Dosen Pengampu:
Desy Nur Aini, M.A.
Disusun Oleh:
Lingkungan dan globalisasi merupakan dua hal yang sangat terkait, karena
lingkungan sudah meng-global dalam banyak hal. Atmosfer dapat dirasakan oleh setiap
orang di seluruh dunia mulai dari menikmati kehangatan matahari, adanya lautan di
dunia yang saling terhubung dan secara efektif menjadikan satu lingkungan laut global.
Lingkungan selalu bersifat global tidak seperti ilmu pengetahuan, teknologi, maupun
pasar. Namun, isu globalisasi lingkungan merupakan sebuah fenomena baru yang
muncul di abad ke 20 tidak seperti globalisasi di bidang lain yakni globalisasi ekonomi,
budaya, dan politik. Steve Yearly (Ritzer 2008:239) membagi globalisasi lingkungan
dalam tiga perspektif. Perspektif pertama, berkaitan dengan lingkungan global itu
sendiri dan khususnya para aktor-aktor yang berpengaruh saat ini mengenai cara
berpikir isu-isu di tingkat lingkungan global. Perspektif kedua terkait dengan lembaga-
lembaga yang mempengaruhi lingkungan pada tingkat global, khususnya interaksi
antara pertanyaan dengan badan lingkungan (terutama World Trade Organization)
yang bertujuan untuk mengatur perdagangan global dan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi. Perspektif terakhir, Yearly memeriksa argumen sosiologis
mengenai sifat yang tepat dalam menghadapai globalisasi dan implikasinya bagi
reformasi lingkungan dan prospek-prospek globalisasi perlindungan di bidang
lingkungan.
Menurut William C. Clark (Nye dan Donahue, 2000: 87). Dalam kerangka
kerja konseptual yang luas yang berfokus pada jaringan hubungan antarbenua di antara
para aktor sosial, terdapat tiga jenis keterkaitan yang penting untuk memahami
bagaimana lingkungan hidup dalam hubungan di antara para pelaku pada skala
multikontinental. Pertama, "hal-hal lingkungan", yaitu membahas cara-cara mengenai
aliran energi, materi, dan organisme melalui lingkungan dihubungkan dengan tindakan
orang-orang di satu tempat dengan ancaman dan peluang yang dihadapi oleh orang-
orang di tempat lain. Kedua, "ide lingkungan," membahas cara orang memohon
lingkungan dalam menyusun hubungan mereka dengan orang lain yang berjarak jauh.
Ketiga, "tata kelola lingkungan," membahas perubahan konfigurasi aktor, norma, dan
harapan yang muncul ketika masyarakat bergulat dengan globalisasi hal dan gagasan
lingkungan.
Saat ini seluruh dunia sedang mengalami pemanasan global, di mana terjadi
kenaikan pada suhu bumi. Untuk mencegah hal tersebut, diperlukan kesadaran bagi
individu, kelompok, bahkan suatu negara agar pemanasan global tidak semakin
bertambah parah. Namun, masih banyak pihak yang kurang peduli terhadap fenomena
yang berbahaya ini. Salah satu contoh dari efek pemanasan global adalah mencairnya
lapisen es di bumi terutama di wilayah Kutub Antartika, Kutub Selatan. Menurut
Proceedings of The National Academy of Sciences dari 1979 – 2017 permukaan laut di
seluruh dunia sudah meningkat lebih dari 1,4 cm. Diperkirakan setiap tahunnya,
permukaan laut akan semakin meningkat akibat pencairan es tersebut.
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah satu
faktor yang mendorong mencairnya es di wilayah Kutub. Manusia mulai menciptakan
berbagai fasilitas dan alat untuk mempermudah kehidupannya. Hal ini ditandai dengan
pembangunan pabrik-pabrik, pembangkit listrik, transportasi, serta munculnya alat-alat
teknologi dalam pertanian. Kegiatan tersebut menyebabkan tenaga manusia mulai
digantikan oleh tenaga mesin. Bahan bakar mesin yang digunakan berasal dari alam
seperti batu bara, minyak bumi, gas alam, dan kandungan alam lainnya. Pembakaran
bahan bakar tersebut melepaskan unsur CO dan CO2 menimbulkan penumpukkan
lapisan bumi sehingga suhu bumi meningkat atau dikenal dengan istilah pemanasan
global (global warming). Daerah kutub yang seharusnya bersuhu dingin menjadi
hangat dikarenakan pembakaran bahan bakar fosil yang meningkatkan pemanasan
global. Seperti Para ahli di American Association for the Advancement of Science
menyatakan bahwa dari data-data ilmiah, perubahan iklim terjadi karena kegiatan
manusia (Team SOS, 2011:88). Hangatnya suhu akibat dari pemanasan global ini tidak
hanya berpengaruh pada mencairnya es di daerah kutub, namun juga menyebabkan hal
buruk lainnya.
Menurut Dr. Eystein Jansesn, Direktur Peneliti dari Pusat Bjerknes Urusan
Penelitian Iklim di Norwegia (Team SOS, 2011:86) mengatakan kita akan memasuki
zona berbahaya apabila tingkat pemanasan tertinggi tercapai dan tidak cukup bertindak
dalam menahan emisi gas rumah kaca. Kita akan mengalami pemanasan yang lebih
cepat apabila es di Kutub Utara terus mencair dan gas metana yang membeku di dasar
laut dilepaskan ke atmosfer.
Permasalahan lingkungan ini sebenarnya bukan menjadi isu yang baru, banyak
negara-negara di dunia yang telah ikut serta dalam penandatanganan dan meratifikasi
Protokol Kyoto sejak tahun 1997 yang merupakan adopsi dari KTT Bumi di Rio de
Janiero pada tahun 1992. Protokol tersebut merupakan sebuah perjanjian internasional
mengenai pemanasan global di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang
perubahan iklim atau dikenal sebagai UNFCCC (United Nations Framework
Convention on Climate Change) yang berkomitmen untuk mengurangi enam jenis
emisi gas rumah kaca diantaranya metan, karbon dioksida, sulfur hexafluoride, PFC,
nitrous oxide, dan HFC. Protokol Kyoto tersebut diadopsi kembali menjadi Perjanjian
Paris (Paris Agreement) yang ditandatangani pada tahun 2016 oleh 175 negara dan
diratifikasi oleh 15 negara. Tujuan dari Perjanjian Paris ini adalah memperkuat respon
global dari setiap negara terhadap anacaman perubahan iklim dengan menjaga
kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri dan untuk
mengejar upaya kenaikan suhu lebih jauh hingga 1,5 derajat Celcius yang tercantum
dalam web resmi UNFCCC. Namun, tampaknya komitmen tersebut belum sepenuhnya
berjalan, kepentingan ekonomi di sebuah negara tidak menghiraukan dampaknya
terhadap lingkungan seperti maraknya industrialisasi, penambangan, dan kegiatan lain
yang merusak alam demi kepentingan ekonomi. Meskipun saat ini sudah banyak
Organisasi Internasional, Organisasi Internasional Non Pemerintah, Lembaga Swadaya
Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan seperti Greenpeace, UNFCCC, World
Wide Fund of Nature (WWF), dan organisasi lainnya di bidang lingkungan tetapi
apabila tidak didukung dengan kesadaran masyarakat dunia aksi-aksi untuk
mengurangi pemanasan global tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Masyarakat
internasional sendiri belum sepenuhnya menyadari betapa pentingnya permasalahan
lingkungan ini, namun tidak sedikit juga yang berupaya membantu penyelesaian
masalah lingkungan ini, seperti mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan
kendaraan umum, mengurangi penggunaan alat-alat elektronik, menjadi aktivis di LSM
maupun Organisasi Internasional yang bergerak di bidang lingkungan, dan aksi-aksi
lainnya. Contoh aksi yang sederhana yaitu adanya organisasi mengenai lingkungan
yang dibuat oleh masyarakat umum, seperti mahasiswa, yang di dalam organisasi
tersebut mereka melakukan sosialisasi mengenai kerusakan lingkungan dan
dampaknya di social media. Salah satu contoh gerakan dalam bidang lingkungan yaitu
Greta Thunberg seorang remaja berusia 16 tahun asal Swedia yang berusaha mengatasi
pemanasan global dan perubahan iklim dengan aksi mogok sekolah demi iklim di
depan gedung parlemen Swedia.
Selain itu di era modern ini negara-negara yang maju di bidang teknologi
informasi dan komunikasi sudah menciptakan alat alat yang dapat membantu manusia
dalam upaya penghematan energi. Terobosan bagi masyarakat yang seringkali lupa
untuk mematikan daya listrik yang ada di dalam rumah atau kantor tempat mereka
berkerja dengan menggunakan teknologi sensor. Sensor sangat berguna dalam
penghematan energi ini, sebagai contoh yaitu televisi yang dapat mati dengan
sendirinya apabila sudah tidak di tonton, dan lampu yang dapat mati dengan sendirinya
pada saat ruangan sudah tidak di gunakan lagi, dan hal ini tentu saja membantu
mengurangi penggunaan listrik.
BAB III
KESIMPULAN
Globalisasi merupakan hal yang tidak dapat dihindari, dan globalisasi serta
lingkungan merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Hal ini disebabkan
karena lingkungan sudah meng-global dalam banyak hal. Atmosfer dapat dirasakan
oleh setiap orang di seluruh dunia mulai dari menikmati kehangatan matahari, adanya
lautan di dunia yang saling terhubung dan secara efektif menjadikan satu lingkungan
laut global. Namun seiring dengan globalisasi yang berlangsung, kepedulian manusia
berbanding terbalik dengan perkembangan globalisasi. Sifat konsumtif terhadap
produk-produk berteknologi canggih yang kian merajalela yang mempermudah
pemenuhan kebutuhan manusia, dari segi lingkungan secara langsung dan tidak
langsung telah memberikan pengaruh buruk terhadap keseimbangan lingkungan hidup.
Pemanasan global merupakan salah satu diantara sekian banyak kasus sebagai dampak
dari globalisasi terhadap lingkungan. Pemanasan global menyebabkan mencairnya es
di Kutub, bahan bakar mesin yang digunakan berasal dari alam seperti batu bara,
minyak bumi, gas alam, dan kandungan alam lainnya. Pembakaran bahan bakar
tersebut melepaskan unsur CO dan CO2 menimbulkan penumpukkan lapisan bumi
sehingga suhu bumi meningkat atau dikenal dengan istilah pemanasan global (global
warming). Dampaknya memang variatif, salah satunya adalah dapat meningkatkan
permukaan air laut di dunia dan menenggelamkan beberapa wilayah yang menjadi
tempat tinggal manusia terutama di wilayah pantai, kemudian juga berdampak terhadap
meningkatnya migrasi yang dilakukan oleh manusia. Meskipun demikian, banyak actor
negara maupun non negara yang memberikan dukungan melalui demonstrasi anti-
globalisasi, dan peratifikasian protokol-protokol terkait kepedulian terhadap
lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA