Anda di halaman 1dari 53

FISIOLOGI DARAH

Sistem sirkulasi adalah sistem transpor yang mengantarkan oksigen dan zat-zat yang
diabsorbsi dari saluran pencernaan menuju ke jaringan, serta mengembalikan
karbondioksida ke paru-paru dan hasil metabolisme lainnya menuju ginjal.
Darah adalah medium untuk transportasi massal jarak jauh berbagai bahan antara
sel dan lingkungan ekstemal atau antara sel-sel itu sendiri. Transportasi semacam itu
penting untuk memelihara homeostasis.
Darah yang merupakan pembawa berbagai zat (oksigen, karbondioksida, hormon,
enzim dan berbagai zat yang diabsorbsi dari traktus gastrointestinal) dipompakan jantung
dalam sistem pembuluh tertutup.
Darah merupakan suatu suspensi dari berbagai jenis sel dalam media cair yang
kompleks yaitu plasma. Unsur seluler darah terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah
putih (leukosit), dan keping darah (trombosit/platelet).
Volume darah total yang beredar dalam tubuh pada keadaan normal, kira-kira 6 % - 8 % dari
berat badan. Volume darah rata-rata 5 liter pada wanita dan 5,5 liter pada pria. Sekitar 55 %
dari volume ini adalah plasma.
Darah memiliki pH 7,35 - 7,45 dengan temperatur kira-kira 38°C.
Pergerakan konstan darah sewaktu mengalir melalui pembuluh darah menyebabkan
unsurunsur sel tersebar relatif merata di dalam plasma. Namun apabila suatu sampel darah
ditaruh dalam sebuah tabung reaksi dan diberi zat untuk mencegah pembekuan
(antikoagulan), unsur-unsur sel yang lebih berat akan secara perlahan mengendap di dasar
dan plasma yang lebih ringan naik ke bagian atas. Proses ini bisa dipercepat dengan
sentrifugasi (pemusingan). Karena lebih dari 99 % sel adalah eritrosit, maka hematokrit atau
packed cell volume, pada dasamya mewakili persentase volume darah total yang ditempati
oleh eritrosit. Plasma membentuk volume sisanya. Hematokrit nomal pada wanita rata-rata
adalah 42 % (37 % - 47 %) dan pada pria 48 % (40 % - 54%).
Elemen-elemen dari darah memiliki berbagai fungsi yang sangat penting dalam
metabolisme tubuh dan pertahanan tubuh melawan cedera atau infeksi.
Fungsi-fungsi tersebut adalah:
1. Membawa oksigen dari pare-paru ke jaringan tubuh.
2. Membawa karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru.
3. Mentranspor bahan nutrisi dari organ pencernaan ke dalam sel.
4. Mentranspor hormon dan enzim ke dalam sel.
5. Mentranspor sisa-sisa produksi dari sel ke ginjal, paru-paru dan kelenjar keringat
6. Mengatur pH tubuh dan temperatur tubuh.
7. Mengatur kadar air dalam sel.
8. Mencegah kehilangan cairan tubuh.
9. Melindungi tubuh dari toksin dan bahan infeksius.
PLASMA

Bagian yang cair pada darah, plasma (90 % terdiri dari air), merupakan suatu larutan
kompleks yang mengandung banyak sekali ion, molekul anorganik dan molekul organik yang
sedang diangkut ke berbagai bagian tubuh atau membantu transport zat-zat lain. Selain itu,
karena air memiliki kemampuan menahan panas dengan kapasitas tinggi, plasma mampu
menyerap dan mendistribusikan banyak panas yang dihasilkan oleh metabolisme di dalam
jaringan sementara suhu darah itu sendiri hanya mengalami sedikit perubahan. Energi panas
yang tidak diperlukan untuk mempertahankan suhu tubuh dikeluarkan ke lingkungan ketika
darah mengalir ke permukaan kulit.
Volume plasma normal kira-kira 5 - 7 % dari berat badan (25-45 mUkgBB).
Plasma menggumpal kalau didiamkan dan hanya bertahan cair kalau ditambahkan
antikoagulan. Kalau darah lengkap dibiarkan menggumpal dan gumpalannya diambil, cairan
sisanya disebut serum. Serum dan plasma pada dasarnya mempunyai komposisi yang
sama, hanya dalam serum tidak terdapat kandungan fibrinogen dan faktor pembekuan II, V
dan VII.
Sejumlah besar zat organik dan anorganik larut dalam plasma. Konstituen organik
yang paling banyak berdasarkan beratnya adalah protein plasma, yang membentuk sekitar
6% - 8% dari berat total plasma. Konstituen anorganik membentuk sekitar 1 % dari berat
plasma. Elektrolit (ion) yang paling banyak dalam plasma adalah Na + dan Cl- . Jumlah HC03-
, K+, Ca- dan ion lain lebih sedikit. Fungsi paling menonjol dari ion-ion cairan ekstrasel (CES)
ini adalah peran mereka dalam eksitabilitas membran, distribusi osmotik cairan antara CES
dan sel, dan menyanggah perubahan pH. Persentase plasma sisanya ditempati oleh nutrien
(misalnya glukosa, asam amino, lemak dan vitamin), produk sisa (kreatinin, bilirubin dan zat-
zat bernitrogen seperti seperti urea), gas-gas larut (0, dan CO, ) dan hormon. Sebagian
besar dari zat-zat tersebut hanyalah diangkut dalam plasma. Sebagai contoh, kelenjar
endokrin mengeluarkan hormon ke dalam plasma, yang mengangkut zat perantara kimiawi
ini ke tempat kerjanya.
Protein plasma adalah sekelompok konstituen plasma yang tidak sekedar diangkut.
Komponen-komponen penting ini dalam keadaan normal tetap berada dalam plasma, tempat
mereka melakukan banyak fungsi. Karena merupakan bagian plasma berukuran terbesar,
protein-protein plasma biasanya tidak keluar dari pori-pori di dinding kapiler. Juga tidak
seperti unsur plasma lainnya yang larut dalam air plasma, protein plasma berada dalam
bentuk dispersi koloid.
Terdapat tiga kelompok protein plasma: albumin, globulin dan fibrinogen, yang
diklasifikasikan berdasarkan sifat fisik dan kimia mereka.
Daftar berikut ini menggambarkan betapa banyaknya fungsi protein plasma:
 Karena keberadaan mereka sebagai dispersi koloid dalam plasma dan kelangkaan
mereka di cairan interstitium, protein-protein plasma membentuk gradient osmotik
antara darah dan cairan interstitium. Tekanan osmotik koloid ini adalah gaya utama
yang menghambat pengeluaran berlebihan plasma dari kapiler ke dalam cairan
interstitium dan dengan demikian membantu mempertahankan volume plasma.
 Protein plasma ikut berperan menyangga perubahan pH darah.
 Protein plasma ikut menentukan kekentalan (viskositas) darah, tapi dalam hal ini
eritrosit jauh lebih penting.
 Protein-protein plasma dalam keadaan normal tidak digunakan sebagai bahan bakar
metabolik, tetapi dalam keadaan kelaparan mereka dapat diuraikan untuk
menghasilkan energi bagi sel.
 Selain fungsi-fungsi umum tersebut, tiap jenis protein plasma melakukan fungsi
khusus:
1. Albumin, protein plasma yang paling banyak, mengikat banyak zat (contoh:
bilirubin, garam empedu dan obat-obatan misalnya penisilin) untuk transportasi
melalui plasma dan sangat berperan dalam menentukan tekanan osmotik koloid
karena jumiahnya.
2. Terdapat 3 subkelas globulin: alfa (a), beta (β), dan gamma (y):
a. Globulin alfa dan beta spesifik mengikat dan mengangkut sejumlah zat dalam
plasma, misalnya hormon tiroid, kolesterol dan besi.
b. Banyak faktor yang berperan dalam proses pembekuan darah terdiri dari
globulin alfa atau beta.
c. Molekul-molekul protein prekursor inaktif, yang diaktifkan sesuai keperluan
oleh masukan regulatorik tertentu, termasuk dalam globulin alfa (misalnya
angiotensinogen diaktifkan menjadi angiotensin, yang berperan dalam
pengaturan keseimbangan garam tubuh).
d. Globulin gamma adalah imunoglobulin (antibodi), yang penting bagi
mekanisme pertahanan tubuh (sistem imunitas).
3. Fibrinogen adalah faktor kunci dalam proses pembekuan darah.

HEMATOPOIESIS
Sel darah berasal dari suatu sel prekursor yang dikenal dengan nama sel stem
hematopoietik pluripoten. Sel ini terdapat di sumsum tulang. Sel stem pluripoten mempunyai
kemampuan untuk berkembang menjadi berbagai jenis commited stem sel (sel induk
khusus), yang selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi eritrosit, limfosit, jenis leukosit lain
dan megakariosit. Hematopoiesis (sintesis sel sel darah) dimulai pada perkembangan awal
embrionik dan terus berlangsung seumur hidup. Dalam minggu ke tiga perkembangan fetal,
sel-sel khusus dalam yolk sac embrio membentuk kluster-kluster. Sebagian dari Muster ini
akan menjadi jalur endotelial dari pembuluh darah, sedangkan yang lainnya akan menjadi
sel-sel darah. Kenyataan ini menjelaskan kenapa banyak sitokin yang mengontrol
hematopoiesis dilepaskan oleh edotelium pembuluh darah.
Dalam perkembangan embrio, produksi sel darah menyebar dari yolksac ke hati,
limpa dan sumsum tulang. Pasca kelahiran, hati dan limpa tidak lagi memproduksi sel-sel
darah. Hematopoiesis terus berlangsung di semua sumsum tulang sampai berusia 5 tahun.
Tapi kemudian sumsum tulang panjang tidak lagi berproduksi setelah seseorang berusia
kira-kira 20 tahun.
Pada orang dewasa hanya sumsum tulang membranosa, seperti vertebra, iga dan
pelvis yang memproduksi sel-sel darah. Sumsum tulang yang aktif memproduksi sel-sel
darah berwarna merah karena adanya hemoglobin (protein pengikat oksigen dari eritrosit).
Sumsum tulang yang tidak aktif berwarna kuning karena penumpukan sel-sel lemak.
Meskipun sintesa darah pada orang dewasa terbatas hanya pada daerah daerah tertentu,
namun hati, limpa dan daerah inaktif sumsum bisa juga memproduksi sel-sel darah pada
saat dibutuhkan.
Pada daerah aktif sumsum yang memproduksi sel-sel darah, 25% bagian akan
berkembang menjadi sel-sel darah merah (eritrosit), sementara 75% sisanya akan menjadi
sel-sel darah putih (leukosit). Masa hidup leukosit lebih pendek dari eritrosit, karena itu
leukosit harus diganti (diproduksi) lebih sering. Sebagai contoh, neutrofil mempunyai paruh
waktu 6 jam dan tubuh harus membuat 100 milyar neutrofil setiap hari untuk menggantikan
yang mati. Di lain pihak, eritosit hidup selama kira-kira 4 bulan (±120 hari) dalam sirkulasi.

Sitokin-sitokin yang Berperan dalam Hematopoiesis


Pembentukan dan perkembangan sel-sel darah ditentukan oleh sitokin. Sitokin
adalah peptida atau protein yang dilepaskan dari suatu sel yang mempengaruhi
pertumbuhan atau aktivitas sel yang lain.
Jenis sitokin yang dikenal berperan penting dalam hematopoiesis adalah colony-
stimulating factors, yang dibuat oleh sel-sel endotelial dan sel darah putih. Jenis yang lain
adalah interleukin, seperti IL-3 (juga mempunyai peranan dalam sistem kekebalan). Istilah
interleukin diberikan untuk sitokin yang dilepaskan oleh suatu sel darah putih dan
mempengaruhi sel darah putih lainnya. Sitokin hematopoietik lainnya adalah eritropoietin,
yang mengontrol sintesa sel darah merah.

Colony-Stimulating Factors Mengatur Leukopoiesis


Colony-Stimulating Factors (CSFs) adalah faktor yang diidentifikasi dan dinamai
seperti demikian karena kemampuannya untuk merangsang pertumbuhan koloni sel darah
putih dalam suatu kultur. Jenis sitokin ini (dibuat oleh sel endotelial, fibroblas dan sel darah
putih) mengatur produksi dan perkembangan sel darah putih (leukopoiesis). Mereka
dibutuhkan untuk menginduksi pembelahan sel (mitosis) dan pematangan sel. Pada saat
sebuah leukosit telah matang, leukosit tersebut kehilangan kemampuan untuk bermitosis.
Suatu aspek menarik dari hematopoiesis adalah bahwa produksi leukosit diatur menurut
keberadaan jenis leukosit tertentu. Cara pengaturan ini membuat perkembangan leukosit
menjadi sangat spesifik dan dibuat sesuai dengan kebutuhan tubuh. Sebagai contoh, jika
seseorang mendapat infeksi bacterial, sitokin yang dilepaskan oleh leukosit aktif yang akan
melawan infeksi, merangsang produksi tambahan dari neutrofil dan makrofag. Proses
kompleks di mana produksi leukosit dapat disesuaikan dengan kebutuhan sampai saat ini
belum bisa dipahami dan masih dalam penelitian.

Trombopoietin Mengatur Produksi Platelet/Trombosit


Trombopoietin (TPO) adalah suatu glikoprotein yang mengatur pertumbuhan dan
pematangan megakariosit (sel induk platelet). TPO diproduksi di hati tapi juga terdapat di
ginjal.

Eritropoietin Mengatur Produksi Eritrosit


Jumlah eritrosit yang beredar dalam keadaan normal cukup konstan yang mana ini
mengisyaratkan bahwa entropoiesis pastilah dikontrol secara ketat. Produksi eritrosit
dikontrol oleh hormon glikoprotein yang disebut Eritroprotein (EPO) dengan dibantu oleh
beberapa sitokin lain. Pada orang dewasa eritropoietin dibuat di ginjal. Rangsangan
terhadap sintesis dan pelepasan EPO adalah hipoksia (tingkat kadar oksigen yang rendah di
dalam jaringan). Dengan merangsang sintesis eritrosit, EPO menempatkan banyak
hemoglobin dalam sirkulasi untuk mengikat oksigen. Penurunan penyaluran O 2 ke ginjal
merangsang ginjal untuk mengeluarkan hormon eritropoietin ke dalam darah dan hormon ini
kemudian akan merangsang eritropoiesis di sumsum tulang. Eritropoietin bekerja pada
turunan sel-sel bakal yang belum berdiferensiasi, yaitu merangsang proliferasi dan
pematangan mereka. Peningkatan aktivitas eritropoiesis ini akan menambah jumlah eritrosit
dalam darah, sehingga terjadi peningkatan kapasitas pengangkutan O2 dan memulihkan
penyaluran O2 ke jaringan pada level normal.
Apabila penyaluran O2 ke ginjal telah normal maka sekresi eritropoietin dihentikan sampai
proses itu diperlukan lagi oleh tubuh.
Dengan cara ini, produksi eritrosit secara normal diseimbangkan melalui destruksi sel-sel
sehingga kapasitas darah yang mengangkut O2 relatif tetap.
Sebagai respon terhadap kehilangan eritrosit dalam jumlah besar, seperti misalnya pada
pendarahan atau pengrusakan secara abnormal eritrosit muda dalam darah, kecepatan
eritropoiesis dapat ditingkatkan hingga 6 kali dari keadaan normal.
Baru-baru ini, gen yang mengatur sintesis eritropoietin telah berhasil diidentifikasikan dan
diklon, sehingga hormon ini sudah dapat diproduksi dalam jumlah yang besar di
laboratorium. Penemuan ini menimbulkan dampak besar pada kebutuhan akan transfusi
darah.
Selain eritropoietin, yang merupakan faktor regulator utama untuk menyesuaikan
kecepatan pembentukan eritrosit agar kadarnya dalam sirkulasi tetap konstan, testosteron
(hormon seks pria yang utama) meningkatkan kecepatan basal eritrosit. Hormon ini jelas
berperan, paling ticlak sebagian, menyebabkan hematokrit pada pria secara normal lebih
besar daripada wanita. Eritrosit tambahan pada pria menimbulkan peningkatan kapasitas
darah mengangkut O2 untuk memenuhi kebutuhan massa otot yang lebih besar pada pria,
yang juga disebabkan oleh testosteron.

ERITROSIT

Sel darah merah (eritrosit) membawa hemoglobin ke dalam sirkulasi. Pada mamalia,
sel ini kehilangan intinya sebelum memasuki peredaran darah. Eritrosit normal berbentuk
seperti lempeng bikonkaf dengan diameter kira-kira 7 - 8 pm dan ketebalan pada bagian
yang paling tebal 2,5 pm dan pada bagian tengah 1 µm. Bentuk khas ini ikut berperan
melalui 2 cara terhadap efisiensi eritrosit melakukan fungsinya dalam mengangkut O2 dalam
darah. Pertama, bentuk bikonkaf menghasilkan luas permukaan yang lebih besar bagi difusi
O2 menembus mernbrau daripada yang dihasilkan oleh sel bulat dengan volume yang sama.
Kedua, tipisnya sel memungkinkan O2 berdifusi secara lebih cepat antara bagian paling
dalam sel dengan eksteriomya.
Ciri lain dari eritrosit yang mempermudah fungsi transportasi adalah kelenturan
(fleksibilitas) membrannya, yang memungkinkan eritrosit berjalan melalui kapiler yang sempit
dan berkelokkelok untuk menyalurkan O2 ke jaringan tanpa mengalami ruptur dalam
prosesnya. Entrosit yang diameternya dalam keadaan normal 8 µm, mampu mengalami
deformasi pada saat mereka menyelinap satu per satu melalui kapiler yang bahkan hanya
berdiameter 3 µm
Setiap milliliter darah mengandung rata-rata sekitar 5 miliar eritrosit. Konsentrasi normal
eritrosit dalam darah (secara klinis sering dilaporkan dalam hitung sel darah merah/RBC-
Red Blood Count): pada pria normal rata-rata 5,4 juta sel/µl (± 300.000) dan pada wanita
normal ratarata 4,8 juta sel/µl (± 300.000). Pada manusia sel ini berada dalam sirkulasi
selama kira-kira 120 hari.

 HEMOGLOBIN
Hal paling penting pada eritrosit yang memungkinkan mereka mengangkut O2 adalah
HEMOGLOBIN.
Hemoglobin adalah pigmen merah dari eritrosit yang merupakan protein dengan berat
molekul 64.450. Kadar hemoglobin normal pada seorang pria ± 16 gr/dl (13,9 - 16,3 gr/dl)
dan pada wanita± 14 gr/dl (12 - 15 gr/dl). Setiap gram hemoglobin murni mampu berikatan
dengan kira-kira 1,39 ml oksigen.

Molekul hemoglobin terdiri dari 2 bagian:


1. bagian globin, suatu protein yang terbentuk dari 4 rantai polipeptida yang sangat
berlipat-lipat, dan
2. gugus hem (heme), suatu gugus nitrogenosa nonprotein yang mengandung besi,
yang masing-masing terikat ke satu polipeptida.

Setiap atom besi dapat berikatan secara reversibel dengan satu molekul O 2; dengan
demikian, setiap molekul hemoglobin dapat mengangkut 4 molekul O 2. Karena O2 kurang
larut dalam plasma, maka 98,5% O2 yang diangkut dalam darah terikat pada hemoglobin.
Karena kandungan besinya, hemoglobin tampak kemerahan apabila berikatan dengan O2
dan kebiruan apabila mengalami deoksigenasi. Dengan demikian, darah arteri yang
teroksigenasi sempurna tampak merah, dan darah vena yang telah kehilangan sebagian O 2
nya di jaringan memperlihatkan rona kebiruan.
Selain mengangkut O2 , hemoglobin juga dapat berikatan dengan zat-zat berikut:
1. Karbon dioksida. Hemoglobin ikut berperan mengangkut gas ini dari jaringan kembali
ke paru-paru.
2. Bagian ion hidrogen asam (H+) dari asam karbonat yang terionisasi, yang dibentuk
dari CO, pada tingkat jaringan. Hemoglobin, dengan demikian menyangga asam ini,
sehingga pH tidak terlalu terpengaruh.
3. Karbon monoksida (CO). Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat dalam darah,
tapi jika terhirup, menempati tempat pengikatan O2 di hemoglobin, sehingga bisa
terjadi keracunan karbon monoksida.
Dengan demikian, hemoglobin berperan penting dalam pengangkutan O2 dari paru paru ke
kapiler jaringan sekaligus ikut serta dalam pengangkutan CO2 dari kapiler jaringan ke paru-
paru dan menentukan kapasitas penyangga dari darah_
Untuk memaksimalkan kandungan hemoglobinnya, sebuah eritrosit dipenuhi oleh
ratusan juta molekul hemoglobin dengan menyingkirkan hampir semua struktur lainnya.
Eritrosit tidak memiliki nukleus, organel atau ribosom. Struktur-struktur ini dikeluarkan ketika
masa perkembangan untuk menyediakan ruang bagi lebih banyak hemoglobin.
Dengan demikian eritrosit pada dasarnya adalah suatu kantung terbungkus membran
plasma yang dipenuhi oleh hemoglobin.
Di dalam eritrosit matang hanya tersisa sedikit enzim yang tidak dapat diperbarui;
enzim-enzim tersebut adalah enzim glikolitik dan karbonik anhidrase. Enzim glikolitik
penting untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk menjalankan mekanisme
transportasi aktif yang terlibat dalam pemeliharaan konsentrasi ion-ion dalam sel.
Enzim karbonik anhidrase berperan panting dalam pengangkutan CO 2. Enzim ini
mengkatalisis sebuah reaksi kunci yang akhimya menyebabkan perubahan C02 hasil
-
metabolisme menjadi ion bikarbonat (HCO3 ), yaitu bentuk utama transportasi C0 2 dalam
darah. Dengan demikian, eritrosit ikut serta dalam pengangkutan C0 2 melalui 2 cara: melalui
pengangkutan dengan hemoglobin dan melalui konversi ke HCO3 - oleh karbonik anhidrase.

Sintesis Hemoglobin
Pada tubuh seorang laki-laki 70 kg, terdapat sekitar 900 gram hemoglobin; 0,3 gram
hemoglobin dihancurkan dan 0,3 gram disintesa setiap jam.
Struktur hemoglobin memiliki 4 rantai protein globin, di mana setiap rantai
mengelilingi (membungkus) 1 grup heme yang mengandung besi. Kebanyakan orang
dewasa memiliki 2 rantai alfa dan 2 rantai beta. Hanya kira-kira 2,5 % yang mempunyai 2
rantai alfa dan 2 rantai delta. Hemoglobin fetus (HbF) memiliki 2 rantai gamma menempati
posisi 2 rantai beta pada orang dewasa. Tak lama setelah kelahiran, HbF ini digantikan oleh
bentuk dewasa.
4 grup heme dalam molekul hemoglobin identik. Masing-masing terdiri dari cincin
porfirin karbon-hidrogen-nitrogen dengan atom besi ditengahnya. 70% besi dalam tubuh
berada dalam grup heme eritrosit.
Sintesis hemoglobin membutuhkan suplai besi dalam diet (makanan). Besi yang
diabsorbsi ditransportasikan dalam darah melalui carrier protein, tranferrin. Dalam sumsum
tulang, besi dibawa ke mitokondria eritrosit yang sedang dalam proses pematangan dan
digunakan untuk membuat heme. Kelebihan besi dalam tubuh disimpan, paling banyak di
hati (dalam protein fenitin dan derivatnya).

Metabolisme Besi
Jumlah seluruh besi (Fe) dalam tubuh sebanyak 45 mmol pada wanita dan 60 mmol
pada pria (lmmol = 55,8 mg). Dari jumlah ini, 60%-70 % terikat pada Hb, 10%-12% besi
fungsional terdapat dalam mioglobin dan dalam enzim-enzim yang mengandung besi
(misalnya katalase), dan 16%-29% merupakan besi simpanan (feritin, hemosiderin).
Walaupun jumlah Fe dalam makanan bervariasi tergantung makanannya, rata-rata
kebutuhan besi mencapai 0,2 mmol/hari untuk wanita dap. 0,33 nunol/han untuk pria. Dari
jumlah ini, hanya 6% pada pria dan 12% pada wanita yang diserap dalam duodenum.
Penyerapan Fe bervariasi tergantung pada kebutuhan tubuh dan untuk kasus kekurangan
besi, penyerapannya dapat meningkat sampai 25% dari jumlah yang dimakan.
Fe makanan terikat pada heme dan substansi lipofilik lainnya diserap secara difusi,
sedangkan Fe bebas terutama Fe II diserap secara aktif oleh mukosa usus. Normal
penyerapan besi tergantung dari HCI lambung (yang melepaskan Fe dari susunannya dan
merangsang penyerapan Fe III di duodenum atas) dan dari persediaan Fe II (lebih larut
pada pH netral daripada Fe III) dan dari glikoprotein mukosa lambung (gastroferin) yang
dapat mengikat ion Fe III dalam jumlah besar.
Pengaturan penyerapan Fe belum dimengerti sepenuhnya, walaupun tampaknya
keberadaan apotransferin (protein pengangkut besi dalam plasma) dilibatkan.
Feritin (usus, limpa, hati, sumsum tulang, jantung, otot, dll) mewakili persediaan
cadangan besi yang cepat, sedangkan besi dalam hemosiderin kurang cepat dimobilisasi.
Sebagian besar Fe tubuh digabungkan ke dalam eritrosit sumsum tulang (± 0,54 mmol/hari).
Besi dari eritrosit rusak (± 1/3) dibebaskan makrofag dan segera tersedia kembali.
Dalam setiap kasus, besi dipergunakan kembali (± 97% Fe yang didaur ulang).
Kebutuhan besi (= kehilangan) secara normal adalah 18 µmol/hari; lebih tinggi
selama menstruasi dan terutama pada pertengahan kedua kehamilan dan menyertai
persalinan (kehilangan darah). Karena fetus mengambil ± 60 µmol/hari pada bulan
kesembilan kehamilan, maka makanan ibu harus mengandung suatu tambahan sebanyak
0,5 mmol Fe/hari (kira-kira 12% absorpsi).

Katabolisme Hemoglobin
Eritrosit dalam sirkulasi hidup selama 120 hari (plus-minus 20 hari). Eritrosit yang
sudah lebih tua (lebih fragile/rapuh) akan ruptur saat mereka berusaha masuk dalam kapiler
yang kecil, atau bisa juga ditangkap oleh makrofag saat mereka melewati limpa.
Sewaktu membran eritrosit pecah (hemolisis), hemoglobin akan dilepaskan oleh sel dan
segera difagosit oleh makrofag (di hati, limpa dan sumsum tulang).
Beberapa jam/hari kemudian makrofag akan melepaskan
- Besi yang didapat dari hemoglobin ke dalam darah dan disimpan dalam bentuk feritin
atau diangkut ke sumsum tulang untuk eritrosit yang baru.
- Bagian porfirin dari hemoglobin diubah oleh makrofag menjadi bilirubin (35 mg bilirubin
tiap 1 g Hb) untuk kemudian dilepaskan ke dalam darah dan akhirnya disekresi oleh hati
masuk ke empeclu. Bilirubin merupakan komponen utama empedu. Sekitar 85% didapat
dari pemecahan eritrosit yang sudah tua.

LEUKOSIT

Leukosit terutama berfungsi di luar darah


Leukosit atau sel darah putih, adalah unit-unit yang dapat bergerak (mobile) dalam
sistem pertahanan tubuh. hnunitas mengacu pada kemampuan tubuh menahan atau
mengeliminasi sel abnormal atau benda asing yang berpotensi merusak. Leukosit dan
turunannya memiliki kemampuan untuk: (1) menahan invasi oleh patogen (mikroorganisme
penyebab penyakit, misalnya bakteri dan virus) melalui proses fagositosis; (2)
mengidentifikasi dan menghancurkan sel-sel kanker yang muncul dalam tubuh; dan (3)
berfuIgsi sebagai petugas pembersih' yang membersihkan `sampah ' dalam tubuh dengan
memfagosit debris yang berasal dari sel yang mati atau cedera. Fungsi yang terakhir ini
penting dalam pemyembuhan luka dan perbaikan jaringan.
Untuk melaksanakan fungsinya, leukosit terutama menggunakan strategi "search
and destroy"; yaitu sel-sel tersebut pergi ketempat invasi atau jaringan yang rusak. Alasan
utama mengapa sel darah putih terdapat di dalam darah adalah agar mereka cepat diangkut
dari tempat pembentukan atau penyimpanannya ke manapun mereka diperlukan.

Ada lima jenis leukosit yang berbeda


Leukosit tidak memiliki hemoglobin (berbeda dengan eritrosit), sehingga tidak
berwama ("putih") kecuali jika diwarnai secara khusus agar dapat terlihat di bawah
mikroskop. Tidak sepert eritrosit yang struktumya uniform, berfungsi identik, dan jumlahnya
konstan, leukosit bervariasi dalam struktur fungsi dan jumlah.
Ada lima jenis leukosit yang bersirkulasi - neutrofil, eosinofil, basofil, monosit dan
limfosit - masing masing dengan struktur dan fungsi yang khas.
Mereka semua berukuran sedikit lebih besar daripada eritrosit.
Ke-5 jenis leukosit tersebut dibagi ke dalam 2 kategori utama; tergantung dari
gambaran nukleus dan ada tidaknya granula di sitoplasma sewaktu dilihat di bawah
mikroskop. Neutrofil, eosinofil dan basofil dikategorikan sebagai granulosit
polimorfonukleus. Nukleus sel-sel ini tersegmentasi menjadi beberapa lobus dengan
beragam bentuk dan sitoplasma mereka mengandung banyak granula terbungkus membran.
Terdapat 3 jenis granulosit berdasarkan afinitas mereka terhadap zat warna: eosinofil
memiliki afinitas terhadap zat wama mesh eosin, basofil cenderung menyerap zat warna biru
basa dan neutrofil bersifat netral, tidak memperlihatkan kecenderungan terhadap zat wama.
Monosit dan limfosit dikenal sebagai agranulosit mononukleus. Keduanya memiliki sebuah
nukleus besar tidak bersegmen dan sedikit granula. Monosit lebih besar dari limfosit dan
memiliki nukleus berbentuk oval atau seperti ginjal. Limfosit, leukosit terkecil, ditandai oleh
nukleus bulat besar yang menempati sebagian besar sel.
Pada orang dewasa jumlah leukosit yaitu kira-kira 7000 sel/µl darah (4000 - 11.000
sel/ µl darah) dengan persentase normal masing-masing tipe:
 Granulosit polimorfonukleus: Neutrofil 60 - 70 %
Eosinofil 1-4%
Basofil 0,25-0,5 %
 Agranulosit mononukleus: Limfosit 25-35%
Monosit 2-6%
Leukosit adalah unsur sel dalam darah yang jumlahnya paling sedikit (sekitar 1
leukosit untuk setiap 700 eritrosit), bukan karena produksinya lebih sedikit, tapi karena sel-
sel tersebut hanya mampir sementara dalam darah. Dalam keadaan normal, sekitar 2/3
leukosit dalam sirkulasi adalah granulosit (sebagian besar neutrofil), sedangkan 1/3 sisanya
adalah agranulosit (terutama limfosit). Namun demikian, jumlah total leukosit dan persentase
setiap jenis dapat cukup bervariasi dengan berbagai tingkat kecepatan untuk memenuhi
kebutuhan pertahanan yang selalu berubah-ubah.
Dalam hal ini tergantung pada:
- jenis dan luas serangan yang dihadapi tubuh

- zat-zat perantara kimiawi yang berasal dari jaringan yang terinvasi atau rusak atau dari
leukosit aktif itu sendiri.
Diperlukan hormon-hormon spesifik yang analog dengan eritropoietin untuk
mengarahkan diferensiasi dan proliferasi tiap-tiap jenis sel (sudah dibahas pada Bab
HEMMTOPOIESIS).

NEUTROFIL
Netrofil mempunyai inti yang berlobus 2 - 3 dan pada hapusan darah, granulanya
berwarna ungu dalam sitoplasma merah muda.
Granula netrofil mengandung berbagai enzim (diantaranya adalah lisozim yang
mencemakan dinding bakteri-bakteri tertentu), substansi biologif aktif (diantaranya laktoferin
yang merupakan protein bakterisidal).
Dalam 12 jam setelah dilepaskan dari sumsum tulang, neutrofil akan bermigrasi ke
dalam sirkulasi darah dan akan bertahan di sana 4 - 5 hari. Dari sana mereka akan tertarik
ke daerah radang di jaringan ekstravaskular oleh agen kemotaktik yang dilepaskan oleh
mikroorganisme, jaringan radang, makrofag, granulosit, komponen pembekuan dan
komponen dari komplemen.
Di antara granulosit, neutrofil adalah spesialis fagositik. Sel neutrofil mencari,
mencema dan membunuh sehingga dinamakan sebagai garis pertahanan tubuh pertama
terhadap infeksi bakteri, dengan demikian sangat penting dalam respons peradangan. Satu
netrofil bisa mencema dan membunuh 5 - 10 bakteria. Selain itu mereka melakukan
pembersihan debris.
Neutrofil juga melepaskan sitokin (termasuk pirogen penyebab demam) dan mediator
kimiawi sebagai respons peradangan.
Peningkatan jumlah neutrofil dalam darah (neutrofilia) merupakan respons
karakteristik terhadap infeksi bakteri (a.l. pneumokokus, streptokokus, stafilokokus).

EOSINOFIL
Eosinofil biasanya mempunyai inti berlobus 2; pada hapusan darah sitoplasmanya
mengandung granula besar berwarna merah.
Saat dilepaskan ke dalam sirkulasi, kebanyakan eosinofil bermigrasi dalam 30 menit
ke jaringan ekstravaskular (kebanyakan di saluran pencernaan, paru-paru, jaringan konektif
kulit) dan di sana akan bertahan selama berminggu-minggu. Seperti neutrofil, eosinofil
adalah set yang mobile yang gerakannya diarahkan oleh agen kemotaktik yang dilepaskan
oleh berbagai cumber termasuk set mast dan limfosit.
Eosinofil merupakan set fagosit yang lemah, tapi mempunyai efek sitotoksik. Bila
eosinofil meningkat dalam sirkulasi (eosinofilia) berarti ada infestasi parasit dan / atau reaksi
alergi.
 Cara eosinofil memfagositosis parasit
Eosinofil akan melepaskan diri pada parasit melalui molekul permukaan khusus dan
melepaskan bahan-bahan yang dapat membunuh parasit. Bahan-bahan tersebut yaitu: l.
enzim hidrolitik yang berasal dari granulanya, 2. oksigen yang reaktif, khusus untuk
membunuh bahan-bahan infeksius, 3. suatu polipeptida yang bersifat larvasidal.
 Cara kerja eosinofil pada reaksi alergi
Pada peristiwa alergi akan terdapat set mast dan basofil. Sel-sel ini akan melepaskan faktor
kemotaktik eosinofil, sehingga eosinofil tertarik ke jaringan alergi yang meradang. Eosinofil
kemudian akan mendetoksifikasi bahan-bahan pencetus peradangan yang dilepaskan oleh
set mast dan basofil dan memfagositosis kompleks antibodi-alergen.

BASOFIL
Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya dan paling kurang
diketahui sifat-sifatnya. Berinti multilobulus dan pada hapusan darah mempunyai granula-
granula besar. Seperti granulosit lain, basofil juga merupakan set motile yang mengandung
bahan-bahan fagositik. Sel-sel ini secara struktural dan fungsional mirip dengan set mast
yang tidak pernah beredar dalam darah tapi tersebar di jaringan ikat di seluruh tubuh. Baik
basofil maupun set mast membentuk dan menyimpan histamin dan heparin, yaitu zat-zat
kimia kuat yang dapat dikeluarkan bila setset tersebut mendapat rangsangan yang sesuai.
Basofil bermigrasi ke jaringan ekstravaskular (lokasi sama dengan eosinofil) di mana
mereka mendapat rangsangan, contohnya oleh kompleks antigen yang terikat dengan IgE.
Kompleks ini bereaksi dengan reseptor khusus IgE pada permukaan basofil. Iru
menyebabkan basofil tersebut mengeluarkan histamin dan bahan-bahan lain ( heparin,
substansi anafilaktis reaksi lambat, substansi kemotaktik eosinofil dan neutrofil, protease)
dari granulanya ke jaringan sekitar. Hal ini mengakibatkan respons anafilaktik sistemik atau
dilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah (menyebabkan edema lokal).

MONOSIT
Monosit berukuran paling besar dibandingkan dengan leukosit lainnya, merupakan
sel precursor makrofag jaringan. Pada hapusan darah, terlihat inti berbentuk ginjal. Pada
saat matur, monosit dikeluarkan dari sumsum tulang ke sirkulasi darah. Setelah 1 atau 2 hari
mereka akan bermigrasi ke berbagai jaringan di seluruh tubuh, terutama hati, limpa,
limfonodus dan paru-paru dan akan menetap di sana selama berhari-hari bahkan bertahun-
tahun, kecuali bila mereka mati sebelumnya (saat menjalankan aksi fagositosis).
Di tempat yang baru (jaringan), monosit terus berkembang dan membesar menjadi fagosit
jaringan besar yang dikenal sebagai makrofag jaringan (termasuk sel kupffer di hati,
makrofag alveolar paru, osteoklas, mikroglia di otak, histiosit di kulit). Dahulu, sel-sel ini
disebut sebagai sistem retikuloendotelial (RES), namun sekarang ada istilah lain yang
dipakai yaitu sistem makrofag jaringan. Istilah lain: mononuclear phagocyte system.
Monosit dan makrofag adalah sel motile dengan aksi fagositik. Mereka mencerna
mikroorganisme, sel radang atau sel mati dan protein yang rusak. Cara membunuh
mikroorganisme umumnya serupa dengan neutrofil, tetapi lebih besar dan lebih efektif (satu
untuk 100 bakteri).
Monosit juga berperan dalam respons imun didapat dengan cara mencerna antigen
yang diproses sehingga dapat dikenali oleh limfosit T dan B. Monosit dirangsang untuk
mensekresi interleukin-1, yang menunjang proliferasi dan maturasi limfosit T. Bagian sel T
dirangsang untuk mengeluarkan interleukin-2, yang akan mengaktifkan sel T. Sel T
teraktivasi melepaskan interleukin-4 dan interleukin-5, yang merangsang proliferasi dan
diferensiasi limfosit B menjadi sel plasma penghasil antibodi.
Monosit juga mempunyai banyak substansi biologik aktif, termasuk sejenis
tromboplastin jaringan, aktivator plasminogen dan enzim proteolitik.

LIMFOSIT
Limfosit merupakan sel-sel yang heterogen dengan nukleus besar. Jumlah
sitoplasma tergantung dari ukurannya, diametemya bervariasi dari 6 sampai 20 gm. Pada
hapusan darah, sitoplasmanya sama sekali tanpa granula (kecuali natural killer cells - akan
dibahas nanti).
Limfosit merupakan unsur kunci sistem kekebalan tubuh. Sistem ini memiliki
kemampuan yang menonjol dalam menghasilkan antibodi terhadap berjuta zat asing yang
berlainan yang menyusup ke dalam tubuh. Di samping itu sistem ini mampu “mengingat",
sehingga pemaparan keduakalina terhadap senyawa asing menghasilkan respons lebih
cepat dan lebih hebat. Pasca kelahiran, beberapa limfosit dibentuk di dalam kelenjar limfe,
timus dan limpa. Umumnya limfosit memasuki sirkulasi melalui pembuluh limfe. Hanya
sekitar 2 % dari seluruh limfosit dalam tubuh terdapat di darah perifer, sisanya di organ
limfoid. Limfosit memiliki rentang usia 100 sampai 300 hari.
Dalam tubuh terdapat 2, jenis limfosit, yaitu:
1. Limfosit B (berperan pada imunitas humoral)
2. Limfosit T (berperan pada imunitas seluler).
Tentang limfosit akan dibahas lebih lanjut pada bab `Pertahanan Tubuh'.
PERTAHANAN TUBUH
Manusia secara terus menerus berkontak dengan agen eksternal yang mungkin
dapat membahayakan apabila agen tersebut masuk ke dalam tubuh, yang paling serius
adalah mikroorganisme penyebab penyakit. Apabila bakteri atau virus masuk ke dalam
tubuh, tubuh memiliki sistem pertahanan yang kompleks dan berlapis-lapis, sistem imun,
yang memberikan proteksi terhadap invasi oleh agen-agen asing. Permukaan tubuh yang
terpajan ke lingkungan eksternal, misalnya kulit, berfungsi sebagai lini pertama sistem
pertahanan untuk menahan penetrasi mikroorganisme asing.

Sistem pertahanan imun menghasilkan proteksi terhadap sel asing dan abnormal dan
membersihkan debris sel.
Imunitas mengacu kepada kemampuan tubuh menahan atau mengeliminasi benda
asing atau sel abnormal yang potensial berbahaya. Aktivitas-aktivitas berikut berkaitan
dengan sistem pertahanan imun, yang berperan penting dalam mengenali dan
menghancurkan atau menetralisasi benda-benda di dalam tubuh yang dianggap asing oleh
"diri normal".
1. Pertahanan terhadap patogen penginvasi (mikro organisme penghasil, misalnya virus
dan bakteri).
2. Pengeluaran sel-sel yang "aus" (misalnya sel darah merah yang tua) dan debris
jaringan (misalnya: jaringan rusak oleh trauma atau penyakit). Yang terakhir ini
penting untuk penyembuhan luka dan perbaikan jaringan.
3. Identifikasi dan destruksi sel abnormal atau mutan yang berasal dari tubuh sendiri.
Fungsi ini, yang diberi nama surveilanus imun, adalah mekanisme pertahanan
internal utama terhadap kanker.
4. Respons imun yang tidak sesuai yang menimbulkan alergi, yaitu tubuh yang bereaksi
terhadap zat kimia dari lingkungan yang tidak berbahaya, atau penyakit otoimun,
yaitu saat sistem pertahanan secara salah menghasilkan antibodi terhadap tubuh
sendiri, sehingga terjadi kerusakan sel-sel jenis tertentu di dalam tubuh.
5. Penolakan sel-sel jaringan asing, yang menjadi kendala utama dalam transplantasi
organ.
Bakteri dan virus patogenik adalah sasaran utama sistem pertahanan imun.
Musuh asing utama yang dilawan oleh sistem imun adalah bakteri dan virus. Bakteri
adalah mikroorganisme bersel tunggal yang tidak berinti dan diperlengkapi oleh semua
perangkat yang esensial bagi kelangsungan hidup dan reproduksi mereka. Bakteri patogen
yang menginvasi tubuh mencetuskan kerusakan jaringan dan menimbulkan penyakit
terutama dengan mengeluarkan enzim atau toksin yang secara fisik mencederai atau
mengganggu fungsi set dan organ yang terkena. Daya suatu patogen menimbulkan penyakit
yang dikenal sebagai virulensi.
Virus, berbeda dengan bakteri, bukanlan suatu entitas seluler yang dapat hidup
sendiri. Virus hanya terdiri dari asam nukleat (DNA atau RNA) yang terbungkus di dalam
suatu selubuh protein. Karena tidak memiliki perangkat untuk menghasilkan energi dan
membentuk protein, virus tidak mampu menjalankan metabolisme atau reproduksi, kecuali
jika mereka menginvasi set pejamu (set pada individu yang terinfeksi) dan mengambil alih
fasilitas biokimiawi set tersebut untuk kepentingan mereka sendiri. Virus tidak saja
melemahkan sumber energi set pejamu, tetapi asam-asam nukleat virus juga
memerintahkan set pejamu untuk mensintesis protein-protein yang diperlukan oleh replikasi
virus. Efek invasi dan replikasi virus pada set pejamu berbeda sesuai dengan jenis virus.
Virus dapat menimbulkan kerusakan atau kematian set metalui empat cara umum: (1)
deplesi komponen-komponen set yang esensial oleh virus; (2) pembentukan zat yang toksik
bagi set pejamu dibawah perintah virus; (3) tranformasi sel-sel pejamu normal menjadi sel-
sel kanker; dan (4) penyatuan virus ke dalam set sehingga mekanisme pertahanan tubuh
akan menghancurkan set karena sel-sel tersebut tidak lagi dianggap sebagai set "diri
normal" (dianggap asing).

Leukosit-sel-sel pada sistem pertahanan imun.


Sel-sel yang bertanggung jawab atas berbagai strategi pertahanan imun adalah
leukosit (sel darah putih) dan turunannya, yang secara singkat dibahas sebagai berikut:
1. Neutrofil adalah spesialis fagostik yang sangat mudah bergerak (mobil) dan
memakan serta menghancurkan bahan-bahan yang tidak diperlukan.
2. Eosinofil mengeluarkan zat-zat kimiawi yang menghancurkan cacing parasit dan
berperan dalam manifestasi alergi.
3. Basofil mengeluarkan histamin dan heparin, dan juga terlibat dalam manifestasi
reaksi elergi.
4. Limfosit
a. Limfosit B berubah menjadi sel plasma, yang mengeluarkan antibodi yang secara
tidak langsung menyebabkan desktruksi benda asing.
b. Limfosit T berperan dalam imunitas yang diperantarai oleh sel (imunitas seluler)
dengan melibatkan destruksi langsung sel-sel yang terinvasi virus dan sel-sel
mutan melalui cara-cara nonfagostik.
5. Monosit berubah menjadi makrofag, yaitu spesialis fagostik yang berukuran besar
dan terikat ke jaringan.

Suatu leukosit berada dalam darah hanya untuk beberapa saat. Sebagian besar
leukosit keluar dari pembuluh untuk berada di jaringan dalam tugas pertahanannya.
Akibatnya, sel-sel efektor sistem imun tersebar luas di seluruh tubuh dan mampu bertahan di
berbagai tempat.
Hampir semua leukosit berasal dari prekursor sel bakal yang umum di sumsum
tulang dan kemudian dikeluarkan ke dalam darah. Satu-satunya pengecualian adalah
limfosit, yang sebagian berasal dari koloni-koloni limfosit di berbagai jaringan limfoid yang
semula ditempati oleh set-scl yang berasal dari sumsum tulang. Jaringan limfoid di lapisan
dalam saluran pencernaan yang disebut bercak Peyer atau gut associated lymphoid tissue
(GALT), dan sumsum tulang. Jaringan jaringan limfoid memiliki letak strategis untuk
mencegat mikroorganisme invasif sebelum mereka memiliki kesempatan untuk menyebar
terlalu jauh. Sebagai contoh, limfosit yang menempati tonsil dan adenoid berada di tempat
yang strategis untuk menyambut mikroba-mikroba yang masuk melalui inhalasi, sedangkan
mikroorganisme yang masuk melalui sistem pencernaan akan
segera bertemu dengan limfosit di apendiks dan GALT. Patogen-patogen potensial yang
memperoleh akses ke limfe disaring oleh kelenjar-kelenjar limfe. Limpa, jaringan limfoid
terbesar, melakukan fungsi imun terhadap darah serupa dengan fungsi yang dilakukan oleh
kelenjar limfe terhadap limfe. Melalui kerjanya pada populasi limfosit dan makrofag, limpa
membersihkan darah yang melewatinya dari berbagai mikroorganisme dan benda asing lain
serta mengeluarkan sel-sel darah daerah yang sudah aus (usang). Timus dan sumsum
tulang masing-masing berperan penting dalam mengolah limfosit T dan B, untuk
mempersiapkan sel-sel tersebut menjalankan strategi-strategi imun spesifik mereka, jaringan
limfoid, yang sebagian dijelaskan sebelumnya dan selanjutnya akan dibahas dalam bab ini.

Respons imun bisa bersifat nonspesifik atau spesifik.


Respons imun diklasifikasikan sebagai respons imun nonspesifik atau spesifik,
bergantung pada derajat efektivitas mekanisme pertahanan. Respons imun nonspesifik
adalah respons pertahanan inheren yang secara nonselektif mempertahankan tubuh dari
invasi benda asing atau abnormal dari jems apapun, walaupun baru pertama kali terpajan.
Respons seperti ini membentuk lini pertama pertahanan terhadap berbagai faktor yang
mengancam, termasuk agen infeksi, iritan kimiawi, dan cedera jaringan yang menyertai
trauma mekanis atau luka bakar. Respons imun spesifik, di pihak lain, secara selektif
menyerang benda asing tertentu yang telah mereka temui sebelumnya. Respons-respons
spesifik ini diperantarai oleh limfosit, yang, telah mendapat pajanan berikutnya ke agen yang
sama, mengenali dan secara diskriminatif melawan agen tersebut. Kita mula-mula akan
membahas mengenai respons nonspesifik sebelum berlanjut ke respons spesifik.
RESPONS IMUN NONSPESIFIK AMUNITAS BAWAAN
Pertahanan nonspesifik mencakup peradangan, interferon, sel natural killer, dan
sistem komplemen
Pertahanan-pertahanan nonspesifik yang beraksi tanpa memandang apakah agen
pencetus pernah atau belum pernah dijumpai adalah:
1. Peradangan, suatu respon nonspesifik terhadap cedera jaringan, pada keadaan ini
spesialis-spesialis fagositik-neutrofil dan makrofag-berperan penting disertai bantuan
dari sel-sel imun jenis lain.
2. Interferon, sekelompok protein yang secara nonspesifik mempertahankan tubuh
terhadap infeksi virus.
3. Sel natural killer, sel jenis khusus mirip limfosit yang secara spontan dan relatif
nonspesifik melisiskan (menyebabkan ruptur) dan menghancurkan sel pejamu yang
terinfeksi virus dan sel kanker.
4. Sistem komplemen, sekelompok protein plasma inaktif yang apabila diaktifkan secara
sekuensial, menghancurkan sel asing dengan menyerang membran plasma. Sistem
komplemen dapat secara nonspesifik diaktifkan oleh adanyabenda asing. Sistem ini
juga dapat diaktifkan oleh antibodi yang dihasilkan sebagai bagian dari respon imun
spesifik terhadap mikroorganisme tertentu.
Kenyataan bahwa sistem komplemen terlibat dalam mekanisme pertahanan
nonspesifik dan spesifik memberi gambaran suatu hal penting. Berbagai komponen dalam
sistem imun melakukan interaksi yang erat dan Baling bergantung satu sama lain, sehingga
sistem ini sangat canggih dan efektif, tetapi juga rumit dan sulit dipilah-pilah.

Peradangan adalah respons nonspesifik terhadap invasi benda asing atau kerusakan
jaringan
Peradangan, mengacu kepada serangkaian proses non spesifik inheren yang saling
berhubungan dan diaktifkan sebagai respons terhadap invasi benda asing, kerusakan
jaringan, atau keduanya. Tujuan akhir dari peradangan adalah untuk menarik protein plasma
dan fagosit ke tempat yang cedera atau terinvasi agar keduanya dapat (1) mengisolasi,
menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang masuk; (2) membersihkan debris; dan (3)
mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan dan perbaikan.
Respons peradangan secara keseluruhan sangatlah mirip apapun proses pencetusnya (baik
itu invasi bakteri, cedera kimiawi, atau trauma mekanis), walaupun terdapat perbedaan-
perbeadaan ringan, bergantung pada penyebab dan lokasi kerusakan. Selama respons
peradangan biasanya dijumpai rangkaian kejadian berikut. Sebagai suatu contoh, kita
menggunakan invasi bakteri melalui kulit sebagai faktor pencetus.
Pertahanan oleh Makrofag Jaringan Residen. Ketika bakteri masuk ke tubuh melalui
suatu kerusakan di kulit, makrofag yang sudah berada di daerah tersebut segera memfagosit
mikroba-mikroba asing yang masuk tersebut. Walaupun biasanya tidak terdapat dalam
jumlah yang cukup untuk menghadapi serangan itu sendirian, makrofag residen menahan
infeksi selama periode sekitar satu jam pertama, sebelum mekanisme lain dapat
dimobilisasi. Makrofag biasanya bersifat agak stasioner, memakan debris dan kontaminan
yang ditemuinya, tetapi apabila diperlukan, sel-sel ini menjadi mobil dan bermigrasi ke
tempat-tempat pertempuran melawan agen invasif.
Vasodilatasi Lokal. Hampir segera setelah invasi mikroba, arteriol di daerah tersebut
berdilatasi, sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera. Vasodilatasi lokal ini
terutama disebabkan oleh histamin yang di kerusakan ke jaringan yang rusak oleh sel mast,
sejenis sel yang terikat ke jaringan dan mirip dengan basofil darah. Peningkatan penyaluran
darah lokal tersebut menyebabkan lebih banyak leukosit fagostik dan protein plasma
(keduanya penting untuk respons pertahanan) yang tiba di tempat tersebut.
Peningkatan Permeahilitas Kapiler. Histamin yang dikeluarkan juga meningkatkan
permeabilitas kapiler dengan memperbesar pori-pori kapiler (ruang antara sel-sel endotel),
sehingga protein-protein plasma yang dalam keadaan normal tidak dapat keluar dari
pembuluh darah dapat lolos ke jaringan yang meradang.
Edema Lokal. Protein plasma yang bocor dan tertimbun di cairan interstisium
tersebut menimbulkan tekanan osmotik koloid. Peningkatan tekanan osmotik lokal ini, yang
disertai dengan peningkatan tekanan darah kapiler akibat peningkatan aliran darah,
cenderung meningkatkan filtrasi dan menurunkan reabsorpsi cairan menembus kapiler yang
bersangkutan. Hasil akhir pergeseran keseimbangan cairan ini adalah edema lokal. Dengan
demikian, pembengkakan yang wring kita jumpai menyertai peradangan disebabkan oleh
perubahan-perubahan vaskuler yang diinduksi oleh histamin.
Demikian juga, manifestasi peradangan lain yang bersifat makro, misalnya
kemerahan dap papas, sebagian besar disebabkan oleh peningkatan aliran darah arteri yang
hangat ke jaringan yang rusak. Nyeri disebabkan oleh distensi lokal di dalam jaringan yang
membengkak dap oleh efek langsung zat-zat lokal di ujung-ujung reseptor neuron aferen
yang mempersarafi daerah tersebut. Ingatlah bahwa karakteristik proses peradangan yang
dapat diamati ini tujuan utama perubahan vaskuler di daerah yang cedera - untuk
meningkatkan jumlah fagosit leukosit dap protein plasma yang penting ke daerah tersebut.
Pembatasan Daerah yang Meradang. Protein plasma yang bocor yang paling penting
bagi respons imun adalah protein yang terlibat dalam sistem komplemen dap sistem kinin
(akan dijelaskan kemudian) serta faktor pembekuan dap anti pembekuan. Apabila terpajan
ke tromboplastin jaringan di jaringan yang cedera dap zat-zat kimia spesifik yang
clikeluarkan oleh fagosit di tempat kejadian, fibrinogen, faktor akhir dalam sistem
pembekuan, diubah menjadi fibrin. Fibrin membentuk bekuan cairan interstisium di ruang-
ruang sekitar bakteri penginvasi dap set yang rusak. Pembatasan (pengepungan) daerah
yang cedera dari jaringan di sekitarnya ini mencegah atau paling tidak memperlambat
penyebaran bakteri dap produk-produk toksiknya. Kemudian, faktorfaktor antipembekuan
yang lebih lambat diaktifkan secara bertahap melarutkan bekuan setelah bekuan tersebut
tidak lagi diperlukan. Beberapa bakteri misalnya streptokokus, menghasilkan enzim-enzim
yang bekerja pada plasminogen, suatu prekursor proteinplasma inaktif, dan mengubahnya
menjadi plasmin, suatu enzim proteolitik yang melarutkan bekuan fibrin. Tindakan ini akan
merusak pembatasan, sehingga organisme streptokokus ini dapat menyebar luas.
Emigrasi Leukosit. Dalam satu jam setelah cedera, daerah yang terkena sudah
dipadati oleh lukosit yang keluar dari pembuluh. Neutrofil adalah set yang pertama kali tiba,
diikuti dalam delapan sampai dua betas jam berikutnya oleh monosit yang bergerak lebih
lambat. Monosit membesar dan berubah menjadi makrofag dalam periode delapan sampai
dua betas jam berikutnya.
Emigrasi leukosit dari darah ke jaringan melibatkan proses marginasi, diapedesis,
gerakan amuboid, dan kemotaksis.
Marginasi mengacu kepada melekatnya leukosit darah, terutama neutrofil dan monosit, ke
bagian dalam lapisan endotel kapiler di jaringan yang terkena. Segera leukosit mulai keluar
dengan mekanisme yang dikenal sebagai diapedesis. Leukosit, dengan mengambil perilaku
mirip amuba, menjulurkan suatu tonjolan panjang-ramping menembus pori-pori kapiler;
kemudian bagian set lainnya mengalir ke dalam tonjolan tersebut. Dengan cara ini leukosit
mampu menyelinap melalui pori-pori kapiler - walaupun ukuran pori-pori itu lebih kecil
daripada neutrofil - dan bergerak seperti amuba menuju ke tempat kerusak, n jaringan dan
invasi bakteri. Neutrofil tiba di tempat peradangan paling awal karena set ini lebih mudah
bergerak daripada monosit.
Migrasi sel-sel fagostik dipandu oleh gaya tarik mediator-mediator kimiawi tertentu,
atau kemotaksin, yang dikeluarkan di tempat kerusakan. Proses ini disebut sebagai
kemotaksis. Pengikatan kemotaksin dengan reseptor protein di membran plasma set fagostik
meningkatkan pemasukan Ca' ke dalam set. Kalsium kemudian mengaktifkan perangkat
kontraktil set, sehingga set merayap seperti amuba. Karena konsentrasi kemotaksin secara
progresif meningkat mendekati tempat cedera, sel-sel fagositik bergerak secara tepat ke
arah tempat tersebut mengikuti gradien konsentrasi kemotaksin.
Proliferasi Leukosit. Makrofag jaringan residen serta leukosit yang keluar dari darah
bermigrasi ke tempat peradangan segera disusul oleh sel-sel fagositik yang baru direkrut
dari sum-sum tulang. Dalam beberapa jam setelah awitan respons peradangan, jumlah
neutrofil dalam darah mungkin meningkat empat sampai lima kali lipat daripada jumlah
normalnya. Peningkatan ini sebagian disebabkan oleh pemindahan sejumlah besar neutrofil
yang sudah ada dari simpanan di sumsum tulang ke darah dan sebagian disebabkan oleh
pembentukan neutrofil baru di sumsum tulang. juga terjadi peningkatan pembentukan
monosit yang berlangsung lebih lambat tetapi lebih bertahan lama di sumsum tulang,
sehingga lebih banyak lagi tersedia sel-sel prekursor makrofag. Selain itu, multiplikasi
makrofag residen menambah simpanan sel-sel imun yang penting ini. Proliferasi neutrofil,
monosit, dan makrofag baru serta mobilisasi simpanan neutrofil dirangsang oleh berbagai
mediator kimiawi yang dikeluarkan dari tempat peradangan.
Destruksi Bakteri oleh Leukosit. Neutrofil dan makrofag membersihkan daerah yang
meradang dari zat-zat toksik atau infeksius serta debris jaringan;
tindakan pembersihan ini adalah fungsi primer respons peradangan. Kedua sel tersebut
melakukan dengan cara fagositik dan nonfagositik.
Fagositosis melibatkan pencaplokan dan degradasi (penguraian) intrasel partikel
asing dan debris jaringan. Makrofag dapat memakan sebuah bakteri dalam waktu kurang
dari 0,01 detik. Sel-sel fagositik memiliki banyak lisosom, N-aitu organel yang berisi enzim-
enzim hidrolitik (jenis yang sama dengan yang menguraikan makanan di saluran
pencernaan). Setelah sebuah fagosit memasukan benda sasaran, terjasi fusi lisosom
dengan membran yang membungkus benda tersebut dan lisosom mengeluarkan enzim-
enzim hidrolitiknya ke dalam vestikel yang terbungkus membran tersebut, sehingga benda
yang terperangkap dapat diuraikan. Banyak produk penguraian yang terbentuk merupakan
senyawa-senyawa organik dengan berat molekul rendah, misalnya asam amino dan
glukosa, yang dapat digunakan oleh sel fagositik itu sendiri atau pada kasus makrofag,
dikeluarkan ke cairan ekstrasel untuk digunakan di tempat lain.
Partikel-partikel anorganik yang tidak dapat diuraikan namun sudah ditelan (misalnya
debu, partikel logam, atau zat warna tato) biasanya disimpan tanpa batas waktu di dalam sel
fagositik. Pada kenyataannya, bakteri tertentu, terutama penyebab tuberkulosis, dapat
dimakan tetapi tidak dapat dihancurkan karena bakteri ini resisten terhadap zat-zat kimiawi
lisosom. Organisme ini dapat bertahap hidup di dalam fagosit selama beberapa tahun dan
tidak menimbulkan efek yang jelas karena terperangkap di dalam kapsul fibrosa. Organisme
tersebut baru menimbulkan penyakit apabila dibiarkan lolos. Struktur yang sedikit banyak
berdinding tersebut dikenal sebagai granula.
Fagosit akhirnya mati akibat akumulasi produk-produk sampingan toksik dari
penguraian benda asing atau pengeluaran secara tidak sengaja zat-zat kimia lisosom ke
dalam sitsol. Neutrofil biasanya mati setelah nemfagositosis lima sampai dua pulu lima
bakteri, sedangkan makrofag bertahap hidup lebih lama dan dapat memakan sampai lebih
dari seratus bakteri. Makrofag yang hidup lebih lama itu bahkan membersihkan daerah
peradangan dari neutrofil yang mati selain debris jaringan lainnya. Pus (nanah) yang
terbentuk pada luka terinfeksi adalah kumpulan dari sel-sel fagositik ini, baik yang hidup
maupun mati; jaringan nekrotik (mati) diurarkan oleh enzim-enzim lisosom yang dikeluarkan
oleh sel fagositik; dan bakteri.
Jelaslah, fagosit harus mampu membedakan antara sel normal dan sel asing
abnormal sebelum menjalankan misi destruktifnya. Apabila tidak, mereka tidak dapat secara
selektif menghancurkan zat-zat yang tidak diinginkan. Terdapat beberapa prosedur selektif
yang memungkinkan fagosit "mengenali" sasaran untuk dihancurkan. Pertama, jaringan mati
dan banyak benda asing memiliki karakteristik permukaan yang berbeda degnan sel tubuh
normal. Sebagai contoh, kekasaran permukaan yang terjadi akibat cedera traumatik
meningkatkan kemungkinan fagositosis debris sel. Kedua, partikel acing secara sengaja
ditandai untuk difagositosis dengan melapisinya dengan mediatormediator kimiawi yang
dihasilkan oleh sistem imun. Zat-zat kimia yang dihasilkan oleh sistem imun yang
menyebabkan bakteri menjadi lebih rentan dikenal sebagai opsonin. Opsonin yang paling
penting adalah tinbodi dan salah satu protein sistem komplemen yang sudah diaktifkan.
Suatu opsonin meningkatkan fagositosis dengan cara menghubungkan sel-sel asing
dengan sel-sel fagositik. Salah satu bagian molekul opsonin berikatan secara nonspesifik
dengan permukaan bakteri invasif, sementara bagian lain dari molekul opsonin tersebut
berikatan dengan tempat reseptor yang spesifik untuknya di membran plasma sel fagositik.
Hubungan ini memastikan bahwa korban bakteri tersebut tidak memiliki kesempatan untuk
"melarikan diri" sebelum fagosit dapat melaksanakan serangan mematikannya.

Mediasi Respons Peradangan oleh Zat Kimia yang Dikeluarkan Fagosit.


Fagosit yang dirangsang oleh mikroba menghasilkan banyak zat kimiawi, yang berfungsi
sebagai mediator respons peradangan. Mediator-mediator kimiawi ini menginduksi berbagai
aktivitas imun yang saling berkaitan, bervariasi dari respons lokal sampai manifestasi
sistemik yang menyertai invasi suatu mikroba. Berikut ini adalah sebagian fungsi terpenting
sekresi fagositik.
1. Sebagai zat kimiawi, yang sangat destruktif, secara langsung mematikan mikroba
yang belum difagosit. Sebagai suatu cara destruksi yang lebih samar, neutrofil
mengeluarkan laktoferin, suatu protein yang mengikat erat besi, sehingga tidak
tersedia besi untuk digunakan oleh bakteri. Multiplikasi bakteri bergantung pada
ketersediaan kadar besi yang tinggi. Dengan demikian,fagosit mampu
menghancurkan benda asing yang masuk melalui cara-cara fagositik maupun
nonfagositik.
2. Sekresi fagositik merangsang pengeluaran histamin dari sel mast di sekitarnya.
Histamin kemudian menginduksi vasodilatasi lokal dan meningkatkan permeabilitas
vaskuler yang menyertai peradangan.
3. Sekresi fagositik mencetuskan sistem pembekuan dan anti pembekuan untuk mula-
mula meningkatkan proses pengepungan dan kemudian mempermudah disolusi
gradual bekuan fibrosa setelah bekuan tersbut tidak lagi diperlukan.
4. Sekresi fagositik memecah kininogen, yaitu protein plasma prekursor inaktif yang
disintesis di hati, menjadi kinin yang aktif. Kalikrein, yang dihasilkan oleh neutrofil,
dapat melaksanakan pengaktifan ini. Setelah kalikrein menghasilkan kinin, kini akan
meningkatkan berbagai proses peradangan; dan berfungsi sebagai kemotaksin kuat
untuk menginduksi migrasi fagosit ke daerah yang terkena. Melalui mekanisme
umpan balik positif, neutrofil yang baru datang mengeluarkan kalikrein, yang
menghasilkan lebih banyak kinin yang secara kemotaksis menarik lebih banyak
neutrofil untuk ikut bertempur.
5. Sekresi fagositik menginduksi timbulnya demam, terutama melalui pelepasan pirogen
endogen (endogenous pyrogen, EP). Respons ini terutama terjadi apabila organisme
invasif telah masuk ke dalam aliran darah. Pirogen endogen diyakini menyebabkan
pengeluaran prostaglandin, suatu perantara kimiawi lokal, di dalam hipotalamus yang
"menailckan termostat" hipotalamus yang mengatur suhu tubuh.
6. Sekresi fagositik menurunkan konsentrasi besi dalam plasma dengan mengganggu
metabolisme besi dalam hati, limpa dan jaringan lain, sehingga ketersediaan besi
untuk menunjang multiplikasi bakteri berkurang.
7. Sekresi fagositik merangsang granulopoiesis, sisntesis dan pelepasan neutrofil dan
granulosit lain oleh sumsum tulang. Efek ini sangat penting dalam respons terhadap
infeksi bakteri.
8. Sekresi fagositik merangsang pengeluaran protein fase akut dari hati. Kumpulan
protein ini, yang belum dipilah-pilah oleh para ilmuwan, menimbulkan berbagai efek
yang berkaitan dengan proses peradangan, perbaikan jaringan, dan aktivitas sel
imun. Ketiga efek terakhir (reduksi besi plasma, peningkatan granulopoiesis, dan
pengeluaran protein fase akut) semuanya disebabkan oleh mediator endogen
leukosit (leukocyte endogenous mediator, LEM), suatu mediator kimiawi yang
disekresikan oleh makrofag. Bukti-bukti mengisyaratkan bahwa LEM dan EP
merupakan zat yang sama atau paling sedikit beruhubungan sangat erat.
9. Sekresi itu meningktkan proliferasi dan diferensiasi limfosit B dan T, yang pada
gilirannya, berturut-turut, berperan menghasilkan antibodi dan imunitas seluler.
Secara spesifik, interlukin 1 (IL-1), suatu produk sekretorik yang dikeluarkan oleh
makrofag, berperan menimbulkan efek ini pada limfosit. Yang menarik, IL-1 identik
(atau berkaitan erat) dengan EP dan LEM. Tampaknya, zat kimia yang sama
menyebabkan berbagai efek di seluruh tubuh, yang semuanya ditujukan untuk
mempertahankan tubuh dari infeksi atau cedera jaringan. Pada kenyataannya,
pengeluaran EP/LEM/IL-1 dapat dipicu oleh keadaan-keadaan penuh stres yang
tidak bekaitan dengan invasi mikroba (sebagai contoh, selama olahraga ketahanan
tubuh).

Perbaikan Jaringan. Tujuan akhir proses peradangan adalah untuk mengisolasi dan
menghancurkan zat-zat perusak dan untuk membersihkan daerah tersebut agar dapat
dilakukan perbaikan jaringan.
Di sebagian jaringan (sebagai contoh, kulit, tulang dan hati), sel-sel spesifik organ yang
masih sehat di sekitar tempat cedera mengalami pembelahan sel untuk mengganti sel-sel
yang hilang, sehingga perbaikannya sering sempurna. Namun di jaringan yang bersifat
nongeneratif, misalnya saraf dan otot, sel-sel yang hilang diganti oleh jaringan parut.
Fibroblas, sejenis sel jaringan ikat, mulai membelah secara cepat di sekitar tempat cedera
dan mengeluarkan sejumlah besar protein kolagen, yang mengisi bagian yang ditinggalkan
oleh sel yang hilang dan menyebabkan terbentuknya jaringan parut. Bahkan di jaringan yang
mudah diganti seperti kulit, jaringan parut kadang-kadang terbentuk jika struktur-struktur
kompleks dibawahnya, misalnya folikel rambut dan kelenjar keringat, menglami kerusakan
permanen.

Interferon secara sementara menghambat multiplikasi virus di sebagian besar sel.


Selain respons peradangan, mekanisme pertahanan non-spesifik lain adalah
pengeluaran interferon dari sel-sel yang terinfeksi virus. Interferon menghasilkan resistensi
nonspesifik terhadap infeksi virus dengan secara sementara menghambat replikasi virus
yang sama atau virus terkait lainnya di sel pejamu lain. Sewaktu virus menginduksi
perangkat genetik sel untuk membentuk interferon, yang kemudian dikeluarkan ke dalam
cairan ekstrasel.
Setelah dilepaskan, interferon berikatan dengan reseptor di membran plasma sel-sel
di sekitarnya atau bahkan sel dari tempat yang jauh yang dicapai melalui afran darah, dan
memberi sinyal agar sel-sel tersebut mempersiapkan diri terhadap kemungkinan serangan
virus. Interferon tidak memiliki efek antivirus langsung; hal ini memicu pembentukan enzim-
enzim penghambat arus oleh sel pejamu. Pengikatan dengan interferon menginduksi sel-sel
lain ini untuk membentuk enzim-enzim yang dapat merusak RNA Messenger virus dan
menghambat sintesis protein, yang keduanya esensial bagi replikasi virus. Walaupun masih
mampu menginvasi sel-sel yang sudah diberitahu tersebut, virus tidak mampu mengatur
sintesis protein sel untuk replikasi mereka sendiri.
Interferon dikeluarkan secara nonspesifik dari setiap set yang terinfeksi oleh semua
jenis virus dun pada gilirannya, selama beberapa saat dapat menginduksi aktivitas proteksi
diri terhadap banyak jenis virus di setiap set yang dicapai oleh interferon tersebut. Dengan
demikian, interferon merupakan suatu strategi pertahanan yang dengan cepat berespons
dan bersifat umum terhadap invasi virus sampai mekanisme imun yang lebih spesifik namun
lebih lambat bereaksi.
Selain mempermudah inhibisi replikasi virus, interferon juga memperkuat aktivitas
imun lain. sebagai contoh, interferon meningkatkan aktivitas fagositik makrofag dan
merangsang pembentukan antibodi. Interferon juga memiliki efek antikanker selain efek
antivirus. Untungnya, efek antikankernya tidak terbatas pada jenis kanker akibat virus.
Sebagian besar jenis kanker pada manusia tidak disebabkan oleh virus. Sebagian besar
jenis kanker pada manusia tidak disebabkan oleh virus. Interferon sangat meningkatkan
kerja set-sel pembunuh-sel sitotoksik-yang menyerang dan menghancurkan set yang
terinfeksi virus dan set kanker. Selain itu, interferon itu sendiri memperlambat pembelahan
set dan menekan pertumbuhan tumor.

Sel Natural killer menghancurkan set yang terinfeksi virus dan sel kanker pada
perjumpaan pertama mereka.
Set natural killer yang sejati secara alamiah, adalah sel-sel mirip-limfosit yang secara
nonspesifik menghancurkan set yang terinfeksi virus dan set kanker dengan secara
langsung melisiskan membran sel-sel tersebut pada saat pertama kali kali berjumpa. Cara
kerja set ini dan sasaran utamanya serupa dengan set T sitotoksik, tetapi set T sitotoksik
hanya dapat mematikan sel-sel terinfeksi virus atau set kanker jenis tertentu yang pernah
dijumpai oleh set tersebut. Selain itu, setelah terpajan, set T sitotoksik memerlukan periode
pematangan sebelum mampu melancarkan serangan yang mematikan. Set natural killer
membentuk pertahanan yang bersifat segera dan nonspesifik terhadap set yang terinfeksi
virus dan set kanker sebelum set T sitotoksik yang lebih spesifik dun lebih banyak berfungsi.
Sistem Komplemen
Sistem komplemen mematikan mikroorganisme secara langsung sendid atau dengan
bekerja sama dengan antibodi saat memperkuat respons peradangan
Sistem komplemen adalah mekamsme pertahanan lain yang diaktifkan secara nonspesifik
sebagai respons terhadap invasi organisme. Sistem ini juga dapat diaktifkan oleh antibodi
sebagai bagian dari strategi imun spesifik. Sistem ini mendapat namanya dari fakta bahwa
sistem tersebut `melengkapi' (complement) kerja antibodi.
Sistem komplemen terdiri dart protein-protein plasma yang dihasilkan oleh hati dan
beredar dalam darah dalam bentuk inaktif Setelah komponen pertama, C1, diaktifkan,
komponen tersebut akan mengaktifkan komponen berikutnya, C2, demikian seterusnya,
dalam suatu jenjang reaksi pengaktifan. Lima komponen terakhir, C5 sampai C9,
membentuk kompleks protein besar seperti donat, membrane attack complex, yang
menyerang membran permukaan mikroorganisme dengan membenamkan dirinya, sehingga
terbentuk sebuah saluran besar di membran tersebut --> membran bocor, terjadi fluks
osmotik air ke dalam sel korban, sehingga sel tersebut membengkak dan pecan. Lisis yang
diinduksi oleh komplemen ini adalah cara utama pembunuhan mikroba tanpa proses
fagositosis.
Jenjang komplemen dapat diaktifkan melalui 2 cara:
1. dengan memajankannya ke rantai karbohidrat tertentu yang terdapat di permukaan
mikroorganisme, tapi tidak terdapat pada sel manusia (jalur alternatif, respons imun
nonspesifik)
2. dengan memajankannya ke antibodi yang dibentuk untuk melawan zat asing tertentu
(jalur Mask respons imun spesifik).
Melalui keduanya, pengaktifan sistem komplemen menyebabkan lisis langsung mikroba
penginvasi dan penguatan respons peradangan umum lainnya.
Berbagai komponen komplemen yang sudah aktif juga memperkuat proses
peradangan dengan:
1. berfungsi sebagai kemotaksin, yang menarik dan mengarahkan fagosit ke tempat
pengaktifan komplemen (tempat invasi mikroba)--+ C5a bersama kompleks yang
dibentuk t oleh C5b, C6 dan C7.
2. bekerja sebagai opsonin dengan berikatan dengan mikroba, sehingga fagositosis
menjadi lebih mudah--• Cab adalah bagian komplemen yang bertanggung jawab
dalam opsonisasi bakeri.
3. meningkatkan vasodilatasi dan permeabilitas vaskuler untuk meningkatkan aliran
darah ke tampat invasi.
4. merangsang pengeluaran histamin dari sel-sel mast sekitamya, yang kemudian
meningkatkan perubahan vaskuler lokal khas untuk peradangan-C3a dan C5a yang
dibentuk dari C3 dan C5.
5. mengaktifkan kinin yang semakin memperkuat reaksi peradangan.

RESPONS IMUN SPESIFIK mencakup imunitas yang diperantarai oleh antibodi yang
dilaksanakan oleh turunan limfosit B dan imunitas yang diperantarai oleh sel yang
dilaksanakan oleh limfosit T.
IMUNITAS DIDAPAT
Respon imun spesifik adalah serangan efektif yang ditujukan untuk membatasi atau
menetralisasi sasaran tertentu yang oleh tubuh sebelumnya sudah pernah terpajan ke
sasaran tersbut. Terdapat dua kelas respons imun spesifik: imunitas yang diperantarai oleh
antibodi atau imunitas humoral yang melibatkan pembentukan antibodi oleh turunan limfosit
B yang dikenal sebagai sel plasma dan imunitas yang diperantarai oleh sel atau imunitas
seluler yang melibatkan pembentukan limfosit T aktif yang secara langsung menyerang sel-
sel yang tidak diinginkan.
Limfosit B dan T (Sel B dan T) memiliki riwayat hidup yang berbeda dan yang lebih
penting, sifat dan fungsi yang berbeda. Kedua jenis limfosit, seperti semua sel darah lainnya,
berasal dari sel bakal yang sama di sumsum tulang. Apakah suatu limfosit dan semua
turunannya akan menjadi sel B atau T bergantung pada tempat diferensiasi dan pematangan
akhir dari sel semula. Selama masa janin dan pada masa kanak-kanak dini, sebagian limfosit
imatur bermigrasi melalui darah ke timus, tempat sel-sel tersebut megnalami pengolahan
lebih lanjut untuk menjadi limfosit T. Timus adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di garis
tengah di dalam rongga dada di atas jantung dalam ruang di antara kedua paru. Limfosit
yang matang tanpa memperoleh "pendidikan dari timus" menjadi limfosit B. Limfosit B
pertama kali ditemukan pada burung, tempat proses pematangannya berlangsung di
jaringan limfoid terkait-usus yang khas untuk burung, yaitu bursa Fabrisius; dari sinilah
berasal nama limfosit B. Pada manusia, tempat pematangan dan diferensiasi sel B masih
belum jelas, walaupun secara umum diperkirakan berlangsung di sumsung tulang.
Setelah dikeluarkan ke dalam darah dari sumsum tulang tulang atau timus, sel B dan
T matang berdiam di jaringan limfoid perifer untuk membentuk koloni. DI sini, setelah
mendapat stimulasi yang tepat, sel-sel tersebut mengalami pembelahan untuk menghasilkan
generasi baru sel B atau T, bergantung pada nenek moyang mereka. Setelah masa kanak-
kanak dini, sebagian besar limfosit baru berasal dari koloni limfosit perifer ini dan bukan dari
sumsum tulang.
Peran timus sampai sekarang masih tidak diketahui karena pengangkatan timus
pada orang dewasa tidak menimbulkan pengaruh yang jelas. Karena sebagain besar migrasi
dan diferensiasi sel T berlangsung pada masa perkembangan dini, timus secara bertahap
mengalami atrofi dan menjadi kurang penting seiring dengan semakin dewasanya individu.
Namun, timus tetap menghasilkan timosin, suatu hormon yang penting untuk
mempertahankan turunan sel T. Timosin meningkatkan proliferasi sel T baru di dalam
jaringan limfoid perifer dan memperkuat kemampuan imunologik sel-sel T yang sudah ada
bukti terakhir mengisyaratkan bahwa sekresi timosin menurun setelah usia sekitar tiga puluh
sampai empat puluh tahun. Penurunan ini dianggap ikut berperan dalam proses penuaan.
Juga diperkirakan bahwa menurunnya kapasitas sel T seiring dengan pertambahan usia
mungkin berkaitan dengan peningkatan kerentanan terhadap infeksi virus dan kanker yang
terjadi sewaktu seseorang semakin tua. Sel T berperan penting dalam pertahanan terhadap
virus dan kanker yang diinduksi oleh virus.
Limfosit mampu mengenali secara spesifik dan berespons secara selektif terhadap
berbagai agen asing yang jenisnya hampir tidak terbatas serta terhadap sel kanker. Proses
pengenalan dan respons pada sel B dan T berbeda. Secara umum, sel-sel B mengenali
benda-benda asing yang berada dalam keadaan bebas, misalnya bakteri dan toksin serta
beberapa virus, yang mereka lawan dengan mengeluarkan antibodi spesifik terhadap benda
asing tersebut. Sel T mengkhususkan diri mengenali dan menghancurkan sel-sel tubuh yang
mengalami kekacauan, termasuk sel yang terinfeksi virus dan sel kanker.
Setiap orang diperkirakan memiliki total dua triliun limfosit yang, apabila disatukan menjadi
sebuah massa, akan setara dengan ukuran otak atau hati. Setiap saat, mayoritas limfosit
tersebut terkonsentrasi di berbagai jaringan limfoid yang terletak strategis, tetapi sel B dan T
secara terus menerus bersirkulasi di dalam limfe, darah, dan jaringan tubuh, tempat mereka
terus menerus melakukan pengawasan.
Suatu antigen menginduksi respons imun terhadap dirinya sendiri.
Baik sel B maupun sel T, keduanya harus mampu secara spesifik mengenali sel-sel
benda-benda lain yang tidak dibutuhkan untuk dihancurkan atau dinetralisasi karena beda
dari sel-sel diri yang normal. Pembedaan tersebut dimungkinkan dengan adanya antigen.
Antigen adalah molekul kompleks berukuran besar yang mencetuskan respons imun spesifik
terhadap dirinya sendiri apabila antigen tersebut masuk ke dalam tubuh. Secara umum,
semakin kompleks suatu molekul, semakin besar antigenitasnya. Protein asing adalah
antigen yang paling sering dijumpai karena ukuran dan kompleksitasnya walaupun
makromolekul lain misalnya polisakarida, juga dapat berlaku sebagai antigen. Antigen dapat
berada sebagai molekul tersendiri, misalnya toksin bakteri, atau merupakan bagian integral
dari sebuah struktur makro-molekul, misalnya antigen yang terdapat di permukaan mikroba
asing. Antigen kompleks mungkin memiliki banyak tempat penentu antigen (antigenic
determinant sites), yang masing-masing mampu merangsang produksi dan berinteraksi
dengan antibodi yang berbeda-beda. Untuk penyederhanaan, kita akan menganggap setiap
tempat penentu antigen sebagai antigen tersendiri.
Banyak substansi organik berberat molekul rendah yang tidak bersifat antigenik
dapat menjadi antigen apabila melakat ke protein tubuh. Molekul kecil seperti itu dikenal
sebagai hapten. Antibodi yang terbentuk terhadap kombinasi hapten-protein kemudian dapat
bereaksi dengan hapten saja apabila hapten tersebut masuk kembali ke dalam tubuh.
Contoh hapten adalah toksin poison by, berbagai obat (misalnya penisilin dan zatzat lain
yang sebenarnya tidak berbahaya, tetapi dapat memacu respons imun berlebihan yang
dikenal sebagai alergi pada individu yang tersensitisasi

LIMFOSIT B: IMUNITAS YANG DIPERANTARAI ANTIBODI


Antibodi memperkuat respons peradangan untuk meningkatkan destruksi antigen
yang merangsang produksi mereka.
Setiap sel B dan sel T memiliki reseptor di permukaannya untuk mengikat salah satu
jenis antigen. Pada kasus sel B, pengikatan dengan suatu antigen yang merangsang
pembentukan antibodi itu. Selama berdiferensiasi menjadi sel plasma, limfosit B
membengkak karena retikulum endolasma kasar (tempat sintesis protein yang akan
dikeluarkan) sangat berkembang. Karena antibodi adalah protein, sel-sel plasma pada
dasarnya menjadi pabrik protein yang produktif, menghasilkan sampai dua ribu molekul
antibodi per detik. Sedemikian besarnya komitmen perangkat pembuat protein di sel plasma
untuk menghasilkan antibody, membuat sel tersebut bahkan tidak mampu mempertahankan
sintesis protein kelangsungan hidup dan pertumbuhannya sendiri. Akibatnya, set plasma
mati dalam rentang usia lima sampai tujuh hari.
Antidbodi dikeluarkan ke dalam darah atau limfe, bergantung pada lokasi set plasma
yang aktif, tetapi semua antibodi pada akhirnya memperoleh akses ke darah, tempat mereka
dikenal sebagai globulin gamma atau munoglubolin. Menurut perbedaan dalam aktivitas
biologis, antibodi dikelompokkan menjadi lima subkelas: IgM, IgG, IgE, IgA, IgD.
Perlu dicatat bahwa klasifikasi ini didasarkan pada cara-cara antibodi berfungsi. Ini tidak
berarti bahwa hanya terdapat lima antibodi yang berbeda. Di dalam setiap subkelas
fungsional tersebut, terdapat jutaan antibodi yang berbeda, yang masing-masing hanya
dapat berkaitan dengan satu jenis antigen khusus.

Protein antibodi dari kelima subkelas tersebut dari empat rantai polipeptida yang
saling berhubungan-dua inata rantai panjang yang berat dan dua rantai pendek yang ringan-
yang tersusun seperti huruf Y. Karakteristik daerah lengan Y menentukan dengan antigen
mana antibodi dapat diikat (yaitu, spesifisitas antibodi yang bersangkutan). Sifat bagian ekor
antibodi, di pihak lain, menentukan sifat fungsional antibodi (pa yang dilakukan antibodi
setelah berikatan dengan antibodi).
Sebuah antibodi memiliki dua tempat pengikatan antigen yang identik, satu di ujung
setiap lengan. Fragmen pengikat antibodi ini (antibody binding fragment. Fab) khas untuk
setiap antibodi, sehingga setiap antibodi hanya dapat berinteraksi dengan satu jenis antigen
yang secara spesifik cocok dengannya, seperti kunci dan anak kunci. Variasi yang luar biasa
dalam fragmen-fragmen tempat pengikatan antigen ini membentuk sejumlah besar antibodi
yang mampu berikatan secara spesifik dengan jutaan jenis antigen.
Berbeda dengan daerah Fab di ujugn lengan yang bervariasi, bagian ekor setiap
antibodi dalam setiap subkelas identik satu sama lain. bagian ekor, yang disebut daerah
konstan (constant region, Fc) antibodi, mengandung tempat pengikatan untuk mediator-
mediator tertentu aktivitas yang diinduksi oleh antibodi, yang bervariasi sesuai tiap-tiap
subkelas. Pada kenyataannya, perbedaan di daerah konstan merupakan dasar untuk
membedakan subkelas-subkelas antibodi. Sebagai contoh, daerah konstan antibodi IgG,
apabila diaktifkan oleh pengikatan antigen dl daerah Fab, akan berikatan dengan set
fagositik dan berfungsi sebagai opsonin untuk meningkatkan fagositosis. Sebaliknya, daerah
konstan antibodi 1gE berikatan dengan set mast dan basofil, walaupun tidak terdapat
antigen. Apabila antigen atau hapten yang sesuai masuk ke dalam tubuh dan berikatan
denganantibodi yang sudah emlekat ke set tersebut, pengikatan tersebut akan mencetuskan
pengeluaran histamin dari set mast dan basofil yang bersangkutan. Histamin kemudian
mencetuskan manifestasi alergi.

Imunoglobin tidak dapat menghancurkan organisme asing atau benda yang tidak
diinginkan secara langsung setelah berikatan dengan antigen di permukaan organisme
terbut. Bahkan antibodi menjalankan efek protektifnya melalui dua cara umum: merintangi
antigen secara fisik dan penguatan respons imun nonspesifik.
Antibodi secara fisik dapat menghalangi sebagian antigen menimbulkan efek yang
merugikan. Sebagai contoh, dengan mengikat toksin bakteri, antibodi dapat mencegah zat
kimia berbahaya ini berinteraksi dengan sel yang rentan. Proses ini dikenal sebagai
netralisasi. Demikian juga, antibodi dapat mengikat antigen-antigen permukaan beberapa
jenis virus, sehingga virus-virus tersebut tidak dapat masuk ke dalam sel dan menimbulkan
efek yang merugikan.
Kadang-kadang beberapa molekul antibodi dapat membentuk ikatan silang dengan
molekul-molekul antigen untuk membentuk rantai atau kisi-kisi kompleks antigenantibodi.
Aglutinasi adalah istilah yang diterapkan untuk pross yang tejradi ketika sel-sel asing,
misalnya bakteri atau transfusi sel darah yang tidak cocok, berikatan bersamasama
membentuk gumpalan. Apabila kompleks antigen-antibodi semacam itu melibatkan antigen
yang larut, misalnya toksin tetanus, kisi-kisi yang terbentuk dapat berukuran sedemikian
besar, sehingga menyebabkan pengendapan. (Presipitasi adalah proses yang terjadi apabila
suatu zat terpisah dari larutannya). Di dalam tubuh, mekanisme perintangan fisik ini hanya
memiliki sedikit peran portek-tif untuk menahan invasi mikroba. Walaupun demikian,
kecenderungan antigen-antigen tertentu untuk menggumpal atau mengendap pada saat
membentuk kompleks besar dengan antibodi spesifknya secara klinis dan untuk kepentingan
eksperimen sangat berguna untuk mendeteksi adanya antigen atau antibodi tertentu.
Sebagai contoh, uji diagnostik kehamilan menggunakan prinsip ini untuk mendeteksi adanya
suatu hormon di dalam urin yang dikeluarkan segera setelah konsepsi.
Fungsi antibodi yang paling penting sejauh ini adalah meningkatkan respons imun
nonspesifik yank; sudah dimulai oleh masuknya zat asing. Antibodi memberi tanda atau
mengidentifikasi benda asing sebagai suatu sasaran yang harus dihancurkan oleh sistem
komplemen, fagosit, atau sel-sel pembunuh sementara meningkatkan aktivitas berbagai
sistem pertahanan tersebut sebagai berikut:
1. Pengaktifan komplemen. Apabila suatu antigen yang sesuai berikatan dengan
antibodinya, reseptor di bagian ekor antibodi akan berikatan dengan dan
mengaktifkan C1, komplemen. Hal ini memulai jenjang reaksi yang akhirnya
menyebabkan terbentuknya membrane attack complex, yang secara spesifik
ditujukan pada membran selasing yang masuk yang mengandung antigen yang
memulai proses pengaktifkan. Pada kenyataannya, antibodi adalah aktivator paling
kuat sistem komplemen. Serangan biokimia yang ditujukan pada membran sel asing
ini adalah mekanisme terpenting bagi antibodi untuk melaksanakan fungsi protektif
mereka. Selain itu, berbagai komponen komplemen yang sudah aktif meningkatkan
hampir semua aspek proses peradangan. Perhatikan bahwa sistem komplemen yang
sama diaktifkan oleh suatu komplkes antigen-antibodi apapun jenis antigennya.
Walaupun pengikatan antigen ke antibodi bersifat sangat spesifik, hasil akhirnya,
yang ditentukan oleh bagian ekor konstan antibodi, identik untuk semua antibodi di
dalam subkelas tertentu: sebagai contoh, semua antibodi IgG mengaktifkan sistem
komplemen yang sama.
2. Peningkatan fagositosis. Seperti telah dinyatakan, antibodi, terutama IgG yang
berikatan sebagai opsonin. Bagian ekor antibodi IgG yang berikatan dengan antigen
mampu mengikat reseptor di permukaan fagosit dan kemudian memudahkan
fagositosis korban yang menganduna antigen yang melekat ke antibodi.
3. Stimulasi sel pembunuh. Pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi serangan
sel pembawa antigen oleh killer eel (sel K). Sel K serupa dengan natural killer cell
kecuali bahwa sel K. Mensyaratkan sel sasaran dilapisi oleh antibodi sebelum dapat
dihancurkan melalui proses lisis membran plasmanya.
Dengan cara-cara tersebut, antibodi, walaupun tidak mampu secara langsung
menganhancurkan bakteri atau bahan lain yang tidak diperlukan, dapat menyebabkan
destruksi antigen yang melekat padanya secara spesifik dengan memperkuat mekanisme
pertahanan letal nonspesifik yang lain.
Kadang-kadang, respons antigen-antibodi yang berlebihan secara tidak sengaja
dapat merusak sel-sel normal serta sel-sel asing invasif Kompleks antigen-antibodi yang
terbentuk sebagai respons terhadap masuknya benda asing biasanya disingkirkan oleh sel-
sel fagositik setelah kompleks tersebut memacu strategi pertahanan nonspesifik. Walupun
demikian, apabil kompleks ini terus menerus dibentuk dalam jumlah besar, fagosit tidak
dapat membersihkan semua kmpleks imun yang disebut tersebut. Kompleks antigen-antibodi
yang tidak dibersihkan akan terus mengaktifkan, antara lain, sistem inflamatif aktif lain dalam
jumlah berlebihan dapat "tumpah", merusak sel-sel normal di sekitarnya selain sel-sel yang
memang tidak diperlukan. Selain itu destruksi tidak selalu terbatas di tempat peradangan
beredar dan terperangkap di ginjal, sendi, otak, pembuluh halus di kulit, dan ditempat lain,
menyebabkan peradangan dan kerusakan jaringan yang luas. Kerusakan yang ditimbulkan
oleh kompleks imun semacam ini disebut sebagai penyakit kompleks imun, yang dapat
merupakan penyulit pada infeksi bakteri, virus atau parasit.
Penyakit kompleks imun juga dapat terjadi akibat aktivitas peradangan yang
berlebihan yang disebabkan oleh adanya kompleks imun yang dibentuk oleh "antigendiri"
(self-antigen, protein yang disintesis oleh tubuh sendiri) dan antibodi yang terbentuk
terhadapnya. Artritis rematoid diperkirakan timbul melalui cara ini.
Sekarang berlaku beranggapan bahwa selam masa perkembangan janin tercipta
bermacam-macam limfosit B, yang masing-masing mampu mensintesis antibodi terhadap
antigen tertentu sebelum limfosit tersebut bertemu dengannya. Semua turunan dari limfosit B
tertentu membentuk satu keluarga yang teridiri dari sel-sel identik, atau klon, yang memiliki
komitmen untuk menghasilkan antibodi spesifik yang sama. Sel-sel B tetap dorman, tidak
mengeluarkan produk antibodi khusus mereka, kecuali apabila (atau sampai) mereka
berkontak dengan antigen yang sesuai. Jika suatu antigen berhasil masuk ke dalam tubuh,
antigen tersebut akan mengaktiflcan klon sel B tertentu yang memiliki reseptor di
permukaannya yang spesifik terhadap antigen tersebut.
Antibodi pertama yang dihasilkan oleh sel B yang baru terbentuk adalah
imunoglobulin M, yang kemudian dilekatkan ke membran plasma sel dan tidak disekresikan.
Di membran, IgM berfungsi sebagai reseptor untuk mengikat antigen spesifik, hampir seperti
"Man" untuk jenis antibodi yang dapat dihasilkan oleh sel yang bersangkutan. Pengikatan
antigen yang sesuai ke sel B sama seperti "memesan" sel B untuk menghasilkan dan
mensekresikan antibodi tersebut dalam jumlah besar.
Pengikatan antigen menyebabkan klon sel B yang sudah diaktifkan bermultiplikasi
dan berdiferensiasi menjadi dua jenis sel : sel plasma dan sel pengingat. Sebagian besar
progeni diubah menjadi sel plasma, yaitu penghasil antibodi yang memiliki tempat
pengikatan antigen yang sama dengan reseptor permukaan. Walaupun demikian, sel plasma
mengubah produksinya dari IgM ke IgG, yang disekresikan dan tidak tetap menempel di
membran plasma. Di dalam darah, antibodi yang disekresikan tersebut berikatan dengan
antigen bebas (yang tidak melekat ke limfosit), memberi tanda kepada antigen tersebut agar
dapat dihancurkan oleh sistem komplemen, ingesti fagositik, atau cara lain.
Tidak semua limfosit B baru yang dihasilkan oleh pengaktifan klon berdiferensiasi
menjadi sel plasma penghasil antibodi. Sebagian kecil limfosit B berubah menjadi sel
pengingat (memory cell), yang tidak ikut serta dalam repons imun yang sedang berlangsung,
tetapi tetap dorman dan memperluas klon spesifiknya. Jika orang yang bersangkutan
kembali bertemu dengan antigen yang sama, sel-sel pengingat ini sudah siap untuk
melakukan tindakan yang lebih cepat daripada limfosit awal dalam klon.
Selama kontak awal dengan antigen mikroba, respons antibodi tertunda selama
beberapa jam sampai sel-sel plasma terbentuk dan belum mencapai puncaknya sampai
beberapa minggu. Respons ini dikenal sebagai respons primer. Sementara itu, gejalagejala
yang khas untuk invasi mikroba menetap sampai mikroba tersebut mati akibat serangan
imun spesifik terhadapnya atau sel-sel yang terinfeksi mati. Setelah mencapai puncak, kadar
antibodi dari respons primer ini mungkin tetap beredar untuk jangka waktu lama. Meskipun
demikian, proteksi jangka-panjang terhadap antigen yang sama terutama disebabkan oleh
adanya sel-sel pengingat. Jika antigen yang sama muncul kembali, selsel pengingat yang
berumur panjang tersebut melancarkan respons sekunder yang lebih cepat, lebih kuat dan
bertahan lebih lama dibandingkan dengan yang terjadi selama respons primer.
Serangan imun yang lebih cepat dan lebih kuat ini Bering dapat mencegah atau
meminimalkan infeksi pada pajanan berikutnya terhadap mikroba yang sama, dan
merupakan dasar bagi imunitas jangka-panjang untuk penyakit tertentu.
Pajanan antigen semula yang menginduksi pembentukan sel-sel pengingat dapat
terjadi melalui timbulnya penyakit atau setelah divaksinasi. Pada vaksinasi, individu secara
sengaja dipajankan ke patogen yang telah dilucuti kemampuannya untuk menimbulkan
penyakit, tetapi masih mampu menginduksi pembentukan antibodi terhadapnya.
Sel-sel pengingat tidak dibentuk untuk beberapa penyakit sehingga pajanan awal
tidak menimbulkan kekebalan seumur hidup, misalnya pada kasus "radang tenggorokan".
Perjalanan dan keparahan penyakit akan sama setiap kali individu terinfeksi ulang oleh
mikroba yang tidak "diingat" oleh sistem imun, berapa kalipun jumlah pajanan sebelumnya.
Mengingat adanya jutaan antigen berbeda yang melawan sementara setiap diri kita
memiliki potensi untuk menghasilkan antibodi, bagaimana mungkin seseorang memiliki
limfosit B yang sedemikian beragamnya, dengan setiap limfosit tersebut mampu
menghasilkan antibodi yang berbeda? Antibodi adalah protein yang diproduksi sesuai cetak
biru DNA. Karena semua sel tubuh, termasuk sel penghasil antibodi, memiliki DNA inti yang
sama, sulit dibayangkan seberapa banyak DNA yang harus dikemas di dalam nukleus setiap
sel untuk mengkode pembentukan jutaan jenis antibodi (setiap klon sel B menggunakan
segmen kode genetik yang berbeda), bersama dengan instruksi genetik lain yang digunakan
oleh sel lain. Sekarang diketahui bawha jumlah fragmen gen yang mengkode pembentukan
antibodi terbatas, tetapi fragmen-fragmen tersebut dipotong, diacak, dan digabungkan dalam
sejumlah besar kombinasi selama perkembangan sel B. Setiap kombinasi menghasilkan
klon sel B yang khas
Imunitas aktif dihasilkan secara spontan; imunitas pasif merupakan "pinjaman".
Pembentukan antibodi akibat pejanan ke suatu antigen disebut sebagai imunitas aktif
terhadap antigen tersebut. Cara kedua agar seseorang dapat memperoleh antibodi adalah
dengan pemindahan langsung antibodi yang dibentuk oleh orang lain (atau hewan). Imunitas
"pinjaman" yang diperoleh segera setelah menerima antibodi yang sudah jadi dikenal
sebagai imunitas pasif. Pemindahan antibodi kelas IgG tersebut secara normal terjadi dari
ibu ke janinnya melewati plasenta selama perkembangan intrauterus. Selain itu, kolostrum
(susu pertama) ibu mengandung antibodi IgA yang menambah perlindungan bayi yang
disusui.
Antibodi yang dipindahkan secara pasif biasanya diuraikan dalam waktu kurang dari
satu bulan, tetapi sementara itu bayi baru lahir mendapat perlindungan imun yang penting
(pada dasarnya sama dengan yang dimiliki ibunya) sampai bayi tersebut dapat secara aktif
mulai membentuk sendiri respons imunnya. Kemampuan memberituk antibodi belum muncul
sampai setelah satu bulan setelah kelahiran.
Imunitas pasif kadang-kadang digunakan secara klinis untuk menghasilkan
perlindungan segera atau untuk meningkatkan resistensi terhadap suatu agen infeksius yang
sangat virulen atau toksin yang potensial mematikan yang pernah terpajan oleh orang yang
bersangkutan (misalnya virus rabies, toksin tetanus pada individu yang belum diimunisasi,
dan bisa ular). Baiasanya, antibodi jadi yang diberikan dipanen dari sumber lain (sering kali
bukan dari manusia) yang telah dipajankan ke bentuk antigen yang sudah dilemahkan.
Untuk memproduksi antibodi dalam jumlah besar untuk imunitas pasif sering digunakan kuda
atau sapi. Walaupun penyuntikan serum yang mengandung antibodi ini (antiserum atau
antitoksin) bermanfaat untuk menghasilkan proteksi segera terhadap penyakit atau toksin
tertentu, penerima mungkin membentuk respons imun terhadap antibodi yang diberikan
tersebut, karena antibodi itu adalah protein asing. Akibatnya dapat berupa reaksi alergi
hebat, yang dikenal sebagai serum sickness.

Imunitas alamiah sebenarnya adalah kasus khusus imunitas yang didapat secara
aktif GOLONGAN DARAH
Antibodi tertentu semula dianggap terdapat secara alamiah di dalam tubuh. Antibodi
yang berkaitan dengan golongan darah adalah contoh klasik "antibodi alamiah". Membran
permukaan eritrosit manusia mengandung antigen-antigen yang diwariskan dari orang tua
dan bervariasi tergantung pada golongan dara. Pada sistem golongan darah utama, sistem
ABO, eritrosit orang dengan golongan darah A mengandung antigen A; mereka dengan jenis
golongan darah B mengandung antigen B; mereka dengan jenis golongan AB memiliki
antigen A maupun B; dan mereka dengan jenis golongan darah O tidak memiliki antigen
permukaan sel darah merah A atau B. Antibodi terhadap antigen eritrosit yang tidak terdapat
di eritrosit tubuh sendiri mulai muncul di dalam plasma setelah usai sekitar enam bulan.
Dengan demikian, plasma darah golongan A mengandung antibodi anti-B; darah golongan B
memiliki antibodi A; tidak terdapat antibodi yang berkaitan dengan sistem ABO di dalam
darah golongan AB; dan antibodi anti-A dan anti-B terdapat di dalam darah golongan O.
Biasanya orang akan mengira bahwa pembentukan antibodi terhadap antigen A atau B
hanya akan terinduksi apabila kita menyuntikan darah yang mengandung antigen asing
dalam tubuh. Namun, antibodi-antibodi tersebut dapat dijumpai dalam kadar tinggi pada
orang-orang yang belum pernah terpajan ke golongan darah yang lain. Dengan demikian,
antibodi-anti bodi itu dianggap sebagai antibodi alamiah, yaitu dihasilkan tanpa tubuh pernah
terpajan ke antigen yang bersangkutan. Sekarang diketahui bahwa individu pada usia dini
secara tidak disadari terpajan ke sejumlah kecil antigen yang mirip antigen-a atau B yang
berkaitan dengan bakteri usus normal. Antibodi yang dibentuk terhadap antigen-antigen
asing secara bersamaan juga berinteraksi dengan antigen golongan darah asing yang
hampir identik, bahkan pada pajanan pertama.
Jika seseorang diberi darah yang golongannya tidak sesuai, terjadi dua interaksi
antigen-antibodi. Yang menimbulkan konsekuensi paling serius adalah efek antibodi di dalam
plasma resipen terhadap eritrosit donor yang masuk. Efek antibodi donor pada antigen
eritrosit resipien kurang penting, kecuali jika dilakukan tranfusi darah dalam jumlah besar,
karena antibodi donor mengalami pengenceran oleh plasma resipien, sehingga hanya sedikit
sel darah merah resipien yang rusak.
Interaksi antibodi dengan antigen yang terikat ke eritrosit dapat menyebabkan
aglutinasi (penggumpalan) atau hemolisis (ruptur atau pecahnya sel darah merah yang
bersangkutan. Aglutinasi dan hemolisis sel darah merah donor oleh antibodi di plasma
resipien dapat menimbulkan reaksi transfusi yang kadang-kadang fatal. Gumpalangumpalan
eritrosit donor dapat menyumbat pembuluh darah halus. Selain itu, salah satu konsekuensi
paling membahayakan dari ketidakcocokan transfusi adalah gagal ginjal akut akibat
dikeluarkannya sejumlah besar hemoglobin dari eritrosit donor yang rusak. Apabila kadar
hemoglobin bebas dalam plasma tersebut kadar kritis tertentu, terjadi pengendapan
hemoglobin di ginjal dan penyumbatan struktur-struktur pembentuk urin, sehingga timbul
gagal ginjal akut.
Karena orang-orang dengan golongan darah O tidak memiliki antigen A atau B,
eritrosit mereka tidak akan diserang oleh antibodi anti-A atau anti-B, sehingga mereka
dianggap sebagai donor universal. Darah mereka dapat ditransfusikan ke orang dengan
golongan darah apapun. Namun, orang dengan golongan dara O hanya dapat menerima
darah golongan O, karena antibodi anti-A dan anti-B yang terdapat di dalam plasma mereka
akan menyerang antiben A atau B yang terdapat dalam darah yang diberikan. Sebaliknya
orang dengan golongan AB disebut resipien universal. Karena tidak memiliki antibodi Anti-A
dan anti-B, mereka dapat menerima donor darah golongan apapun, walaupun mereka hanya
dapat mendonorkan darah ke orang bergolongan AB.
Karena mengandung antigen A dan B, set-sel mereka akan diserang jika
ditransfusikan ke individu yang memiliki antibodi terhadap salah satu antigen tersebut.
Namun, istilah donor universal dan resipien universal sebenarnya agak menyesatkan. Selain
sistem ABO, terdapat banyak antigen eritrosit dan antibodi plasma lain yang dapat
menimbulkan reaksi transfusi, yang terpenting di antaranya adalah faktor Rh. Individu yang
memiliki faktor Rh (suatu antigen eritrosit yang pertama kali diamati di monyet rhesus,
sehingga diberi nama Rh) dikatakan memiliki darah Rh-positif, sementara yang tidak
memiliki faktor Rh dianggap Rh-negatif. Berbeda dengan sistem ABO, tidak terdapat antibodi
alamiah terhadap faktor Rh. Antibodi anti-Rh diproduksi hanya oleh individu Rh-negatif
sewaktu (dan apabila) mereka pertama kali terpajan ke antigen Rh asing yang terdapat di
dalam darah Rh-positif.
Transfusi darah Rh-positif berikutnya pada orang dengan Rh-negatif yang telah
tersensitisasi tersebut dapat menimbulkan reaksi transfusi. Individu Rh-positif, sebaliknya,
tidak pernah menghasilkan antibodi terhadap faktor Rh yang mereka miliki sendiri. Dengan
demikian, individu Rh-negatif harus diberi hanya darah Rh-negatif, sedangkan individu Rh-
positif dapat dengan aman menerima darah Rh-positif atau Rhnegatif. Faktor Rh terutama
penting dalam dunia kedokteran pada kasus seorang ibu dengan Rh-negatif membentuk
antibodi terhadap eritorsit janin Rh positif yang dikandungnya dan menimbulkan penyakit
yang disebut eritroblasstosis fetalis atau penyakit hemolitik pada bayi baru lahir.
Kecuali pada kasus-kasus yang sangat darurat, lebih baik dilakukan pencocokan
silang (cross-match) darah secara individual sebelum dilakukan transfusi walaupun golongan
darah ABO dan Rh-nya sudah diketahui, karena terdapat sekitar dua belas sistem antigen
eritrosit manusia minor lainnya. Kecocokan ditentukan dengan mencampurkan sel darah
merah dari calon donor dengan plasma dari resipien. Apabila tidak terjadi penggumpalan,
darah dianggap sudah cocok untuk ditransfusikan.
Selain penting dalam transfusi, berbagai sistem golongan darah juga penting dalam
kasus-kasus legal mengenai paternitas, karena antigen-antigen eritrosit diwariskan. Namun,
dalam tahun-tahun terakhir, "sidik jari" DNA telah menjadi tes yang lebih definitif.

Limfosit hanya berespons terhadap antigen yang telah diolah dan disajikan kepada
mereka oleh makrofag.
Sel B biasanya tidak dapat melakukan tugas mereka menghasilkan antibodi tanpa
bantuan dari makrofag dan pada sebagian besar kasus, juga dari sel T. Klon-klon sel B yang
relevan tidak mampu mengenali dan menghasilkan antibodi sebagai respons terhadap
antigen asing "mentah" yang masuk ke dalam tubuh; klon sel B harus "diperkenalkan" ke
antigen sebelum dapat bereaksi terhadapnya. Organisme atau antigen asing mula-mula
dimakan oleh makrofag, yang berkumpul di sekitar klon sel B dan menangani "perkenalan"
tersebut. Selama fagositosis, makrofag mengolah antigen mentah dan kemudian
"menyajikan" antigen yang telah diolah dengan memajankannya di permukaan luar membran
plasma makrofag sedemikian rupa (antigen presenting cell), sehingga sel B di dekatnya
dapat mengenali dan bereaksi terhadapnya. Selain itu, makrofag penyaji antigen ini juga
mengeluarkan interleukin 1 (IL 1), suatu mediator kimia serba guna yang meningkatkan
diferensiasi dan proliferasi klon sel B yang telah diaktifkan. Limfosit yang telah diaktifkan
mengeluarkan antibodi yang di antaranya berfungsi memperkuat aktivitas fagositik.
Banyak antigen juga disajikan secara serupa terhadap sel T. Salah satu jenis khusus
limfost T, yang disebut sel T penolong, membantu sel B sewaktu diaktifkan oleh antigen yang
disajikan oleh makrofag. Sel T penolong mengeluarkan suatu mediator kimiawi, faktor
pertumbuhan sel B, yang semakin memperkuat fungsi sel B bersama dengan interleukin 1
yang dihasilkan oleh makrofag. Dengan demikian, interaksi suportif di antara makrofag, sel
B, dan sel T penolong secara sinergistis memperkuat serangan imun fagosit-anti bodi atas
benda asing yang masuk.

Limfosit T : IMUNITAS YANG DIPERANTARAI SEL


Tiga jenis sel T dikhususkan untuk mematikan sel pejamu yang terinfeksi virus serta
untuk membantu atau menekan sel imun lain.
Walaupun penting dalam pertahanan spesifik terhadap bakteri invasif dan benda
asing lain, limfosit B dan produk antibodinya hanya merupakan separuh dari pasukan
pertahanan imun spesifik yang dimiliki tubuh. Limfosit T juga sama pentingnya dalam
pertahanan terhadap infeksi sebagian besar virus dan jamur serta berperan penting dalam
mengatur mekanisme-mekanisme imun.
Tidak seperti sel B, yang mengeluarkan antibodi yang dapat menyerang antigen yang
terletak jauh, sel T tidak mengeluarkan antibodi. Sel-sel ini harus berkontak langsung dengan
sasaran, suatu proses yang dikenal sebagai imunitas yang diperantarai oleh sel (cell-
mediated immunity, imunitas seluler). Seperti sel B, sel T bersifat klonal dan sangat spesifik
antigen. Di membran plasmanya, setiap T memiliki protein reseptor unik, serupa tetapi tidak
identik dengan reseptor permukaan di sel B. Tidak seperti sel B, sel T diaktifkan oleh antigen
asing hanya apabila antigen tersebut disajikan di permukaan suatu sel yang uga membawa
penanda identitas individu yang bersangkutan ; yaitu, baik antigen asing maupun antigen diri
harus terdapat di permukaan sel sebelum sel T dapat mengikat keduanya (dengan satu
pengecualian penting, yaitu sel-sel asing ditransplantasikan secara utuh). Selama
pematangan di timuslah sel T belajar mengenal antigen asing hanya dalam kombinasi
dengan antigen jaringan individu itu sendiri, suatu pelajaran yang diwariskan ke semua
turunan sel T berikutnya. Pentingnya persyaratan antigen ganda dan sifat dari antigen diri
akan dibahas secara singkat.
Biasanya diperlukan waktu beberapa hari setelah pajanan ke antigen tertentu
sebelum sel T tersensitisasi atau teraktivasi bersiap untuk melancarkan serangan imun
seluler. Sewaktu terpajan ke kombinasi antigen spesifik, sel-sel dari klon sel T komplementer
berproliferasi dan berdiferensiasi selama beberapa hari, menghasilkans ejumlah besar sel T
teraktivasi yang melaksanakan berbagai respons imunitas seluler.
Terdapat tiga subpopulasi set T, bergantung pada peran mereka setelah di aktifkan
oleh antigen:
1. Sel T sitotoksik, yang menghancurkan set pejamu yang memiliki antigen asing,
misalnya set tubuh yang dimasuki oleh virus, set kanker, dan set cangkokan.
2. Sel T penolong, yang meningkatkan perkembangan set B aktif menjadi set
plasma, memperkuat aktivitas set T sitotoksik dan set T penekan (supresor) yang
sesuai, dan mengaktitkan makrofag.
3. Sel T penekan, yang menekan produksi antibodi set B dan aktivitas set T
sitotoksik dan penolong.
Sebagian besar dari milyaran set T diperkirakan tergolong dalam subpopulasi
penolong atau penekan, yang tidak secara langsung ikut serta dalam destruksi patogen
secara imunologik. Secara kolektif, subpopulasi-sub-populasi di atas disebut set T
regulatorik, karena mereka inemodulasi aktivitas set B dan set I sitotoksik serta aktivitas
mereka sendiri dan aktivitas makrofag.
Seperti set B, tidak semua turunan set T yang teraktivasi menjadi set T efektor.
Sebagian kecil tetap dorman, berfungsi sebagai cadangan set T pengingat yang siap
berespons secara lebih cepat dan kuat apabila antigen asing tersebut muncul kembali di set
tubuh pejamu. Set T, bahkan yang sudah diaktifkan, biasanya memiliki umur panjang,
berbeda dengan set B, yang cepat mati karena terus menerus menghasilkan antibodi setelah
diubah menjadi set plasma akibat sitmulasi antigen. Dengan demikian, imunitas pada
respons seluler serupa dengan pada respons humoral, tetapi biasanya berlangsung lebih
lama. Imunitas seluler pasif terhadap patogen tertentu juga dapat diperoleh melalui
pemberian limfostif "r teraktivasi yang dipanen dari individu lain atau dari hewan yang
memiliki imunitas aktif terhadap mikroba tertentu.
Pajanan terhadap antigen sering mengaktilkan baik set B maupun set T secara
simultan. Seperti set T regolatorik yang dapat menekan atau mempermudah sekresi antibodi
set B, antibodi juga dapat meningkatkan atau inenghambat keinampuan sel-sel T sitotoksik
menghancurkan set korban, bergantung pada keadaan.
Sebagian besar efek yang ditimbulkan oleh limfosit pada sel-sel imun lain (misalnya
limfosit lain dan makrofag) diperantarai melalui sekresi zat-zat perantara kimiawi. Semua zat
kimiawi selain antibodi yang disekresikan oleh limfosit secara kolektif tersebut limfokin, yang
sebagian besar diproduksi oleh limfosit T. Tidak seperti antibodi, limfokin tidak berinteraksi
secara langsung dengan antigen yang menyebabkan produksi limfokin tersebut. Peran
limfokin akan dibahas lebih lanjut dalam pembicaraan mengenai setiap subpopulasi sel T.

Sel T Sitotoksik. Sasaran sel T sitotoksik yang paling sering adalah sel pejamu yang sudah
terinfeksi virus. Ketika suatu virus menginvasi sebuah sel, sebagai suatu keharusan agar is
dapat bertahan hidup, pembungkus virus yang terdiri dari proteinprotein antigenik menyatu
dengan membran permukaan sel pejamu. Untuk menyerang virus intrasel, sel T sitotoksik
harus menghancurkan sel pejamu yang telah terinfeksi tersebut. Sel T sitotoksik dari klon
yang spesifik untuk virus tersebut mengenali dan berikatan dengan antigen virus dan antigen
diri di permukaan sel yang terinfeksi. Sc.elah disensitilasi oleh antigen virus, sel T sitotoksik
menghancurkan sel korban dengan mengeluarkan zat-zat kimiawi yang melisiskan sel
sebelum replikasi virus dapat dimulai.
Penelitian-penelitian terkini memperlihatkan bahwa salah satu cara yang digunakan
sel T sitotoksik dan sel natural killer untuk menghancurkan sel sasaran adalah dengan
mengeluarkan molekul-molekul perforin yang menembus membran permukaan sel sasaran
dan menyatu untuk membentuk saluran seperti pori-pori. Teknik mematikan sel dengan
membuat lubang di membran ini serupa dengan metode yang diterapkan oleh membrane
attack complex pada jenjang komplemen. Virus yang keluar setelah dirusak kemudian
secara langsung dihancurkan di cairan ekstrasel oleh sel-sel fagositik, antibodi netralisasi,
dan sistem komplemen. Sementara itu, sel T sitotoksik, yang tidak mengalami cedera
selama proses ini, dapat menyerang sel lain yang terinfeksi. Sel-sel sehat di sekitarnya
menggantikan sel yang hilang melalui proses pembelahan sel. Biasanya untuk
memberhentikan infeksi virus tidak banyak sel pejamu yang harus dihancurkan. Namun
apabila virus inemiliki kesempatan untuk memperbanyak diri, dengan virus-virus turunan itu
meninggalkan sel dan semula menyebar sel-sel pejamu yang lain, banyak sel pejamu yang
harus dikorbankan oleh mekanisme pertahanan sel T sitotoksik, sehingga dapat terjadi
malfungsi yang serius.
Ingatlah bahwa mekanisme pertahanan nonspesifik lain juga turut berperan mclawan
infeksi virus, terutama sel natural killer dan interferon, makrofag dan sistem kopiplemen.
Sel T Penolong. Sel T penolong meningkatkan banyak aspek respons imun, terutama inelalui
sekresi limfokin. Berikut ini adalah sebagian dari zat-zat perantara kirniawi yang paling
dikenal yang dihasilkan oleh sel T ini
1. Seperti dinyatakan sebelumnya, sel T penolong mengeluarkan faktor
pertumbuhan sel B yang meningkatkan kemampuan klon sel B aktif menghasilkan
antibodi. Sekresi antibodi sangat menurun jika tidak terdapat sel T penolong,
walaupun sel T itu sendiri tidak memproduksi antibodi.
2. Sel T penolong juga mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T, yang juga dikenal
sebagai interleukin 2 (IL-2) untuk meningkatkan aktivitas sel T sitotoksik, sel T
penekan, dan bahkan sel T penolong lain yang rPsponsif terhadap antigen yang
masuk. Pada model yang biasa, interleukin 1 yang dikeluarkan oleh makrofag
tidak hanya meningkatkan aktivitas klon sel B dan sel T yang sesuai, tetapi juga
merangsang sekresi interleukin 2 oleh sel T penolong yang sudah diaktifkan.
3. Sebagian zat kimia yang dihasilkan oleh sel T berfungsi sebagai kemotaksin
untuk menarik lebih banyak neutrofil dan calon makrofag ke tempat invasi.
4. Setelah makrofag ditarik ke daerah invasi, sel T penolong mengeluarkan
macrophage-migration inhibition factor, suatu, suatu limfokin penting lain, yang
menahan sel-sel fagositik besar ini di tempat, sehingga tidak dapat bermigrasi ke
luar. Akibatnya, terjadi penumpukan makrofag dalam jumlah besar di daerah yang
terinfeksi. Faktor ini juga menimbulkan peningkatan daya fagositik makrofag-
makrofag tersebut. Apa yang disebut sebagai angry macrophage ini memiliki
kemampuan destruktif yang lebih besar. Sel-sel ini sangat penting dalam
mempertahankan tubuh dari bakteri penyebab tuberkulosis, karena mikroba
semacam ini mampu bertahan hidup terhadap fagositosis biasa yang dilakukan
oleh makrofag yang nonaktif.
Sel T penolong adalah jenis sel T yang paling banyak, menyusun sekitar 60-80% dari
sel T yang beredar dalam darah. Karena para penting sel ini dalam "menyalakan" semua
kekuatan iimfosit dan makrofag, sel T penolong dapat dianggap sebagai "tombol utama"
sistem imun. Untuk alasan inilah acquired immune deficiency syndrome (AIDS) yang
disebabkan oleh human immuno deficiency virus (HIV) sedemikian merusaknya bagi sistem
pertahanan imun. Virus AIDS secara selektif menginvasi sel T penolong, menghancurkan
atau melumpuhkan sel-sel yang biasanya mengatur sebagian besar respons imun.
Virus ini juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem imun, dan
kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga timbul demensia (ganguan kapasitas
intelektual yang parah) yang dijumpai pada bagian pasien AIDS.
Sel T Penekan. Pengetahuan mengenai sel T penekan jauh lebih sedikit
dibandingkan subpopulasi sel T lainnya. Sel-sel ini tampaknya berfungsi membatasi reaksi
imun melalui mekanisme "check and balance" dengan limfosit yang lain. Sementara sel B,
sel T sitotoksik, dan sel T penolong meningkatkan aktivitas imun satu sama lain, sel T
penekan membatasi respons semua sel imun lain.
Melalui metode umpan balik negatif, sel T penolong mendorong mendorong sel T
penekan beraksi, sel T penekan, pada gilirannya, menghambat sel T penolong dan sel-sel
lain yang untuk bertugas dipengaruhi oleh sel T penolong. Efek inhibisi oleh sel T penekan
membantu mencegah reaksi imun berlebihan yang dapat membahayakan tubuh.
Peningkatan jumlah sel T penekan sebagai respons terhadap infeksi virus biasanya
berlangsung lebih lambat dibandingkan dengan proliferasi sel T sitotoksis dan sel T
penolong, sehingga sel penekan membantu menghentikan respons imun setelah respons
tersebut melaksanakan fungsinya.

Dalam keadaan normal, sistem imun toleransi terhadap antigen-diri.


Sel T penekan mungkin juga berperan penting dalam mencegah sistem imun
menyerang jaringan tubLih sendiri, suatu fenomena yang dikenal sebagai toleransi. Mungkin
selama "proses pemotongan, pengacakan, dan penempelan" genetik yang berlangsung
selama perkembangan limfosit secara tidak sengaja terbentuk sebagian sel B dan T yang
dapat bereaksi dengan antigen jaringan tubuh sendiri. Apabila klon-klon limfosit ini dibiarkan
berfungsi, mereka akan menghancurkan tubuh individu itu sendiri. Untungnya, sistem imun
dalam keadaan normal tidak menghasilkan antibodi atau sel T aktif terhadap antigen tubuh
sendiri, tetapi mengarahkan serangan destruktifnya hanya kepada antigen asing.
Tampaknya toleransi melibatkan paling sedikit empat mekanisme berbeda.
1. Seleksi klonal. Sebagai respons terhadap pajanan kontinu ke antigen tubuh selama
masa perkembangan dini, klon-klon limfosit yang secara spesifik dapat menyerang
antigen diri pada beberapa kasus dihancurkan secara permanen oleh suatu
mekanisme yang belum diketahui. Ini adalah mekanisme utama pembentukan
toleransi.
2. Anergi klonal. Baru-baru ini diidentifikasi bahwa terdapat penunjang de:esi Mortal,
anergi klonal. Menurut teori ini, set T harus menerirr.a dua sinyal simultan spesifik
agar dapat diaktifkan, satu dari antigen kompatibelnya dan satu dari set penyaji
antigen. Kedua sinyal tersebut ada untuk antigen asing, yang diperkenalkan ke set
T oleh set penyaji antigen, misalnya makrofag. Namun, sinyal ganda ini tidak
terdapat untuk antigen-diri karena antigenantigen ini tidak ditangani oleh set
penyaji antigen. Pajanan pertama ke sinyal dart antigen dirt menonaktifkan set T
kompatibel, menyebabkan set ini tidak reponsif terhadap pajanan berikutnya dan
tidak mendorong set untuk berproliferasi. Reaksi ini disebut sebagai energi klonal
(anergy berarti "tidak memiliki energi) karena set T dibuat inaktif (yaitu "menjadi
malas") dan bukan diaktifkan oleh antigennya.
3. Inhibisi oleh set T penekan. Sebagian klon limfosit yang spesifik untuk jaringan
tubuh sendiri yang tidak dieliminasi selama masa perkembangan dini mungkin
seumur hidup dihambat oleh set T penekan.
4. Sekuestrasi antigen. Sebagian molekul-diri dalam keadaan normal tersembunyi
dart sistem imun karena tidak pernah berkontak dengan cairan ekstrasel tempat
beredarnya set-sel imun dan produk-produknya. Contoh antigen-antigen semacam
itu adalah protein kornea (bagian anterior jernih pada mata) dan tiroglobulin suatu
protein kompleks yang terdapat di dalam struktur penghasil hormon di kelenjar
froid.
Kadang-kadang sistem imun gagal membedakan antara antigen-diri dan antigen
asing dan melancarkan pukulan mematikan terhadap satu atau lebih jaringan tubuh sendiri.
Keadaan pada saat sistem imun tidak dapat mengenal dan mentoleransikan antigen-dirt
yang berkaitan dengan jaringan tertentu disebut sebagai penyakit otoimun.
Major histocompatibility complex adalah kode untuk human leukocyte-associated antigen
yang terikat ke permukaan membran dan khas untuk setiap individu Antigen-diri adalah
glikoprotein-glikoprotein (protein yang ditempeli oleh gula) yang terikat ke membran plasma;
mereka dikenal sebagai antigen terkait-leukosit manusia (human leukocyte-associated
antigen) atau antigen HLA, karena pertama kali ditemukan di leukosit, tetapi sebenarnya
terdapat di semua sel (kecuali eritrosit, yang tidak memiliki DNA nukleus untuk mengarahkan
sintesis antigen HLA). Setiap orang memiliki sekelompok gen, major histocompatibility
complex atau MHC, yang berfungsi sebagai kode untuk mensintesis antigen-antigen diri.
Walaupun telah diketahui lebih dari seratus antigen HLA yang berbeda-beda di
jaringan manusia, setiap individu hanya memiliki kode untuk empat dari berbagai
kemungkinan antigen tersebut. Karena banyaknya kemungkinan kombinasi yang dapat
terjadi, pola pasti antigen-antigen HLA bervariasi dari satu individu ke individu lain, kecuali
pads kembar identik, yang memiliki antigen-antigen HLA yang dikode oleh MHC yang sama.
Sel T biasanya berkaitan dengan antigen-diri HLA hanya apabila antigen tersebut
berhubungan dengan antigen asing, misalnya protein virus, yang juga ditampilkan di
permukaan sel. Pada kasus sel T sitotoksik, hasil akhir pengikatan ini adalah destruksi sel
tubuh yang terinfeksi. Karena sel T tidak berikatan dengan antigen-diri HLA yang tidak
berhubungan dengan antigen asing, sel-sel tubuh normal akan terlindung dari serangan
imun.
Sel-sel T secara khusus berikatan dengan antigen HLA yang terdapat di permukaan
sel cangkokan (yang ditransplantasikan) walaupun tidak terdapat antigen asing. Destruksi
sel-sel cangkokan yang terjadi kemudian merupakan penyebab penolakan jaringan
cagkokan. Diperkirakan bahwa sebagian sel T "keliru" membaca antigen HLA asing yang
terdapat di sel-sel donor karena antigen tersebut mirip dengan kombinasi antara antigen
asing konvensional dan antigen-diri HLA.
Pemindahan jaringan dari satu individu ke individu lain dalam keadaan normal tidak
terjadi di alam. Pungsi alamiah antigen-antigen HLA terletak pada kemampuan mereka
mengarahkan respons sel T, bukan pada peran artifisial mereka dalam penolakan
transplantasi jaringan.
Setiap individu memiliki dua kelas utama glikoprotein yang dikode oleh MHC (antigen
HLA) yang secara berlainan dikenal oleh set T sitotoksik dan set T penolong. Set T sitotoksik
mampu berespons terhadap antigen asing hanya apabila antigen tersebut berkaitan dengan
glikoprotein MHC kelas 1, yang ditemukan di permukaan semua set tubuh berinti.
Glikoprotein MHC kelas 11, yang dikenali oleh set T penolong, hanya terdapat di permukaan
sel-sel imun jenis tertentu, misalnya set B, set T sitotoksik dan makrofag. Penanda kelas I
dan 11 tersebut berfungsi sebagai "papan penunjuk jalan" untuk menuntun set T sitotoksik
dan set T penolong ke lokasi set yang tepat tempat mereka dapat melancarkan respons
imun paling efektif. Pengikatan set T penekan masih belum sepenuhnya dipahami.
Karena set T sitotoksik tidak dapat menyingkirkan bakteri, virus bebas, atau antigen
asing lain yang beredar dalam cairan tubuh pejamu, akan merupakan pemborosan bagi
subpopulasi set T ini untuk mengenali dan berikatan dengan antigen ekstrasel tersebut.
Untuk melaksanakan peran mereka menghadapi patogen yang telah masuk ke set pejamu,
akan lebih sesuai bagi set T sitotoksik untuk berikatan hanya dengan sel-sel tubuh sendiri
yang telah terinfeksi virus; yaitu dengan antigen asing yang sudah berkombinasi dengan
antigen diri. Karena semua set tubuh berinti dapt dimasuki oleh virus, pada dasarnya semua
set memperlihatkan glikoprotein MHC kelas 1, yang memungkinkan set T sitotoksik
menyerang semua set pejamu yang sudah terinvasi. Sebaliknya, set T penolong hanya
dapat berikatan dengan antigen asing apabila antigen tersebut ditemukan di permukaan sel-
sel imun yang berinteraksi dengannya- yaitu, sel-sel yang memiliki glikoprotein kelas 11. Sel-
sel tersebut mencakup makrofag, yang "menyajikan" antigen ke set T penolong, serta set B
dan set T, yang aktivitasnya ditingkatkan oleh set T penolong. Kemampuan set T penolong
akan sia-sai apabila set ini mampu berikatan dengan set tubuh selain sel-sel imun khusus
tersebut. Dengan demikian, persyaratan pengikatan yang spesifik bagi berbagai set T
tersebut membantu memastikan timbulnya respon set T yang sesuai.
Surveilans imun terhadap sel kanker melibatkan kerjasama antara sel T sitotoksik, sel
natural killer, makrofag, dan interferon.
Selain menghancurkan sel yang terinfeksi virus, fungsi penting lain dari sel T adalah
mengenali dan menghancurkan sel-sel tumor yang baru muncul dan berpotensi menjadi
kanker sebelum sel-sel tersebut memiliki kesempatan bermultiplikasi dan menyebar, suatu
proses yang dikenal sebagai surveilans imun.
Setiap sel normal dapat mengalami transformasi menjadi sel kanker apabila terjadi
mutasi di dalam gen-gennya yang berperan mengontrol pembelahar, dan pertumbuhan sel.
Mutasi semacam itu dapat terjadi dengan sendirinya secara kebetulan atau, yang lebih
sering, akibat terpajan ke faktor karsinogenik (Penyebab kanker) misalnya radiasi pengion,
zat kimia tertentu dalam lingkungan, virus tertentu, atau iritasi fisik.
Multiplikasi dan pertumbuhan sel dalam keadaan normal dikontrol secara ketat, tetapi
mekanisme pengatur yang berperan sebagian besar belum diketahui pasti. Multiplikasi sel
pada orang dewasa biasanya terbatas hanya untuk mengganti sel-sel yang hilang. Selain itu,
sel-sel dalam keadaan normal menghargai tempat dan ruang mereka dalam masyarakat sel.
Namun, apabila suatu sel yang sudah mengalami transformasi menjadi sel tumor berhasil
lolos dari tindakan destruksi, sel tersebut mengingkari kontrol normal atas proliferasi dan
posisinya. Multiplikasi tidak terbatas sebuah sel tumor menyebabkan terbentuknya tumor
yang terdiri dari klon sel yang identik dengan sel muatan asal.
Apabila massa tumor tersebut tumbuh lambat, tetap berada di lokasinya semula, dan
tidak menginfiltrasi ke jaringan di sektiarnya, tumor tersebut dianggap sebagai tumor jinak.
Sebaliknya, sel yang mengalami tranformasi tersebut dapat bermultiplikasi secara cepat dan
membentuk masa invasif yang tidak memiliki perilaku mementingkan sel lain yang khas
untuk sel normal. Tumor invasif tersebut dikenal sebagai tumor ganas, atau lebih sering
disebut kanker. Sel tumor ganas biasanya tidak melekat erat ke sel-sel normal di sekitarnya,
sehingga sebagian dari sel kanker tersebut terlepas dari tumor asal. Sel-sel kanker
"emigran" ini dipindahkan melalui pembuluh darah ke tempat-tempat baru. Tempat mereka
terus berproliferasi membentuk tumor ganas multipel. Metastasis (anak sebar) adalah istilah
yang digunakan untuk menjelaskan penyebaran kanker ke bagian tubuh lain.
Pada sebagian besar kasus, kanker yang tidak diobati menyebabkan kematian
melalui beberapa sebab yang tidak saling berkaitan. Massa ganas yang tumbuh tidak
terkontrol mendesak sel-sel normal dengan memperebutkan tempat dan makanan. Namun
sel-sel kanker tidak dapat mengambil alih fungsi sel-sel yang mereka hancurkan. Sel-sel
kanker biasanya tetap imatur dan tidak mengalami spesialisasi, sering lebih mirip sel
embrionik. Sel-sel ganas yang tidak berdiferensiasi tersebut tidak mampu melaksanakan
fungsi-fungsi khusus dari jenis sel normal tempat sel-sel kanker tersebut berasal. Organ
yang terkena secara bertahap mengalami gangguan sampai pada titik ketika organ terebut
tidak lagi mampu menjalankan fungsi untuk mempertahankan hidup, sehingga timbul
kematian.
Karena sel natural killer, tidak seperti sel T sitotoksik, tidak memerlukan pajanan dan
sensitiasi terhadap sel kanker terlebih dahulu sebelum dapat melancarkan serangan
mematikan, sel-sel ini mungkin merupakan senjata tunggal terpenting tubuh melawan
kanker. Sel T sitotoksik diperkirakan penting dalam pertahanan terhadap beberapa jenis
kanker yang diinduksi oleh virus. Apabila berkontak dengan sel kanker, kedua jenis sel ini
mengeluarkan perforin dan zat-zat kimia toksik lainnya yang menghancurkan sel mutan
sasaran. Makrofag, selain membersihkan sisa-sisa sel yang mati, juga mampu memakan
dan menghancurkan sel secara intrasel.
Kenyataan bahwa kanker kadang-kadang tetap muncul memiliki arti bahwa sel
kanker sesekali mampu lolos dari serangan mekanisme imun tersebut. Mengapa atau
bagaimana surveilans imun gagal menghancurkan sel-sel kanker yang baru terbentuk masih
belum jelas. Beberapa aspek lain pada sistem imun mungkin berperan. Sebagai contoh,
telah ditemukan adanya antibodi penghambat (blocking antibodies) yang mengganggu fungsi
sel T.

Tampaknya terdapat suatu lengkung regulatorik yang menghubungkan sistem imun


dengan sistem saraf dan endokrin
Dari pembahasan sebelumnya, jelas tampak bahwa terdapat faktor-faktor pengontrol
kompleks yang bekerja di dalam sistem imun itu sendiri. Sampai sekarang, sistem imun
dianggap befungsi di luar kontrol sistem lain di tubuh. Namun, penelitian-penelitian
menunjukkan bahwa terdapat hubungan penting antara sistem imun dan dua sistem konrol
utama di tubuh, sistem saraf dan endokrin. Tampaknya, sistem imun mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh sistem saraf dan endokrin. Sebagai contoh interleukin 1 dapat
membangkitkan sires dengan mengaktifkan serangkaian proses saraf dan endokrin yang
menyebabkan serangkaian proses saraf dan endokrin yang menyebabkan sekresi kortisol,
salah satu hormon utama yang dikeluarkan selama stres.
Kortisol memobilisasi simpanan nutrien tubuh, sehingga tersedia cukup bahan bakar
metabolik untuk memenuhi kebutuhan energi tubuh pada saat seseorang sakit dan mungkin
tidak cukup makan (atau pada hewan, mungkin tidak mampu mencari makanan). Selain itu,
kortisol memobilisasi asam amino, yang berfungsi sebagai bahan pembangun untuk
memperbaiki kerusakan jaringan yang terjadi selama proses pengaktifan sistem imun. Dalam
arah yang sebaliknya limfosit tanggap terhadap sinyalsinyal dalam darah yang berasal dari
sistem saraf dan dari kelenjar endokrin tertentu. Selsel imun penting ini memiliki reseptor
untuk berbagai neurotransmiter, hormon, dan zat perantaran kimiawi lainnya. Mediator-
mediator yang mempengaruhi aktivitas limfosit di antaranya adalah endorfin dan enkefalin,
sekelompok senyawa yang berfungsi sebagai neurotransmiter di SSP dan disekresikan ke
dalam darah sebagai bagian dari kontrol pengeluaran kortisol oleh saraf.

Serangan imun yang tidak sesuai terhadap bahan lingkungan yang tidak berbahaya
menimbulkan ALERGI
Alergi terjadi apabila sistem imun secara tidak tepat melancarkan serangan, yang
menimbulkan gejala dan merusak tubuh terhadap alergen, yaitu bahan-bahan lingkungan
(antigen lingkungan) yang dalam keadaan normal tidak berbahaya, misalnya debu atau
serbuk sari. Alergen dapat merupakan antigen atau berupa hapten yang menjadi antigen
hanya apabila berikatan dengan suatu protein tubuh. Pajanan ulang ke alergen yang sama
pada orang yang sudah tersensitisasi akan mencetuskan suatu serangan imun, yang dapat
bervariasi dari reaksi ringan yang mengganggu sampai reaksi parah yang merusak tubuh
dan bahkan dapat fatal.
Respons alergi dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori yang berlainan:
hipersensitivitas tipe cepat (immediate hypersensitivity) dan hipersensitivitas tipe lambat
(delayed hipersensitivity). Pada hipersensitivitas tipe cepat, respons alergi muncul dalam
waktu sekitar dua puluh menit setelah orang yang tersensitisasi terpajan ke alergen,
sementara pada hipersensitivitas tipe lambat, reaksi biasanya muncul satu hari atau lebih
setelah pajanan. Perbedaan dalam waktu tersebut disebabkan oleh perbedaan mediator-
mediator yang terlibat. Suatu alergen tertentu dapat mengaktifkan respons sel B atau sel T.
Reaksi alergi tipe cepat melibatkan set B dan dicetuskan oleh interaksi antibodi
dengan alergen; reaksi tipe lambat melibatkan set T dan proses imunitas seluler terhadap
alergen yang berlangsung lebih lambat. Marilah membahas sebab dan akibat kedua jenis
reaksi tersebut secara lebih rinci.
Hipersensitivitas tipe cepat. Pada hipersensitivitas tipe cepat, antibodi yang berperan
dan proses-proses yang timbul kemudian setelah pajanan ke alergen berbeda dengan
respons tipikal antibodi terhadap bakteri. Alergen yang paling sering merangsang
hipersensitivitas tipe cepat adalah butir-butir serbuk sari, sengatan lebah, penisilin, makanan
tertentu, kapang, debu dan bulu binatang (unggas atau mamalia). Sebenarnya, orang yang
alergi kucing tidaklah alergi terhadap bulu kucing. Untuk alasan yang tidak diketahui,
alergen-alergen tersebut berikatan dengan dan mencetuskan sintesis antibodi IgE dan bukan
antibodi IgG berkaitan dengan antigen bakteri. Sewaktu individu dengan kencenderungan
alergi erpajan pertama kali ke alergen tertentu, sel-sel B kompatibel mensintesis antibodi IgE
yang spesifik untuk alergen tersebut. Yang lebih penting, juga dibentuk sel-sel pengingat
yang bersiap untuk melancarkan respons yang lebih kuat pada pajanan ulang ke alergen
yang sama.
Berbeda dengan respons humoral yang dicetuskan oleh antigen bakteri, antibodi IgE
tidak beredar bebas. Bahkan, bagian ekor antibodi ini melekat ke set mast dan basofil.
Pengikatan alergen yang sesuai dengan antibodi IgE yang melekat tersebut mencetuskan
pengeluaran beberapa zat perantara kimiawi dari set mast dan basofil yang bersangkutan.
Sebuah set mast (atau basofil) mungkin dilapisi oleh sejumlah antibodi IgE yang berbeda-
beda, yang masing-masing mampu berikatan dengan alergen yang berbeda-beda yang
berbeda. Dengan demikian, set mast dapat dipicu untuk mengeluarkan produkproduk
kimiawinya oleh salah satu dari set sejumlah alergen berbeda.
Berikut ini adalah zat-zat kimia terpenting yang dikeluarkan pada reaksi alergi tipe cepat:
1. Histamin. Yang menyebabkan vasolidasi dan peningkatan permeabilitas kapiler.
2. Slow-reactive substance of anaphylaxis (SRS-A), yang menyebabkan kontraksi otot
polos kuat dan berkepanjangan, terutama di jalan napas halus.
3. Faktor kemataksis eosinofil (eosinophil chemotactic factor) yang secara spesifik
menarik eosinofil ke tempat reaksi. Eosinofil mengeluarkan enzim-enzim yang
menyebabkan inaktivasi SRS-A dan juga dapat menghambat histamin, mungkin
berfungsi sebagai "tombol pemadam" untuk membatasi respons alergi.
Gejala-gejala bervariasi bergantung padA tempat, alergen, dan mediator yang
terlibat. Paling sering, reaksi terlokalisasi di bagian tubuh tempat sel-sel pembawa IgE
bertemu untuk pertama kalinya dengan alergen. Apabila reaksi terbatas di saluran napas
atas setelah seseorang menghidup suatu alergen, misalnya serbuk sari ragweed, zat-zat
kimia yang dilepaskan akan menimbulkan gejala-gejala yang khas untuk hay fever - sebagai
contoh, penyumbatan hidung yang disebabkan oleh edema lokal yang diinduksi oleh
histamin dan bersin serta pilek akibat peningkatan sekresi mukosa sebagai respons
terhadap iritasi lokal. Jika reaksi terkonsentrasi di bronkiolus (saluran napas halus yang
menuju ke kantung udarah kecil di dalam paru), timbul asma. Kontraksi otot polos di dinding
bronkiolus mempersempit atau menyebabkan konstruksi saluran napas tersebut, sehingga
individu yang bersangkutan sulit bernapas. Pembengkakan lokal di kulit akibat pelepasan
histamin yang diinduksi alergi menimbulkan biduran.
Pengobatan reaksi alergi tipe cepat yang terlokalisasi dengan antihistamin seringkali
hanya mengurangi gejala-gejalanya secara parsial, karena sebagian manifestasi ditimbulkan
oleh mediator kimiawi lain yang tidak dihambat oleh obat tersebut. Sebagai contoh,
antihistamin tidak terlalu efektif untuk mengobati asma, gejala yang paling serius ditimbulkan
oleh SRS-A. Obat-obat adrenergik (yang menyerupai sistem saraf simpatis) bermanfaat
melalui efek histamin dan SRS-A. Mungkin diperlukan obat anti-inflamasi, misalnya turunan
kortisol untuk menghambat respons peradangan.
Reaksi sistemik yang mengancam nyawa dapat terjadi jika alergen masuk ke dalam
darah atau jika terjadi pengeluaran zat-zat kimia dalam jumlah sangat besar dari tempat
yang terlokalisasi ke dalam sirkulasi. Apabila sejumlah besar mediator kimiawi ini
memperoleh akses ke dalam darah, timbul reaksi sistemik yang sangat serius (melibatkan
sciuruh tubuh) yang dikenal sebagai syok anafilakfk. Terjadi vasodilatasi luas dan pcrgeseran
masif cairan plasma ke dalam ruang intersisium akibat peningkatan inenycluruh
permeabilitas kapiler yang menyebabkan hipotensi berat yang dapat mengakibatkan
kegagalan sirkulasi. Secara bersamaan terjadi konstruksi bronkiolus yang dapat
menimbulkan kegagalan pernapasan.
Penderita tercekik karena tidak mampu melewatkan udara melalui jalan napas yang
menyempit. Kecuali jika dilakukan tindakan-tindakan penanganan segera, misalnya
penyuntikan obat vasokonstriktor-bronkodilator, syok anaflaktik sering menyebabkan
kematian. Reaksi ini merupakan penyebab mengapa bahkan sebuah sengata lebah atau
satu dosis penisilin dapat saja sangat berbahaya bagi individu yang tersensitisasi terhadap
alergen-alergen tersebut.
Hipersensitivitas tipe lambat. Sebagian alergen mencetuskan hipersensitivitas tipe
lambat, suatu respons imun yang diperantarai oleh sel T dan bukan oleh respons antibodi
IgE-sel B tipe cepat. Alergen-alergen tersebut antara lain adalah toksin poison ivy dan zat
kimia tertentu yang sering mengenali kulit, misalnya kosmetik dan bahan pembersih rumah
tangga. Biasanya respons ditandai oleh erupsi kulit yang mencapai puncaknya satu sampai
tiga hari setelah kontak dengan alergen terhadap sistem T yang sudah tersensitisasi.
Sebagai ilustrasi, poison ivy adalah suatu hapten yang dapat berikatan dengan protein kulit
yang berkontak dengannya. Toksin itu sendiri tidak merugikan kulit sewaktu berkontak, tetapi
mengaktifkan sel T spesifik untuk toksin, termasuk pembentukan komponen pengingat. Pada
pajanan berikutnya ke toksm yang sama, sel-sel T yang sudah diaktifkan akan berdifusi ke
kulit dalam satu atau dua hari, berikatan dengan poison ivy yang ada. Interaksi yang terjadi
menyebabkan kerusakan jaringan dan rasa tidak nyaman yang khas untuk penyakit ini.
Pengobatan terbaik adalah dengan memberikan sediaan anti-inflamasi, misalnya yang
mengandung turunan kortisol.

PERTAHANAN EKSTERNAL
Permukaan tubuh yang terpajan ke lingkungan luar - balk pembungkus luar berupa
kulit maupun lapisan dalam rongga-rongga internal yang berhubungan dengan lingkungan
luar - tidak saja berfungsi sebagai sawar mekanis untuk menghalangi masuknya patogen,
tetapi juga berperan aktif dalam menggav-alkan masuknya bakteri dan bahan asing yang
tidak diperlukan.
Kulit terdiri dari dua lapisan: epidermis yang mengalami keratinisasi dan tidak memliki
pembuluh darah di bagian luar dan dermis jaringan ikat di sebelah dalam. Epidermis
mengandung cmpat jenis sel: melanosit, keratinosit, sel Langerhans, dan sel Granstem.
Melanosit menghasilkan pigmen coklat, yakni melanin, yang jumlahnya menentukan
berbagai corak warna kulit coklat. Melanin melindungi kulit dengan menyerap radiasi
ultraviolet yang merugikan. Sel yang paling banyak adalah kreatinosit, penghasil keratin kuat
yang membentuk lapisan protektif kulit di sebela luar. Sawar fisik ini menghalangi masuknya
bakteri dan bahan lingkungan lain yang merugikan ke dalam tubuh dan mencegah keluarnya
air dan zat-zat penting tubuh lainnya. Keratinosit juga memiliki fungsi imnologis dengan
mengeluarkan interleukin l, yang meningkatkan pematangan sel T pasca-timus di dalam kulit.
Sel Langerhans dan sel Granstein juga berfungsi dalam imunitas spesifik masing-masing
dengan menyajikan antigen ke sel T penolong dan sel T penekan.
Dermis mengandung (1) pembuluh darah, yang memberi makan kulit dan berperan
penting dalam mengatur suhu tubuh; (2) ujung saraf sensorik, yang memberi informasi
mengenai lingkungan eksternal; dan (3) beberapa kelenjar eksokrin dan folikex rambut, yang
terbentuk oleh invaginasi khusus epitel di atasnya. Kelenjar eksokrin kulit terdiri dari kelenjar
sebasea, yang menghasilkan keringat pendingin. Folikel rambut menghasilkan rambut, yang
distribusi dan fungsinya minimal pada manusia. Selain itu kulit mensintesis vitamin D dengan
adanya sinar matahari.
Selain kulit, rute utama lain yang dapat dilalui oleh patogen untuk masuk ke dalam
tubuh adalah (1) sistem pencernaan, yang dipertahankan oleh enzim air liur anti mikroba,
sekresi lambung bersifat asam yang destruktif, gut associated lymphoid tissue, dan flora
residen di kolon yang tidak berbahaya; (2) sistem genitourinaria yang dilindungi oleh sekresi
mukus penangkap partikel dan sekresi asam yang destruktif; dan (3) sistem pernapasan,
yang pertahanannya bergantung pada aktivitas makrofag alveolus dan pada sekresi mukus
lengket yang menjerat debris, yang kemudian disapu ke luar oleh gerakan silia. Pertahanan
respirasi lain adalah bulu hidung yang menyaring partikel berukuran besar; mekanisine
refleks batuk dan bersin, yang masing-masing mengeluarkan bahan iritan dari trakea dan
hidung; serta tonsil dan adenoid, yang melaksanakan pertahanan imunologis.

TROMBOSIT
Trombosit (patelets) bukanlah suatu sel utuh tapi merupakan fragmen sel (diameter 2
- 4 µm) yang terlepas dari tepi luar suatu sel besar di sumsum tulang (megakariosit).
Trombosit pada dasamya adalah suatu vesikel yang mengandung sebagian dari sitoplasma
megakariosit yang terbungkus membran plasma.
Jumlah trombosit pada keadaan normal sekitar 300.000 sel/Rl darah. Masa hidup
trombosit sekitar 10 hari. Trombosit selalu berada dalam sirkulasi darah (60 - 70 %), tapi
tidak aktif kecualil terjadi kerusakan pada dinding pembuluh darah. Sel-sel ini tidak keluar
dari pembuluh darah ke jaringan seperti halnya leukosit, tetapi '/3 dari trombosit total selalu
tersimpan dalam limpa. Simpanan ini dapat dikeluarkan ke dalam sirkulasi sesuai dengan
kebutuhan (misalnya pada saat terjadi perdarahan).
Karena merupakan fragmen sel, trombosit tidak berinti. Namun sel ini mempunyai
organel dan sistem enzim sitosol untuk menghasilkan energi dan mensintesis produk
sekretorik yang disimpan di granula-granula yang tersebar di seluruh sitosolnya. Selain itu
trombosit menganclung aktin dan miosin dalam konsentrasi tinggi, sehingga dapat
berkontraksi. Kemampuan sekretorik dan kontraksi ini penting dalam hemostasis.
Ciri-ciri Fungsional Trombosit;
1. Adanya molekul aktin dan miosin untuk berkontraksi.
2. Adanya retikulum encloplasma dan apparatus golgi untuk sintesis enzim-enzim dan
menyimpan ion kalsium.
3. Dapat membentuk ADP dan ATP.
4. Mensintcsa prostaglandin untuk reaksi pembuluh darah dan jaringan setempat.
5. Adanya protein untuk faktor stabilitas fibrin yang penting untuk system pembekuan.
6. Adanya faktor pertumbuhan untuk pertumbuhan sel endotel pembuluh darah, sel otot
polos pernbulull darah dan frbroblast.
7. Menganclung glikoprotein untuk menghindari perlekatan pada endotel yang normal,
tapi akan mclekat pada endotel yang rusak.
8. Membrannya mengandung fosfolipid untuk mengaktifkan berbagai hal pada proses
pembekuan darah.

HEMOSTASIS
Kalau suatu pembuluh darah terpotong atau rusak, maka cedera tersebut akan
memulai suatu rangkaian peristiwa yang menghasilkan terbentuknya bekuan yang akan
menyumbat daerah yang rusak dan mencegah terjadinya kehilangan darah lebih lanjut.
Singkatnya hemostasis adalah penghentian perdarahan dari suatu pembuluh darah yang
rusak.
Hemostasis terjadi melalui beberapa cara:
1. Konstriksi/spasme vaskuler
2. Pembentukan sumbatan trombosit
3. Pembentukan bekuan darah
4. Pertumbuhan jaringan ikat pada daerah yang rusak.

Spasme Vaskular
Bila ada pembuluh darah yang robek atau terpotong, akan segera terjadi
spasme/konstriksi dari dinding pembuluh darah sehingga aliran darah dari pembuluh yang
rusak akan berkurang (diperlambat), akibatnya pengeluaran darah dapat diperkecil.
Spasme pembuluh darah tegadi akibat:
 Refleks saraf yang dicetuskan oleh rasa nyeri dan impuls jaringan sekitar
 Spasme miogenik setempat
 Faktor humoral dari jaringan dan trombosit.
Langkah pertama ini saja tidak cukup secara total mencegah pengeluaran darah
selanjutnya, tetapi penting untuk memperkecil pengeluaran darah dari pembuluh darah yang
rusak sampai langkah-langkah hemostatik selanjutnya mampu menyumbat defek tersebut.

Pembentukan Sumbat Trombosit


Dalam keadaan normal trombosit tidak melckat ke permukaan endotel pembuluh
darah, tapi bila lapisan dalam ini rusak akibat cedera pembuluh, trombosit akin melckat ke
kolagcn yank; tcrpajan, yaitu protein filbrosa yang terdapat pada jaringan ikat dibawahnya.
Setelah berkumpul di tcmpat cedera tersebut, trombosit mengeluarkan beberapa zat
kimia penting dari granula simpanan mcreka, antara lain: ADI', yang menyebabkan
perrnukaarn trombosit dalam sIrkulaSI yang lewat menjadi lengket dan melekat ke lapisan
trombosit yang pertama.
Trombosit yang baru melekat ini mengeluarkan lebih banyak ADP sehingga lebih banyak lagi
trmbosit yang melekat, demikian seterusnya; dengan demikian sumbat trombosit cepat
terbentuk di tempat cedera.
Proses agregasi ini diperkuat oleh pembentukan suatu zat kimia perantara,
tromboksan A z , dari komponen membrane plasma trombosit yang berkontak dengan
kolagen. Tromboksan A z secara langsung mendorong agregasi trombosit Ban secara tidak
langsung meningkatkan proses tersebut dengan mencetuskan pengeluaran ADP dari granula
trombosit.
Sumbat trombosit tidak hanya secara fisik menambal lubang di pembuluh, tetapi juga
melakukan 3 fungsi penting lainnya:
1. Kompleks protein aktin-miosin dalam trombosit yang membentuk agregat tersebut
berkontraksi untuk memperkuat sumbat yang semula longgar.
2. Zat-zat kimia yang dikeluarkan dari sumbat trombosit mencakup beberapa
vasokonstriktor kuat (serotonin, epinefrin, tromboksan A z ), yang memperkuat
spasme vaskuler yang sudah terjadi.
3. Sumbat trombosit mengeluarkan zat-zat kimia lain yang meningkatkan koagulasi
darah, langkah hemostasis berikutnya.
Walaupun mekanisme pembentukan sumbat trombosit saja sering cukup tintuk untuk
menambal banyak robekan halus pada kapiler Ban Binding pembuluh darah lainnya yang
sering terjadi setiap hari, namun luka lebih besar memerlukan pembentukan bekuan darah
agar secara total menghentikan perdarahan.

Pembentukan Bekuan Darah


Pembekuan atau koagulasi darah adalah transformasi darah dari cairan menjadi gel
padat. Reaksi mendasar dalam pcinbekuan darah adalah konversi protein plasma yang larut
(fibrinogen) menjadi fibrin yang tidak larut. Pembentukan suatu bekuan di atas sumbat
trombosit memperkuat Ban menunjang sumbat yang menutupi lubang di pembuluh darah.
Selain itu dengan rnemadatnya darah di sekitar defek tersebut, darah tidak bisa lagi
mengalir. Koagulasi adalah mekanismc hcmostatik tubuh yang paling kuat untuk
menglientikan perdaralian dari semua defek, kecuali defek kecil.
Pada proses in[ terdapat scrangkaian reaksi yang dikenal sebagai jenjang
(coagulation cascade), sampai trombin mengkatalisis perubalian akhir fibrinogen menjadi
fibrin.
Secara keseluruhan, terdapat 12 faktor pembekuan plasma yang ikut serta dalam
langkahlangkah esensial yang berakhir dengan perubahan fibrinogen menjadi jaring fibrin
yang stabil. Sebagian besar faktor pembekuan ini adalah protein plasma yang disintesis hati.
Dalam keadaan normal, mereka selalu terdapat dalam plasma dalam bentuk inaktif, serupa
dengan fibrinogen dan protrombin.
Berbeda dengan fibrinogen, yang diubah menjadi serat-serat fibrin yang tidak larut,
maka protrombin dan prekursor lain ketika diubah menjadi bentuk aktifnya, bekerja sebagai
enzim proteolitik, yang mengaktifkan faktor spesifik lain dalam jenjang pembekuan.
Setelah faktor pertama dalam rangkaian tersebut diaktifkan, faktor tersebut kemudian
mengaktifkan faktor lain, demikian seterusnya, sampai trombin mengkatalisis perubahan
akhir fibrinogen menjadi fibrin.
Jenjang pembekuan dapat dicetuskan oleh jalur intrinsik atau jalur ekstrinsik.

 Jalur Intrinsik
Jalur intrinsik mencetuskan pembekuan intravaskuler serta pembekuan sampel darah
dalam tabung reaksi. Semua unsur yang diperlukan untuk menghasilkan pembekuan melalui
jalur intrinsik tersedia dalam darah.
Mekanisme ini dimulai pada saat faktor XII (faktor Hageman) diaktifkan karena
berkontak dengan kolagen yang terpajan di pembuluh darah yang cedera atau permukaan
benda asing (misalnya tabung reaksi).
- Faktor XII teraktivasi akan mengaktitkan faktor XI

- Faktor XI teraktivasi akan mengaktifkan faktor IX.

- Faktor IX teraktivasi + faktor VIII teraktivasi + fosfolipid trombosit (PF3) + ion kalsium
mengaktifkan faktor X.
- Faktor X teraktivasi + faktor V + fosfolipid trombosit (PF3) akan merubah protrombin
menjadi trombin.

o Langkah berikutnya sampai terjadi bekuan akan dibahas tersendiri.


o Ingat bahwa kolagen terpajan juga mencetuskan agregasi trombosit.
Dengan demikian, pembentukan sumbat trombosit dan reaksi berantai yang menyebabkan
pembentukan bekuan darah secara simultan diaktifkan ketika suatu pembuluh darah
mengalami cedera. Selain itu kedua mekanisme hemostatik ini sating memperkuat satu
sama lain. Agregat trombosit mengeluarkan PF3 (platelet factor 3), yang penting untuk
jenjang pembekuan yang pada gilirannya meningkatkan agregasi trombosit lebih lanjut.

 Jalur Ekstrinsik
Jalur ekstrinsik mengambil jalan pintas dan hanya memerlukan langkah yang lebih
sedikit dari mekanisme intrinsik. Jalur ini, yang memerlukan kontak dengan faktor-faktor di
luar darah, mcngawali proses pembekuan darah yang keluar ke jaringan. Jika mendapat
trauma, jaringan mengeluarkan suatu kompleks protein yang dikenal sebagai tromboplastin
jaringan. Tromboplastin jaringan secara Iangsung mengaktikan faktor X, sehingga
melewatkan semua langkah pendahuluan pada jalur intrinsik. Dari titik ini, kedua jalur
tersebut identik.
- tromboplastin jaringan + faKtor VII + Ion kalsium akan mengaktifkan faktor X.

- Faktor X teraktivasi + faktor V + PP3 akan rnerubah protrombin menjadi trombin.


 Langkah selanjutnya sampai terjadi bekuan akan dibahas secara terpisah.

 Perubahan Protrombin Menjadi Trombin


Apakah yang mengubah protrombin menjadi trombin sewaktu proses pembekuan
diperlukan? Terdapat faktor pembekuan plasma lain yang bertanggung jawab, yaitu: faktor X.
Faktor X itu sendin dalam darah berada dalam bentuk inaktif dan hares diubah menjadi
bentuk aktifnya oleh faktor aktif lain dan seterusnya.
 Perubahan Fibrinogen Menjadi Fibrin
Langkah terakhir dalam proses pentukan bekuan darah adalah perubahan fibrinogen
(suatu protein plasma besar yang larut dan dihasilkan hati dan kalam keadaan normal selalu
Tedapat dalam plasma) menjadi fibrin (suatu molekul berbentuk benang yang tidak larut).
Perubahan menjadi fibrin dikatalisasi oleh enzim trombin di tempat pembuluh darah yang
rusak.
Molekul fibrin melekat ke permukaan pembuluh darah rusak, membentuk struktur
mirip jaring longgar yang menangkap unsur-unsur set darah. Massa yang terbentuk (bekuan
darah) biasanya tampak merah karena banyaknya eritrosit yang terperangkap, tapi dasar
dari bekuan tersebut adalah fibrin yang berasal dari plasma. Kecuali trombosit yang
berperan penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin, pembekuan darah dapat
berlangsung tanpa kehadiran unsur set lain dalam darah.
Jaringan fibrin awal bersifat lunak karena jalinan yang dibentuk oleh serat-serat fibrin
tersebut bersifat longgar. Namun, antara serat yang berdekatan segera terbentuk ikatan
kimia yang memperkuat dan menstabilkan jaring bekuan tersebut.
Proses pembentukan ikatan silang tersebut dikatalisasi oleh suatu faktor pembekuan yang
dikenal sebagai faktor XIII (faktor stabilisasi fibrin).
Selain mengubah fibrinogen menjadi fibrin, trombin juga:
1. mengaktifkan faktor XIII
2. meningkatkan agregasi trombosit
3. bekerja mclalui mekanisirnc umpan batik positif untuk mempermudah pembentukan
dirinya.
Karena kerja trombin mengubah fibrinogen menjadi bekuan darah, dalam keadaan
normal trombin tidak ada dalam plasma, kecuali di sekitar tempat kerusakan pembuluh . I3ila
tidak demikian, darah akan terus mengalami koagulasi.
Mekanisme intrinsik dan ekstrinsik biasanya bekerja secara simultan. Apabila cedera
jaringan menyebabkan ruptur pembuluh darah, maka mekanisme intrinsik menghentikan
darah di pembuluh yang cedera, sementara mekanisme ekstrinsik menyebabkan darah yang
keluar ke dalam jaringan membeku sebelum pembuluh tersebut ditambal. Biasanya
pembentukan bekuan sudah selesai seluruhnya dalam 3 sampai 6 menit.

 Retraksi Bekuan
Dalam waktu beberapa menit setelah bekuan terbentuk, akan terjadi retraksi bekuan
yang akan memeras keluar seluruh Caran dari bekuan tersebut. Cairan ini, yang pada
dasarnya adalah plasma dikurangi fibrinogen dan prekursor pembekuan lain yang telah
terpakai selama proses pembekuan, disebut serum.
Dalam proses retraksi bekuan diperlukan trombosit. Trombosit dalam proses ini
bekerja dengan cara mengaktifkan molekul aktin dan miosinnya, yang dapat menimbulkan
kontraksi kuat pada tonjolan-tonjolan trombosit yang melekat pada benang fibrin. Hal ini
menyebabkan menciutnya jaringan fibrin menjadi massa yang lebih kecil. Kontraksi aktin dan
miosin diaktifkan oleh trombin dan ion kalsium.
Dengan terjadinya retraksi bekuan, ujung-ujung pembuluh darah yang robek akan
saling mendekat, sehingga memungkinkan terjadinya hemostasis.

Pembentukan Jaringan Mat dan Penghancuran Bekuan Darah


Setelah bekuan darah terbentuk, dapat terjadi 2 proses:
1. Bekuan diinvasi oleh fibroblast, kemudian membentuk jaringan ikat pada seluruh
bekuan tersebut.
2. Bekuan dapat dihancurkan.
Bekuan diinvasi oleh fibroblast beberapa jam setelah bekuan terbentuk. Proses ini
dipermudah olch faktor pertumbuhan yang disekresi oleh trombosit. Hal ini berlanjut terus 1 -
2 minggu sampai terjadi jaringan ikat.
Kalau terbentuk bekuan yang luas, zat khusus dari bekuan itu sendiri akan
menghancurkannya.
Plasmin Fibrinolitik
Pembentukan suatu bekuan tidak dimaksudkan untuk menjadi permanen bagi cedera
pembuluh darah. Bekuan adalah alat sementara untuk menghentikan perdarahan sampai
pembuluh dapat diperbaiki. Agregasi trombosit mengeluarkan suatu zat kimia yang ikut serta
dalam invasi fibroblas dari jaringan ikat disekitamya ke dalam daerah cedera. Fibroblas
membentuk jaringan parut di defek pembuluh darah.
Seiring dengan proses penyembuhan luka, bekuan yang tidak lagi diperlukan ,
secara perlahan dilarutkan oleh enzim fibrinolitik yang disebut plasmin. Jika bekuan tidak
segera disingkirkan setelah melakukan fungsi hemostatik, pembuluh darah terutama yang
berukuran kecil yang terus-menerus mengalami ruptur halus setiap hari, akan tersumbat oleh
bekuan.
Plasmin adalah suatu protein plasma yang dibentuk di hati dan terdapat di darah
dalam bentuk prekursor inaktif, plasminogen. Ketika bekuan sedang dibentuk, plasmin yang
diaktijkan terperangkap di bekuan dan melarutkan bekuan tersebut dengan secara lambat
memutuskan jaringan fibrin. Leukosit fagositik secara bertahap membersihkan produk
disolusi bekuan.
Selain membersihkan bekuan yang tidak lagi diperlukan, plasmin secara terus-
menerus berfungsi mencegah pembentukan bekuan yang berlebihan dan tidak sesuai.
Sejumlah kecil fibrin secara konstan diubah menjadi fibrin di seluruh pembuluh darah (dipicu
oleh mekanisme yang belum diketahui).
Meskipun demikian tidak terbentuk bekuan karena fibrin dengan cepat disingkirkan
oleh plasmin yang diaktifkan oleh aktivator plasminogen jaringan (tissue plasminogen
activator; tPA) yang berasal dari jaringan, terutama paru. Dalam keadaan normal,
pembentukan fibrin yang berlangsung dalam tingkat rendah diimbangi oleh aktivitas
fibrinolitik tingkat rendah, sehingga tidak terjadi pembentukan bekuan yang abnormal.
Tubuh kita menghasilkan beberapa antikoagulan yang secara alami menghambat
satu atau lebih reaksi dalam proses pembekuan. Tapi masih dipcrdebatkan apakah zat-zat
tersebut memiliki peran fisiologis dalam mencegah pembentukan bekuan. Bebcrapa
antikoagulan tersebut: heparin (terdapat dalam basofl dan sel mast), antitrombin III (bekerja
sama untuk menghambat faktor aktif IX, X, XI, XII), Protein C (menghambat faktor
pembekuan V dan VIII).

Anda mungkin juga menyukai