Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kedatangan Islam ke wilayah Asia Tenggara diduga karena proses perdagangan dan
bukan melalui proses penaklukan suatu wilayah. Hal ini bisa dilihat dari peranan wilayah
Asia Tenggara pada saat itu sebagai salah satu jalur perdagangan yang diminati oleh para
pedagang. Jalur perdagangan itu masyur dikenal sebagai jalur sutra laut yang membentang
dari mulai Laut Merah- Teluk Persia- Gujarat- Bengal- Malabar-SemenanjungMalakahinggakeChina.
Teori-teori masuknya islam ke Asia Tenggara sebagaimana yang telah masyur adalah ada tiga
kemudian berkembang menjadi empat pada saat ini, yaitu:
a.TeoriArab
b.TeoriIndia
c.TeoriPersia,dan
d.TeoriChina

Dengan keberadaan jalur perdagangan ini, memudahkan dalam penyebaran agama


islam, terutama di wilayah pesisir pantai hingga akhirnya masuk ke wilayah pedalaman.
Selain itu penguasaan wilayah pesisir oleh komunitas muslim pada saat itu semakin
mempermudah penyebarluasan dakwah dan syiar islam kepada penduduk pribumi.

Dalam studi penyebaran Islam di wilayah daratan Asia Tenggara yang meliputi
Thailand, Myanmar dan Indocina, pola penyebaran melalui perdagangan sangat dominan
sekali. Selain itu adanya emigrasi suatu penduduk untuk mendiami wilayah baru di daratan
Asia Tenggara ikut pula mempengaruhi proses penyebaran agama islam seperti contohnya di
wilayah Indocina.
Maka dalam pembahasan kali ini akan mengkaji penyebaran agama islam di wilayah
daratan Asia Tenggara dengan fokus kajian di wilayahThailand,MyanmardanIndocina.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah islam di thailand

2. bagaimana perkembangan islam


3. Apa saja problema islam di thailand
4. Bagaimana perjuangan islam di thailand
5. Dan lain-lain
C. Tujuan
Tujuan utamanya adalah supaya kita dapat mengetahui bagaimana perkembangan
islam di thailand. dan dapat menambah wawasan kita dalam pendidikan siat.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah masuknya Islam di Thailand selatan

Karena studi ini merupakan studi agama dalam cakupan kawasan, maka Sebelum
memasuki ranah antropologi -dalam hal ini keadaan sosial-politik masyarakat muslim
minoritas di Thailand selatan- diperlukan pendekatan dan penelitian dari ranah sejarah.
Pasalnya, studi kawasan-keagamaan mempunyai cakupan yang komplek dari sebuah kultur
politik, ekonomi, bahasa, adat, sosial dll.[1]
Islam tidak serta merta ada di negeri Siam (sekarang Thailand). Meskipun Islam
merupakan agama mayoritas di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, akan tetapi
Islam merupakan agama minoritas di daratan utama asia tenggara yang telah dihuni oleh
Hindu dan Budha jauh sebelum Islam datang ke daerah tersebut sekitar abad ke-9, In
mainland Southeast Asia, however, Islam has been a minority religion and Buddhism is a
national religion. Historically the region had been dominated by Hinduism and Buddhism for
centuries before the arrival of Islam around the ninth century.[2]
Hal ini sedikit bertentangan dengan apa yang dikemukakan Azyumardi Azra dalam
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Asia Tenggara, bahwa Islam masuk di Thailand
diperkirakan pada Abad ke-10 atau ke-11.di kawasan Thailand selatan atau tepatnya di daerah
Pattani. Islampun masuk ke daerah kerajaan Pattani melalui pedagang-pedagang muslim dari
Arab dan Indiakarena daerah Pattani merupakan daerah yang maju dan strategis untuk
disinggahi. yang mana mereka disebut sebagai khek Islam atau orang muslim sebelum
kerajaan Siam (Thailand) dibentuk. Karena pada awalnya, Pattani merupakan daerah yang
terpisah dari Siam (saat ini Thailand), Muslims have been in Thailand since before the
formation of the Thai kingdoms in the ninth century.
Pada mulanya, Pattani sendiri merupakan kerajaan yang terletak di sebelah selatan
Thailand dengan mayoritas penduduk melayu yang dipimpin oleh penguasa muslim yang
bernama Sulaiman.Siam pada waktu itu berusaha untuk menguasai Pattani dengan
mengirimkan pasukannya berkali kali akan tetapi selalu gagal. Hingga pada pemerintahan
Sultan Muzhaffar, Pattani menuju zaman keemasannyasehinnga menarik ketamakan Siam
untuk kembali meguasaii Pattani dan akhirnya dapat menguasainya setelah perang bertahun
tahun.
Dari sinilah permulaan pemberontakan kaum muslim Pattani untuk melepaskan diri
dari Thailand yang telah menguasainya. Pasalnya, Siam bersikap keras dan menekan kaum
minoritas muslim dengan menyuruh mengganti nama nama mereka dengan nama Thailand
serta mengambi adat istiadatnya[3]

B.

Kehidupan Sosio-Politik Minoritas Muslim Thailand.


Pada tahun 1982 diadakan pertemuan di Malaka yang diikuti oleh utusan beberapa

negara Asia tenggara termasuk Thailand. Pada kesempatan itu, hadir 800 melayu muslim
Thailand dan terdapat beberapa lulusan Al Azhar mesir. Mereka berceramah tentang
kehidupan minoritas Muslim di Thailand. Secara geografis, umat Muslim di Thailand
bertempat di empat wilayah selatan Thailand yaitu;
1.

Patani

2.

Yala

3.

Narathiwat

4.

Satun
Dengan jumlah penduduk melayu muslim di Thailand 710.906, dan jumlah umat

muslim keseluruhan di Patani lebih dari 3 juta jiwa. Sedangkan mayoritas penduduknya
beragama Budha.[12] Kaum muslim di Thailand sendiri terbagi menjadi 2 bagian. Muslim
melayu dan muslim non-melayu. Dengan persentase 80% : 20%.[4]
Dalam tatanan sosial, muslimin Thailand mendapatkan julukan yang kurang enak
untuk didengar. Yaitu khaekyang berarti orang luar, pendatang atau tamu. Meskipun pada
mulanya khaek merupakan term untuk makro-etnis bagi orang selain Thai, tapi lama
kelamaan term tersebut dipakai pemerintah untuk mendeskripsikan kaum melayu-muslim
diselatan Thailand.[5]
Hingga istilah Thai-Islam dibuat pada 1940-an. Akan tetapi istilah ini menimbulkan
kontradiksi karena istilah Thai merupakan sinonim dari kata Budha sedangkan Islam
identik dengan kaum muslim melayu pada waktu itu. Jadi bagaimana mungkin seseorang
menjadi budha dan muslim pada satu waktu? Maka dari itu kaum muslim melayu lebih suka
dipanggil Malay-Islam,
The problem is that, while the word Thai is synonymous with Buddhism, for the MalayMuslims the word Muslim also means Malay. So how can they be both Thai and
Islam? The category of Thai-Islam, therefore, has been regarded as insensitive, if not an
insult, on the part of the Thai government by the Muslims, especially those in the South. They
prefer to be called by the historically and politically correct term Malay-Muslims[6]

Dari problem rasial seperti di atas, timbullah pengelompokan kaum muslim di


Thailand menjadi 2 golongan.
Pertama, assimilated group. Atau golongan yang terasimilasi atau berbaur dengan kaum
mayoritas yaitu agama masyarakat Thai-Budha pada segala bidang tatanan kehidupan hanya
saja tidak sampai pada masalah keagamaan.
Kedua, unassimilated group. Atau golongan yang tidak berbaur namun menyendiri di
Thailand bagian selatan. Yang masih menunjukkan kultur melayu-Islam pada nama, bahasa
dan adat. Golongan ini bertempat tinggal di daerah Yala, Narathiwat dan Pattani. Kecuali
daerah Satun yang sudah terasimilasi dengan kelompok mayoritas Thai.
Dalam kaca mata historis, kehidupan sosio-politik kaum muslim Thailand selatan khususnya
di patani bisa dibagi menjadi tiga fase.
1.

Fase kerajaan melayu Pattani.


Menurut A.Teeuw dan Wyatt kerajaan ini berdiri sendiri tanpa aturan dari kerajaan

Siam atau Thailand. Fase ini dimulai sekitar abad ke-14. dimana kerajaan melayu patani telah
dibentuk,
A.Teeuw dan Wyatt berpendapat bahawa Patani telah ditubuhkan sekitar pertengahan abad
ke-14 dan ke-15. Pendapat mereka berasaskan kepada tulisan Tomes Pires dan lawatan
Laksamana Cheng Ho ke rantau ini dalam tahun 1404-1433 T.M. (Teeuw & Wyatt 1970,3).
Mengikut Hikayat Patani pula, Kerajaan Melayu Patani berasal dari kerajaan Melayu yang
berpusat di Kota Mahligai yang diperintah oleh Phya Tu Kerab Mahayana (Teeuw & Wyatt
1970,68).[7]
Kehidupan Pattani di semenanjung Siam yang strategis menjadi tujuan pedagangpedagang dari berbagai penjuru dunia, sehingga menjadikan patani daratan yang ramai dan
sibuk. Sehingga dalam waktu yang singkat patani telah menjadi kerajaan yang kuat dan ramai
dari segi ekonomi maupun politik. Hubungan patani dengan luar negeri yang baik
menjadikannya selamat dari penjajahan negara Siam, Portugis dan Belanda.
Islam masuk di kerajaan Melayu-Pattani sekitar abad ke-13. historically, the muslim
presence in traditional thai polity is traceable to the 13th century in the Sukhothai era. It
was, however, during the Ayutthayant period that muslim asserted their dominan position.Nik
Anuar Nik Mahmud menambahkan bahwa Islam masuk ke kerajaan patani pada abad ke-13
dan lebih awal dari malaka, Islam telah bertapak di Patani lebih awal daripada Melaka

(Mills 1930). Dalam hal ini, Teeuw danWyatt berkeyakinan bahawa Islam telah bertapak di
Kuala Berang, Terengganu, iaitupada sekitar 1386- 87 T.M. (Teeuw & Wyatt 1970, 4).[8]
Keadaan yang seperti ini menjadikan kerjaan melayu patani menjadi tuan para
pedagang-pedagang muslim maupun non-muslim dari belahan bumi barat dan menancapkan
ajaran agama Islam pada sekitar abad ke-13.
2.

