Anda di halaman 1dari 9

Tiga Kriteria Keputusan Etis

Ukuran etis pertama adalah utilitarianisme, yang mengusulkan


pengambilan keputusan hanya berdasarkan outcome/ keluaran, idealnya untuk
memberikan yang paling baik dalam jumlah yang paling besar. Pandangan ini
mendominasi pengambilan keputusan bisnis. Ia konsisten dengan sasaran seperti
efisiensi, produktivitas, dan laba tinggi.
Kriteria etis lainnya adalah untuk membuat keputusan konsisten dengan
kebebasan dan hak-hak fundamental , seperti yang tercantum dalam Piagam Hak
Asasi. Sebuah penekanan pada hak dalam pengambilan keputusan berati
menghormati dan melindungi hak-hak asasi individu, seperti hak atas privasi,
kebebasan berbicara, dan proses yang pantas. Kriteria ini melindungi whistle-
blower ketika mereka mengungkapkan praktik tidak etis organisasi pada pers atau
agen pemerintah, menggunakan hak kebebasan berbicara.
Kriteria ketiga adalah untuk menanamkan dan mendorong aturan-aturan
dengan adil dan netral untuk memastikan keadilan atau distribusi yang merata atas
manfaat dan biaya. Anggota serikat umumnya memihak pandangan ini. Adil
membayar orang dengan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama tanpa
memandang perbedaan kinerja dan menggunakan senioritas sebagai penentu
utama dalam keputusan PHK.
Setiap kriteria memiliki keuntungan dan kewajiban. Sebuah fokus pada
utilitarianisme mendorong efisiensi dan produktivitas, tetapi itu dapat
menyerempet hak-hak beberapa individu, khususnya mereka dengan representasi
minoritas. Penggunaan hak-hak melindungi individu dari cedera dan konsisten
dengan kebebasan dan privasi, tetapi dapat menciptakan lingkungan legalistik
yang mengurangi produktivitas dan efisiensi. Sebuah fokus pada keadilan
melindungi kepentingan yang kurang diwakilkan dan kurang berkuasa, tetapi
dapat mendorong rasa kepemilikan yang mengurangi pengambilan risiko, inovasi,
dan produktivitas.
Pengambil keputusan, khususnya dalam organisasi berorientasi laba,
merasa nyaman dengan utilitarianisme. Kepentingan terbaik atas organisasi dan
pemegang sahamnya dapat menjustifikasi banyak tindakan yang dipertanyakan,
seperti PHK besar-besaran. Tetapi banyak kritik yang menyatakan bahwa
perspektif ini perlu diubah. Kepedulian publik mengenai hak-hak individu dan
keadilan sosial mengusulkan manajer seharusnya mengembangkan standar-
standar etis berdasarkan kriteria nonutilitarian. Ini menampilkan sebuah tantangan
karena memuaskan hak-hak individu dan keadilan sosial menciptakan ambiguitas
yang lebih jauh lagi daripada efek utilitarian pada efisiensi dan laba. Meskipun
demikian, saat menaikkan harga, menjual produk dengan efek-efek yang
dipertanyakan atas kesehatan pelanggan, menutup pabrik yang tidak efisien, mem-
PHK sejumlah besar pekerja, dan memindahkan produksi ke luar negeri untuk
menghemat biaya dapat dijustifikasi dari sisi utilitarian yang mungkin tidak lagi
merupakan ukuran tunggal oleh keputusan baik yang dinilai.
Semakin meningkat, para peneliti beralih ke etika perilaku--sebuah area
studi yang menganalisis bagaimana orang berperilaku ketika dikonfrontasikan
dengan dilema etis. Riset mereka memberitahukan pada kita bahwa ketika standar
etika ada secara kolektif (masyarakat dan organisasi) dan secara individual (etika
pribadi), individu tidak selalu mengikuti standar etika yang ditanamkan dalam
organisasinya, dan kita kadang-kadang melanggar standar kita sendiri. Perilaku
etis kita sangat beragam dari satu situasi ke situasi berikutnya.
Bagaimana kita dapat meningkatkan pengambilan keputusan etis dalam
organisasi? Pertama, sosiolog James Q. Wilson mengenalkan teori jendela yang
rusak (broken windows theory)-ide bahwa lingkungan urban yang memburuk dan
tidak teratur bisa memfasilitasi perilaku kriminal karena mereka memberikan
sinyal norma-norma antisosial. Meskipun kontroversial, teori itu memang cocok
dengan riset etika perilaku yang menunjukkan bahwa aspek yang tampaknya
superfisial dari lingkungan--seperti pencahayaan, tampilan langsung kekayaan dan
status, serta kebersihan-dapat memengaruhi perilaku etis dalam organisasi.
Manajer harus pertama kali menyadari bahwa perilaku etis dapat dipengaruhi oleh
sinyal-sinyal, contohnya, jika sinyal dari status dan uang ada di mana-mana,
seorang pekerja mungkin menghargai hal-hal itu sebagai yang paling penting,
daripada standar etika. Kedua, manajer seharusnya mendorong percakapan
mengenai isu-isu moral; yang mungkin dapat menjadi pengingat dan
meningkatkan pengambilan keputusan etis. Satu studi mendapati bahwa dengan
hanya meminta mahasiswa sekolah bisnis untuk memikirkan sebuah situasi etis,
memiliki efek kuat ketika mereka membuat pilihan etis kemudian hari. Terakhir,
kita seharusnya sadar akan "titik buta" moral kita sendiri - kecenderungan untuk
melihat diri kita lebih bermoral daripada yang sebenarnya dan melihat orang lain
kurang bermoral daripada yang sebenarnya. Meskipun orang-orang cerdas dapat
sama rentan memiliki titik buta dibanding orang lain, sebuah lingkungan yang
mendorong diskusi terbuka dan tidak menghukum orang untuk maju adalah kunci
untuk mengatasi titik buta dan meningkatkan etikalitas dari pengambilan
keputusan.
Riset etika perilaku menekankan pentingnya budaya pada pengambilan
keputusan etis. Ada beberapa standar global untuk pengambilan keputusan etis,
yang kontras antara yang Asia dan Barat ilustrasikan. Apa yang etis dalam satu
budaya bisa saja tidak etis dalam budaya lain. Contohnya, karena penyuapan lebih
umum di negara-negara seperti Cina, seorang Kanada yang bekerja di Cina
mungkin menghadapi sebuah dilema: Haruskah saya menyuap untuk
mengamankan bisnis jika itu merupakan bagian yang diterima dari budaya negara
itu? Meskipun beberapa perusahaan seperti IBM secara eksplisit menyelesaikan
isu ini, banyak yang tidak. Tanpa sensitivitas pada perbedaan-perbedaan budaya
dalam mendefinisikan aturan-aturan etika, organisasi bisa saja mendorong
perilaku tidak etis bahkan tanpa mengetahuinya.

