Anda di halaman 1dari 23

ENVIRONMENTALISME

Oleh: M. Azzikra

Lingkungan menjadi sesuatu yang berharga dalam kehidupan di dunia. Lingkungan


menjadi salah satu faktor keberlanjutan kehidupan manusia di bumi. Demi menjaga dan
melestarikan lingkungan, muncul gerakan-gerakan yang dapat disebut
environmentalism.Environmentalism adalah gerakan sosial ataupun ideologi yang luas yang
mendasarkan dirinya pada permasalahan mengenai lingkungan hidup dan peningkatan kesehatan
lingkungan. Sebuah gerakan yang pengendalian lingkungan dari pencemaran dan juga demi
pelestarian dan pelindungan keanekaragaman tumbuhan serta satwa melalui restorasi ataupun
perbaikan lingkungan alam. Pada intinya, environmentalisme adalah upaya yang dilakukan untuk
menyeimbangkan kehidupan antara lingkungan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Keseimbangan sangat diperlukan karena manusia sendiri sangat bergantung sekali dengan
lingkungannya.

Untuk itu, perlu pelestarian yang mendalam sehingga kehidupan antar makhluk hidup
dapat dipertahankan. Environmentalisme adalah gerakan sosial yang dimotori kaum penyelamat
lingkungan hidup. Gerakan ini berusaha dengan segala cara, tanpa kekerasan, mulai dari aksi
jalanan , lobi politik hingga pendidikan publik untuk melindungi kekayaan alam dan ekosistem.
Kaum environmentalis peduli pada isu-isu pencemaran air dan udara, kepunahan spesies, gaya
hidup rakus energi, ancaman perubahan iklim dan rekayasa genetika pada prodk-produk
makanan.

Pengamatan marxisme tentu dengan penuh perhitungan, di bawah kapitalisme, dunia


industry diibaratkan sebagai motor penggerak dari pada eksploitasi terhadap masyarakat dan
variabel sekitarnya, terutama lingkungan yang juga pasti terkena efek dari keberlangsungan
industry dalam konteks kapitalisme yang sistemik. Dan perluasan yang disebabkan oleh
globalisasi, memperkuat cakupan area, pengaruh sekaligus dampak yang lebih hebat lagi.
Bahwasanya pembangunan, kapitalisasi dan industrialisasi, pada akhirnya menjadi bidak dan
instrumen yang tidak dapat dilepaskan dari pada kooptasi kepentingan kaum borjuasi, dan secara
masif akan berdampak destruktif bagi lingkungan hidup, yang merupakan domain dari tempat
dimana kelas-kelas proletariat tinggal. Sehingga kapitalisme dan segala perniknya merupakan
sebuah paradoks kemajuan, yang imbas buruknya seperti noktah hitam dari pada globalisasi itu
sendiri, terutama apabila dilihat secara mendalam dari segi dampak. Yang dapat ditarik sebuah
garis jika hubungan antara pemikiran marxis yang ikut andil dalam gelombang kapitalisme
adalah sebab yang menaungi hubungan akibat berikutnya, yaitu marginalisasi terhadap kaum
proletar beserta eksploitasi lingkungan. Inilah yang dimaksudkan sebagai dialektika marxisme,
terutama dalam kaitanya dengan konteks tidak hanya sosial, tetapi lingkungan. Konsep
subsekuen yang diambil dan dijadikan kerangka mainstream terkait marxisme dan
environmentalisme oleh Munck yaitu terkait dengan sustainable development, atau
pembangunan berkelanjutan. pembangunan adalah sebuah keniscayaan dalam mencapai tujuan
dan kepentingan bersama terkait pada hakikat modernitas. Ketika globalisasi memberi ruang
yang sangat lapang bagi bertumbuhnya ekonomi. Dan ditopang oleh teknologi, ekonomi melalui
sistematika industrialisasi berkembang dan bertumbuh pesat yang akhirnya semakin mendekati
tujuan daripada kemajuan dan modernitas itu sendiri. Namun, industrialisasi yang merupakan
penyumbang terbesar dalam proses modernitas, diyakini mendasari beberapa konsekuensi, salah
satu diantaranya adalah faktor lingkungan.

1. Pengertian Environmentalisme

T.O'Riordan (1976) dalam bukunya Environmentalism memperluaskan ruang lingkup


konsep environmentalisme dengan mendefinisikan kepada tiga aspek, yaitu :

a) Environmentalisme merujuk kepada falsafah alam sekitar, yaitu falsafah yang


membentuk nilai atau moral sebagai pertimbangan kepada persepsi seseorang akan
hubungannya alam sekitar.
b) Environmentalisme merujuk kepada ideologi alam sekitar, yaitu aliran-aliran pemikiran
yang berkait dengan alam sekitar yang mencorakkan bidang-bidang kehidupan yang lain
sebagai formula ke arah pembentukan polisi alam sekitar.
c) Environmentalisme merujuk kepada perubahan reka bentuk alam sekitar iaitu aplikasi
yang praktikal bagi memanifestasikan falsafah alam sekitar sebagai rancangan bertindak
bagi semua peringkat.

Environmentalisme muncul setelah Revolusi Industri di prancis yang menimbulkan


pencemaran lingkungan modern seperti yang umum terjadi saat ini. Munculnya pabrik-pabrik
besar dan eksploitasi dalam jumlah besar dari batubara dan bahan bakar fosil menimbulkan
polusi udara dan pembuangan limbah industri kimia dengan volume besar ditambah dengan
Perkembangan urbanisasi yang pesat pula menyebabkan kepadatan penduduk. Langkah pertama
yang diambil untuk mengontrol kondisi ini adalah dengan munculnya British Alkali Acts yang
disahkan pada 1863, untuk mengatur polusi udara yang merugikan ( gas asam klorida ) yang
merupakan hasil dari proses Leblanc , yang digunakan untuk menghasilkan abu soda .
Environmentalisme tumbuh dengan pesat, yang merupakan reaksi terhadap industrialisasi ,
pertumbuhan kota, dan udara memburuk dan pencemaran air .

Jauh sebelum mulai terbentuknya kesadaran ataupun gerakan sebagai usaha untuk
meminimalisir dampak perkembangan peradaban terhadap lingkungan, Raja Edward I dari
Inggris melalui proklamasi di London pada tahun 1272 melarang pembakaran batubara karena
menimbulkan asap yang kemudian menjadi masalah udara waktu itu. Jika dilihat, sejak abad
pertengahan dimana gereja masih berkuasa waktu itu, usaha-usaha mengenai lingkungan sudah
dilakukan meskipun tidak dalam lingkup yang lebih luas.

Isu-isu mengenai lingkungan sendiri, telah mendapat sorotan di masyarakat dunia sekitar
tahun 1970-an, namun aspek lingkungan baru muncul pada studi Hubungan Internasional yang
ditandai dengan diselenggarakannya konferensi PBB di Rio De Jeneiro pada tahun 1992 dengan
tema Global Warming. Kesadaran secara langsung tentang krisis alam itu sendiri mulai timbul
setelah terbitnya buku yang berjudul “Silent Spring” pada tahun 1962. Buku ini adalah hasil
kajian dari seorang saintis wanita bernama Rachel Carson. Meskipun buku ini hanya
menampilkan dampak-dampak pencemaran akibat industri kimia terhadap alam sekitar dan
menampikan penjelasan-penjelasan terkait masalah itu, ia berhasil membuat masyarakat sadar
akan pentingnya menjaga dunia agar terhindar dari krisis alam yang semakin meluas akibat
perkembangan sains dna teknologi di zaman modern.

Penjelasan-penjelasan mengenai keadaan dan dampak dari krisis alam sekitar yang
dicetuskan oleh Rachel Carson ini kemudian mempengaurhi bidang-bidang lain selain saintis
untuk mulai memperhatikan permasalahan ini. Pada tahun 1967 seorang ahli sejarah, Lynn White
Jr., menulis sebuah artikel yang berjudul “The Historical Roots of Our Ecological Crisis”.
Artikel ini memuat pandangannya mengenai faktor utama yang menyebabkan krisis alam sekitar.
Menurutnya, faktor utama yang menyebabkan krisis alam dan lingkungan adalah faktor ideologi
orang-orang Yahudi-Kristian. Ideologi atau doktrin itu melahirkan suatu pandangan umum atau
worldview dalam kehidupan manusia yaitu mereka diizinkan oleh Tuhan untuk mengksploitasi
alam sekitar demi kelangsungan hidup mereka. Mereka telah dititipkan oleh Tuhan, jadi tidak
ada yang bisa membatasi mereka dalam melakukan eksploitasi. Lynn White Jr. menjelaskan
dengan berpegangan pada pandangan umumu tersebut dalam kehidupan masyarakat barat yang
secara dinamik dan terstruktur dengan menggunakan sains dan teknologinya untuk
mengeksploitasi alam sekitar tanpa batasan. Fenomena inilah yang menyebabkan pengikisan dan
kemerosotan kualitas alam sekitar secara lokal maupun global.

Kesadaran secara langsung tentang krisis alam sekitar mulai timbul dari terbitnya sebuah
buku yang bertajuk Silent Spring pada tahun 1962. Buku ini adalah hasil kajian seorang saintis
wanita yang bernama Rachel Carson.Walaupun buku ini hanya menumpukan penjelasan si
penulis mengenai dampak pencemaran akibat industri kimia terhadap alam sekitar, ia berjaya
menyadarkan masyarakat dunia mengenai krisis alam sekitar yang semakin meluas akibat
perkembangan sains dan teknologi di zaman moden. Kesadaran mengenai kondisi alam sekitar
yang dicetuskan Rachel Carson ini bukan saja menarik perhatian golongan saintis tetapi turut
mempengaruhi para ahli di bidang-bidang yang lain.

Pada tahun 1967 seorang ahli sejarah, Lynn White Jr., menulis sebuah artikel yang
bertajuk The Historical Roots of Our Ecological Crisis. Artikel ini memuatkan pandangannya
mengenai dengan faktor utama yang menyebabkan terjadinya krisis alam sekitar. Menurut
beliau, faktor utama yang menyebabkan krisis alam sekitar ialah doktrin Yahudi-Kristian yang
melahirkan suatu pandangan umum atau worldview dalam kehidupan manusia, yaitu mereka
diizinkan oleh Tuhan mengeksploitasikan alam sekitar demi kelangsungan hidup mereka. Lynn
White Jr. mendakwa dengan berpegang kepada pandangan umum tersebut masyarakat barat
khasnya menggunakan sains dan teknologi secara dinamik untuk mengeksploitasi alam sekitar
tanpa batasan. Fenomena inilah yang menyebabkan gangguan dan kemerosotan kualiti alam
sekitar secara lokal dan global.

Pada dekade akhir abad ke-20, gerakan-gerakan Environmentalism menjadi sebuah


gerakan yang berkembang dengan cepat, perangkat transnasional yang paling efektif merubah
pandangan dan peraturan lingkungan hidup di lingkup global. Untuk itu, gerakan
environmentalism yang bersifat global dapat dimasukkan dalam salah satu counter hegemonic
globalisasi. Batasan-batasan itu dapat dilihat dari keterlibatan gerakan ini dalam arena politik
lingkungan. Gerakan-gerakan seperti ini memiliki akar sosial yang bersifat lokal. Gerakan
transnasional tidak akan memiliki basis dan kekuatan yang sudah mapan. Karena itu, orang-
orang yang terlibat dalam kampanye transnasional adalah mereka yang terlibat dalam ikatan dan
komunitas lokal dan didorong oleh keinginan untuk memajukan anggota tersebut.

Di Indonesia, isu-isu mengenai lingkungan sudah mulai diperbicangkan pada


pemerintahan Orde Baru. Dimulai dengan diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan Pembangunan Nasional di Universitas Pajajaran Bandung pada tanggal 15 sampai 18
mei 1972. Pada masa pemerintahan Orde Baru, isu-isu lingkungan memang sedang digalakkan.
Faktor terpenting dalam permasalahan lingkungan salah satunya adalah pertumbuhan penduduk
dimana saat itu Indonesia memang menjadi negara paling padat di dunia. Pertumbuhan penduduk
dan juga banyaknya eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran yang membuat gerakan
lingkungan dimulai di Indonesia yang kemudian didukung oleh pemerintah pada saat itu. Selain
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan juga industrialisasi karena masuknya
modal-modal asing, Indonesia juga saat itu mengalami beberapa kebakaran hutan yang kemudian
menimbulkan permasalahan asap di Indonesia. Kebakaran hutan menyebabkan banyaknya CO2
di udara yang dapat mengganggu kesehatan. Selain itu, dapat menyebabkan hilangnya
keanekaragaman hayati. Isu-isu ini menjadi dasar munculnya gerakan-gerakan pemerhati
lingkungan di Indonesia.

Lingkungan dapat dijadikan isu kolektif yang dapat dijadikan mobilitas kolektif. Gerakan
lingkungan dapat berpengaruh pada teori ekonomi neo-klasik. Penggunaan isu-isu buruh sebagai
basis untuk memobilisasi dimana ideologi non-liberal mengklaim bahwa isu tersebut harus
melalui logika pasar jika ingin memaksimalkan kesejahteraan. Counter hegemonic global dapat
membangun sebuah ekonomi politik global yang menggunakan penyusutan ruang dan fasilitas
komunikasi lintas perbatasan untuk meningkatkan persamaan, keadilan dan sustainability
daripada mengidentifikasikan bentuk dominasi yang ada.

Isu-isu global mengenai global warming dan lapisan ozon sepertinya pada hakekatnya
global, sementara politik banyak orang, seperti konsekuensi kesehatan dari sampah racun dan
dibuat lokal. Tantangan membangun sebuah organisasi global yang terintegrasi efektif pada
aktivitas lokal dengan kempanye global nampaknya tantangan khusus pada kasus gerakan
environmental. oleh karena itu, gerakan environmental global selalu dianggap organisasi
transnasional yang paling berhasil.

