atas ’kolonialisme internal di Thailand. Disparitas ekonomi antara pusat dan provinsi di pinggiran
menimbulkan tumbuhnya semangat ’separatisme’, atau istilah Brown ’separatisme etnis’ yang terjadi
di Selatan, Utara dan Timur Laut.
Masing-masing melibatkan melayu Muslim di Selatan, etnis perbukitan di Utara, dan orang Isan di
Timur Laut. Identitas Muslim Melayu di Selatan, masyarakat komunis di Utara secara jelas berbeda
dengan mayoritas Thai-Buddha, sedangkan di Timur Laut hanya berbeda etnis, yaitu kelompok Laos-
Thai, meskipun agama sama.
Disparitas ini memang sangat mencolok, pada tahun 1983, jauh sebelum krisis moneter yang bermula
di Thailand, Kota Metropolis Bangkok memiliki pendapatan per kapita, 51.441 bath, sementara
Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan 97 Selatan, 16.148 bath, tiga kali lipat
lebih rendah dibandingkan Bangkok, sementara di bagian Utara, 12.441 bath dan wilayah Timur Laut,
7.146 bath.
Disparitas ini menimbulkan kekecewaan, kecemburuan dan rasatidak adil yang kemudian berakibat
pada keinginan masyarakat untuk mengatur mereka sendiri (otonomi, dan merdeka).
Dua puluh empat tahun kemudian, kesenjangan inipun semakin lebar, karena pemerintah menaruh
curiga atas tumbuhnya kekuatan masyarakat di wilayah ini, dan pembangunan tidak diprioritaskan.
Disparitas memiliki konsekuensi yang mendalam diluar aspek ekonomi, yaitu lambatnya peningkatan
sumberdaya manusia, pendidikan yang tidak merata, dan tekanan kebijakan berbasis keamanan yang
mengancam masyarakat.
Masyarakat serasa tidak di ’rumah’ mereka sendiri. Kesenjangan ini pula yang menurunkan tingkat
nasionalisme masyarakat diluar mayoritas Thai-Buddha. Perbedaan yang mencolok antara Melayu
Muslim di Selatan dan Buddha-Thai di seluruh wilayah Thailand dilihat oleh Ted Robert Gurr tidak pada
keragaman etnisitasnya, tetapi lebih pada agamanya. Muslim di Selatan Thailand dan Buddha dianut
hampir diseluruh Thailand.
Negara dengan penduduk multi agama dan multietnik mendapat tantangan besar bagaimana
menyatukan mereka dalam payung satu nasionalisme. Apalagi beberapa etnik atau agama telah
tumbuh dalam satu kekuatan dinamis selama ratusan tahun.
Sebagian gerakan separatisme muncul dari satu etnik atau agama yang mendapat kebijakan
’diskriminatif’ dari pemerintah pusat.
Kebijakan ini diciptakan untuk meredam menguatnya identitas lokal sehingga pemerintah pusat
merasa terancam, atau sengaja dibuat untuk tujuan ’integrasi nasional’. Antara 1947 hingga 1953,
beberapa negara baru di Asia Tenggara mendapat letupan kelompok yang menuntut ’otonomi khusus’
atau ’pemisahan diri’ dari pemerintah pusat.
Dua negara yang belum berhasil ’menaklukkan’ kelompok ini diantaranya Thailand Selatan dan
Filipina.yang kebetulan sama-sama Muslim minoritas ditengah mayoritas Buddha di Thailand dan
Kristen di Filipina. Sementara Islam menyebar ke berbagai negara di Asia Tenggara, diantaranya ke
Thailand Selatan, atau dikenal dengan sebutan Muslim Patani, atau secara resmi di Thailand, Islam
Pattani.
Tulisan ini akan mengupas dinamika Islam di Thailand Selatan dari aspek etnisitas (sosial) dan
keamanan. Fokus utama pada perkembangan Muslim Pattani antara 2004 hingga Mei 2007. Periode ini
sangat urgen tidak hanya karena banyaknya korban dalam kurun waktu ini, setidaknya 2000 korban
meninggal, tetapi juga karena pemerintah Thailand mulai serius membicarakan upaya rekonsiliasi
dengan mengacu pada integrasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke Indonesia.
Perdamaian Aceh menjadi model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan.Identitas lokal
di Thailand Selatan lebih dekat dengan Kelantan dan Kedah, Malaysia. Masyarakat secara tradisional
lebih at home menggunakan bahasa Melayu dibandingkan bahasa Thai yang digalakkan oleh
pemerintah pusat sebagai bahasa resmi negara. Keterpaksaan masyarakat Melayu Muslim di Thailand
Selatan dirasakan selama puluhan tahun, sejak integrasi Melayu di selatan Thailand menjadi bagian
dari Kerajaan Thailand.
Penggunakan bahasa Thai wajib digunakan di kantor kerajaan, pemerintah, sekolah dan media. Radio,
TV dan media cetak harus menggunakan bahasa Thai sebagai medium pemberitaan. Media elektronik,
khususnya radio lokal hanya Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan 99
diperbolehkan menggunakan bahasa Melayu tidak lebih dari 20 persen keseluruhan programnya.
Strategi pemerintah Thailand memang membuahkan hasil. Dalam waktu sekitar 50 tahun, banyak
generasi muda Melayu Muslim lebih suka berbahasa Thai dibandingkan bahasa Melayu, baik di sekolah
maupun dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi mereka ’dipaksa’ keluarga untuk berbicara dalam bahasa
Melayu ketika mereka berkumpul dilingkungan keluarga.
Upaya menjaga ’tradisi nenek moyang’ menjadi bagian dari identitas terkuat bagi keluarga Muslim
Melayu di Thailand Selatan yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat Thai lainnya. Mereka
menyadari bahwa niat memisahkan diri dari pemerintah Kerajaan Thailand hanyalah suatu mimpi
lama, yang kini harus ditinggalkan.
Terintegrasi dengan Thailand, bersaing dengan mayoritas masyarakat etnis Thai yang Buddis adalah
pilihan saat ini. Strategi yang perlu dibangun adalah memajukan pendidikan, mendukung
pembangunan nasional, dan menjaga stabilitas lokal.
Hal yang terakhir masih menjadi kendala bagi penciptaan perdamaian di wilayah selatan. Berbagai
teror, pembunuhan dan pengeboman sering terjadi dalam tiga tahun terakhir, dengan jumlah
meninggal settidaknya 2000 orang, sejak Januari 2004. Anehnya, belum ditemukan kelompok yang
bertanggung jawab dalam kerusuhan ini.
Ketika terjadi penyerangan atau pembunuhan yang melibatkan korban tentara, polisi atau masyarakat
Buddha, yang dituduh adalah Muslim. Bahkan Thaksin menyebut istilah mereka ’Bandit Muslim’.
Istilah yang menodai perasaan Muslim Melayu di selatan, karena pencitraan telah sengaja diciptakan
oleh pemerintah, tanpa melihat lebih obyektif siapa yang terlibat.
Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen. Mayoritas
Muslim tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari total penduduk,
khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand
Selatan.
Tradisi Muslim di wilayah ini mengakar 100 Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand
Selatan sejak kerajaan Sri Vijaya yang menguasai wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand Selatan.
Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla, dengan
total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002). Mayoritas penduduk Muslim
terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun, yaitu sekitar 71% diperkotaan, dan
86 % di pedesaan (YCCI, 2006: 34), sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan
76.6 % Buddha.
Sementara mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu, ratarata 70 persen berada di tiga provinsi:
Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat,
0.3 %, Pattani, 1.0 %, dan Yala, 3.0 % (Sensus Penduduk, Thailand, 2000).
Mengenai masuknya Islam ke Thailand, ada yang mengatakan Islam masuk ke Thailand pada abad
ke-10 melalui para pedgang dari Arab dan ada yang mengatakan Islam masum ke Thailand melalui
Kerajaan Samudra Pasai di Aceh.
Dahulu, ketika Kerajaan Samudera Pasai ditaklukkan oleh Thailand, banyak orang-orang Islam yang
ditawan, kemudian di bawa ke Thailand. Para tawanan itu akan dibebaskan apabila telah membayar
uang tebusan. Kemudian para tawanan yang telah bebas itu ada yang kembali ke Indonesia dan ada
pula yang menetap di Thailand dan menyebarkan agama Islam.
Wilayah Thailand yang dihuni oleh orang-orang Islam adalah wilayah bagian selatan yang berbatasan
langsung dengan Malaysia. Muslim di Thailand merupakan golongan minoritas, karena mayoritas
penduduknya beragama Budha. Daerah-daerah muslim di Thailand bagian selatan adalah Pattani,
Yala, Satun, Narathiwat, dan Songkhla.
Kaum muslimin di Thailand yang terkenal dengan nama Patani memiliki perasaan kuat tentang jati
dirinya, karena daerah Patani pada awal abad ke-17 pernah menjadi salah satu pusat penyebaran
Islam di Asia Tenggara.
Pemerintah Thailand berusaha memasukkan daerah-daerah paling selatan itu ke negeri Thai. Hal ini
dilakukan pada masa Raja Chulalongkom pada tahun 1902. Patani dijuluki tempat kelahiran Islam di
Asia Tenggara. Bahkan, seorang Patani, Daud ibn Abdillah ibn Idris al-Fatani diakui sebagai seorang
ulama terkemuka mengenai ilmu-ilmu Islam di Asia Tenggara.
Daerah yang sekarang disebut Thailand selatan pada masa dahulu berupa kesultanan-kesultanan yang
merdeka dan berdaulat, diantara kesultanan yang terbesar adalah Patani. Pada abad ke empat belas
masuklah Islam ke kawasan itu, raja Patani pertama yang memeluk Islam ialah Ismailsyah. Pada
1603 kerajaan Ayuthia di Siam menyerang kerajaan Patani namun serangan itu dapat digagalkan.
Pada 1783 Siam pada masa raja Rama I Phra Culalok menyerang Patani dibantu oleh oknum-oknum
orang Patani sendiri, sultan Mahmud pun gugurlah, meriam Sri Patani dan harta kerajaan dirampas
Siam dan dibawa ke Bangkok.
Maka Tengku Lamidin diangkat sebagai wakil raja atas perintah Siam tetapi kemudian ia pun berontak
lalu dibunuh dan digantikan Dato Bangkalan tetapi ia pun memberotak pula.
Pada masa raja Phra Chulalongkorn tahun 1878.M Siam mulai mensiamisasi Patani sehingga Tengku
Din berontak dan kerajaan Patani pun dipecahlah dan unit kerajaan itu disebut Bariwen.
Sebelum peristiwa itu terjadi sesungguhnya pada 1873 M Tengku Abdulqadir Qamaruzzaman telah
menolak akan penghapusan kerajaan Patani itu. Kerajaan Patani dipecah dalam daerah-daerah kecil
Patani, Marathiwat, Saiburi, Setul dan Jala.
Pada 1909 M Inggris pun mengakui bahwa daerah-daerah itu termasuk kawasan Kerajaan Siam. Dan
pada tahun 1939 M, Nama Siam diganti dengan Muang Thai. Bahasa Siam menjadi bahasa
kebangsaan di kawasan Selatan, di sekolah-sekolah merupakan bahasa resmi, tulisan Arab Melayu
digantikan tulisan Siam yang berasal dari Palawa.
Pada 1923 M, beberapa Madrasah Islam yang dianggap ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam
harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran
Budha.
Pada saat-saat tertentu anak-anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan
kepada guru harus menyembah dengan sembah Budha. Kementrian pendidikan memutar balik
sejarah : dikatakannya bahwa orang Islam itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah di
Siam dan menjatuhkan raja.
Orang-orang Islam tidak diperbolehkan mempunyai partai politik yang berasas Islam bahkan segala
organisasi pun harus berasaskan: Kebangsaan. Pemerintah pun membentuk semacam pangkat mufti
yang dinamakan Culamantri, biasanya yang diangkat itu seorang alim yang dapat menjilat dan dapat
memutar balik ayat sehingga ia memfatwakan haram melawan kekuasaan Budha.
Pada saat-saat tertentu dipamerkan pula segala persenjataan berat, alat-alat militer. Lalu mereka
mengundang ulama Islam untuk melihat-lihat, dengan harapan akan tumbuh rasa takut untuk
berontak. Akan tetapi orang-orang yang teguh dalam keislamannya itu tetap berjuang, menegakkan
sebuah negeri yang berdaulat berasas Islam Republik Islam Patani.
Segala upacara yang sekuler dikerjakan dan Islam hanya terbatas pada adat, partai-partai pun tidak
mau berdasarkan Islam dan tetap sekuler walaupun adat agama adakalanya dibawa juga seperti
salam dan bismillah seperti tercantum dalam konstitusinya itu.
Transformasi dari loyalitas primordial ke loyalitas kepada negara dalam rangka menciptakan intergrasi
nasional biasanya merupakan agenda utama di negara-negara yang proses perwujudan gagasan
negara-negaranya belum selesai.
Agenda ini menjadi sangat pelik apabila negara bersangkutan dengan pluralitas etnis, budaya dan
agama. Berdasarkan kategori primordial itu, negara tersebut memiliki kelompok mayoritas dan
minoritas, dimana kelompok minoritas hendak dipaksa untuk diintegrasikan kedalam kelompok
mayoritas.
Karena studi ini merupakan studi agama dalam cakupan kawasan, maka Sebelum
memasuki ranah antropologi -dalam hal ini keadaan sosial-politik masyarakat muslim minoritas
di Thailand selatan- diperlukan pendekatan dan penelitian dari ranah sejarah. Pasalnya, studi
kawasan-keagamaan mempunyai cakupan yang komplek dari sebuah kultur politik, ekonomi,
bahasa, adat, sosial dll.[1]
Islam tidak serta merta ada di negeri Siam (sekarang Thailand). Meskipun Islam
merupakan agama mayoritas di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, akan tetapi Islam
merupakan agama minoritas di daratan utama asia tenggara yang telah dihuni oleh Hindu dan
Budha jauh sebelum Islam datang ke daerah tersebut sekitar abad ke-9, In mainland Southeast
Asia, however, Islam has been a minority religion and Buddhism is a national religion.
Historically the region had been dominated by Hinduism and Buddhism for centuries before the
arrival of Islam around the ninth century.[2]
Hal ini sedikit bertentangan dengan apa yang dikemukakan Azyumardi Azra dalam
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Asia Tenggara, bahwa Islam masuk di Thailand diperkirakan
pada Abad ke-10 atau ke-11.di kawasan Thailand selatan atau tepatnya di daerah Pattani.
Islampun masuk ke daerah kerajaan Pattani melalui pedagang-pedagang muslim dari Arab dan
Indiakarena daerah Pattani merupakan daerah yang maju dan strategis untuk disinggahi. yang
mana mereka disebut sebagai khek Islam atau orang muslim sebelum kerajaan Siam (Thailand)
dibentuk. Karena pada awalnya, Pattani merupakan daerah yang terpisah dari Siam (saat ini
Thailand), Muslims have been in Thailand since before the formation of the Thai kingdoms in the
ninth century.
Pada mulanya, Pattani sendiri merupakan kerajaan yang terletak di sebelah selatan
Thailand dengan mayoritas penduduk melayu yang dipimpin oleh penguasa muslim yang
bernama Sulaiman.Siam pada waktu itu berusaha untuk menguasai Pattani dengan mengirimkan
pasukannya berkali kali akan tetapi selalu gagal. Hingga pada pemerintahan Sultan Muzhaffar,
Pattani menuju zaman keemasannyasehinnga menarik ketamakan Siam untuk kembali meguasaii
Pattani dan akhirnya dapat menguasainya setelah perang bertahun tahun.
Dari sinilah permulaan pemberontakan kaum muslim Pattani untuk melepaskan diri dari
Thailand yang telah menguasainya. Pasalnya, Siam bersikap keras dan menekan kaum minoritas
muslim dengan menyuruh mengganti nama nama mereka dengan nama Thailand serta
mengambi adat istiadatnya[3]
Melayu Pattani atau yang acapkali disebut Pattani, merupakan satu dari sekian banyak
kelompok etnik Melayu di Asia Tenggara. Kelompok sosial ini bermukim di Tanah Genting Kra,
Provinsi Pattani, Thailand Selatan (Pantai Teluk Thailand). Pattani juga merupakan salah satu
nama dari empat provinsi di Thailand bagian selatan yang mayoritas penduduknya menganut
agama Islam atau sekitar 80% muslim. Di sebelah selatan, wilayah ini berbatasan langsung
dengan Malaysia bagian utara, Semenanjung Malaka, region Asia Tenggara. Sementara di bagian
utara dan barat, provinsi ini berbatasan langsung dengan Provinsi Yala (Jala) dan Narathiwat
(Menara) di mana kedua provinsi ini pada masa lalu merupakan bagian dari Tanah Genting Kra
atau Pattani Raya.
Dalam presentasenya, penduduk muslim di Negeri Gajah Putih hanya sekitar 5,5% dari
keseluruhan warga negara yang mayoritas beragama Buddha (Asian Survey, Mei 1998). Dari
5,5% ini hampir seluruhnya orang Melayu Pattani yang bermukim di Provinsi Pattani. Fakta
kuantitatif tersebut menyebabkan mereka terpinggirkan secara sosial dan politik, serta
menjadikannya sebagai sukubangsa minoritas di Thailand. Karena hal itu pula, hingga kini,
masih saja muncul gerakan-gerakan perlawanan terhadap negara (penguasa) dari orang Pattani.
Salah satunya ialah gerakan separatis masyarakat Pattani yang dikenal dengan dar al-Islam.[16]
Bila menilik dari sejarahnya, sejak abad ke-11 M hingga tahun 1786, Kerajaan Pattani
Raya merupakan sebuah kerajaan dengan wilayah kekuasaan yang cukup luas, kira-kira luasnya
setara dengan luas wilayah negara Thailand saat ini plus beberapa area yang kini termasuk
teritori Malaysia Utara. Pada masa kejayaan Sriwijaya di Nusantara, Pattani dan kerajaan-
kerajaan kecil lainnya yang terdapat di daerah Semenanjung Melayu dan Sumatra sempat berada
dalam kekuasaan imperium Sriwijaya. Dari abad ke-7 M hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya
menguasai jalur pedagangan di Selat Malaka, dan menarik pajak dari para pedagang yang
melintasi dan berdagang di kawasan itu.
Nama Pattani sesungguhnya baru muncul di sekitar abad ke-14 M. Sebelum itu, tanah
Pattani adalah hak milik dari kerajaan yang bernama Langkasuka. Langkasuka merupakan salah
satu dari puluhan kerajaan kuna di Asia Tenggara. Langkasuka berubah menjadi Pattani pada
abad ke-14 karena berbagai hal yang sifatnya politik-ekonomi, terutama lantaran kerajaan ini
berada di pusat perdagangan dan bertemunya para merkantil dari Asia dan Eropa (Syed Serajul
Islam, 1998). Pedagang Arab mulai masuk sekitar abad ke-12, dan mencapai puncaknya di abad
ke-15 melalui para pedagang Arab yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan Pattani
Raya.
Pada masa itu, pertumbuhan ekonomi Kerajaan Pattani Raya tumbuh pesat. Oleh
karenanya, interaksi semakin intens antara raja Pattani dan masyarakatnya dengan para pedagang
yang berlabuh tadi, maka pada abad ke-15 raja Pattani mendeklarasikan bahwa dirinya—yang
juga diikuti masyarakatnya—memeluk Islam. Sejak itu, Pattani dikenal sebagai masyarakat
berbasis Islam dengan corak budaya, organisasi sosial masyarakatnya, dan institusi pemerintahan
yang tentu berlainan dengan model Kerajaan Langkasuka yang berkiblat pada Hindu-Buddha.
Di awal abad ke-20, ketika Perang Dunia II meletus, bangsa Siam berpihak pada Jepang
untuk menentang kependudukan Inggris. Sementara itu, Tengku Mahmud Muhyiddin, salah
seorang putera mantan raja Pattani, berdinas dalam ketentaraan Inggris dengan pangkat mayor. Ia
kemudian membujuk penguasa kolonial Inggris yang berkantor di India agar mengambil alih
Pattani dan menggabungkannya dengan Semenanjung Melayu. Pada 1 November 1945,
sekumpulan tokoh Pattani dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil menyampaikan petisi pada Inggris
agar empat wilayah di daerah selatan Siam dibebaskan dari kekuasaan Siam dan digabungkan
dengan Semenanjung Melayu.
Dalam perkembangannya, ternyata Inggris tetap mengutamakan kepentingan dirinya
sendiri sebagai tolok ukur dalam mengambil keputusan. Dengan alasan tergantung pada pasokan
beras dari Siam, maka kemudian Inggris memilih tetap mendukung pendudukan Siam atas
Pattani. Pada tahun 1909 M, Inggris dan Siam menandatangani perjanjian yang berisi pengakuan
Inggris terhadap kekuasaan Siam di Pattani. Dalam perjanjian itu, dijelaskan secara tegas
mengenai batas wilayah kerajaan Siam dan Semenanjung Melayu. Garis batas yang disepakati
dalam perjanjian tersebut sekarang menjadi daerah batas Malaysia dan Thailand.
Dari semua itu, sejarah panjang rakyat Pattani kerap diwarnai dengan perang dan damai;
dua keadaan ini datang silih berganti. Namun, apapun kondisinya, ternyata rakyat Pattani tetap
memiliki kehidupan sosial budaya yang tidak jauh berbeda dengan kawasan Melayu lainnya. Di
Pattani, ternyata juga berkembang berbagai pertunjukan dan permainan rakyat, seperti Makyong,
mengarak burung, wayang kulit Melayu, dan seni musik nobat.
Bahkan, permainan tradisional masyarakat Siam, yaitu menora, juga digemari oleh
masyarakat muslim Pattani. Dalam permainan menora, terdapat unsur ritual, nyanyian, tarian dan
lakon. Berkaitan dengan alat-alat musik, yang berkembang luas di masyarakat adalah serunai,
nafiri, dan rebab. Sebagai bangsa yang hidup di dalam kuasa bangsa Siam, di Pattani tetap
muncul suatu perlawanan. Perlawanan tersebut terefleksi dalam nyanyian rakyat ketika
menidurkan anak (lagu dodoi).
Tradisi Muslim di wilayah ini mengakar sejak kerajaan Sri Vijaya yang menguasai
wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand Selatan. Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi:
Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla. Songkhla adalah provinsi terbesar di Thailand
Selatan, yang memiliki bandara Internasional, dan sebagai pusat perdangangan di Selatan.
Masyarakat Buddha etnis Thai kebanyakan tinggal di perkotaan. Meskipun mereka minoritas di
Selatan, mereka termasuk kelompok ekonomi menengah, sebagai pegawai pemerintahan dan
atau pengusaha.[17]
Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan
Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002).
Mayoritas penduduk Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun,
yaitu sekitar 71% di perkotaan, dan 86 % di pedesaan (YCCI, 2006: 34), sedangkan di Songkhla,
Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan 76.6 % Buddha. Sementara mayoritas penduduk yang
berbahasa Melayu, rata- rata 70 persen berada di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat,
sementara penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0 %,
dan Yala, 3.0 % .[18]
Sejak 1906, sesuai dengan perjanjian Inggris-Siam secara resmi mengambil alih negara-
negara di Melayu Utara: Pattani, Narathiwat, Songkhla, Satun dan Yala, yang kemudian menjadi
provinsi di Thailand. Sementara negara di Melayu utara yang lain: Kedah, Kelantan, Perlis dan
Terengganu oleh Inggris dimasukkan sebagai bagian dari Malaysia (Yusuf, 2006: 170).
Sejak penyatuan kelima negara di wilayah Melayu Utara ke dalam bagian dari Thailand,
terjadi benturan budaya antara Muslim Melayu dan Buddis Thailand. Pada awal pemerintahan
Thailand yang dikuasai oleh tentara Jenderal Luang Pibulsongkram, yang memimpin 1938-1944,
Marshal Sarit Thanarat, 1958-1963 dan pemimpin jenderal lainnya, kebijakan nasionalisme
budaya Thailand menjadi kebijakan utama. Thaisasi – upaya penggunaan budaya dan bahasa
Thai- secara kuat di seluruh Thailand, termasuk wilayah Selatan, membuat benturan budaya yang
keras, yang menimbulkan resistensi sangat kuat bagi Muslim Melayu di Thailand Selatan. Dua
peristiwa yang mengenaskan pada tahun 2004 sangat menarik perhatian semua pihak baik di
Thailand maupun di luar Thailand.
Muslim di Tailand Selatan memiliki identitas etnis dan agama yang berbeda dengan
mayoritas penduduk (dan juga pemerintah) Thailand. Muslim memiliki bahasa Melayu dan
beragama Islam, dua identitas budaya dan agama yang menjadi bagian dari Bangsa Patani.
Mereka selama ratusan tahun terbentuk dalam Kerajaan Islam Patani. Kuatnya identitas lokal
keislaman dan kemelayuan ini mendorong banyak intelektual Thailand untuk menggagas status
otonomi Thailand Selatan, khususnya di tiga provinsi: Patani, Yala dan Narathiwat, atau dalam
banyak istilah sejarah ketiga provinsi ini disebut Muslim Patani (Yusuf dan Schmidt, 2006).
Identitas ini sangat dekat dengan etnisitas Aceh yang tidak sekedar memiliki status
Daerah Istimewa, tetapi otonomi khusus dengan peran dan hak lebih besar bagi pemerintah lokal
atas kekayaan sumber daya alam. Otonomi luas barangkali solusi bagi Muslim Patani untuk
menentukan arah ekonomi dan politik wilayahnya di bawah kekuasaan pemerintah pusat
Thailand. Tetapi ide otonomi nampaknya belum menjadi agenda pemerintah pusat. Seandainya
wacana dimunculkan kalangan intelektual, muncul banyak kekhawatiran atas sikap tanggapan
yang tidak fair dan berlebihan bahwa otonomi bisa dijadikan jembatan menuju kemerdekaan.
Kaum Muslim di Thailand sendiri terpecah menjadi empat kelompok, yaitu :
kelompok Chularajmontri (kepala kantor masyarakat), kelompok modernis yang menerbitkan
jurnal al-jihad, kelompok ortodok yang menerbitkan jurnal Rabithah, dan kelompok muslim
melayu yang menentang kelompok Chularajmontri, namun menolak dikatakan sebagai rival
kelompok Al-jihad dan Al-rabithah.
Namun, meskipun terpecah-pecah, mereka tetap sama-sama memiliki komitmen terhadap
kemajuan islam di Muangthai.[19]
Sejak 1906, sesuai dengan perjanjian Inggris-Siam secara resmi mengambil alih negara-
negara di Melayu Utara: Pattani, Narathiwat, Songkhla, Satun dan Yala yang kemudian menjadi
provinsi di Thailand. Minoritas Muslim yang hidup di Thailand menghadapi masalah yang sama
dengan bangsa Moro di Filipina. Problem yang dihadapi kaum Muslim Thailand dan Filipina
adalah problem kelompok minoritas yang harus hidup berdampingan secara damai dengan non-
Muslim dalam negara yang sama.
Persoalan integrasi dan asimilasi di satu sisi serta bagaimana melestarikan nilai-nilai budaya
dan agama adalah persoalan mendasar bagi kedua kelompok minoritas Muslim di dua negara ini.
Kebijakan pemerintah yang memaksakan asimilasi dan integrasi –dalam perspektif masyarakat
Muslim di kedua negara itu- dipandang tidak adil, karena dapat membahayakan dan
menghilangkan identitas mereka sebagai Melayu dan Muslim. Andaikan mereka dapat memilih,
mereka nampaknya akan memilih menyatu dengan negara Malaysia atau memisahkan diri
menjadi negara tersendiri. Karena itu, kebijakan integrasi dan asimilasi pemerintah mendapat
respon yang keras dari minoritas Muslim di kesua negara itu dan telah melahirkan konflik
bersenjata antara kelompok minoritas dan pemerintah. [20]
Derita yang dialami masyarakat muslim di Thailand Selatan yang sebagai minoritas ini
adalah akibat dari pembatasan ruang gerak mereka untuk memperoleh hak-haknya dalam bidang
ekonomi, politik, dan keagamaan. Juga karena problematika klasik yang telah berlangsung lama
yang menyalahi keyakinan dan nilai-nilai keislamannya[23].
Sebenarnya, Muslim Thailand lebih memilih untuk memisahkan diri dari kerajaan
Muangtha atau bergabung dengan Malaysia, meskipun berada di bawah pemerintahan Inggris,
karena dengan begitu mereka dapat hidup bersama dengan masyarakat yang seagama, sebahasa,
sebudaya dan sebangsa. Kaum Muslim Thailand terkesan cenderung mengisolasi diri, hal itu
karena kesulitan beradaptasi. Pertama, karena kebanyakan mereka (terutama yang tinggal di
daerah rural seperti Pattani, Yala dan Narthiwat) hanya dapat berbicara sedikit bahasa Thai atau
tidak bisa sama sekali. Ini membuat mereka tidak mampu berkomunikasi dengan kaum China
dan Thai Buddha. Perdamaian Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi model upaya perdamaian
dan rekonsiliasi di Thailand Selatan
Kedua, berdasarkan keyakinan agama, kaum Muslim Thailand secara militan menolak
prilaku sosial yang berkaitan dengan kedua kelompok tersebut. Selain itu, proses isolasi terhadap
kamu muslim Thai, sebagian disebabkan oleh self impossed, sebagian juga disebabkan oleh
tekanan orientasi komunikasi media. Banyak Media komunikasi seperti televisi lokal dan
beberapa stasiun radio di wilayah tersebut khusus untuk melayani pemirsanative speaking Thai.
Informasi-informasi yang disiarkan banyak menggunakan bahasa Thai dan memfokuskan diri
pada soal-soal yang menjadi kepentingan populus Thai Buddhis dan China. Lebih dari itu surat
kabar juga dicetak dalam huruf dan bahasa Thai, kecuali koran lokal, ada kolom yang
menggunakan bahasa Melayu. Kebananyakan muslim Thai justru mendengarkan siaran atau
membaca koran yang datang dari negara tetangga dekatnya, Malaysia.
Mereka lebih banyak melakukan kegiatan dalam segala hal menurut aturan negara
tetangga mereka, yaitu Malaysia. Mulai dari bahasa komunikasi hingga tata cara beradab mereka
semua berdasarkan adat melayu. Singkatnya, meskipun mereka berada berdiam di Tahiland tapi
mereka lebih sering menggunakan bahasa Melayu. Selain itu, mereka juga terbiasa hidup
berdampingan dengan kaum sesama Muslim dari Malaysia karena mereka lebih nyaman
berinteraksi dengan sesama umat Islam. Oleh karena itu, tidak heran jika mereka lebih fasi
berbicara bahasa melayu ketimbang bahasa negara mereka sendiri.
Adanya banyak kesenjangan sosial yang masih berlanjut antara kaum Muslim Thai dan
kaum Buddhis Thai, mengakibatkan kaum muslim Thai yang tinggal di Selatan Thailand merasa
tidak puas dengan kebijakan pemerintah dan pengaturan administrasi di wilayah “tanah tumpah
darah mereka”.
Perasaan diasingkan dan ketidakpuasaan semakin kuat dirasakan ketika kaum bangsawan
Patani dicopot dari semua kekuasaannya, dan semua jabatan yang dulu mereka pegang dialihkan
kepada birokrat dari Bangkok atau provinsi-provinsi Utara, yang memiliki Bahasa, Agama, dan
Budaya yang berbeda dengan masyarakat muslim Patani.[24]
Namun petisi ini akhirnya ditolak oleh pemerintah dan Haji Sulong kemudian ditangkap
dan ditahan selama 7 tahun . Namun demikian dibebaskan pada setelah mendekam dipenjara
selama 3 setengah tahun.
Adanya sikap ketidakpuaasaan serta pertentangan yang secara terbuka oleh kaum Muslim
Thai kepada pemerintah, membuat pemerintah mengatur ulang sistem birokrasi mereka dan
berusaha mengubah kebijakan ekstrem yang sebelumnya dipaksakan menjadi lebih fleksibel
sehingga bisa merangkul umat Muslim seperti memberikan kebebasan kepada minoritas muslim
untuk menjalankan agamanya.
Selain itu, pemerintah juga berusaha menarik perhatian kaum Muslim Muangthai dengan
menjadikan hari Jum’at sebagai hari libur sekolah, membantu biaya pembangunan mesjid,
memberlakukan hukum Islam, memperkenalkan bahasa dan budaya Melayu sebagai mata
pelajaran di Sekolah Menengah.
Kebijakan ini berhasil membuat kaum Muslim Thai sedikit demi sedikit mau membuka
diri terhadap pemerintah Thailand dan menggandeng saudaranya sesama muslim untuk lebih
bereran aktif dalam pembangunan nasional di Muangthai. Namun beberapa kebijakan di atas
tidak pernah dipelihara dan dilaksanakan secara konsisten.
Dalam rangka mewujudkan cita-citanya, baik pemisahan diri dari pemerintahaan
Muangthai maupun otonomi penuh, minoritas Muslim membangun beberapa kelompok
organisasi politik seperti Pattani United Liberation Organization(PULO), Barisan Nasional
Pembebasan Patani (BNPP), Barisan Revolusi Nasional.
Kelima, kebijakan pemerintah Thailand, terutama dalam hal bahasa dan pendidikan yang
diasumsikan olehMelayu Muslim di Selatan Thailand sebagai bentuk penjajahan terhadap asal
kebudayaanmereka. Mereka melihat bahasa Thailand di wilayah mereka sebagai sebuah
ancaman.Ada suatu kekhawatiran bahwa penggunaan bahasa Thailand akan membawa
merekakehilangan “lidah” Melayu yang merupakan inti dari identitas etnis Melayu.Faktor-faktor
inilah yang menyebabkan masyarakat Melayu-Muslim di Thailand bersikap sangat resisten
terhadap kebijakan asimilasi tersebut. Hal ini sesuai dengan apayang disebut Castells sebagai
resistant identity.
Melayu-Muslim di Thailand merasa bahwa kebijakan asimilasi yang diinginkan Phibul
Songkram merupakan suatu bentuk marjinalisasi etnis Melayu-Muslim.
Di tahun 1940, kebijakan ini memprovokasi suatu gerakan separatis untuk kemerdekaan
Pattani. Pada tahun 1948, Gabungan Melayu Pattani Raya (Union of Malayfor a Great
Pattani) dibentuk. Dilanjutkan dengan pembentukan Barisan NasionalPembebasan Pattani di
tahun 1963 yang menyebabkan bentrokan antara pemberontak dengan pasukan pengamanan.
Pemberontakan ini terjadi di hampir seluruh provinsi diThailand Selatan. Di pertengahan tahun
1970, lebih dari 20 organisasi separatis muncul di perbatasan Thailand dengan
Malaysia.Gerakan-gerakan ini merupakan gerakan emonasionalisme yang seperti telah dikatakan
Umberto Melotti merujuk pada tipe khususnasionalisme dan terkait dengan warga negara yang
masih memimpikan kemerdekaan.
I. Kehidupan Keberagamaan
Ummat Islam di Thailand tidak seberuntung seperti Ummat Islam di Malaysia yang mana
hampir semua sarana da’wah seperti masjid-masjid disediakan oleh pemerintah Malaysia.
Demikian pula dengan Imam, Khotib, Bilal, dan pengurus-pengurus masjid digaji langsung oleh
pemerintah. Sarana media seperti TV maupun radio di Malaysia diberikan waktu tiap malam
untuk da’wah Islam.[34]
Kawasan Thailand bagian selatan yang merupakan basis masyarakat melayu-muslim
adalah daerah konflik agama dan persengketaan wilayah dengan latar belakang ras dan agama
yang berkepanjangan. Konflik Thailand selatan terjadi sejak diserahkannya wilayah utara
Melayu oleh pemerintah colonial Inggris kepada kerajaan Siam. Saat itu dibuatlah Traktat
Anglo-Siam yang menabut hak-hak dan martabat Muslim Pattani. Akibatnya, muncul aksi-aksi
perlawanan dan ditanggap pemerintah pusat sebagai separatisme, hingga diberlakukan darurat
militer di wilayah tersebut.[35]
Di beberapa kota pelabuhan, Islam bukanlah agama bagi komunitas perkampungan
melainkan agama para individu yang mobil yang menyatu dalam jaringan asosiasi internasional.
Dari Singapura pembaharuan Islam menyebar ke seluruh Asia Tenggara melalui perdagangan,
haji, dan melalui gerakan pelajar, guru dan sufi.[36]
Sudah pada tempatnya dunia Islam segera meyampaikan appeal kepada pemerintah
supaya elindng, menyelamatkan Ummat Islam dan memberikan persamaan hak di segala bidang
kepada mereka, termasuk hak-hak untuk beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam, hak
yang sama dengan hak-hak yang dmiliki penduduk yang beragama Budha.[37]
J. Pendidikan Di Thailand
muslim di Thailand mempunyai sejarah tersendiri yang bisa dibilang tragis dan berliku.
Mulai dari abad ke-13 dimana Agama Islam menapakkan kakinya di kerajaan Pattani dan
kemudian menjadi mayoritas di wilayah tersebut. Masyarakat muslim Thailand saat ini telah
menjadi bagian integral dari keseluruhan pemerintahan dan komunitas Thailand dari beberapa
abad yang lalu. Secara historis, kultur dan ekonomi, masyarakat minoritas muslim di Thailand
selatan telah mengalami peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu. Akan tetapi mereka
tetap berusaha menjadi bagian komunitas yang dipahami.
Hal itu berangkat daari background masyarakat muslim sendiri, yaitu komunitas
melayu Pattani yang dari awalnya berdiri sendiri dan kemudian dikuasai oleh Siam atau
Thailand. Dan saat ini, dimana modernisme merambah semua negara dan Thailand menjadi
negara demokrasi, muslim Thailand mulai dipandang positif oleh komunitas yang lainnya. Hal
ini memunculkan era baru antara muslim-pemerintah yang memberikan ruang lebih luas bagi
umat muslim Thailand merambah dunia politik dan ekonomi. Hal ini tampak dari pertumbuhan
masjid di Thailand yang berkembang pesat; Bangkok 159 masjid, Krabi 144 masjid, Narathiwat
447 masjid, Pattani 544 masjid, Yala 308 masjid, Songkhla 204 masjid, Satun 147 masjid. Dan
beberapa masjid di berbagai kota di thailand. Biarpun begitu, minoritas muslim thailand masih
jauh dari kelapangan dalam hidup. Karena mereka tetap menjadi minoritas yang mendapatkan
tekanan dan diskriminasi yang tak henti henti.
A. LATAR BELAKANG
Kedatangan Islam ke wilayah Asia Tenggara diduga karena proses perdagangan dan
bukan melalui proses penaklukan suatu wilayah, jalur perdagangan itu masyur dikenal
sebagai jalur sutra laut yang membentang dari mulai Laut Merah- Teluk Persia- Gujarat-
Bengal- Malabar-Semenanjung Malaka-hingga ke China.
Hampir terdapat umat Islam di seluruh Negara di kawasan Asia Tenggara. Terdapat
kurang lebih 6,5 juta umat Islam, atau 10% dari seluruh populasi penduduk Thailand yang
berjumlah 65 juta orang. Di Thailand, Negeri yang mayoritasnya beragama Budha.
Penduduk muslim Thailand sebagian besar berdomisili di bagian selatan Thailand, seperti
di propinsi Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan sekitarnya yang dalam sejarahnya adalah
bagian dari Daulah Islamiyyah Pattani. Dengan jumlah umat yang menjadi minoritas ini,
walau menjadi agama ke-dua terbesar setelah Bhuda, umat Islam Thailand sering
mendapat serangan dari umat Bhuda (umat Budha garis keras), intimidasi, bahkan
pembunuhan masal.
Masyarakat muslim Thailand saat ini telah menjadi bagian integral dari keseluruhan
pemerintahan dan komunitas Thailand dari beberapa abad yang lalu. Secara historis, kultur
dan ekonomi, masyarakat minoritas muslim di Thailand selatan telah mengalami
peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu. Akan tetapi mereka tetap berusaha
menjadi bagian komunitas yang dipahami.
Hal itu berangkat dari background masyarakat muslim sendiri, yaitu komunitas melayu
Pattani yang dari awalnya berdiri sendiri dan kemudian dikuasai oleh Siam atau Thailand.
Dan saat ini, dimana modernisme merambah semua negara dan Thailand menjadi negara
demokrasi, muslim Thailand mulai dipandang positif oleh komunitas yang lainnya. Hal ini
memunculkan era baru antara muslim-pemerintah yang memberikan ruang lebih luas bagi
umat muslim Thailand merambah dunia politik dan ekonomi, tampak pada pesatnya
pertumbuhan mesjid-mesjid yang terdapat di Thailand seperti ; Bangkok 159 masjid, Krabi
144 masjid, Narathiwat 447 masjid, Pattani 544 masjid, Yala 308 masjid, Songkhla 204
masjid, Satun 147 masjid. Dan beberapa masjid di berbagai kota di thailand. Walaupun
sudah banyak berdiri mesjid-mesjid di Thailand itu tidak berarti bahwa mereka
mendapatkan kelapangan hidup, karena mereka masih tetap menjadi minoritas yang terus
mendapat tekanan dan juga diskriminasi yang tak henti-hentinya. Diantaracontoh mesjid
nya: Salah satu masjid di Provinsi Surat Thani Masjid Baan Haw
B. SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE THAILAND
Thailand merupakan salah satu negara diantara negara negara di kawasan asia
tenggara. Secara geografis, kawasan asia tenggara merupakan kawasan antara benua
Australia dan daratan China, daratan India sampai laut China. dengan begitu, thailand
cukup mudah untuk dijangkau para pelancong dari zaman ke zaman untuk mencari
penghidupan maupun penyebaran agama.
Ada beberapa teori tentang masuknya Islam di Thailand. Diantaranya ada yang
mengatakan Islam masuk ke Thailand pada abad ke-10 melalui para pedagang dari Arab.
Dan ada pula yang mengatakan Islam masuk ke Thailand melalui Kerajaan Samudra Pasai
di Aceh.Jika kita melihat peta Thailand, kita akan mendapatkan daerah-daerah yang
berpenduduk muslim berada persis di sebelah Negara-negara melayu, khususnya
Malaysia. Hal ini sangat berkaitan erat dengan sejarah masuknya Islam di Thailand, “jika
dikatakan masuk”. Karena kenyataanya dalam sejarah, Islam bukan masuk Thailand, tapi
lebih dulu ada sebelum Kerajaan Thailand “ Thai Kingdom” berdiri pada abad ke-9.
Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen.
Mayoritas Muslim tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari total
penduduk, khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai
dinamika di Thailand Selatan. Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala,
Narathiwat, Satun dan Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 Mayoritas penduduk
Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun, yaitu sekitar 71%
diperkotaan, dan 86 % di pedesaan sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19 %,
minoritas, dan 76.6 % Buddha. Sementara mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu,
ratarata 70 persen berada di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara
penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0 %, dan
Yala, 3.0 % (Sensus Penduduk, Thailand, 2000).
Penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara merupakan suatu kesatuan dakwah
Islam dari Arab, masa khilafah Umar Bin Khatab” (teori arab). Entah daerah mana yang
lebih dahulu didatangi oleh utusan dakwah dari Arab. Akan tetapi secara historis, Islam
sudah menyebar di beberapa kawasan Asia Tenggara sejak lama, di Malakka, Aceh
(Nusantara), serta Malayan Peninsula termasuk daerah melayu yang berada di daerah
Siam (Thailand).
Pada tahun 1613, d’Eredia memperkirakan bahwa Patani masuk Islam sebelum Malaka
yang secara tradisional dikenal sebagai “darussalaam (tempat damai) pertama” dikawasan
itu (mills 1930:49) . Dalam penelitiannya mengenai kedatangan Islam di Indonesia G.W.J
Drewes menemukan bahwa di Trengganu, yang merupakan salah satu tetangga Patani,
agama baru itu sudah dianut secara mapan menjelang 1386 atau 1387. Dari penemuan ini
Wyatt dan Teeuw menarik kesimpulan bahwa tidak ada alasan mengapa (agama itu) belum
sampai di Patani menjelang tahun itu terutama jika diingat bahwa Patani terkenal sebagai
sebuah pusat Islam yang awal.
Pada puncak kekuasaan patani awal abad ke 17 diletakkan dasar-dasar bagi
perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Ini dimungkinkan oleh hubungan yang semakin
intensif antara negeri Arab yang merupakan pusat Islam dan Asia Tenggara yang ketika itu
pusat perdagangannya. Masa kejayaan yang sudah lampau itu dilambangkan oleh kaum
bangsawan dan hubungan kekerabatan mereka dengan keluarga Melayu dan oleh citra
Patani sebagai “tempat kelahiran Islam” dikawasan itu. Lembaga keagamaan di Patani dan
daerah sekitarnya berfungsi sebagai penghubung antara golongan elit dengan rakyat.
Kaum ulama berfungsi sebagai kekuatan yang mengabsahkan kekuasaan yang berlaku
dan dukungan mereka sifatnya menentukan bagi pemelihara daan pengguna kekuasaan
politik.
C. Kehidupan Keberagamaan
Ummat Islam di Thailand tidak seberuntung seperti Ummat Islam di Malaysia yang mana
hampir semua sarana da’wah seperti masjid-masjid disediakan oleh pemerintah Malaysia.
Demikian pula dengan Imam, Khotib, Bilal, dan pengurus-pengurus masjid digaji langsung oleh
pemerintah. Sarana media seperti TV maupun radio di Malaysia diberikan waktu tiap malam
untuk da’wah Islam.[14]
kawasan Thailand bagian selatan yang merupakan basis masyarakat melayu-muslim
adalah daerah konflik agama dan persengketaan wilayah dengan latar belakang ras dan agama
yang berkepanjangan. Konflik Thailand selatan terjadi sejak diserahkannya wilayah utara
Melayu oleh pemerintah colonial Inggris kepada kerajaan Siam. Saat itu dibuatlah Traktat
Anglo-Siam yang menabut hak-hak dan martabat Muslim Pattani. Akibatnya, muncul aksi-aksi
perlawanan dan ditanggap pemerintah pusat sebagai separatisme, hingga diberlakukan darurat
militer di wilayah tersebut.[15]
Di beberapa kota pelabuhan, Islam bukanlah agama bagi komunitas perkampungan
melainkan agama para individu yang mobil yang menyatu dalam jaringan asosiasi internasional.
Dari Singapura pembaharuan Islam menyebar ke seluruh Asia Tenggara melalui perdagangan,
haji, dan melalui gerakan pelajar, guru dan sufi.[16]
Sudah pada tempatnya dunia Islam segera meyampaikan appeal kepada pemerintah
supaya elindng, menyelamatkan Ummat Islam dan memberikan persamaan hak di segala bidang
kepada mereka, termasuk hak-hak untuk beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam, hak
yang sama dengan hak-hak yang dmiliki penduduk yang beragama Budha.[17]
D. Pendidikan di Thailand
Pendidikan yang digalakkan oleh pemerintah Kerajaan Thailand tergolong bersifat
deskriminatif terhadap Islam. Pada tahun 1923 M, beberapa Madrasah Islam yang dianggap
ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan
pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran Budha. Pada saat-saat tertentu anak-
anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan kepada guru harus
menyembah dengan sembah Budha. Kementrian pendidikan memutar balik
sejarah, dikatakannya bahwa orang Islam itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah
di Siam dan menjatuhkan raja.[18]Dampak yang menonjol dari perkembangan yang berorientasi
ke dalam hal ini. Misalnya, pada tahun 1966, sekitar 60% anak-anak di Pattani tidak dapat
berbicara bahasa nasional. Hal itu berkaitan dengan banyaknya orang tua Muslim yang lebih
senang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah agama[19]
Strategi yang perlu dibangun masyarakat muslim di Thailand Selatan pada saat ini adalah
memajukan pendidikan, mendukung pembangunan nasional, dan menjaga stabilitas local.
Namun, sampai saat inipun masyarakat muslim Pattani Thailand menghadapi diskriminasi
komplek dan teror yang berlarut-larut. Sehingga kehidupan sosial maupun politik menjadi sangat
terbatas. Akhirnya pemerintah Thailand juga belum mampu memberi pendidikan merata
terhadap kaum muslim. Tekanan berbasis keamanan selalu mengancam mereka. Kesenjangan ini
menurunkan nasionalisme mesyarakat di luar mayoritas Thai-Budha.[20]