Fase kerajaan Melayu-Pattani dalam kekuasaan kerajaan Siam


Fase ini dibagi menjadi beberapa bagian dimana kerajaan melayu Pattani

mendapatkan hak otonomi dari kerajaan Siam sebelum tahun 1808 M. Dan lambat laun
mendapat pengaruh dari Sukhotai. Penjelasan struktur melayu patani di bawah kekuasan
Thailand ada pada tabel berikut ini,

Pre-1808 Patani was an autonomous state and gradually came under Sukhothai influence
as a vassal state and under Ayutthaya control as a tributary state.
1808

Bangkok ruled and divided Patani into 7 muang [states]: (1) Patani (2)
Nongchik (3)Yaring (4) Raman (5) Yala (6) Saiburi (7) Rangae

1832 and Revolts in the Seven States


1838
1901

Bangkok under Rama V launched a central administration of the provinces and


issued the Regulations Concerning the Administration of the Area of the
Seven Provinces which aimed at increasing centralized Thai control over the
area.

1902

Raja of Patani, Abdul Kadir, led a rebellion against the Thai Reform.

1906

The Seven States were made into a Circle[monthon] Patani

1909

The Anglo-Siamese Agreement established the present border between


Thailand and Malaysia.

1932

Revolution overthrew the monarchy

1933

Abolished the Circle system; re-organization of the southernmost area into (1)
Pattani Province (2) Yala Province (3) Narathiwat Province and (4) Satun
Province

Dari tabel di atas terlihat jelas bahwa muslim Pattani menjadi minoritas yang
sepenuhnya diatur dibawah kekuasaan Thailand. Hingga pada akhirnya muslim Thailand
yang berada di wilayah selatan Thailand dibagi dalam empat propinsi, Patani, Yala,
Narathiwat dan Patun.[9]
3.

Fase modern muslim Thailand selatan.


Dimana masuknya pengaruh pengaruh barat pada awal abad ke-19 telah merubah

Siam menjadi modern pada berbagai bidang, ekonomi, politik dan pendidikan. After years
under colonial rule-both direct and indirect in the case of Siam or Thailand-the society and
politics of the region had been shaped largely by modernization, including an invention of a
centralized administrative government, a modern education system and a modern
economy. [10]
Hal serupa telah memberi pengaruh pada generasi muda muslim Thailand selatan
yang selama ini dalam kekuasaan Thailand dan menumbuhkan semangat nasionalisme dalam
diri mereka untuk menjadi merdeka dan berdiri sendiri dari kekangan Thailand, Thus, it can
be said that the Western impact that drove Siam to secure its independence and
modernization also gave the Malay-Muslim states an opportunity to assert its own
autonomous state and religion vis--vis the modernized Thai nation-state
Dimulailah perjuangan utuk menuntut kemerdekaan bagi wilayah muslim Thailand
pattani dan empat wilayah lainnya di Thailand selatan. Kesempatan untuk merdeka semakin
terbuka lebar ketika terjadi terjadi perang pasifik dengan Thailand dan Jepang melawan
Britain dan Amerika. Setelah kekalahan Britain di melayu dan kekalahan Amerika di Hawai,
pada 21 Disember 1941, Pibul Songgram berpihak kepada Jepang. Sebagai imbalan, Jepang
berjanji akan menyerahkan wilayah melayu utara, Kelantan, Kedah, Trengganu dan Perlis
Kepada Thailand.
Pada 25 januari 1941, Thailand mengobarkan perang melawan Britain, akan tetapi
berbeda dengan Amerika yang membiarkan kedua negara tersebut bertikai. Hal ini
dimanfaatkan oleh Pattani dan wilayah muslim Thailand selatan untuk memanfaatkan Britain
membantu mereka merdeka dari belenggu Thailand dan dipimpin oleh Tengku
Muhyidin. [11]
Akan tetapi Britain mempunyai kehendak lain dibalik perseteruannya dengan
Thailand sehingga tengku Muhyidin sadar bahwasanya dirinya telah menajadi mangsa
percaturan politik Britain-Thailand.

Kegagalan tengku Muhyidin dalam membebaskan wilayah selatan Thailand telah


menggalakkan ulama muslim untuk turun berjuang di wilayah terbuka. Akan tetapi mereka
sadar bahwa keadaan politik yang ada menjadikan mereka sulit untuk mendapatkan
kemerdekaan. Lebih lebih ketika Britain dan Amerika mengakui kedaulatan Thailand pada 1
janurai 1941. Hal ini menyisakan satu solusi bagi umat muslim di Thailand selatan, yaitu
menuntut otonomi penuh bagi empat wilayah Thailand selatan dari penguasa thailand. [12]
Kegagalan merebut kemerdekaan bagi wilalyah muslim di Thailand selatan telah
memunculkan gerakan gerakan baru yang lebih besar. Pada tahun 1950 dan seterusnya
hubungan

melayu

muslim

Thailand

selatan

dengan

penguasa

Thailand

diliputi

ketidakpercayaan, kecurigaan dan kesalahpahaman yang berlarut larut. Hal itu dikarenakan
ketidak setujuan komunitas muslim pada aturan aturan dan proses asimilasi yang dilakukan
oleh pemerintah Thailand kepada komunitas muslim,
From the late 1950s to the present, relations between the Malay-Muslims of the South and
Thai authorities have been relatively the same. Mistrust, patronizing and misunderstanding on
the part of the government officials are still prevalent. Fear, resentment and disapproving of
Thai rule and power are also rampant among the Malay-Muslims. Similar policies aimed at
integration and assimilation of the Muslims are still being prescribed to the local offices.
Pada tahun 1970, diberlakukan operasi pembersihan gerakan anti-pemerintah
diwilayah muslim Thailand selatan. Keadaan menekan tersebut menimbulkan reaksi keras
dari komunitas muslim dengan bermunculannya gerakan pemberontakan dan pembebasan
wilayah muslim Thailand selatan; Barisan Nasional Pembebasan Pattani (BNPP), Barisan
Revolusi Nasional (BRN), Bertubuhan perpaduan Pembebasan Pattani (PPPP) atau PULO.
Yang menjadi motor pergerakan pembebasan muslim Pattani dan wilayah muslim lainnya.
Akan tetapi, Pergolakan menahun antara muslim minoritas dengan pemerintah,
menurut Patrick Jory, sebenarnya adalah perseteruan dua etnis, Melayu-Pattani dengan etnis
Thai sebagai mayoritas. Akan tetapi mengapa pada saat ini menggunakan label agama
Islam? Masih menurut Patrick Jory, bahwa pada masa kolonial, pemerintah berusaha untuk
menghilangkan istilah Malay (melayu) pada masyarakat Thailand selatan dan
menggantinya menjadi Thai-Muslim atau Thai-Islam. Karena identitas melayu akan
memberikan kekuatan menumbuhkan semangat nasionalisme dan berusaha berpisah dari
pemerintah Thailand, it feared that with the new, post-colonial logicof nation-based states,
recognition of the people of the region as malay might give credibility to demands for the
separate malay state.[13] Dan diharapkan dengan pergantian linguistik tersebut, gerakan

