati serta mencapai kesepakatan untuk menjalin
hubungan dengan calon pasangan tersebut, maka individu tersebut membutuhkan strategi serta
persuasi yang cukup untuk menceritakan segala hal yang menarik bagi calon pasangannya. Hal
ini akan semakin menarik ketika calon pasangan berhasil merasakan ada suatu bagian dari
dirinya yang melekat di individu tersebut. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya
yaitu, penjual mampu menggunakan beberapa manipulasi untuk mengemas cerita mereka.
Lebih jauh, penjual mampu menceritakan segala sesuatu yang menarik sehingga berpotensi
untuk mengakhiri kesepakatan dengan transaksi. Trik manipulasi yang natural, akan sangat
membantu penjual meningkatkan kemungkinannya dalam memenangkan kesepakatan akhir
dengan pembeli.

Selangkah lebih jauh, hal yang menjadi catatan penting dalam membangun hubungan dengan
pelanggan yaitu membangun kepercayaan pelanggan yang kuat di awal pembuatan
kesepakatan. Adapun membangun kepercayaan yang kuat harus dilakukan secara terstruktur,
yaitu mengawali hubungan dengan meyakinkan pembeli dengan alasan-alasan “Mengapa”
penjual melakukan atau menjual produk tersebut. Alasan “Mengapa” sebaiknya diutarakan
terlebih dahulu, karena pembeli sejatinya akan membeli alasan dari hadirnya produk tersebut,
dan bukan “Apa” saja yang telah dicapai oleh produk tersebut atau sekedar manfaat saja. Pada
akhirnya, agar persuasi tampak lebih menarik penjual sebaiknya melakukannya dengan alur
demikian, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan alasan “Mengapa” produk dari perusahaan
tersebut penting dan membuat orang di dalamnya merasa “berharga”. Setelah itu, alasan harus
didukung dengan pembuktian berupa “Apa” pun aset yang dimiliki perusahaan selama ini
(yang mungkin dapat bermanfaat bagi calon pembeli), serta pencapaian-pencapaian yang telah
diraih. Hal ini digunakan untuk memperkuat persuasi penjual pada calon konsumen potensial.

Tiga Tingkatan Kepastian

Pada dasarnya seluruh keputusan yang dinyatakan atau dipikirkan oleh manusia dikendalikan
oleh otak. Puncak dari kepercayaan manusia adalah ketika individu berhasil meyakinkan
dirinya bahwa sesuatu nampak “benar” (sekalipun melampaui fakta dan angka yang dianggap
sebagai petunjuk fisik yang tervalidasi). Hal ini dipandang sebagai salah satu strategi yang baik
dalam berbisnis, yaitu dengan membuat target mampu mempercayakan pilihannya pada suatu
produk, karena dinilai pilihannya tersebut “benar”. Strategi ini dapat dicapai dengan
mengoptimalkan topik “Mengapa” produk tersebut disediakan bagi masyarakat, hingga
akhirnya mampu sejalan dengan pernyataan “Mengapa” produk tersebut dibutuhkan oleh
masyarakat. Apabila pembeli mampu mengidentifikasi “Mengapa” Ia membutuhkan produk
tersebut, maka tingkat kepercayaan mampu menembus yang paling tinggi, yaitu pembeli tidak
lagi hanya memikirkan kebenarannya saja, namun benar-benar mengerti bahwa pilihannya
benar. Setelah topik tersebut dinilai cukup, maka topik “Apa” digunakan untuk
menyeimbangkan konsistenitas produk. Apabila alasan-alasan serta data-data yang dipaparkan
menuai keseragaman, maka ini akan sangat membantu pebeli mendapatkan kepastian yang
jelas mengenai suatu produk. Sebaliknya, apabila alasan dan data tidak berkesinambungan,
berarti harus dilakukan peninjauan ulang atas inkonsistensi yang terjadi. Pada akhirnya,
membangun kepercayaan antara penjual dan pembeli akan lebih mudah dilakukan ketika
keduanya memiliki keyakinan atau pemahaman yang sama terkait “Mengapa” produk atau
layanan tersebut tersedia.
DAFTAR PUSTAKA

Sinek, Simon. (2009). Start With Why. Penguin Group: USA.

Anda mungkin juga menyukai