Kreativitas ,Pengambilan Keputusan Kreatif, dan Inovasi dalam Organisasi


Meeskipun model pengambilan keputusan rasional akan sering memperbaiki
keputusan, seorang pengambil keputusan juga membutuhkan kreativitas,
kemampuan untuk menghasilkan ide-ide yang inovatif dan berguna. Ide-ide ini
berbeda dari apa yang telah dilakukan sebelumnya tetapi pantas untuk
masalahnya.
Kreativitas membuat pengambil keputusan untuk secara penuh menilai dan
memahami masalah, termasuk melihat masalah yang tidak dapat dilihat orang
lain. Untuk alasan ini, perusahaan kosmetik Prancis L'Oreal menempatkan para
manajernya dalam latihan-latihan kreatif seperti memasak atau membuat musik,
dan Universitas Chicago mensyaratkan mahasiswa MBA untuk membuat film
pendek mengenai pengalaman mereka.
Meskipun semua aspek dari perilaku organisasi memiliki kompleksitas,
hal itu sangat benar adanya untuk kreativitas. Untuk simplifikasi, Tampilan 6-4
memberikan sebuah model tiga tahap dari kreativitas dalam organisasi. Inti dari
model itu adalah perilaku kreatif, yang memiliki sebab (prediktor dari perilaku
kreatif dan efek (hasil dari perilaku kreatif). Dalam bagian ini, kita membahas tiga
tahap kreativitas, dimulai dengan pusatnya, perilaku kreatif.

