Anda di halaman 1dari 19

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HIV DI RUANG

SAKURA RUMAH SAKIT DAERAH DR. SOEBANDI JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

oleh
Pungki Wahyuningtyas
NIM. 182311101115

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan berikut disusun oleh:

Nama : Pungki Wahyuningtyas


NIM : 182311101115
Judul : Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan HIV Di Ruang Sakura
Rumah Sakit Daerah Dr. Soebandi Jember

telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari :
Tanggal :

Jember, Maret 2019

TIM PEMBIMBING

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,

__________________________ _________________________
NIP.............................................. NIP............................................

ii
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN ASUHAN KEPERAWATAN

Laporan Asuhan Keperawatan berikut disusun oleh:


Nama : Pungki Wahyuningtyas
NIM : 182311101115
Judul : Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan HIV Di Ruang Sakura Rumah
Sakit Daerah Dr. Soebandi Jember

Telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada:


Hari :
Tanggal :

Jember, Maret 2019

Tim Pembimbing

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

......................................................... .......................................................
NIP ................................................ NIP.................................................

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN..........................................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN ASUHAN KEPERAWATAN...........................................iii
DAFTAR ISI................................................................................................................iv
A. Definisi..................................................................................................................1
B. Epidemiologi.........................................................................................................2
C. Etiologi..................................................................................................................3
D. Tanda dan Gejala.................................................................................................3
E. Patofosiologi dan Clinical Pathway......................................................................5
F. Pemeriksaan Penunjang......................................................................................8
G. Penatalaksanaan Medis....................................................................................9
H. Penatalaksanaan Keperawatan.....................................................................10
a. Diagnosa Keperawatan yang Sering Muncul (Herdman, 2018)...................10
b. Perencanaan/ Nursing Care Plan...................................................................10
Daftar Pustaka.............................................................................................................14
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS KELOLAAN....................................................15
A. Pengkajian..........................................................................................................15
B. Problem List........................................................................................................15
C. Rumusan Diagnosa Keperwatan.......................................................................15
D. Perencanaan/ Nursing Care Plan.......................................................................15
E. Catatan Keperawatan/ Nursing Note................................................................15
F. Catatan Perkembangan/ Progress Note............................................................15

iv
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Definisi
HIV (Human Imunodefficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang/
menginfeksi sel darah putih sehingga menurunkan kekebalan tubuh manusia.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah sekumpulan gejala
penyakit yang timbul karena turunnya kekebalan tubuh karena turunnya kekebalan
tubuh yang disebabkan infeksi HIV (Kemenkes RI, 2016). Akibat menurunnya
kekebalan tubuh maka seseorang dapat dengan mudah terserang berbagai penyakit
(infeksioportunistik) yang dapat berakibat fatal. Orang dengan HIV memerlukan
pengobatan Antiretroviral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam
tubuh, sedangkan orang dengan AIDS juga memerlukan ARV untuk mencegah
terjadinya infeksi oportunistik dan komplikasinya (Kemenkes RI, 2014). Infeksi
HIVpaling sering terjadi pada kelompok usia 25-49 tahun, kemudian diikuti oleh
kelompok 20-24 tahun. (Kemenkes RI, 2014)
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus milik keluarga
lentivirus. Retrovirus dapat menggunakan RNA dan DNA inang untuk membuat
DNA virus dan dikenal karena masa inkubasinya yang lama. Seperti retrovirus
lainnya, HIV menginfeksi tubuh, memiliki masa inkubasi yang lama (latensi
klinis), dan pada akhirnya menyebabkan tanda dan gejala penyakit yang disebut
AIDS. HIV menyebabkan kerusakan pada sistem kekebalan dan akhirnya
menghancurkannya dengan menggunakan DNA sel CD4+ untuk mereplikasi
dirinya sendiri. Dalam proses itu, virus akhirnya menghancurkan sel CD4+
(Calles, 2016). Sel CD4 sering disebut sel-T, limfosit-T, atau sel pembantu.
Jumlah CD4 seseorang yang tidak memiliki HIV dapat berkisar antara 500 dan
1500. Orang yang hidup dengan HIV yang memiliki jumlah CD4 di atas 500
biasanya dalam kondisi kesehatan yang cukup baik. Orang yang hidup dengan
HIV yang memiliki jumlah CD4 di bawah 200 berisiko tinggi mengembangkan
penyakit. Pengobatan HIV direkomendasikan untuk semua orang yang hidup
dengan HIV. Jika seseorang memiliki HIV dan tidak menggunakan pengobatan

1
HIV, jumlah CD4 Anda akan menurun seiring waktu. Semakin rendah jumlah
CD4, semakin besar kerusakan sistem kekebalan dan semakin besar risiko
penyakit (Samiadi, 2017).
Sistem imun melindungi tubuh dengan mengenali antigen yang menyerang
bakteri dan virus yang bereaksi terhadapnya. Antigen adalah zat apa pun yang
menginduksi sensitivitas dan respons imun. Proses ini menghancurkan antigen,
yang memungkinkan tubuh bebas dari infeksi. Jenis-jenis antigen termasuk
bakteri, virus, jamur, dan parasit. Ketika sistem imun melemah akan dihancurkan
oleh virus seperti HIV, tubuh akan dibiarkan rentan terhadap infeksi. Sistem imun
terdiri dari organ dan jaringan limfoid, termasuk sumsum tulang, kelenjar timus,
kelenjar getah bening, limpa, amandel, kelenjar gondok, usus buntu, darah, dan
pembuluh limfatik (Calles, 2016).

Gambar 1.1 Organ sistem imun (Calles, 2016)

2
Gambar 1.2 Struktur HIV (Calles, 2016)

HIV terdiri dari pusat silinder yang dikelilingi oleh amplop bilayer lipid berbentuk
bola. Ada dua glikoprotein virus utama dalam lipid bilayer ini, gp120 dan gp41. Fungsi
utama protein ini adalah memediasi pengenalan sel CD4 + dan reseptor kemokin,
sehingga memungkinkan virus untuk menempel dan menyerang sel CD4 +. Bola dalam
berisi dua salinan tunggal dari bahan genomik, RNA, serta beberapa protein dan enzim
yang diperlukan untuk replikasi dan pematangan HIV, reverse transkriptase, integrase,
dan protease. Tidak seperti retrovirus lainnya, HIV menggunakan sembilan gen untuk
mengkode protein dan enzim yang diperlukan. Tiga gen utama adalah gag, pol, dan env.
Gen gag mengkode protein inti. Gen pol mengkode enzim reverse transcriptase, protease,
dan integrase. Gen env mengkode komponen struktural HIV yang dikenal sebagai
glikoprotein. Sisa gen —rev, nef, vif, vpu, vpr, dan tat — penting untuk replikasi virus
dan meningkatkan tingkat infektivitas HIV (Calles, 2016).

B. Epidemiologi
Pada tahun 2013, Di seluruh dunia terdapat 35 juta orang hidup dengan HIV
yang meliputi 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak berusia <15 tahun. Jumlah
infeksi baru pada tahun 2013 sebanyak 2,1 juta yang terdiri dari 1,9 juta dewasa
dan 240.000 anak berusia <15 tahun,dengan kematian akibat AIDS sebanyak 1,5
juta orang. Di indonesia, pertama kali ditemukan di Bali tahun 1987. Sampai saat
ini, HIV/ AIDS telah menyebar di 386 kabupaten/ kota di indonesia. Jumlah
kumulatif penderita HIV dari tahun 1987 sampai September 2014 sebanyak
150.296 orang, sedangkan kumulatif kasus AIDS sebanyak 55.799 orang
(Kemenkes RI, 2014). Dari keseluruhan penderita HIV/AIDS yang ditemukan di

3
Kabupaten Jember pada tahun 2016, sebanyak 567 penderita mendapatkan
penanganan/perawatan di unit pelayanan kesehatan. Dari data tersebut 107
diantara positif menderita AIDS (Dinkes, 2017). Pada bulan Januari sampai
dengan Maret 2017 jumlah infeksi HIV yang dilaporkan sebanyak 10.376 orang
dan AIDS sebanyak 673 orang. Presentase infeksi pada kelompok umur 25- 49
tahun (69,6%), 20-24 tahun (17,6%), dan >50 tahun (6,7%) (Kemenkes RI, 2017).

