Anda di halaman 1dari 31

David Brown secara menarik melihat gerakan Muslim di Thailand Selatan sebagai bagian dari reaksi

atas ’kolonialisme internal di Thailand. Disparitas ekonomi antara pusat dan provinsi di pinggiran
menimbulkan tumbuhnya semangat ’separatisme’, atau istilah Brown ’separatisme etnis’ yang terjadi
di Selatan, Utara dan Timur Laut.

Masing-masing melibatkan melayu Muslim di Selatan, etnis perbukitan di Utara, dan orang Isan di
Timur Laut. Identitas Muslim Melayu di Selatan, masyarakat komunis di Utara secara jelas berbeda
dengan mayoritas Thai-Buddha, sedangkan di Timur Laut hanya berbeda etnis, yaitu kelompok Laos-
Thai, meskipun agama sama.

Disparitas ini memang sangat mencolok, pada tahun 1983, jauh sebelum krisis moneter yang bermula
di Thailand, Kota Metropolis Bangkok memiliki pendapatan per kapita, 51.441 bath, sementara
Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan 97 Selatan, 16.148 bath, tiga kali lipat
lebih rendah dibandingkan Bangkok, sementara di bagian Utara, 12.441 bath dan wilayah Timur Laut,
7.146 bath.

Disparitas ini menimbulkan kekecewaan, kecemburuan dan rasatidak adil yang kemudian berakibat
pada keinginan masyarakat untuk mengatur mereka sendiri (otonomi, dan merdeka).

Dua puluh empat tahun kemudian, kesenjangan inipun semakin lebar, karena pemerintah menaruh
curiga atas tumbuhnya kekuatan masyarakat di wilayah ini, dan pembangunan tidak diprioritaskan.

Disparitas memiliki konsekuensi yang mendalam diluar aspek ekonomi, yaitu lambatnya peningkatan
sumberdaya manusia, pendidikan yang tidak merata, dan tekanan kebijakan berbasis keamanan yang
mengancam masyarakat.

Masyarakat serasa tidak di ’rumah’ mereka sendiri. Kesenjangan ini pula yang menurunkan tingkat
nasionalisme masyarakat diluar mayoritas Thai-Buddha. Perbedaan yang mencolok antara Melayu
Muslim di Selatan dan Buddha-Thai di seluruh wilayah Thailand dilihat oleh Ted Robert Gurr tidak pada
keragaman etnisitasnya, tetapi lebih pada agamanya. Muslim di Selatan Thailand dan Buddha dianut
hampir diseluruh Thailand.

Negara dengan penduduk multi agama dan multietnik mendapat tantangan besar bagaimana
menyatukan mereka dalam payung satu nasionalisme. Apalagi beberapa etnik atau agama telah
tumbuh dalam satu kekuatan dinamis selama ratusan tahun.

Sebagian gerakan separatisme muncul dari satu etnik atau agama yang mendapat kebijakan
’diskriminatif’ dari pemerintah pusat.

Kebijakan ini diciptakan untuk meredam menguatnya identitas lokal sehingga pemerintah pusat
merasa terancam, atau sengaja dibuat untuk tujuan ’integrasi nasional’. Antara 1947 hingga 1953,
beberapa negara baru di Asia Tenggara mendapat letupan kelompok yang menuntut ’otonomi khusus’
atau ’pemisahan diri’ dari pemerintah pusat.

Dua negara yang belum berhasil ’menaklukkan’ kelompok ini diantaranya Thailand Selatan dan
Filipina.yang kebetulan sama-sama Muslim minoritas ditengah mayoritas Buddha di Thailand dan
Kristen di Filipina. Sementara Islam menyebar ke berbagai negara di Asia Tenggara, diantaranya ke
Thailand Selatan, atau dikenal dengan sebutan Muslim Patani, atau secara resmi di Thailand, Islam
Pattani.

Tulisan ini akan mengupas dinamika Islam di Thailand Selatan dari aspek etnisitas (sosial) dan
keamanan. Fokus utama pada perkembangan Muslim Pattani antara 2004 hingga Mei 2007. Periode ini
sangat urgen tidak hanya karena banyaknya korban dalam kurun waktu ini, setidaknya 2000 korban
meninggal, tetapi juga karena pemerintah Thailand mulai serius membicarakan upaya rekonsiliasi
dengan mengacu pada integrasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke Indonesia.

Perdamaian Aceh menjadi model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan.Identitas lokal
di Thailand Selatan lebih dekat dengan Kelantan dan Kedah, Malaysia. Masyarakat secara tradisional
lebih at home menggunakan bahasa Melayu dibandingkan bahasa Thai yang digalakkan oleh
pemerintah pusat sebagai bahasa resmi negara. Keterpaksaan masyarakat Melayu Muslim di Thailand
Selatan dirasakan selama puluhan tahun, sejak integrasi Melayu di selatan Thailand menjadi bagian
dari Kerajaan Thailand.

Penggunakan bahasa Thai wajib digunakan di kantor kerajaan, pemerintah, sekolah dan media. Radio,
TV dan media cetak harus menggunakan bahasa Thai sebagai medium pemberitaan. Media elektronik,
khususnya radio lokal hanya Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand Selatan 99
diperbolehkan menggunakan bahasa Melayu tidak lebih dari 20 persen keseluruhan programnya.

Strategi pemerintah Thailand memang membuahkan hasil. Dalam waktu sekitar 50 tahun, banyak
generasi muda Melayu Muslim lebih suka berbahasa Thai dibandingkan bahasa Melayu, baik di sekolah
maupun dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi mereka ’dipaksa’ keluarga untuk berbicara dalam bahasa
Melayu ketika mereka berkumpul dilingkungan keluarga.

Upaya menjaga ’tradisi nenek moyang’ menjadi bagian dari identitas terkuat bagi keluarga Muslim
Melayu di Thailand Selatan yang berbeda dengan kebanyakan masyarakat Thai lainnya. Mereka
menyadari bahwa niat memisahkan diri dari pemerintah Kerajaan Thailand hanyalah suatu mimpi
lama, yang kini harus ditinggalkan.

Terintegrasi dengan Thailand, bersaing dengan mayoritas masyarakat etnis Thai yang Buddis adalah
pilihan saat ini. Strategi yang perlu dibangun adalah memajukan pendidikan, mendukung
pembangunan nasional, dan menjaga stabilitas lokal.

Hal yang terakhir masih menjadi kendala bagi penciptaan perdamaian di wilayah selatan. Berbagai
teror, pembunuhan dan pengeboman sering terjadi dalam tiga tahun terakhir, dengan jumlah
meninggal settidaknya 2000 orang, sejak Januari 2004. Anehnya, belum ditemukan kelompok yang
bertanggung jawab dalam kerusuhan ini.

Ketika terjadi penyerangan atau pembunuhan yang melibatkan korban tentara, polisi atau masyarakat
Buddha, yang dituduh adalah Muslim. Bahkan Thaksin menyebut istilah mereka ’Bandit Muslim’.
Istilah yang menodai perasaan Muslim Melayu di selatan, karena pencitraan telah sengaja diciptakan
oleh pemerintah, tanpa melihat lebih obyektif siapa yang terlibat.

Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen. Mayoritas
Muslim tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari total penduduk,
khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai dinamika di Thailand
Selatan.

Tradisi Muslim di wilayah ini mengakar 100 Minoritas Muslim , Konflik Dan Rekonsiliasi Di Thailand
Selatan sejak kerajaan Sri Vijaya yang menguasai wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand Selatan.

Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla, dengan
total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002). Mayoritas penduduk Muslim
terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun, yaitu sekitar 71% diperkotaan, dan
86 % di pedesaan (YCCI, 2006: 34), sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan
76.6 % Buddha.

Sementara mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu, ratarata 70 persen berada di tiga provinsi:
Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat,
0.3 %, Pattani, 1.0 %, dan Yala, 3.0 % (Sensus Penduduk, Thailand, 2000).

Mengenai masuknya Islam ke Thailand, ada yang mengatakan Islam masuk ke Thailand pada abad
ke-10 melalui para pedgang dari Arab dan ada yang mengatakan Islam masum ke Thailand melalui
Kerajaan Samudra Pasai di Aceh.

Dahulu, ketika Kerajaan Samudera Pasai ditaklukkan oleh Thailand, banyak orang-orang Islam yang
ditawan, kemudian di bawa ke Thailand. Para tawanan itu akan dibebaskan apabila telah membayar
uang tebusan. Kemudian para tawanan yang telah bebas itu ada yang kembali ke Indonesia dan ada
pula yang menetap di Thailand dan menyebarkan agama Islam.

Wilayah Thailand yang dihuni oleh orang-orang Islam adalah wilayah bagian selatan yang berbatasan
langsung dengan Malaysia. Muslim di Thailand merupakan golongan minoritas, karena mayoritas
penduduknya beragama Budha. Daerah-daerah muslim di Thailand bagian selatan adalah Pattani,
Yala, Satun, Narathiwat, dan Songkhla.

Kaum muslimin di Thailand yang terkenal dengan nama Patani memiliki perasaan kuat tentang jati
dirinya, karena daerah Patani pada awal abad ke-17 pernah menjadi salah satu pusat penyebaran
Islam di Asia Tenggara.

Pemerintah Thailand berusaha memasukkan daerah-daerah paling selatan itu ke negeri Thai. Hal ini
dilakukan pada masa Raja Chulalongkom pada tahun 1902. Patani dijuluki tempat kelahiran Islam di
Asia Tenggara. Bahkan, seorang Patani, Daud ibn Abdillah ibn Idris al-Fatani diakui sebagai seorang
ulama terkemuka mengenai ilmu-ilmu Islam di Asia Tenggara.

Daerah yang sekarang disebut Thailand selatan pada masa dahulu berupa kesultanan-kesultanan yang
merdeka dan berdaulat, diantara kesultanan yang terbesar adalah Patani. Pada abad ke empat belas
masuklah Islam ke kawasan itu, raja Patani pertama yang memeluk Islam ialah Ismailsyah. Pada
1603 kerajaan Ayuthia di Siam menyerang kerajaan Patani namun serangan itu dapat digagalkan.

Pada 1783 Siam pada masa raja Rama I Phra Culalok menyerang Patani dibantu oleh oknum-oknum
orang Patani sendiri, sultan Mahmud pun gugurlah, meriam Sri Patani dan harta kerajaan dirampas
Siam dan dibawa ke Bangkok.

Maka Tengku Lamidin diangkat sebagai wakil raja atas perintah Siam tetapi kemudian ia pun berontak
lalu dibunuh dan digantikan Dato Bangkalan tetapi ia pun memberotak pula.

Pada masa raja Phra Chulalongkorn tahun 1878.M Siam mulai mensiamisasi Patani sehingga Tengku
Din berontak dan kerajaan Patani pun dipecahlah dan unit kerajaan itu disebut Bariwen.

Sebelum peristiwa itu terjadi sesungguhnya pada 1873 M Tengku Abdulqadir Qamaruzzaman telah
menolak akan penghapusan kerajaan Patani itu. Kerajaan Patani dipecah dalam daerah-daerah kecil
Patani, Marathiwat, Saiburi, Setul dan Jala.

Pada 1909 M Inggris pun mengakui bahwa daerah-daerah itu termasuk kawasan Kerajaan Siam. Dan
pada tahun 1939 M, Nama Siam diganti dengan Muang Thai. Bahasa Siam menjadi bahasa
kebangsaan di kawasan Selatan, di sekolah-sekolah merupakan bahasa resmi, tulisan Arab Melayu
digantikan tulisan Siam yang berasal dari Palawa.

Pada 1923 M, beberapa Madrasah Islam yang dianggap ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam
harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran
Budha.

Pada saat-saat tertentu anak-anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan
kepada guru harus menyembah dengan sembah Budha. Kementrian pendidikan memutar balik
sejarah : dikatakannya bahwa orang Islam itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah di
Siam dan menjatuhkan raja.

Orang-orang Islam tidak diperbolehkan mempunyai partai politik yang berasas Islam bahkan segala
organisasi pun harus berasaskan: Kebangsaan. Pemerintah pun membentuk semacam pangkat mufti
yang dinamakan Culamantri, biasanya yang diangkat itu seorang alim yang dapat menjilat dan dapat
memutar balik ayat sehingga ia memfatwakan haram melawan kekuasaan Budha.

Pada saat-saat tertentu dipamerkan pula segala persenjataan berat, alat-alat militer. Lalu mereka
mengundang ulama Islam untuk melihat-lihat, dengan harapan akan tumbuh rasa takut untuk
berontak. Akan tetapi orang-orang yang teguh dalam keislamannya itu tetap berjuang, menegakkan
sebuah negeri yang berdaulat berasas Islam Republik Islam Patani.

Segala upacara yang sekuler dikerjakan dan Islam hanya terbatas pada adat, partai-partai pun tidak
mau berdasarkan Islam dan tetap sekuler walaupun adat agama adakalanya dibawa juga seperti
salam dan bismillah seperti tercantum dalam konstitusinya itu.

Transformasi dari loyalitas primordial ke loyalitas kepada negara dalam rangka menciptakan intergrasi
nasional biasanya merupakan agenda utama di negara-negara yang proses perwujudan gagasan
negara-negaranya belum selesai.

Agenda ini menjadi sangat pelik apabila negara bersangkutan dengan pluralitas etnis, budaya dan
agama. Berdasarkan kategori primordial itu, negara tersebut memiliki kelompok mayoritas dan
minoritas, dimana kelompok minoritas hendak dipaksa untuk diintegrasikan kedalam kelompok
mayoritas.

Sejarah masuknya Islam di Thailand selatan


  

Karena studi ini merupakan studi agama dalam cakupan kawasan, maka Sebelum
memasuki ranah antropologi -dalam hal ini keadaan sosial-politik masyarakat muslim minoritas
di Thailand selatan- diperlukan pendekatan dan penelitian dari ranah sejarah. Pasalnya, studi
kawasan-keagamaan mempunyai cakupan yang komplek dari sebuah kultur politik, ekonomi,
bahasa, adat, sosial dll.[1]
Islam tidak serta merta ada di negeri Siam (sekarang Thailand). Meskipun Islam
merupakan agama mayoritas di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, akan tetapi Islam
merupakan agama minoritas di daratan utama asia tenggara yang telah dihuni oleh Hindu dan
Budha jauh sebelum Islam datang ke daerah tersebut sekitar abad ke-9, In mainland Southeast
Asia, however, Islam has been a minority religion and Buddhism is a national religion.
Historically the region had been dominated by Hinduism and Buddhism for centuries before the
arrival of Islam around the ninth century.[2]
Hal ini sedikit bertentangan dengan apa yang dikemukakan Azyumardi Azra dalam
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Asia Tenggara, bahwa Islam masuk di Thailand diperkirakan
pada Abad ke-10 atau ke-11.di kawasan Thailand selatan atau tepatnya di daerah Pattani.
Islampun masuk ke daerah kerajaan Pattani melalui pedagang-pedagang muslim dari Arab dan
Indiakarena daerah Pattani merupakan daerah yang maju dan strategis untuk disinggahi. yang
mana mereka disebut sebagai khek Islam atau orang muslim sebelum kerajaan Siam (Thailand)
dibentuk. Karena pada awalnya, Pattani merupakan daerah yang terpisah dari Siam (saat ini
Thailand), Muslims have been in Thailand since before the formation of the Thai kingdoms in the
ninth century. 
Pada mulanya, Pattani sendiri merupakan kerajaan yang terletak di sebelah selatan
Thailand dengan mayoritas penduduk melayu yang dipimpin oleh penguasa muslim yang
bernama Sulaiman.Siam pada waktu itu berusaha untuk menguasai Pattani dengan mengirimkan
pasukannya berkali kali akan tetapi selalu gagal. Hingga pada pemerintahan Sultan Muzhaffar,
Pattani menuju zaman keemasannyasehinnga menarik ketamakan Siam untuk kembali meguasaii
Pattani dan akhirnya dapat menguasainya setelah perang bertahun tahun.
Dari sinilah permulaan pemberontakan kaum muslim Pattani untuk melepaskan diri dari
Thailand yang telah menguasainya. Pasalnya, Siam bersikap keras dan menekan kaum minoritas
muslim dengan menyuruh mengganti nama nama mereka dengan nama Thailand serta
mengambi adat istiadatnya[3]

B.                 Kehidupan Sosio-Politik Minoritas Muslim Thailand.


Pada tahun 1982 diadakan pertemuan di Malaka yang diikuti oleh utusan beberapa negara
Asia tenggara termasuk Thailand. Pada kesempatan itu, hadir 800 melayu muslim Thailand dan
terdapat beberapa lulusan Al Azhar mesir. Mereka berceramah tentang kehidupan minoritas
Muslim di Thailand. Secara geografis, umat Muslim di Thailand bertempat di empat wilayah
selatan Thailand yaitu;
1.                  Patani
2.                  Yala
3.                  Narathiwat
4.                  Satun
Dengan jumlah penduduk melayu muslim di Thailand 710.906, dan jumlah umat muslim
keseluruhan di Patani lebih dari 3 juta jiwa. Sedangkan mayoritas penduduknya beragama
Budha.[12] Kaum muslim di Thailand sendiri terbagi menjadi 2 bagian. Muslim melayu dan
muslim non-melayu. Dengan persentase 80% : 20%.[4]
Dalam tatanan sosial, muslimin Thailand mendapatkan julukan yang kurang enak untuk
didengar. Yaitu khaekyang berarti orang luar, pendatang atau tamu. Meskipun pada
mulanya khaek merupakan term untuk makro-etnis bagi orang selain Thai, tapi lama
kelamaan term tersebut dipakai pemerintah untuk mendeskripsikan kaum melayu-muslim
diselatan Thailand.[5]
Hingga istilah Thai-Islam dibuat pada 1940-an. Akan tetapi istilah ini menimbulkan
kontradiksi karena istilah “Thai” merupakan sinonim dari kata “Budha” sedangkan “Islam”
identik dengan kaum muslim melayu pada waktu itu. Jadi bagaimana mungkin seseorang
menjadi budha dan muslim pada satu waktu? Maka dari itu kaum muslim melayu lebih suka
dipanggil Malay-Islam,
‘The problem is that, while the word “Thai” is synonymous with “Buddhism”, for the Malay-
Muslims the word “Muslim” also means “Malay.” So how can they be both “Thai” and “Islam”?
The category of “Thai-Islam”, therefore, has been regarded as insensitive, if not an insult, on the
part of the Thai government by the Muslims, especially those in the South. They prefer to be
called by the historically and politically correct term Malay-Muslims’[6]
Dari problem rasial seperti di atas, timbullah pengelompokan kaum muslim di Thailand
menjadi 2 golongan.
Pertama, assimilated group. Atau golongan yang terasimilasi atau berbaur dengan kaum
mayoritas yaitu agama masyarakat Thai-Budha pada segala bidang tatanan kehidupan hanya saja
tidak sampai pada masalah keagamaan.
Kedua, unassimilated group. Atau golongan yang tidak berbaur namun menyendiri di Thailand
bagian selatan. Yang masih menunjukkan kultur melayu-Islam pada nama, bahasa dan adat.
Golongan ini bertempat tinggal di daerah Yala, Narathiwat dan Pattani. Kecuali daerah Satun
yang sudah terasimilasi dengan kelompok mayoritas Thai.
Dalam kaca mata historis, kehidupan sosio-politik kaum muslim Thailand selatan khususnya di
patani bisa dibagi menjadi tiga fase.
1.                  Fase kerajaan melayu Pattani.
Menurut A.Teeuw dan Wyatt kerajaan ini berdiri sendiri tanpa aturan dari kerajaan Siam
atau Thailand. Fase ini dimulai sekitar abad ke-14. dimana kerajaan melayu patani telah
dibentuk,
“A.Teeuw dan Wyatt berpendapat bahawa Patani telah ditubuhkan sekitar pertengahan abad ke-
14 dan ke-15. Pendapat mereka berasaskan kepada tulisan Tomes Pires dan lawatan Laksamana
Cheng Ho ke rantau ini dalam tahun 1404-1433 T.M. (Teeuw & Wyatt 1970,3). Mengikut
Hikayat Patani pula, Kerajaan Melayu Patani berasal dari kerajaan Melayu yang berpusat di Kota
Mahligai yang diperintah oleh Phya Tu Kerab Mahayana (Teeuw & Wyatt 1970,68).”[7]
Kehidupan Pattani di semenanjung Siam yang strategis menjadi tujuan pedagang-
pedagang dari berbagai penjuru dunia, sehingga menjadikan patani daratan yang ramai dan
sibuk. Sehingga dalam waktu yang singkat patani telah menjadi kerajaan yang kuat dan ramai
dari segi ekonomi maupun politik. Hubungan patani dengan luar negeri yang baik
menjadikannya selamat dari penjajahan negara Siam, Portugis dan Belanda.
Islam masuk di kerajaan Melayu-Pattani sekitar abad ke-13. historically, the muslim
presence in traditional thai polity is traceable to the 13th century in the Sukhothai era. It was,
however, during the Ayutthayant period that muslim asserted their dominan position.Nik Anuar
Nik Mahmud menambahkan bahwa Islam masuk ke kerajaan patani pada abad ke-13 dan lebih
awal dari malaka, Islam telah bertapak di Patani lebih awal daripada Melaka (Mills 1930).
Dalam hal ini, Teeuw danWyatt berkeyakinan bahawa Islam telah bertapak di Kuala Berang,
Terengganu, iaitupada sekitar 1386- 87 T.M. (Teeuw & Wyatt 1970, 4).[8]
Keadaan yang seperti ini menjadikan kerjaan melayu patani menjadi tuan para pedagang-
pedagang muslim maupun non-muslim dari belahan bumi barat dan menancapkan ajaran agama
Islam pada sekitar abad ke-13.
2.                  Fase kerajaan Melayu-Pattani dalam kekuasaan kerajaan Siam
Fase ini dibagi menjadi beberapa bagian dimana kerajaan melayu Pattani mendapatkan
hak otonomi dari kerajaan Siam sebelum tahun 1808 M. Dan lambat laun mendapat pengaruh
dari Sukhotai. bahwa muslim Pattani menjadi minoritas yang sepenuhnya diatur dibawah
kekuasaan Thailand. Hingga pada akhirnya muslim Thailand yang berada di wilayah selatan
Thailand dibagi dalam empat propinsi, Patani, Yala, Narathiwat dan Patun.[9]

3.                  Fase modern muslim Thailand selatan.


Dimana masuknya pengaruh pengaruh barat pada awal abad ke-19 telah merubah Siam
menjadi modern pada berbagai bidang, ekonomi, politik dan pendidikan. After years under
colonial rule-both direct and indirect in the case of Siam or Thailand-the society and politics of
the region had been shaped largely by modernization, including an invention of a centralized
administrative government, a modern education system and a modern economy. [10]
Hal serupa telah memberi pengaruh pada generasi muda muslim Thailand selatan yang
selama ini dalam kekuasaan Thailand dan menumbuhkan semangat nasionalisme dalam diri
mereka untuk menjadi merdeka dan berdiri sendiri dari kekangan Thailand, Thus, it can be said
that the Western impact that drove Siam to secure its independence and modernization also gave
the Malay-Muslim states an opportunity to assert its own autonomous state and religion vis-à-
vis the modernized Thai nation-state
Dimulailah perjuangan utuk menuntut kemerdekaan bagi wilayah muslim Thailand
pattani dan empat wilayah lainnya di Thailand selatan. Kesempatan untuk merdeka semakin
terbuka lebar ketika terjadi terjadi perang pasifik dengan Thailand dan Jepang melawan Britain
dan Amerika. Setelah kekalahan Britain di melayu dan kekalahan Amerika di Hawai, pada 21
Disember 1941, Pibul Songgram berpihak kepada Jepang. Sebagai imbalan, Jepang berjanji akan
menyerahkan wilayah melayu utara, Kelantan, Kedah, Trengganu dan Perlis Kepada Thailand.
Pada 25 januari 1941, Thailand mengobarkan perang melawan Britain, akan tetapi
berbeda dengan Amerika yang membiarkan kedua negara tersebut bertikai. Hal ini dimanfaatkan
oleh Pattani dan wilayah muslim Thailand selatan untuk memanfaatkan Britain membantu
mereka merdeka dari belenggu Thailand dan dipimpin oleh Tengku Muhyidin. [11]
Akan tetapi Britain mempunyai kehendak lain dibalik perseteruannya dengan Thailand
sehingga tengku Muhyidin sadar bahwasanya dirinya telah menajadi mangsa percaturan politik
Britain-Thailand.
Kegagalan tengku Muhyidin dalam membebaskan wilayah selatan Thailand telah
menggalakkan ulama muslim untuk turun berjuang di wilayah terbuka. Akan tetapi mereka sadar
bahwa keadaan politik yang ada menjadikan mereka sulit untuk mendapatkan kemerdekaan.
Lebih lebih ketika Britain dan Amerika mengakui kedaulatan Thailand pada 1 janurai 1941. Hal
ini menyisakan satu solusi bagi umat muslim di Thailand selatan, yaitu menuntut otonomi penuh
bagi empat wilayah Thailand selatan dari penguasa thailand. [12]
Kegagalan merebut kemerdekaan bagi wilalyah muslim di Thailand selatan telah
memunculkan gerakan gerakan baru yang lebih besar. Pada tahun 1950 dan seterusnya hubungan
melayu muslim Thailand selatan dengan penguasa Thailand diliputi ketidakpercayaan,
kecurigaan dan kesalahpahaman yang berlarut larut. Hal itu dikarenakan ketidak setujuan
komunitas muslim pada aturan aturan dan proses asimilasi yang dilakukan oleh pemerintah
Thailand kepada komunitas muslim,
“From the late 1950s to the present, relations between the Malay-Muslims of the South and Thai
authorities have been relatively the same. Mistrust, patronizing and misunderstanding on the part
of the government officials are still prevalent. Fear, resentment and disapproving of Thai rule
and power are also rampant among the Malay-Muslims. Similar policies aimed at integration and
assimilation of the Muslims are still being prescribed to the local offices.” 
Pada tahun 1970, diberlakukan operasi pembersihan gerakan anti-pemerintah diwilayah
muslim Thailand selatan. Keadaan menekan tersebut menimbulkan reaksi keras dari komunitas
muslim dengan bermunculannya gerakan pemberontakan dan pembebasan wilayah muslim
Thailand selatan; Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP), Barisan Revolusi Nasional
(BRN), Bertubuhan perpaduan Pembebasan Pattani (PPPP) atau PULO. Yang menjadi motor
pergerakan pembebasan muslim Pattani dan wilayah muslim lainnya.
Akan tetapi, Pergolakan menahun antara muslim minoritas dengan pemerintah, menurut
Patrick Jory, sebenarnya adalah perseteruan dua etnis, Melayu-Pattani dengan etnis “Thai”
sebagai mayoritas. Akan tetapi mengapa pada saat ini menggunakan label agama “Islam”? Masih
menurut Patrick Jory, bahwa pada masa kolonial, pemerintah berusaha untuk menghilangkan
istilah “Malay” (melayu) pada masyarakat Thailand selatan dan menggantinya menjadi “Thai-
Muslim” atau “Thai-Islam”. Karena identitas melayu akan memberikan kekuatan menumbuhkan
semangat nasionalisme dan berusaha berpisah dari pemerintah Thailand, it feared that with the
new, post-colonial logicof nation-based states, recognition of the people of the region as
“malay” might give credibility to demands for the separate malay state.[13] Dan diharapkan
dengan pergantian linguistik tersebut, gerakan asimilasi malay-muslim dengan thai-budha akan
tercapai, the government has attempted to replace it with the religious label “Thai-Muslim” in
the hope that this linguistic change would contribute to the overall goal of assimilation.[14]
Terlepas dari konflik etno-religious yang terjadi, umat muslim di Thailand selatan di
masa kontemporer ini telah mengalami peningkatan yang signifikan di berbagai bidang.
Meskipun tetap berada dalam tekanan dan diskriminasi dari pemerintah Thailand. Muslim di
thailand bukanlah komunitas baru dan juga bukan komunitas yang dipinggirkan. Maka dari itu
muslim di thailand saat ini adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Thailan secara
keseluruhan dan tetap menjadi minoritas di berbagai bidang, sosial maupun politik. The muslims
today just as the past continue to be numerically and politically significant as national minority
in modern-day Thailand. 
Muslim di Thailand mempunyai sejarah tersendiri yang bisa dibilang tragis dan berliku.
Mulai dari abad ke-13 dimana Agama Islam menapakkan kakinya di kerajaan Pattani dan
kemudian menjadi mayoritas di wilayah tersebut. Masyarakat muslim Thailand saat ini telah
menjadi bagian integral dari keseluruhan pemerintahan dan komunitas Thailand dari beberapa
abad yang lalu. Secara historis, kultur dan ekonomi, masyarakat minoritas muslim di Thailand
selatan telah mengalami peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu. Akan tetapi mereka
tetap berusaha menjadi bagian komunitas yang dipahami.
Hal itu berangkat daari background masyarakat muslim sendiri, yaitu komunitas melayu
Pattani yang dari awalnya berdiri sendiri dan kemudian dikuasai oleh Siam atau Thailand. Dan
saat ini, dimana modernisme merambah semua negara dan Thailand menjadi negara demokrasi,
muslim Thailand mulai dipandang positif oleh komunitas yang lainnya. Hal ini memunculkan era
baru antara muslim-pemerintah yang memberikan ruang lebih luas bagi umat muslim Thailand
merambah dunia politik dan ekonomi. Hal ini tampak dari pertumbuhan masjid di Thailand yang
berkembang pesat; Bangkok 159 masjid, Krabi 144 masjid, Narathiwat 447 masjid, Pattani 544
masjid, Yala 308 masjid, Songkhla 204 masjid, Satun 147 masjid.[15]Dan beberapa masjid di
berbagai kota di thailand. Biarpun begitu, minoritas muslim thailand masih jauh dari kelapangan
dalam hidup. Karena mereka tetap menjadi minoritas yang mendapatkan tekanan dan
diskriminasi yang tak henti henti. (scribd.com)

C.     Perkembangan Islam di Thailand Selatan

Melayu Pattani atau yang acapkali disebut Pattani, merupakan satu dari sekian banyak
kelompok etnik Melayu di Asia Tenggara. Kelompok sosial ini bermukim di Tanah Genting Kra,
Provinsi Pattani, Thailand Selatan (Pantai Teluk Thailand). Pattani juga merupakan salah satu
nama dari empat provinsi di Thailand bagian selatan yang mayoritas penduduknya menganut
agama Islam atau sekitar 80% muslim. Di sebelah selatan, wilayah ini berbatasan langsung
dengan Malaysia bagian utara, Semenanjung Malaka, region Asia Tenggara. Sementara di bagian
utara dan barat, provinsi ini berbatasan langsung dengan Provinsi Yala (Jala) dan Narathiwat
(Menara) di mana kedua provinsi ini pada masa lalu merupakan bagian dari Tanah Genting Kra
atau Pattani Raya.
Dalam presentasenya, penduduk muslim di Negeri Gajah Putih hanya sekitar 5,5% dari
keseluruhan warga negara yang mayoritas beragama Buddha (Asian Survey, Mei 1998). Dari
5,5% ini hampir seluruhnya orang Melayu Pattani yang bermukim di Provinsi Pattani. Fakta
kuantitatif tersebut menyebabkan mereka terpinggirkan secara sosial dan politik, serta
menjadikannya sebagai sukubangsa minoritas di Thailand. Karena hal itu pula, hingga kini,
masih saja muncul gerakan-gerakan perlawanan terhadap negara (penguasa) dari orang Pattani.
Salah satunya ialah gerakan separatis masyarakat Pattani yang dikenal dengan dar al-Islam.[16]
Bila menilik dari sejarahnya, sejak abad ke-11 M hingga tahun 1786, Kerajaan Pattani
Raya merupakan sebuah kerajaan dengan wilayah kekuasaan yang cukup luas, kira-kira luasnya
setara dengan luas wilayah negara Thailand saat ini plus beberapa area yang kini termasuk
teritori Malaysia Utara. Pada masa kejayaan Sriwijaya di Nusantara, Pattani dan kerajaan-
kerajaan kecil lainnya yang terdapat di daerah Semenanjung Melayu dan Sumatra sempat berada
dalam kekuasaan imperium Sriwijaya. Dari abad ke-7 M hingga awal abad ke-13 M, Sriwijaya
menguasai jalur pedagangan di Selat Malaka, dan menarik pajak dari para pedagang yang
melintasi dan berdagang di kawasan itu.
Nama Pattani sesungguhnya baru muncul di sekitar abad ke-14 M. Sebelum itu, tanah
Pattani adalah hak milik dari kerajaan yang bernama Langkasuka. Langkasuka merupakan salah
satu dari puluhan kerajaan kuna di Asia Tenggara. Langkasuka berubah menjadi Pattani pada
abad ke-14 karena berbagai hal yang sifatnya politik-ekonomi, terutama lantaran kerajaan ini
berada di pusat perdagangan dan bertemunya para merkantil dari Asia dan Eropa (Syed Serajul
Islam, 1998). Pedagang Arab mulai masuk sekitar abad ke-12, dan mencapai puncaknya di abad
ke-15 melalui para pedagang Arab yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan milik Kerajaan Pattani
Raya.
Pada masa itu, pertumbuhan ekonomi Kerajaan Pattani Raya tumbuh pesat. Oleh
karenanya, interaksi semakin intens antara raja Pattani dan masyarakatnya dengan para pedagang
yang berlabuh tadi, maka pada abad ke-15 raja Pattani mendeklarasikan bahwa dirinya—yang
juga diikuti masyarakatnya—memeluk Islam. Sejak itu, Pattani dikenal sebagai masyarakat
berbasis Islam dengan corak budaya, organisasi sosial masyarakatnya, dan institusi pemerintahan
yang tentu berlainan dengan model Kerajaan Langkasuka yang berkiblat pada Hindu-Buddha.
Di awal abad ke-20, ketika Perang Dunia II meletus, bangsa Siam berpihak pada Jepang
untuk menentang kependudukan Inggris. Sementara itu, Tengku Mahmud Muhyiddin, salah
seorang putera mantan raja Pattani, berdinas dalam ketentaraan Inggris dengan pangkat mayor. Ia
kemudian membujuk penguasa kolonial Inggris yang berkantor di India agar mengambil alih
Pattani dan menggabungkannya dengan Semenanjung Melayu. Pada 1 November 1945,
sekumpulan tokoh Pattani dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil menyampaikan petisi pada Inggris
agar empat wilayah di daerah selatan Siam dibebaskan dari kekuasaan Siam dan digabungkan
dengan Semenanjung Melayu.
Dalam perkembangannya, ternyata Inggris tetap mengutamakan kepentingan dirinya
sendiri sebagai tolok ukur dalam mengambil keputusan. Dengan alasan tergantung pada pasokan
beras dari Siam, maka kemudian Inggris memilih tetap mendukung pendudukan Siam atas
Pattani. Pada tahun 1909 M, Inggris dan Siam menandatangani perjanjian yang berisi pengakuan
Inggris terhadap kekuasaan Siam di Pattani. Dalam perjanjian itu, dijelaskan secara tegas
mengenai batas wilayah kerajaan Siam dan Semenanjung Melayu. Garis batas yang disepakati
dalam perjanjian tersebut sekarang menjadi daerah batas Malaysia dan Thailand.
Dari semua itu, sejarah panjang rakyat Pattani kerap diwarnai dengan perang dan damai;
dua keadaan ini datang silih berganti. Namun, apapun kondisinya, ternyata rakyat Pattani tetap
memiliki kehidupan sosial budaya yang tidak jauh berbeda dengan kawasan Melayu lainnya. Di
Pattani, ternyata juga berkembang berbagai pertunjukan dan permainan rakyat, seperti Makyong,
mengarak burung, wayang kulit Melayu, dan seni musik nobat.
Bahkan, permainan tradisional masyarakat Siam, yaitu menora, juga digemari oleh
masyarakat muslim Pattani. Dalam permainan menora, terdapat unsur ritual, nyanyian, tarian dan
lakon. Berkaitan dengan alat-alat musik, yang berkembang luas di masyarakat adalah serunai,
nafiri, dan rebab. Sebagai bangsa yang hidup di dalam kuasa bangsa Siam, di Pattani tetap
muncul suatu perlawanan. Perlawanan tersebut terefleksi dalam nyanyian rakyat ketika
menidurkan anak (lagu dodoi).

D.                Dinamika Penduduk Thailand

Tradisi Muslim di wilayah ini mengakar sejak kerajaan Sri Vijaya yang menguasai
wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand Selatan. Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi:
Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla. Songkhla adalah provinsi terbesar di Thailand
Selatan, yang memiliki bandara Internasional, dan sebagai pusat perdangangan di Selatan.
Masyarakat Buddha etnis Thai kebanyakan tinggal di perkotaan. Meskipun mereka minoritas di
Selatan, mereka termasuk kelompok ekonomi menengah, sebagai pegawai pemerintahan dan
atau pengusaha.[17]
Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan
Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002).
Mayoritas penduduk Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun,
yaitu sekitar 71% di perkotaan, dan 86 % di pedesaan (YCCI, 2006: 34), sedangkan di Songkhla,
Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan 76.6 % Buddha. Sementara mayoritas penduduk yang
berbahasa Melayu, rata- rata 70 persen berada di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat,
sementara penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0 %,
dan Yala, 3.0 % .[18]
Sejak 1906, sesuai dengan perjanjian Inggris-Siam secara resmi mengambil alih negara-
negara di Melayu Utara: Pattani, Narathiwat, Songkhla, Satun dan Yala, yang kemudian menjadi
provinsi di Thailand. Sementara negara di Melayu utara yang lain: Kedah, Kelantan, Perlis dan
Terengganu oleh Inggris dimasukkan sebagai bagian dari Malaysia (Yusuf, 2006: 170).
Sejak penyatuan kelima negara di wilayah Melayu Utara ke dalam bagian dari Thailand,
terjadi benturan budaya antara Muslim Melayu dan Buddis Thailand. Pada awal pemerintahan
Thailand yang dikuasai oleh tentara Jenderal Luang Pibulsongkram, yang memimpin 1938-1944,
Marshal Sarit Thanarat, 1958-1963 dan pemimpin jenderal lainnya, kebijakan nasionalisme
budaya Thailand menjadi kebijakan utama. Thaisasi – upaya penggunaan budaya dan bahasa
Thai- secara kuat di seluruh Thailand, termasuk wilayah Selatan, membuat benturan budaya yang
keras, yang menimbulkan resistensi sangat kuat bagi Muslim Melayu di Thailand Selatan. Dua
peristiwa yang mengenaskan pada tahun 2004 sangat menarik perhatian semua pihak baik di
Thailand maupun di luar Thailand.
Muslim di Tailand Selatan memiliki identitas etnis dan agama yang berbeda dengan
mayoritas penduduk (dan juga pemerintah) Thailand. Muslim memiliki bahasa Melayu dan
beragama Islam, dua identitas budaya dan agama yang menjadi bagian dari Bangsa Patani.
Mereka selama ratusan tahun terbentuk dalam Kerajaan Islam Patani. Kuatnya identitas lokal
keislaman dan kemelayuan ini mendorong banyak intelektual Thailand untuk menggagas status
otonomi Thailand Selatan, khususnya di tiga provinsi: Patani, Yala dan Narathiwat, atau dalam
banyak istilah sejarah ketiga provinsi ini disebut Muslim Patani (Yusuf dan Schmidt, 2006).
Identitas ini sangat dekat dengan etnisitas Aceh yang tidak sekedar memiliki status
Daerah Istimewa, tetapi otonomi khusus dengan peran dan hak lebih besar bagi pemerintah lokal
atas kekayaan sumber daya alam. Otonomi luas barangkali solusi bagi Muslim Patani untuk
menentukan arah ekonomi dan politik wilayahnya di bawah kekuasaan pemerintah pusat
Thailand. Tetapi ide otonomi nampaknya belum menjadi agenda pemerintah pusat. Seandainya
wacana dimunculkan kalangan intelektual, muncul banyak kekhawatiran atas sikap tanggapan
yang tidak fair dan berlebihan bahwa otonomi bisa dijadikan jembatan menuju kemerdekaan.
Kaum Muslim di Thailand sendiri terpecah menjadi empat kelompok, yaitu :
kelompok Chularajmontri (kepala kantor masyarakat), kelompok modernis yang menerbitkan
jurnal al-jihad, kelompok ortodok yang menerbitkan jurnal Rabithah, dan kelompok muslim
melayu yang menentang kelompok Chularajmontri, namun menolak dikatakan sebagai rival
kelompok Al-jihad dan Al-rabithah.
Namun, meskipun terpecah-pecah, mereka tetap sama-sama memiliki komitmen terhadap
kemajuan  islam di Muangthai.[19]

E.     Problema Minoritas Muslim Thailand

Sejak 1906, sesuai dengan perjanjian Inggris-Siam secara resmi mengambil alih negara-
negara di Melayu Utara: Pattani, Narathiwat, Songkhla, Satun dan Yala yang kemudian menjadi
provinsi di Thailand. Minoritas Muslim yang hidup di Thailand menghadapi masalah yang sama
dengan bangsa Moro di Filipina. Problem yang dihadapi kaum Muslim Thailand dan Filipina
adalah problem kelompok minoritas yang harus hidup berdampingan secara damai dengan non-
Muslim dalam negara yang sama.
Persoalan integrasi dan asimilasi di satu sisi serta bagaimana melestarikan nilai-nilai budaya
dan agama adalah persoalan mendasar bagi kedua kelompok minoritas Muslim di dua negara ini.
Kebijakan pemerintah yang memaksakan asimilasi dan integrasi –dalam perspektif masyarakat
Muslim di kedua negara itu- dipandang tidak adil, karena dapat membahayakan dan
menghilangkan identitas mereka sebagai Melayu dan Muslim. Andaikan mereka dapat memilih,
mereka nampaknya akan memilih menyatu dengan negara Malaysia atau memisahkan diri
menjadi negara tersendiri. Karena itu, kebijakan integrasi dan asimilasi pemerintah mendapat
respon yang keras dari minoritas Muslim di kesua negara itu dan telah melahirkan konflik
bersenjata antara kelompok minoritas dan pemerintah. [20]

F.      Minoritas Muslim Thailand (Akar Sejarah)


Minoritas Muslim di Muangthai tinggal di empat provinsi bagian Selatan: Pattani, Yala,
Satun dan Narathiwat, juga termasuk sebagian dari Provinsi Songkhla. Seluruh provinsi ini
dulunya termasuk wilayah kesultanan Patani. Kapan tepatnya kerajaan Patani beralih ke agama
Islam hingga kini belum diketahui dengan pasti. Dengan berdirinya kesultanan Patani, wilayah
ini kemudian tidak hanya meneguhkan diri sebagai pusat kekuasaan politik dan dunia dagang,
namun juga menjadi tempat persemaian wacana agama dan intelektual.
Institusi sosial politik kesultanan setidaknya telah berupaya menopang proses Islamisasi
dengan cara mempraktekan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Namun usaha lebih lanjut untuk
mempertajam akar Islamisasi masyarakat ini terhalang oleh instabilitas politik kesultanan,
terutama setelah Patani masuk dalam periode “Ratu-ratu Patani” (976-1101/1568-1688). Dalam
taraf tertentu Patani masih menjadi daerah tujuan berkunjung dan tempat mengenyam pendidikan
dini bagi anak-anak Muslim.[21]
Dalam tatanan sosial, muslimin Thailand mendapatkan julukan yang kurang enak untuk
didengar. Yaitu Kheik atau khaek yang berarti orang luar, yang secara harfiah berarti pendatang
atau orang yang datang menumpang. Dalam bahasa Thai, istilah ini juga selama berabad-abad
sudah dikenal untuk menyebut kaum pendatang berkulit hitam dari daerah Melayu dan Asia
Selatan, orang-orang Thai-Islam menolak sebutan ini dan menyatakan bahwa kedatangan mereka
(khususnya di kawasan Thailand Selatan), jauh lebih awal daripada kedatangan orang-orang
Budha Thailand.[24] Hingga istilah Thai-Islam dibuat pada 1940-an. Akan tetapi istilah ini
menimblkan kontradiksi karena istilah Thai merupakan sinonim dari kata Budhasedangkan Islam
identik dengan kaum muslim melayu pada waktu itu. Jadi bagaimana mungkin seseorang
menjadi budha dan muslim pada satu waktu? Maka dari itu kaum muslim melayu lebih suka
dipanggil Malay-Islam.[22]

G.    Minoritas Muslim Thailand dan Kebijakan Pemerintah

Derita yang dialami masyarakat muslim di Thailand Selatan yang sebagai minoritas ini
adalah akibat dari pembatasan ruang gerak mereka untuk memperoleh hak-haknya dalam bidang
ekonomi, politik, dan keagamaan. Juga karena problematika klasik yang telah berlangsung lama
yang menyalahi keyakinan dan nilai-nilai keislamannya[23].
Sebenarnya, Muslim Thailand lebih memilih untuk memisahkan diri dari kerajaan
Muangtha atau bergabung dengan Malaysia, meskipun berada di bawah pemerintahan Inggris,
karena dengan begitu mereka dapat hidup bersama dengan masyarakat yang seagama, sebahasa,
sebudaya dan sebangsa. Kaum Muslim Thailand terkesan cenderung mengisolasi diri, hal itu
karena kesulitan beradaptasi. Pertama, karena kebanyakan mereka (terutama yang tinggal di
daerah rural seperti Pattani, Yala dan Narthiwat) hanya dapat berbicara sedikit bahasa Thai atau
tidak bisa sama sekali. Ini membuat mereka tidak mampu berkomunikasi dengan kaum China
dan Thai Buddha. Perdamaian Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi model upaya perdamaian
dan rekonsiliasi di Thailand Selatan
Kedua, berdasarkan keyakinan agama, kaum Muslim Thailand secara militan menolak
prilaku sosial yang berkaitan dengan kedua kelompok tersebut. Selain itu, proses isolasi terhadap
kamu muslim Thai, sebagian disebabkan oleh self impossed, sebagian juga disebabkan oleh
tekanan orientasi komunikasi media. Banyak Media komunikasi seperti televisi lokal dan
beberapa stasiun radio di wilayah tersebut khusus untuk melayani pemirsanative speaking Thai.
Informasi-informasi yang disiarkan banyak menggunakan bahasa Thai dan memfokuskan diri
pada soal-soal yang menjadi kepentingan populus Thai Buddhis dan China. Lebih dari itu surat
kabar juga dicetak dalam huruf dan bahasa Thai, kecuali koran lokal, ada kolom yang
menggunakan bahasa Melayu. Kebananyakan muslim Thai justru mendengarkan siaran atau
membaca koran yang datang dari negara tetangga dekatnya, Malaysia.
Mereka lebih banyak melakukan kegiatan dalam segala hal menurut aturan negara
tetangga mereka, yaitu Malaysia. Mulai dari bahasa komunikasi hingga tata cara beradab mereka
semua berdasarkan adat melayu. Singkatnya, meskipun mereka berada berdiam di Tahiland tapi
mereka lebih sering menggunakan bahasa Melayu. Selain itu, mereka juga terbiasa hidup
berdampingan dengan kaum sesama Muslim dari Malaysia karena mereka lebih nyaman
berinteraksi dengan sesama umat Islam. Oleh karena itu, tidak heran jika mereka lebih fasi
berbicara bahasa melayu ketimbang bahasa negara mereka sendiri.
Adanya banyak kesenjangan sosial yang masih berlanjut antara kaum Muslim Thai dan
kaum Buddhis Thai, mengakibatkan kaum muslim Thai yang tinggal di Selatan Thailand merasa
tidak puas dengan kebijakan pemerintah dan pengaturan administrasi di wilayah “tanah tumpah
darah mereka”.
Perasaan diasingkan dan ketidakpuasaan semakin kuat dirasakan ketika kaum bangsawan
Patani dicopot dari semua kekuasaannya, dan semua jabatan yang dulu mereka pegang dialihkan
kepada birokrat dari Bangkok atau provinsi-provinsi Utara, yang memiliki Bahasa, Agama, dan
Budaya yang berbeda dengan masyarakat muslim Patani.[24]

H.    Perjuangan-Perjuangan dan Konflik Minoritas Islam ThaiPattani

Pada tahun 1940, dibawah pemerintahan Menteri Phibul Songkhram, pemerintah


Tahailand mengeluarkan beberapa kebijakan pemerintah sebagai bentuk rasa kekhawatiran
pemerintah bagi rakyat Muslim di Muangthai. Di antara beberapa kebijakan itu antara lain
pemerintah Thailand berusaha men-Siamkan semua kelompok minoritas non-Buddhis di
Muangthai. Pemerintah juga memaksakan aturan-aturan kultural tertentu seperti, memakai
pakaian bergaya barat, harus mengadopsi nama-nama Thai bila ingin memasuki sekolah-sekolah
pemerintah atau bila ingin melamar pekerjaaan di dalam jajaran pemerintah, bahasa melayu
dilarang diajarkan di sekolah-sekolah negeri atau digunakan dalam percakapan dengan para
pejabat.
Kebijakan yang diterapkan oleh Phibul tersebut didukung sepenuhnya oleh sistem politik
yang berlaku di Muangthai dimana otoritas bersifat absolut, tidak dapat diganggu gugat.
Para penguasa di Muangtahi cenderung menggunakan berbagai cara untuk menjamin
kesesuaian dengan kelompok minoritas dan mengatur setiap contervailing power.Sistem ini
dikenal dengan “politik birokrasi”. Kebijakan dan segala aturan yang dipaksakan ini semakin
memperkuat umat Muslim di Thailand untuk menentang pemerintahan mereka sendiri.
Ini mengakibatkan minoritas Muslim  di Thailand merasa tidak senang dengan itervensi
pemerintah yang sangat dalam terhadap kehidupan keagamaan dan sosial budaya mereka.
sehingga umat Musli di Thailand beranggapan bahwa kewarganegaraan yang mereka miliki tidak
mungkin diselaraskan dengan ketaatan mereka terhadap Islam.
Hal ini semakin memperkuat gerakan separatis Muslim yang gigih melakukan perang
gerilya untuk melawan kekuatan pemerintahan Maungtahi untuk memperjuangkan kemerdekaan
mereka dan berserikat dengan Malaysia.
Pertentang umat Muslim Thailand melawan pemerintahan yang paling serius terjadi pada
tahun 1947 ketika Haji Sulong, seorang pemimpin Muslim dan Presiden Deawan Agama Islam,
bersama dengan beberapa pemimpin Muslim lainnya menandatangani petisi yang menutut
beberapa hal antara lain :
  Otonomi penuh
  Peneriman bahasa Melayu sebagai bahasa resmi selain bahasa Thai
  Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantardi Sekolah Dasar khususnya di wilayah
minoritas kaum Muslimin Thai
  Merekrut kaum Muslim dalam pemerintahan di provinsi-provinsi yang dikuasai Muslim dengan
komposisi 80%
  Membentuk Dewan Muslim yang khusus mengurusi persoalan-persoalan spesifik kaum Muslim
Thailand

Namun petisi ini akhirnya ditolak oleh pemerintah dan Haji Sulong kemudian ditangkap
dan ditahan selama 7 tahun . Namun demikian dibebaskan pada setelah mendekam dipenjara
selama 3 setengah tahun.
Adanya sikap ketidakpuaasaan serta pertentangan yang secara terbuka oleh kaum Muslim
Thai kepada pemerintah, membuat pemerintah mengatur ulang sistem birokrasi mereka dan
berusaha mengubah kebijakan ekstrem yang sebelumnya dipaksakan menjadi  lebih fleksibel
sehingga bisa merangkul umat Muslim  seperti memberikan kebebasan kepada minoritas muslim
untuk menjalankan agamanya.
Selain itu, pemerintah juga berusaha menarik perhatian kaum Muslim Muangthai dengan
menjadikan hari Jum’at sebagai hari libur sekolah, membantu biaya pembangunan mesjid,
memberlakukan hukum Islam, memperkenalkan bahasa dan budaya Melayu sebagai mata
pelajaran di Sekolah Menengah.
Kebijakan ini berhasil membuat kaum Muslim Thai sedikit demi sedikit mau membuka
diri terhadap pemerintah Thailand dan menggandeng saudaranya sesama muslim untuk lebih
bereran aktif dalam pembangunan nasional di Muangthai. Namun beberapa kebijakan di atas
tidak pernah dipelihara dan dilaksanakan secara konsisten.
Dalam rangka mewujudkan cita-citanya, baik pemisahan diri dari pemerintahaan
Muangthai maupun otonomi penuh, minoritas Muslim membangun beberapa kelompok
organisasi politik seperti Pattani United Liberation Organization(PULO),   Barisan Nasional
Pembebasan Patani (BNPP), Barisan Revolusi Nasional.

Ketika dibawah rezim ultranasionalis Phibul Songkram di tahun 1938, dibuatlahsuatu


kebijakan “nasionalis” untuk menjalankan asimilasi berbagai budaya minoritas kesuatu budaya
pokok Buddha “Thai-ness”[25] yang dibuat untuk membentuk “the mono-ethnic character of the
state”.[26]
Kebijakan ini langsung mendapat tentangan dari Melayu-Muslim. Mereka tidak mau
identitas mereka sebagai orang Melayu dihilangkan dan diganti dengan identitas“nasional”
Thailand.
Faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Melayu Muslim teguh mempertahankan
identitasnya dan menolak usaha asimilasi yang dilakukan pemerintahThailand adalah pertama
kepercayaan tradisional mereka dan kepercayaan terhadap mitos Kerajaan Pattani (Patani
Darussalam). Lalu, yang kedua, identitas yang dimiliki olehmasyarakat Melayu Muslim
dipengaruhi oleh kontak kebudayaan dengan provinsi diutara di Malaysia. Ketiga Orientasi
Religius yang berdasarkan Islam[27].
Konsep religiusIslam dapat digunakan untuk melihat penyebab keengganan warga
Melayu-Muslim berasimilasi, seperti konsep Ikhwahyakni suatu konsep persaudaraaan dalam
Qur’an danHadits, dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa persaudaraan sesama Muslim seperti
tubuhmanusia. Seluruh tubuh manusia akan menderita jika ada salah satu bagian tubuh
yangterluka. Jadi, jika salah satu umat Muslim terluka atau ditekan maka seluruh tubuh
umatMuslim akan menderita.
Keempat, munculnya nasionalisme Melayu yang melanda daerah ThailandSelatan, hal ini
ditakutkan oleh Pemerintah Thailand dan ditakutkan akan berkembangmenjadi aksi yang resisten
terhadap pemerintah Thailand. Nasionalisme yang melandaMelayu-Muslim dilihat sebagai
konsep yang alamiah berakar pada kelompok masyarakatmasa lampau yang disebut sebagai,
suatu kelompok sosial yang diikat oleh atributkultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan
simbolisme[28]

Kelima, kebijakan pemerintah Thailand, terutama dalam hal bahasa dan pendidikan yang
diasumsikan olehMelayu Muslim di Selatan Thailand sebagai bentuk penjajahan terhadap asal
kebudayaanmereka. Mereka melihat bahasa Thailand di wilayah mereka sebagai sebuah
ancaman.Ada suatu kekhawatiran bahwa penggunaan bahasa Thailand akan membawa
merekakehilangan “lidah” Melayu yang merupakan inti dari identitas etnis Melayu.Faktor-faktor
inilah yang menyebabkan masyarakat Melayu-Muslim di Thailand bersikap sangat resisten
terhadap kebijakan asimilasi tersebut. Hal ini sesuai dengan apayang disebut Castells sebagai
resistant identity.
Melayu-Muslim di Thailand merasa bahwa kebijakan asimilasi yang diinginkan Phibul
Songkram merupakan suatu bentuk marjinalisasi etnis Melayu-Muslim.
Di tahun 1940, kebijakan ini memprovokasi suatu gerakan separatis untuk kemerdekaan
Pattani. Pada tahun 1948, Gabungan Melayu Pattani Raya (Union of Malayfor a Great
Pattani) dibentuk. Dilanjutkan dengan pembentukan Barisan NasionalPembebasan Pattani di
tahun 1963 yang menyebabkan bentrokan antara pemberontak dengan pasukan pengamanan.
Pemberontakan ini terjadi di hampir seluruh provinsi diThailand Selatan. Di pertengahan tahun
1970, lebih dari 20 organisasi separatis muncul di perbatasan Thailand dengan
Malaysia.Gerakan-gerakan ini merupakan gerakan emonasionalisme yang seperti telah dikatakan
Umberto Melotti merujuk pada tipe khususnasionalisme dan terkait dengan warga negara yang
masih memimpikan kemerdekaan.

Padatahun 1980dan 1990,situasi berubah. Pemerintahan baru dibawah Jenderal Prem


(1980-1988) menghentikankebijakan asimilasi tersebut, seperti mendukung hak-hak budaya
warga Muslim dankebebasan beragama, memberikan para gerliyawan amnesti, dan rencana
pembangunanekonomi bagi Thailand Selatan.
Di tahun 1990, pemerintah Thailand menformulasikan “National Security Policyfor the
Southern Border Provinces” yang berlandaskan “pembangunan dan keamanan.”Kerjasama yang
erat antara Thailand dan Malaysia telah membangun suatu keamanan di perbatasan, hal ini
menyebabkan berkurangnya gerakan pemberontakan di perbatasan.
Asep muhammad hidayat membagi gerakan muslim thailand menjadi dua , yaitu gerakan
non-kooperatif dan gerakan kooperatif. Sepeninggal haji sulung, rakyat melayu patani tidak lagi
menuntut otonomi, tetapi kemerdekaan penuh bagi bangsa patani. Haji sulong telah berhasil
membangkitkan rasa nasionalisme di kalangan melayu patani. Sekarang di thailand terdapat
empat organisasi muslim yang menuntut kemerdekaan penuh bagi patani, yaitu:
1.      BNPP(barisan nasional patani)
2.      BRN(barisan revolusi nasional)
3.      PPPP(pertumbuhan pembiasaan patani)
4.      GMP(gerakan mujahidin patani)[29]
Kendali seluruh organisasi pergerakan nasionalis patani ini dipegang oleh kaum
intelektual patani. Landasan perjuangan mereka adalah “bangsa melayu, budaya melayu, dan
islam”.
Karena perpecahan antar organisasi pembebasan, aktivitas perjuangan kaum gerilyawan
patani agak berkurang. Bersamaan dengan itu semenjak tahun 1980-an, pihak pemerintah
thailand memulai program pembangunan sosial-ekonomi di empat wilayah thailand selatan
dengan tujuan membatasi  ruang gerak kaum pembebasan patani dan memperlemah kekuatan
mereka. Untuk kepentingan tersebut pemerintah thailand mengadakan rencana kerja sama
dengan bidang ekonomi di empat wilayah thailand selatan dengan rencana segitiga pertumbuhan
indonesia-malaysia-thailand.
Rogram pendidikan yang dirancang oleh pemerintah thailand di empat wilayah melayu
dianggap berhasil. Pada tahun 1990, jumlah sekolah umum di wilayah patani, naratiwat, yala,
dan satun, mencapai 1.216 buah, mengalahkan jumlah sekolah swasta islam milik melayu patani
yang hanya mencapai 189 buah. Kira-kira 202.972 orang pelajar islam belajar disekolah
pemerintah dan hanya 22. 423 orang pelajar yang menuntut ilmu di sekolah agama.
Bagi pemerintahan thailand, kebijakan politik 66/2523 menunjukkan tanda-tanda
keberhasilannya. Sebagai contoh, aktivitas gerilyawan telah menurun dan gerakan separatis
diyakini oleh pemerintah tidak lagi didukung oleh kebanyakan penduduk patan, terutama
masyarakat pedesaan. Apalagi pada tahun 1992, FAR berhasil mengadakan perundingan dua
organisasi pergerakan nasional patani supaya kembali ke pangkuan pemerintah dan bekerja sama
untuk membangun negara.[30]
Pada tanggal 31 agustus 1989, empat organisasi pergerakan pembebasan BIPP, barisan
revolusi, nasional-kongres, GMP, dan PULO mengadakan ikrar bersama  untuk segera
membentuk organisasi yang dapat memayungi perjuangan kemerdekaan rakyat patani. Tahun
1991, organisasi induk sudah di setujui, dibentuk, dan diberi nama “barisan bersatu kemerdekaan
patani(BERSATU), yang terpilih sebagai presiden pertama BERSATU adalah Wahyudin dari
GMP. Organisasi baru ini dapat menarik perhatian dan keyakinan masyarakat patani terhadap
urgensi gerakan pembebasan patani bagi  terwujudnya suatu negara patani raya yang berdaulat
penuh. Unit-unit gerilnya meningkat di empat wilayah melayu patani. Sejak itu pihak pemerintah
thailand mulai memberi perhatian kepada BERSATU. Surat tawaran kerja sama bagi
penyelesaian masalah patani pun dilayangkan kepada BERSATU melalui FAR pada tanggal 15
november 1991. Dalam menjawab surat tawaran tersebut, BERSATU tetap berpandangan bahwa
kerja sama secara ikhlas untuk menyelesaikan masalah bangsa dan negara tidak mungkin
tercapai antara pihak penjajah dengan yang dijajah.
Pada tanggal 4-5 juli 1995, BERSATU mengadakan sidang yang menghasilkan
keputusan mengenai pembentukan komite perundingan rakyat melayu patani(KPRMP). Dan
didalam persidangan tersebut, Mahdi Daud, presiden BERSATU, terpilih menjadi pemimpin
KPRMP.
Setelah KPRMP terbentuk, aktivitas gerilya islam di pantai patani meningkat, apalagi
setelah tertembaknya seorang pemimpin gerilya, Ilyas to’bala, dan dua orang rekannya dari
BRN-Kongres pada awal 1997.        
Dari aspek perkembann gan organisasi, BERSATU dan KPRMP telah memperluas
perpaduan perjuangan dengan cara mewujudkan majelia permusyawaratan rakyat melayu patani
(MPRMP) dan perlembagaan negara islam patani (PNMIP) yang diadakan pada tanggal 14-15
juni 1997. MPRMP mempunyai dua fungsi utama, yaitu:
1.      Sebagai majelis perwakilan yang menentukan garis panduan kebijakan dan mengesahkan
anggaran belanja negara patani.
2.      Sebagai majelis pelaksana yang melaksanakan semua kebijakan dan arahan mengenai
perjuangan pembebasan patani.
Gerakan kooperatif yang dilakukan oleh muslim patani dengan berpartisipasi dalam
politik nasional dimulai sejak tahun 1976. Akan tetapi usaha tersebut hingga tahun 1986 kurang
berhasil. Kondisi itu menyadarkan para elit politik melayu patani untuk mendirikan partai politik.
Pada tanggal 3 mei 1986, bertempat di Majelis agama islam wilayah patani, disepakati berdirinya
partai politik kaum melayu yang diberi nama wahdah. Tujuan partai wahdah adalah:
1.      Membentuk perpaduan masyarakat islam di seluruh thailand.
2.      Menjaga hak dan kepentingan masyarakat islam di seluruh negeri.
3.      Membangkitkan masyarakat islam dalam aspek politik, ekonomi, pendidikan, dan
kemasyarakatan.
4.      Menanamkan kesadaran politik.
5.      Memperkenalkan sistem islam terhadap masyarakat supaya dapat dipahami dan dihayati.
6.      Membangkitkan dan memajukan sistem demokrasi.
Anatara tahun 1986-1992, wahdah telah mendorong kaum muslim patani untuk
menyalurkan aspirasi politiknya melalui jalur parlemen. Usaha yang dilakukan wahdah cukup
berhasil. Hal ini terbukti dalam pemilu 1992, sebanyak 12 orang muslim meraih kursi di
parlemen. Dari 12 orang tersebut terdapat 2 orang muslim yang menduduki jabatan wakil
menteri, yaitu Den Tuk Mina sebagai wakil menteri dalam negeri, dan Surin Pitsuawan sebagai
wakil mentri luar negeri.
Implikasi dari banyaknya wakil muslim dikursi parlemen adalah semakin berkembang
pula institusi islam di wilayah thailand selatan secara bebas. Di antaranya adalah majelis agama
islam, institusi sosial (kebijakan) dan pendidikan, dan institusi dakwah. Institusi ini mendorong
perkembangan siar islam di thailand. Pada tahun 1994 terdapat 2.347 masjid, sedangkan jumlah
masjid di thailand secara keseluruha n adalah 2.799 buah. Selain itu, kerja sama pendidikan dan
ekonomi dengan organisasi-organisasi islam internasional mulai dijalankan , diantaranya kerja
sama dengan Rabhitah Alam Islam, Islamic Development Bank (IDB), International Islamic
Relief Organization (IRO), The Muslim World Committe, dan Asia Muslim Committe.[31]
Partai Demokrat – yang menekankan secara persatuan kuat negara Thailand – tidak
berbuat banyak dalam perdamaian di Selatan, khususnya mendukung kepentingan Muslim.
Kritik ini tentu penting diperhatikan oleh pihak politisi, yang memainkan isu Selatan untuk
kepentingan mereka. Partai Thai Rak Thai yang dalam periode Thaksin memenangi parlemen
secara sengaja meninggalkan Selatan dalam proses pembangunan dan modernisasi Thailand
secara umum. Bahkan membiarkan kerusuhan di Selatan. Kerusuhan yang muncul dipelihara
oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan. Di antara mereka adalah aparat pemerintah.
Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 2000 orang meninggal berkaitan dengan konflik di
Thailand Selatan. Korban lebih banyak ditembak dan dibom oleh kelompok yang tidak dikenal,
juga oleh pendekatan militer dan polisi terhadap Muslim. Pada April 2004, 30 pemuda Muslim
ditembak oleh tentara di Masjid Kru Se. Masjid ini sangat bersejarah karena didirikan pada abad
15, masjid tertua di Thailand. Satu periode dengan masa kejayaan Islam pada Khalifah
Abbasiyah.
Peristiwa kedua adalah pada Oktober 2004, sekitar 175 Muslim Takbai meninggal di
perjalanan, setelah mereka demonstrasi kepada pemerintah dan dimasukkan dalam truk dalam
kondisi terikat tangan di belakang. Dua peristiwa ini sangat membekas di hati Muslim, dan
banyak pemuda dan masyarakat Muslim semakin menggiatkan penyerangan terhadap berbagai
organ pemerintah maupun masyarakat Buddha. Reaksi Muslim selatan ini direspon negatif oleh
pemerintah, dengan tetap memberlakukan darurat militer di kelima provinsi ini.
Peristiwa Takbai yang menewaskan Muslim sekitar 200 orang menimbulkan reaksi
paling keras dari milisi Muslim, yang kemudian membalas dengan penembakan dan pemboman
misterius yang menargetkan korban tentara, polisi, pegawai pemerintah Thai, etnis China dan
pendeta Buddha. Hampir setiap bulan sejak peristiwa 2004, terjadi korban dipihak tentara atau
Buddha. Kerusuhan ini sempat menjadi perhatian Amerika Serikat yang menawarkan bantuan
keamanan untuk mengatasi ‘gerilyawan’ dari Selatan.
Pada tahun 2001, kekerasan kembali terjadi di Thailand Selatan, di tahun 2001Menteri
Dalam Negeri Thailand mencatat kenaikan jumlah kekerasan, sepertiterbunuhnya 19 orang
anggota Polisi Thailand dan juga tewasnya 50 orang anggota pemberontak yang terjadi di tiga
provinsi utama di Thailand Selatan yakni Pattani, Yaladan Narathiwat. Jumlah kekerasan terus
meningkat di tahun-tahun selanjutnya, di tahun2002 misalnya sejumlah kantor polisi diserang
oleh segerombolan gerliyawan yang berhasil merebut sejumlah besar amunisi senjata dan bahan
peledak, insiden ini terjadi 75kali dalam tahun 2002 dan menewaskan 50 orang anggota polisi; di
tahun 2003 insidenseperti ini terus bertambah dan tercatat sebanyak 119 insiden bersenjata
terjadi di tahun[32]2003. Pada tanggal 25 Oktober 2004, pembunuhan 84 umat Muslim di kota
Tak Baisemakin memperuncing konflik.
Kekerasan yang terjadi pada pertengahan tahun 2004 dan berlangsung hinggatahun 2007
memperlihatkan bahwa solusi alternatif terhadap konflik ini perlu ditemukan.Salah satunya
adalah dengan meninjau ulang kebijakan asimilasi dan integrasi yang telahditerapkan pemerintah
Thailand di kawasan selatan Negara itu selama puluhan tahun.Muslim Thailand yang beretnis
Melayu telah tinggal di wilayah selatan Thailand sebelumKerajaan Thai yang sekarang berdiri.
Daerah tempat mereka tinggal dijadikan bagianKerajaan tersebut pada paruh akhir abad ke-18.
Muslim Melayu menentang penggabungan ini karena mereka memiliki kesultanan sendiri dan
lebih suka bergabungdengan sebuah negara Melayu atau memerintah diri mereka sendiri.
Kebijakan asimilasi besar-besaran yang diluncurkan oleh partai nasionalis pimpinan Pibul
Songkhram pada1940an menciptakan penolakan yang lebih besar dari kalangan Muslim
Melayu.Pemerintahan Pibul mencoba memaksa orang Melayu untuk membuang jati diri mereka
baik sebagai Melayu maupun Muslim. Mereka dilarang mengenakan sarung dan kerudung yang
merupakan pakaian tradisional Melayu, tidak diperkenanan berbahasaMelayu dan dianjurkan
untuk menggunakan nama-nama yang berbau etnis Thai. Mereka juga dilarang melaksanakan
ajaran Islam karena dengan alasan agama Budha adalahagama utama di Thailand[33].

I.       Kehidupan Keberagamaan

Ummat Islam di Thailand tidak seberuntung seperti Ummat Islam di Malaysia yang mana
hampir semua sarana da’wah seperti masjid-masjid disediakan oleh pemerintah Malaysia.
Demikian pula dengan Imam, Khotib, Bilal, dan pengurus-pengurus masjid digaji langsung oleh
pemerintah. Sarana media seperti TV maupun radio di Malaysia diberikan waktu tiap malam
untuk da’wah Islam.[34]

            Kawasan Thailand bagian selatan yang merupakan basis masyarakat melayu-muslim
adalah daerah konflik agama dan persengketaan wilayah dengan latar belakang ras dan agama
yang berkepanjangan. Konflik Thailand selatan terjadi sejak diserahkannya wilayah utara
Melayu oleh pemerintah colonial Inggris kepada kerajaan Siam. Saat itu dibuatlah Traktat
Anglo-Siam yang menabut hak-hak dan martabat Muslim Pattani. Akibatnya, muncul aksi-aksi
perlawanan dan ditanggap pemerintah pusat sebagai separatisme, hingga diberlakukan darurat
militer di wilayah tersebut.[35]
Di beberapa kota pelabuhan, Islam bukanlah agama bagi komunitas perkampungan
melainkan agama para individu yang mobil yang menyatu dalam jaringan asosiasi internasional.
Dari Singapura pembaharuan Islam menyebar ke seluruh Asia Tenggara melalui perdagangan,
haji, dan melalui gerakan pelajar, guru dan sufi.[36]
Sudah pada tempatnya dunia Islam segera meyampaikan appeal kepada pemerintah
supaya elindng, menyelamatkan Ummat Islam dan memberikan persamaan hak di segala bidang
kepada mereka, termasuk hak-hak untuk beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam, hak
yang sama dengan hak-hak yang dmiliki penduduk yang beragama Budha.[37]

J.      Pendidikan Di Thailand

Pendidikan yang digalakkan oleh pemerintah Kerajaan Thailand tergolong bersifat


deskriminatif terhadap Islam. Pada tahun 1923 M, beberapa Madrasah Islam yang dianggap
ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan
pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran Budha. Pada saat-saat tertentu anak-
anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan kepada guru harus
menyembah dengan sembah Budha. Kementrian pendidikan memutar balik sejarah,
dikatakannya bahwa orang Islam itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah di Siam
dan menjatuhkan raja[38].
Dampak yang menonjol dari perkembangan yang berorientasi ke dalam hal ini. Misalnya,
pada tahun 1966, sekitar 60% anak-anak di Pattani tidak dapat berbicara bahasa nasional. Hal itu
berkaitan dengan banyaknya orang tua Muslim yang lebih senang mengirimkan anak-anaknya ke
sekolah agama[39].
Strategi yang perlu dibangun masyarakat muslim di Thailand Selatan pada saat ini adalah
memajukan pendidikan, mendukung pembangunan nasional, dan menjaga stabilitas local.
Namun, sampai saat inipun masyarakat muslim Pattani Thailand menghadapi diskriminasi
komplek dan teror yang berlarut-larut. Sehingga kehidupan sosial maupun politik menjadi sangat
terbatas. Akhirnya pemerintah Thailand juga belum mampu memberi pendidikan merata
terhadap kaum muslim. Tekanan berbasis keamanan selalu mengancam mereka. Kesenjangan ini
menurunkan nasionalisme mesyarakat di luar mayoritas Thai
Kesimpulan

muslim di Thailand mempunyai sejarah tersendiri yang bisa dibilang tragis dan berliku.
Mulai dari abad ke-13 dimana Agama Islam menapakkan kakinya di kerajaan Pattani dan
kemudian menjadi mayoritas di wilayah tersebut. Masyarakat muslim Thailand saat ini telah
menjadi bagian integral dari keseluruhan pemerintahan dan komunitas Thailand dari beberapa
abad yang lalu. Secara historis, kultur dan ekonomi, masyarakat minoritas muslim di Thailand
selatan telah mengalami peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu. Akan tetapi mereka
tetap berusaha menjadi bagian komunitas yang dipahami.

         Hal itu berangkat daari background masyarakat muslim sendiri, yaitu komunitas
melayu Pattani yang dari awalnya berdiri sendiri dan kemudian dikuasai oleh Siam atau
Thailand. Dan saat ini, dimana modernisme merambah semua negara dan Thailand menjadi
negara demokrasi, muslim Thailand mulai dipandang positif oleh komunitas yang lainnya. Hal
ini memunculkan era baru antara muslim-pemerintah yang memberikan ruang lebih luas bagi
umat muslim Thailand merambah dunia politik dan ekonomi. Hal ini tampak dari pertumbuhan
masjid di Thailand yang berkembang pesat; Bangkok 159 masjid, Krabi 144 masjid, Narathiwat
447 masjid, Pattani 544 masjid, Yala 308 masjid, Songkhla 204 masjid, Satun 147 masjid. Dan
beberapa masjid di berbagai kota di thailand. Biarpun begitu, minoritas muslim thailand masih
jauh dari kelapangan dalam hidup. Karena mereka tetap menjadi minoritas yang mendapatkan
tekanan dan diskriminasi yang tak henti henti.

Ketidakinginan masyarakat Melayu-Muslim untuk berasimilasi dengan budayaThai


disebabkan oleh kepercayaan mereka yang sangat kuat tentang asal-usul mereka, baik secara
historis maupun budaya, yang mempunyai hubungan dekat dengan bangsaMelayu. Pengaruh
Islam dan budaya Melayu yang kuat dari negara Malaysia juga turutandil membentuk identitas
yang demikian mengakar dalam masyarakat di Selatan,terutama Pattani.

SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI THAILAND


March 05, 2017

A.    LATAR BELAKANG
Kedatangan Islam ke wilayah Asia Tenggara diduga karena proses perdagangan dan
bukan melalui proses penaklukan suatu wilayah, jalur perdagangan itu masyur dikenal
sebagai jalur sutra laut yang membentang dari mulai Laut Merah- Teluk Persia- Gujarat-
Bengal- Malabar-Semenanjung Malaka-hingga ke China.
Hampir terdapat umat Islam di seluruh Negara di kawasan Asia Tenggara. Terdapat
kurang lebih 6,5 juta umat Islam, atau 10% dari seluruh populasi penduduk Thailand yang
berjumlah 65 juta orang. Di Thailand, Negeri yang mayoritasnya beragama Budha.
Penduduk muslim Thailand sebagian besar berdomisili di bagian selatan Thailand, seperti
di propinsi Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan sekitarnya yang dalam sejarahnya adalah
bagian dari Daulah Islamiyyah Pattani. Dengan jumlah umat yang menjadi minoritas ini,
walau menjadi agama ke-dua terbesar setelah Bhuda, umat Islam Thailand sering
mendapat serangan dari umat Bhuda (umat Budha garis keras), intimidasi, bahkan
pembunuhan masal.
Masyarakat muslim Thailand saat ini telah menjadi bagian integral dari keseluruhan
pemerintahan dan komunitas Thailand dari beberapa abad yang lalu. Secara historis, kultur
dan ekonomi, masyarakat minoritas muslim di Thailand selatan telah mengalami
peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu. Akan tetapi mereka tetap berusaha
menjadi bagian komunitas yang dipahami.
Hal itu berangkat dari background masyarakat muslim sendiri, yaitu komunitas melayu
Pattani yang dari awalnya berdiri sendiri dan kemudian dikuasai oleh Siam atau Thailand.
Dan saat ini, dimana modernisme merambah semua negara dan Thailand menjadi negara
demokrasi, muslim Thailand mulai dipandang positif oleh komunitas yang lainnya. Hal ini
memunculkan era baru antara muslim-pemerintah yang memberikan ruang lebih luas bagi
umat muslim Thailand merambah dunia politik dan ekonomi, tampak pada pesatnya
pertumbuhan mesjid-mesjid yang terdapat di Thailand seperti ; Bangkok 159 masjid, Krabi
144 masjid, Narathiwat 447 masjid, Pattani 544 masjid, Yala 308 masjid, Songkhla 204
masjid, Satun 147 masjid. Dan beberapa masjid di berbagai kota di thailand. Walaupun
sudah banyak berdiri mesjid-mesjid di Thailand itu tidak berarti bahwa mereka
mendapatkan kelapangan hidup, karena mereka masih tetap menjadi minoritas yang terus
mendapat tekanan dan juga diskriminasi yang tak henti-hentinya. Diantaracontoh mesjid
nya: Salah satu masjid di Provinsi Surat Thani Masjid Baan Haw
B.     SEJARAH MASUKNYA ISLAM KE THAILAND
Thailand merupakan salah satu negara diantara negara negara di kawasan asia
tenggara. Secara geografis, kawasan asia tenggara merupakan kawasan antara benua
Australia dan daratan China, daratan India sampai laut China. dengan begitu, thailand
cukup mudah untuk dijangkau para pelancong dari zaman ke zaman untuk mencari
penghidupan maupun penyebaran agama.
Ada beberapa teori tentang masuknya Islam di Thailand. Diantaranya ada yang
mengatakan Islam masuk ke Thailand pada abad ke-10 melalui para pedagang dari Arab.
Dan ada pula yang mengatakan Islam masuk ke Thailand melalui Kerajaan Samudra Pasai
di Aceh.Jika kita melihat peta Thailand, kita akan mendapatkan daerah-daerah yang
berpenduduk muslim berada persis di sebelah Negara-negara melayu, khususnya
Malaysia.   Hal ini sangat berkaitan erat dengan sejarah masuknya Islam di Thailand, “jika
dikatakan masuk”. Karena kenyataanya dalam sejarah, Islam bukan masuk Thailand, tapi
lebih dulu ada sebelum Kerajaan Thailand “ Thai Kingdom” berdiri pada abad ke-9.
Muslim di Thailand sekitar 15 persen, dibandingkan penganut Budha, sekitar 80 persen.
Mayoritas Muslim tinggal di Selatan Thailand, sekitar 1,5 juta jiwa, atau 80 persen dari total
penduduk, khususnya di Patani, Yala dan Narathiwat, tiga provinsi yang sangat mewarnai
dinamika di Thailand Selatan. Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala,
Narathiwat, Satun dan Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 Mayoritas penduduk
Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun, yaitu sekitar 71%
diperkotaan, dan 86 % di pedesaan sedangkan di Songkhla, Muslim sekitar 19 %,
minoritas, dan 76.6 % Buddha. Sementara mayoritas penduduk yang berbahasa Melayu,
ratarata 70 persen berada di tiga provinsi: Pattani, Yala dan Narathiwat, sementara
penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3 %, Pattani, 1.0 %, dan
Yala, 3.0 % (Sensus Penduduk, Thailand, 2000).
Penyebaran Islam di kawasan Asia Tenggara merupakan suatu kesatuan dakwah
Islam dari Arab, masa khilafah Umar Bin Khatab” (teori arab). Entah daerah mana yang
lebih dahulu didatangi oleh utusan dakwah dari Arab. Akan tetapi secara historis, Islam
sudah menyebar di beberapa kawasan Asia Tenggara sejak lama, di Malakka, Aceh
(Nusantara), serta Malayan Peninsula termasuk daerah melayu yang berada di daerah
Siam (Thailand).
Pada tahun 1613, d’Eredia memperkirakan bahwa Patani masuk Islam sebelum Malaka
yang secara tradisional dikenal sebagai “darussalaam (tempat damai) pertama” dikawasan
itu (mills 1930:49) . Dalam penelitiannya mengenai kedatangan Islam di Indonesia G.W.J
Drewes menemukan bahwa di Trengganu, yang merupakan salah satu tetangga Patani,
agama baru itu sudah dianut secara mapan menjelang 1386 atau 1387. Dari penemuan ini
Wyatt dan Teeuw menarik kesimpulan bahwa tidak ada alasan mengapa (agama itu) belum
sampai di Patani menjelang tahun itu terutama jika diingat bahwa Patani terkenal sebagai
sebuah pusat Islam yang awal.
Pada puncak kekuasaan patani awal abad ke 17 diletakkan dasar-dasar bagi
perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Ini dimungkinkan oleh hubungan yang semakin
intensif antara negeri Arab yang merupakan pusat Islam dan Asia Tenggara yang ketika itu
pusat perdagangannya. Masa kejayaan yang sudah lampau itu dilambangkan oleh kaum
bangsawan dan hubungan kekerabatan mereka dengan keluarga Melayu dan oleh citra
Patani sebagai “tempat kelahiran Islam” dikawasan itu. Lembaga keagamaan di Patani dan
daerah sekitarnya berfungsi sebagai penghubung antara golongan elit dengan rakyat.
Kaum ulama berfungsi sebagai kekuatan yang mengabsahkan kekuasaan yang berlaku
dan dukungan mereka sifatnya menentukan bagi pemelihara daan pengguna kekuasaan
politik.

C.    PERKEMBANGAN ISLAM DI THAILAND


Dakwah Islam senantiasa di seluruh penjuru dunia. Islam adalah agama yang tidak
mengenal batas dan sekat-sekat nasionalisme. Pun di sebuah negeri yang mayoritas
penduduknya bukanlah pemeluk agama Islam Thailand. Thailand dikenal sebagai negara
yang pandai menjual potensi pariwisata sekaligus sebagai salah satau negara agraris yang
cukup maju di Asia Tenggara. Mayoritas penduduk Thailand adalah bangsa Siam,
Tionghoa dan sebagian kecil bangsa Melayu. Jumlah kaum muslimih di Thailand memang
tidak lebih dari 10% dari total 65 juta penduduk, namun islam menjadi agama mayoritas
kedua setelah Budha.
Penduduk muslim Thailand sebagian besar berdomisili di bagian selatan Thailand,
seperti di propinsi Pha Nga, Songkhla, Narathiwat dan sekitarnya yang dalam sejarahnya
adalah bagian dari Daulah Islamiyyah Pattani. Kultur melayu sangat terasa di daerah
selatan Thailand, khususnya daerah teluk Andaman dan beberapa daerah yang berbatasan
langsung dengan Malaysia. Bahkan beberapa nama daerag berasal dari bahasa Melayu,
seperti Phuket yang berasal dari kata bukit dan Trang yang berasal dari kata terang. Proses
masuknya Islam di Thailand dimulai sejak kerajaan Siam mengakuisi kerajaan Pattani Raya
(atau lebih dikenal oleh penduduk muslim Thai sebagai Pattani Darussalam). Pattani
berasal dari kata Al Fattani yang berarti kebijaksanaan atau cerdik karena di tempat itulah
banyak lahir ulama dan cendekiawan muslim terkenal. Berbagai golongan masyarakat dari
tanah Jawa banyak pula yang menjadi pengajar Al Qur’an dan kitab-kitab Islam berbahasa
Arab Jawi. Beberapa kitab Arab Jawi sampai saat ini masih diajarkan di beberapa sekolah
muslim dan pesantren di Thailand Selatan.
Perkembangan islam di Thailand semakin pesat saat beberapa pekerja muslim dari
Malaysia dan Indonesia masuk ke Thailand pada akhir abad ke-19. Saat itu mereka
membantu kerajaan Thailand membangun beberapa kanal dan system perairan di Krung
Theyp Mahanakhon (sekarang dikenal sebagai Propinsi Bangkok). Beberapa keluarga
muslim bahkan mampu menggalang dana dan mendirikan masjid sebagai saran ibadah,
sebuah masjid yang didirikan pada tahun 1949 oleh warga Indonesia dan komunitas muslim
asli Thailand. Tanah wakaf masjid ini adalah milik Almarhum Hjai Saleh, seorang warga
Indonesia yang bekerja di Bangkok.
Masjid Jawa adalah masjid lain yang juga didirikan oleh komunitas warga muslim
Indonesia di Thailand. Sesuai dengan namanya, pendiri masjid ini adalah warga Indonesia
suku Jawa yang bekerja di Thailand. Namun demikian, anak cucu para pendiri masjid ini
berbicara dalam bahasa Thai dan Inggris saat menceritakan asal muasal berdirinya Masjid
Jawa ini. Masjid Indonesia dan Masjid Jawa hanyalah sebagian dari lima puluhan masjid
lain yang tersebar di seluruh penjuru Bangkok.
D.    LEMBAGA-LEMBAGA ISLAM DI THAILAND
Thailand merupakan Negara yang penduduknya minoritas muslim karena mayoritas
penduduk disana beragama budha. Meskipun penduduk muslimnya minoritas tetapi di
Thailand memiliki lembaga atau kelompok yang kuat dan aktif. Empat kelompok gerakan
Islam yang kuat dan aktif : pertama, golongan tradisional yang sangat berpengaruh di
selatan. Kedua, golongan ortodoks yang menerbitkan majalah Rabbitah. Ketiga, golongan
modernis yang menerbitkan jurnal al jihad. Keempat, golongan Chularajamontri 66 yang
disponsori oleh pemerintah. Terdapat beberapa kelompok gerakan. Gerakan dakwah yang
terus dilancarkan umat Islam diselatan mengenai kebebasan dan otoritas beragama
menghasilkan beberapa konsesi yang diberikan oleh pemerintah dan akhirnya terbentuk
organisasi-organisasi Islam yang menjadi corong kegiatan umat secara nasional yang
mendapatkan legal dari pemerintah organisasi tersebut meliputi:
1) Kantor chularajamantri atau shaikhul islam. Kantor ini dianggap sebagai kantor
tertinggi masyarakat muslim Thailand. Kantor ini terdiri dari 26 provinsi yang memiliki
banyak penduduk muslim. Chula yang dipilih harus mendapatkan persetujuan dan
pengesahan dari raja. Posisi chularazamontri, lebih memiliki kekuatan simbolis administrasi
ketimbang kekuatan yang sebenarnya karena badan ini hanya berfungsi sebagai konsultan
Departemen Agama dari kementrian pendidikan, sejauh hubungan dengan Islam. Sampai
tingkat tertentu kepemimpinan informalnya cukup diakui dan dipakai. Dia menyelesaikan
konflik agama dalam masyarakat Islam, dan memimpin fungsi-fungsi agama pada tingkat
nasional, bahkan dia memberikan fatwa bila terdapat persoala yang menyangkut umat
Islam dan negara. Akan tetapi, bagaimanapun keputusannya tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat atau legal, kecuali negara mengesahkan keputusan tersebut.
2) Komite Islam nasional, lembaga ini dimaksudkan sebagai lembaga tertinggi untuk
urusan administrasi Islam di Thailand. Di ketahui secara ex-officio oleh chularajamontri
Islam di thailand, komite terdiri dari 26 kepala komite Islam propinsi dan beberapa individu
yang ditunjuk.
3) Komite masjid. Ini adalah komite setiap masjid yang diketahui oleh imam yang
diseleksi dan dipilih oleh segenap anggota masyarakat. Sesuai dengan jumlah mesjid yang
ada di Thailand.
4) Komite Islam Provinsi. Merupakan komite di setiap provinsi yang memiliki banyak
penduduk muslim. Anggotanya dipilih dari banyak imam yang salah satu anggotanya
dijadikan ketua.
Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah Thailand lebih akomodatif dalam
memberikan kebijakan kepada masyarakat muslim. Masyarakat diberi kebebasan dalam
menjalankan ibadah. Pemerintah menyediakan dana untuk membantu mereka dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Kaum muslimin
juga diperbolehkan melaksanakan dakwah, membentuk organisasi, dan mengelola
penerbitan literatur keagamaan yang sekarang sedang tumbuh. Meskipun demikian, kaum
muslimin sendiri tidak bebas dari perpecahan.
Ada empat kelompok yang mengklaim dirinya sebagai pihak yang mewakili
kepentingan masyarakat muslim, yaitu chularajamontri, sebuah kelompok yang didukung
negara, kelompok modernis yang menerbitkan jurnal Al-Jihad, kelompok Ortodoks yang
menerbitkan Al-rabitah, dan kelompok muslim melayu tradisional didaerah selatan yang
menentang kepemimpinan chularajamontri, namun menolak disebut sebagai rival al-Jihad
Al-Rabitah. Lepas dari itu semua, secara keseluruhan, komitmen terhadap Islam sedang
tumbuh dikalangan muslim muangthai, meskipun pihak pemerinth akhir-akhir ini cukup
represif memperlakukan kaum muslimin terutama dibagian selatan.
E.     KESIMPULAN
Thailand merupakan salah satu Negara di wilayah di Asia Tenggara yang mayoritas
penduduknya beragama Budha. Tetapi didalam Thailan terdapad provinsi yang mayoritas
penduduknya beragama Islam yaitu di Thailand Selatan. Tepatnya di Pattani dan beberapa
provinsi lainnya. Islam masuk di Thailand dengan cara perdagangan oleh orang-orang
Arab. Buktinya lukisan kuno yang menggambarkan bangsa Arab di Ayuthaya, sebuah
daerah di Thailand dan juga keberhasilan bangsa Arab dalam mendirikan Daulah Islamiyah.
Meskipun Islam merupakan agama yang minoritaas di Thailand tetapi Islam mempunyai
lembaga yang berpengaruh di Thailand yaitu Patani United Liberation Organization (PULO).
Islam masuk ke Thailand pada abad ke-10 Masehi melalui para pedagang dari Jazirah
Arab. Penduduk setempat dapat menerima ajaran Islam dengan baik tanpa paksaan.
Kawasan Thailand yang banyak dihuni umat muslim adalah wilayah bagian selatan yang
berbatasan langsung dengan Malaysia. Kantong-kantong muslim di daerah Thailand
Selatan ini diantaranya adalah propinsi Pattani, Yala, Satun, Narathiwat dan Songkhla. Di
propinsi-propinsi tersebut, rata-rata dihuni oleh sekitar 70 – 80 persen muslim. Selain itu,
umat muslim juga tersebar di beberapa wilayah lain, seperti di propinsi Pattalung, Krabi,
dan Nakorn Srithammarat.

A.    Sejarah Masuknya Islam di Thailand dan Perkembangannnya


Diperkirakan para penyebar Agama Islam yang paling banyak datang ke Nusantara
diperkirakan sekitar tahun seribu empat ratusan masehi atau secara berturut datang setelah itu
hingga keabad lima belas dan enam belasan. Dan diduga bahwa penyebar-penyebar tersebut
adalah keturunan bani Abbasyiah.[2]
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa Islam diperkirakan datang ke negara Thailand
sekitar pada abad ke-10 atau 11 melalui jalur perdagangan. Yang mana penyebaran Islam ini
dilakukan oleh para guru sufi dan pedagang yang berasal dari wilayah Arab dan pesisir India.
Pendapat lain ada yang mengatakan Islam masum ke Thailand melalui Kerajaan Samudra Pasai
di Aceh.[3]
Salah satu bukti yang menguatkan pendapat ini adalah ditemukannya sebuah batu nisan
yang bertuliskan Arab di dekat Kampung Teluk Cik Munah, Pekan Pahang yang bertepatan pada
tahun 1028 M.[4]
Dahulu, ketika Kerajaan Samudera Pasai ditaklukkan oleh kerajaan Siam (Thailand),
banyak orang-orang Islam yang ditawan, yang mana ketika itu Raja Zainal Abidin lah salah satu
tawanan kerajaan Siam yang kemudian di bawa ke Thailand. Para tawanan itu akan dibebaskan
apabila telah membayar uang tebusan. Kemudian para tawanan yang telah bebas itu ada yang
kembali ke Indonesia dan ada pula yang menetap di Thailand dan menyebarkan agama Islam di
wilayah Thailand Selatan yangberbatasan langsung dengan Malaysia.[5]
Pada tahap pertama Islam diwarnai da’wahnya dengan Tasawuf dan Mistik setidaknya
sampai pada abad ke-17. Hal ini karena dirasa paling cocok dengan latar belakang masyarakat
setempat yang dipengaruhi oleh asketisme Hindu-Budha dan sinkretisme kepercayaan local dan
tarekat cenderung lebih toleran dengan tradisi semacam itu.[6] Sehingga ditemukan bahwa
terdapat nama-nama ulama sufi terkenal sebagai penyebar Islam, diantaranya adalah Syiekh
Syafiuddin Ahmad Ad Dajjani Al-Qusyasyi, beliau adalah seorang keturunan Abbas bin Abdul
Muthalib (paman Nabi Muhammad s.a.w). diceritakan juga bahwa ada dua orang yang
sezaman/bersahabat karib yang sama-sama menjalankan aktivitas dakwah Syeikh Syafiuddin di
Pattani.[7]banyak yang menduga bahwa baliaulah yang pertama mengislamkan Pattani,
barangkali anggapan ini adalah satu kekeliruan karena Pattani memeluk Islam jauh lebih awal
dari kedatangan beliau ke Pattani, bahkan Pattani dianggap tampat yang telah lama menerima
Islam tak ubahnya seperti di Aceh juga.[8]

B.     Kondisi Pemerintahan di Thailand


Pada tahun 2004 bertepatan pada bulan April, pada masa kepekimpinan Thaksin
Shinawarta, insiden berdarah telah terjadi sehingga mengakibatkan 30 pemuda muslim tewas di
masjid Kru Se. peristiwa keji terjadi yang kedua kalinya pada bulan oktober 2004 yang
mengakibatkan 175 tahanan pejuang Muslim Takbai meninggal dunia, akibat dijejalkan militer
Thailand dalam sebuah truk dengan kondisi tangan di belakang.[9] pada perkembangan Muslim
Pattani antara 2004 hingga Mei 2007. Periode ini sangat urgen tidak hanya karena banyaknya
korban dalam kurun waktu ini, setidaknya 2000 korban meninggal.[10] Sehingga di penghujung
tahun 2008, Thailand ingin memiliki Perdana Menteri baru yang diharapkan dapat membawa
angin perubahan. Dengan rezim barunya harus berjuang keras mencari alternative dalam
menangani masalah konflik Thailand Selatan.[11]
Rupanya perdamaian Aceh (Gerakan Aceh Merdeka) menjadi model upaya perdamaian
dan rekonsiliasi di Thailand Selatan. Identitas lokal di Thailand Selatan lebih dekat dengan
Kelantan dan Kedah, Malaysia. Masyarakat secara tradisional lebih memilih menggunakan
bahasa Melayu dibandingkan bahasa Thai yang digalakkan oleh pemerintah pusat sebagai bahasa
resmi negara. Keterpaksaan ini dirasakan masyarakat Melayu Muslim di Thailand Selatan selama
puluhan tahun. [12]
Penggunakan bahasa Thai diwajibkan oleh pemerintah, baik itu di kantor kerajaan,
pemerintah, sekolah dan media. Dan ternyata strategi pemerintah Thailand memang
membuahkan hasil. Dalam waktu sekitar 50 tahun, banyak generasi muda Melayu Muslim lebih
suka berbahasa Thai dibandingkan bahasa Melayu, baik di sekolah maupun dalam pergaulan
sehari-hari. Tetapi mereka ’dipaksa’ keluarga untuk berbicara dalam bahasa Melayu ketika
mereka berkumpul dilingkungan keluarga.[13]

C.    Kehidupan Keberagamaan
Ummat Islam di Thailand tidak seberuntung seperti Ummat Islam di Malaysia yang mana
hampir semua sarana da’wah seperti masjid-masjid disediakan oleh pemerintah Malaysia.
Demikian pula dengan Imam, Khotib, Bilal, dan pengurus-pengurus masjid digaji langsung oleh
pemerintah. Sarana media seperti TV maupun radio di Malaysia diberikan waktu tiap malam
untuk da’wah Islam.[14]
kawasan Thailand bagian selatan yang merupakan basis masyarakat melayu-muslim
adalah daerah konflik agama dan persengketaan wilayah dengan latar belakang ras dan agama
yang berkepanjangan. Konflik Thailand selatan terjadi sejak diserahkannya wilayah utara
Melayu oleh pemerintah colonial Inggris kepada kerajaan Siam. Saat itu dibuatlah Traktat
Anglo-Siam yang menabut hak-hak dan martabat Muslim Pattani. Akibatnya, muncul aksi-aksi
perlawanan dan ditanggap pemerintah pusat sebagai separatisme, hingga diberlakukan darurat
militer di wilayah tersebut.[15]
Di beberapa kota pelabuhan, Islam bukanlah agama bagi komunitas perkampungan
melainkan agama para individu yang mobil yang menyatu dalam jaringan asosiasi internasional.
Dari Singapura pembaharuan Islam menyebar ke seluruh Asia Tenggara melalui perdagangan,
haji, dan melalui gerakan pelajar, guru dan sufi.[16]
Sudah pada tempatnya dunia Islam segera meyampaikan appeal kepada pemerintah
supaya elindng, menyelamatkan Ummat Islam dan memberikan persamaan hak di segala bidang
kepada mereka, termasuk hak-hak untuk beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam, hak
yang sama dengan hak-hak yang dmiliki penduduk yang beragama Budha.[17]

D.    Pendidikan di Thailand
Pendidikan yang digalakkan oleh pemerintah Kerajaan Thailand tergolong bersifat
deskriminatif terhadap Islam. Pada tahun 1923 M, beberapa Madrasah Islam yang dianggap
ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan
pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran Budha. Pada saat-saat tertentu anak-
anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan kepada guru harus
menyembah dengan sembah Budha. Kementrian pendidikan memutar balik
sejarah, dikatakannya bahwa orang Islam itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah
di Siam dan menjatuhkan raja.[18]Dampak yang menonjol dari perkembangan yang berorientasi
ke dalam hal ini. Misalnya, pada tahun 1966, sekitar 60% anak-anak di Pattani tidak dapat
berbicara bahasa nasional. Hal itu berkaitan dengan banyaknya orang tua Muslim yang lebih
senang mengirimkan anak-anaknya ke sekolah agama[19]
Strategi yang perlu dibangun masyarakat muslim di Thailand Selatan pada saat ini adalah
memajukan pendidikan, mendukung pembangunan nasional, dan menjaga stabilitas local.
Namun, sampai saat inipun masyarakat muslim Pattani Thailand menghadapi diskriminasi
komplek dan teror yang berlarut-larut. Sehingga kehidupan sosial maupun politik menjadi sangat
terbatas. Akhirnya pemerintah Thailand juga belum mampu memberi pendidikan merata
terhadap kaum muslim. Tekanan berbasis keamanan selalu mengancam mereka. Kesenjangan ini
menurunkan nasionalisme mesyarakat di luar mayoritas Thai-Budha.[20]

E.     Muslim Thailand Sebagai Minoritas


Perlulah kita membatasi definisi atau pengertian tentang minoritas muslim, karena
terdapat sejumlah pertimbangan dalam masalah ini, dengan pengertian bahwa Negara yang
jumlah penduduk kaum musliminnya lebih dari setengah  jumlah penduduk, itu tergolong Negara
Islam. Akan tetapi apabila jumlah kaum musliminnya kurang dari setengah jumlah penduduk,
maka digolongkan (minoritas) masuk ke dalam Negara yang bukan Islam.[21]
Negara bukan Islam yang berjulukan Negara Gajah Putih, tercatat minoritas kaum
Muslim yang berjumlah sekitar 5% atau 1,5 juta jiwa dari penduduk Thailand, Mayoritas Muslim
tinggal di wilayah selatan khususnya Pattani, Yala, dan marathiwat. Mereka kerap
terdiskriminasi dalam segala sektor kehidupan. Pada saat ini mayoritas penduduk Thailand yang
beragama Budha sekitar 80%. Daerah-dareh tersebut awalnya merupakan bagian dari sebuah
kerajaan Melayu Islam Pattani Darusalam.Daerah yang sekarang disebut Thailand selatan pada
masa dahulu berupa kesultanan-kesultanan yang merdeka dan berdaulat, diantara kesultanan
yang terbesar adalah Patani. Thailand sebelumnya bernama Siam yang kemudian pada tahun
1939 M, Nama Siam diganti dengan Muangthai.[22]
Derita yang dialami masyarakat muslim di Thailand Selatan yang sebagai minoritas ini
adalah akibat dari pembatasan ruang gerak mereka untuk memperoleh hak-haknya dalam bidang
ekonomi, politik, dan keagamaan. Juga karena problematika klasik yang telah berlangsung lama
yang menyalahi keyakinan dan nilai-nilai keislamannya.[23] Minoritas ini menuntut pemisahan
diri dan kemerdekaan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa perdamaian Aceh
(Gerakan Aceh Merdeka) menjadi model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan.
Dalam tatanan sosial, muslimin Thailand mendapatkan julukan yang kurang enak untuk
didengar. Yaitu Kheik atau khaek yang berarti orang luar, yang secara harfiah berarti pendatang
atau orang yang datang menumpang. Dalam bahasa Thai, istilah ini juga selama berabad-abad
sudah dikenal untuk menyebut kaum pendatang berkulit hitam dari daerah Melayu dan Asia
Selatan, orang-orang Thai-Islam menolak sebutan ini dan menyatakan bahwa kedatangan mereka
(khususnya di kawasan Thailand Selatan), jauh lebih awal daripada kedatangan orang-orang
Budha Thailand.[24] Hingga istilah Thai-Islam dibuat pada 1940-an. Akan tetapi istilah ini
menimblkan kontradiksi karena istilah Thai merupakan sinonim dari
kata Budhasedangkan Islam identik dengan kaum muslim melayu pada waktu itu. Jadi
bagaimana mungkin seseorang menjadi budha dan muslim pada satu waktu? Maka dari itu kaum
muslim melayu lebih suka dipanggil Malay-Islam. [25]

Anda mungkin juga menyukai