Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN ABSES DIABETES MELITUS

1. Konsep Dasar Penyakit Abses


1.1. Definisi
Abses adalah infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan
pus (bakteri, dan jaringan nekrotik) (Smeltzer, S.C et al (2001: 496). Abses
adalah tahap terakhir dari suatu infeksi jaringan yang diawali dengan proses
yang disebut peradangan (Bambang, 2005).
Abses adalah kumpulan nanah setempat dalam rongga yang terbentuk akibat
kerusakan jaringan. (EGC (1995: 5).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa Abses
Frontalis merupakan kumpulan nanah atau pus dalam sebuah rongga yang
terbentuk pada jaringan kulit dibagian kepala akibat terjadinya infeksi oleh
bakteri yang mengakibatkan rusaknya jaringan kulit.
1.2. Etiologi
Menurut Siregar (2004) suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses
melalui beberapa cara antara lain:
1.5.1. Bakteri masuk kebawah kuit akibat luka yang berasal dari tusukan
jarum yang tidak steril ;
1.5.2. Bakteri menyebar dari suatu infeksi dibagian tubuh yang lain ;
1.5.3. Bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia
dan tidak menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan
terbentuknya abses.
Lebih lanjut Siregar (2004) menjelaskan peluang terbentuknya suatu abses
akan meningkat jika :
1.2.4. Terdapat kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya
infeksi;
1.2.5. Darah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang ;
1.2.6. Terdapat gangguan sisitem kekebalan.
1.3. Tanda dan gejala / manifestasi klinik
Smeltzer, S.C (2001) mengemukakan bahwa pada Abses terjadi nyeri tekan,
kehangatan meningkat disekitar luka, warna merah jelas pada kulit disekitar

1
2

luka, pus atau rabas, bau menusuk, menggigil atau demam (lebih dari
37,7oC/100oF). Sedangkan Lewis, S.M (2000: 1187) mengemukakan
bahwa manifestasi klinis pada Abses meliputi nyeri lokal, bengkak dan
kenaikan suhu tubuh. Leukositosis juga terjadi pada Abses (Lewis, S.M et
al, 2000: 589).
1.4. Patofisiologi (patway)
Sjamsuhidajat et al (1998: 5) mengemukakan bahwa kuman penyakit yang
masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara
mengeluarkan toksin. Underwood, J.C.E (1999: 232) menjelaskan bahwa
bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis, kimiawi
yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin
yang ada hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi
bila perubahan kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya
atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan. Sedangkan
agen fisik dan bahan kimiawi yang iritan dan korosif akan menyebabkan
kerusakan jaringan. Kematian jaringan merupakan stimulus yang kuat untuk
terjadi infeksi.
Price, S.A et al (1995: 36) mengemukakan bahwa infeksi hanya merupakan
salah satu penyebab dari peradangan. Pada peradangan, kemerahan
merupakan tanda pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami
peradangan akibat dilatasi arteriol yang mensuplai daerah tersebut akan
meningkatkan aliran darah ke mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas terjadi
bersamaan dengan kemerahan. Peningkatan suhu bersifat lokal. Namun
Underwood, J.C.E (1999: 246) mengemukakan bahwa peningkatan suhu
dapat terjadi secara sistemik akibat endogen pirogen yang dihasilkan
makrofag mempengaruhi termoregulasi pada temperatur lebih tinggi
sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi (Guyton, A.C,
1995: 647-648).
Underwood, J.C.E (1999: 234-235) mengemukakan bahwa pada
peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh darah sehingga darah
mengalir ke seluruh kapiler, kemudian aliran darah mulai perlahan lagi, sel-
sel darah mulai mengalir mendekati dinding pembuluh darah di daerah zona
3

plasmatik. Keadaan ini memungkinkan leukosit menempel pada epitel,


sebagai langkah awal terjadinya emigrasi leukosit ke dalam ruang
ektravaskuler. Lambatnya aliran darah yang menikuti fase hiperemia
menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler, mengakibatkan
keluarnya plasma untuk masuk ke dalam jaringan, sedangkan sel darah
tertinggal dalam pembuluh darah akibat peningkatan tekanan hidrostatik
dan penurunan tekanan osmotik sehingga terjadi akumulasi cairan didalam
rongga ektravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu
edema. Regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam
rongga Abses menyebabkan rasa sakit. Beberapa mediator kimiawi pada
radang akut termasuk bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan
merangsang dan merusakkan ujung saraf nyeri sehingga menurunkan
ambang stimulus terhadap reseptor mekanosensitif dan termosensitif
sehingga menimbulkan nyeri. Adanya edema akan menyebabkan
berkurangnya gerak jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh
yang menyebabkan terganggunya mobilitas.
Sjamsuhidajat et al (1998: 6-7) menjelaskan bahwa inflamasi terus terjadi
selama masih ada pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan
bisa diberantas maka debris akan di fagositosis dan dibuang oleh tubuh
sampai terjadi resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel
fagosit kadang berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul dalam
suatu rongga membentuk Abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh yang
lain membentuk flegmon. Trauma yang hebat, berlebihan, dan terus
menerus menimbulkan reaksi tubuh yang juga berlebihan berupa fagositosis
debris yang diikuti dengan pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk
mengganti jaringan yang rusak. Fase ini disebut fase organisasi. Bila dalam
fase ini pengrusakan jaringan berhenti akan terjadi fase penyembuhan
melalui pembentukan jaringan granulasi fibrosa. Tetapi bila pengrusakan
jaringan berlangsung terus, akan terjadi fase inflamasi kronik yang akan
sembuh bila rangsang yang merusak hilang. Abses yang tidak diobati akan
pecah dan mengeluarkan pus kekuningan (FKUI, 1989: 21) sehingga terjadi
4