C. Etiologi
HIV dapat menular melalui (Kemenkes RI, 2014):
a) Berhubungan seks yang memungkinkan darah, air mani, atau cairan vagina dari
orang terinfeksi HIV masuk ke aliran darah orang yang belum terinfeksi (yaitu
hubungan seks yang dilakukan tanpa kondom melalui vagina atau dubur; juga
melalui mulut, walau dengan kemungkinan lebih kecil).
b) Memakai jarum suntik secara bergantian dengan orang lain yang terinfeksi
HIV.
c) Menerima transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV.
d) Dari ibu terinfeksi HIV ke bayi dalam kandungan, waktu melahirkan, dan jika
menyusui sendiri.

Menurut WHO (2017), populasi kunci penderita HIV/AIDS adalah sebagai


berikut:
1. WPS, yaitu perempuan yang berusia 15 tahun ke atas yang menerima uang
atau barang untuk ditukar dengan seks penetratif dalam jangka waktu 12
bulan terakhir
2. LSL, yaitu orang yang secara biologis adalah laki-laki berusia 15 tahun ke
atas yang berhubungan seks dengan laki-laki lain dalam jangka waktu 12
bulan terakhir
3. Penasun, yaitu laki-laki atau perempuan berusia 15 tahun ke atas yang
menyuntikkan zat obatobatan yang masuk dalam golongan narkotika
dalam jangka waktu 12 bulan terakhir
4. Waria, yaitu orang yang secara biologis laki-laki berusia 15 tahun ke atas
yang mengidentifikasi gendernya sebagai perempuan

D. Tanda dan Gejala

4
Tanda gejala HIV menurut Kemenkes RI (2015) adalah sebagai berikut:
1. Fase I: masa jendela (window period) yaitu ketika tubuh sudah terinfeksi HIV,
namun pada pemeriksaan darahnya masih belum ditemukan antibodi anti-HIV.
Pada masa jendela yang biasanya berlangsung sekitar dua minggu sampai tiga
bulan sejak infeksi awal ini, penderita sangat mudah menularkan HIV kepada
orang lain. Sekitar 30-50% orang mengalami gejala infeksi akut berupa demam,
nyeri tenggorokan, pembesaran kelenjar getah bening, ruam kulit, nyeri sendi,
sakit kepala, bisa disertai batuk seperti gejala flu pada umumnya yang akan
mereda dan sembuh dengan atau tanpa pengobatan. Fase “flu-like syndrome” ini
terjadi akibat serokonversi dalam darah, saat replikasi virus terjadi sangat hebat
pada infeksi primer HIV.
2. Fase II: masa laten yang bisa tanpa gejala/tanda (asimtomatik) hingga gejala
ringan. Tes darah terhadap HIV menunjukkan hasil yang positif, walaupun gejala
penyakit belum timbul. Penderita pada fase ini penderita tetap dapat menularkan
HIV kepada orang lain. Masa tanpa gejala rata-rata berlangsung selama 2-3 tahun;
sedangkan masa dengan gejala ringan dapat berlangsung selama 5-8 tahun,
ditandai oleh berbagai radang kulit seperti ketombe, folikulitis yang hilangtimbul
walaupun diobati.
3. Fase III: masa AIDS merupakan fase terminal infeksi HIV dengan kekebalan
tubuh yang telah menurun drastis sehingga mengakibatkan timbulnya berbagai
infeksi oportunistik, berupa peradangan berbagai mukosa, misalnya infeksi jamur
di mulut, kerongkongan dan paru-paru. Infeksi TB banyak ditemukan di paru-paru
dan organ lain di luar paru-paru. Sering ditemukan diare kronis dan penurunan
berat badan sampai lebih dari 10% dari berat awal.

Sedangkan menurut WHO, tanda dan gejala pada orang dengan HIV/ AIDS
adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2015).

5
E. Patofosiologi dan Clinical Pathway
Pada saat infeksi primer HIV adalah ketika HIV memasuki tubuh untuk
pertama kali yang terdapat banyak virus di dalam darah. Jumlah salinan virus per
mililiter plasma atau darah dapat melebihi 1 juta. Orang dewasa yang baru
terinfeksi sering mengalami sindrom retroviral akut. Pada awal masa fase klinis 1,
tubuh menghasilkan antibodi untuk melindungi dari HIV. Ini adalah ketika "titik
set viral" didirikan. Viral load pada titik yang ditetapkan dapat digunakan untuk
memprediksi seberapa cepat perkembangan penyakit akan terjadi. Orang dengan
titik set viral load yang lebih tinggi cenderung menunjukkan pengembangan
penyakit yang lebih cepat daripada mereka dengan titik set viral load yang lebih
rendah, fase ini dapat berlangsung 8-10 tahun. Uji imunosorben terkait-enzim
HIV dan uji Western blot atau imunofluoresensi akan positif. Jumlah CD4 + dapat
mencapai lebih dari 500 pada anak-anak di atas usia 5 tahun. Pada tahap klinis 2,
gejala infeksi HIV mulai muncul berupa kandidiasis, limfadenopati, molluscom