Environmentalisme dapat menggunakan isu-isu dan agenda universal untuk


menyelematkan dunia yang tentunya sangat berpengaruh. Adanya isu dan agenda universal itu
dapat membantu para environmentalis dalam mengkampanyekan masalah-masalah mengenai
krisis-krisis alam sekitar. Sebagai contoh, mengenai perubahan iklim yang merupakan isu
lingkungan paling berpengaruh pada saat ini. Isu mengenai perubahan iklim ini bersifat global
namun memang berawal dari fondasi lokal yang kuat.

Konsep environmentalisme berkaitan erat dengan proses pembangunan berkelanjutan.


Pembangunan berkelanjutan dilakukan demi tujuan bersama dalam rangka modernitas dan
globalisasi. Ketika modernitas dna globalisasi kemudian memberikan pengaruh pada perluasan
ekonomi dimana teknologi juga berperan secara langsung. Sehingga melalui industrialisasi yang
berkembang semakin mendekati dari tujuan modernitas itu sendiri yang selanjutnya memberikan
dampak secara langsung pada permasalahan lingkungan.

Persoalan ekologi hingga saat ini memang berkaitan langsung dengan sistem kapitalisme.
Lingkungan sebagai dasar dari terbentuknya proses industri dimana lingkungan merupakan
daerah asal, tempat, pemberi dan sumber daya yang kemudian dioptimalisasikan oleh sebuah
industri. Oleh karena itu, pembahasan mengenai lingkungan dan pembangunan tidak dapat
dipisahkan yang memang kedua-duanya mempunyai pengaruh dan dampak masing-masing.

Jika dilihat, konsep environmentalisme juga berhubungan dengan pemikiran Marx. Marx
mendefinisikan pemikirannya pada permasalahan sosial dimana ada perjuangan antar kelas.
Kaitannya dengan lingkungan adalah perlawanan Marx terhadap kaum borjuis dimana kaum ini
merupakan kaum yang sangat dekat dengan sistem kapitalisme. Pengeksploitasian yang
dilakukan oleh kaum borjouis tentunya berdampak pada lingkungan. Industrialisasi menjadi
bentuk kepentingan kaum borjuis terhadap marginalisasi kaum proletar beserta eksploitasi
lingkungan. Kapitalisme menjadi sebuah paradoks kemajuan dimana sebagai pengaruh dari
globalisasi itu sendiri sehingga memperlihatkan sisi lain dari dampak kapitalisme.

Environmentalisme telihat seperti feminisme yang berusaha memisahkan ikatan yang


mengekang diantara perempuan yang selama ini dikuasai oleh laki-laki. Environmentalisme juga
terlihat sebagai bentuk kritisisasi atas pemisahan antara manusia dan lingkungan. Jika
dibandingkan, perempuan dalam perspeftif feminisme hampir serupa dengan faktor ekologis
dalam pemikiran Marx. Perempuan dan Proletar dianalogikan sebagai kaum yang tertindas yang
berujung pada usaha-usaha kesetaraan kelas. Pengistilahan ini berkaitan dengan faktor
ketimpangan sosial yang kuat dalam masyarakat.

Environmentalisme merupakan bentuk baru dari pemikiran Marxisme. Ilmu-ilmu sosial


pada zaman sekarang sudah mencair menjadi lebih luas yang kemudian secara langsung
berhubungan dengan ilmu-ilmu alam. Jarak yang memisahkan antara ilmu sosial dan ilmu alam
secara perlahan akan memudar. Sebagai bukti, teori-teori pemikiran sosial Marx kemudian
digunakan dalam bentuk baru dimana environmentalisme muncul. Environmentalisme
merupakan sebuah reaksi terhadap semakin menipisnya pandangan mengenai Marxisme. Sebagai
bentuk baru ini, environmentalisme lebih diterima di dalam struktur masyarakat barat yang
cenderung menolak konsep ideologi marxisme yang mengarah pada ideologi komunis.

Kerusakan lingkungan berjalan seiring dengan perkembangan industrialisasi. Usaha-


usaha melalui gerakan-gerakan environmentalisme yang sekarang menjadi proses pembentuk
integrasi antara lingkungan, industrialisasi, pembangunan dan teknologi yang nantinya tergabung
dalam suatu jaringan yang saling menguntungkan satu sama lain. Meskipun pada saat ini, usaha-
usaha mengenai pewacanaan, propoganda dan fokusi pada isu lingkungan masih menguat di
negara-negara berkembang dibandingkan negara-negara maju. Mungkin hal itu disebabkan
penggunaan teknologi yang berlebihan di negara-negara maju sehingga sulit sekali ataupun
belum menemukan teknologi yang cocok dalam meminimalisir kerusakan lingkungan.

Pada kesimpulannya konsep-konsep mengenai environmentalism berkaitan erat dengan


sistem kapitalisme barat. Untuk itulah, pandangan ini masih sulit untuk diimplementasikan pada
pemikiran barat. Environmentalisme muncul sebagai pengaruh atas modernitas dan globalisasi
yang berjalan seiring dengan industri kapitalistik. Dalam lingkup global, secara langsung
maupun tidak langsung, semuanya akan dipengaruhi oleh faktor lingkungan secara integral.
Karena globalisasi di satu sisi dengan mekanisme industri maju akan secara perlahan mengikis
ekosistem global. Dengan kata lain, usaha-usaha yang dilakukan oleh para enviromentalis
merupakan bentuk perhatian yang memang bukan sekarang dirasakannya. Tetapi nanti oleh
masyarakat dunia di masa depan. Aspek ekologis harus selalu disandingkan sebagai determinan
dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Melalui pembangunan berkelanjutan dengan
memperhatikan aspek ekologis menjadi penyeimbang antara kehidupan manusia dan lingkungan.

2. Gerakan Lingkungan dan Gerakan Sosial

Sejarah gerakan lingkungan hidup di dunia dimulai pada kurun waktu antara 1970-1980
tepatnya ketika pada tanggal 22 April 1970 diadakan perayaan Hari Bumi. Ini merupakan
peristiwa awal lahirnya gerakan lingkungan yang diperingati sampaisaat ini dan mulai saat itu
pula gerakan-gerakan lingkungan di Amerika mengalami perubahan dimana persoalan
lingkungan menjadi hal yang paling penting dan sangat diperhatikan, kemudian terjadinya
penggabungan organisasi-organisasi lingkungan hidup.

Pada tahun 1980-1988 terjadi perubahan dimana gerakan lingkungan kehilangan ciri
spontanitasnya sebagai simbol dari semakin besarnya tingkat pergantian cara pendekatan,
kemudian pada kurun waktu 1988-1992 dimana pada saat itu terjadi bencana-bencana yang
menimpa lingkungan dengan semakin banyak kasus hujan asam, limbah radioaktif, rekayasa
genetik, punahnya spesies langka dan sebagainya. Pada tahun 1990 ketika diadakan peringatan
Hari Bumi secara besarbesaran merupakan tonggak/titik puncak dan kesadaran baru tentang
gerakan lingkungan (24 April 1990 dirayakan di 140 negara).

Adapun sejarah gerakan lingkungan hidup di Indonesia dapat dilihat setelah masa
kepemimpinan Soekarno (Orde lama) beralih pada masa Soeharto (Orde Baru) yang tidak pernah
berpihak pada lingkungan. Dimana pada masa itu pemerintah cenderung pada persoalan ekonomi
pembangunan, sedangkan persoalan lingkungan dikesampingkan demi peningkatan ekonomi.
Masa kepemimpinan Soekarno dimana pada saat itu penerapan politik lingkungan hidup
kerakyatan ( paham ecopopulism) merupakan gerakan lingkungan hidup, seperti perusahaan-
perusahaan asing dinasionalisasikan dan lahan-lahan kritis segera diselamatkan (pembentukan
panitia penyelemat hutan, tanah dan air). Pada masa kepemimpinan Soeharto lahir paham eco-
developmentalis menempuh jalan refonnasi hukum, dimana hukum adalah alatbagi peningkatan
ekonomi untuk membuka jalan bagi investasi asing (muncul UU Penanaman Modal Asing).
Dengan adanya UUPMA ini memberikan andil yang sangat besar sekali terhadap
perubahan lingkungan di Indonesia dimana negara-negara pemodal bebas mengeksplorasi
(memanfaatkan sumber daya alam dengan bebas untuk kepentingan ekonomi (terutama untuk
pemilik modal) maka yang terjadi adalah kerusakan lingkungan, sehingga pada masa kurun
waktu 1970-1984 muncullah gerakan lingkungan di Indonesia (organisasi-organisasi lingkungan
di Indonesia). Salah satu organisasi yang muncul pada saat itu adalah Mapala UI (tanun 1970-an)
yang berbasis mahasiswa yang masih bertahan sampai sekarang, dan setelah itu mulailah muncul
lembaga-lembaga pusat studi lingkungan hidup, kemudian pada tahun 1970-an dan 1980-an
muncullah ormas-ormas baru, seperti WALHI (Wahana Lingkungan hidup Indonesia) , FISKA
(Forum Indonesia untuk swadaya di Bidang Kependudukan), HKTI (Himpunan Kerukunan ’Tani
Indonesia), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNS), KNPI (komite Nasional Pemuda
Indonesia), dan lain sebagainya (http://wwwlingkungan-wahyu.blogspot.com/2011/06/1.html
diakses pada Sabtu 09 Mei 2015 pukul 13:13 WIB).

Gerakan lingkungan hidup (environmental movement) dikenal juga dengan berbagai


nama, seperti environmentalisme dan environmental activism. Ketiga istilah yang tampak sejenis
tersebut digunakan secara berbeda dari satu wacana ke wacana yang lain, namun pada
hakekatnya menggambarkan satu fenomena yang sama, yakni gerakan sosial yang fokus
bergerak dibidang perlindungan, pelestarian, dan keadilanlingkungan hidup. Meskipun berada
dalam satu wadah besar terdapat beragam aliran pemikiran dalam gerakan lingkungan.
Keragaman tersebut tercermin pula pada pilihan-pilihan aksi, praksis, ataupun metode gerakan
mereka sendiri, sebuah kondisi yang membuat aktivisme lingkungan bisa mewujud dalam
beragam nada dan warna.

Gerakan lingkungan hidup bisa dilihat sebagai bagian dari perilaku bersama (collective
behavior) yang secara formal mewujud dalam bentuk berbagai kelompok dan organisasi
lingkungan. Mekanismecollective action yang bekerja mampu mempengaruhi faktor-faktor cost
and benefits yang membuat seseorang memutuskan untuk bergabung dan terus terlibat dalam
gerakan lingkungan. Faktor-faktor pendorong tersebut penting untuk dipahami karena kelompok
dan organisasi lingkungan hidup pada dasarnya tergolong sebagai organisasi sukarela (voluntary
organizations), yakni kelompok-kelompok formal yang anggotanya berasal dari individu-
individu yang bergabung secara sukarela; tanpa paksaan, tanpa alasan-alasan komersial; untuk
memajukan sejumlah tujuan bersama. Definisi diatas sejalan dengan pembahasan definisi
gerakan sosial, yakni menekankan perbedaan organisasi-organisasi dalam gerakan lingkungan
dengan organisasi komersial

Adapun dalam teori gerakan sosial, gerakan sosial terjadi apabila sekelompok individu
terlibat dalam suatu usaha yang terorganisir baik untuk merubah ataupun mempertahankan unsur
tertentu dari masyarakat yang lebih luas. Adapun karakteristik dari gerakan sosial yakni adanya
pengenalan sasaran, rencana-rencana untuk mencapai sasaran, dan adanya ideologi. Gerakan
sosial pada umumnya memiliki rangkaian sasaran yang luas yang ditetapkan dengan jelas.
Gerakan sosial yang bertujuan memperbaiki kondisi hidup satu kelompok masyarakat harus
merumuskan semua tujuannya secara terperinci dan sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan
itu sangat bervariasi. Ideologi gerakan sosial adalah sesuatu yang dapat mempersatukan para
anggotanya.

Pandangan menyeluruh tentang elemen-elemen dalam gerakan lingkungan yakni ada tiga
komponen gerakan lingkungan yaitu (1) “aktivis lingkungan publik”, yaitu sebagian besar orang
yangconcerned untuk memperbaiki kondisi lingkungan disekitar mereka (2) aktivis lingkungan
terorganisir atau sukarela seperti WALHI dan Greenpeace, (3) organisasi gerakan lingkungan
institusional”, yaitu birokrasi publik yang memiliki yurisdiksi terhadap kebijakan lingkungan.
Istilah “gerakan lingkungan” melihat bahwa gerakan lingkungan terdiri dari dua elemen, yaitu
(1), kelompok-kelompok lingkungan, sebagai perwujudan organisasional dari gerakan
lingkungan; dan (2) attentive public, orang-orang yang meski tidak bergabung ke salah satu
kelompok lingkungan, tapi sama-sama mempercayai dan mempraktekkan nilai-nilai
environmentalisme. Orang-orang “awam” ini bisa siapa saja, mereka adalah orang-orang yang
mengekspresikan kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup melalui pandangan pribadi
mereka, perilaku dan gaya hidup mereka.

Dalam sudut pandang sosiologis atau perspektif gerakan sosial melihat kemunculan
gerakan atau kelompok lingkungan berhubungan erat dengan perubahan nilai-nilai dan struktur
sosial dalam masyarakat. Keduanya melihat kemunculangerakan lingkungan hidup memiliki
kemiripan dengan latar belakang kemunculan gerakan sosial, yakni lahir dari ketidakpuasan
terhadap sejumlah nilai- nilai yang selama ini dianut masyarakat dan mewakili upaya-upaya
kolektif untuk menginstitusionalkan nilai-nilai alternatif. Ketidakpuasan masyarakat misalnya
adalah keprihatinan akan hilangnya tempat-tempat alami, kekecewaan terhadap pengaruh
industrialisme pada kehidupan perkotaan, keinginan untuk menjauh dari kota dan kembali ke
suasana pedesaan, dan pandangan terhadap alam sebagai sumber pencerahan spiritual, moral, dan
estetis. Selain itu, meluasnya nilai-nilai prolingkungan diduga ikut didorong faktor-faktor seperti
pertumbuhan kelompok pekerjaan yang dekat dan sering bersentuhan dengan isu-isu lingkungan
serta adanya peningkatan standar kehidupan –yang tampaknya telah memungkinkan sebagian
orang untuk mulai berpikir tentang nilai-nilai dan hal-hal non-material
(http://www.scribd.com/doc/37766063/Penggunaan-Internet-Oleh-AktivisLingkungan-Di-
Indonesia diakses pada sabtu 09 Mei 2015 pukul 11:35 WIB).

3. Teori Tindakan Sosial ( Social Action )

Weber dalam buku Sunarto, 2004:12 sebagai pengemuka dari paradigma ini mengartikan
sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Inti tesisnya adalah
“tindakan yang penuh arti” dari individu, yang dimaksudkannya dengan tindakan sosial itu
adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi
dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan
kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkannya dengan tindakan orang lain
maka itu bukan merupakan tindakan sosial. Tindakan seseorang melemparkan batu ke dalam
sungai bukan tindakan sosial. Akan tetapi, tindakan tersebut dapat berubah menjadi tindakan
sosial kalau dengan melemparkan batu tersebut dimaksudkan untuk menimbulkan reaksi dari
orang lain.

Menurut Marx Weber, tidak semua tindakan manusia dapat dianggap sebagai tindakan
sosial. Suatu tindakan hanya dapat disebut tindakan sosial apabila tindakan tersebut dilakukan
dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain. Dan
suatu tindakan ialah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi pelakunya (
Sunarto, 2004: 12 ).

Dalam pembahasan tindakan sosial, tidak selalu dan semua perilaku dapat dimengerti
sebagai suatu manifestasi rasionalitas. Menurut Marx Weber, metode yang bisa dipergunakan
untuk memahami arti-arti subjektif tindakan sosial seseorang adalah denganverstehen. Istilah ini
tidak hanya merupakan introspeksi diri sendiri, bukan tindakan subjektif orang lain. Sebaliknya,
apa yang dimaksud Weber dengan verstehen adalah kemampuan untuk berempati atau
kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka berpikir orang lain yang perilakunya mau
dijelaskan dan situasi serta tujuan-tujuannya mau dilihat menurut perspektif itu ( Narwoko, 2008:
18 ).

Suatu tindakan adalah perilaku manusia yang mempunyai makna subjektif bagi
pelakunya. Sosiologi bertujuan untuk memahami (verstehen) mengapa tindakan sosial
mempunyai arah dan akibat tertentu, sedangkan tiap tindakan mempunyai makna subjektif bagi
pelakunya, maka ahli sosiologi yang hendak melakukan penafsiran bermakna, yang hendak
memahami makna subjektif suatu tindakan sosial harus dapat membayangkan dirinya ditempat
pelaku untuk dapat ikut menghayati pengalamannya.

Marx Weber mengklasifikasikan ada empat jenis tindakan sosial yang mempengaruhi
sistem dan struktur sosial masyarakat ( Narwoko, 2008: 19 ). Keempat jenis tindakan sosial itu
adalah :

a) Rasionalitas Instrumental. Disini tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan


atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan
ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.
b) Rasionalitas Orientasi Nilai. Dalam tindakan jenis ini adalah bahwa alat-alat yang ada
hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya
sudah ada didalam hubungannya dengan nilainilai individu yang bersifat absolut. Artinya,
nilai itu merupakan nilai akhir bagi individu yang bersangkutan dan bersifat nonrasional,
sehingga tidak memperhitungkan alternatif.
c) Tindakan Tradisional. Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku
tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar
atau perencanaan.
d) Tindakan Afektif. Tipe ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau
perancanaan sadar. Tindakan afektif ini sifatnya spontan, tidak rasional, dan merupakan
ekspresi emosional dari individu.

Marx Weber mengakui bahwa empat jenis tindakan sosial yang diutarakan adalah
merupakan tipe ideal dan jarang bisa ditemukan dalam kenyataan. Akan tetapi, terlepas dari
persoalan itu, apa yang hendak disampaikan Weber adalah bahwa tindakan sosial apa pun
wujudnya hanya dapat dimengerti menurut arti subjektif dan pola-pola motivasional yang
berkaitan dengan itu. Untuk mengetahui arti subjektif dan motivasi individu yang bertindak,
yang diperlukan adalah kemampuan untuk berempati pada peranan orang lain.

Bagi Weber, dunia terwujud karena tindakan sosial. Manusia melakukan sesuatu karena
mereka memutuskan untuk melakukannya dan ditujukan untuk mencapai apa yang mereka
inginkan/kehendaki. Setelah memilih sasaran, mereka memperhitungkan keadaan, kemudian
memilih tindakan. Perhatian Weber pada teoriteori tindakan berorientasi tujuan dan motivasi
pelaku, tidak berarti bahwa ia hanya tertarik pada kelompok kecil, dalam hal ini interaksi spesifik
antar individu. Weber berpendapat bahwa bisa membandingkan struktur beberapa masyarakat
dengan memahami alasan-alasan mengapa warga masyarakat tersebut bertindak, kejadian
historis (masa lalu) yang mempengaruhi karakter mereka, dan memahami tindakan para
pelakunya yang hidup dimasa kini, tetapi tidak mungkin menggeneralisasi semua masyarakat
atau semua struktur sosial. http://ilhamfadli.blogspot.com/2009/02/paradigma-sosiologi-teori-
sosiologi.html diakses pada tanggal 08 Mei 2015, Jumat pukul 16:08 WIB.

4. Respon Terhadap Krisis Ekologi

Dalam merespon krisis ekologi, paling tidak terdapat dua aliran yang masingmasing
berbeda kalau tidak disebut berseberangan. Aliran pertama yaitu modernisasi
ekologi (ecological modernization) dengan tokoh antara lain Joseph Huber (Adiwibowo,
2007), dan aliran kedua adalah aliran hijau (green response). Aliran pertama menekankan kepada
caracara menghadapi krisis ekologi dengan cara diisolasi, dipecahkan secara spesifik, bersifat
diskrit dan linier, ciri berikutnya yaitu memandang krisis ekologi dipandang dapatdipecahkan
melalui atau mengandalkan pada inovasi teknologi tanpa harus merubah tatanan atau struktur
sosial, ekonomi dan politik yang ada.

Sedangkan aliran hijau (green response) menganggap krisis ekologi harus diatasi melalui
perubahan (struktural) sosial, ekonomi dan politik secara holistik, konsekuensi dari pendekatan
ini bahwa pakar ilmu sosial, ekonomi, politik dan budayawan serta kearifan lokal masyarakat
harus menjadi garda terdepan dalam memecahkan krisis ekologi. Pemecahan krisis ekologi yang
melulu mengandalkan pada teknologi dan kepakaran di bidang ilmu-ilmu fisika hanya
memecahkan masalah pada tingkatan symptom. Pendekatan baru yang digunakan untuk meneliti
perubahan sumber daya alam dan lingkungan antara lain beranggapan bahwa degradasi
lingkungan muncul sebagai akibat pertarungan kepentingan ekonomi-politik para pihak seperti
negara, masyarakat, LSM,perusahaan.

Sementara untuk kasus Indonesia, krisis ekologi terlebih dahulu harus diketahui beberapa
hal, antara lain:

a) Krisis ekologi umumnya dipandang sebagai akibat dari rendahnya pengetahuan,


pendidikan, kesadaran lingkungan dan pendapatan masyarakat serta masalah demografi.
b) Fakta-fakta menunjukkan krisis ekologi di Indonesia sebenarnya lebih banyak disebabkan
oleh masalah-masalah struktural seperti kebijakan ekonomi yang eksploitatif, sektoral
dan tidak bersifat partisipatif, hak penguasaan sumberdaya alam oleh negara, market
failures dan maraknya praktek korupsi, kolusi dannepotisme (KKN).
c) Ketidak seimbangan relasi kekuasaan (unequal power relations) antara aktor lokal,
nasional, regional, dan internasional dalam akses dan kontrol sumber-sumberdaya alam
dan lingkungan hidup.
d) Lemahnya tata-pengaturan (weak governance), tidak jelasnya rejim penguasaan
sumberdaya alam publik (unclear common proverty regimes) dan ketidakpastian hak-hak
kepemilikan (insecure property rights).

5. Kelompok Pecinta Alam

Kelompok pecinta alam merupakan salah satu kelompok yang mempunyai bentuk
kegiatan dalam rangka membina anggota atau masyarakat untuk lebih mencintai alam dan
lingkungannya. Disamping itu, kelompok pecinta alam juga berfungsi sebagai media untuk
menyebarkan informasi, penyegaran dan pembahasan masalah-masalah yang berkaitan
dengan upaya-upaya konservasi sumber daya alam.

Selama ini kelompok atau perkumpulan pecinta alam lebih dikenal dalam lingkungan
pemuda, khususnya para pelajar dan mahasiswa. Melalui wadah tersebut mereka melakukan
kegiatan rekreasi serta mencari tantangan atau petualangan di alam bebas, kegiatan tersebut
biasanya dilakukan pada hari-hari libur atau liburan semester. Kelompok pecinta alam
tersebut sebagian besar anggotanya dari unsur generasi muda yang biasanya tumbuh dan
berkembang secara swadaya dengan aktivitas yang berbeda-beda, sampai saat ini belum ada
ketentuan yang mengatur organisasi pecinta alam baik mengenai kriteria organisasi maupun
syarat-syarat pembentukannya. Karena itu organisasi pecinta alam menjadi sangat bervariasi
dan kadang-kadang mudah sekali memudar atau tidak aktif sehingga pemerintah sulit untuk
mengadakan monitoring dan pembinaan secara maksimal.

Pecinta alam di Indonesia saat ini belum dirasakan sebagai salah satu akar gerakan
lingkungan, terbukti dalam korelasinya saat ini dengan banyaknya kelompok pecinta alam
seiring pula dengan kerusakan yang tidak terkendali. Dimanakah letak penyimpangan ini
karena keberadaan pecinta alam dalam tataran yang ideal dapat menumbuhkembangkan
generasi yang peduli lingkungan. Ini patut dikembangkan baik dalam pola gerakan maupun
pengembangan organisasinya. Model gerakan lingkungan yang berasal dari pecinta alam
pada periode kelahirannya lebih menekankan pada kecintaan terhadap alam yang diwujudkan
dengan naik gunung, camping, pelatihan konservasi, dan penghijauan di lereng-lereng
gunung

Ketika kita menoleh kebelakang melihat sejarah asal mula terbentuknya organsasi ini
di Indonesia maka dapat dikatakan bahwa pecinta alam Indonesia ini berawal dari sekedar
aktifitas untuk menghilangkan kepenatan dan kejenuhan dalam menghadapi suatu kondisi
masyarakat pada saat itu yang kurang beruntung dari kebijakan pemerintah. Sekelompok
pemuda dari kalangan kampus (Universitas Indonesia) yang aktif menyuarakan aspirasi
masyarakat, disaat mereka lelah dengan aktifitas kemahasiswaan (demonstrasi, diskusi
politik dan lain-lain) mereka melakukan kegiatan mendaki gunung, berawal dari sini
sehingga mereka membentuk organisasi mahasiswa pecinta alam.

Peranan pemuda juga sangat penting sebagai generasi penerus yang akan
mewarisi lingkungan hidup yang baik. Diharapkan masyarakat akan mendorong adanya
kader-kader perintis dalam lingkungan hidup yang lahir dari kalangan generasi muda
sehingga pembangunan yang berkelanjutan ini sejalan pula dengan terpeliharanya kelestarian
lingkungan, misalnya dengan kegiatan karya wisata di alam bebas merupakan salah satu
program yang mendekatkan generasi muda dengan lingkungan hidup.
Salah satu cara yang ditempuh untuk melibatkan peranan pemuda yaitu melalui
pecinta alam dan lingkungan dalam kegiatan-kegiatan yang mengarah pada studi lingkungan
hidup. Melibatkan pecinta lingkungan dalam kegiatan sosialisasi tentang pentingnya menjaga
kebersihan lingkungan. Mulai dari langkah-langkah untuk menjaga kebersihan, tata cara
pelestarian serta manfaat-manfaat dari lingkungan yang bersih, dan ini juga bisa dilakukan
melalui berbagai kegiatankegiatan yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan
hidup.

Dengan melakukan berbagai kegiatan-kegiatan yang bertujuan menjaga kelestarian


lingkungan hidup, maka kebiasaan ini mulai terinternalisasi kedalam diri individu atau
pecinta lingkungan tersebut. Untuk berpartisipasi lebih jauh lagi mungkin dengan melakukan
sosialisasi tentang kesadaran akan lingkungan hidup dan kepedulian terhadap kondisi
lingkungan yang sudah sangat memprihatin kan saat ini kepada masyarakat.

Isu gerakan lingkungan dalam tubuh pecinta alam baik itu mapala (mahasiswa
pecinta alam), sispala (siswa pecinta alam), atau organisasi pecinta alam umum lainnya
belum memperlihatkan sebuah sinergi gerakan lingkungan yang dinamis. Saat ini lebih
banyak pada kegiatan-kegiatan alam terbuka seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing,
pengarungan sungai dan beragam kegiatan lainnya yang lebih memperlihatkan corak
penggiat alam terbuka.

Dalam konteks gerakan lingkungan pecinta alam sebenarnya mempunyai peran yang
sangat penting terutama untuk pembinaan dan usaha menumbuhkembangkan generasi yang
peduli lingkungan serta tangguh dalam setiap kondisi alam, hal ini bisa dipupuk dalam
kegiatan pendidikan dasar pecinta alam.

George Junus Aditjondro dalam bukunya Pola-Pola Gerakan


Lingkungan mengatakan, terdapat tiga komponen gerakan lingkungan yaitu pertama, aktivis
lingkungan publik yaitu orang yang concerneduntuk memperbaiki kondisi lingkungan
disekitar mereka. Kedua, aktifis lingkungan terorganisir atau sukarela yaitu organisasi
seperti Sierra Club atau Enviromental Defense Fund di Amerika Serikat atau WALHI dan
SKEPHI di Indonesia. Ketiga, organisasi lingkungan institusional yaitu birokrasi publik ynag
menangani yurisdiksi terhadap kebijakan sosial lingkungan atau yang terkait dengan
lingkungan seperti kantor menteri negara kependudukan dan lingkungan hidup

Pecinta alam sebagai organisasi yang bergerak dalam dunia lingkungan dan alam
pada hakikatnya berada dalam gerakan enviromentalisme (wawasan lingkungan) yang dalam
pengertian lebih luas lagi adalah suatu paham yang menempatkan lingkungan hidup sebagai
pola dan gerakannya. Akar gerakan lingkungan dalam pecinta alam sebagai organisasi
sukarela dengan pembinaan yang ketat bagi anggota barunya dapat menumbuhkan sikap
yang kritis dari setiap anggota anggotanya.

Dampak pendidikan dasar dari kelompok – kelompok pecinta alam ini hanya terbatas
pada anggotanya sendiri, sementara perubahan kearah kepedulian yang lebih radikal terhadap
lingkungan belum menyentuh ke masyarakat luas walaupun banyak LSM yang berperan di
dalamnya, akan tetapi tidak jarang juga pecinta alam yang terjun langsung memberikan
penyadaran lingkungan seperti aksi bersih sungai, penanaman pohon, dan lain sebagainya

6. Tentang Lingkungan
a) Theory of Communicative Action: Asal usul, Konteks dan Argumen

Terdapat tiga tema dalam tulisan Habermas tentang teori tersebut. Pertama, analisis
linguistik dan rasionalitas (logika) yang terkandung dalam communicative action. Kedua,
cara bagaimana hal yang disebut terakhir tersebut berperan dalam menjelaskan pemahaman
mengenai satu sisi atau perkembangan patologis dari modernitas. Hal ini diupayakan dari
pandangan filsafat moral dalam perbincangan filosofis dari modernitas serta dikaji secara
sosiologis di dalam The Theory of Communicative Action berkaitan dengan teori Weber
mengenai rasionalisasi. Akhirnya, bagaimana dalam melacak teori sosial
dalamCommunication and Evolution of Society dan teori kritis mengenai kapitalisme
mutakhir dalam legitimation Crisis, Habermas telah berusaha menjelaskan isu isu yang
muncul secara spontan dalam upayanya ketika membaca Weber.

b) Analisis Linguistik dan Theory of Communicative Action

Habermas menekankan pentingnya filsafat bahasa, yang memiliki dua macam peran,
yaitu tempat bagi bahasa dalam suatu teori Sosiologis dari tindakan, dan berupaya
menunjukkan bahwa struktur dan fungsi bahasa manusia menyediakan dasar bagi etika
universalistik dan demokratik. Habermas berargumentasi bahwa analisis linguistik, yang
dilengkapi dengan teori bicara-tindakan (theory of communication action), dapat (melalui
rekonstruksi rasional) mengungkapkan perkiraan yang tidak bisa dihindari dan bersifat
universal mengenai bahasa sehari hari. Karena itu, semua tindakan berbicara akan
memunculkan serangkaian klaim keabsahan. Klaim keabsahan tertentu, bila dimunculkan
dapat secara rasional dibenarkan melalui pembicaraan argumentatif. Bahwa tindakan
manusia dapat diorientasikan ke banyak tujuan, tetapi tindakan linguistik, yang pada
dasarnya bisa direkonstruksi, diorientasikan kepada koordinasi tindakan yang dicapai
melaluipemahaman timbal balik. Habermas menspesifikasikan tiga dunia, yaitu:

a. dunia eksternal obyek fisik,


b. dunia sosial, dan
c. dunia dalam yang bersifat pribadi.

Karena itu, dia secara konseptual dapat membedakan antara tindakan komunikatif
(tindakan yang diorientasikan terhadap pemahaman timbal balik dalam dunia sosial),
tindakan instrumental (diorientasikan kearah keberhasilan di dunia eksternal), dan tindakan
strategis (diorientasikan kearah keberhasilan di dunia sosial). Menurut Habermas, dalam
mengucapkan tindakan bicara yang berkaitan dengan salah satu dari dunia ini (eksternal,
sosial, internal) para pembicara menggunakan suatu tipe khusus tindakan bicara (constative,
regulative, ekspressive)1dan memunculkan suatu kumpulan klaim keabsahan yang khusus
dan tepat (kebenaran, ketepatan, dan ketulusan).

Klaim klaim keabsahan ini bisa dinilai dengan dibandingkan terhadap bentuk bentuk
rasionalitas tertentu (cognitiveinstrumental, moral-praktical, aestheticexpressive) melalui
cara-cara argumentasin yang tepat dimana rasionalitas dipahami sebagai keterbukaan
terhadap penilaian obyektif, dan argumentasi dianggap sah pada kondisi situasi bicara yang
ideal.

c) Habermas dan Weber tentang Modernitas

Bila The Theory of Communication Action adalah sebuah upaya untuk memahami
modernitas secara Sosiologis, maka perbincangan filosofis tentang modernitas melakukan
pendekatan terhadap subyek yang sama dari sudut pandang filsafat. Dalam melacak jalannya
filsafat Barat Pasca pencerahan, Habermas mengidentifikasi suatu paradoks moral yang
berlangsung lama. Paradoks ini, yang menandai perbincangan filosofis mengenai modernitas,
memang sejak awal memberi tanda akan kehadirannya, dan merupakan pengakuan bahwa
pemahamannya terhadap dirinya sendiri hanya bisa dimungkinkan dengan memisahkan diri
dari tradisi. Apakah modernitas punya kemampuan untuk memecahkan masalah paradoks
moralnya sendiri?. Habermas menawarkan suatu jawaban terhadap paradoks normatif
modernitas. Rasionalisasi life world yang memunculkan masyarakat modern dan subsistem-
subsistemnya yang terpisah yang dikendalikan oleh media, secara bersama sama sama
menyediakan kriteria normatif yang bisa digunakan untuk menilai perkembangan
selanjutnya.

7. Marxisme dan Ekologi

Marxisme, sebagai filsafat dan teori ekonomi-politik, menyediakan kerangka yang


lebih luas dan ”matang” ketimbang ekologi sosial. Karena itu, keduanya lebih berguna untuk
memahami dunia, termasuk dunia alam, dan memberikan landasan yang lebih kokoh bagi
tindakan politik. Dua aspek dari teori Marxis yang paling relevan untuk memahami dan
melakukan aksi atas isu-isu tentang ekologi serta lingkungan adalah materialism dialektik
dan teori akumulasi.

Materialisme dialektik, sebagai filsafat, menjadi ada dan menyadari relevansinya


dengan diskusi ekologi karena implikasinya pada cara kita memahami alam. Kini sudah
menjadi pemahaman umum di kalangan ekologis profesional bahwa alam tidaklah statis,
bukan sesuatu yang selalu sama, sekalipun tanpa gangguan manusia. Dengan ukuran
komunitasnya maupun dengan ukuran biosfernya, alam tidak berada dalam keseimbangan” ,
tidak juga berada dalam “keadaan terbaik”-nya. Kita tahu tidak ada kekuatan apapun yang
dapat memastikan kesetimbangan stabil dari jumlah populasi ataupun komposisi spesies dari
komunitas-komunitas. Menurut mereka filsafat yang efektif untuk memahami karakteristik
dan proses-proses tersebut adalah materialisme dialektik, yang “tesis utamanya adalah
pendapat bahwa alam mengandung kontradiksi- kontradiksi, bahwa ada kesatuan dan
interpenetrasi dari apa yang kelihatannya eksklusif tak saling pengaruh, dan karenanya isu
utama bagi ilmu pengetahuan adalah kajian tentang kesatuan dan kontradiksi tersebut.”
Mungkin berlebihan jika berpendapat bahwa seseorang harus menjadi Marxis terlebih
dulu untuk menjadi ilmuwan yang baik, kritis, sadar akan kontradiksi dalam alam dan
menyadari asumsi-asumsi perorangan. Namun Levins dan Lewontin memberi alasan kuat—
dengan didukung oleh contoh-contoh ekologi populasi dan komunitas, mereka mengatakan
bahwa, bagi kita, tak cukup sekadar menggunakan pendekatan materialis, melainkan harus
menggunakan pendekatan materialis dialektik pada hal-hal khusus agar dunia menjadi masuk
akal. Pendapat tersebut benar, khususnya dalam ekologi, karena melibatkan penelitian atas
sistem yang kompleks secara intrinsik. Teori tersebut menjelaskan kebutuhan kekuatan-
kekuatan kapitalis yang berkompetisi untuk mengeksternalkan sebanyak mungkin biaya
produksi menjadi beban masyarakat dalam jumlah besar, termasuk biaya “cuci tangan”—
(berupa) insentif tetap bagi aktivitas produksi dan konsumsi yang menghasilkan banyak
limbah; dan ekspansi internasional kekuatan kapitalis ketika mereka mencari pasar baru,
sumber daya baru dan, lebih banyak lagi tempat baru untuk membuang limbahnya.

Sehingga, terdapat konflik mendasar antara kapitalisme dan rasionalitas ekologis.


Seperti yang dikatakan oleh Paul Sweezy, bahwa catatan buruk (di bidang lingkungan)
kapitalisme disebabkan oleh sifat bawaannya yang mengusung proses akumulasi modal yang
tak terkendali. Sistem tersebut tak memiliki mekanisme pengerem/pengendali selain krisis
ekonomi berkala; satuan-satuan individual yang menyusunnya—modal yang terpisah-
pisah— harus tanggap terhadap peluang-peluang meraup keuntungan dalam jangka pendek,
atau tersingkir; tak ada bagian dalam sistem itu yang membuka diri atau sesuai dengan suatu
perencanaan jangka panjang yang mutlak sangat penting bagi pelaksanaan sebuah program
ekologi yang efektif. Karena dipaksa oleh permintaan, ekonomi kapitalis didasarkan
padapemenuhan kebutuhan berbentuk komoditi, melibatkan penciptaan
“kebutuhankebutuhan” yang diindividualkan dalam semua jenis komoditi. Di lain pihak,
ekonomi sosialis menekankan konsumsi kolektif, tempat pemberhentian massal, fasilitas
rekreasi dan liburan bersama, penanganan kesehatan bersifat pencegahan, dan permukiman
bersama. Sehingga, seperti juga dikemukakan oleh Sweezy dan Magdoff, negeri-negeri
sosialis setidaknya berpotensi membuat beberapa kemajuan signifikan menuju produksi yang
rasional secara ekologis. Kendati demikian, negerinegeri dengan kebijakan-kebijakan sosialis
secara umum memiliki catatan lingkungan yang kurang baik. Sebagian karena keadaan
tempat pemerintahan sosialis itu berada— relatif miskin, mendapat serangan-serangan
dari luar dan, khususnya bagi yang kecil, mengalami ketergantungan ekonomi ala Dunia
Ketiga, suatu posisi yang tidak menguntungkan dalam pasar internasional.

Meskipun kecenderungan bawaan kapitalisme membuang limbah dan sampah (ke


lingkungan) adalah konsekuensi dari syarat pertumbuhannya, kita tidak boleh “meragukan
kecerdikan kapitalisme dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri,” seperti diperingatkan
oleh Andre Gorz dalam Ecology in Politics Dalam tingkat tertentu, terlihat jelas bahwa
kapitalisme bisa menerima keprihatinan ekologi, sejauh solusi-solusinya bisa dikomoditikan.
Jika masyarakat akan puas dengan air minum yang bersih – sementara sungai dan air
tanah berpolusi—maka kami akan menjual air dalam botol dan menyaringnya
untuk disimpan. Jika agen pengontrol biologis dapat dikemas dan dijual demi keuntungan
bagi produsen pertanian, hal itu akan dilakukan, dan mungkin penggunaan pestisida yang
berbahaya akan berkurang. Perusahaan-perusahaan kapitalis, jauh-jauh hari sebelum dipaksa,
bukan saja karena alasan politik tapi juga karena alasan ekonomi, sudah mepertimbangkan
sumbersumber daya ekologi, seperti unsur hara tanah dan populasi serangga bermanfaat,
sebagai persediaan modal dalam perhitungan mereka.

Dalam kerangka analisis Habermas dan Marx, kondisi pengelolaan sumber daya alam
termasuk pengelolaan kehutanan dipicu oleh terlalu dominannya rezim negara dalam
mengelola dan mengendalikan sektor kehutanan. Permasalahan- permasalahan ekologi
adalah masalah politis dalam makna bahwa masalah-masalah sumber daya alam, termasuk
kehutanan, dihasilkan atau sangat dipengaruhi oleh kesenjangan- kesenjangan kontrol dan
kekuatan politik di antara kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa. Hal ini perlu mendapat
perhatian serius dari stakeholder khususnya pemerintah, karena jika terus dalam kondisi
seperti ini, potensi konflik antar masyarakat yang berada di kawasan hutan dengan pihak
pemerintah dan swasta yang diberi hak mengelola hutan akan mencuat ke permukaan.
Kondisi di atas sejalan dengan faktafakta yang menunjukkan bahwa krisis ekologi di
Indonesia sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh : a) masalah-masalah struktural seperti
kebijakan ekonomi yang eksploitatif, sektoral dan tidak bersifat partisipatif, hak penguasaan
sumberdaya alam oleh negara, market failures dan maraknya praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN). Selain itu, adanya ketidakseimbangan relasi kekuasaan (unequal power
relations) antara aktor lokal, nasional, regional, dan internasional dalam akses dan kontrol
terhadap sumber sumber daya alam dan lingkungan hidup dan diperparah dengan lemahnya
tata pengaturan (weak governance), tidak jelasnya rejim penguasaan sumber daya alam
publik (unclear common provertyregimes) dan ketidakpastian hak-hak kepemilikan (insecure
property rights).
DAFTAR PUSTAKA

Budi Widianarko, Donny Danardono, Paulus Wiryono, Herudjati Purwoko (Editor).


2004. Menelusuri Jejak CAPRA. Menemukan Integrasi Sains, Filsafat, Agama. Penerbit :
Kanisius Yogyakarta
bekerjasama dengan Program Magister Lingkungan dan Perkotaan UNIKA Soegijapranata

Soeryo Adiwibowo. 2007. Teori Sosial, Degradasi Lingkungan, dan Politik Lingkungan. Materi
Kuliah Teori Sosial Hijau pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pasca Sarjana IPB
Bogor.

Anda mungkin juga menyukai