kerusakan integritas kulit. Sedangkan Abses yang di insisi dapat


meningkatkan risiko penyebaran infeksi (Brown, J.S, 1995: 94).
5

Pathway abses
6

1.5. Pemeriksaan Fisik


1.5.1. B1 (Breathing)
Pada pasien abses biasanya tidak ditemukan adanya perubahan pada
sistem pernafasan, baik perubahan pada irama nafas, pola nafas,
atau bunyi nafas.
1.5.2. B2 (Blood)
Pada pasien penderita abses biasanya terdapat peningkatan aliran
darah, sel darah putih akan meningkat sebagai respon tubuh
terhadap bakteri yang menyerang dan hal ini akan menyebabkan
panas pada area abses dan diikuti dengan tanda infeksi lainnya
seperti terjadi kemerahan, bengkak, dan juga timbulnyarasa nyeri.
1.5.3. B3 (Brain)
Tingkat kesadaran penderita abses adalah Compos mentis sampai
dengan menurun
1.5.4. B4 (Bladder)
Sistem perkemihan pasien abses pada dasarnya akan tetap normal,
tidak ada perubahan yang pada sistem ini.
1.5.5. B5 (Bowel)
Pada sistem pencernaan juga tidak didapatkan perubahan apapun
yang berkaitan dengan penyakit pada penderita abses.
1.5.6. B6 (Bone)
Hal yang paling banyak terjadi perubahan adalah pada integumen
pasien, dimana pada penderita abses akan didapatkan benjolan pada
kulitnya yang berisi pus, kulitnya tampak kemerahan dan teraba
panas, serta pasien akan merasakan nyeri pada daerah abses.
Terjadi kerusakan jaringan kulit baik yang disebabkan oleh
pecahnya abses dengan sendirinya maupun karena tindakan operasi
pada abses tersebut.
1.6. Pemeriksaan penunjang (Lab, Rontgen, EKG dll)
1.6.1. Laboratorium
a. Pemeriksaan Darah
7

Pada pemeriksaan darah akan didapati perubahan pada jumlah


sel
darah putih yang disebabkan oleh proses inflamasi.
b. Pemeriksaan Gula Darah
Kadar gula darah akan terjadi peningkatan di atas ambang batas
normal.
Kadar normal GDS : 70-200 mg/dl
GDP : 80-110 mg/dl
GD2JPP : <140 mg/dl
1.6.2. Rontgen
Pemeriksaan rontgen diperlukan untuk menentukan ukuran dan
lokasi abses.
1.7. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
1.7.1. Penatalaksanaan Medis
a. Prosedur Anastesi
b. Insisi Drainase + Debridement
1.7.2. Penatalaksanaan Keperawatan :
a. Perawatan luka
b. Mengatasi Nyeri post op
c. Mencegah resiko infeksi
1.8. Konsep dasar keperawatan
1.8.1. Pengkajian
a. Identitas
Proses identifikasi Menjamin keselamatan pasien Rumah Sakit
dengan mencegah terjadinya kesalahan identifikasi pasien
dalam memberikan pelayanan kesehatan.
b. Riwayat keperawatan
1) Keluhan Utama
Keluhan utama penderita abses binsanya berupa rasa tidak
nyaman akan adanya benjolan timbulnya rasa nyeri di
daerah benjolan
2) Riwayat Penyakit Sekarang
8

Pengkajian riwayat penyakit sekarang penderita abses


dimulai sejak ditemukan benjolan sampai dengan dirujuk
ke
rumah sakit.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Abses sangat berkaitan dengan riwayat penyakit Diabetes
Melitus.
4) Riwayat Penyakit Keluarga
Pada riwayat penyakit keluarga, biasanya akan didapati
riwayat penyakit Diabetes Melitus.
c. Pengkajian Fisik
1) B1 (Breathing)
Pada pasien abses biasanya tidak ditemukan adanya
perubahan pada sistem pernafasan, baik perubahan pada
irama nafas, pola nafas, atau bunyi nafas.
2) B2 (Blood)
Pada pasien penderita abses biasanya terdapat peningkatan
aliran darah, sel darah putih akan meningkat sebagai
respon tubuh terhadap bakteri yang menyerang dan hal ini
akan menyebabkan panas pada area abses dan diikuti
dengan tanda infeksi lainnya seperti terjadi kemerahan,
bengkak, dan juga timbulnyarasa nyeri.
3) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran penderita abses adalah Compos mentis
sampai dengan menurun
4) B4 (Bladder)
Sistem perkemihan pasien pada dasarnya akan tetap
normal, tidak ada perubahan yang pada sistem ini.
5) B5 (Bowel)
Pada sistem pencernaan juga tidak didapatkan perubahan
apapun yang berkaitan dengan penyakit pada penderita
abses.
9