Perilaku Kreatif
Perilaku kreatif terjadi dalam empat langkah, yang masing-masing
mengarah pada yang berikutnya:
1. Formulasi masalah. Setiap tindakan kreativitas dimulai dengan
masalah yang memunculkan perilaku dirancang untuk
memecahkannya. Oleh karena itu, formulasi masalah didefinisikan
sebagai tahapan perilaku kreatif di mana kita mengidentifikasi sebuah
masalah atau peluang yang membutuhkan sebuah solusi yang belum
diketahui. Misalnya, artis/wirausaha Marshall Carbee dan pebisnis
John Bennett mendirikan Eco Safety Products sesudah menemukan
bahwa bahkan cat yang dinyatakan aman oleh Agen Perlindungan
Lingkungan (EPA) mengeluarkanzat kimia berbahaya. Oleh karena itu,
pengembangan Bennett atas cat seni-aman berbahan dasar kedelai
dimulai dengan mengidentifikasi sebuah masalah keamanan dengan cat
yang saat ini dipasarkan.
2. Pengumpulan informasi. Dengan adanya masalah, solusinya jarang
sekali ada di tangan. Kita membutuhkan waktu untuk belajar lebih dan
memproses pembelajaran itu. Oleh karena itu, pengumpulan informasi
adalah tahapan perilaku kreatif ketika solusi-solusi yang mungkin atas
masalah diinkubasikan dalam pikiran individu. Niklas Laninge dari
Hoa's Tool Shop, sebuah perusahaan berbasis di Stockholm yang
membantu organisasi menjadi lebih inovatif, berpendapat bahwa
pengumpulan informasi kreatif berarti berpikir di luar rutinitas biasa
dan zona nyaman. Misalnya, makan siang dengan seseorang di luar
bidang Anda untuk membahas masalah. Laninge mengatakan, "Itu
sangat mudah, dan Anda dipaksa untuk berbicara mengenai bisnis
Anda dan hal-hal yang Anda ingin capai dari sisi yang baru. Anda
tidak dapat menggunakan istilah-istilah khusus karena orang-orang
tidak mengerti maksud Anda.

Tampilan 6-4 model tiga tahap kreatifitas dalam organisasi

3. Pemunculan ide. Jika kita telah mengumpulkan informasi yang


relevan, saatnya untuk mentranslasikan pengetahuan menjadi ide-ide.
Oleh karena itu, pemunculan ide adalah proses perilaku kreatif di mana
kita mengembangkan solusi-solusi yang mungkin atas sebuah masalah
dari informasi dan pengetahuan yang relevan. Semakin meningkat,
pemunculan ide bersifat kolaboratif. Misalnya, ketika insinyur NASA
mengembangkan ide untuk mendaratkan pesawat luar angkasa di
Mars, mereka melakukannya dengan kolaboratif. Sebelum muncul
dengan rasa ingin tahu—sebuah pesawat bajak berukuran SUV yang
mendarat di Mars--tim itu menghabiskan tiga hari menggali ide-ide
potensial di papan tulis.
4. Evaluasi ide. Terakhir, saatnya memilih ide-ide yang dimunculkan.
Oleh karena itu, evaluasi ide adalah proses perilaku kreatif di mana
kita mengevalusi solusi-solusi potensial untuk mengidentifikasi yang
terbaik. Kadang-kadang metode memilih bisa jadi inovatif. Ketika
pemilik Dallas Mavericks Mark Cuban tidak senang dengan seragam
tim, ia meminta fans untuk membantu merancang dan memilih
seragam terbaik. Umumnya, untuk mengeliminasi bias nyata Anda
ingin agar orang-orang yang melakukan evaluasi ide adalah orang yang
berbeda dengan orang memunculkan ide.
Penyebab Perilaku Kreatif
Sesudah mendefinisikan perilaku kreatif, tahapan utama dalam model tiga
tahap, kita sekarang melihat kembali pada penyebab kreativitas: potensi kreatif
dan lingkungan kreatif.
Potensi Kreatif Apakah ada hal yang disebut kepribadian kreatif? Tentu
saja. Ketika jenius kreatif-baik dalam ilmu pengetahuan (Albert Einstein), seni
(Pablo Picasso), maupun bisnis (Steve Jobs)-langka, kebanyakan orang memiliki
beberapa karakteristik yang merupakan bagian dari orang-orang yang luar biasa
kreatif. Semakin banyak karakteristik ini kita miliki, semakin tinggi potensi
kreatif kita.
Kecerdasan berhubungan dengan kreativitas. Orang-orang cerdas lebih
kreatif karena mereka lebih baik dalam memecahkan masalah yang kompleks.
Meskipun demikian, individu-individu cerdas bisa juga lebih kreatif karena
mereka memiliki memori kerja yang lebih besar, yaitu mereka dapat mengingat
lebih banyak informasi yang berhubungan dengan tugas di tangan.
Sifat kepribadian Lima Besar keterbukaan pada pengalaman (lihat Bab 5)
berkorelasi dengan kreativitas, mungkin karena individu-individu yang terbuka
kurang seragam dalam tindakan dan lebih menyebar dalam pemikiran. Sifat
lainnya dari orang-orang kreatif termasuk kepribadian proaktif, kepercayaan diri,
mengambil risiko, toleransi pada ambiguitas, dan daya tahan.
Keahlian adalah fondasi dari semua pekerjaan kreatif dan oleh karena itu
merupakan alat prediksi tunggal paling penting dari potensi kreatif, Penulis,
produser, dan direktur film Quentin Tarantino menghabiskan masa mudanya
bekerja di sebuah toko penyewaan video, di mana ia membangun sebuah
ensiklopedia pengetahuan film. Potensi bagi kreativitas ditingkatkan ketika
individu memiliki kemampuan, pengetahuan, kecakapan, dan keahlian yang sama
dengan bidang yang dijalaninya. Anda tidak akan mengharapkan seseorang
dengan pengetahuan minimal tentang pemograman untuk sangat kreatif sebagai
insinyur perangkat lunak.
Lingkungan Kreatif. Kebanyakan dari kita memiliki potensi kreatif yang dapat
kita pelajari untuk diterapkan, tetapi sepenting apa pun potensi kreatif, tidaklah
cukup jika hanya sendirian saja. Kita perlu berada dalam lingkungan di mana
potensi kreatif dapat direalisasikan. Apa faktor-faktor lingkungan yang
memengaruhi potensi kreatif agar ditranslasikan dalam perilaku kreatif?
Pertama dan yang paling penting adalah motivasi. Jika Anda tidak
termotivasi untuk menjadi kreatif, tidak mungkin Anda akan menjadi kreatif.
Sebuah tinjauan atas 26 studi mengungkapkan bahwa motivasi intrinsik, atau
keinginan untuk mengerjakan sesuatu karena lebih menarik, menyenangkan,
memuaskan, dan menantang (dibahas lebih detail di bab selanjutnya), berkorelasi
cukup kuat dengan hasil kreatif. Hubungan ini benar tanpa memandang apakah
kita sedang berbicara mengenai kreativitas pelajar atau kreativitas pekerja. Juga
bernilai untuk bekerja di sebuah lingkungan yang menghargai dan mengakui
pekerjaan kreatif. Organisasi harus mendorong arus bebas ide, termasuk
memberikan penilaian yang adil dan konstruktif. Kebebasan dari aturan-aturan
berlebihan mendorong kreativitas pekerja seharusnya memiliki kebebasan untuk
memutuskan pekerjaan apa yang akan dilakukan dan cara mengerjakannya. Satu
studi atas 385 pekerja yang bekerja di beberapa perusahaan obat di Cina
mengungkapkan bahwa baik pemberdayaan struktural (di mana struktur unit kerja
memungkinkan kebebasan pekerja yang cukup) dan pemberdayaan psikologis
(yang membiarkan individu merasa diberdayakan secara pribadi) berhubungan
dengan kreativitas pekerja.
Apakah peran dari budaya? Sebuah studi level nasional terbaru
menyatakan bahwa negara-negara dengan skor tinggi pada dimensi budaya
individualistis Hofstede (dibahas pada Bab 5) lebih kreatif. Negara-negara Barat
seperti Amerika Serikat, Italia, dan Belgia memiliki skor tinggi pada
individualitas, dan Amerika Selatan, serta negara-negara timur seperti Cina,
Kolombia, dan Pakistan memiliki skor rendah; apakah ini berarti budaya Barat
lebih kreatif? Beberapa bukti menyatakan hal ini benar. Satu studi
membandingkan proyek-proyek kreatif dari mahasiswa Jerman dan Cina,
beberapa dari mereka sedang belajar di negara asalnya, dan beberapa dari mereka
sedang belajar di luar negeri. Sebuah panel independen dari juri-juri Jerman dan
Cina menentukan bahwa mahasiswa-mahasiswa Jerman lebih kreatif dan bahwa
mahasiswa-mahasiswa Asia Jerman lebih kreatif daripada mahasiswa-mahasiswa
lokal Cina. Ini menyatakan bahwa budaya Jerman lebih kreatif. Meskipun
demikian, bahkan sekalipun beberapa budaya lebih kreatif secara rata-rata, selalu
ada variasi kuat dalam budaya. Dengan kata lain, ada jutaan orang Cina yang lebih
kreatif daripada rekanannya di AS.
Kepemimpinan yang baik juga berpengaruh pada kreativitas. Sebuah studi
terbaru pada lebih dari 100 tim yang bekerja di sebuah bank besar
mengungkapkan bahwa ketika pemimpin berperilaku menghukum dan tidak
mendukung, tim itu kurang kreatif. Di sisi lain, ketika pemimpin mendorong,
menjalankan unitnya secara transparan, dan memacu pengembangan pekerjanya,
individu yang diawasinya akan lebih kreatif.
Seperti yang akan kita pelajari di Bab 10, lebih banyak pekerjaan dewasa
ini dilakukan dalam tim, dan banyak orang percaya keragaman akan meningkatan
kreativitas tim. Riset masa lalu, sayangnya, menyatakan bahwa tim yang beragam
tidak lebih kreatif. Meskipun demikian, yang lebih baru, satu studi atas tim
Belanda mengungkapkan bahwa ketika anggota-anggota tim secara eksplisit
diminta untuk memahami dan mempertimbangkan sudut pandang anggota-
anggota tim lainnya (sebuah latihan yang disebut pengambilan perspektif), tim-
tim yang beragam lebih kreatif daripada mereka dengan keragaman lebih sedikit.
Sebuah studi atas 68 tim Cina melaporkan bahwa keragaman berhubungan positif.
Dengan kreativitas tim hanya ketika pemimpin tim itu inspirasional dan tampil
percaya diri pada anggota tim. Studi lainnya di perusahaan obat multinasional
mendapati bahwa tim-tim dari fungsi-fungsi bisnis beragam lebih kreatif ketika
mereka berbagi pengetahuan mengenai area keahlian satu sama lain. Secara
kolektif, studi-studi ini menunjukkan bahwa tim yang beragam bisa menjadi lebih
kreatif, tetapi hanya pada kondisi-kondisi tertentu.

Keluaran dari Kreatif (Inovasi)


Tahapan akhir dari model kreativitas kita adalah hasil. Perilaku kreatif
tidak selalu menghasilkan hasil kreatif atau inovatif. Seorang pekerja mungkin
menghasilkan sebuah ide kreatif dan tidak pernah membagikannya. Manajemen
mungkin menolak sebuah solusi yang kreatif. Tim mungkin membatasi perilaku
kreatif dengan mengisolasikan mereka yang mengusulkan ide-ide berbeda. Satu
studi menunjukkan bahwa kebanyakan orang memiliki bias terhadap menerima
ide-ide kreatif karena ide-ide menciptakan ketidakpastian. Ketika orang-orang
merasa tidak pasti, kemampuannya untuk melihat suatu ide sebagai sesuatu yang
kreatif diblok.
Kita dapat mendefinisikan keluaran dari kreatif (creative outcome) sebagai
ide-ide atau solusi-solusi yang dinilai baru dan berguna oleh pemangku
kepentingan yang relevan. Pembaruan itu sendiri tidak menghasilkan sebuah hasil
kreatif jika tidak berguna. Oleh karena itu, solusi yang aneh hanya kreatif ketika
ia membantu memecahkan masalah. Kegunaan dari solusi mungkin dibuktikan
sendiri (iPad) atau mungkin dianggap sukses oleh pemangku kepentingan sebelum
kesuksesan nyata diketahui.
Sebuah organisasi bisa menuai banyak ide kreatif dari para pekerjanya dan
menyebut dirinya inovatif. Meskipun demikian, seperti yang baru-baru ini
dinyatakan seorang ahli, "ide-ide tidak berguna jika tidak digunakan.” Soft skill
membantu mentranslasikan ide menjadi hasil. Seorang peneliti mendapati bahwa
di antara para pekerja sebuah perusahaan agrobisnis besar, ide-ide kreatif paling
mungkin diimplementasikan ketika individu dimotivasi untuk mentranslasikan ide
ke praktik-dan ketika ia memiliki kemampuan jaringan yang kuat. Faktor penting
lainnya adalah iklim organisasi: sebuah studi atas tim perawatan kesehatan
mendapati bahwa kreativitas tim itu ditranslasikan menjadi inovasi hanya ketika
iklim secara aktif mendukung inovasi." Studi-studi ini menerangi satu fakta
penting: Ide-ide kreatif tidak mengimplementasikan diri mereka sendiri,
mentranslasikannya menjadi hasil-hasil kreatif adalah sebuah proses sosial yang
membutuhkan utilisasi konsep-konsep lain yang dibahas dalam buku ini, termasuk
kekuasaan dan politik, kepemimpinan, dan inovasi.

Anda mungkin juga menyukai