Isu Agama Pemilu Thailand
Isu Agama Pemilu Thailand
Para pendukung mengangkat poster kandidat Partai Pheu Thai selama kampanye
pemilu di Bangkok, Thailand, Jumat (15/2/2019). AP Foto/Sakchai Lalit
Berpakaian serba putih, saat berkampanye di sebuah pasar di Bangkok, Sirima tidak
sendirian. Ia ditemani Boonyatilert Sara, mantan biksu berusia 45.
Ini adalah fenomena baru di Thailand. Dalam laporan jurnalis Panu Wongcha-um
untuk Reuters, hajatan demokrasi Thailand diwarnai kemunculan partai yang
mengusung sentimen agama. Mereka mengobarkan kampanye bahwa eksistensi
Buddha sebagai agama mayoritas di Thailand sedang terancam dan mengajak para
pendukungnya untuk mencegah itu.
"Agama Buddha telah membusuk di negara ini," kata salah seorang pendukung
Pandin Dharma, Yuttana Suksa-ard, 66 tahun. "Partai seperti ini dapat membantu
memurnikan agama."
Para pendukung Pandin Dharma percaya bahwa hari-hari ini Thailand sedang
dipimpin otoritas sekuler yang terus memusuhi agama Buddha dan
mengkriminalisasi para biksu.
"Para biksu menghadapi tangan besi negara," keluh mantan biksu Korn Medee, 47,
yang sekaligus pemimpin Partai Pandin Dharma.
Mereka menganggap pemerintah saat ini lebih peduli terhadap umat Islam yang
cuma minoritas di Thailand dibanding mayoritas Buddha. "Pemerintah secara
terang-terangan lebih menyukai agama lain (Islam) daripada agama Buddha," imbuh
Korn.
Penduduk Thailand per tahun 2018 berjumlah lebih dari 68 juta jiwa. Sebesar 94,6
persen penduduknya memeluk Buddha. Buddhisme eksis di tanah Thailand sejak
ribuan tahun lalu. Tidak heran, agama ini banyak menopang aspek kehidupan dan
budaya masyarakat.
Agama terbesar kedua adalah Islam yang membentuk proporsi 4,3 persen, disusul
Kristen sebesar 1 persen.
Masalah Politik Thailand Suburkan Perdagangan
Manusia
Reuters, CNN Indonesia | Kamis, 21/05/2015 20:26 WIB
Bagikan :
Ratusan manusia perahu ditarik ke daratan Aceh sementara ribuan lainnya masih terkatung-katung di laut.
(Antara/Rony Muharman)
“Lihat Thailand tahun lalu. Ada kudeta dan sebelumnya muncul masalah politik
selama bertahun-tahun,” kata Jenderal Aek Angsananont, wakil kepala kepolisian
nasional Thailand, kepada Reuters.
“Dari mana polisi yang dikerahkan itu? Mereka datang dari daerah untuk membantu
Bangkok. Kami tidak memiliki sumber daya untuk mengatasi masalah perdagangan
manusia.
Aek mengatakan belum menemukan bukti keterlibatan militer dalam kasus tersebut.
“Saya belum menemukan bukti hal ini melibatkan militer. Tetapi saya tegaskan
bahwa sepenting apapun orangnya, kami akan menangkap mereka.”
Polisi belum menemukan bukti yang menghubungkan para tersangka dengan lebih
dari 30 jenazah yang ditemukan di kamp perdagangan manusia di dekat perbatasan
Malaysia bulan lalu.
Tahun lalu, status Thailand dan Malaysia di Daftar Perdagangan Manusia tahunan
yang diterbitkan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat diturunkan ke kategori
paling rendah. Daftar ini berisi penilaian kinerja negara-negara di dunia dalam
memerangi perdagangan manusia. (yns)