6) B6 (Bone)
Hal yang paling banyak terjadi perubahan adalah pada
integumen pasien, dimana pada penderita abses akan
didapatkan benjolan pada kulitnya yang berisi pus,
kulitnya tampak kemerahan dan teraba panas, serta pasien
akan merasakan nyeri pada daerah abses.
Terjadi kerusakan jaringan kulit baik yang disebabkan oleh
pecahnya abses dengan sendirinya maupun karena
tindakan operasi pada abses tersebut
1.8.2. Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses
inflamasi
b. Resiko infeksi berhubungan dengan proses penyakit
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri akut
d. Resiko hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
e. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai
proses penyakit dan tindakan medis yang dilakukan
1.8.3. Nursing Care Planning
a. NOC
1) Diagnosa I :
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses
inflamasi.
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan rasa nyaman nyeri terpenuhi.
b) Kriteria hasil : Nyeri hilang / berkurang.
2) Diagnosa II :
Resiko infeksi berhubungan dengan kulit yang rusak,
trauma jaringan, stasis jaringan tubuh.
a) Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
Infeksi tidak terjadi.
b) Kriteria hasil : tanda-tanda infeksi (-), Suhu normal.
3) Diagnosa III :
10

Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri akut.


a) Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
gangguan pola tidur dapat teratasi.
b) Kriteria hasil : waktu tidur normal (8 jam), kualitas tidur
(+), terjada pada saat tidur (-), pola tidur terpenuhi.
4) Diagnosa IV :
Resiko hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
a) Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien tidak
mengalami perubahan suhu tubuh yang signifikan.
b) Kriteria hasil: Suhu tubuh normal
5) Diagnosa V :
Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai
proses penyakit dan tindakan medis yang dilakukan.
a) Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
cemas berkurang.
b) Kriteria hasil : Klien tidak bertanya-tanya lagi, klien
mengatakan mengerti tentang penjelasan yang
diberikan, wajah tampak relaks, TTV dalam batas
normal
b. NIC
1) Diagnosa I :
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses
inflamasi.
Rencana tindakan :
a) Kaji tingkat nyeri.
Rasional : Untuk mengetahui seberapa berat rasa nyeri
yang dirasakan dan mengetahui pemberian terapi sesuai
indikasi.
b) Berikan posisi senyaman mungkin.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri dan
memberikan kenyamanan.
c) Berikan lingkungan yang nyaman.
11

Rasional : Untuk mendukung tindakan yang telah


diberikan guna mengurangi rasa nyeri.
d) Kolaborasi dalam pemberian terapi analgetik sesuai
indikasi.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri
2) Diagnosa II :
Resiko infeksi berhubungan dengan kulit yang rusak,
trauma jaringan, stasis jaringan tubuh.
Rencana tindakan :
a) Observasi tanda terjadinya infeksi.
Rasional : mengetahui secara dini terjadinya infeksi dan
untuk membantu memiih intervesi yang tepat
b) Ganti balutan dengan teknik aseptik.
Rasional : Teknik aseptic yang tepat menurunkan resiko
penyebaran bakteri dan kontaminasi silang.
c) Tingkatkan intake cairan 2-3 liter/hari Tingkatan nutrisi
dengan diet TKTP Gunakan pelunak feses bila terdapat
konstipasi.
Rasional : nutrisi untuk meningkatkan ketahanan tubuh
dan mempercepat pertumbuhan jaringan.
d) Berikan antibiotika sesuai program medis.
Rasional : Antibiotika untuk menghambat dan
membunuh kuman patogen.
e) Pantau tanda-tanda radang: panas, merah, bengkak,
nyeri, kekakuan. Untuk mengidentifikasi indikasi
kemajuan dan penyimpangan dari hasil yang
diharapkan.
Rasional : Untuk mengetahui secara dini terjadinya
infeksi.
3) Diagnosa III :
Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri akut.
Rencana tindakan :
12

a) Kaji pola tidur atau istirahat normal pasien.


Rasional : Untuk mengetahui pola tidur yang normal
pada pasien dan dapat menentukan kelainan pada pola
tidur.
b) Beri lingkungan yang nyaman.
Rasional : Untuk mendukung pemenuhan kebutuhan
aktivitas dan tidur.
c) Batasi pengunjung selama periode istirahat.
Rasional : Untuk menjaga kualitas dan kuantitas tidur
pasien
d) Pertahankan tempat tidur yang hangat, bersih dan
nyaman,
Rasional : Supaya pasien dapat tidur dengan nyaman
e) Kolaborasi pemberian terapi analgetika.
Rasional : Agar nengurangi rasa nyeri yang menggangu
pola tidur pasien
4) Diagnosa IV :
Resiko hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
Rencana tindakan :
a) Mencatat suhu pra operasi dan mengkaji suhu post
operasi.
Rasional : Sebagai evaluasi adanya perubahan suhu
yang signifikan.
b) Kaji suhu lingkungan dan modifikasi sesuai kebutuhan.
Rasional : Dapat membantu dalam mempertahankan/
menstabilkan suhu pasien.
c) Lindungi area kulit dari paparan langsung aliran udara.
Rasional : Kehilangan panas dapat terjadi ketika kulit
dipajankan pada aliran udara atau lingkungan yang
dingin
d) Berikan selimut pada pasien.
Rasional : menjaga kehilangan panas tubuh
13

e) Kolaborasi pemberian antipiretik.


