Anda di halaman 1dari 10

GLOBALISASI LINGKUNGAN

Memenuhi Tugas Mata Kuliah Globalisasi

Dosen Pengampu:
Desy Nur Aini, M.A.

Disusun Oleh:

1. Putu Diah Cessa P. (151170078)


2. Norari Roja (151170080)
3. Gabriella Ilona Almadhea (151170082)

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Lingkungan dan globalisasi merupakan dua hal yang sangat terkait, karena
lingkungan sudah meng-global dalam banyak hal. Atmosfer dapat dirasakan oleh setiap
orang di seluruh dunia mulai dari menikmati kehangatan matahari, adanya lautan di
dunia yang saling terhubung dan secara efektif menjadikan satu lingkungan laut global.
Lingkungan selalu bersifat global tidak seperti ilmu pengetahuan, teknologi, maupun
pasar. Namun, isu globalisasi lingkungan merupakan sebuah fenomena baru yang
muncul di abad ke 20 tidak seperti globalisasi di bidang lain yakni globalisasi ekonomi,
budaya, dan politik. Steve Yearly (Ritzer 2008:239) membagi globalisasi lingkungan
dalam tiga perspektif. Perspektif pertama, berkaitan dengan lingkungan global itu
sendiri dan khususnya para aktor-aktor yang berpengaruh saat ini mengenai cara
berpikir isu-isu di tingkat lingkungan global. Perspektif kedua terkait dengan lembaga-
lembaga yang mempengaruhi lingkungan pada tingkat global, khususnya interaksi
antara pertanyaan dengan badan lingkungan (terutama World Trade Organization)
yang bertujuan untuk mengatur perdagangan global dan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi. Perspektif terakhir, Yearly memeriksa argumen sosiologis
mengenai sifat yang tepat dalam menghadapai globalisasi dan implikasinya bagi
reformasi lingkungan dan prospek-prospek globalisasi perlindungan di bidang
lingkungan.
Menurut William C. Clark (Nye dan Donahue, 2000: 87). Dalam kerangka
kerja konseptual yang luas yang berfokus pada jaringan hubungan antarbenua di antara
para aktor sosial, terdapat tiga jenis keterkaitan yang penting untuk memahami
bagaimana lingkungan hidup dalam hubungan di antara para pelaku pada skala
multikontinental. Pertama, "hal-hal lingkungan", yaitu membahas cara-cara mengenai
aliran energi, materi, dan organisme melalui lingkungan dihubungkan dengan tindakan
orang-orang di satu tempat dengan ancaman dan peluang yang dihadapi oleh orang-
orang di tempat lain. Kedua, "ide lingkungan," membahas cara orang memohon
lingkungan dalam menyusun hubungan mereka dengan orang lain yang berjarak jauh.
Ketiga, "tata kelola lingkungan," membahas perubahan konfigurasi aktor, norma, dan
harapan yang muncul ketika masyarakat bergulat dengan globalisasi hal dan gagasan
lingkungan.

Globalisasi merupakan hal yang tidak dapat dihindari dan mengenai


hubungannya dengan lingkungan cenderung berfokus pada dampak lingkungan dari
globalisasi ekonomi. Menurut Alan Grainger (seperti dikutip Oosthoek dan Gills,
2013:54), globalisasi adalah proses multi-dimensi dengan interaksi antara berbagai
dimensi, salah satunya adalah lingkungan. Globalisasi dalam setiap dimensi dapat
didefinisikan secara sama sebagai: sebuah perubahan dari waktu ke waktu dari
organisasi spasial yang kompleks, kontradiktif, dan dengan demikian hubungan sosial
yang ambigu, institusi dan transaksi--dinilai dalam hal ekstensitas, intensitas,
kecepatan, dan penghasil dampaknya--lintas lintas benua atau antar wilayah dan
jaringan kegiatan, interaksi, dan pelaksanaan kekuasaan. (Held dkk., 1999; Kellner,
2002)

Globalisasi lingkungan menjadi jelas dalam peningkatan keseragaman spasial


dan keterhubungan dalam praktik pengelolaan lingkungan. Model serupa dalam praktik
administrasi, produksi atau konsumsi ditemukan di dimensi lain. Ciri-ciri globalisasi
yang kontradiktif dan ambigu terbukti dalam interaksi antara berbagai dimensinya.
Dengan demikian, kekhawatiran tentang dampak lingkungan dari globalisasi ekonomi,
yang tampaknya didorong oleh perusahaan transnasional dan kepentingan lain dari
modal internasional, menghasilkan respons globalisasi oleh organisasi non-pemerintah
(LSM), pemerintah dan organisasi antar pemerintah yang bertujuan melindungi atau
mengaturnya.

