BAB 1 PENDAHULUAN
(Effendi, Z. 2003).
Respon inflamasi dapat dikontrol dengan cara menghambat enzim
siklooksigenase (Kusumastuti dkk, 2014). Jika enzim siklooksigenase terhambat,
jumlah neutrofil akan mengalami penurunan. Sebaliknya jika tidak dihambat akan
mengalami kenaikan jumlah neutrofil. Penelitian terbaru membuktikan adanya
tumbuhan yang dapat menghambat enzim siklooksigenase. Salah satunya adalah
kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) (Pribadi, 2014).
Bagian dari buah naga yang sering digunakan masyarakat Indonesia adalah
daging buahnya, sedangkan kulitnya di buang sebagai sampah yang menyebabkan
peningkatan limbah organik (Nurussakinah, 2010). Oleh karena itu, masyarakat
harusnya dapat mengolah limbah kulit buah naga merah karena kulit buah naga
merah memiliki manfaat yang sangat banyak (Wahida, 2018)
Kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) memiliki manfaat dalam
bidang farmakologi, salah satunya untuk anti inflamasi. Hal ini diduga karena
kandungan aktif kulit buah naga merah antara lain flavonoid, antosianin, fenol,
tanin, saponin dan vitamin C. Flavonoid dapat menghambat jalur siklooksigenase
dan lipooksigenase pada metabolisme asam arakhidonat sehingga menyebabkan
sintesis mediator radang ( prostagladin, tromboksan, leukotrin ) terhambat. Hal
itu bisa ditandai dengan penurunan jumlah sel neutrofil (Pribadi, 2014). Menurut
penelitian Puspitasari (2017), ekstrak kulit buah naga merah dapat menurunkan
kadar Interleukin-6 dengan dosis optimal sebesar 1 mg/g BB mencit yang
diberikan secara per oral . Pada penelitian Andhini (2016), kandungan tanin dan
flavonoid pada gel ekstrak kulit buah naga merah terbukti memiliki efek dapat
mempercepat penyembuhan luka yang ditandai adanya peningkatan jumlah sel
fibroblas.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk menguji pengaruh
ekstrak kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) ditinjau dari jumlah
neutrofil pada soket gigi tikus wistar jantan (Rattus norvegicus strain wistar).
Diharapkan ekstrak kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) dapat dipakai
sebagai alternatif antiinflamasi, yang di tandai dengan penurunan jumlah
neutrofil.
3
Pencabutan gigi yang ideal yaitu penghilangan seluruh gigi atau akar gigi
dengan minimal trauma atau nyeri yang seminimal mungkin sehingga jaringan
yang terdapat luka dapat sembuh dengan baik dan masalah prostetik setelahnya
yang seminimal mungkin. Pencabutan gigi dibutuhkan pada kondisi kondisi
seperti karies yang parah dan gigi tidak bisa dipertahankan, pulpitis, periodontitis
periapikal, perikoronitis, fraktar akar gigi, fraktur rahang, retainer primary teeth,
keadaan patologis yang lain seperti kista, masalah ortodontik, dan kebutuhan
perawatan prostodontik (Permatasari dkk , 2012) .
rasa sakit dengan trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga
bekas pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak terdapat masalah
prostetik di masa mendatang. Untuk mencapai tujuan tersebut dan menghindari
komplikasi yang mungkin timbul pada pencabutan gigi haruslah mengetahui
indikasi dan kontraindikasi dari pencabutan gigi. Indikasi pencabutan gigi sangat
bervariasi dan bermacam-macam. Menurut Andersson (2010) indikasi
dilakukannya pencabutan gigi adalah Keterlibatan gigi dengan penyakit
peridontal yang parah, karies pada gigi yang besar, kelainan pada pulpa dimana
terapi endodontik tidak dapat dilakukan, kelainan pada apikal gigi, keperluan
ortodonti dan prostodonti, gigi impaksi, gigi supernumerary, gigi fraktur yang
tidak dapat direstorasi, kondisi ekonomi mencukupi.
Sedangkan kontraindikasi dari pencabutan gigi meliputi pasien yang
mempunyai penyakit sistemik yang tidak terkontrol, namun jika pasien
mempunyai penyakit sistemik terkontrol dapat di lakukan eksodonsia. Eksodonsia
dapat dilakukan dengan syarat pasien sudah berada dalam pengawasan dokter ahli
dan penyakit yang menyertainya bisa dikontrol dengan baik. Hal tersebut penting
untuk menghindari terjadinya komplikasi pencabutan gigi. Selain penyakit
sistemik, infeksi perikoronal akut, Infeksi gingiva akut, pasien yang menjalani
terapi kortikosteroid dan antikoagulan, pasien dengan kelainan sistem kekebalan
tubuh, pasien dengan penyakit tumor ganas tulang dan jaringan lunak rongga
mulut, pasien dengan kelainan darah, dan pasien dengan kelainan pada hati
(Andersson, 2010).
darah putih kedalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan gambaran utama
reaksi inflamasi akut. Kemudian sel darah putih memfagosit bahan yang bersifat
asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis dan enzim lisosom yang
terdapat didalamnya membantu pertahanan tubuh (Robbins dkk., 2007).
Setelah proses hemostasis dapat dipertahankan, prostaglandin akan
memediasi reaksi vasokonstriksi menjadi periode vasodilatasi yang menetap.
Prostaglandin terbentuk melalui metabolisme asam arakidonat melalui jalur
siklooksigenase yang diawali dengan pembentukan suatu endoperoksida siklik
prostaglandin (PGG 2), yang kemudian dikonversi menjadi prostaglandin H2
(PGH 2) oleh peroksidase. PGH2 bersifat sangat tidak stabil dan merupakan
prekursor hasil akhir jalur siklooksigenase. Prekursor tersebut adalah prostosiklin
PGL2, PGD2, PGE2, PGF2, tromboksan (TXA2) yang masing-masing dibentuk
dari PGH2 oleh pengaruh enzim yang khas. Beberapa enzim ini terdapat terbatas
pada jaringan-jaringan tertentu. Asam arakidonat tidak hanya membentuk
prostaglandin namun juga melakukan proses pada jalur lipoksigenase untuk
membentuk bahan-bahan proinflamasi yang kuat sudah terbukti. Lipoksigenase
ialah enzim utama neutrofil. Derivat 5-hidroperoksida AA yang disebut 5-HPETE
sangat tidak stabil dan direduksi menjadi 5-HETE (yang bekerja kemotaksis untuk
neutrofil) atau diubah menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrin.
8
Sitokin dan growth factors yang disekresikan saat fase inflamasi akan
menstimulasi fase proliferase. Fase ini paling cepat terjadi 3 hari setelah luka
terjadi dan dapat berlangsung sampai 3 minggu. Fase proliferasi ditandai dengan
pembentukan jaringan granulasi yang berisi sel inflamasi, fibroblas, dan
pembuluh darah muda yang tertutup dalam matriks yang longgar (Miloro, 2004)
Hal pertama yang terjadi adalah pembentukan mikro vaskularisasi
(angiogenesis) untuk menyuplai oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk
metabolisme pembentukan jaringan. Pada saat yang bersamaan, fibroblas
bermigrasi ke daerah luka akibat dari respons sitokin dan growth factor yang
dilepaskan oleh sel inflamasi dan jaringan yang terluka. Fibroblas akan mulai
mensintesis matriks ekstraseluler baru dan kolagen yang belum matang (tipe III).
Serabut kolagen yang baru berfungsi untuk mendukung pembentukan pembuluh
darah baru. Fibroblas yang terstimulasi juga akan menghasilkan growth factor,
sehingga menghasilkan siklus umpan balik dan mempertahankan proses
perbaikan (Miloro, 2004).
Pada permukaan dermal, epitelium baru terbentuk untuk menutup
permukaan luka. Proses re-epitelisasi akan terjadi lebih cepat pada luka yang
berada di mukosa mulut daripada di kulit. Sel epidermal berasal dari tepi-tepi luka
dan mengalami proliferasi dan menutupi luka (Miloro, 2004).
Hal tersebut akan meninggalkan bekas luka yang dikenal dengan jaringan parut
(Miloro, 2004; Robbins, 2007)
2.3 Neutrofil
Neutrofil merupakan limfosit polimorfonuklear yang dihasilkan setiap hari
dalam jumlah yang besar oleh tubuh. Neutrofil menyusun 60- 70% dari seluruh
leukosit dalam darah. Nukleus yang multi lobulus membantu neutrofil bergerak
melalui celah sempit yang terbentuk diantara sel-sel lain atau di dalam pori-pori
sempit matriks ekstraseluler (Gambar 2.1) (Anthony, 2010). Neutrofil dikatakan
sebagai sel efektor yang cepat dan berumur pendek dari sistem imun, yang
berperan sebagai fagosit aktif dari bakteri dan partikel kecil lainnya. Neutrofil
merupakan leukosit pertama yang tiba di tempat infeksi, dimana secara aktif
mengejar bakteri secara kemotaksis. Selain itu, neutrofil juga berfungsi untuk
merekrut sel efektor lain (Selders, 2017).
Neutrofil dihasilkan di sumsum tulang sebanyak 1-2 X 1011 sel per- hari
pada orang dewasa normal. Produksi neutrofil dikendalikan oleh granulocyte
colony stimulating factor (G-CSF) yang merupakan glikoprotein. G-CSF
mempengaruhi kelangsungan hidup, proliferasi, diferensiasi, dan fungsi dari
neutrofil yang telah matang. Neutrofil yang telah matang, disimpan di dalam
sumsum tulang. Saat terjadi inflamasi, neutrofil akan dimobilisasi dengan cepat
selama tahap inflamasi atau sebagai respons terhadap infeksi sehingga terjadi
peningkatan jumlah neutrofil dalam peredaran darah. Neutrofil akan bermigrasi
dari sumsum tulang ke dalam peredaran darah melalui endotel secara trans-
seluler. Respons mobilisasi neutrofil dari sumsum tulang, kemudian ke peredaran
darah, dan ke jaringan tempat terjadinya inflamasi, dipengaruhi oleh mediator-
mediator inflamasi yang disebut dengan chemokines (Furze, 2008).
Daerah yang ter-inflamasi akan mengeluarkan mediator - mediator
inflamasi sehingga neutrofil mengenali tempat terjadinya inflamasi. Neutrofil
akan berikatan dengan endotel dan bergerak ektravasasi menuju tempat inflamasi.
Ekstravasasi neutrofil dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu menggulir, aktivasi oleh
chemokines, adhesi, dan mingrasi transendotel (Baratawidjaja, 2014).
Pencegahan kerusakan jaringan sehat oleh neutrofil setelah respons
13
inflamasi yang berhasil perlu diperhatikan. Neutrofil yang berada di tempat luka
akan melakukan nekrosis yang nantinya akan di fagosit oleh makrofag. Namun,
tidak semua neutrofil melakukan nekroris. Neutrofil mampu kembali dan
melakukan apoptosis di dalam peredaran darah yang nantinya akan berakhir di
hati, limpa, atau sumsum tulang. Apabila tidak terjadi inflamasi, maka neutrofil
akan berada di dalam peredaran darah namun dengan jumlah yang sedikit dan
memiliki umur antara 5 – 6 jam. Setelah itu neutrofil akan melakukan apoptosis
dengan sendirinya (Oliveira, 2016).
(Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Gambaran neutrofil pada hapusan darah. Terlihat neutrofil yang
memilki 4 lobulus yang ditunjuk oleh anak panah. (Sumber: Junqueira’s Basic
Histology: Text and Atlas 12th edition.)
Tebal dari membran sel neutrofil yaitu 7,5-10 nanometer dan memiliki
fungsi sebagai baries semipermiabel yang memungkinkan molukul yang
berukuran kecil dapat keluar masuk ke dalam sel. Perkiraan komposisi dari
14
membran sel neutrofil adalah protein 55%, fosfolipid 25%, kolesterol 13%, lipid
lain 4%, dan karbohidrat 3%. Molekul penyusun utama membran sel adalah
fosfolipid yang terdiri dari bagian kepala yang polar (hidrofilik) dan dua ekor
non polar (hidrofobik). Fosfolipid ini tersusun oleh bagian nonpolar yang
membentuk hidrofobik yang diapit oleh daerah kepala pada bagia dalam dan luar
membran (Guyton dan Hall, 2008). Penelitian oleh Pawestri (2015) mengatakan
bahwa gambaran neutrofil pada tikus Wistar memiliki gambaran yang mirip
dengan neutrofil pada manusia. Terlihat gambaran neutrofil yang multilobuler
pada potongan preparat jaringan soket tikus pasca ekstrasi pada pembesaran
1000x
(Gambar 2.3)
Gambar 2.3 Terlihat gambaran neutrofil tikus menggunakan pembesaran
1000x yang ditunjuk anak panah. (Sumber: Pengaruh Ekstrak Thymoquinone
Jintan Hitam (Nigella sativa) Terhadap Jumlah Neutrofil Pada Soket Tikus
Pasca Pencabutan Gigi Disertai Trauma Jaringan)
Neutrofil merupakan sel yang predominant dalam waktu satu jam pertama
pada daerah luka akibat dari respons inflamasi. Dalam keadaan normal, neutrofil
dapat bertahan selama 24 jam atau kurang. Setelah mencapai jaringan yang luka,
umur neutrofil akan diperpanjang secara sendirinya. Neutrofil akan berada
didalam jaringan kurang lebih 3 hari setelah terjadinya luka yang menjadikan
neutrofil sebagai sel yang paling penting pada respons inflamasi akut untuk
membersihkan debris pada jaringan luka melalui fagositosis (Mantovani, 2011).
15
(Selders, 2017).
Penelitian oleh Hazeldine pada tahun 2014 menunjukkan bahwa inflamasi
post-trauma yang berlebihan dapat mengakibatkan neutrofil menjadi
overactivated atau tidak berfungsi. Akibatnya, neutrofil akan mensekresikan
profil sitokin yang berubah dan meningkatkan produksi ROS (Reactive Oxygen
Species). Hal tersebut akan memperparah kerusakan jaringan dan bahkan merusak
jarimgan sehat disekitarnya. Peningkatan jumlah dan umur neutrofil di lokasi luka
akabat adanya rekrutmen yang terus menerus dan penghambatan apoptosis juga
dapat memperpanjang dan memperparah respons inflamasi (El Kebir, 2013).
namun pada saat hujan deras yang berkepanjangan, tanaman buah naga akan
mengalami kerusakan yang ditandai dengan proses pembusukan akar yang
terlalu cepat dan merambat sampai ke pangkal batang karena tidak tahan
terhadap genangan air (Kristanto, 2009)
Budidaya tanaman buah naga merah berada di dataran rendah sampai
medium yang berkisar 0m - 500m dari permukaan laut, dengan jarak yang
ideal adalah kurang dari 400 mdpl. Pada ketinggian daerah di atas 500 m
permukaan laut, buah naga merah masih dapat tumbuh dengan baik dan
berbuah, hanya saja buah yang dihasilkan tidak lebat dan rasa buah kurang
manis (Renasari, 2010).
Buah naga merah kaya akan nutrisi dan mineral seperti vitamin B l,
vitamin B2, vitamin B3, vitamin C, protein, lemak, karbohidrat, crude
fiber, flavonoid, tiamin, niasin, piridoksin, kobalamin, glukosa, fenolik,
betasianin, polifenol, karoten, fosfor, zat besi, dan fitoalbumin. Kandungan
serat, vitamin C, mineral, dan fitoalbumin dalam buah naga merah berperan
penting sebagai antioksidan (Jaafar, 2009).
Buah naga merah baik untuk dikonsumsi karena serta memiliki khasiat
dan manfaat terhadap kesehatan sebagai antioksidan, yaitu mencegah serangan
radikal bebas yang dapat menyebabkan penyakit kanker dan masalah kesehatan
lainnya, mengontrol gula darah terutama bagi penderita diabetes tipe 2,
menurunkan tekanan darah, menetralkan racun, menjaga kesehatan mata,
melancarkan pencernaan dan menurunkan berat badan. Buah naga merah juga
memiliki manfaat seperti menguatkan fungsi ginjal, tulang dan kecerdasan
otak, meningkatkan ketajaman mata, dan menguraikan kolestero l (Waladi,
2015).
2.4.1 Taksonomi
Buah naga yang dibudidayakan ada empat jenis, yaitu Hylocereus undatus
(kulit buah berwarna merah dengan daging buah putih), Hylocereus polyrhizus
(kulit buah berwarna merah muda dengan daging buah merah), Selenicereus
megalanthus (kulit buah kuning dengan daging buah putih), Hylocereus
18
costaricensis (kulit buah merah dengan warna daging buah yang sangat merah).
Namun jenis buah naga yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah
Hylocereus polyrhizus dan Hylocereus undatus (Manurung,2014).
Menurut Panjuantiningrum (2009), kedudukan taksonomi buah naga merah adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Hamamelidae
Ordo : Caryophyllales
Famili : Cactaceae
Genus : Hylocereus
Spesies : Hylocereus polyrhizus
(Gambar 2.4)
Buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) (Yuwono,2015)
buah naga merah tumbuh memanjat dan mempunyai duri pendek yang tidak
tajam. Bunganya seperti terompet putih bersih, terdiri atas sejumlah benang
sari berwama kuning. Buah naga merah termasuk golongan yang rajin berbuah,
namun tingkat keberhasilan bunga menjadi buah kecil hanya mencapai 50%,
sehingga produktivitas buahnya cenderung rendah (Jayanti, 2010;
Panjuantiningrum, 2009).
merah yang diekstraksi diperoleh hasil bahwa ekstrak kulit buah naga merah
(Hylocereus polyrhizus) mengandung flavonoid, fenol hidrokuinon, steroid,
triterpenoid, saponin dan tanin, sedangkan alkaloid tidak terdeteksi pada ekstrak
tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil reaksi yang diberikan, seperti pada
pengujian polifenol hasil reaksi menunjukan warna biru kehitaman, reaksi yang
diberikan pada pengujian flavonoid memberikan warna orange kekuningan, dan
reaksi yang diberikan pada pengujian steroid menunjukan hasil dengan warna
menjadi coklat.
Fenol hidrokuinon ++
Flavonoid ++
Triterpenoid ++
Steroid ++
Saponin ++
Tanin +
Alkaloid -
Tabel 2.1. Hasil uji kualitatif fitokimia ekstrak kulit buah naga merah. Tanda +/-
menyatakan keberadaan kandungan senyawa dalam ekstrak (Sumber : Manihuruk,
2016).
berbagai senyawa yang sukar larut dalam air. Penggunaan pelarut etanol dengan
konsentrasi diatas 70% mengakibatkan penurunan total flavonoid. Pelarut etanol
diatas 70% kurang efektif untuk melarutkan senyawa flavonoid yang memiliki
berat molekul rendah (Suhendra, 2019). Hal serupa juga dilaporkan pada ekstrak
Centella asiatica yang mengalami penurunan total flavonoid dengan perlakuan
konsentrasi diatas 70% (Chew, 2011). Selain itu, pelarut etanol 70% merupakan
pelarut universal yang dapat melarutkan semua senyawa organik dan terutama zat
yang ingin di larutkan yaitu senyawa flavonoid pada kulit buah naga merah.
Etanol 70% juga memiliki daya tarik zat aktif yang lebih baik karena bahan
pengotor yang terlarut terhitung sangat kecil dalam cairan ekstrasi.
Pada penelitian Andhini (2016), kandungan tanin dan flavonoid pada gel
ekstrak kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) dengan besar konsentrasi
30% terbukti memiliki efek mempercepat penyembuhan luka yang ditandai
adanya peningkatan jumlah sel fibroblas. Menurut penelitian Puspitasari (2017),
ekstrak kulit buah naga dengan dosis 0,25 mg/g BB, 0,5 mg/g BB dan 1 mg/g BB
dapat menurunkan kadar interleukin-6 dengan hasil didapatkan dosis optimal
sebesar 1 mg/g BB. Dosis sebesar 1 mg/gram BB yang diberikan secara per oral
pada mencit perlu disuspensikan menggunakan larutan Na-CMC 0,5% sebanyak
0,5 ml. Hal tersebut dikarenakan ekstrak kulit buah naga merah tidak dapat larut
dalam air.
Kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) memiliki potensi sebagai
bahan obat karena memiliki kandungan sianidin 3-ramnosil glukosida 5-
glukosida, flavonoid, tiamin, niasin, piridoksin, kobalamin, fenolik, polifenol,
karoten, fioalbumin, dan betalain (Saati, 2011; Woo et al., 2011). Hasil penelitian
Bahfie (2015), kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) memiliki
kandungan tambahan berupa tanin dan saponin.
Berdasarkan hasil pengujian fotokimia dan FTIR yang dilakukan Noor
(2016), ekstrak kulit buah naga merah memiliki kandungan antioksidan berupa
vitamin C, flavonoid, tanin, alkaloid, steroid, dan saponin. Hal tersebut diperkuat
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ermadayanti (2018), pengujian
dengan metode fitokimia Fourier Transform Infrared (FTIR), kulit buah naga
22
1. Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa metabolit sekunder yang paling banyak terdapat
pada tanaman. Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa fenolik alam yang
berpotensial sebagai antioksidan dan memiliki bioaktivitas sebagai obat. Senyawa
flavonoid merupakan senyawa-senyawa polifenol dengan struktur 15 atom karbon
(C6-C3-C6). Kerangka flavonoid terdiri dari satu cincin aromatik A, satu cincin
aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung oksigen.
Bentuk cincin yang teroksidasi ini dijadikan dasar pada pembagian flavonoid ke
dalam sub kelompoknya. Sistem penomoran pada kerangka flavonoid digunakan
untuk membedakan posisi karbon di sekitar molekulnya (Redha, 2010)
(Gambar 2.4).
Struktur Kimia Dasar Flavonoid (Amorim, 2012)
Flavonoid berfungsi sebagai antiinflamasi. Flavonoid mampu mengurangi
proses inflamasi melalui hambatan terhadap pembentukan prostaglandin yang
dibentuk oleh asam arachnidonat dan mediator inflamasi lain seperti histamin dan
serotonin. Flavonoid menghambat kerja asam arachnidonat melalui jalur
siklooksigenase yang diikuti dengan terhambatnya produksi prostaglandin,
tromboksan, dan leukotrien sebagai mediator inflamasi. jalur lipooksigenase
berfungsi untuk mensintesis leukotrin melalui pemecahan low-density lipoprotein
(LDL). Pemecahan LDL dilakukan melalui 2 langkah yang terdiri dari proses
secara langsung dan proses peroksidase lipid. Flavonoid akan menekan kedua
langkah sintesis leukotrin tersebut. Penghambatan lipooksigenase oleh flavonoid
akan menghasilkan aksi antileukotrin sehingga menghambat perekatan neutrofil
ke sel endotel dan agen-agen kemotaksisnya, termasuk sel-sel inflamasi lainnya.
23
2. Antosianin
Pada kulit buah naga merah, terdapat kandungan pigmen antosianin
seperti cyanidin-3-sophoroside dan cyanidin-3-glucoside yang tergolong dalam
senyawa flavonoid dan bersifat larut dalam air. Antosianin merupakan pigmen
pembentuk warna merah, ungu, dan biru pada tanaman, terutama sebagai
bahan pewarna pada bagian bunga dan buah. Antosianin tersebar luas pada
tanaman buah naga merah, karena itu dapat dimanfaatkan sebagai pewarna
alami pada makanan. Antosianin peka terhadap panas yang mana kerusakan
antosianin berbanding lurus dengan kenaikan suhu yang digunakan (Jayanti,
2010; Sudarmi et al., 2015).
Secara kimia, antosianin merupakan turunan struktur aromatik tunggal,
yaitu sianidin, terbentuk dari pigmen sianidin dengan penambahan atau
pengurangan gugus hidroksil, metilasi, dan glikosilasi (Samber, 2013).
24
(Gambar 2.5).
Struktur Kimia Antosianin (Tsurud a et al., 2013)
Berdasarkan uraian sebelumnya, antosianin berperan untuk memberi
warna pada bunga, buah, dan tanaman buah naga merah. Wama yang diberikan
oleh antosianin didasarkan pada susunan ikatan rangkap terkonjugasi yang
panjang, sehingga mampu menyerap cahaya pada rentang cahaya tampak.
Sistem ikatan rangkap terkonjugasi ini yang mampu menjadikan antosianin
sebagai antioksidan dengan mekanisme penangkapan radikal bebas (Samber,
2013).
3. Tanin
Tanin merupakan senyawa metabolit sekunder yang tergolong sebagai
senyawa polifenol dengan aktivitasnya membentuk senyawa kompleks bersama
makromolekul lainnya. Tanin memiliki peran sebagai antibakteri dengan
menginaktifkan adhesin sel mikroba dan enzim, serta mengganggu transpor
protein pada lapisan dalam sel. Tanin juga mempunyai target pada polipeptida
dinding sel sehingga pembentukan dinding sel menjadi kurang sempurna. Hal
ini menyebabkan sel bakteri menjadi lisis karena tekanan osmotik maupun
fisik sehingga sel bakteri akan mati (Jayanegara & Sofyan, 2008; Ngajow,
2013).
4. Saponin
Saponin merupakan zat aktif golongan steroid yang mampu
meningkatkan permeabilitas membran sehingga terjadi hemolisis sel bakteri
karena interaksi antara saponin dengan sel bakteri. Saponin juga mampu
meningkatkan proliferasi monosit sehingga ikut meningkatkan jumlah
makrofag, kemudian makrofag akan mensekresi beberapa growth factor seperti
25
EGF, FGF, PDGF, dan TGF-B yang dapat menstimulasi migrasi dan
proliferasi fibroblas ke daerah Iuka, mensintesis kolagen, serta meningkatkan
proliferasi pembuluh darah kapiler (Putra, 2013; Ardiana, 2015).
26
2.6 Hipotesis
Pemberian ekstrak kulit buah naga merah (Hydrocereus Polyrhizus) dapat
berpengaruh dalam menurunkan jumlah sel neutrofil pada soket tikus pasca
pencabutan gigi tikus wistar jantan dibandingkan yang diberi Na-CMC 0,5%
28
Pencabutan gigi dari alveolus gigi molar satu rahang bawah kiri tikus
wistar jantan (Rattus Norvegicus) yang dilakukan dengan menggunakan sonde
setengah lingkaran dan eskavator. Sebelum dilakukan pencabutan, terlebih
dahulu di anastesi dengan bahan kentamin dengan dosis 0,04 – 0,08 ml.
30
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang harus dipenuhi objek
agar dapat diikutsertakan dalam penelitian (Sudigdo, 2008). Kriteria tersebut
31
b. Kriteria Ekslusi
Kriteria Ekslusi adalah keadaaan yang menyebabkan objek yang
memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian
(Sudigdo,2008). Meliputi, tikus yang mati selama penelitian, penurunan berat
badan secara drastis, diare ditandai dengan feces yang berbentuk tidak beraturan,
dan adanya kelainan fisik. Hewan coba yang memenuhi kriteria ekslusi tersebut
dapat dinyatakan drop out sehingga diganti dengan tikus lain sesuai kriteria
inklusi sehingga didapat jumlah tikus sesuai perhitungan besar sampel.
a. Dosis Tikus
Dosis kulit buah naga merah yang diberikan pada mencit berdasarkan
penelitian Puspitasari (2017) dengan dosis optimal sebesar 1 mg/g BB mencit
yang diberikan secara per oral dalam bentuk suspensi sebanyak 0.5 ml/tikus Na-
CMC 0,5%.
Maka konversi dosis dari mencit ke tikus :
BB mencit = 20 g
Dosis mencit = 1 mg/g BB
Faktor konversi = 7,0
Dosis tikus = dosis mencit x faktor konversi
= 1 mg/g BB mencit x 7,0
= (0.001 g x 20 g ) / (1 g x 20 g BB) x 7,0
= 0.02 g / 20 g BB x 7,0
= 0.14 g / 20 g BB
= 0.007 g/g BB
= 0.7 mg / g BB tikus
Jadi, dosis yang di berikan pada tikus sebesar 0.7 mg / g BB tikus.
b. Dosis Ketamin
Menurut Kusumawati (2004), dosis anastesi ketamine yang digunakan
pada tikus yaitu 20-40 mg/kg berat badan.
X = 0,04 – 0.08
ml
33
f. Cotton pellet
g. Alkohol 70% (Merck)
h. Formalin
i. Parafin Bubuk
j. Xylol
k. Hematoksilin-Eosin
l. Asam formiat 10%
m. Minuman dan makanan standart tikus wistar yang beredar di pasar, yaitu
jenis konsentrat produksi Feedmill Malindo, air mineral, dan gabah/sekam
Persiapan hewan coba pada masing masing kandang diberi label seperti
pada pengelompokan hewan yaitu K1, K2, K3, P1, P2, P3. Selama tujuh hari
tumbuh kembang tikus diamati, serta kebutuhan makanan standart tikus wistar
yang beredar di pasar, yaitu jenis konsentrat produksi Feedmill Malindo dan
minuman air mineral dengan merk dagang Aqua. Pemberiannya harus
diperhatikan dengan benar sehingga tidak kekurangan. Hal ini dimaksudkan agar
didapat kondisi tikus yang sama dan dapat dikelompokkan sesuai kriteria.
b. Kulit buah naga merah dikeringkan dalam oven pada suhu 45°C selama 2
jam.
35
c. Kulit buah naga merah kering dihaluskan sampai menjadi serbuk seberat
400 gram dan dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer, ditambahkan
3,2L pelarut etanol 70% selama 3 x 24 jam, sambil sesekali diaduk.
b. Kelompok Perlakuan, yang terdiri dari 12 ekor tikus. Tikus tikus dilakukan
pencabutan gigi pada gigi molar satu bawah kiri selanjutnya tikus diberi
ekstrak kulit buah naga merah secara peroral. Pemberian pertama
dilakukan setelah pencabutan dengan dosis 0.7 mg / g BB tikus.
Pemberian ekstrak kulit buah naga merah dengan dosis 0.7 mg / g BB
dilakukan 1x dalam satu hari pada pagi hari. Tikus dikorbankan dan
didekapitulasi, kemudian di ambil rahang bawahnya untuk proses
pembuatan sediaan jaringan.
Tikus dikorbankan pada hari ke- Tikus dikorbankan pada hari ke- Tikus dikorbankan pada hari ke-
1 dan diambil rahang bawahnya 3 dan diambil rahang bawahnya 5 dan diambil rahang bawahnya
Analisa Data
42
DAFTAR PUSTAKA
Agtini MD (2010). Persentase Pengguna Protesa Di Indonesia. Media Litbang Kesehatan.
XX (2): 50-8.
Amorim ELC, Castro VTN, Melo JG, Corrêa AJC, Sobrinho TJSP. 2012. Standard
operating procedures (sop) for the spectrophotometric determination of phenolic
compounds contained in plant samples. InTech. [cited June 16, 2016]. Available
from: http://dx.dol.org/10.5772/51686.
Anthony L. M.. 2010. Junqueira’s Basic Histology: Text and Atlas 12th Edition.
McGraw-Hill Medical.
Andhini, R. P. 2016. Efek Ekstrak Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus Polyrhizus)
Terhadap Jumlah Sel Fibroblas Pada Soket Gigi Tikus Wistar. Skripsi. Surabaya :
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya.
Andersson dkk. 2010. Oral and Maxillofacial Surgery. 1st. USA: Wiley-Blackwell.
Ardiana T, Kusuma ARP, Firdausy MD. 2015. Efektivitas pemberian gel binahong
(anredera cordifolia) 5% terhadap jumlah sel fibroblast pada sambungan pasca
pencabutan gigi marmut (cavia cobaya). Odonto Dental Journal 2 (1): 64-70
Bahfie I. 2015. Daya hambat ekstrak kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus)
terhadap pertumbuhan aggregatibacter actinomycetemcomitans. Skripsi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya
Baratawidjaja , KG & Rengganis , I 2010, Imunologi Dasar, 9th ed, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 162.
Corwin E.J. 2008. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Edisi ke 3. EGC. Jakarta. h.235
Chew, K.K., M.Z. Khoo, S.Y. Ng, Y.Y. Thoo, W.M.W. Aida Dan C.W. Ho. 2011. Effect
Of Ethanol Concentration, Extraction Time And Extraction Temperature On The
Recovery Of Phenolic Coumponds And Antioxidant Capacity Of Centella
Asiatica Extract. International Journal Of Food Research 18(4):1427-1435.
Dorland WA, Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. p. 702, 1003.
Dupre-Crochet S, Erard M, Nubetae O. 2013. ROS production in phagocytes: why, when,
and where?. J Leukoc Biol . 94(70): 657 (Ortiz-Hernandez, 2012).
Effendi, Z. (2003) Peranan Leukosit Sebagai Antiinflamasi Alergik Dalam Tubuh, FK
USU.
Ermadayanti, W. 2018. Seribu Manfaat pada Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus
polyrhizus) . Surabaya : Departemen Kimia Fakultas Sains ITS
43
Furze, R. C. dan Sara M. Rankin. 2008. Neutriphil mobilization and clearance in the bone
marrow. Immunology The Journal of Cells, Molecules, Systems, and
Technologies 125: 281-288.Oliveira, S., et al. 2016. Neutrophil migration in
infection and wound repair: going forward in reverse. Net Rev Immunol. May;
16(6): 378-391.
Kumar, V., Abbas A.K., Fausto, N., Robbins, S.L, dan Cotran, R,S., 2005, Robbins and
Cotran Pathologic Basic of Disease, Edisi 7, Elsivier Inc., Philadelphia.
Kusumastuti, Endah., Juni H. 2014, Ekspresi COX-2 dan Jumlah Neutrofil Fase
Inflamasi pada Proses Penyembuhan Luka Setelah Pemberian Sistemik Ekstrak
Etanolik Rosela (Hibiscus sabdariffa) (studi in vivo pada Tikus Wistar). Maj Ked
Gi. Juni 2014; 21(1): 13-19
Kiswari, dr. Rukman. 2014. Hematologi dan Transfusi. Jakarta : Erlangga, 2014.
Kumar V., Cotran R.S., Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC.
Hal 186-94, 200-11, 788-801.
44
Luginda, R., Lohita, B., Indriani, L. 2018. Pengaruh Variasi Konsentrasi Pelarut Etanol
Terhadap Kadar Flavonoid Total Daun Beluntas (Pluchea Indica (L.)Less)
Dengan Metode Microwave – Assisted Extraction (Mae) . Bogor : Program Studi
Farmasi Fmipa Universitas Pakuan Bogor
Mulu, M. 2018. Formulasi Krim Ekstrak Etanol Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus
Polyrhizus). Skripsi. Kupang : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang Program Studi Farmasi Kupang
Miloro, M., Ghali, G.E., Larsen, P.E. and Waite, P.D. (2004) Peterson’s Principles of
Oral and Maxillofacial Surgery. 2nd Edition, BC Decker Inc., Hamilton, London,
Vol-1: 583.
Manurung, D. 2014. Buah Naga Merah. http:// repository. usu.ac. id/ bit stream/ 1 234567
89 /42048 /4/ Chapter % 20II. pdf.[Diakses Pada Tanggal 15 Juni 2018].
Mantovani A, Cassatella MA, Costantini C, Jaillon S. Neutrophils in the activation and
regulation of innate and adaptive immunity. Nat Rev Immunol. 2011 Jul
25;11(8):519-31. doi: 10.1038/nri3024. Review. PubMed PMID: 21785456.
Manihuruk, Fitri, M. 2016. Efektivitas Ekstrak Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus
Polyrhizus) Sebagai Pewarna, Antioksidan, Dan Antimikroba Pada Sosis Daging
Sapi. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
McCartney-Francis NL, Wahl SM. 2001. TGF-beta and macrophages in the rise and fall
of inflammation. Basel Burkhauser 65-90
Noor, M., Yufita, E., Zulfalina. 2016. Identifikasi Kandungan Ekstrak Kulit Buah Naga
Merah Menggunakan Fourier Transform Infrared (Ftir) Dan Fitokimia. Journal Of
Aceh Physics Society (Jacps) 5(1) : 14-15
Nelson DL. & Cox, MM. 2005. Lehninger Principles of Biochemistry 4th ed. New York:
W. H. Freeman. Pp. 1119.
Ngajow M, Abidjulu J, Kamu VS. 2013. Pengaruh antibakteri ekstrak kulit batang matoa
(Pometia pinnata) terhadap bakteri staphylococcus aureus secara in vitro. 2013.
Jurnal MIPA Unsrat Online 2(2): 128-132.
Nurliyana, R., Z.I. Syrd, S.K., Mustapha, M.R., Aisyah, R.K., Kamarul, 2010,
Antioxidant Study of Pulps and Peels of Dragon Fruits : A Comparative Study,
International Food Research Journal, 17 : 367-375.
Pribadi, Y. S., Sukatiningsih., & Sari, P. (2014). Formulasi tablet effervescent berbahan
baku kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) dan buah salam (Syzygium
polyanthum [Wight.] Walp). Jurnal Teknologi Hasil Pertanian. 1, (4),86-89.
Puspitasari, Sagita., Hendy, Hendarto., 2017. Pengaruh Ekstrak Kulit Buah Naga Merah
(Hylocereus Polyrhizus) Terhadap Kadar Interleukin-6 Mencit Model
Endometriosis. Jbp Vol. 19 No. 03, Desember 2017
45
Putra ATW, Ade W, Hamidy MY. 2013. Tingkat kepadatan fibroblast pada luka sayat
mencit dengan pemberian gel lidah buaya (Aloe chinensis Baker). Bagian Patologi
Anatomi dan Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Riau. pp. 6-8.
Robbins, dkk., 2007. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Penerbit buku Kedokteran
EGC. Jakarta
Redha, Abdi. 2010. Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidatif Dan Peranannya Dalam
Sistem Biologis. Jurusan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Pontianak, Jalan
Ahmad Yani Pontianak 78124. Jurnal Belian Vol. 9 No. 2 Sep. 2010: 196 – 202
Rahardjo C, Prameswari N, Rahardjo P. 2014. Pengaruh gel teripang emas terhadap
jumlah fibroblas di daerah tarikan pada relaps gigi setelah perawatan ortodonti.
Denta Jurnal Kedokteran Gigi 8(1): 26-33.
Serhan, C.N., Ward, P.A. dan Gilroy, D.W., 2010, Fundamentals of Inflammation,
Cambridge University Press, Newyork.
Sorongan RS, Pangemanan DHC, Siagian KV. 2015. Efektivitas perasan daun pepaya
terhadap aktivitas fibroblast pasca pencabutan gigi pada tikus wistar jantan. Jurnal
Ilmiah Farmasi Pharmacon 4 (4): 52-57
Sudarmi S, Subagyo P, Susanti A, Wahyningsih AS. 2015. Ekstraksi sederhana
antosianon dari kulit buah naga (Hylocereus polyrhizus) sebagai pewarna alami.
Eksergi 12(1): 5-7
46
Sumardika IW, Jawe IM. 2012. Ekstrak air daun ubijalar ungu memperbaiki profil lipid
dan meningkatkan kadar sod darah tikus yang diberi makanan tinggi kolesterol.
Medicina 43(2): 67-71
Suhendra, C., Widarta, I., Wiadnyani, A. 2019. Pengaruh Konsentrasi Etanol Terhadap
AktivitasAntioksidan Ekstrak Rimpang Ilalang (Imperata Cylindrica (L) Beauv.)
Pada Ekstraksi Menggunakan Gelombang Ultrasonik. Jurnal Ilmu Dan Teknologi
Pangan 8(1): 27-32
Saati E. 2010. Identifikasi dan uji kualitas pigmen kulit buah naga merah (Hylocareus
costaricensis) pada beberapa umur simpan dengan perbedaan jenis pelarut.
GAMMA 6(1): 25-34.
Sies. H.. T. Schewe. C. Heiss and M. Keln. 2005. Cocoa polyphenols and inflammatory
mediators. American Journal of Clinical Nutrition 81 : 304312.
Steed DL. 2003. Wound-healing trajectories. Surg Clin North Am. 83:547–55.
Sorongan RS, Pangemanan DHC, Siagian KV. 2015. Efektivitas perasan daun pepaya
terhadap aktivitas fibroblast pasca pencabutan gigi pada tikus wistar jantan. Jurnal
Ilmiah Farmasi Pharmacon 4(4): 52-57.
Selders, G. S., et al. An Overview of The Role of Neutrophils in Innate Immunity,
Inflammation and Host-biomaterial Integration. Regenerative Biomaterials. 2017,
10.1093. 55-68
Suartha, I Nyoman; Swantara, I Made Dira; Rita, Wiwik Susanah. Ekstrak Etanol dan
Fraksi Heksan Buah Pare (Momordica charantia) Sebagai Penurun Kadar Glukosa
Darah Tikus Diabetes (Ethanol Extract And Hexane Fraction Of Momordica
Charantia Decrease Blood Glucose Level Of Diabetic Rat). Jurnal Veteriner,
[S.l.], v. 17, n. 1, p. 30-36, mar. 2016. ISSN 2477-5665.
Samber, L.N., Semangun, H., Prasetyo B., 2013, Ubi Jalar Papua Sebagai Sumber
Antioksidan, Program Studi Magister Biologi, Universitas Kristen Setya Wacana.
Trombelli, Leonardo & Farina, Roberto. (2008). Clinical outcomes with bioactive agents
alone or in combination with grafting or guided tissue regeneration. Journal of
clinical periodontology. 35. 117-35. 10.1111/j.1600-051X.2008.01265.x.
Tsuruda AY, Filho MLM, Busanello M, Guergoletto KB, Baú TR, Ida EI, Garcia S.
2013. Differentiated foods for consumers with new demands. [cited June 16,
2016]. Available from:
http://www.intechopen.com/books/foodindustry/differentiated-foods-for-
consumers-with-new-demands
Annisa, Wahida. (2018). Seribu Manfaat pada Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus
polyrhizus).
47
Waladi, Johan VS, Hamzah F. 2015. Pemanfaatan kulit buah naga merah (Hylocereus
polyrhizus) sebagai bahan tambahan dalam pembuatan es krim. Jom Faperta 2(1):
1-11.