Rasional : Antipiretik merupakan terapi farmakologis
untuk menurunkan suhu tubuh.
5) Diagnosa V :
Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan mengenai
proses penyakit dan tindakan medis yang dilakukan.
Rencana tindakan :
a) Memberikan penjelasan tentang penyakitny.
Rasional : Klien akan mengerti dan kooperatif.
b) Menganjurkan keluarga untuk mendampingi dan
memberikan support system.
Rasional : Membesarkan jiwa klien.
c) Memberikan penjelasan sebelum melakukan tindakan
apapun.
Rasional : Klien akan mengerti tindakan dan mau
bekerjasama.
d) Mengobservasi TTV.
Rasional : Kecemasan akan meningkatkan TTV
14

1.9. Daftar pustaka


Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapius
FKUI: Jakarta
Nanda International. (2012). Nursing Diagnoses : Definition and
classification 2010-2012. Wiley-Blackwell: United Kingdom
Price & Wilson (1995), Patofisologi-Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Ed.4, EGC, Jakarta
Priatna Asep, (2015) Lembar diagnosa keperawatan nic noc. Diakses pada
tanggal 28 November 2019, dari
www.slideshare.net/PriatnaAsep/lembar-diagnosa-keperawatan-
nic-noc
Siregar. R. S, (2004) Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Kediri: EGC
Soeparman & Waspadji (1990), Ilmu Penyakit Dalam, Jld.II, BP FKUI,
Jakarta.
2. Konsep Dasar Diabetes Melitus
2.1. Definisi
Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai
oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. (Brunner dan
Suddarth, 2002).
Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah
akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Arjatmo, 2002).
Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :
2.1.1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)
2.1.2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)
2.2. Etiologi
2.2.1. Diabetes Melitus Tipe 1
a. Faktor genetic
Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi
mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah
terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen HLA.
b. Faktor-faktor imunologi
Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal
dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara
bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah
sebagai jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau
Langerhans dan insulin endogen.
c. Faktor lingkungan
Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang
menimbulkan destruksi selbeta.
2.2.2. Diabetes Melitus Tipe 2
Mekanisme yang tepat menyebabkan retensi insulin dan gangguan
sekresi insulin pada Diabetes tipe II masih belum diketahui, faktor
genetik memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.
Faktor-faktor resiko :

15
16

a. Usia (resistensi insulin meningkat pada usia di atas 65 th)


b. Obesitas
c. Riwayat keluarga
2.3. Tanda dan gejala / manifestasi klinik
2.3.1. Diabetes Melitus Tipe 1
a. Hiperglikemia berpuasa
b. Glukosuria, diuresis osmotik, poliuria, polidipsia, polifagia
c. Keletihan dan kelemahan
d. Ketoasidosis diabetik (mual, nyeri abdomen, muntah,
hiperventilasi, nafas bau buah, ada perubahan tingkat kesadaran,
koma, kematian)
2.3.2. Diabetes Melitus Tipe 2
a. Lambat (selama tahunan), intoleransi glukosa progresif
b. Gejala seringkali ringan mencakup keletihan, mudah tersinggung,
poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi
vaginal, penglihatan kabur
c. Komplikasi jangka panjang (retinopati, neuropati, penyakit
vaskular perifer)
2.4. Patofisiologi (patway)
2.4.1. Diabetes tipe 1
Diabetes tipe I.pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan untuk
menghasilkan insulin karna sel-sel beta pankreas telah
diancurkanoleh proses autoimun. Hiperglikemia-puasa terjadi akibat
produksi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Disamping itu, glukosa
yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati meskipun
tetap berada dalam darah dan menimbulkan hiperglikemia
postprandial (sesudah makan)
2.4.2. Diabetes tipe 2
Diabetes tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama
yang berhubungan dengan insulin, yaitu : resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan
reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam dalam
17

metabolism glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe


II disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian
insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulus pengambilan
glukosa oleh jaringan. (Brunner dan Suddarth, 2002)
Pathway DM
DM Tipe I DM Tipe II

Reaksi Autoimun Idiopatk, usia, genetik, dll

Sel β pankreas hancur Jumlah sel pankreas menurun

Defisiensi Insulin

Hiperglikemia Katabolisme protein meningkat Liposis meningkat

Fleksibilitas Pembatasan diit Penurunan BB


darah merah

Intake adekuat Risiko Nutrisi Kurang


Pelepasan O2

Poliuria Defisit Volume Cairan


Hipoksia perifer

Perfusi jaringan
perifer tidak efektif

Nyeri

2.5. Pemeriksaan Fisik


2.5.1. B1 (Breathing)
Sistem permafasan penderita DM tidak akan berubah secara
signifikan.
18

2.5.2. B2 (Blood)
Pada penderita diabetes, insulin yang seharusnya berperan
memasukkan glukosa ke dalam sel tubuh, tidak bekerja dengan baik.
Akibatnya, glukosa yang seharusnya dipecah menjadi energi di dalam
sel tubuh tetap berkumpul dalam pembuluh darah bahkan ketika
kadarnya sudah terlalu tinggi.
Gula darah berlebih yang berada dalam pembuluh darah dapat
menyebabkan pembentukan aterosklerosis. Aterosklerosis adalah
suatu kondisi terbentuknya sumbatan kolesterol dalam pembuluh
darah, yang mengakibatkan pembuluh darah itu sendiri menjadi kaku.
2.5.3. B3 (Brain)
Tingkat kesadaran pasien DM Compos Mentis sampai menurun.
Kadar gula tinggi akan merusak tubuh, terutama saraf tepi.
Akibatnya, penderita akan merasa kesemutan, baal, atau nyeri. Dalam
beberapa kasus, Wismandari menemukan bahwa pasiennya merasa
tidak menapak tanah atau memegang sesuatu. Walaupun tidak
menyebab kematian, komplikasi saraf bisa sangat mengganggu. Bila
pasien tidak dapat merasakan tubuhnya, ada kemungkinan dia tidak
menyadari telah terluka. Selain itu, komplikasi saraf juga dapat
menyebabkan tekanan darah rendah (hipotensi), disfungsi ereksi,
gangguan pencernaan, dan inkontinensia atau ketidakmampuan
mengontrol buang air kecil dan besar.
2.5.4. B4 (Bladder)
Pasien diabetes akan mengalami perubahan pola kemih, penderita
akan lebih banyak kencing, urine akan lebih encer.
2.5.5. B5 (Bowel)
Penderita diabetes umumnya akan mengalami polidipsi atau perasaan
haus yang membuat ingin banyak minum, poliphagia atau banyak
makan, namun bisa jadi justru hilang nafsu makan, mual/muntah,
tidak mampu mengikuti diet, mengalami penurunan berat badan.
2.5.6. B6 (Bone)
19

Kulit penderita diabetes pada umumnya akan kering/bersisik, turgor


jelek, biasa terdapat luka pada kaki dengan proses penyembuhan yang
lama, kesemutan/kebas kerap terjadi pada ekstremitas.
Penurunan kekuatan otot juga bisa terjadi, pasien akan merasa lemah,
letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
2.6. Pemeriksaan penunjang (Lab, Rontgen, EKG dll)
Diagnosis DM umumnya akan dipikirkan dengan adanya gejala khas DM
berupa poliuria, polidipsia, lemas,dan berat badan turun. Gejala lain yang
mungkin dikemukakan oleh pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan
impotensia pada pasien pria, serta pruritus dan vulvae pada pasien wanita.
Jika keluhan dan gejala khas, ditemukannya pemeriksaan glukosa darah
sewaktu yang >200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.
Umumnya hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu yang baru satu kali saja
abnormal belum cukup untuk diagnosis klinis DM.
Bukan Dm Belum pasti DM DM
Kadar GDS
-Plasma Vena <100 100-200 >200
-Darah Kapiler <80 80-200 >200

Kadar GDP
-Plasma Vena <110 110-120 >126
-Darah Kapiler <90 90-110 >110
Kriteria diagnostik WHO untuk Diabetes Melitus pada sedikitnya 2 kali
pemeriksaan :
2.6.1. Glukosa Plasma sewaktu >200 mg/dl
2.6.2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl
2.6.3. Glukosa plasma 2JPP >200 mg/dl
2.7. Penatalaksanaan :
2.7.1. Medis
a. Obat
1) Mekanisme kerja sulfanilurea
20

Obat ini bekerja dengan cara menstimulasi pelepasan insulin


yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin dam
meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa. Obat golongan ini biasanya diberikan pada
penderita dengan berat badan normal dan masih bisa dipakai
pada pasien yang berat badannya sedikit lebih.
2) Mekanisme kerja Biguanida
Biguanida tidak mempunyai efek pankreatik, tetapi
mempunyai efek lain yang dapat meningkatkan efektivitas
insulin, yaitu :
a) Biguanida pada tingkat prereseptor → ekstra pankreatik
- Menghambat absorpsi karbohidrat
- Menghambat glukoneogenesis di hati
- Meningkatkan afinitas pada reseptor insulin
b) Biguanida pada tingkat reseptor : meningkatkan jumlah
reseptor insulin
c) Biguanida pada tingkat pascareseptor: mempunyai efek
intraselluler
3) Insulin
Indikasi penggunaan insulin
a) DM tipe I
b) DM tipe II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat
dengan OAD
c) DM kehamilan
d) DM dan gangguan faal hati yang berat
e) DM dan gangguan infeksi akut (selulitis, gangren)
f) DM dan TBC paru akut
g) DM dan koma lain pada DM
h) DM operasi
i) DM patah tulang
j) DM dan underweight
k) DM dan penyakit Graves
21

2.7.2. Keperawatan
a. Penyuluhan
Penyuluhan merupakan salah satu bentuk penyuluhan kesehatan
kepada penderita DM, melalui bermacam-macam cara atau
media misalnya: leaflet, poster, TV, kaset video, diskusi
kelompok, dan sebagainya.
b. Latihan
Beberapa kegunaan latihan teratur setiap hari bagi penderita
DM, adalah :
1) Meningkatkan kepekaan insulin, apabila dikerjakan setiap
1 1/2 jam sesudah makan, berarti pula mengurangi insulin
resisten pada penderita dengan kegemukan atau menambah
jumlah reseptor insulin dan meningkatkan sensivitas insulin
dengan reseptornya.
2) Mencegah kegemukan bila ditambah latihan pagi dan sore
3) Memperbaiki aliran perifer dan menambah suplai oksigen
4) Meningkatkan kadar kolesterol – high density lipoprotein
5) Kadar glukosa otot dan hati menjadi berkurang, maka
latihan akan dirangsang pembentukan glikogen baru.
6) Menurunkan kolesterol (total) dan trigliserida dalam darah
karena pembakaran asam lemak menjadi lebih baik.
2.7.3. Non-medis dan keperawatan
a. Diet
1) Syarat diet DM
a) Memperbaiki kesehatan umum penderita
b) Mengarahkan pada berat badan normal
c) Menekan dan menunda timbulnya penyakit angiopati
diabetik
d) Memberikan modifikasi diit sesuai dengan keadaan
penderita
e) Menarik dan mudah diberikan
2) Prinsip diet DM
22

a) Jumlah sesuai kebutuhan


b) Jadwal diet ketat
c) Jenis : boleh dimakan / tidak
3) Pedoman diet DM
a) jumlah kalori yang diberikan harus habis,
jangan dikurangi atau ditambah
b) jadwal diit harus sesuai dengan intervalnya
c) jenis makanan yang manis harus dihindari
4) Penentuan kalori diet DM
Penentuan jumlah kalori Diit Diabetes Mellitus harus
disesuaikan oleh status gizi penderita, penentuan gizi
dilaksanakan dengan menghitung Percentage of Relative
Body Weight (BBR = berat badan normal) dengan rumus :

a) Kurus (underweight) BBR < 90 %


b) Normal (ideal) BBR 90% - 110%
c) Gemuk (overweight) BBR > 110%
d) Obesitas apabila BBR > 120%
 Obesitas ringan BBR 120 % - 130%
 Obesitas sedang BBR 130% - 140%
 Obesitas berat BBR 140% - 200%
 Morbid BBR >200 %
Sebagai pedoman jumlah kalori yang diperlukan sehari-hari
untuk penderita DM yang bekerja biasa adalah :
a) Kurus (underweight) BB X 40-60 kalori sehari
b) Normal (ideal) BB X 30 kalori sehari
c) Gemuk (overweight) BB X 20 kalori sehari
d) Obesitas apabila BB X 10-15 kalori sehari
2.8. Konsep dasar keperawatan
2.8.1. Pengkajian
23

a. Identitas
Proses identifikasi Menjamin keselamatan pasien Rumah Sakit
dengan mencegah terjadinya kesalahan identifikasi pasien dalam
memberikan pelayanan kesehatan.
b. Riwayat keperawatan
1) Keluhan Utama
Cemas, lemah, anoreksia, mual, muntah, nyeri
abdomen, nafas pasien mungkin berbau aseton pernapasan
kussmaul, poliuri, polidipsi, penglihatan yang kabur,
kelemahan dan sakit kepala
2) Riwayat kesehatan sekarang
Berisi tentang kapan terjadinya penyakit (Coma
Hipoglikemik, KAD/ HONK), penyebab terjadinya penyakit
(Coma Hipoglikemik, KAD/ HONK) serta upaya yang telah
dilakukan oleh penderita untuk mengatasinya.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Adanya riwayat penyakit DM atau penyakit – penyakit lain
yang ada kaitannya dengan defisiensi insulin misalnya
penyakit pankreas. Adanya riwayat penyakit jantung,
obesitas, maupun arterosklerosis, tindakan medis yang pernah
di dapat maupun obat-obatan yang biasa digunakan oleh
penderita.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat atau adanya faktor resiko, riwayat keluarga tentang
penyakit, obesitas, riwayat pankreatitis kronik, riwayat
melahirkan anak lebih dari 4 kg, riwayat glukosuria selama
stress (kehamilan, pembedahan, trauma, infeksi, penyakit)
atau terapi obat (glukokortikosteroid, diuretik tiasid,
kontrasepsi oral).
c. Pengkajian fisik
1) B1 (Breathing)
24

Sistem permafasan penderita DM tidak akan berubah secara


signifikan.
2) B2 (Blood)
Pada penderita diabetes, insulin yang seharusnya berperan
memasukkan glukosa ke dalam sel tubuh, tidak bekerja
dengan baik. Akibatnya, glukosa yang seharusnya dipecah
menjadi energi di dalam sel tubuh tetap berkumpul dalam
pembuluh darah bahkan ketika kadarnya sudah terlalu tinggi.
Gula darah berlebih yang berada dalam pembuluh darah dapat
menyebabkan pembentukan aterosklerosis. Aterosklerosis
adalah suatu kondisi terbentuknya sumbatan kolesterol dalam
pembuluh darah, yang mengakibatkan pembuluh darah itu
sendiri menjadi kaku.
3) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran pasien DM Compos Mentis sampai
menurun.
Kadar gula tinggi akan merusak tubuh, terutama saraf tepi.
Akibatnya, penderita akan merasa kesemutan, baal, atau
nyeri. Dalam beberapa kasus, Wismandari menemukan
bahwa pasiennya merasa tidak menapak tanah atau
memegang sesuatu. Walaupun tidak menyebab kematian,
komplikasi saraf bisa sangat mengganggu. Bila pasien tidak
dapat merasakan tubuhnya, ada kemungkinan dia tidak
menyadari telah terluka. Selain itu, komplikasi saraf juga
dapat menyebabkan tekanan darah rendah (hipotensi),
disfungsi ereksi, gangguan pencernaan, dan inkontinensia
atau ketidakmampuan mengontrol buang air kecil dan besar.
4) B4 (Bladder)
Pasien diabetes akan mengalami perubahan pola kemih,
penderita akan lebih banyak kencing, urine akan lebih encer.
5) B5 (Bowel)
25

Penderita diabetes umumnya akan mengalami polidipsi atau


perasaan haus yang membuat ingin banyak minum,
poliphagia atau banyak makan, namun bisa jadi justru hilang
nafsu makan, mual/muntah, tidak mampu mengikuti diet,
mengalami penurunan berat badan.
6) B6 (Bone)
Kulit penderita diabetes pada umumnya akan kering/bersisik,
turgor jelek, biasa terdapat luka pada kaki dengan proses
penyembuhan yang lama, kesemutan/kebas kerap terjadi pada
ekstremitas.
Penurunan kekuatan otot juga bisa terjadi, pasien akan merasa
lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot
menurun.
2.8.2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen injuri biologis (penurunan perfusi jaringan
perifer)
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
ketidakmampuan menggunakan glukose (tipe 1)
c. Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh b.d.
kelebihan intake nutrisi (tipe 2)
d. Defisit Volume Cairan b.d Kehilangan volume cairan secara aktif,
Kegagalan mekanisme pengaturan
e. PK: Hipoglikemia
f. PK: Hiperglikemi
g. Perfusi jaringan tidak efektif b.d hipoksemia jaringan
2.8.3. Nursing Care Planning (NCP)
a. Nursing Outcome (NOC)
1) Diagnosa I
Nyeri akut b.d agen injuri biologis (penurunan perfusi
jaringan perifer)
26

a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan


diharapkan tingkat nyeri berkurang, nyeri terkontrol,
tingkat kenyamanan meningkat.
b) Kriteria hasil :
 Mengontrol nyeri, dengan indikator :
- Mengenal faktor-faktor penyebab
- Mengenal onset nyeri
- Tindakan pertolongan non farmakologi
- Menggunakan analgetik
- Melaporkan gejala-gejala nyeri kepada tim
kesehatan.
- Nyeri terkontrol
 Menunjukkan tingkat nyeri, dengan indikator :
- Melaporkan nyeri
- Frekuensi nyeri
- Lamanya episode nyeri
- Ekspresi nyeri; wajah
- Perubahan respirasi rate
- Perubahan tekanan darah
- Kehilangan nafsu makan
2) Diagnosa II
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
ketidakmampuan menggunakan glukose (tipe 1)
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan pasien dapat terpenuhi kebutuhan nutrisinya.
b) Kriteria Hasil
(1) Nutritional Status : Food and Fluid Intake
- Intake makanan peroral yang adekuat
- Intake NGT adekuat
- Intake cairan peroral adekuat
- Intake cairan yang adekuat
- Intake TPN adekuat
27

- Berat badan ideal


- Indeks massa tubuh 18,5-22,9
3) Diagnosa III
Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh b.d.
kelebihan intake nutrisi (tipe 2)
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan
pasien dapat terkontrol kebutuhan nutrisinya.
b) Kriteria Hasil :
(1) Nutritional Status : Nutrient Intake
(a) Kalori
(b) Protein
(c) Lemak
(d) Karbohidrat
(e) Vitamin
(f) Mineral
(g) Zat besi
(h) Kalsium
4) Diagnosa IV
Defisit Volume Cairan b.d Kehilangan volume cairan secara
aktif, Kegagalan mekanisme pengaturan
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan keseimbangan cairan pasien terpenuhi.
b) Kriteria Hasil :
(1) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan
BB, BJ urine normal, HT normal
(2) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
(3) Intake dan output seimbang
(4) Tidak ada tanda tanda dehidrasi,
(5) Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa
lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
5) Diagnosa V
28

PK: Hipoglikemia
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan dapat mencegah atau meminimalkan
komplikasi dari hiperglikemi.
b) Kriteria Hasil :
 Klien tidak merasa lemas
 Klien tidak merasa letih
 Klien merasa enak badan
6) Diagnosa VI
PK: Hiperglikemi
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan dapat mencegah atau meminimalkan
komplikasi dari hiperglikemi
b) Kriteria Hasil
 Kadar glukosa dalam rentang normal
 Kesadaran compos mentis
 Tanda vital dalam rentang normal
 Keseimbangan cairan dalam kadar normal
 Perhatian penuh
 Melaporkan perasaan nyaman
7) Diagnosa VII
Perfusi jaringan tidak efektif b.d hipoksemia jaringan
a) Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
diharapkan tidak ada gangguan pada statussirkulasi
pasien.
b) Kriteria Hasil
 mendemonstrasikan status sirkulasi
- Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang
diharapkan
- Tidak ada ortostatik hipertensi
- Tidak ada tanda tanda peningkatan tekanan
intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg)
29

 mendemonstrasikan kemampuan kognitif yang


ditandai dengan:
- berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan
kemampuan
- menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi
- memproses informasi
- membuat keputusan dengan benar
b. Nursing Intervention Classification (NIC)
1) Diagnosa I
Nyeri akut b.d agen injuri biologis (penurunan perfusi
jaringan perifer)
a) Manajemen nyeri :
 Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensif
termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan ontro presipitasi.
 Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
 Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
mengetahui pengalaman nyeri klien sebelumnya.
 Kontrol ontro lingkungan yang mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan.
 Kurangi ontro presipitasi nyeri.
 Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologis/non farmakologis)
 Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi
dll) untuk mengetasi nyeri..
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.
 Evaluasi tindakan pengurang nyeri/ontrol nyeri.
 Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain tentang
pemberian analgetik tidak berhasil.
 Monitor penerimaan klien tentang manajemen nyeri.
b) Administrasi analgetik :
30

 Cek program pemberian analogetik; jenis, dosis, dan


frekuensi.
 Cek riwayat alergi..
 Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian Dan dosis
optimal.
 Monitor TTV sebelum dan sesudah pemberian
analgetik.
 Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri
muncul.
 Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala efek
samping.
2) Diagnosa II
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d.
ketidakmampuan menggunakan glukose (tipe 1)
a) Nutrition Management
 Monitor intake makanan dan minuman yang
dikonsumsi klien setiap hari
 Tentukan berapa jumlah kalori dan tipe zat gizi yang
dibutuhkan dengan berkolaborasi dengan ahli gizi
 Dorong peningkatan intake kalori, zat besi, protein
dan vitamin C
 Beri makanan lewat oral, bila memungkinkan
 Kaji kebutuhan klien akan pemasangan NGT
 Lepas NGT bila klien sudah bisa makan lewat oral
3) Diagnosa III
Ketidakseimbangan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh b.d.
kelebihan intake nutrisi (tipe 2)’
a) Weight Management
 Diskusikan dengan pasien tentang kebiasaan dan
budaya serta faktor hereditas yang mempengaruhi
berat badan.
 Diskusikan resiko kelebihan berat badan.
31

 Kaji berat badan ideal klien.


 Kaji persentase normal lemak tubuh klien.
 Beri motivasi kepada klien untuk menurunkan berat
badan.
 Timbang berat badan setiap hari.
 Buat rencana untuk menurunkan berat badan klien.
 Buat rencana olahraga untuk klien.
 Ajari klien untuk diet sesuai dengan kebutuhan
nutrisinya.
4) Diagnosa IV
Defisit Volume Cairan b.d Kehilangan volume cairan secara
aktif, Kegagalan mekanisme pengaturan
a) Fluid Management
 Timbang popok/pembalut jika diperlukan
 Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
 Monitor status hidrasi ( kelembaban membran
mukosa, nadi adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika
diperlukan
 Monitor vital sign
 Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake
kalori harian
 Kolaborasikan pemberian cairan IV
 Monitor status nutrisi
 Berikan cairan IV pada suhu ruangan
 Dorong masukan oral
 Berikan penggantian nesogatrik sesuai output
 Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
 Tawarkan snack (jus buah, buah segar)
 Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul
meburuk
 Atur kemungkinan tranfusi
 Persiapan untuk tranfusi
32

b) Hipovolemia Management
 Monitor status cairan termasuk intake dan output
cairan
 Pelihara IV line
 Monitor tingkat HB dan Hematokrit
 Monitor tanda vital
 Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan
 Monitor berat badan
 Dorong pasien untuk menambah intake oral
 Pemberian cairan IV
 monitor tanda gagal ginjal
5) Diagnosa V
PK: Hipoglikemia
a) Manajemen hipoglikemia
 Monitor tingkat gula darah sesuai indikasi
 Monitor tanda dan gejala hipoglikemi ; kadar gula
darah < 70 mg/dl, kulit dingin, lembab pucat,
tachikardi, peka rangsang, gelisah, tidak sadar ,
bingung, ngantuk.
 Jika klien dapat menelan berikan jus jeruk / sejenis
jahe setiap 15 menit sampai kadar gula darah > 69
mg/dl
 Berikan glukosa 50 % dalam IV sesuai protokol
 K/P kolaborasi dengan ahli gizi untuk dietnya.
6) Diagnosa VI
PK: Hiperglikemi
a) Managemen Hiperglikemia
 Monitor GDR sesuai indikasi
 Monitor tanda dan gejala diabetik ketoasidosis ; gula
darah > 300 mg/dl, pernafasan bau aseton, sakit
kepala, pernafasan kusmaul, anoreksia, mual dan
muntah, tachikardi, TD rendah, polyuria,
33

polidypsia,poliphagia, keletihan, pandangan kabur


atau kadar Na,K,Po4 menurun.
 Monitor v/s :TD dan nadi sesuai indikasi
 Berikan insulin sesuai order
 Pertahankan akses IV
 Berikan IV fluids sesuai kebutuhan
 Konsultasi dengan dokter jika tanda dan gejala
Hiperglikemia menetap atau memburuk
 Dampingi/ Bantu ambulasi jika terjadi hipotensi
 Batasi latihan ketika gula darah >250 mg/dl
khususnya adanya keton pada urine
 Pantau jantung dan sirkulasi ( frekuensi & irama,
warna kulit, waktu pengisian kapiler, nadi perifer dan
kalium
 Anjurkan banyak minum
 Monitor status cairan I/O sesuai kebutuhan
7) Diagnosa VII
Perfusi jaringan tidak efektif b.d hipoksemia jaringan
a) Manajemen sensasi perifer
 Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka
terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
 Monitor adanya paretese
 Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika
ada lsi atau laserasi
 Gunakan sarun tangan untuk proteksi
 Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
 Monitor kemampuan BAB
 Kolaborasi pemberian analgetik
 Monitor adanya tromboplebitis
 Diskusikan menganai penyebab perubahan
34

2.9. Daftar pustaka


Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8
vol 3. Jakarta: EGC
Carpenito, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan, Aplikasi pada Praktik
Klinis, edisi 6. Jakarta: EGC
Corwin, EJ. 2009. Buku Saku Patofisiologi, 3 Edisi Revisi. Jakarta: EGC
Indriastuti, Na. 2008. Laporan Asuhan Keperawatan Pada Ny. J Dengan
Efusi Pleura dan Diabetes Mellitus Di Bougenvil 4 RSUP dr
Sardjito Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Johnson, M., et all. 2000. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second
Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta:
Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification
(NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Rab, T. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Bandung: Penerbit
PT Alumni
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-
2006. Jakarta: Prima Medika
Rena Widyawinata. 2018. Penderita Diabetes Lebih Rentan Terkena
Stroke, Benarkah? Diakses pada tanggal 3 Desember 2019
https://hellosehat.com/pusat-kesehatan/diabetes-kencing-
manis/bagaimana-stroke-akibat-diabetes-terjadi/
Shierine Wangsa Wibawa, 2017. Ada 5 Komplikasi Diabetes, Sudah Tahu
Semua?. Diakses pada tanggal 3 Desember 2019 dari
https://sains.kompas.com/read/2017/11/11/202400823/ada-5-
komplikasi-diabetes-sudah-tahu-semua-?page=all

Anda mungkin juga menyukai