Peningkatan globalisasi dan bagaimana dampak dari globalisasi ini terhadap


lingkungan telah lama menjadi perhatian global. Meskipun di antara para peneliti
terjadi pertentangan yakni pro dan kontra terhadap dampak globalisasi yang
menbahayakan lingkungan, tetapi sebagian besar dari mereka cenderung percaya
bahwa dengan meningkatnya globalisasi telah memberikan pengaruh yang
membahayakan lingkungan. Globalisasi, yang mana ditandai oleh pergerakan ide,
manusia, barang, dan teknologi, mulai menjadi perbincangan global sejak dekade
1960-an (Scholte 2000:8) dan tetap menarik hingga saat ini. Globalisasi sendiri telah
lama memberikan pengaruh yang besar terhadap gaya hidup manusia hingga saat ini.
Globalisasi menyebabkan adanya percepatan akses terhadap teknologi, komunikasi,
dan juga inovasi. Globalisasi, selain memainkan peran yang begitu penting dalam
menyatukan orang-orang di dunia dengan masing-masing budayanya yang berbeda,
juga telah mengantarkan era baru dalam kemakmuran ekonomi. Globalisasi telah
membuka saluran pembangunan yang luas. Namun, globalisasi juga telah menciptakan
beberapa bidang yang menjadi pusat perhatian yakni dampak globalisasi itu sendiri
terhadap lingkungan. Dalam debat tentang lingkungan, globalisasi telah muncul secara
luas, dan para aktivis lingkungan telah mempelajari lebih lanjut dampaknya yang
berjangkauan luas dan menjadikannya sebagai pokok bahasan yang mana tergolong
krusial bagi kelangsungan hidup manusia.
Globalisasi telah menyebabkan terjadinya peningkatan terhadap konsumsi
produk-produk seiring dengan kemajuan teknologi, yang mana prilaku konsumtif
terhadap penggunaan produk-produk berteknologi tinggi telah berdampak terhadap
siklus ekologis. Di samping itu, globalisasi juga menyebabkan peningkatan transportasi
bahan baku dan makanan dari satu tempat ke tempat lain. Sebelumnya, orang biasa
mengkonsumsi makanan yang ditanam secara lokal, tetapi seiring dengan globalisasi,
orang-orang mengkonsumsi produk-produk yang telah dikembangkan di luar negeri.
Jumlah bahan bakar yang dikonsumsi dalam mengangkut produk-produk telah
menyebabkan peningkatan tingkat polusi atau pencemaran lingkungan. Transportasi
juga memberikan tekanan pada sumber energi yang tidak terbarukan, seperti bensin.
Gas-gas yang dipancarkan dari pesawat telah menyebabkan terjadinya penipisan
lapisan ozon selain meningkatkan efek rumah kaca. Limbah-limbah industri yang
dihasilkan sebagai hasil proses produksi telah dimuat di kapal dan dibuang
sembarangan ke lautan yang mana tentunya tindakan ini dapat membunuh banyak
organisme bawah laut dan secara tidak langsung menyimpan banyak bahan kimia
berbahaya di laut yang juga mengancam kelangsungan ekosistem laut.
BAB II
PEMBAHASAN

Saat ini seluruh dunia sedang mengalami pemanasan global, di mana terjadi
kenaikan pada suhu bumi. Untuk mencegah hal tersebut, diperlukan kesadaran bagi
individu, kelompok, bahkan suatu negara agar pemanasan global tidak semakin
bertambah parah. Namun, masih banyak pihak yang kurang peduli terhadap fenomena
yang berbahaya ini. Salah satu contoh dari efek pemanasan global adalah mencairnya
lapisen es di bumi terutama di wilayah Kutub Antartika, Kutub Selatan. Menurut
Proceedings of The National Academy of Sciences dari 1979 – 2017 permukaan laut di
seluruh dunia sudah meningkat lebih dari 1,4 cm. Diperkirakan setiap tahunnya,
permukaan laut akan semakin meningkat akibat pencairan es tersebut.

Permukaan laut yang meningkat akibat pemanasan global dapat mengakibatkan


tenggelamnya suatu wilayah yang menjadi tempat tinggal bagi manusia, terutama di
wilayah pantai sehingga akan terjadi imigrasi/migrasi atau perpindahan penduduk
secara besar-besaran. Selama abad ke-20 ini, tinggi di permikaan laut di seluruh dunia
telah meningkat 10-25 cm (4-10 inchi). Lebih jauh lagi para ilmuan IPCC meramalkan
peningkatan lebih lanjut 9-88cm (4-35 inchi) pada abad ke-21. Di tahun 2100 akan
terjadi peningkatan air laut setinggi 15-90 cm. (Rusbiantoro 2008:29)

Pemanasan global yang terjadi secara menyeluruh juga akan menyebabkan


hewan hewan yang tinggal di wilayah dingan memilih untuk bermigrasi ke daerah
kutub unutk mencari suhu yang lebih dingin akibat meningkatnya suhu di daerah
habitatnya. Beberapa fenomena alam seperti curah hujan, angin kencang, cuaca panas,
serta badai salju yang ekstrim merupakan akibat dari menipisnya lapisan es di daerah
kutub. Pada akhirnya, muncul penyakit-penyakit baru yang timbul akibat dari
pemanasan global tersebut.

Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu
faktor yang mendorong mencairnya es di wilayah Kutub. Manusia mulai menciptakan
berbagai fasilitas dan alat untuk mempermudah kehidupannya. Hal ini ditandai dengan
pembangunan pabrik-pabrik, pembangkit listrik, transportasi, serta munculnya alat-alat
teknologi dalam pertanian. Kegiatan tersebut menyebabkan tenaga manusia mulai
digantikan oleh tenaga mesin. Bahan bakar mesin yang digunakan berasal dari alam
seperti batu bara, minyak bumi, gas alam, dan kandungan alam lainnya. Pembakaran
bahan bakar tersebut melepaskan unsur CO dan CO2 menimbulkan penumpukkan
lapisan bumi sehingga suhu bumi meningkat atau dikenal dengan istilah pemanasan
global (global warming). Daerah kutub yang seharusnya bersuhu dingin menjadi
hangat dikarenakan pembakaran bahan bakar fosil yang meningkatkan pemanasan
global. Seperti Para ahli di American Association for the Advancement of Science
menyatakan bahwa dari data-data ilmiah, perubahan iklim terjadi karena kegiatan
manusia (Team SOS, 2011:88). Hangatnya suhu akibat dari pemanasan global ini tidak
hanya berpengaruh pada mencairnya es di daerah kutub, namun juga menyebabkan hal
buruk lainnya.

Faktor lain yang mendorong mencairnya es di wilayah Kutub yaitu adanya


eksploitasi alam sebagai akibat dari kerja sama antar negara. Kerja sama tersebut
dilakukan antar dua atau lebih negara dikarenakan ada suatu kepentingan dan rasa
ketergantungan. Kerja sama ini biasanya terjadi antara negara yang maju dan negara
yang masih berkembang. Negara yang maju identic dengan kemampuan mereka di
bidang teknologi, namun sumber daya alam yang mereka punya berjumlah sedikit
sehingga mereka melakukan kerja sama dengan negara berkembang yang identic
dengan sumber daya alam yang melimpah, namun belum memiliki kemampuan di
bidang teknologi. Untuk mendapatkan sumber daya yang diperlukan, negara maju akan
memberikan imbalan seperti bantuan ekonomi terhadap negara yang berkembang, di
sisi lain negara berkembang tersebut memiliki rasa ketergantungan atas bantuan yang
diberikan oleh negara maju tersebut. Namun, sumber daya alam yang dieksploitasi
tersebut menjadi terus menerus berkurang, hutan-hutan ditebang tanpa melakukan
reboisasi, sehingga karbon dioksida tidak dapat diserap oleh pohon-pohon dan kembali
dipantulkan ke atmosfer yang menimbulkan efek rumah kaca dan pada akhirnya
berpengaruh pada mencairnya es di wilayah Kutub. Negara yang menghasilkan
pemanasan global yang tinggi terdapat di Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Kanada,
Jepang, Cina, dan negara-negara lain di wilayah bumi utara. (Rusbiantoro, 2008:6)

Proses dari pemanasan global yang mengakibatkan mencairnya es di wilayah


kutub ini bertahap, dari tahun ke tahun suhu dunia meningkat, peningkatan pada suhu
dunia inilah yang mengakibatkan mencairnya es di wilayah kutub. Saat atmosfer mulai
menghangat, lapisan permukaan laut juga akan ikut menghangat, sehingga volumenya
akan membersar denganmencairnya es di kutub Utara dan Selatan (Rusbiantoro
2008:28). Es di wilayah Kutub yang semakin mencair, dapat memberikan beberapa
dampak-dampak negatif. Dampak yang pertama, es yang terus mencair akan
meningkatkan permukaan air laut di dunia dan menenggelamkan beberapa wlayah
yang menjadi tempat tinggal manusia terutama yang berada di wilayah pantai, pada
akhirnya manusia akan melakukan imigrasi/migrasi atau perpindahan penduduk yang
besar. Kedua, hewan-hewan endemik di wilayah Kutub seperti beruang kutub, ikan
paus beluga, kelinci kutub, dan lain-lainnya akan semakin punah karena kehilangan
sumber habitatnya. Ketiga, es yang semakin mencair dapat mempengaruhi pergantian
iklim dan fenomena alam lain seperti kebakaran hutan, angina topan, hujan badai, dan
sebagainya. Keempat, pergantian iklim sebagai dampak dari mencairnya es di Kutub
juga akan menimbulkan wabah-wabah penyakit. Selain itu ada beberapa pendapat dari
beberapa ahli mengenai dampak yang ditimbulkan dari mencairnya es di wilayah
Kutub.

Menurut J. Zwally dari NASA (Team SOS, 2011:85), es di kutub berfungsi


memantulkan 80% sinar matahari yang sampai ke Bumi. Air laut akan mnjadi semakin
hangat apabila es terus menyusut. Bumi menjadi semakin panas, semakin banyak es
mencair dan semakin tinggi pula pemanasan yang terjadi. Gas metana yang sangat
banyak akan terlepas dari lautan dan cukup membunuh semua spesies di dunia.

Pencairan es di daerah kutub, terutama kutub utara memberikan pengaruh yang


cukup besar pada suku Eskimo, yang hidupnya bergantung pada ekosistem di kutub
utara. Eskimo adalah orang orang yang tinggal di wilayah kutub. Saat es mulai mencair,
mereka harus beradaptasi dengan semua perubahan ini dan dengan terpaksa mereka
akan kehilangan wilayah berburu, bahkan rumah tinggal mereka selama ini
(Rusbiantoro 2008:35)

Menurut Dr. Eystein Jansesn, Direktur Peneliti dari Pusat Bjerknes Urusan
Penelitian Iklim di Norwegia (Team SOS, 2011:86) mengatakan kita akan memasuki
zona berbahaya apabila tingkat pemanasan tertinggi tercapai dan tidak cukup bertindak
dalam menahan emisi gas rumah kaca. Kita akan mengalami pemanasan yang lebih
cepat apabila es di Kutub Utara terus mencair dan gas metana yang membeku di dasar
laut dilepaskan ke atmosfer.
Permasalahan lingkungan ini sebenarnya bukan menjadi isu yang baru, banyak
negara-negara di dunia yang telah ikut serta dalam penandatanganan dan meratifikasi
Protokol Kyoto sejak tahun 1997 yang merupakan adopsi dari KTT Bumi di Rio de
Janiero pada tahun 1992. Protokol tersebut merupakan sebuah perjanjian internasional
mengenai pemanasan global di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang
perubahan iklim atau dikenal sebagai UNFCCC (United Nations Framework
Convention on Climate Change) yang berkomitmen untuk mengurangi enam jenis
emisi gas rumah kaca diantaranya metan, karbon dioksida, sulfur hexafluoride, PFC,
nitrous oxide, dan HFC. Protokol Kyoto tersebut diadopsi kembali menjadi Perjanjian
Paris (Paris Agreement) yang ditandatangani pada tahun 2016 oleh 175 negara dan
diratifikasi oleh 15 negara. Tujuan dari Perjanjian Paris ini adalah memperkuat respon
global dari setiap negara terhadap anacaman perubahan iklim dengan menjaga
kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri dan untuk
mengejar upaya kenaikan suhu lebih jauh hingga 1,5 derajat Celcius yang tercantum
dalam web resmi UNFCCC. Namun, tampaknya komitmen tersebut belum sepenuhnya
berjalan, kepentingan ekonomi di sebuah negara tidak menghiraukan dampaknya
terhadap lingkungan seperti maraknya industrialisasi, penambangan, dan kegiatan lain
yang merusak alam demi kepentingan ekonomi. Meskipun saat ini sudah banyak
Organisasi Internasional, Organisasi Internasional Non Pemerintah, Lembaga Swadaya
Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan seperti Greenpeace, UNFCCC, World
Wide Fund of Nature (WWF), dan organisasi lainnya di bidang lingkungan tetapi
apabila tidak didukung dengan kesadaran masyarakat dunia aksi-aksi untuk
mengurangi pemanasan global tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Masyarakat
internasional sendiri belum sepenuhnya menyadari betapa pentingnya permasalahan
lingkungan ini, namun tidak sedikit juga yang berupaya membantu penyelesaian
masalah lingkungan ini, seperti mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan
kendaraan umum, mengurangi penggunaan alat-alat elektronik, menjadi aktivis di LSM
maupun Organisasi Internasional yang bergerak di bidang lingkungan, dan aksi-aksi
lainnya. Contoh aksi yang sederhana yaitu adanya organisasi mengenai lingkungan
yang dibuat oleh masyarakat umum, seperti mahasiswa, yang di dalam organisasi
tersebut mereka melakukan sosialisasi mengenai kerusakan lingkungan dan
dampaknya di social media. Salah satu contoh gerakan dalam bidang lingkungan yaitu
Greta Thunberg seorang remaja berusia 16 tahun asal Swedia yang berusaha mengatasi
pemanasan global dan perubahan iklim dengan aksi mogok sekolah demi iklim di
depan gedung parlemen Swedia.