6
contagiosum, hepatosplenomegali yang persisten, erupsi pruritus populer, herpes
zoster, dan neuropati perifer, viral load meningkat, dan jumlah CD4 turun antara
350-499 / uL. Pada fase klinis 3, pasien yang terinfeksi HIV dengan sistem
kekebalan yang lemah dapat mengalami perkembangan penyakit
cryptosporidiosis, tuberkulosis paru dan kelenjar getah bening, demam lebih dari
satu bulan, kandidasis persisten, dan infeksi oportunistik lainnya. Pasien juga
dapat mengalami kehilangan berat badan. Viral load mereka terus meningkat, dan
jumlah CD4 turun menjadi kurang dari 200-349 /uL. Pada fase klinis 4, terjadi
perkembangan penyakit karena rendahnya sistem kekebalan tubuh dan jumlah
CD4 kurang dari 200 /uL (Calles, 2016).

7
Clinical Pathway Seks bebas, transfusi darah, Invasi ke saluran Merusak mukosa Nafsu makan
jarum suntik gastrointestinal gastrointestinal Mual menurun

Sel imun menurun HIV masuk dan menginfeksi Diare Peristaltik usus Nutrisi tidak
tubuh meningkat adekuat

Risiko infeksi Kekurangan


Pengeluaran cairan
Merusak sel yang rentan volume cairan Ketidakseimbangan
berlebih
AIDS nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh
Sel kulit rusak, ada Gatal dan
Muncul lesi, herpes bersisikdigaruk
Kekurangan energi
Nyeri Kelelahan
Perubahan status Khawatir Turgor kulit jelek
kesehatan terhadap
penyakit
Ketidakefektifan perfusi
Hospitalisasi
Kecemasan jaringan perifer

Pengobatan yang lama dan Stres jangka panjang,


Keputusasaan
tidak kunjung sembuh kehilangan kepercayaan

8
F. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Uji Imunologi
Uji imunologi bertujuan untuk menemukan adanya respon antibodi terhadap HIV
dan juga digunakan sebagai test skrining.
a. Test ELISA
Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA), merupakan uji penapisan infeksi HIV
yaitu suatu tes untuk mendeteksi adanya antibody yang dibentuk oleh tubuh terhadap
virus HIV. ELISA memiliki sensitifitas yang tinggi, yaitu > 99,5%. Dianjurkan agar
pemeriksaan ELISA dilakukan setelah setelah minggu ke 12 setelah seseorang
dicurigai terpapar ( beresiko) untuk tertular virus HIV,misalnya aktivitas seksual
berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA dapat
dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau urine.
b. Radioimmunoassay (RIA)
Prinsip dasar dari RIA adalah reaksi suatu antibody dalam konsentrasi yang terbatas
dengan berbagai konsentrasi antigen.
c. Imunokromatografi/ Rapid Test
a) Reaksi langsung (Double AntibodySandwich)
b) Reaksi kompetitif (Competitive inhibition)
Prosedur pemeriksaan untuk HIV menggunakan strategi 3 dan selalu didahului
dengan konseling pra tes atau informasi singkat. Ketiga tes tersebut dapat
menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. Untuk pemeriksaan pertama
(A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk
pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi
(≥99%). Antibodi biasanya baru dapat terdeteksi dalam waktu 2 minggu hingga 3
bulan setelah terinfeksi HIV yang disebut masa jendela. Bila tes HIV yang
dilakukan dalam masa jendela menunjukkan hasil ‘negatif’, maka perlu dilakukan
tes ulang, terutama bila masih terdapat perilaku yang berisiko.
Tabel 5. Interpretasi dan tindak lanjut hasil tes A1

9
d. Wastern Blot
Pemeriksaan Western Blot merupakan uji konfirmasi dari hasil reaktif ELISA atau
hasil serologi rapid tes sebagai hasil yang benar-benar positif.
e. Indirect Fluorescent Antibody (IFA)
IFA juga merupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif. Uji ini sederhana untuk
dilakukan dan waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dan sedikit lebih mahal dari uji
Western blot.
2) Uji Virologi
Tes virologi untuk diagnosis infeksi HIV-1 meliputi kultur virus, tes amplifikasi asam
nukleat / nucleic acid amplification test (NAATs) , test untuk menemukan asam
nukleat HIV-1 seperti DNA atau RNA HIV-1 dan test untuk komponen virus (seperti
uji untuk protein kapsid virus (antigen p24), dan PCR test.

G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada pasien dengan HIV/ AIDS menurut Kemenkes
RI (2016) adalah pemberian dosis pertama PPP (Profilaksis Pasca Pajanan)
secepat mungkin setelah pajanan dalam waktu tidak lebih dari 3 kali 24 jam, dan
jika perlu, tanpa menunggu konseling dan tes HIV atau hasil tes dari sumber
pajanan. Strategi ini digunakan jika yang memberikan perawatan awal adalah
bukan ahlinya, tetapi selanjutnya dirujuk segera kepada dokter ahli.
Setiap tatalaksana pajanan berisiko harus dilakukan tindak lanjut yaitu:
1. Evaluasi laboratorium, termasuk tes HIV pada saat terpajan dan 6 minggu, 3
bulan, dan 6 bulan setelahnya; tes HbsAg bagi yang terpajan dengan risiko
Hepatitis B
2. Pencatatan

10
3. Follow-up dan dukungan, termasuk tindak lanjut klinis atas gejala infeksi HIV,
Hepatitis B, efek samping obat PPP, konseling berkelanjutan untuk kepatuhan
terapi ARV.
Pengobatan untuk pasien dengan HIV pada remaja dan dewasa
menggunakan Tenofovir (TDR), Lamivudin (3TC), Emtricitabin (FTC),
Zidovudin (AZT), dan Lopinavis/ Ritonavir (LPV/r). Sedangkan pada anak (≤ 10
tahun) menggunakan AZT, 3TC, LPV/r, atau dapat menggunakan EFV/ NVP.

H. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Diagnosa Keperawatan yang Sering Muncul (Herdman, 2018)
1. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh
2. Diare
3. Mual
4. Kekurangan volume cairan
5. Kelelahan
6. Nyeri
7. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
8. Risiko infeksi
9. Kecemasan
10. Keputusasaan
b. Perencanaan/ Nursing Care Plan
NO. Masalah Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Ketidakseimba Setelah dilakukan perawatan Manajemen Nutrisi
ngan nutrisi: selama 3 x 24 jam masalah 1. Temukan status gizi
kurang dari ketidakseimbangan nutrisi: pasien dan
kebutuhan kurang dari kebutuhan tubuh kemamampuan pasien
tubuh teratasi dengan kriteria hasil: untuk memenuhi
1. Menunujukkan kebutuhan gizi
peningkatan/ 2. Observasi dan catat
mempertahankan berat masukkan nutrisi
badan dengan nilai normal. pasien
2. Tidak mengalami tanda 3. Atur diet yang
mal nutrisi. diperlukan (misalnya
3. Nutrisi adekuat protein tinggi,
4. Hidrasi tidak menambah atau
menyimpang dari rentang mnegurangi kalori)

11
normal 5. Observasi dan catat
kejadian mual/muntah,
flatus dan dan gejala
lain yang berhubungan
2. Diare Setelah dilakukan perawatan - Manajemen diare
selama 2 x 24 jam masalah - Monitor cairan
diare teratasi dengan kriteria 1. Evaluasi kandungan
hasil: nutrisi dan makanan
1. Pola eliminasi normal yang dikonsumsi
2. BAB mudah 2. Anjurkan pasien
3. Bising usus 5-16 x/ menit menghindari
4. Feses lembut dan makanan pedas
berbentuk 3. Monitor asupan dan
pngeluaran
4. Monitor membran
mukosa, turgor kulit,
dan respon haus
5. Berikan terapi
cairan
3. Mual Setelah dilakukan perawatan - Monitor nutrisi
selama 1 x 24 jam masalah - Manajemen mual
mual teratasi dengan kriteria 1. Monitor turgor kulit
hasil: 2. Monitor diet dan
1. Nafsu makan normal asupan kalori
2. Pasien dapat mengontrol 3. Identifikasi
mual muntah perubahan nafsu makan
3. Pasien merasa nyaman 4. Dorong pasien untuk
belajar strategi
mengatasi mual
5. Ajarkan teknik
akupresur untuk
mengurangi mual
6. Beri dorongan untuk
makan sedikit- sedikit
namun sering
4. Kekurangan Setelah dilakukan perawatan - Monitor Cairan
volume cairan selama 3 x 24 jam masalah - Manajemen
kekurangan volume cairan Elektrolit
teratasi dengan kriteria hasil: 1. Monitor membran
1. Tekanan darah 120/ 80 mukosa, turgor kulit
mmHg dan respon haus
2. Nadi radial 60 - 100 2. Monitor warna,
denyut per menit kuantitas, dan berat
3. Turgor kulit <2 detik jenis urin
4. Haus tidak ada 3. Berikan cairan
5. Warna urin kuning dengan tepat

12
4. Konsultasikan pada
dokter jika pengeluaran
urin kurang dari 0,5
ml/kg/jam atau asupan
cairan orang dewasa
5. Berikan diet sesuai
dengan kondisi
ketidakseimbangan
elektrolit pasien
6. Konsultasikan
dengan dokter jika
tanda-tanda dan gejala
ketidakseimbangan
cairan dan atau
elektrolit menetap atau
memburuk

5. Kelelahan Setelah dilakukan perawatan Terapi Aktivitas


selama 2 x 24 jam masalah
kelelahan teratasi dengan 1. Pertimbangakn
kriteria hasil: kemampuan klien
1. Tidak ada kelelahan dalam berpartisipasi
2. Selera makan baik melalui aktivitas fisik
3. Nyeri tidak ada 2. Kolaborasi dengan
4. Perawat/keluarga dapat fisioterapis
membantu pasien dalam 3. Bantu klien
melakukan aktivitas dan memperoleh
pemenuhan ADL pasien transportasi untuk dapat
5. Pasien dapat melakukan mengikuti aktivitas
aktivitas dengan optimal 4. Bantu klien untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang mampu
dilakukan
5. Bantu klien dan
keluarga
mengidentifikasi
kelemahan yang terjadi

6. Nyeri Setelah dilakukan perawatan - Terapi relaksasi


selama 2 x 24 jam masalah - Pemberian
nyeri teratasi dengan kriteria analgesik
hasil:
1. Lakukan pengkajian
1. Pasien dapat mengenali
nyeri secara
kapan nyeri terjadi
2. Pasien mampu komprehensif
(lokasi,

13
menyampaikan faktor karakteristik, durasi,
penyebab nyeri dan intensitas nyeri)
3. Mampu menyampaikan 2. Observasi adanya
tanda dan gejala nyeri petunjuk nonverbal
4. Penurunan skala nyeri nyeri
5. Ekspresi wajah tidak
3. Pastikan analgesik
mengerang dan meringis
dipantau dengan
kesakitan
ketat
6. Nyeri terkontrol
4. Gambarkan rasional
dan manfaat
relaksasi seperti
nafas dalam dan
musik
5. Dorong pasien
mengambil posisi
nyaman
Sumber: (Moorhead, 2013) & (Bulechek, 2013)

14
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G & Butcher, H. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Edisi


6. Elsevier.
Calles, N. 2016. Pathophysiology of the human immunodeficiency virus. 7–14.
Dinkes. 2017. Profil kesehatan kabupaten jember tahun 2016
Herdman, T. 2018. NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi Dan Klasifikasi
2018-2020. Edisi 11. Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. 2014. Situasi Dan Analisis HIV AIDS. 2014.
Kemenkes RI. 2015. Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV Dan
Sifilis Dari Ibu Ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan
Kemenkes RI. 2016. Program pengendalian hiv aids dan pims di fasilitas
kesehatan tigkat pertama
Kemenkes RI. 2017. Laporan perkembangan hiv- aids & penyakit infeksi menular
seksual (pms) triwulan i tahun 2017
Moorhead, S. 2013. Nursing Outcome Classification (NOC). Edisi 5. United
Kingdom: Elsevier.
Samiadi, L. 2017. CD4. 1.
WHO. 2017. Kajian epidemiologi hiv indonesia 2016. 1–66.

15

Anda mungkin juga menyukai