asimilasi malay-muslim dengan thai-budha akan tercapai, the government has attempted to
replace it with the religious label Thai-Muslim in the hope that this linguistic change
would contribute to the overall goal of assimilation.[14]
Terlepas dari konflik etno-religious yang terjadi, umat muslim di Thailand selatan di
masa kontemporer ini telah mengalami peningkatan yang signifikan di berbagai bidang.
Meskipun tetap berada dalam tekanan dan diskriminasi dari pemerintah Thailand. Muslim di
thailand bukanlah komunitas baru dan juga bukan komunitas yang dipinggirkan. Maka dari
itu muslim di thailand saat ini adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Thailan secara
keseluruhan dan tetap menjadi minoritas di berbagai bidang, sosial maupun politik. The
muslims today just as the past continue to be numerically and politically significant as
national minority in modern-day Thailand.
Muslim di Thailand mempunyai sejarah tersendiri yang bisa dibilang tragis dan
berliku. Mulai dari abad ke-13 dimana Agama Islam menapakkan kakinya di kerajaan Pattani
dan kemudian menjadi mayoritas di wilayah tersebut. Masyarakat muslim Thailand saat ini
telah menjadi bagian integral dari keseluruhan pemerintahan dan komunitas Thailand dari
beberapa abad yang lalu. Secara historis, kultur dan ekonomi, masyarakat minoritas muslim
di Thailand selatan telah mengalami peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu. Akan
tetapi mereka tetap berusaha menjadi bagian komunitas yang dipahami.
Hal itu berangkat daari background masyarakat muslim sendiri, yaitu komunitas
melayu Pattani yang dari awalnya berdiri sendiri dan kemudian dikuasai oleh Siam atau
Thailand. Dan saat ini, dimana modernisme merambah semua negara dan Thailand menjadi
negara demokrasi, muslim Thailand mulai dipandang positif oleh komunitas yang lainnya.
Hal ini memunculkan era baru antara muslim-pemerintah yang memberikan ruang lebih luas
bagi umat muslim Thailand merambah dunia politik dan ekonomi. Hal ini tampak dari
pertumbuhan masjid di Thailand yang berkembang pesat; Bangkok 159 masjid, Krabi 144
masjid, Narathiwat 447 masjid, Pattani 544 masjid, Yala 308 masjid, Songkhla 204 masjid,
Satun 147 masjid.[15]Dan beberapa masjid di berbagai kota di thailand. Biarpun begitu,
minoritas muslim thailand masih jauh dari kelapangan dalam hidup. Karena mereka tetap
menjadi minoritas yang mendapatkan tekanan dan diskriminasi yang tak henti henti.
(scribd.com)
C. Perkembangan Islam di Thailand Selatan

Melayu Pattani atau yang acapkali disebut Pattani, merupakan satu dari sekian banyak
kelompok etnik Melayu di Asia Tenggara. Kelompok sosial ini bermukim di Tanah Genting
Kra, Provinsi Pattani, Thailand Selatan (Pantai Teluk Thailand). Pattani juga merupakan salah
satu nama dari empat provinsi di Thailand bagian selatan yang mayoritas penduduknya
menganut agama Islam atau sekitar 80% muslim. Di sebelah selatan, wilayah ini berbatasan
langsung dengan Malaysia bagian utara, Semenanjung Malaka, region Asia Tenggara.
Sementara di bagian utara dan barat, provinsi ini berbatasan langsung dengan Provinsi Yala
(Jala) dan Narathiwat (Menara) di mana kedua provinsi ini pada masa lalu merupakan bagian
dari Tanah Genting Kra atau Pattani Raya.
Dalam presentasenya, penduduk muslim di Negeri Gajah Putih hanya sekitar 5,5%
dari keseluruhan warga negara yang mayoritas beragama Buddha (Asian Survey, Mei 1998).
Dari 5,5% ini hampir seluruhnya orang Melayu Pattani yang bermukim di Provinsi Pattani.
Fakta kuantitatif tersebut menyebabkan mereka terpinggirkan secara sosial dan politik, serta
menjadikannya sebagai sukubangsa minoritas di Thailand. Karena hal itu pula, hingga kini,
masih saja muncul gerakan-gerakan perlawanan terhadap negara (penguasa) dari orang
Pattani. Salah satunya ialah gerakan separatis masyarakat Pattani yang dikenal dengan dar alIslam.[16]
Bila menilik dari sejarahnya, sejak abad ke-11 M hingga tahun 1786, Kerajaan Pattani
Raya merupakan sebuah kerajaan dengan wilayah kekuasaan yang cukup luas, kira-kira
luasnya setara dengan luas wilayah negara Thailand saat ini plus beberapa area yang kini
termasuk teritori Malaysia Utara. Pada masa kejayaan Sriwijaya di Nusantara, Pattani dan
kerajaan-kerajaan kecil lainnya yang terdapat di daerah Semenanjung Melayu dan Sumatra
sempat berada dalam kekuasaan imperium Sriwijaya. Dari abad ke-7 M hingga awal abad ke13 M, Sriwijaya menguasai jalur pedagangan di Selat Malaka, dan menarik pajak dari para
pedagang yang melintasi dan berdagang di kawasan itu.
Nama Pattani sesungguhnya baru muncul di sekitar abad ke-14 M. Sebelum itu, tanah
Pattani adalah hak milik dari kerajaan yang bernama Langkasuka. Langkasuka merupakan
salah satu dari puluhan kerajaan kuna di Asia Tenggara. Langkasuka berubah menjadi Pattani
pada abad ke-14 karena berbagai hal yang sifatnya politik-ekonomi, terutama lantaran
kerajaan ini berada di pusat perdagangan dan bertemunya para merkantil dari Asia dan Eropa
(Syed Serajul Islam, 1998). Pedagang Arab mulai masuk sekitar abad ke-12, dan mencapai
puncaknya di abad ke-15 melalui para pedagang Arab yang berlabuh di pelabuhan-pelabuhan
milik Kerajaan Pattani Raya.

Pada masa itu, pertumbuhan ekonomi Kerajaan Pattani Raya tumbuh pesat. Oleh
karenanya, interaksi semakin intens antara raja Pattani dan masyarakatnya dengan para
pedagang yang berlabuh tadi, maka pada abad ke-15 raja Pattani mendeklarasikan bahwa
dirinyayang juga diikuti masyarakatnyamemeluk Islam. Sejak itu, Pattani dikenal
sebagai masyarakat berbasis Islam dengan corak budaya, organisasi sosial masyarakatnya,
dan institusi pemerintahan yang tentu berlainan dengan model Kerajaan Langkasuka yang
berkiblat pada Hindu-Buddha.
Di awal abad ke-20, ketika Perang Dunia II meletus, bangsa Siam berpihak pada
Jepang untuk menentang kependudukan Inggris. Sementara itu, Tengku Mahmud Muhyiddin,
salah seorang putera mantan raja Pattani, berdinas dalam ketentaraan Inggris dengan pangkat
mayor. Ia kemudian membujuk penguasa kolonial Inggris yang berkantor di India agar
mengambil alih Pattani dan menggabungkannya dengan Semenanjung Melayu. Pada 1
November 1945, sekumpulan tokoh Pattani dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil menyampaikan
petisi pada Inggris agar empat wilayah di daerah selatan Siam dibebaskan dari kekuasaan
Siam dan digabungkan dengan Semenanjung Melayu.
Dalam perkembangannya, ternyata Inggris tetap mengutamakan kepentingan dirinya
sendiri sebagai tolok ukur dalam mengambil keputusan. Dengan alasan tergantung pada
pasokan beras dari Siam, maka kemudian Inggris memilih tetap mendukung pendudukan
Siam atas Pattani. Pada tahun 1909 M, Inggris dan Siam menandatangani perjanjian yang
berisi pengakuan Inggris terhadap kekuasaan Siam di Pattani. Dalam perjanjian itu,
dijelaskan secara tegas mengenai batas wilayah kerajaan Siam dan Semenanjung Melayu.
Garis batas yang disepakati dalam perjanjian tersebut sekarang menjadi daerah batas
Malaysia dan Thailand.
Dari semua itu, sejarah panjang rakyat Pattani kerap diwarnai dengan perang dan
damai; dua keadaan ini datang silih berganti. Namun, apapun kondisinya, ternyata rakyat
Pattani tetap memiliki kehidupan sosial budaya yang tidak jauh berbeda dengan kawasan
Melayu lainnya. Di Pattani, ternyata juga berkembang berbagai pertunjukan dan permainan
rakyat, seperti Makyong, mengarak burung, wayang kulit Melayu, dan seni musik nobat.
Bahkan, permainan tradisional masyarakat Siam, yaitu menora, juga digemari oleh
masyarakat muslim Pattani. Dalam permainan menora, terdapat unsur ritual, nyanyian, tarian
dan lakon. Berkaitan dengan alat-alat musik, yang berkembang luas di masyarakat adalah
serunai, nafiri, dan rebab. Sebagai bangsa yang hidup di dalam kuasa bangsa Siam, di Pattani
tetap muncul suatu perlawanan. Perlawanan tersebut terefleksi dalam nyanyian rakyat ketika
menidurkan anak (lagu dodoi).

D.

Dinamika Penduduk Thailand

Tradisi Muslim di wilayah ini mengakar sejak kerajaan Sri Vijaya yang menguasai
wilayah Asia Tenggara, termasuk Thailand Selatan. Thailand Selatan terdiri dari lima
provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan Songkhla. Songkhla adalah provinsi terbesar di
Thailand Selatan, yang memiliki bandara Internasional, dan sebagai pusat perdangangan di
Selatan. Masyarakat Buddha etnis Thai kebanyakan tinggal di perkotaan. Meskipun mereka
minoritas di Selatan, mereka termasuk kelompok ekonomi menengah, sebagai pegawai
pemerintahan dan atau pengusaha.[17]
Thailand Selatan terdiri dari lima provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat, Satun dan
Songkhla, dengan total penduduk 6.326.732 (Kantor Statistik Nasional, Thailand, 2002).
Mayoritas penduduk Muslim terdapat di empat provinsi: Pattani, Yala, Narathiwat dan Satun,
yaitu sekitar 71% di perkotaan, dan 86 % di pedesaan (YCCI, 2006: 34), sedangkan di
Songkhla, Muslim sekitar 19 %, minoritas, dan 76.6 % Buddha. Sementara mayoritas
penduduk yang berbahasa Melayu, rata- rata 70 persen berada di tiga provinsi: Pattani, Yala
dan Narathiwat, sementara penduduk berbahasa China, ada di tiga provinsi: Narathiwat, 0.3
%, Pattani, 1.0 %, dan Yala, 3.0 % .[18]
Sejak 1906, sesuai dengan perjanjian Inggris-Siam secara resmi mengambil alih
negara-negara di Melayu Utara: Pattani, Narathiwat, Songkhla, Satun dan Yala, yang
kemudian menjadi provinsi di Thailand. Sementara negara di Melayu utara yang lain: Kedah,
Kelantan, Perlis dan Terengganu oleh Inggris dimasukkan sebagai bagian dari Malaysia
(Yusuf, 2006: 170).
Sejak penyatuan kelima negara di wilayah Melayu Utara ke dalam bagian dari
Thailand, terjadi benturan budaya antara Muslim Melayu dan Buddis Thailand. Pada awal
pemerintahan Thailand yang dikuasai oleh tentara Jenderal Luang Pibulsongkram, yang
memimpin 1938-1944, Marshal Sarit Thanarat, 1958-1963 dan pemimpin jenderal lainnya,
kebijakan nasionalisme budaya Thailand menjadi kebijakan utama. Thaisasi upaya
penggunaan budaya dan bahasa Thai- secara kuat di seluruh Thailand, termasuk wilayah
Selatan, membuat benturan budaya yang keras, yang menimbulkan resistensi sangat kuat bagi
Muslim Melayu di Thailand Selatan. Dua peristiwa yang mengenaskan pada tahun 2004
sangat menarik perhatian semua pihak baik di Thailand maupun di luar Thailand.

Muslim di Tailand Selatan memiliki identitas etnis dan agama yang berbeda dengan
mayoritas penduduk (dan juga pemerintah) Thailand. Muslim memiliki bahasa Melayu dan
beragama Islam, dua identitas budaya dan agama yang menjadi bagian dari Bangsa Patani.
Mereka selama ratusan tahun terbentuk dalam Kerajaan Islam Patani. Kuatnya identitas lokal
keislaman dan kemelayuan ini mendorong banyak intelektual Thailand untuk menggagas
status otonomi Thailand Selatan, khususnya di tiga provinsi: Patani, Yala dan Narathiwat,
atau dalam banyak istilah sejarah ketiga provinsi ini disebut Muslim Patani (Yusuf dan
Schmidt, 2006).
Identitas ini sangat dekat dengan etnisitas Aceh yang tidak sekedar memiliki status
Daerah Istimewa, tetapi otonomi khusus dengan peran dan hak lebih besar bagi pemerintah
lokal atas kekayaan sumber daya alam. Otonomi luas barangkali solusi bagi Muslim Patani
untuk menentukan arah ekonomi dan politik wilayahnya di bawah kekuasaan pemerintah
pusat Thailand. Tetapi ide otonomi nampaknya belum menjadi agenda pemerintah pusat.
Seandainya wacana dimunculkan kalangan intelektual, muncul banyak kekhawatiran atas
sikap tanggapan yang tidak fair dan berlebihan bahwa otonomi bisa dijadikan jembatan
menuju kemerdekaan.
Kaum Muslim di Thailand sendiri terpecah menjadi empat kelompok, yaitu :
kelompok Chularajmontri (kepala kantor masyarakat), kelompok modernis yang menerbitkan
jurnal al-jihad, kelompok ortodok yang menerbitkan jurnal Rabithah, dan kelompok muslim
melayu yang menentang kelompok Chularajmontri, namun menolak dikatakan sebagai rival
kelompok Al-jihad dan Al-rabithah.
Namun, meskipun terpecah-pecah, mereka tetap sama-sama memiliki komitmen
terhadap kemajuan islam di Muangthai.[19]
E. Problema Minoritas Muslim Thailand

Sejak 1906, sesuai dengan perjanjian Inggris-Siam secara resmi mengambil alih negaranegara di Melayu Utara: Pattani, Narathiwat, Songkhla, Satun dan Yala yang kemudian
menjadi provinsi di Thailand. Minoritas Muslim yang hidup di Thailand menghadapi masalah
yang sama dengan bangsa Moro di Filipina. Problem yang dihadapi kaum Muslim Thailand
dan Filipina adalah problem kelompok minoritas yang harus hidup berdampingan secara
damai dengan non-Muslim dalam negara yang sama.

Persoalan integrasi dan asimilasi di satu sisi serta bagaimana melestarikan nilai-nilai
budaya dan agama adalah persoalan mendasar bagi kedua kelompok minoritas Muslim di dua
negara ini. Kebijakan pemerintah yang memaksakan asimilasi dan integrasi dalam
perspektif masyarakat Muslim di kedua negara itu- dipandang tidak adil, karena dapat
membahayakan dan menghilangkan identitas mereka sebagai Melayu dan Muslim. Andaikan
mereka dapat memilih, mereka nampaknya akan memilih menyatu dengan negara Malaysia
atau memisahkan diri menjadi negara tersendiri. Karena itu, kebijakan integrasi dan asimilasi
pemerintah mendapat respon yang keras dari minoritas Muslim di kesua negara itu dan telah
melahirkan konflik bersenjata antara kelompok minoritas dan pemerintah. [20]

F. Minoritas Muslim Thailand (Akar Sejarah)

Minoritas Muslim di Muangthai tinggal di empat provinsi bagian Selatan: Pattani,


Yala, Satun dan Narathiwat, juga termasuk sebagian dari Provinsi Songkhla. Seluruh provinsi
ini dulunya termasuk wilayah kesultanan Patani. Kapan tepatnya kerajaan Patani beralih ke
agama Islam hingga kini belum diketahui dengan pasti. Dengan berdirinya kesultanan Patani,
wilayah ini kemudian tidak hanya meneguhkan diri sebagai pusat kekuasaan politik dan dunia
dagang, namun juga menjadi tempat persemaian wacana agama dan intelektual.
Institusi sosial politik kesultanan setidaknya telah berupaya menopang proses
Islamisasi dengan cara mempraktekan Islam dalam kehidupan sehari-hari. Namun usaha lebih
lanjut untuk mempertajam akar Islamisasi masyarakat ini terhalang oleh instabilitas politik
kesultanan, terutama setelah Patani masuk dalam periode Ratu-ratu Patani (976-1101/15681688). Dalam taraf tertentu Patani masih menjadi daerah tujuan berkunjung dan tempat
mengenyam pendidikan dini bagi anak-anak Muslim.[21]
Dalam tatanan sosial, muslimin Thailand mendapatkan julukan yang kurang enak
untuk didengar. Yaitu Kheik atau khaek yang berarti orang luar, yang secara harfiah berarti
pendatang atau orang yang datang menumpang. Dalam bahasa Thai, istilah ini juga selama
berabad-abad sudah dikenal untuk menyebut kaum pendatang berkulit hitam dari daerah
Melayu dan Asia Selatan, orang-orang Thai-Islam menolak sebutan ini dan menyatakan
bahwa kedatangan mereka (khususnya di kawasan Thailand Selatan), jauh lebih awal
daripada kedatangan orang-orang Budha Thailand.[24] Hingga istilah Thai-Islam dibuat pada
1940-an. Akan tetapi istilah ini menimblkan kontradiksi karena istilah Thai merupakan

sinonim dari kata Budhasedangkan Islam identik dengan kaum muslim melayu pada waktu
itu. Jadi bagaimana mungkin seseorang menjadi budha dan muslim pada satu waktu? Maka
dari itu kaum muslim melayu lebih suka dipanggil Malay-Islam.[22]

G. Minoritas Muslim Thailand dan Kebijakan Pemerintah

Derita yang dialami masyarakat muslim di Thailand Selatan yang sebagai minoritas ini
adalah akibat dari pembatasan ruang gerak mereka untuk memperoleh hak-haknya dalam
bidang ekonomi, politik, dan keagamaan. Juga karena problematika klasik yang telah
berlangsung lama yang menyalahi keyakinan dan nilai-nilai keislamannya[23].
Sebenarnya, Muslim Thailand lebih memilih untuk memisahkan diri dari kerajaan
Muangtha atau bergabung dengan Malaysia, meskipun berada di bawah pemerintahan
Inggris, karena dengan begitu mereka dapat hidup bersama dengan masyarakat yang
seagama, sebahasa, sebudaya dan sebangsa. Kaum Muslim Thailand terkesan cenderung
mengisolasi diri, hal itu karena kesulitan beradaptasi. Pertama, karena kebanyakan mereka
(terutama yang tinggal di daerah rural seperti Pattani, Yala dan Narthiwat) hanya dapat
berbicara sedikit bahasa Thai atau tidak bisa sama sekali. Ini membuat mereka tidak mampu
berkomunikasi dengan kaum China dan Thai Buddha. Perdamaian Aceh (Gerakan Aceh
Merdeka) menjadi model upaya perdamaian dan rekonsiliasi di Thailand Selatan
Kedua, berdasarkan keyakinan agama, kaum Muslim Thailand secara militan menolak
prilaku sosial yang berkaitan dengan kedua kelompok tersebut. Selain itu, proses isolasi
terhadap kamu muslim Thai, sebagian disebabkan oleh self impossed, sebagian juga
disebabkan oleh tekanan orientasi komunikasi media. Banyak Media komunikasi seperti
televisi lokal dan beberapa stasiun radio di wilayah tersebut khusus untuk melayani pemirsa
native speaking Thai. Informasi-informasi yang disiarkan banyak menggunakan bahasa Thai
dan memfokuskan diri pada soal-soal yang menjadi kepentingan populus Thai Buddhis dan
China. Lebih dari itu surat kabar juga dicetak dalam huruf dan bahasa Thai, kecuali koran
lokal, ada kolom yang menggunakan bahasa Melayu. Kebananyakan muslim Thai justru
mendengarkan siaran atau membaca koran yang datang dari negara tetangga dekatnya,
Malaysia.
Mereka lebih banyak melakukan kegiatan dalam segala hal menurut aturan negara
tetangga mereka, yaitu Malaysia. Mulai dari bahasa komunikasi hingga tata cara beradab

mereka semua berdasarkan adat melayu. Singkatnya, meskipun mereka berada berdiam di
Tahiland tapi mereka lebih sering menggunakan bahasa Melayu. Selain itu, mereka juga
terbiasa hidup berdampingan dengan kaum sesama Muslim dari Malaysia karena mereka
lebih nyaman berinteraksi dengan sesama umat Islam. Oleh karena itu, tidak heran jika
mereka lebih fasi berbicara bahasa melayu ketimbang bahasa negara mereka sendiri.
Adanya banyak kesenjangan sosial yang masih berlanjut antara kaum Muslim Thai
dan kaum Buddhis Thai, mengakibatkan kaum muslim Thai yang tinggal di Selatan Thailand
merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah dan pengaturan administrasi di wilayah
tanah tumpah darah mereka.
Perasaan diasingkan dan ketidakpuasaan semakin kuat dirasakan ketika kaum
bangsawan Patani dicopot dari semua kekuasaannya, dan semua jabatan yang dulu mereka
pegang dialihkan kepada birokrat dari Bangkok atau provinsi-provinsi Utara, yang memiliki
Bahasa, Agama, dan Budaya yang berbeda dengan masyarakat muslim Patani.[24]

H. Perjuangan-Perjuangan dan Konflik Minoritas Islam ThaiPattani


Pada tahun 1940, dibawah pemerintahan Menteri Phibul Songkhram, pemerintah
Tahailand mengeluarkan beberapa kebijakan pemerintah sebagai bentuk rasa kekhawatiran
pemerintah bagi rakyat Muslim di Muangthai. Di antara beberapa kebijakan itu antara lain
pemerintah Thailand berusaha men-Siamkan semua kelompok minoritas non-Buddhis di
Muangthai. Pemerintah juga memaksakan aturan-aturan kultural tertentu seperti, memakai
pakaian bergaya barat, harus mengadopsi nama-nama Thai bila ingin memasuki sekolahsekolah pemerintah atau bila ingin melamar pekerjaaan di dalam jajaran pemerintah, bahasa
melayu dilarang diajarkan di sekolah-sekolah negeri atau digunakan dalam percakapan
dengan para pejabat.
Kebijakan yang diterapkan oleh Phibul tersebut didukung sepenuhnya oleh sistem
politik yang berlaku di Muangthai dimana otoritas bersifat absolut, tidak dapat diganggu
gugat.
Para penguasa di Muangtahi cenderung menggunakan berbagai cara untuk menjamin
kesesuaian dengan kelompok minoritas dan mengatur setiap contervailing power.Sistem ini
dikenal dengan politik birokrasi. Kebijakan dan segala aturan yang dipaksakan ini semakin
memperkuat umat Muslim di Thailand untuk menentang pemerintahan mereka sendiri.

Ini mengakibatkan minoritas Muslim di Thailand merasa tidak senang dengan


itervensi pemerintah yang sangat dalam terhadap kehidupan keagamaan dan sosial budaya
mereka. sehingga umat Musli di Thailand beranggapan bahwa kewarganegaraan yang mereka
miliki tidak mungkin diselaraskan dengan ketaatan mereka terhadap Islam.
Hal ini semakin memperkuat gerakan separatis Muslim yang gigih melakukan perang
gerilya untuk melawan kekuatan pemerintahan Maungtahi untuk memperjuangkan
kemerdekaan mereka dan berserikat dengan Malaysia.
Pertentang umat Muslim Thailand melawan pemerintahan yang paling serius terjadi
pada tahun 1947 ketika Haji Sulong, seorang pemimpin Muslim dan Presiden Deawan
Agama Islam, bersama dengan beberapa pemimpin Muslim lainnya menandatangani petisi
yang menutut beberapa hal antara lain :
Otonomi penuh
Peneriman bahasa Melayu sebagai bahasa resmi selain bahasa Thai
Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantardi Sekolah Dasar khususnya di wilayah
minoritas kaum Muslimin Thai
Merekrut kaum Muslim dalam pemerintahan di provinsi-provinsi yang dikuasai Muslim
dengan komposisi 80%
Membentuk Dewan Muslim yang khusus mengurusi persoalan-persoalan spesifik kaum
Muslim Thailand
Namun petisi ini akhirnya ditolak oleh pemerintah dan Haji Sulong kemudian
ditangkap dan ditahan selama 7 tahun . Namun demikian dibebaskan pada setelah mendekam
dipenjara selama 3 setengah tahun.
Adanya sikap ketidakpuaasaan serta pertentangan yang secara terbuka oleh kaum
Muslim Thai kepada pemerintah, membuat pemerintah mengatur ulang sistem birokrasi
mereka dan berusaha mengubah kebijakan ekstrem yang sebelumnya dipaksakan menjadi
lebih fleksibel sehingga bisa merangkul umat Muslim seperti memberikan kebebasan kepada
minoritas muslim untuk menjalankan agamanya.
Selain itu, pemerintah juga berusaha menarik perhatian kaum Muslim Muangthai
dengan menjadikan hari Jumat sebagai hari libur sekolah, membantu biaya pembangunan
mesjid, memberlakukan hukum Islam, memperkenalkan bahasa dan budaya Melayu sebagai
mata pelajaran di Sekolah Menengah.
Kebijakan ini berhasil membuat kaum Muslim Thai sedikit demi sedikit mau
membuka diri terhadap pemerintah Thailand dan menggandeng saudaranya sesama muslim

untuk lebih bereran aktif dalam pembangunan nasional di Muangthai. Namun beberapa
kebijakan di atas tidak pernah dipelihara dan dilaksanakan secara konsisten.
Dalam rangka mewujudkan cita-citanya, baik pemisahan diri dari pemerintahaan
Muangthai maupun otonomi penuh, minoritas Muslim membangun beberapa kelompok
organisasi politik seperti Pattani United Liberation Organization (PULO), Barisan Nasional
Pembebasan Patani (BNPP), Barisan Revolusi Nasional.
Ketika dibawah rezim ultranasionalis Phibul Songkram di tahun 1938, dibuatlahsuatu
kebijakan nasionalis untuk menjalankan asimilasi berbagai budaya minoritas kesuatu
budaya pokok Buddha Thai-ness[25] yang dibuat untuk membentuk the mono-ethnic
character of the state.[26]
Kebijakan ini langsung mendapat tentangan dari Melayu-Muslim. Mereka tidak mau
identitas mereka sebagai orang Melayu dihilangkan dan diganti dengan identitasnasional
Thailand.
Faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Melayu Muslim teguh mempertahankan
identitasnya dan menolak usaha asimilasi yang dilakukan pemerintahThailand adalah pertama
kepercayaan tradisional mereka dan kepercayaan terhadap mitos Kerajaan Pattani (Patani
Darussalam). Lalu, yang kedua, identitas yang dimiliki olehmasyarakat Melayu Muslim
dipengaruhi oleh kontak kebudayaan dengan provinsi diutara di Malaysia. Ketiga Orientasi
Religius yang berdasarkan Islam[27].
Konsep religiusIslam dapat digunakan untuk melihat penyebab keengganan warga
Melayu-Muslim berasimilasi, seperti konsep Ikhwahyakni suatu konsep persaudaraaan dalam
Quran danHadits, dalam Al-Quran disebutkan bahwa persaudaraan sesama Muslim seperti
tubuhmanusia. Seluruh tubuh manusia akan menderita jika ada salah satu bagian tubuh
yangterluka. Jadi, jika salah satu umat Muslim terluka atau ditekan maka seluruh tubuh
umatMuslim akan menderita.
Keempat, munculnya nasionalisme Melayu yang melanda daerah ThailandSelatan, hal
ini ditakutkan oleh Pemerintah Thailand dan ditakutkan akan berkembangmenjadi aksi yang
resisten terhadap pemerintah Thailand. Nasionalisme yang melandaMelayu-Muslim dilihat
sebagai konsep yang alamiah berakar pada kelompok masyarakatmasa lampau yang disebut
sebagai, suatu kelompok sosial yang diikat oleh atributkultural meliputi memori kolektif,
nilai, mitos, dan simbolisme[28]

Kelima, kebijakan pemerintah Thailand, terutama dalam hal bahasa dan pendidikan
yang diasumsikan olehMelayu Muslim di Selatan Thailand sebagai bentuk penjajahan
terhadap asal kebudayaanmereka. Mereka melihat bahasa Thailand di wilayah mereka
sebagai sebuah ancaman.Ada suatu kekhawatiran bahwa penggunaan bahasa Thailand akan
membawa merekakehilangan lidah Melayu yang merupakan inti dari identitas etnis
Melayu.Faktor-faktor inilah yang menyebabkan masyarakat Melayu-Muslim di Thailand
bersikap sangat resisten terhadap kebijakan asimilasi tersebut. Hal ini sesuai dengan apayang
disebut Castells sebagai resistant identity.
Melayu-Muslim di Thailand merasa bahwa kebijakan asimilasi yang diinginkan
Phibul Songkram merupakan suatu bentuk marjinalisasi etnis Melayu-Muslim.
Di

tahun

1940,

kebijakan

ini

memprovokasi

suatu

gerakan

separatis

untuk kemerdekaan Pattani. Pada tahun 1948, Gabungan Melayu Pattani Raya (Union of
Malayfor

a Great Pattani)

dibentuk.

Dilanjutkan

dengan pembentukan

Barisan

NasionalPembebasan Pattani di tahun 1963 yang menyebabkan bentrokan antara


pemberontak dengan pasukan pengamanan. Pemberontakan ini terjadi di hampir seluruh
provinsi diThailand Selatan. Di pertengahan tahun 1970, lebih dari 20 organisasi separatis
muncul di perbatasan Thailand dengan Malaysia.Gerakan-gerakan ini merupakan gerakan
emonasionalisme yang seperti telah dikatakan Umberto Melotti merujuk pada tipe
khususnasionalisme dan terkait dengan warga negara yang masih memimpikan kemerdekaan.
Padatahun 1980dan 1990,situasi berubah. Pemerintahan baru dibawah Jenderal Prem
(1980-1988) menghentikankebijakan asimilasi tersebut, seperti mendukung hak-hak budaya
warga Muslim dankebebasan beragama, memberikan para gerliyawan amnesti, dan rencana
pembangunanekonomi bagi Thailand Selatan.
Di tahun 1990, pemerintah Thailand menformulasikan National Security Policyfor
the

Southern

Border

Provinces

yang

berlandaskan

pembangunan

dan

keamanan.Kerjasama yang erat antara Thailand dan Malaysia telah membangun suatu
keamanan di perbatasan, hal ini menyebabkan berkurangnya gerakan pemberontakan di
perbatasan.
Asep muhammad hidayat membagi gerakan muslim thailand menjadi dua , yaitu
gerakan non-kooperatif dan gerakan kooperatif. Sepeninggal haji sulung, rakyat melayu
patani tidak lagi menuntut otonomi, tetapi kemerdekaan penuh bagi bangsa patani. Haji
sulong telah berhasil membangkitkan rasa nasionalisme di kalangan melayu patani. Sekarang

di thailand terdapat empat organisasi muslim yang menuntut kemerdekaan penuh bagi patani,
yaitu:
1. BNPP(barisan nasional patani)
2. BRN(barisan revolusi nasional)
3. PPPP(pertumbuhan pembiasaan patani)
4. GMP(gerakan mujahidin patani)[29]
Kendali seluruh organisasi pergerakan nasionalis patani ini dipegang oleh kaum
intelektual patani. Landasan perjuangan mereka adalah bangsa melayu, budaya melayu, dan
islam.
Karena perpecahan antar organisasi pembebasan, aktivitas perjuangan kaum
gerilyawan patani agak berkurang. Bersamaan dengan itu semenjak tahun 1980-an, pihak
pemerintah thailand memulai program pembangunan sosial-ekonomi di empat wilayah
thailand selatan dengan tujuan membatasi ruang gerak kaum pembebasan patani dan
memperlemah kekuatan mereka. Untuk kepentingan tersebut pemerintah thailand
mengadakan rencana kerja sama dengan bidang ekonomi di empat wilayah thailand selatan
dengan rencana segitiga pertumbuhan indonesia-malaysia-thailand.
Rogram pendidikan yang dirancang oleh pemerintah thailand di empat wilayah
melayu dianggap berhasil. Pada tahun 1990, jumlah sekolah umum di wilayah patani,
naratiwat, yala, dan satun, mencapai 1.216 buah, mengalahkan jumlah sekolah swasta islam
milik melayu patani yang hanya mencapai 189 buah. Kira-kira 202.972 orang pelajar islam
belajar disekolah pemerintah dan hanya 22. 423 orang pelajar yang menuntut ilmu di sekolah
agama.
Bagi pemerintahan thailand, kebijakan politik 66/2523 menunjukkan tanda-tanda
keberhasilannya. Sebagai contoh, aktivitas gerilyawan telah menurun dan gerakan separatis
diyakini oleh pemerintah tidak lagi didukung oleh kebanyakan penduduk patan, terutama
masyarakat pedesaan. Apalagi pada tahun 1992, FAR berhasil mengadakan perundingan dua
organisasi pergerakan nasional patani supaya kembali ke pangkuan pemerintah dan bekerja
sama untuk membangun negara.[30]
Pada tanggal 31 agustus 1989, empat organisasi pergerakan pembebasan BIPP,
barisan revolusi, nasional-kongres, GMP, dan PULO mengadakan ikrar bersama untuk
segera membentuk organisasi yang dapat memayungi perjuangan kemerdekaan rakyat patani.
Tahun 1991, organisasi induk sudah di setujui, dibentuk, dan diberi nama barisan bersatu
kemerdekaan patani(BERSATU), yang terpilih sebagai presiden pertama BERSATU adalah
Wahyudin dari GMP. Organisasi baru ini dapat menarik perhatian dan keyakinan masyarakat

patani terhadap urgensi gerakan pembebasan patani bagi terwujudnya suatu negara patani
raya yang berdaulat penuh. Unit-unit gerilnya meningkat di empat wilayah melayu patani.
Sejak itu pihak pemerintah thailand mulai memberi perhatian kepada BERSATU. Surat
tawaran kerja sama bagi penyelesaian masalah patani pun dilayangkan kepada BERSATU
melalui FAR pada tanggal 15 november 1991. Dalam menjawab surat tawaran tersebut,
BERSATU tetap berpandangan bahwa kerja sama secara ikhlas untuk menyelesaikan masalah
bangsa dan negara tidak mungkin tercapai antara pihak penjajah dengan yang dijajah.
Pada tanggal 4-5 juli 1995, BERSATU mengadakan sidang yang menghasilkan
keputusan mengenai pembentukan komite perundingan rakyat melayu patani(KPRMP). Dan
didalam persidangan tersebut, Mahdi Daud, presiden BERSATU, terpilih menjadi pemimpin
KPRMP.
Setelah KPRMP terbentuk, aktivitas gerilya islam di pantai patani meningkat, apalagi
setelah tertembaknya seorang pemimpin gerilya, Ilyas tobala, dan dua orang rekannya dari
BRN-Kongres pada awal 1997.
Dari aspek perkembann gan organisasi, BERSATU dan KPRMP telah memperluas
perpaduan perjuangan dengan cara mewujudkan majelia permusyawaratan rakyat melayu
patani (MPRMP) dan perlembagaan negara islam patani (PNMIP) yang diadakan pada
tanggal 14-15 juni 1997. MPRMP mempunyai dua fungsi utama, yaitu:
1.

Sebagai majelis perwakilan yang menentukan garis panduan kebijakan dan mengesahkan
anggaran belanja negara patani.

2.

Sebagai majelis pelaksana yang melaksanakan semua kebijakan dan arahan mengenai
perjuangan pembebasan patani.
Gerakan kooperatif yang dilakukan oleh muslim patani dengan berpartisipasi dalam
politik nasional dimulai sejak tahun 1976. Akan tetapi usaha tersebut hingga tahun 1986
kurang berhasil. Kondisi itu menyadarkan para elit politik melayu patani untuk mendirikan
partai politik. Pada tanggal 3 mei 1986, bertempat di Majelis agama islam wilayah patani,
disepakati berdirinya partai politik kaum melayu yang diberi nama wahdah. Tujuan partai
wahdah adalah:

1. Membentuk perpaduan masyarakat islam di seluruh thailand.


2. Menjaga hak dan kepentingan masyarakat islam di seluruh negeri.
3.

Membangkitkan masyarakat islam dalam aspek politik, ekonomi, pendidikan, dan


kemasyarakatan.

4. Menanamkan kesadaran politik.


5. Memperkenalkan sistem islam terhadap masyarakat supaya dapat dipahami dan dihayati.

6. Membangkitkan dan memajukan sistem demokrasi.


Anatara tahun 1986-1992, wahdah telah mendorong kaum muslim patani untuk
menyalurkan aspirasi politiknya melalui jalur parlemen. Usaha yang dilakukan wahdah cukup
berhasil. Hal ini terbukti dalam pemilu 1992, sebanyak 12 orang muslim meraih kursi di
parlemen. Dari 12 orang tersebut terdapat 2 orang muslim yang menduduki jabatan wakil
menteri, yaitu Den Tuk Mina sebagai wakil menteri dalam negeri, dan Surin Pitsuawan
sebagai wakil mentri luar negeri.
Implikasi dari banyaknya wakil muslim dikursi parlemen adalah semakin berkembang
pula institusi islam di wilayah thailand selatan secara bebas. Di antaranya adalah majelis
agama islam, institusi sosial (kebijakan) dan pendidikan, dan institusi dakwah. Institusi ini
mendorong perkembangan siar islam di thailand. Pada tahun 1994 terdapat 2.347 masjid,
sedangkan jumlah masjid di thailand secara keseluruha n adalah 2.799 buah. Selain itu, kerja
sama pendidikan dan ekonomi dengan organisasi-organisasi islam internasional mulai
dijalankan , diantaranya kerja sama dengan Rabhitah Alam Islam, Islamic Development Bank
(IDB), International Islamic Relief Organization (IRO), The Muslim World Committe, dan
Asia Muslim Committe.[31]
Partai Demokrat yang menekankan secara persatuan kuat negara Thailand tidak
berbuat banyak dalam perdamaian di Selatan, khususnya mendukung kepentingan Muslim.
Kritik ini tentu penting diperhatikan oleh pihak politisi, yang memainkan isu Selatan untuk
kepentingan mereka. Partai Thai Rak Thai yang dalam periode Thaksin memenangi parlemen
secara sengaja meninggalkan Selatan dalam proses pembangunan dan modernisasi Thailand
secara umum. Bahkan membiarkan kerusuhan di Selatan. Kerusuhan yang muncul dipelihara
oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan. Di antara mereka adalah aparat
pemerintah.
Dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 2000 orang meninggal berkaitan dengan konflik
di Thailand Selatan. Korban lebih banyak ditembak dan dibom oleh kelompok yang tidak
dikenal, juga oleh pendekatan militer dan polisi terhadap Muslim. Pada April 2004, 30
pemuda Muslim ditembak oleh tentara di Masjid Kru Se. Masjid ini sangat bersejarah karena
didirikan pada abad 15, masjid tertua di Thailand. Satu periode dengan masa kejayaan Islam
pada Khalifah Abbasiyah.
Peristiwa kedua adalah pada Oktober 2004, sekitar 175 Muslim Takbai meninggal di
perjalanan, setelah mereka demonstrasi kepada pemerintah dan dimasukkan dalam truk dalam
kondisi terikat tangan di belakang. Dua peristiwa ini sangat membekas di hati Muslim, dan
banyak pemuda dan masyarakat Muslim semakin menggiatkan penyerangan terhadap

berbagai organ pemerintah maupun masyarakat Buddha. Reaksi Muslim selatan ini direspon
negatif oleh pemerintah, dengan tetap memberlakukan darurat militer di kelima provinsi ini.
Peristiwa Takbai yang menewaskan Muslim sekitar 200 orang menimbulkan reaksi
paling keras dari milisi Muslim, yang kemudian membalas dengan penembakan dan
pemboman misterius yang menargetkan korban tentara, polisi, pegawai pemerintah Thai,
etnis China dan pendeta Buddha. Hampir setiap bulan sejak peristiwa 2004, terjadi korban
dipihak tentara atau Buddha. Kerusuhan ini sempat menjadi perhatian Amerika Serikat yang
menawarkan bantuan keamanan untuk mengatasi gerilyawan dari Selatan.
Pada tahun 2001, kekerasan kembali terjadi di Thailand Selatan, di tahun
2001Menteri

Dalam

Negeri

Thailand

mencatat

kenaikan

jumlah

kekerasan,

sepertiterbunuhnya 19 orang anggota Polisi Thailand dan juga tewasnya 50 orang anggota
pemberontak yang terjadi di tiga provinsi utama di Thailand Selatan yakni Pattani, Yaladan
Narathiwat. Jumlah kekerasan terus meningkat di tahun-tahun selanjutnya, di tahun2002
misalnya sejumlah kantor polisi diserang oleh segerombolan gerliyawan yang berhasil
merebut sejumlah besar amunisi senjata dan bahan peledak, insiden ini terjadi 75kali dalam
tahun 2002 dan menewaskan 50 orang anggota polisi; di tahun 2003 insidenseperti ini terus
bertambah dan tercatat sebanyak 119 insiden bersenjata terjadi di tahun[32]2003. Pada
tanggal 25 Oktober 2004, pembunuhan 84 umat Muslim di kota Tak Baisemakin
memperuncing konflik.
Kekerasan yang terjadi pada pertengahan tahun 2004 dan berlangsung hinggatahun
2007 memperlihatkan bahwa solusi alternatif terhadap konflik ini perlu ditemukan.Salah
satunya adalah dengan meninjau ulang kebijakan asimilasi dan integrasi yang telahditerapkan
pemerintah Thailand di kawasan selatan Negara itu selama puluhan tahun.Muslim Thailand
yang beretnis Melayu telah tinggal di wilayah selatan Thailand sebelumKerajaan Thai yang
sekarang berdiri. Daerah tempat mereka tinggal dijadikan bagianKerajaan tersebut pada
paruh akhir abad ke-18. Muslim Melayu menentang penggabungan ini karena mereka
memiliki kesultanan sendiri dan lebih suka bergabungdengan sebuah negara Melayu atau
memerintah diri mereka sendiri. Kebijakan asimilasi besar-besaran yang diluncurkan oleh
partai nasionalis pimpinan Pibul Songkhram pada1940an menciptakan penolakan yang lebih
besar dari kalangan Muslim Melayu.Pemerintahan Pibul mencoba memaksa orang Melayu
untuk membuang jati diri mereka baik sebagai Melayu maupun Muslim. Mereka dilarang
mengenakan sarung dan kerudung yang merupakan pakaian tradisional Melayu, tidak
diperkenanan berbahasaMelayu dan dianjurkan untuk menggunakan nama-nama yang berbau

etnis Thai. Mereka juga dilarang melaksanakan ajaran Islam karena dengan alasan agama
Budha adalahagama utama di Thailand[33].

I.

Kehidupan Keberagamaan
Ummat Islam di Thailand tidak seberuntung seperti Ummat Islam di Malaysia yang

mana hampir semua sarana dawah seperti masjid-masjid disediakan oleh pemerintah
Malaysia. Demikian pula dengan Imam, Khotib, Bilal, dan pengurus-pengurus masjid digaji
langsung oleh pemerintah. Sarana media seperti TV maupun radio di Malaysia diberikan
waktu tiap malam untuk dawah Islam.[34]
Kawasan Thailand bagian selatan yang merupakan basis masyarakat melayu-muslim
adalah daerah konflik agama dan persengketaan wilayah dengan latar belakang ras dan agama
yang berkepanjangan. Konflik Thailand selatan terjadi sejak diserahkannya wilayah utara
Melayu oleh pemerintah colonial Inggris kepada kerajaan Siam. Saat itu dibuatlah Traktat
Anglo-Siam yang menabut hak-hak dan martabat Muslim Pattani. Akibatnya, muncul aksiaksi perlawanan dan ditanggap pemerintah pusat sebagai separatisme, hingga diberlakukan
darurat militer di wilayah tersebut.[35]
Di beberapa kota pelabuhan, Islam bukanlah agama bagi komunitas perkampungan
melainkan agama para individu yang mobil yang menyatu dalam jaringan asosiasi
internasional. Dari Singapura pembaharuan Islam menyebar ke seluruh Asia Tenggara
melalui perdagangan, haji, dan melalui gerakan pelajar, guru dan sufi.[36]
Sudah pada tempatnya dunia Islam segera meyampaikan appeal kepada pemerintah
supaya elindng, menyelamatkan Ummat Islam dan memberikan persamaan hak di segala
bidang kepada mereka, termasuk hak-hak untuk beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran
Islam, hak yang sama dengan hak-hak yang dmiliki penduduk yang beragama Budha.[37]
J. Pendidikan Di Thailand
Pendidikan yang digalakkan oleh pemerintah Kerajaan Thailand tergolong bersifat
deskriminatif terhadap Islam. Pada tahun 1923 M, beberapa Madrasah Islam yang dianggap
ekstrim ditutup, dalam sekolah-sekolah Islam harus diajarkan pendidikan kebangsaan dan
pendidikan etika bangsa yang diambil dari inti sari ajaran Budha. Pada saat-saat tertentu
anak-anak sekolah pun harus menyanyikan lagu-lagu bernafaskan Budha dan kepada guru
harus menyembah dengan sembah Budha. Kementrian pendidikan memutar balik sejarah,
dikatakannya bahwa orang Islam itulah yang jahat ingin menentang pemerintahan shah di
Siam dan menjatuhkan raja[38].

Dampak yang menonjol dari perkembangan yang berorientasi ke dalam hal ini.
Misalnya, pada tahun 1966, sekitar 60% anak-anak di Pattani tidak dapat berbicara bahasa
nasional. Hal itu berkaitan dengan banyaknya orang tua Muslim yang lebih senang
mengirimkan anak-anaknya ke sekolah agama[39].
Strategi yang perlu dibangun masyarakat muslim di Thailand Selatan pada saat ini
adalah memajukan pendidikan, mendukung pembangunan nasional, dan menjaga stabilitas
local. Namun, sampai saat inipun masyarakat muslim Pattani Thailand menghadapi
diskriminasi komplek dan teror yang berlarut-larut. Sehingga kehidupan sosial maupun
politik menjadi sangat terbatas. Akhirnya pemerintah Thailand juga belum mampu memberi
pendidikan merata terhadap kaum muslim. Tekanan berbasis keamanan selalu mengancam
mereka. Kesenjangan ini menurunkan nasionalisme mesyarakat di luar mayoritas ThaiBudha.[40]

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Muslim di Thailand mempunyai sejarah tersendiri yang bisa dibilang tragis dan berliku.
Mulai dari abad ke-13 dimana Agama Islam menapakkan kakinya di kerajaan Pattani dan

kemudian menjadi mayoritas di wilayah tersebut. Masyarakat muslim Thailand saat ini telah
menjadi bagian integral dari keseluruhan pemerintahan dan komunitas Thailand dari beberapa
abad yang lalu. Secara historis, kultur dan ekonomi, masyarakat minoritas muslim di
Thailand selatan telah mengalami peningkatan yang signifikan dari waktu ke waktu. Akan
tetapi mereka tetap berusaha menjadi bagian komunitas yang dipahami.
Hal itu berangkat daari background masyarakat muslim sendiri, yaitu komunitas
melayu Pattani yang dari awalnya berdiri sendiri dan kemudian dikuasai oleh Siam atau
Thailand. Dan saat ini, dimana modernisme merambah semua negara dan Thailand menjadi
negara demokrasi, muslim Thailand mulai dipandang positif oleh komunitas yang lainnya.
Hal ini memunculkan era baru antara muslim-pemerintah yang memberikan ruang lebih luas
bagi umat muslim Thailand merambah dunia politik dan ekonomi. Hal ini tampak dari
pertumbuhan masjid di Thailand yang berkembang pesat; Bangkok 159 masjid, Krabi 144
masjid, Narathiwat 447 masjid, Pattani 544 masjid, Yala 308 masjid, Songkhla 204 masjid,
Satun 147 masjid. Dan beberapa masjid di berbagai kota di thailand. Biarpun begitu,
minoritas muslim thailand masih jauh dari kelapangan dalam hidup. Karena mereka tetap
menjadi minoritas yang mendapatkan tekanan dan diskriminasi yang tak henti henti.
Ketidakinginan masyarakat Melayu-Muslim untuk berasimilasi dengan budayaThai
disebabkan oleh kepercayaan mereka yang sangat kuat tentang asal-usul mereka, baik secara
historis maupun budaya, yang mempunyai hubungan dekat dengan bangsaMelayu. Pengaruh
Islam dan budaya Melayu yang kuat dari negara Malaysia juga turutandil membentuk
identitas yang demikian mengakar dalam masyarakat di Selatan,terutama Pattani.
2. Saran
Dari beberapa penjelasan di atas tentang penulisan ISLAM DI THAILAND pasti
tidak terlepas dari kesalahan penulisan dan rangkaian kalimat dan penyusunan penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan seperti yang diharapkan oleh
para pembaca dalam khususnya pembimbing mata kuliah SIAT, oleh karena itu penulis
makalah ini mengharap kepada para pembaca mahasiswa dan dosen pembimbing mata kuliah
ini terdapat kritik dan saran yang sifatnya konstruktif dalam terselesainya makalah yang
selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Imam hanafi,dkk,2006.Sejarah Islam Asia Tenggara, riau.\
Helmiati, 2008. Dinamika Islam Asia Tenggara,Pekanbaru:suska press.
Dedi Supriyadi,2008. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Ceria.
Alwi, Al-Habib, 2001, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Jakarta: Lentera Basritama.
Anuar, Nik Mahmud, 2004. Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1885-1954, Saremban.
Aphornsuvan, Thanet, 2003. History and Politics of The Muslim in Thailand, Thammasat
University
Azra, Azyumardi, 2005, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII, Jakarta: Kencana.
Farouq, Omar Bajunid, The Muslim In Thailand: A Review, at Shouteast Asian Studies,
(Volume 37. No. 2 September 1999)
Jory, Patrick, dalam Religious Labelling. From Patani Malayu To Thai Muslim, jurnal ISIM,
(Volume 18, Autumn 2006)

[1]Drs. Rifat Husnul Maafi, M.Ag, Jurnal Kalimah, (Vol. 4 No. 2 September 2006) menurut
pengarang, studi kawasan merupakan studi kritis ilmiah yang mendasarkan pada
penelitian suatu wilayah geografis tertentu yang memiliki ciri ciri tipologi baik bahasa,

adat istiadat, budaya, ekonomi, sosial, andtropologi dan lainnya. Dan hal ini membuthkan
membutuhkan pendekatan sosial keagamaan yang interdisipliner.

[2]Thanet Aphornsuvan, History and Politics of The Muslim in Thailand, (Thammasat


University: 2003), hal. 3-7

[3]Al-Habib Alwi, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, (Jakarta: Lentera Basritama,
2001), hal. 139-140

[4]Lihat Thanet Aphornsuvan, op.cit., hal. 7: The Malays are the majority at 80%, while
the Thai, Pakistani, Indian, Chinese and others of Muslim faith constitute about 20% of
the Thai-Muslim population.

[5]Thanet Aphornsuvan, op.cit., hal. 5


[6]Thanet, op.cit. hal. 5
[7]Lihat Nik Anuar Nik Mahmud, Sejarah Perjuangan Melayu Patani 1885-1954,
(Saremban: 2004), hal. 2

[8]Anuar Nik Mahmud menambahkan bahwa Islam masuk ke kerajaan melayu-Patani


melalui seorang ulama dari Pasai, Syeikh Said, telah menukar namanya kepada nama
Islam iaitu Sultan Ismail Syah Zillullah Dil Alam (Teeuw &Wyatt 1970, 68-69). Semenjak
itu, Patani telah menjadi tumpuan saudagar-saudagar Islam dan menjadikannya sebagai
pusat perdagangan Timur-Barat yang terkenal di rantau ini. Lihat Nik Anuar Nik
Mahmud, op.cit. hal. 4

[9]Table diatas diambil dari History and Politics of the Muslims in Thailand karya Thanet,
op.cit., hal. 33

[10]Thanet, op.cit., hal. 14


[11]Tengku Muhyidin, seorang ulama patani terpilih ntuk memikul tanggung jawab
pergerakan pemebebasan mslim thailand selatan. Beliau dilahirkan di patani pada tahun
1905.begitulah tengku muhyidin besekutu dengan inggris yang saat itu berseteru
dengan Thailand untuk membebaskan wilayah patani wilayah muslim lainnya di selatan
Thailand. Lihat Anuar Nik Mahmud, op.cit., hal. 34

[12]Perjuangan ini diteruskan oleh Haji Abdul Kadir yang mempunyai kedekatan politik
dengan penasihat muslim Thailand yang mempunyai hubungan langsung dengan
perdana menteri Pridi Banamyong. Akan tetapi, belum berbuah perjuangan Abdul kadir
hingga Pridi Banamyong mengundurkan diri karena dituduh terlibat dalam kematian raja
Ananda Mahidol. Lihat Nik Anuar Nik Mahmud, op.cit., hal 34

[13]Patrick Jory, dalam Religious Labelling. From Patani Malayu To Thai Muslim, jurnal
ISIM, (Volume 18, autumn, 2006) hal. 42

[14]Ibid, Patrick Jory, hal. 42


[15]Ibid,

Patrick Jory, hal. 231

[16]Dar

al-Islam merupakan gerakan militan yang bertujuan untuk memisahkan diri dari
belenggu ketidakadilan dari pemerintahan Kerajaan Thai (bangsa Siam / Ayuthaya)
[17]Helmiati,dinamika islam asia tenggara,(Pekanbaru: Suska Press,2008), hal. 195
[18]Sensus Penduduk, Thailand, 2000
[19]Ibid, helmiati, hal.196
[20]Ibid, Helmiati, hal. 197
[21]Ibid, Helmiati, hal. 1988
[22]http://artikelilmiah.wordpress.com/2009/01/15/minoritas-muslim-thailand-selatan/
[23]Mereka

menderita karena pengkotak-kotakan negeri, penindasan, pengekangan, dan


perampasan kebebasan, Ahmad al-Usairy, Op. Cit, hal: 551
[24]Ibid, Helmiati, hal. 203
[25]Chidchanok

Rahimmula, Peace Resolution: A Case Study of Separatist and Terrorist


Movement inSouthern Border Provinces of Thailand , in S. Yunanto,et. al ,Militant Islamic
Movements in Indonesia and Southeast Asia
(Jakarta: FES and The RIDEP Institute, 2003), hal. 263-277
[26]David Brown, The State and Ethnic Politics in Southeast Asia (London: Routledge,
1994).
[27]Dikutip dari situs www.rand.org.pubs.monograph_reports.MR1344.ch9 pada tanggal 05
Juni 2008
[28]Dikutip dari situs http://www.kompas.com/kompascetak/0411/03/Bentara/1363295.htmpada tanggal 04Juni 2008 pada pukul 18.30 WIB.
[29]Ibid, supriyadi dedi, hal. 212
[30]Ibid,

supriyadi dedi, hal. 213

[31]Ibid, supriyadi dedi, hal. 215


[32]Ibid.,
[33]Adi Saputra & Dr.Syahrial Sarbaini.

2007. Sebab-sebab Munculnya Konflik Separatisdi


Thailand Selatan: pp. 41-59. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
[34]Harun Lukman, Potret Dunia Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, hal: 235
[35]Majalah Gontor, Op. Cit, hal: 89
[36]Ira M Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, Rajawawi Pers PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1999, hal: 328
[37]Harun Lukman, Loc. Cit, hal: 227-228
[38]http://indramunawar.blogspot.com/2009/04/sejarah-perkembangan-islam-di-patani.html
[39]Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara, Op. Cit, Hal: 472
[40]Majalah Gontor, Op. Cit, hal: 89

Anda mungkin juga menyukai