Selain itu di era modern ini negara-negara yang maju di bidang teknologi
informasi dan komunikasi sudah menciptakan alat alat yang dapat membantu manusia
dalam upaya penghematan energi. Terobosan bagi masyarakat yang seringkali lupa
untuk mematikan daya listrik yang ada di dalam rumah atau kantor tempat mereka
berkerja dengan menggunakan teknologi sensor. Sensor sangat berguna dalam
penghematan energi ini, sebagai contoh yaitu televisi yang dapat mati dengan
sendirinya apabila sudah tidak di tonton, dan lampu yang dapat mati dengan sendirinya
pada saat ruangan sudah tidak di gunakan lagi, dan hal ini tentu saja membantu
mengurangi penggunaan listrik.
BAB III
KESIMPULAN

Globalisasi merupakan hal yang tidak dapat dihindari, dan globalisasi serta
lingkungan merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Hal ini disebabkan
karena lingkungan sudah meng-global dalam banyak hal. Atmosfer dapat dirasakan
oleh setiap orang di seluruh dunia mulai dari menikmati kehangatan matahari, adanya
lautan di dunia yang saling terhubung dan secara efektif menjadikan satu lingkungan
laut global. Namun seiring dengan globalisasi yang berlangsung, kepedulian manusia
berbanding terbalik dengan perkembangan globalisasi. Sifat konsumtif terhadap
produk-produk berteknologi canggih yang kian merajalela yang mempermudah
pemenuhan kebutuhan manusia, dari segi lingkungan secara langsung dan tidak
langsung telah memberikan pengaruh buruk terhadap keseimbangan lingkungan hidup.
Pemanasan global merupakan salah satu diantara sekian banyak kasus sebagai dampak
dari globalisasi terhadap lingkungan. Pemanasan global menyebabkan mencairnya es
di Kutub, bahan bakar mesin yang digunakan berasal dari alam seperti batu bara,
minyak bumi, gas alam, dan kandungan alam lainnya. Pembakaran bahan bakar
tersebut melepaskan unsur CO dan CO2 menimbulkan penumpukkan lapisan bumi
sehingga suhu bumi meningkat atau dikenal dengan istilah pemanasan global (global
warming). Dampaknya memang variatif, salah satunya adalah dapat meningkatkan
permukaan air laut di dunia dan menenggelamkan beberapa wilayah yang menjadi
tempat tinggal manusia terutama di wilayah pantai, kemudian juga berdampak terhadap
meningkatnya migrasi yang dilakukan oleh manusia. Meskipun demikian, banyak actor
negara maupun non negara yang memberikan dukungan melalui demonstrasi anti-
globalisasi, dan peratifikasian protokol-protokol terkait kepedulian terhadap
lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Clark, William C. (1 November 2000). "Environmental Globalization". Dalam Joseph


S. Nye; John D. Donahue (eds.). Governance in a Globalizing World.
Grainger, Alan. 2013. "Environmental Globalization and Tropical Forests". Dalam
Jan Oosthoek; Barry K. Gills (eds.). The Globalization of Environmental Crisis.
National Geographic Indonesia. 2019. Pencairan Es di Antartika Meningkat 6
Kali Lipat, Bagaimana Dampaknya?. Diakses dari:
https://nationalgeographic.grid.id/read/131604714/pencairan-es-di-antartika-
meningkat-6-kali-lipat-bagaimana-dampaknya, pada tanggal 13 September
2019 pukul 20.44
Yearly, Steve.2008. "Globalization and the Environment". Dalam George Ritzer
(ed.). The Blackwell Companion to Globalization.
Rusbiantoro, Dadang. 2008. Global Warming for Beginner: Pengantar Komprehensif
tentang Pemanasan Global. Yogyakarta: O2.
Team SOS. 2011. Pemanasan Global - Solusi dan Peluang Bisnis. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai