Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR FEMUR DI


RUANG 20 RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG

oleh:
Ega Putri Nurwita, S. Kep.
NIM 192311101020

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan


Fraktur Femur di Ruang 20 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.
Saiful Anwar Malang telah disetujui dan disahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat : Ruang 20 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Saiful
Anwar Malang
Malang, Desember 2019

Mahasiswa

Ega Putri Nurwita, S.Kep.


NIM 192311101020

Pembimbing Klinik
Ruang 20 RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang

(........................................................)
NIP.
.
Pembimbing Akademik
.
Fakultas Keperawatan
Universitas Jember

(Murtaqib, S.Kep., M.Kep)


NIP.
Kepala Ruang 20
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

(.........................................................)
NIP.
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur


Femur di Ruang 20 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Saiful
Anwar Malang telah disetujui dan disahkan pada :
Hari, Tanggal :
Tempat : Ruang 20 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Saiful
Anwar Malang
Malang, Desember 2019

Mahasiswa

Ega Putri Nurwita, S.Kep.


NIM 192311101020

Pembimbing Klinik
Ruang 20 RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang

(........................................................)
NIP.
.
Pembimbing Akademik
Fakultas Keperawatan
Universitas Jember

(Murtaqib, S.Kep., M.Kep) Kepala Ruang 20


NIP.
RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

(.........................................................)
NIP.
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Konsep Teori tentang Penyakit


1. Review Anatomi Fisiologi
Sistem rangka adalah bagian tubuh yang terdiri dari tulang, sendi, dan tulang rawan
(kartilago) sebagai tempat menempelnya otot dan memungkinkan tubuh untuk
mempertahankan sikap dan posisi. Tulang sebagai alat gerak pasif karena hanya
mengikuti kendali otot. Akan tetapi tulang tetap mempunyai peranan penting karena gerak
tidak akan terjadi tanpa tulang. Fungsi dari sistem skeletal/rangka adalah:
1. Penyangga berdirinya tubuh, tempat melekatnya ligamen-ligamen, otot, jaringan lunak
dan organ. Membentuk kerangka yang berfungsi untuk menyangga tubuh dan otot-otot
yang melekat pada tulang.
2. Penyimpanan mineral (kalsium dan fosfat) dan lipid (yellow marrow) atau hemopoesis.
3. Produksi sel darah merah (red marrow)
4. Pelindung yaitu membentuk rongga melindungi organ yang halus dan lunak, serta
memproteksi organ-organ internal dari trauma mekanis.
5. Penggerak yaitu dapat mengubah arah dan kekuatan otot rangka saat bergerak karena
adanya persendian.
Berdasarkan struktur tulang, tulang terdiri dari sel hidup yang tersebar diantara
material tidak hidup (matriks). Matriks tersusun atas osteoblas (sel pembentuk tulang).
Sedangkan osteoblas membuat dan mensekresi protein kolagen dan garam mineral. Jika
pembentukan tulang baru dibutuhkan, osteoblas baru akan dibentuk. Jika tulang telah
dibentuk, osteoblas akan berubah menjadi osteosit (sel tulang dewasa). Sel tulang yang
telah mati akan dirusak oleh osteoklas (sel perusakan tulang).

Gambar 1. Bagian dalam tulang


Proses pembentukan tulang telah bermula sejak umur embrio 6-7 minggu dan
berlangsung sampai dewasa. Pada rangka manusia, rangka yang pertama kali terbentuk adalah
tulang rawan (kartilago) yang berasal dari jaringan mesenkim. Kemudian akan terbentuk
osteoblas atau sel-sel pembentuk tulang. Osteoblas ini akan mengisi rongga-rongga tulang
rawan. Sel-sel tulang dibentuk terutama dari arah dalam keluar, atau proses pembentukannya
konsentris. Setiap satuan-satuan sel tulang mengelilingi suatu pembuluh darah dan saraf
membentuk suatu sistem yang disebut sistem Havers. Disekeliling sel-sel tulang terbentuk
senyawa protein yang akan menjadi matriks tulang. Kelak di dalam senyawa protein ini
terdapat pula kapur dan fosfor sehingga matriks tulang akan mengeras. Proses ini disebut
osifikasi (Pearce, 2015).
Femur merupakan tulang sejati, tulang yang bersifat keras dan berfungsi menyusun
berbagai sistem rangka . Permukaan luar tulang femur dilapisi selbuh fibrosa (periosteum).
Lapis tipis jaringan ikat (endosteum) melapisi rongga sumsum dan meluas ke dalam
kanalikuli tulang kompak. Tulang femur terdiri dari beberapa komponen berikut:
1. Sistem Havers (saluran yang berisi serabut saraf, pembuluh darah,
aliran limfe).
2. Lamella (lempeng tulang yang tersusun konsentris).
3. Lacuna (ruangan kecil yang terdapat di antara lempengan-lempengan
yang mengandung sel tulang).
4. Kanalikuli (memancar di antara lacuna dan tempat difusi makanan sampai
ke osteon).

Gambar 2. Bagian dalam tulang

Tulang ini tersusun atas ”honeycomb” network yang disebut trabekula. Struktur tersebut
menyebabkan tulang dapat menahan tekanan. Rongga antara trabekula berisi “red bone
marrow” yang mengandung pembuluh darah yang memberi nutrisi pada tulang. Contohnya
yaitu tulang pelvis, rusuk,tulang belakang, tengkorak, dan pada ujung tulang lengan dan paha.
Tulang femur merupakan tulang yang ukuran panjangnya terbesar (Wahyuningsih &
Kusmiyati, 2017).
2. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma (Mansjoer, 2003). Fraktur femur adalah
terputusnya kontinuitas batang femur yang bisa terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan
lalu lintas, jatuh dari ketinggian). Patah pada tulang femur dapat menimbulkan perdarahan
cukup banyak serta mengakibatkan penderita mengalami syok (Sjamsuhidajat, 2004).
Fraktur femur atau patah tulang paha merupakan rusaknya kontiunitas tulang pangkal
paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi tertentu,
seperti degenerasi tulang atau osteoporosis. Fraktur tulang femur dapat terjadi mulai dari
proximal sampai distal. Untuk mematahkan batang femur pada orang dewasa, diperlukan gaya
yang besar. Secara klinis, fraktur femur terdiri atas pada tulang paha terbuka dan pada tulang
paha tertutup (Mutaqqin, 2008). Fraktur femur tertutup adalah fraktur dimana kulit tidak
ditembus oleh fragmen tulang, sehingga tempat fraktur tidak tercemar oleh lingkungan.
Fraktur terbuka adalah fraktur yang mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka
pada kulit dan jaringan lunak dapat terbentuk dari dalam atau dari luar (mutaqqin,2008).

Gambar 3 Fraktur Femur


3. Epidemiologi
Berdasarkan hasil riset oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007, di Indonesia terjadi kasus fraktur yang disebabkan
oleh cedera antara lain karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma benda tajam atau
tumpul. Sedangkan fraktur patologis disebakan komplikasi dari penyakit kanker dengan
metastasis tulang. Kejadian fraktur patologis dilaporkan 9% - 29% dari pasien kanker
metastasis tulang.
Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang atau 3,8%,
dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, yang mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang atau
8,5%, dari 14.127 trauma benda tajam/tumpul yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang
atau 1,7% (Juniartha, 2007).
Dari sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat
kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu sekitar
46,2%. Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat kecelakaan,19.629
orang mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang mengalami fraktur cruris, 3.775
orang mengalami fraktur tibia,970 orang mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki
dan 336 orang mengalami fraktur fibula (Depkes RI 2011). Jenis fraktur femur mempunyai
insiden yang tinggi diantara fraktur tulang lain dan fraktur femur paling sering terjadi pada
batang femur 1/3 tengah. Fraktur femur lebih sering terjadi pada laki- laki daripada
perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga,
pekerjaan atau kecelakaan (Mansjoer, 2003).

4. Etiologi
Penyebab fraktur secara fisiologis merupakan suatu kerusakan jaringan tulang yang
diakibatkan dari kecelakaan, tenaga fisik, olahraga dan trauma. Menurut (Padila 2012),
etiologi fraktur adalah sebagai berikut :
a. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila terjadi trauma langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan (misalnya benturan, pukulan yang
mengakibatkan patah tulang).
b. Trauma tidak langsung/ indirect trauma, yaitu apabila trauma dihantarkan ke daerah
yang lebih jauh dari daerah fraktur. misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam
keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan. Tekanan pada tulang
dapat berupa:
1. tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral;
2. tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal;
3. tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi atau
dislokasi;
4. kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah;
5. trauma oleh karena remuk;
6. trauma karena tarikan pada ligamen atau tendon akan menarik sebagian tulang.
c. Trauma patologis
Secara patologis merupakan suatu kerusakan tulang yang terjadi akibat proses
penyakit dimana dengan trauma dapat mengakibatkan fraktur, hal ini dapat terjadi
pada berbagai keadaan diantaranya: tumor tulang, osteomielitis, scurvy (penyakit
gusi berdarah) serta rakhitis (Mansjoer, 2003).

7. Klasifikasi
a. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius, hip
dan cruris dst).
b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.

Gambar 4. Klasifikasi Fraktur Femur menurut Kekomplitan dan Sifatnya


(terbuka dan tidak terbuka)

1) Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang


atau melalui kedua korteks tulang).
2) Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh
garis penampang tulang).
c. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
d. Berdasarkan posisi fragmen :
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen
e. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
ddan ancaman sindroma kompartement.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.Fraktur terbuka dibedakan menjadi:
a) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
b) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak
yang ekstensif.
c) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
f. Berdasarkan bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasi juga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
Gambar 5. Klasifikasi Fraktur berdasarkan Patahannya
g. Berdasarkan kedudukan tulangnya:
1) Tidak adanya dislokasi.
2) Adanya dislokasi
a) At axim : membentuk sudut.
b) At lotus : fragmen tulang berjauhan.
c) At longitudinal : berjauhan memanjang.
d) At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek
h. Berdasarkan posisi fraktur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal
i. Fraktur Kelelahan
Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
j. Fraktur Patologis
Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

8. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan. Tetapi apabila tekanan eksternal datang lebih besar dari pada tekanan yang
diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang dapat mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontinuitas tulang (fraktur) (Elizabeth, 2003). Setelah terjadi fraktur, periosteum
dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks marrow dan jaringan lunak yang membungkus
tulang menjadi rusak sehingga menyebabkan terjadinya perdarahan. Pada saat perdarahan
terjadi terbentuklah hematoma di rongga medulla tulang, sehingga jaringan tulang segera
berdekatan kebagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis akan menstimulasi
terjadinya respon inflamasi yang di tandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit
serta infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya (Price, 2005).

9. Menifestasi Klinis
Menifestasi Klinis fraktur femur menurut Smletzer (2004) diagi menjadi dua yaitu tanda-
tanda tidak pasti dan tanda-tanda pasti. Tanda-tanda tidak pasti diantaranya adalah: rasa nyeri
dan tegang, nyeri hebat bila bergerak, hilangnya fungsi akibat nyeri atau tak mampu
melakukan gerakan dan deformitas karena pembengkakan atau akibat perdarahan dan posisi
fragmen berubah. Tanda-tanda pasti diantaranya adalah: gerakan abnormalitas (false
movement), gesekan dari kedua ujung fragmen tulang yang patah (krepitasi) serta deformitas
akibat fraktur (umumnya deformitas berupa rotasi, angulasi dan pemendekan).
Tanda dan gejala dari fraktur femur (mutaqqin,2008) yaitu:
a. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai tulang dimobilisasi.
b. Deformitas (terlihat maupun teraba).
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah lokasi fraktur.
d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai

10. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus fraktur adalah sebagai berikut (Reksoprodjo,
2009):
a. Malunion adalah tulang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
b. Delayed union adalah kegagalan fraktur berkonsolidasi (bergabung) sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.
c. Non union adalah kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan
yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan.
d. Kekakuan sendi bahu (ankilosis). Lesi pada nervus sirkumfleksi
aksilaris menyebabkan paralisis muskulus deltoid
e. Syok hipovolemik. Kondisi ini terjadi akibat adanya perdarahan berlebih yang sering
ditemukan pada pasien trauma akibat fraktur pada tulang pelvis, femur, atau fraktur
lain dengan jenis fraktur terbuka.
f. Fat embolism syndrome, Kondisi ini terjadi akibat fraktur pada tulang panjang, atau
fraktur lain yang menyebabkan jaringan sekitar hancur, sehingga emboli lemak dapat
terjadi.
g. Compartment syndrom merupakan komplikasi yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh udema
atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena
tekan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat. Tanda-tanda sindrom
kompartemen dikenal dengan 5P yaitu Pain (nyeri lokal), Pallor (pucat bagian
distal), Pulsessness (tidak ada denyut nadi, perubahan nadi, perfusi yang tidak baik
dan CRT
> 3 detik pada bagian distal kaki), Paraestesia (tidak ada sensasi), Paralysis
(kelumpuhan tungkai).
h. Cedera vaskuler, jika ada tanda dengan insufisiensi vaskuler pada ekstremitas,
kerusakan arteri brakhialis harus disingkirkan. Angiografi akan memperlihatkan
tingkat cedera. Cedera vaskuler merupakan kegawatdaruratan yang membutuhkan
eksplorasi dan perbaikan langsung atau cangkok (grafting) vaskuler.
i. Cedera Saraf, radial nerve palsy dapat terjadi pada fraktur shaft femoral terutama pada
fraktur oblik sepertiga tengah dan distal femur. Pergelangan tangan dan telapak
tangan harus secara teratur digerakkan dari pergerakan pasif putaran penuh hingga
mempertahankan pergerakan sendi sampai saraf kembali pulih.
j. Infeksi, Infeksi terjadi karena sistem pertahanan tubuh yang rusak akibat adanya
trauma pada jaringan. Pada trauma osthopedic infeksi dimulai pada kulit (superfisial)
dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

11. Pemeriksaan Penunjang


Adapun pemeriksaan penunjang pada kasus fraktur femur yaitu:
a. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi / luasnya fraktur trauma
b. Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur, juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
d. Hitung daerah lengkap : HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(pendarahan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma).
e. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.
f. Profil koagulasi, perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi
atau cedera. (Bararah, T.& Jauhar, M 2013)

12. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan pada fraktur ada dua jenis yaitu reduksi dan imobilisasi:
a. Reduksi
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya
atau rotasi anatomis. Reduksi tertutup, mengembalikan fragmen tulang
keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi
manual. Alat yang digunakan biasanya traksi, bidai dan alat yang lainnya.
Reduksi terbuka, dengan pendekatan bedah. Alat fiksasi interna dalam bentuk
pin, kawat, sekrup, plat, dan paku
b. Imobilisasi
Imobilisasi dapat digunakan dengan metode eksterna dan interna
mempertahankan dan mengembalikan fungsi status neurovaskuler selalu dipantau
meliputi peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan. Perkiraan waktu imobilisasi
yang dibutuhkan untuk penyambungan tulang yang mengalami fraktur adalah
sekitar 3 bulan.
Menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada
waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
a. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan
terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka.
b. Reduksi (Manipulasi/ Reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya
untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara
optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau
reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Muttaqin,
2008). Dalam penatalaksanaan fraktur dengan reduksi dapat dibagi menjadi 2
yaitu:
1) Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang
pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Reduksi tertutup, traksi, dapat
dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih
bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap
sama.Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus disiapkan
untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan
prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu
dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani
dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Reduksi tertutup
pada banyak kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual.
2) Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang
biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakukan pada fraktur yang terjadi
pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal dengan fiksasi, pin
dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan dengan fiksasi
yang ada dibagian luar. Indikasi yang biasa dilakukan penatalaksanaan
dengan eksternal fiksasi adalah fraktur terbuka pada tulang kering yang
memerlukan perawatan untuk dressings. Tetapi dapat juga dilakukan pada
fraktur tertutup radius ulna. Eksternal fiksasi yang paling sering berhasil
adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial batang.
c. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di
gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar
kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau
tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan
distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan
untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur,
humerus dan pelvis (Mansjoer, 2000). Prinsip dasar dari teknik ini adalah
dengan menggunakan pin yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal
terhadap daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan
satu sama lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang
berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai
temporary treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive
treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan
jaringan lunak (Muttaqin, 2008). Alat traksi diberikan dengan kekuatan
tarikan pada anggota yang fraktur untuk meluruskan bentuk tulang. Ada 2
macam yaitu:
a) Skin Traksi
Skin traksi adalah menarik bagian tulang yang fraktur dengan
menempelkan plester langsung pada kulit untuk mempertahankan bentuk,
membantu menimbulkan spasme otot pada bagian yang cedera, dan
biasanya digunakan untuk jangka pendek (48-72 jam).
b) Skeletal traksi
Adalah traksi yang digunakan untuk meluruskan tulang yang cedera pada
sendi panjang untuk mempertahankan bentuk dengan memasukkan pins /
kawat ke dalam tulang.
d. Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan untuk aktifitas fungsional semaksimal mungkin dalam
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus
segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan
anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer, 2000).
Tahap penyembuhan tulang dibagi menjadi 5 proses yaitu sebagai berikut:

Gambar 6. Proses Penyembuhan tulang (Pearce, 2009)


a. Tahap pembentukan hematoma
Dalam 24 jam pertama mulai terbentuk bekuan darah dan fibrin yang masuk
ke area fraktur. Suplai darah meningkat dan terbentuk hematom yang
berkembang menjadi jaringan granulasi sampai hari kelima.
b. Tahap proliferasi
Dalam waktu sekitar 5 hari, hematom akan mengalami organisasi. Terbentuk
benang-benang fibrin dalam jendalan dara, membentuk jaringan untuk
revaskularisasi dan invasi fibroblast dan osteoblast yang akan menghasilkan
kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kolagen pada patahan tulang, lalu
akan terbentuk jaringan ikat fibrus dan tulang rawan.
c. Tahap pembentukan kalus
Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai
sisi lain sampai celah terhubung. Fragmen patahan tulang digabungkan
dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat imatur. Butuh 3-4
minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan
fibrus.
d. Osifikasi
Pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam 2-3 minggu patah
tulan melalui proses penulangan ndokondrial. Mineral terus menerus
ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu. Proses ini memerlukan waktu 3-
4 bulan.
e. Konsolidasi (6-8 bulan) dan Remodelling (6-12 bulan)
Tahap akhir dari perbaikan patah tulang adalah dengan aktifitas osteoblas
dan osteoclas. Kalus mengalami pembentukan tulang sesuai aslinya.
A. Clinical Pathway

Trauma Trauma tidak Kondisi


langsung langsung patologis

Fraktur

Diskontinuitas Pergeseran
tulang fragmen tulang

Perubahan Nyeri akut Ansietas


jaringan sekitar

Pergeseran Spasme otot Laserasi kulit dan jaringan


fragmen tulang

Deformitas Peningkatan
Post de entry Putus vena/ Kerusakan
tekanan kapiler
kuman integritas
kulit
Gangguan Pelepasan
Fungsi histamin Risiko Perdarahan
muskuloskeletal infeksi Kerusakan
integritas
Protein plasma jaringan
Hambatan hilang Kehilangan
mobilitas fisik cairan

edema
Risiko syok

Penekanan
pembuluh
darah

Penurunan
perfusi jaringan

Ketidakefektifan perfusi
jaringan
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas Pasien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat,
status perkawinan, suku bangsa, nomor rekam medis, tanggal masuk
rumah sakit dan diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Identifikasi adanya nyeri pada lokasi fraktur atau tidak
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang femur,
bagaimana mekanisme terjadinya, pertolongan apa yang sudah di
dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang.
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang
sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker
tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit
menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes
menghambat penyembuhan tulang.
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang femur adalah
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
f) Pola Kebiasaan
1) Pola Nutrisi
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan, namun ada
beberapa kondisi dapat menyebabkan pola nutrisi berubah, seperti nyeri
yang hebat, dampak hospitalisasi terutama bagi pasien yang merupakn
pengalaman pertama masuk rumah sakit.
2) Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi BAB seperti
konstipasi dan gangguan eliminasi urine akibat adanya program
eliminasi dilakukan ditempat tidur.
3) Pola Istirahat
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak mengalami
perubahan yang berarti, namun ada beberapa kondisi dapat
menyebabkan pola istirahat terganggu atau berubah seperti timbulnya
rasa nyeri yang hebat dan dampak hospitalisasi.
4) Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas (rutinitas)
sebagaimana biasanya, yang hampir seluruh aktivitas dilakukan
ditempat tidur. Hal ini dilakukan karena ada perubahan fungsi anggota
gerak serta program immobilisasi, untuk melakukan aktivitasnya pasien
harus dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas yang sifatnya
ringan pasien masih dapat melakukannya sendiri.
5) Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya, namun harus ada
bantuan dari orang lain, aktivitas ini sering dilakukan pasien ditempat
tidur.
6) Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas terhadap fraktur, selain itu
dapat juga terjadi ganggguan konsep diri body image, jika terjadi atropi
otot kulit pucat, kering dan besisik. Dampak psikologis ini dapat
muncul pada pasien yang masih dalam perawatan dirumah sakit. Hal ini
dapat terjadi karena adanya program immobilisasi serta proses
penyembuhan yang cukup lama.
7) Riwayat Spiritual
Pada pasien post operasi fraktur femur riwayat spiritualnya tidak
mengalami gangguan yang berarti, pasien masih tetap bisa bertoleransi
terhadap agama yang dianut, masih bisa mengartikan makna dan tujuan
serta harapan pasien terhadap penyakitnya.
8) Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang lain dan
sebaliknya pasien dapat juga menarik diri dari lingkungannya karena
merasa dirinya tidak berguna (terutama kalau ada program amputasi).
g) Pemeriksaan
Fisik
1) B1 (Breathing)
Pre operasi: pada pemeriksaan sistem pernafasan tidak mengalami
gangguan.
Post operasi: biasanya terjadi reflek batu tidak efektif sehingga terjadi
penurunan akumulasi sekret. Bisa terjadi apneu, lidah ke belakang
akibat general anastesi, RR meningkat karena nyeri.
2) B2 (Blood)
Pre operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi
dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi
infeksi terutama pada fraktur terbuka.
Post operasi: dapat terjadi peningkatan tekanan darah, peningkatan nadi
dan respirasi karena nyeri, peningkatan suhu tubuh karena terjadi
infeksi terutama pada proses pembedahan.
3) B3 (Brain)
Pre operasi: tingkat kesadaran biasanya compos mentis.
Post operasi: dapat terjadi penurunan kesadaran akibat
tindakan anastesi, nyeri akibat pembedahan.
4) B4 (Bladder)
Pre operasi: biasanya klien fraktur tidak mengalami kelainan
pada sistem ini.
Post operasi: terjadi retensi urin akibat general anastesi.
5) B5 (Bowel)
Pre operasi: pemenuhan nutrisi dan bising usus biasanya normal,
pola defekasi tidak ada kelainan.
Post operasi: penurunan gerakan peristaltic akibat general anastesi.
6) B6 (Bone)
Pre operasi: adanya deformitas, nyeri tekan pada daerah trauma.
Post operasi: gangguan mobilitas fisik akibat pembedahan.

2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik (trauma)
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan
gangguan muskuloskeletal
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan cedera
4) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan
5) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan imobilitas
6) Resiko syok berhubungan dengan perdarahan
7) Resiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan primer, kerusakan kulit, trauma jaringan
Perencanaan
No. Masalah NOC NIC
Keperawatan
1. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Manajemen nyeri:
nyeri akut pada pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil: 1. Lakukan pengkajian nyeri
Kontrol nyeri (1605) komprehensif meliputi lokasi,
Tujuan karakteristik, durasi frekuensi, kualitas
No. Indikator Awal 1 2 3 4 5 dan faktor pencetus.
Menggunakan tindakan 2. Observasi adanya reaksi nonverbal
pengurangan nyeri dan ketidaknyamanan.
1. tanpa analgesik √ 3. Evaluasi pengalaman nyeri masa
lampau.
4. Berikan informasi mengenai nyeri,
Mm enggunakan
seperti penyebab nyeri, berapa lama
2. analgesik yang √ nyeri akan dirasakan, dan antisipasi
direkom endasikan
dari ketidaknyamanan akibat prosedur.
Melaporkan gejala yang
tidak terkonrol pada 5. Kontrol lingkungan yang dapat
3. profesional √ mempengaruhi nyeri seperti suhu
kesehatan ruangan, pencahayaan dan kebisingan
6. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
Menggunakan
(farmakologi, non farmakologi dan
4. sum ber daya yang √ inter personal).
tersedia
7. Berikan individu penurun nyeri yang
Melaporkan nyeri optimal dengan peresepan analgesik.
5. √
yang terkontrol 8. Dorong pasien untuk menggunakan
Keterangan: obat-obatan penurun nyeri yang
1. Tidak pernah menunjukkan adekuat.
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan 9. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan
4. Sering menunjukkan sesudah pemberian analgesik.
5. Secara konsisten menunjukkan 10. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi (seperti relaksasi,
hypnosis, akrupessure dll)
11. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
12. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri.
13. Kolaborasi dengan pasien, orang
terdekat dan tim kesehatan lain untuk
meilih dan mengimplementasikan
tindakan penurunan nyeri non
farmakologis
14. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
15. Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri.

2. Hambatan mobilitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Terapi latihan: ambulasi
fisik hambatan mobilitas fisik pada pasien dapat teratasi, dengan 1. Sediakan tempat tidur yang rendah
kriteria hasil: dan sesuai
2. Bantu pasien untuk duduk di sisi
Ambulasi (0200)
tempat tidur untuk memfasilitasi
Aw Tujuan
No. Indikator penyesuaian sikap tubuh
al 1 2 3 4 5
3. Bantu pasien untuk perpindahan,
Memopang berat sesuai kebutuhan
1. √
badan 4. Instruksikan pasien mengenai
Berjalan dengan pemindahan dan teknik ambulasi
2. √
langkah yng efektif yang aman
Berjalan dengan 5. Monitor penggunaan kruk atau alat
3. √ bantu berjalan lainnya
pelan
Berjalan dengan jarak yang
4. dekat (˂1 blok/30 meter) √ Terapi latihan: pergerakan sendi
6. Tentukan batasan pergerakan sendi
Berjalan mengelilingi dan efeknya terhadap sendi;
5. kam ar √ 7. Jelaskan pada klien dan keluarga
Keterangan: mengenai manfaat dan tujuan
1. Sangat terganggu melakukan latihan sendi
2. Banyak terganggu 8. Instruksikan klien/keluarga cara
3. Cukup terganggu melakukan latihan ROM aktif atau
4. Sedikit terganggu pasif.
5. Tidak terganggu 9. Monitor lokasi dan kecenderungan
adanya nyeri.
10. Pakaikan baju yang tidak
menghambat pergerakan pasien
3. Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan keperawatan, Kerusakan integritas Perawatan Luka Tekan (3520)
kulit (00046) kulit dapat teratasi, dengan kriteria hasil: 1. Ajarkan pasien dan keluarga akan
Ambulasi (0200) adanya tanda kulit pecah-pecah
Tujuan 2. Hindari kerutan pada tempat tidur
No. Indikator Awal 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap
1 2 3 4 5
1. Suhu kulit √ bersih dan kering
2. Sensasi √ 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi
3. Perfusi jaringan √ pasien) setiap dua jam sekali
4. Integritas kulit √ 5. Monitor kulit akan adanya
kemerahan
Keterangan: 6. Oleskan lotion atau minyak/baby oil
1. Sangat terganggu pada daerah yang tertekan
2. Banyak terganggu 7. Monitor aktivitas dan mobilisasi
3. Cukup terganggu pasien
4. Sedikit terganggu 8. Monitor status nutrisi pasien
5. Tidak terganggu 9. Memandikan pasien dengan sabun
5. Lesi padakulit √ dan air hangat
Keterangan: Pengecekan kulit (3590)
1. Berat 10. Periksa kulit dan selaput lendir
2. Cukup berat terkait dengan adanya kemerahan
3. Sedang 11. Amati warna, bengkak, pulsasi,
4. Ringan tekstur, edema, dan ulserasi pada
5. Tidak ada ekstremitas
12. Monitor warna dan suhu kulit
13. Monitor kulit untuk adanya ruam dan
lecet
14. Monitor infeksi terutama daerah
edema
15. Ajrkan anggota keluarga/pemberi
asuhan mengenai tanda-tanda
kerusakan kulit, dengan tepat
4. Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien tidak Kontrol infeksi:
menunjukkan adanya infeksi dengan kriteria hasil : 1. Bersihkan lingkungan dengan baik
Keparahan infeksi (0703) setelah digunakan untuk setiap pasien.
Aw Tujuan 2. Isolasi orang yang terkena penyakit
No. Indikator
al 1 2 3 4 5 menular.
1. Kemerahan 5 √ 3. Batasi jumlah pengunjung.
2. Cairan (luka) yang 5 √
berbau, busuk 4. Ajarkan cara cuci tangan.
3.
Demam 5 √ 5. Anjurkan pasien mengenai teknik
4.
Ketidakstabilan suhu 5 √ cuci tangan dengan benar.
5.
Nyeri 5 √ 6. Gunakan sabun antimikroba untuk
6. Peningkatan jumlah sel 5 √ mencuci tangan yang sesuai.
darah putih 7. Cusi tangan sebelum dan sesudah
7. Mengetahui penyebab kegiatan perawatan pasien.
dan perawatan infeksi 8. Pakai sarung tangan sebagaimana
Keterangan: dianjurkan oleh kebijakan
pencegahan universal.
1. Berat
9. Pakai sarung tangan steril dengan
2. Cukup berat
tepat.
3. Sedang 10. Pastikan penangan aseptik dari semua
4. Ringan saluran IV.
5. Tidak ada 11. Pastikan perawatan luka yang tepat
12. Berikan terapi antibiotik yang sesuai
13. Anjurkan pasien untuk meminum
antibiotik yang sesuai.
14. Ajarkan pasien dan keluarga
mengenai tanda dan gejala, penyebab
maupun penanganan infeksi dan
kapan harus melaporkannya kepada
petugas kesehatan.
15. Ajarkan pasien dan keluarga
mengenai begaimana cara
menghindari infeksi
DAFTAR PUSTAKA

Bararah, T & Jauhar, M. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi


Perawat Profesional Jilid I. Jakarta : Prestasi Pustaka.

Elizabeth, J. Corwin. 2003. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Evelyn C. 2015. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama

Juniartha. 2007. Angka Kejadian Fraktur. http://okezone.com diakses pada tanggal


3 Oktober 2012.
Mansjoer, Arief. 2003. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III. Jakarta: Media
Aesculapius.

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan


Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC

Padila. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika

Price, A. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit, Edisi IV. Jakarta:
EGC.

Reksoprodjo, S. 2009. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara


Publisher.
Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne, C. Bare Brenda, G. 2004. Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner & Suddarth, Edisi VIII. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai