Anda di halaman 1dari 47

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Di Indonesia pemanfaatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut untuk
pencabutan gigi sangat tinggi yaitu mencapai 79,6%. (Agtini, 2010). Angka
pencabutan gigi di RSGM Universitas Jember pada 2014 mengalami peningkatan
dari tahun 2013, yaitu 1577 kasus menjadi 1913 kasus (Fithri, Rochim, Cholid,
2017). Pencabutan gigi merupakan tindakan yang sangat sering dilakukan oleh
dokter gigi. Tindakan ini mengakibatkan luka pada jaringan di rongga mulut.
Luka pencabutan gigi akan diikuti proses penyembuhan luka yang kompleks
terdiri dari beberapa tahap yang berhubungan. Proses tersebut diawali dengan
terjadinya perdarahan yang diikuti proses hemostasis yang kemudian terjadi fase
inflamasi, proliferasi dan remodeling (Hamamoto, 2009).
Fase inflamasi bermula setelah terjadi proses koagulasi. Tubuh secepatnya
melepaskan neutrofil pada area luka untuk memfagosit bakteri dan
mempersiapkan daerah luka untuk proses penyembuhan. Fase ini berlangsung
selama 1 hingga 4 hari setelah luka, yang ditandai dengan adanya pembengkakan
dan rasa sakit pada daerah luka (Serhan dkk., 2010). Namun apabila respon
inflamasi akut menjadi berlebihan atau berkepanjangan maka dapat mendestruksi
organ tubuh pada kondisi yang serius (Serhan dkk., 2010).
Neutrofil mempunyai peran penting dalam respon inflamasi yaitu sebagai
pertahanan tubuh terhadap zat asing atau bakteri. Pada keadaan inflamasi yang
normal, neutrofil akan melakukan marginasi atau berpindah dan melekat di tepi
endotel. Setelah itu, neutrofil akan bermigrasi atau bergerak keluar dari pembuluh
darah pada 6 jam pertama kemudian berpindah ke tempat yang terjadi inflamasi
atau disebut dengan kemotaksis. Proses terakhir ialah fagositosis atau
penghancuran mikroorganisme (Kumar, 1995). Sirkulasi neutrofil dalam darah
yaitu sekitar 10 jam dan dapat hidup selama 2 - 4 hari pada saat berada dalam
jaringan ekstravaskuler (Kiswari,2014). Jumlah normal neutrofil berkisar antara
3.100 – 5.580/mm3. Jika keadaan neutrofil lebih sedikit dari normal disebut
dengan neutropenia. Namun jika melebihi angka tersebut disebut neutrositosis
2

(Effendi, Z. 2003).
Respon inflamasi dapat dikontrol dengan cara menghambat enzim
siklooksigenase (Kusumastuti dkk, 2014). Jika enzim siklooksigenase terhambat,
jumlah neutrofil akan mengalami penurunan. Sebaliknya jika tidak dihambat akan
mengalami kenaikan jumlah neutrofil. Penelitian terbaru membuktikan adanya
tumbuhan yang dapat menghambat enzim siklooksigenase. Salah satunya adalah
kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) (Pribadi, 2014).
Bagian dari buah naga yang sering digunakan masyarakat Indonesia adalah
daging buahnya, sedangkan kulitnya di buang sebagai sampah yang menyebabkan
peningkatan limbah organik (Nurussakinah, 2010). Oleh karena itu, masyarakat
harusnya dapat mengolah limbah kulit buah naga merah karena kulit buah naga
merah memiliki manfaat yang sangat banyak (Wahida, 2018)
Kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) memiliki manfaat dalam
bidang farmakologi, salah satunya untuk anti inflamasi. Hal ini diduga karena
kandungan aktif kulit buah naga merah antara lain flavonoid, antosianin, fenol,
tanin, saponin dan vitamin C. Flavonoid dapat menghambat jalur siklooksigenase
dan lipooksigenase pada metabolisme asam arakhidonat sehingga menyebabkan
sintesis mediator radang ( prostagladin, tromboksan, leukotrin ) terhambat. Hal
itu bisa ditandai dengan penurunan jumlah sel neutrofil (Pribadi, 2014). Menurut
penelitian Puspitasari (2017), ekstrak kulit buah naga merah dapat menurunkan
kadar Interleukin-6 dengan dosis optimal sebesar 1 mg/g BB mencit yang
diberikan secara per oral . Pada penelitian Andhini (2016), kandungan tanin dan
flavonoid pada gel ekstrak kulit buah naga merah terbukti memiliki efek dapat
mempercepat penyembuhan luka yang ditandai adanya peningkatan jumlah sel
fibroblas.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk menguji pengaruh
ekstrak kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) ditinjau dari jumlah
neutrofil pada soket gigi tikus wistar jantan (Rattus norvegicus strain wistar).
Diharapkan ekstrak kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) dapat dipakai
sebagai alternatif antiinflamasi, yang di tandai dengan penurunan jumlah
neutrofil.
3

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumusankan masalah
sebagai berikut:
1. Adakah pengaruh ekstrak kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus)
terhadap jumlah neutrofil pada soket gigi pasca pencabutan gigi tikus
wistar jantan ?
2. Berapa jumlah rata-rata neutrofil pada tikus yang diberi ekstrak kulit buah
naga merah (Hylocereus polyrhizus) pada soket gigi pasca pencabutan gigi
tikus wistar jantan ?

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh ekstrak kulit buah naga
merah (Hylocereus polyrhizus) terhadap jumlah neutrofil pada soket gigi tikus
wistar jantan (Rattus Norvegicus Strain Wistar) pasca pencabutan.

1.4 Manfaat Penelitian


Setelah pelaksanaan penelitian ini diharapkan akan memberikan
manfaat antara lain:
1. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti dan
pembaca mengenai pengaruh anti inflamasi ekstrak kulit buah naga merah
(Hylocereus polyrhizus) terhadap jumlah neutrofil pada soket gigi tikus
wistar jantan (Rattus Norvegicus Strain Wistar) pasca pencabutan.
2. Sebagai bahan informasi dan bahan pertimbangan kepada
masyarakat tentang pemanfaatan pengolahan ekstrak kulit buah naga
merah (Hylocereus polyrhizus) sebagai bahan alternatif dalam proses
penyembuhan luka pencabutan gigi.
3. Dapat digunakan sebagai acuan untuk studi intervensi selanjutnya
dalam memaksimalkan peran ekstrak kulit buah naga merah.
4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencabutan gigi


2.1.1 Definisi

Pencabutan gigi dapat didefinisikan sebagai pengambilan gigi atau akar


gigi dari soket dengan cedera seminimal mungkin pada tulang dan jaringan
sekitar agar penyembuhan luka pasca operasi dapat berjalan dengan lancar.
Pencabutan gigi merupakan prosedur bedah yang melibatkan tulang dan jaringan
lunak rongga mulut, di mana aksesnya dibatasi oleh bibir, pipi, dan gerakan dari
lidah dan mandibula (Andersson, 2010).

Pencabutan gigi yang ideal yaitu penghilangan seluruh gigi atau akar gigi
dengan minimal trauma atau nyeri yang seminimal mungkin sehingga jaringan
yang terdapat luka dapat sembuh dengan baik dan masalah prostetik setelahnya
yang seminimal mungkin. Pencabutan gigi dibutuhkan pada kondisi kondisi
seperti karies yang parah dan gigi tidak bisa dipertahankan, pulpitis, periodontitis
periapikal, perikoronitis, fraktar akar gigi, fraktur rahang, retainer primary teeth,
keadaan patologis yang lain seperti kista, masalah ortodontik, dan kebutuhan
perawatan prostodontik (Permatasari dkk , 2012) .

Pencabutan gigi dapat menimbulkan luka pada jaringan di sekitar soket.


Luka adalah cidera pada jaringan yang disebabkan karena pemotongan, trauma,
atau cara-cara fisik lainnya. Luka pada jaringan tubuh makhluk hidup merupakan
salah satu media yang memungkinkan mikroba patogen untuk berkembang biak,
dan pada akhirnya menginfeksi luka tersebut . Luka pasca pencabutan gigi bila
tidak ditangani dengan benar dapat menimbulkan komplikasi berupa infeksi, serta
berbagai masalah lainnya. Komplikasi pasca pencabutan ini bisa menjadi masalah
serius dan fatal. ( Permatasari dkk , 2012 )

2.1.2 Indikasi dan Kontraindikasi

Seorang dokter gigi haruslah mengusahakan agar setiap pencabutan gigi


yang dilakukannya merupakan suatu tindakan yang ideal. Pencabutan gigi tanpa
5

rasa sakit dengan trauma minimal terhadap jaringan pendukung gigi, sehingga
bekas pencabutan dapat sembuh dengan sempurna dan tidak terdapat masalah
prostetik di masa mendatang. Untuk mencapai tujuan tersebut dan menghindari
komplikasi yang mungkin timbul pada pencabutan gigi haruslah mengetahui
indikasi dan kontraindikasi dari pencabutan gigi. Indikasi pencabutan gigi sangat
bervariasi dan bermacam-macam. Menurut Andersson (2010) indikasi
dilakukannya pencabutan gigi adalah Keterlibatan gigi dengan penyakit
peridontal yang parah, karies pada gigi yang besar, kelainan pada pulpa dimana
terapi endodontik tidak dapat dilakukan, kelainan pada apikal gigi, keperluan
ortodonti dan prostodonti, gigi impaksi, gigi supernumerary, gigi fraktur yang
tidak dapat direstorasi, kondisi ekonomi mencukupi.
Sedangkan kontraindikasi dari pencabutan gigi meliputi pasien yang
mempunyai penyakit sistemik yang tidak terkontrol, namun jika pasien
mempunyai penyakit sistemik terkontrol dapat di lakukan eksodonsia. Eksodonsia
dapat dilakukan dengan syarat pasien sudah berada dalam pengawasan dokter ahli
dan penyakit yang menyertainya bisa dikontrol dengan baik. Hal tersebut penting
untuk menghindari terjadinya komplikasi pencabutan gigi. Selain penyakit
sistemik, infeksi perikoronal akut, Infeksi gingiva akut, pasien yang menjalani
terapi kortikosteroid dan antikoagulan, pasien dengan kelainan sistem kekebalan
tubuh, pasien dengan penyakit tumor ganas tulang dan jaringan lunak rongga
mulut, pasien dengan kelainan darah, dan pasien dengan kelainan pada hati
(Andersson, 2010).

2.2 Penyembuhan Luka


Penyembuhan luka merupakan suatu proses penggantian jaringan yang
mati/rusak dengan jaringan baru oleh tubuh dengan jalan regenerasi.
Penyembuhan merupakan suatu proses yang kompleks, tetapi umumnya terjadi
secara teratur. Penyembuhan luka insisi termasuk penyembuhan primer ditandai
dengan pembentukan jaringan parut minimal. Sebaliknya luka yang menyebabkan
kerusakan jaringan misal ulkus pada kulit termasuk dalam penyembuhan
sekunder dapat ditandai dengan proses penyembuhan yang lambat dan
6

pembentukan parut yang jauh lebih banyak (Morison, 2003).


Proses penyembuhan luka terbagi kedalam beberapa tahap, yaitu
koagulasi, inflamasi, re-epiteliasasi, granulasi, dan remodeling jaringan.
Kemudian penyembuhan luka disederhanakan menjadi 3 fase, yaitu inflamasi,
proliferasi, dan remodeling (Steed, 2003)

2.2.1 Fase Koagulasi


Fase koagulasi terjadi segera setelah luka secara spontan pada jaringan.
Yang pertama adalah vasokonstriksi pembuluh darah untuk menghentikan
perdarahan. Platelet (trombosit) yang bersirkulasi dalam darah akan bergerak
menuju tempat luka untuk membentuk bekuan darah. Bekuan darah yang
terbentuk akan menyediakan kondisi hemostasis dan berperan sebagai matriks
sementara agar sel-sel inflamasi dapat bermigrasi (Miloro, 2004)

2.2.2 Fase Inflamasi


Fase inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk
menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik
yang diakibatkan oleh kerusakan asal (Kumar dkk, 2007). Inflamasi merupakan
respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cidera atau kerusakan jaringan
yang berfungsi menghancurkan, mengurangi atau mengurung (sekuestrasi) baik
agen cidera maupun jaringan yang cidera itu (Dorland, 2010).
Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera
dan melibatkan banyak mediator. Fase inflamasi diawali dengan pelepasan
berbagai mediator inflamasi yang berasal dari jaringan yang rusak. Mediator
inflamasi dapat berasal dari fosfolipid pada membran sel. Fosfolipid pada
membran sel yang rusak akan dipecah menjadi asam arakidonat dan menjadi PAF
(Platelet Activating Factor) yang menyebabkan berbagai aktivitas inflamasi
(Baratawidjaja, 2014)
Fase inflamasi biasanya berlangsung selama 1 sampai 4 hari. Pada 24 jam
sampai 48 jam pertama berbagai fenomena terjadi pada pembuluh darah. terjadi
dilatasi arteriol lokal yang didahului vasokonstriksi singkat. Peningkatan
permeabilitas vaskuler tersebut disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel
7

darah putih kedalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan gambaran utama
reaksi inflamasi akut. Kemudian sel darah putih memfagosit bahan yang bersifat
asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis dan enzim lisosom yang
terdapat didalamnya membantu pertahanan tubuh (Robbins dkk., 2007).
Setelah proses hemostasis dapat dipertahankan, prostaglandin akan
memediasi reaksi vasokonstriksi menjadi periode vasodilatasi yang menetap.
Prostaglandin terbentuk melalui metabolisme asam arakidonat melalui jalur
siklooksigenase yang diawali dengan pembentukan suatu endoperoksida siklik
prostaglandin (PGG 2), yang kemudian dikonversi menjadi prostaglandin H2
(PGH 2) oleh peroksidase. PGH2 bersifat sangat tidak stabil dan merupakan
prekursor hasil akhir jalur siklooksigenase. Prekursor tersebut adalah prostosiklin
PGL2, PGD2, PGE2, PGF2, tromboksan (TXA2) yang masing-masing dibentuk
dari PGH2 oleh pengaruh enzim yang khas. Beberapa enzim ini terdapat terbatas
pada jaringan-jaringan tertentu. Asam arakidonat tidak hanya membentuk
prostaglandin namun juga melakukan proses pada jalur lipoksigenase untuk
membentuk bahan-bahan proinflamasi yang kuat sudah terbukti. Lipoksigenase
ialah enzim utama neutrofil. Derivat 5-hidroperoksida AA yang disebut 5-HPETE
sangat tidak stabil dan direduksi menjadi 5-HETE (yang bekerja kemotaksis untuk
neutrofil) atau diubah menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrin.
8

Gambar 2.1. Pembentukan metabolit asam arakidonat dan peranan dalam


inflamasi. (Sumber : Robbins, 2004)

Peningkatan permeabilitas vaskularisasi akan memungkinkan plasma


darah dan sel-sel penyembuhan menembus dinding pembuluh darah. Pada fase ini
akan muncul tanda-tanda klinis inflamasi seperti rubor, kalor, dolor, tumor, dan
fungsiolaesa
1. Kemerahan (rubor)
Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan
darah ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran
darah ke tempat cedera (Corwin, 2008).
2. Rasa panas (kalor)
Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan.
Dimana rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di
tempat radang daripada di daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas
ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di
dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan (Wilmana, 2007).
9

3. Rasa sakit (dolor)


Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal yaitu
adanya peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi
peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri dan adanya
pengeluaran zat–zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin,
histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf–saraf perifer di sekitar
radang sehingga dirasakan nyeri (Wilmana, 2007).
4. Pembengkakan (tumor)
Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang
disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya
peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera
sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang
interstitium (Corwin, 2008).
5. Fungsiolaesa
Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang
terkena inflamasi akibat proses inflamasi (Wilmana, 2007).

Sitokin yang dilepaskan didaerah luka akan merangsang proses


kemotaksis neutrofil dan monosit. Secara normal, neutrofil akan berada didaerah
luka dalam hitungan menit dan menjadi sel yang dominan. Neutrofil akan
melepaskan protease dan sitokin yang akan membantu membersihkan luka dari
kontaminasi bakteri, jaringan yang mati, dan komponen matriks yang terdegradasi
(Wener, 2003). Monosit akan mulai memasuki daerah luka ketika level
neutrofil menurun. Monosit yang teraktivasi selanjutnya disebut dengan
makrofag, akan melanjutkan pembersihan luka yang diinisiasi oleh neutrofil.
Makrofag akan menghasilkan kolagenase untuk menghancurkan jaringan yang
terluka dan memfagosit bakteri dan debris sel. Selain fungsi makrofag sebagai
pembersih luka, makrofag juga berfungsi sebagai sumber utama mediator
penyembuhan (McCartney, 2001). Makrofag akan mulai menurun pada hari ke-5
setelah luka, meskipun seperti itu makrofag akan tetap memodulasi proses
penyembuhan luka hingga perbaikan selesai (Miloro,2004).
10

2.2.3 Fase Proliferasi

Sitokin dan growth factors yang disekresikan saat fase inflamasi akan
menstimulasi fase proliferase. Fase ini paling cepat terjadi 3 hari setelah luka
terjadi dan dapat berlangsung sampai 3 minggu. Fase proliferasi ditandai dengan
pembentukan jaringan granulasi yang berisi sel inflamasi, fibroblas, dan
pembuluh darah muda yang tertutup dalam matriks yang longgar (Miloro, 2004)
Hal pertama yang terjadi adalah pembentukan mikro vaskularisasi
(angiogenesis) untuk menyuplai oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk
metabolisme pembentukan jaringan. Pada saat yang bersamaan, fibroblas
bermigrasi ke daerah luka akibat dari respons sitokin dan growth factor yang
dilepaskan oleh sel inflamasi dan jaringan yang terluka. Fibroblas akan mulai
mensintesis matriks ekstraseluler baru dan kolagen yang belum matang (tipe III).
Serabut kolagen yang baru berfungsi untuk mendukung pembentukan pembuluh
darah baru. Fibroblas yang terstimulasi juga akan menghasilkan growth factor,
sehingga menghasilkan siklus umpan balik dan mempertahankan proses
perbaikan (Miloro, 2004).
Pada permukaan dermal, epitelium baru terbentuk untuk menutup
permukaan luka. Proses re-epitelisasi akan terjadi lebih cepat pada luka yang
berada di mukosa mulut daripada di kulit. Sel epidermal berasal dari tepi-tepi luka
dan mengalami proliferasi dan menutupi luka (Miloro, 2004).

2.2.4 Fase Remodeling

Fase proliferasi akan digantikan oleh fase remodeling dan penguatan


jaringan luka yang belum matang. Fase remodeling dapat berlangsung sampai
beberapa tahun dan melibatkan siklus seimbang dari degradasi dan pembentukan
matriks. Sitokin dan growth factor akan menyebabkan matriks kolagen
terdegradasi, kemudian disintesis ulang, ditata ulang dan distabilkan menjadi
bekas luka. Fibroblas akan mulai menghilang dan kolagen tipe III yang terdeposit
saat fase proliferasi secara bertahap akan digantikan oleh kolagen tipe I yang
lebih kuat. Akibat adanya serat-serat kolagen pengganti jaringan rusak di daerah
luka, maka penampilan daerah tersebut tidak akan sama seperti jaringan semula.
11

Hal tersebut akan meninggalkan bekas luka yang dikenal dengan jaringan parut
(Miloro, 2004; Robbins, 2007)

2.2.5 Penyembuhan Luka Pasca Pencabutan Gigi


Pencabutan gigi merupakan serangkaian proses perawatan yang
melibatkan kedua jaringan yaitu jaringan keras (tulang alveolar) dan jaringan
lunak (ligamentum periodontal dan gingiva) yang apabila dilakukan dapat
berdampak pada kerusakan jaringan disekitar gigi yang dicabut, baik jaringan
iunak bahkan juga jaringan keras. Proses penyembuhan luka pasca pencabutan
gigi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain lokasi luka, faktor fisik, berat
atau ringannya infeksi yang terjadi, umur, nutrisi, dan ada atau tidaknya penyakit
sistemik yang menyertai (Permatasari dkk, 2012). Pada prinsipnya, proses
penyembuhan luka pasca pencabutan gigi sama halnya terjadi pada penyembuhan
luka lainnya, namun pada penyembuhan luka pasca cabut gigi memiliki 5 tahap
yang saling tumpang tindih, terdiri dari pembentukan bekuan darah atau blood
clot, jaringan granulasi, jaringan preosseous, trabekula tulang dan epitelisasi.
Segera setelah pencabutan gigi, soket terisi dengan darah dan pembentukan
bekuan darah (blood clot) terjadi. Blood clot mengisi soket sampai ke pinggiran
jaringan lunak luka. Kemudian blood clot mengalami maturasi, diikuti oleh
pembentukan jaringan granulasi yang kaya akan pembuluh darah baru dan sel -sel
inflamasi seperti neutrofil, makrofag, limfosit, dan dilanjutkan oleh sel
penyembuhan fibroblast (Trombelli dan Farina, 2008).
Menurut Price dan Wilson (2012) soket pencabutan termasuk dalam luka
terbuka, dimana penyembuhannya biasa disebut juga dengan healing by second
intention atau kadang kala disebut penyembuhan yang disertai granulasi. Jenis
penyembuhan ini secara kualitatif identik dengan penyembuhan luka primer
seperti pada luka insisi. Perbedaanya hanya terletak pada banyaknya jaringan
granulasi yang terbentuk, lamanya proses penyembuhan yang kadang-kadang
disertai pula dengan dengan terbentuknya jaringan parut.
Pada hari pertama hingga hari ke empat sel-sel yang mendominasi pada
jaringan soket gigi adalah sel neutrofil.
12

2.3 Neutrofil
Neutrofil merupakan limfosit polimorfonuklear yang dihasilkan setiap hari
dalam jumlah yang besar oleh tubuh. Neutrofil menyusun 60- 70% dari seluruh
leukosit dalam darah. Nukleus yang multi lobulus membantu neutrofil bergerak
melalui celah sempit yang terbentuk diantara sel-sel lain atau di dalam pori-pori
sempit matriks ekstraseluler (Gambar 2.1) (Anthony, 2010). Neutrofil dikatakan
sebagai sel efektor yang cepat dan berumur pendek dari sistem imun, yang
berperan sebagai fagosit aktif dari bakteri dan partikel kecil lainnya. Neutrofil
merupakan leukosit pertama yang tiba di tempat infeksi, dimana secara aktif
mengejar bakteri secara kemotaksis. Selain itu, neutrofil juga berfungsi untuk
merekrut sel efektor lain (Selders, 2017).
Neutrofil dihasilkan di sumsum tulang sebanyak 1-2 X 1011 sel per- hari
pada orang dewasa normal. Produksi neutrofil dikendalikan oleh granulocyte
colony stimulating factor (G-CSF) yang merupakan glikoprotein. G-CSF
mempengaruhi kelangsungan hidup, proliferasi, diferensiasi, dan fungsi dari
neutrofil yang telah matang. Neutrofil yang telah matang, disimpan di dalam
sumsum tulang. Saat terjadi inflamasi, neutrofil akan dimobilisasi dengan cepat
selama tahap inflamasi atau sebagai respons terhadap infeksi sehingga terjadi
peningkatan jumlah neutrofil dalam peredaran darah. Neutrofil akan bermigrasi
dari sumsum tulang ke dalam peredaran darah melalui endotel secara trans-
seluler. Respons mobilisasi neutrofil dari sumsum tulang, kemudian ke peredaran
darah, dan ke jaringan tempat terjadinya inflamasi, dipengaruhi oleh mediator-
mediator inflamasi yang disebut dengan chemokines (Furze, 2008).
Daerah yang ter-inflamasi akan mengeluarkan mediator - mediator
inflamasi sehingga neutrofil mengenali tempat terjadinya inflamasi. Neutrofil
akan berikatan dengan endotel dan bergerak ektravasasi menuju tempat inflamasi.
Ekstravasasi neutrofil dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu menggulir, aktivasi oleh
chemokines, adhesi, dan mingrasi transendotel (Baratawidjaja, 2014).
Pencegahan kerusakan jaringan sehat oleh neutrofil setelah respons
13

inflamasi yang berhasil perlu diperhatikan. Neutrofil yang berada di tempat luka
akan melakukan nekrosis yang nantinya akan di fagosit oleh makrofag. Namun,
tidak semua neutrofil melakukan nekroris. Neutrofil mampu kembali dan
melakukan apoptosis di dalam peredaran darah yang nantinya akan berakhir di
hati, limpa, atau sumsum tulang. Apabila tidak terjadi inflamasi, maka neutrofil
akan berada di dalam peredaran darah namun dengan jumlah yang sedikit dan
memiliki umur antara 5 – 6 jam. Setelah itu neutrofil akan melakukan apoptosis
dengan sendirinya (Oliveira, 2016).

2.3.1 Morfologi Neutrofil

Neutrofil memiliki morfologi dengan diameter 12-15 µm pada preparat


darah, dengan nukleus yang memiliki 2 sampai 5 lobuli yang duhubungkan
dengan selapis nukelus yang tipis (Gambar 2.2). Sitoplasma nutrofil terdiri dari 2
macam granulasi, yaitu specific granules yang sangat kecil dan mendekati batas
cahaya. Kedua, adalah azurofilik granules yang merupakan lisosom khusus
dengan komponen untuk membunuh bakteri yang tertelan (Gambar 2.2)
(Anthony, 2010).

(Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Gambaran neutrofil pada hapusan darah. Terlihat neutrofil yang
memilki 4 lobulus yang ditunjuk oleh anak panah. (Sumber: Junqueira’s Basic
Histology: Text and Atlas 12th edition.)

Tebal dari membran sel neutrofil yaitu 7,5-10 nanometer dan memiliki
fungsi sebagai baries semipermiabel yang memungkinkan molukul yang
berukuran kecil dapat keluar masuk ke dalam sel. Perkiraan komposisi dari
14

membran sel neutrofil adalah protein 55%, fosfolipid 25%, kolesterol 13%, lipid
lain 4%, dan karbohidrat 3%. Molekul penyusun utama membran sel adalah
fosfolipid yang terdiri dari bagian kepala yang polar (hidrofilik) dan dua ekor
non polar (hidrofobik). Fosfolipid ini tersusun oleh bagian nonpolar yang
membentuk hidrofobik yang diapit oleh daerah kepala pada bagia dalam dan luar
membran (Guyton dan Hall, 2008). Penelitian oleh Pawestri (2015) mengatakan
bahwa gambaran neutrofil pada tikus Wistar memiliki gambaran yang mirip
dengan neutrofil pada manusia. Terlihat gambaran neutrofil yang multilobuler
pada potongan preparat jaringan soket tikus pasca ekstrasi pada pembesaran
1000x

(Gambar 2.3)
Gambar 2.3 Terlihat gambaran neutrofil tikus menggunakan pembesaran
1000x yang ditunjuk anak panah. (Sumber: Pengaruh Ekstrak Thymoquinone
Jintan Hitam (Nigella sativa) Terhadap Jumlah Neutrofil Pada Soket Tikus
Pasca Pencabutan Gigi Disertai Trauma Jaringan)

2.3.2 Peran neutrofil dalam penyembuhan luka

Neutrofil merupakan sel yang predominant dalam waktu satu jam pertama
pada daerah luka akibat dari respons inflamasi. Dalam keadaan normal, neutrofil
dapat bertahan selama 24 jam atau kurang. Setelah mencapai jaringan yang luka,
umur neutrofil akan diperpanjang secara sendirinya. Neutrofil akan berada
didalam jaringan kurang lebih 3 hari setelah terjadinya luka yang menjadikan
neutrofil sebagai sel yang paling penting pada respons inflamasi akut untuk
membersihkan debris pada jaringan luka melalui fagositosis (Mantovani, 2011).
15

Namun, muncul perdebatan mengenai waktu neutrofil berada di dalam jaringan


tempat luka. Penelitian Jhunjhunwala et al. (2015) menyatakan ditemukannya sel
neutrofil setelah 2 minggu dengan jumlah 30-500 pada tikus yang diberi implan.
Hal ini dapat terjadi dikarenakan ketahanan dan rekrutmen yang terus berulang
sel neutrofil.
Pada respons inflamasi, neutrofil dibutuhkan untuk melakukan beberapa
hal penting, yaitu fagositosis dan perekrutan sel. Setelah terjadinya luka, sitokin
yang dilepaskan akan merangsang proses kemotaksis dari neutrofil dan monosit
ke tempat luka. Migrasi dari neutofil ke tempat luka terjadi dalam beberapa proses,
dimulai dari migrasi neutrofil dan diakhiri dengan migrasi terbalik atau
kembalinya neutrofil ke vaskularisasi (Oliveira, 2016). Pada penelitian terbaru
dikatakan bahwa neutrofil akan memiliki umur yang lebih panjang saat berada di
jaringan luka. Keberadaan neutrofil yang berumur panjang pada daerah luka
didukung dengan adanya rekrutmen neutrofil yang terus menerus dan juga
penghambatan dari proses normal apoptosis neutrofil selama proses peradangan.
Proses rekrutmen dari neutofil dapat dilakukan oleh neutrofil yang aktif melalui
pelepasan kemokin atau jaringan sekitar yang terluka yang melepaskan sitokin
(Selders, 2017).
Neutrofil juga berinteraksi dengan sel-sel lain dengan mempengaruhi,
merekut, dan mensekresi sinyal untuk sel-sel imun dan humoral di sekitarnya
dengan tiga cara, yaitu melalui jalur oksidatif, pelepasan granula, dan neutrophil
extracellular traps (NETs). Fungsi gabungan tersebut memungkinkan keterlibatan
neutrofil dalam proses peradangan, perekrutan makrofag, angiogenesis, dan
aktivasi sistem imun. Pelepasan granula yang mengandung berbagai komponen
membantu aktivitas baik pro-inflamasi maupun anti-inflamasi, membunuh
patogen dengan protease, dan menyediakan bahan seperti, matriks
metalloproteinase yang befungsi untuk me-reprogram matriks, angiogenesis, dan
regenerasi. (Dupre, 2013)
Neutrofil juga berperan dalam proses kemotaksis sel imun lainnya.
Neutrofil akan menyekresikan kemokin, sitokin, dan agen sinyal lainnya yang
berfungsi untuk merekrut monosit dan mendiferensiasikannya menjadi makrofag
16

(Selders, 2017).
Penelitian oleh Hazeldine pada tahun 2014 menunjukkan bahwa inflamasi
post-trauma yang berlebihan dapat mengakibatkan neutrofil menjadi
overactivated atau tidak berfungsi. Akibatnya, neutrofil akan mensekresikan
profil sitokin yang berubah dan meningkatkan produksi ROS (Reactive Oxygen
Species). Hal tersebut akan memperparah kerusakan jaringan dan bahkan merusak
jarimgan sehat disekitarnya. Peningkatan jumlah dan umur neutrofil di lokasi luka
akabat adanya rekrutmen yang terus menerus dan penghambatan apoptosis juga
dapat memperpanjang dan memperparah respons inflamasi (El Kebir, 2013).

2.4 Buah Naga Merah


Buah naga atau pitaya merupakan salah satu tumbuhan tropis dibawah
famili kaktus, Cactaceae. Buah naga berasal dari daerah beriklim tropis kering
seperti negara Meksiko, Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan
bagian utara. Buah naga juga telah ditanam secara komersial di Bahama,
Bermuda, Amerika Serikat, Au stralia, Thailand, India, Cina, Filipina, Vietnam,
Taiwan, Malaysia, Kamboja, Israel, dan Indonesia (Nurliyana, 2010; Idawati,
2012).
Di negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan, "pitaya" dan
"pitahaya" mempunyai arti yang sama. Berbeda dengan negara Meksiko,
"pitaya" digunakan untuk buah-buahan dari tanaman mirip kaktus, sementara
''pitahaya" digunakan untuk buah-buahan dari kaktu s epifit seperti Hylocereus
(Ortiz-Hernandez, 2012).
Tanaman buah naga merah mudah beradaptasi dengan lingkungan dan
perubahan cuaca seperti sinar matahari, angin, dan curah hujan. Intensitas sinar
matahari yang ideal pada tanaman buah naga merah sekitar 70% - 80%,
sementara curah hujan yang ideal untuk pertumbuhan tanaman buah naga sekitar
60 mm/bulan atau 720 mm/t ahun. Suhu udara yang ideal bagi tanaman buah
naga yaitu antara 26°C-36°C dengan kelembaban antara 70%-90 %. Pada
curah hujan 600-1300mm/tahun, tanaman buah naga masih dapat tumbuh,
17

namun pada saat hujan deras yang berkepanjangan, tanaman buah naga akan
mengalami kerusakan yang ditandai dengan proses pembusukan akar yang
terlalu cepat dan merambat sampai ke pangkal batang karena tidak tahan
terhadap genangan air (Kristanto, 2009)
Budidaya tanaman buah naga merah berada di dataran rendah sampai
medium yang berkisar 0m - 500m dari permukaan laut, dengan jarak yang
ideal adalah kurang dari 400 mdpl. Pada ketinggian daerah di atas 500 m
permukaan laut, buah naga merah masih dapat tumbuh dengan baik dan
berbuah, hanya saja buah yang dihasilkan tidak lebat dan rasa buah kurang
manis (Renasari, 2010).

Buah naga merah kaya akan nutrisi dan mineral seperti vitamin B l,
vitamin B2, vitamin B3, vitamin C, protein, lemak, karbohidrat, crude
fiber, flavonoid, tiamin, niasin, piridoksin, kobalamin, glukosa, fenolik,
betasianin, polifenol, karoten, fosfor, zat besi, dan fitoalbumin. Kandungan
serat, vitamin C, mineral, dan fitoalbumin dalam buah naga merah berperan
penting sebagai antioksidan (Jaafar, 2009).
Buah naga merah baik untuk dikonsumsi karena serta memiliki khasiat
dan manfaat terhadap kesehatan sebagai antioksidan, yaitu mencegah serangan
radikal bebas yang dapat menyebabkan penyakit kanker dan masalah kesehatan
lainnya, mengontrol gula darah terutama bagi penderita diabetes tipe 2,
menurunkan tekanan darah, menetralkan racun, menjaga kesehatan mata,
melancarkan pencernaan dan menurunkan berat badan. Buah naga merah juga
memiliki manfaat seperti menguatkan fungsi ginjal, tulang dan kecerdasan
otak, meningkatkan ketajaman mata, dan menguraikan kolestero l (Waladi,
2015).

2.4.1 Taksonomi
Buah naga yang dibudidayakan ada empat jenis, yaitu Hylocereus undatus
(kulit buah berwarna merah dengan daging buah putih), Hylocereus polyrhizus
(kulit buah berwarna merah muda dengan daging buah merah), Selenicereus
megalanthus (kulit buah kuning dengan daging buah putih), Hylocereus
18

costaricensis (kulit buah merah dengan warna daging buah yang sangat merah).
Namun jenis buah naga yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah
Hylocereus polyrhizus dan Hylocereus undatus (Manurung,2014).
Menurut Panjuantiningrum (2009), kedudukan taksonomi buah naga merah adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Hamamelidae
Ordo : Caryophyllales
Famili : Cactaceae
Genus : Hylocereus
Spesies : Hylocereus polyrhizus

(Gambar 2.4)
Buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) (Yuwono,2015)

Hylocereus polyrhizus atau buah naga merah merupakan salah satu


jenis buah yang digemari karena wama buah naga yang menarik, rasanya
lebih manis, beraroma dan lebih berair dari jenis buah naga yang lain. Buah ini
berbentuk bulat lonjong dengan kulit berwama merah yang dihiasi sulur atau
sisik seperti naga dan daging buah berwama merah keunguan. Batang tanaman
19

buah naga merah tumbuh memanjat dan mempunyai duri pendek yang tidak
tajam. Bunganya seperti terompet putih bersih, terdiri atas sejumlah benang
sari berwama kuning. Buah naga merah termasuk golongan yang rajin berbuah,
namun tingkat keberhasilan bunga menjadi buah kecil hanya mencapai 50%,
sehingga produktivitas buahnya cenderung rendah (Jayanti, 2010;
Panjuantiningrum, 2009).

2.4.2 Kandungan Ekstrak Kulit Buah Naga Merah


Menurut penelitian Wiwik (2016), ekstrak dibuat berdasarkan metode
maserasi dengan menggunakan pelarut etanol 70%. senyawa flavonoid dan tanin
yang terkandung dalam kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) bersifat
polar sehingga dapat dilarutkan oleh etanol. Pembuatan ekstrak kulit buah naga
diawali dengan pembuatan serbuk simplisia kulit buah naga merah sebanyak 250
g kemudian direndam dengan 1875 ml etanol 70% lalu ditutup dan dibiarkan
selama 3 hari yang terlindung dari cahaya dan sesekali diaduk satu arah
berlawanan dengan arah jarum jam. Setelah 3 hari, ekstrak diperas dengan
menggunakan kertas saring, lalu dilakukan remaserasi ampas dengan Etanol 70%
dengan perbandingan 1:5. Hasil dari proses maserasi yang diperoleh selanjutnya
dipekatkan menggunakan rotary evaporator dan waterbath dengan suhu 60 OC
untuk mempercepat proses penguapan ekstrak dan tidak merusak zat aktif yang
ada didalamnya. Ekstrak kental yang diperoleh dari proses ekstraksi dengan
metode maserasi di peroleh berwarna coklat-kehitaman dan tidak berbau. Persen
rendemen yang diperoleh sebesar 7,53%
Metode maserasi dipilih karena murah dan mudah dilakukan. Selain itu,
senyawa yang diambil di dalam kulit buah naga merah yaitu senyawa polifenol
yang hanya bertahan pada suhu 60OC, proses perendaman sampel tumbuhan akan
memecah dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan diluar
sel, sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam
pelarut. Pelarut akan melarutkan bahan kandungan sel sesuai kelarutannya (Mulu,
2018).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Manihuruk (2016), kulit buah naga
20

merah yang diekstraksi diperoleh hasil bahwa ekstrak kulit buah naga merah
(Hylocereus polyrhizus) mengandung flavonoid, fenol hidrokuinon, steroid,
triterpenoid, saponin dan tanin, sedangkan alkaloid tidak terdeteksi pada ekstrak
tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil reaksi yang diberikan, seperti pada
pengujian polifenol hasil reaksi menunjukan warna biru kehitaman, reaksi yang
diberikan pada pengujian flavonoid memberikan warna orange kekuningan, dan
reaksi yang diberikan pada pengujian steroid menunjukan hasil dengan warna
menjadi coklat.

Senyawa fitokimia Hasil

Fenol hidrokuinon ++
Flavonoid ++
Triterpenoid ++
Steroid ++
Saponin ++
Tanin +
Alkaloid -

Tabel 2.1. Hasil uji kualitatif fitokimia ekstrak kulit buah naga merah. Tanda +/-
menyatakan keberadaan kandungan senyawa dalam ekstrak (Sumber : Manihuruk,
2016).

Hasil penelitian Luginda (2018). Didapatkan hasil kadar flavonoid total


ekstrak pada ekstrak etanol 70% sebesar 2,107% dan ekstrak etanol 96% sebesar
1,9143%. Hal ini menunjukan bahwa semakin besarnya komposisi air didalam
pelarut maka semakin banyak juga senyawa-senyawa polar dalam yang dapat
berdifusi kedalam pelarut dan dapat disimpulkan bahwa konsentrasi etanol 70%
lebih baik dalam melarutkan flavonoid. Pelarut etanol 70% adalah senyawa polar
yang mudah menguap sehingga baik digunakan sebagai pelarut ekstrak. Semakin
polar pelarut, maka konsentrasi zat aktif yang didapatkan semakin tinggi dan
sebaliknya. Pelarut etanol bersifat polar, relatif aman, serta dapat melarutkan
21

berbagai senyawa yang sukar larut dalam air. Penggunaan pelarut etanol dengan
konsentrasi diatas 70% mengakibatkan penurunan total flavonoid. Pelarut etanol
diatas 70% kurang efektif untuk melarutkan senyawa flavonoid yang memiliki
berat molekul rendah (Suhendra, 2019). Hal serupa juga dilaporkan pada ekstrak
Centella asiatica yang mengalami penurunan total flavonoid dengan perlakuan
konsentrasi diatas 70% (Chew, 2011). Selain itu, pelarut etanol 70% merupakan
pelarut universal yang dapat melarutkan semua senyawa organik dan terutama zat
yang ingin di larutkan yaitu senyawa flavonoid pada kulit buah naga merah.
Etanol 70% juga memiliki daya tarik zat aktif yang lebih baik karena bahan
pengotor yang terlarut terhitung sangat kecil dalam cairan ekstrasi.
Pada penelitian Andhini (2016), kandungan tanin dan flavonoid pada gel
ekstrak kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) dengan besar konsentrasi
30% terbukti memiliki efek mempercepat penyembuhan luka yang ditandai
adanya peningkatan jumlah sel fibroblas. Menurut penelitian Puspitasari (2017),
ekstrak kulit buah naga dengan dosis 0,25 mg/g BB, 0,5 mg/g BB dan 1 mg/g BB
dapat menurunkan kadar interleukin-6 dengan hasil didapatkan dosis optimal
sebesar 1 mg/g BB. Dosis sebesar 1 mg/gram BB yang diberikan secara per oral
pada mencit perlu disuspensikan menggunakan larutan Na-CMC 0,5% sebanyak
0,5 ml. Hal tersebut dikarenakan ekstrak kulit buah naga merah tidak dapat larut
dalam air.
Kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) memiliki potensi sebagai
bahan obat karena memiliki kandungan sianidin 3-ramnosil glukosida 5-
glukosida, flavonoid, tiamin, niasin, piridoksin, kobalamin, fenolik, polifenol,
karoten, fioalbumin, dan betalain (Saati, 2011; Woo et al., 2011). Hasil penelitian
Bahfie (2015), kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) memiliki
kandungan tambahan berupa tanin dan saponin.
Berdasarkan hasil pengujian fotokimia dan FTIR yang dilakukan Noor
(2016), ekstrak kulit buah naga merah memiliki kandungan antioksidan berupa
vitamin C, flavonoid, tanin, alkaloid, steroid, dan saponin. Hal tersebut diperkuat
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ermadayanti (2018), pengujian
dengan metode fitokimia Fourier Transform Infrared (FTIR), kulit buah naga
22

merah ditemukan positif mengandung antosianin, senyawa alkaloid, steroid,


saponin, dan tanin serta vitamin C.

1. Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa metabolit sekunder yang paling banyak terdapat
pada tanaman. Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa fenolik alam yang
berpotensial sebagai antioksidan dan memiliki bioaktivitas sebagai obat. Senyawa
flavonoid merupakan senyawa-senyawa polifenol dengan struktur 15 atom karbon
(C6-C3-C6). Kerangka flavonoid terdiri dari satu cincin aromatik A, satu cincin
aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung oksigen.
Bentuk cincin yang teroksidasi ini dijadikan dasar pada pembagian flavonoid ke
dalam sub kelompoknya. Sistem penomoran pada kerangka flavonoid digunakan
untuk membedakan posisi karbon di sekitar molekulnya (Redha, 2010)

(Gambar 2.4).
Struktur Kimia Dasar Flavonoid (Amorim, 2012)
Flavonoid berfungsi sebagai antiinflamasi. Flavonoid mampu mengurangi
proses inflamasi melalui hambatan terhadap pembentukan prostaglandin yang
dibentuk oleh asam arachnidonat dan mediator inflamasi lain seperti histamin dan
serotonin. Flavonoid menghambat kerja asam arachnidonat melalui jalur
siklooksigenase yang diikuti dengan terhambatnya produksi prostaglandin,
tromboksan, dan leukotrien sebagai mediator inflamasi. jalur lipooksigenase
berfungsi untuk mensintesis leukotrin melalui pemecahan low-density lipoprotein
(LDL). Pemecahan LDL dilakukan melalui 2 langkah yang terdiri dari proses
secara langsung dan proses peroksidase lipid. Flavonoid akan menekan kedua
langkah sintesis leukotrin tersebut. Penghambatan lipooksigenase oleh flavonoid
akan menghasilkan aksi antileukotrin sehingga menghambat perekatan neutrofil
ke sel endotel dan agen-agen kemotaksisnya, termasuk sel-sel inflamasi lainnya.
23

Aksi tersebut juga dilakukan dengan cara menurunkan permeabilitas vaskular


sehingga neutrofil tidak dapat berkemotaksis ke dalam jaringan. Penekanan pada
leukotrin juga akan mengakibatkan menurunnya enzim lisozim dan kadar oksidan
neutrofil sehingga stres oksidatif juga akan ditekan (Sies et al, 2005). Hal ini akan
mempercepat fase inflamasi, sehingga penyembuhan Iuka lebih cepat terjadi dan
tidak akan menimbulkan destruksi organ dalam keadaan yang parah. (Rahardjo,
2014; Ardiana, 2015).
Flavonoid juga berfungsi sebagai antioksidan, yang bekerja dengan
mendonorkan atom hidrogen dan berikatan dengan radikal bebas yang tidak stabil
yang dapat menyebabkan kerusakan membran sel sehingga sel tidak berfungsi
sempurna. Adanya ikatan ini akan membuat radikal bebas menjadi lebih stabil,
sehingga kerusakan membran sel dapat berkurang dan fase proliferasi lebih cepat
terjadi (Sumardika, 2012; Ardiana, 2015).

2. Antosianin
Pada kulit buah naga merah, terdapat kandungan pigmen antosianin
seperti cyanidin-3-sophoroside dan cyanidin-3-glucoside yang tergolong dalam
senyawa flavonoid dan bersifat larut dalam air. Antosianin merupakan pigmen
pembentuk warna merah, ungu, dan biru pada tanaman, terutama sebagai
bahan pewarna pada bagian bunga dan buah. Antosianin tersebar luas pada
tanaman buah naga merah, karena itu dapat dimanfaatkan sebagai pewarna
alami pada makanan. Antosianin peka terhadap panas yang mana kerusakan
antosianin berbanding lurus dengan kenaikan suhu yang digunakan (Jayanti,
2010; Sudarmi et al., 2015).
Secara kimia, antosianin merupakan turunan struktur aromatik tunggal,
yaitu sianidin, terbentuk dari pigmen sianidin dengan penambahan atau
pengurangan gugus hidroksil, metilasi, dan glikosilasi (Samber, 2013).
24

(Gambar 2.5).
Struktur Kimia Antosianin (Tsurud a et al., 2013)
Berdasarkan uraian sebelumnya, antosianin berperan untuk memberi
warna pada bunga, buah, dan tanaman buah naga merah. Wama yang diberikan
oleh antosianin didasarkan pada susunan ikatan rangkap terkonjugasi yang
panjang, sehingga mampu menyerap cahaya pada rentang cahaya tampak.
Sistem ikatan rangkap terkonjugasi ini yang mampu menjadikan antosianin
sebagai antioksidan dengan mekanisme penangkapan radikal bebas (Samber,
2013).

3. Tanin
Tanin merupakan senyawa metabolit sekunder yang tergolong sebagai
senyawa polifenol dengan aktivitasnya membentuk senyawa kompleks bersama
makromolekul lainnya. Tanin memiliki peran sebagai antibakteri dengan
menginaktifkan adhesin sel mikroba dan enzim, serta mengganggu transpor
protein pada lapisan dalam sel. Tanin juga mempunyai target pada polipeptida
dinding sel sehingga pembentukan dinding sel menjadi kurang sempurna. Hal
ini menyebabkan sel bakteri menjadi lisis karena tekanan osmotik maupun
fisik sehingga sel bakteri akan mati (Jayanegara & Sofyan, 2008; Ngajow,
2013).

4. Saponin
Saponin merupakan zat aktif golongan steroid yang mampu
meningkatkan permeabilitas membran sehingga terjadi hemolisis sel bakteri
karena interaksi antara saponin dengan sel bakteri. Saponin juga mampu
meningkatkan proliferasi monosit sehingga ikut meningkatkan jumlah
makrofag, kemudian makrofag akan mensekresi beberapa growth factor seperti
25

EGF, FGF, PDGF, dan TGF-B yang dapat menstimulasi migrasi dan
proliferasi fibroblas ke daerah Iuka, mensintesis kolagen, serta meningkatkan
proliferasi pembuluh darah kapiler (Putra, 2013; Ardiana, 2015).
26

2.5 Kerangka Konseptual


27

2.6 Hipotesis
Pemberian ekstrak kulit buah naga merah (Hydrocereus Polyrhizus) dapat
berpengaruh dalam menurunkan jumlah sel neutrofil pada soket tikus pasca
pencabutan gigi tikus wistar jantan dibandingkan yang diberi Na-CMC 0,5%
28

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen laboratoris. Adapun
rancangan penelitian yang dipilih adalah rancang postes dengan kelompok control
(the post test only control group design) yaitu melakukan pengamatan atau
pengukuran setelah perlakuan dan hasilnya dibandingkan dengan kontrol
(Notoatmodjo, 2010).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biomedik Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Jember untuk perlakuan pada tikus dan bertempat di
Laboraturium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember
untuk pembuatan preparat dan pengamatan jaringan. Pada bulan September –
oktober

3.3 Variabel Penelitian


3.3.1 Variabel Bebas
Ekstrak kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus)

3.3.2 Variabel Terikat


Jumlah sel neutrofil pada tikus wistar jantan (Rattus norvegicus strain
wistar)

3.3.3 Variabel Kendali


Variabel terkendali dalam penelitian ini adalah :
a. Hewan coba (Rattus norvegicus strain wistar)
1. Jenis kelamin hewan coba
2. Berat badan hewan coba
3. Usia hewan coba
b. Makanan dan minuman hewan coba
c. Cara pemberian ekstrak kulit buah naga merah yaitu peroral
d. Gigi tikus yang di ekstraksi yaitu gigi molar bawah kiri
29

e. Waktu pengamatan hewan coba

3.4 Definisi Operasional


3.4.1 Ekstrak kulit buah naga merah
Ekstrak Kulit Buah Naga Merah diperoleh dari kebun buah di daerah
Banyuwangi yang berwarna merah dengan jumbai hijau dan siap panen. Kulit
buah naga yang digunakan adalah kulit buah naga merah jenis Hylocereus
polyrhizus. Dibutuhkan 20 kg buah naga merah dan di dapatkan 400 gram bubuk
kulit buah naga merah dari penghalusan simplisia kemudian di ekstraksi
menggunakan pelarut etanol 70% hingga mendapat ekstrak kental kulit buah naga
merah. Ekstraksi dilakukan di Laboratorium Biologi Program Studi Farmasi
Universitas Jember

3.4.2. Neutrofil dan pembacaan jumlah neutrofil


Neutrofil (Polimorf) dapat diamati dengan mikroskop cahaya pembesaran
400x dan 1000x. Sel ini jika diamati dengan mikroskop berdiameter 12–15 µm
memilliki sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus inti sel dan mengandung
banyak granula merah jambu. Pembacaan sel neutrofil pada luka soket pasca
pencabutan dihitung menggunakan mikroskop binokuler oleh 3 pegamat.
Penghitungan di mikroskop dengan perbesaran 400x. Perhitungan sel neutrofil
dilakukan di daerah 1/3 apikal dari 3 lapang pandang dengan pola huruf V yaitu
pada bagian kiri, tengah dan kanan. Penghitungan dilakukan pada 3 potongan
jaringan dari setiap preparat.

3.4.5 Pencabutan gigi tikus

Pencabutan gigi dari alveolus gigi molar satu rahang bawah kiri tikus
wistar jantan (Rattus Norvegicus) yang dilakukan dengan menggunakan sonde
setengah lingkaran dan eskavator. Sebelum dilakukan pencabutan, terlebih
dahulu di anastesi dengan bahan kentamin dengan dosis 0,04 – 0,08 ml.
30

3.5 Jumlah dan Kriteria Sampel Penelitian


3.5.1 Jumlah Sampel
Besar sampel tiap kelompok ditentukan dengan rumus Daniel (2005):
n= Z2 σ2
d2
Keterangan :
n : besar sampel minimal
z : nilai Z pada tingkat kesalahan tertentu (α); jika α = 0.05, maka Z = 1,96
(2- tailed) dan Z= 1,64 (1-tailed)
σ : standart deviasi
d : kesalahan yang masih bisa ditoleransi
α : derajat signifikan (0,05)
Pada penelitian ini nilai σ diasumsikan sama dengan nilai d (σ = d), hal ini
karena niali σ2 jarang sekali diketahui sehingga harus menduganya. Masalah ini
dapat dihilangkan dengan mendifinisikan d sebagai σ (Steel & Torrie, 1995).
Maka berdasarkan rumus diatas, dapat dilakukan sebagai berikut :
N = (1,96)2 σ2
d2
2
=(1,96)
=3,84 ≈ 4
Berdasarkan perhitungan diatas, diperoleh besar sampel minimal 4 ekor
tikus. Pada penelitian ini digunakan 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan, masing-masing kelompok di bagi menjadi 3 sub-kelompok
yaitu K1, K2, K3, P1, P2 dan P3 sehingga total sampel yang digunakan adalah 24
ekor tikus jantan

3.5.2 Kriteria Sampel


Sampel penelitian adalah tikus wistar jantan dengan kriteria sampel sesuai
kriteria inklusi.

a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi merupakan persyaratan umum yang harus dipenuhi objek
agar dapat diikutsertakan dalam penelitian (Sudigdo, 2008). Kriteria tersebut
31

meliputi jenis tikus yang digunakan dalam penelitian, yaitu :


1. Tikus wistar dengan jenis kelamin jantan
2. Berat badan tikus 200-300 gram
3. Umur tikus 2-3 bulan
4. Pakan tikus dengan pelet merek turbo
5. Kondisi tikus sehat ditandai dengan tidak ada luka, tidak ada cacat tubuh,
dan berat badan normal.

b. Kriteria Ekslusi
Kriteria Ekslusi adalah keadaaan yang menyebabkan objek yang
memenuhi kriteria inklusi tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian
(Sudigdo,2008). Meliputi, tikus yang mati selama penelitian, penurunan berat
badan secara drastis, diare ditandai dengan feces yang berbentuk tidak beraturan,
dan adanya kelainan fisik. Hewan coba yang memenuhi kriteria ekslusi tersebut
dapat dinyatakan drop out sehingga diganti dengan tikus lain sesuai kriteria
inklusi sehingga didapat jumlah tikus sesuai perhitungan besar sampel.

3.5.3 Penggolongan sampel penelitian


A. Kelompok Kontrol
Pada kelompok kontrol, terdiri dari 12 ekor tikus yang di bagi menjadi 3
sub kelompok
1. Sub-kelompok K1, terdiri dari 4 ekor tikus
2. Sub-kelompok K2, terdiri dari 4 ekor tikus
3. Sub-kelompok K3, terdiri dari 4 ekor tikus
B. Kelompok Perlakuan
Pada kelompok perlakuan, terdiri dari 12 ekor tikus yang di bagi menjadi 3
sub kelompok
1. Sub-kelompok P1, terdiri dari 4 ekor tikus
2. Sub-kelompok P2, terdiri dari 4 ekor tikus
3. Sub-kelompok P3, terdiri dari 4 ekor tikus
3.5.3 Perhitungan Dosis
32

a. Dosis Tikus
Dosis kulit buah naga merah yang diberikan pada mencit berdasarkan
penelitian Puspitasari (2017) dengan dosis optimal sebesar 1 mg/g BB mencit
yang diberikan secara per oral dalam bentuk suspensi sebanyak 0.5 ml/tikus Na-
CMC 0,5%.
Maka konversi dosis dari mencit ke tikus :
BB mencit = 20 g
Dosis mencit = 1 mg/g BB
Faktor konversi = 7,0
Dosis tikus = dosis mencit x faktor konversi
= 1 mg/g BB mencit x 7,0
= (0.001 g x 20 g ) / (1 g x 20 g BB) x 7,0
= 0.02 g / 20 g BB x 7,0
= 0.14 g / 20 g BB
= 0.007 g/g BB
= 0.7 mg / g BB tikus
Jadi, dosis yang di berikan pada tikus sebesar 0.7 mg / g BB tikus.

b. Dosis Ketamin
Menurut Kusumawati (2004), dosis anastesi ketamine yang digunakan
pada tikus yaitu 20-40 mg/kg berat badan.

Dosis yang digunakan = 20-40 mg/kg BB


= 20 - 40 mg x 200g/1000
= 20 – 40 mg x 0.2 kg
= 4 – 8 mg

Ketamin yang digunakan dalam penelitian ini memiliki konsentrasi 100


mg / 1 ml. dosis kentamin yang dibutuhkan adalah:
100 mg = 4 – 8 mg
1 ml X

X = 0,04 – 0.08
ml
33

Sehingga dosis ketamin yang digunakan antara 0,04 – 0.08 ml

3.6 Alat dan Bahan Penelitian


3.6.1 Alat Penelitian
a. Alat-alat untuk pemeliharaan hewan coba terdiri atas kandang terbuat dari
ember plastic persegi empat berukuran 40x30x10 cm3 dengan tutup dan
anyaman kawat
b. Timbangan untuk menimbang tikus (Neraca Ohaus, Germani)
c. Tempat makan dan minum tikus (Turbo)
d. Sarung tangan (Everglove)
e. Gelas ukur
f. Sonde lambung
g. Dysposible syringe (Onemed)
h. Scalpel dan blade scalpel
i. Pinset kedokteran gigi
j. Rak slide
k. Deck glass (menzel glazer)
l. Object glass (citoglass)
m. Mikroskop binokuler (Olimpus)
n. Excavator (Smic, Cina)
o. Sonde lurus dan setengah bulat (Dentica)
p. Mikrotom

3.6.2 Bahan Penelitian


a. Bahan pembuatan Ekstrak buah naga merah terdiri dari kulit buah naga 20
kg, etanol 70%, kertas saring (Whatman filter paper), karbopol 2%,
propilon glikol 15%, akuades 71%, dan trietanolamin (TEA) 4%
b. Ekstrak buah naga merah
c. Bahan ekstraksi gigi hewan coba terdiri dari ketalar 1000 mg/ 10 ml, kapas
steril, cotton roll, dan aquades steril.
d. Larutan ketamin (Hameln Pharmaceuticals Gmbh, Jerman)
e. Aquades steril
34

f. Cotton pellet
g. Alkohol 70% (Merck)
h. Formalin
i. Parafin Bubuk
j. Xylol
k. Hematoksilin-Eosin
l. Asam formiat 10%
m. Minuman dan makanan standart tikus wistar yang beredar di pasar, yaitu
jenis konsentrat produksi Feedmill Malindo, air mineral, dan gabah/sekam

3.7 Prosedur Penelitian


3.7.1 Ethical Clearance
Sebelum dilakukan penelitian, hewan coba dan prosedur penelitian akan
dilakukan pengurusan ethical clearance di Komisi Etik Penelitian Kesehatan
fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember

3.7.2 Tahap Persiapan Kelompok Hewan Coba

Persiapan hewan coba pada masing masing kandang diberi label seperti
pada pengelompokan hewan yaitu K1, K2, K3, P1, P2, P3. Selama tujuh hari
tumbuh kembang tikus diamati, serta kebutuhan makanan standart tikus wistar
yang beredar di pasar, yaitu jenis konsentrat produksi Feedmill Malindo dan
minuman air mineral dengan merk dagang Aqua. Pemberiannya harus
diperhatikan dengan benar sehingga tidak kekurangan. Hal ini dimaksudkan agar
didapat kondisi tikus yang sama dan dapat dikelompokkan sesuai kriteria.

3.7.3 Persiapan Pembuatan Ekstrak Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus


polyrhizus)
a. Kulit buah naga merah dikupas dan dicuci dengan air mengalir, diiris kecil
dan diangin-anginkan selama 24 jam.

b. Kulit buah naga merah dikeringkan dalam oven pada suhu 45°C selama 2
jam.
35

c. Kulit buah naga merah kering dihaluskan sampai menjadi serbuk seberat
400 gram dan dimasukkan ke dalam tabung Erlenmeyer, ditambahkan
3,2L pelarut etanol 70% selama 3 x 24 jam, sambil sesekali diaduk.

d. Maserat disaring dari ampasnya menggunakan kertas saring dan maserasi


diulang sampai 2 kali. Filtrat etanol yang diperoleh, dikumpulkan
kemudian dipekatkan menggunakan bantuan vacuum rotary evaporator
dan waterbath sehingga diperoleh ekstrak kental.

3.7.4 Pengelompokan Hewan Coba


Hewan coba tikus wistar jantan sebanyak 24 ekor dengan berat badan 150-
200 gram dibagi menjadi 2 kelompok yaitu
a. Kelompok Kontrol, yang terdiri dari 12 ekor tikus. Tikus-tikus dilakukan
pencabutan gigi pada gigi molar satu bawah kiri lalu di biarkan proses
penyembuhan normal dengan pemberian Na-CMC 0,5% hingga tikus
dikorbankan dan didekapitulasi, kemudian di ambil rahang bawahnya
untuk proses pembuatan sediaan jaringan.

1. Sub kelompok K1 : pada hari ke-1 setelah dilakukan pencabutan


dan pemberian Na-CMC 0,5% pada hari ke-0, 4 ekor tikus Wistar
jantan didekaputasi, kemudian di ambil rahang bawahnya,
selanjutnya di proses untuk pembuatan jaringan

2. Sub kelompok K2 : pada hari ke-3 setelah dilakukan pencabutan


dan pemberian Na-CMC 0,5% hingga hari ke-2, 4 ekor tikus
Wistar jantan didekaputasi, kemudian di ambil rahang bawahnya,
selanjutnya di proses untuk pembuatan jaringan

3. Sub kelompok K3: pada hari ke-5 setelah dilakukan pencabutan


dan pemberian Na-CMC 0,5% hingga hari ke-4, 4 ekor tikus
Wistar jantan didekaputasi, kemudian di ambil rahang bawahnya,
selanjutnya di proses untuk pembuatan jaringan
36

b. Kelompok Perlakuan, yang terdiri dari 12 ekor tikus. Tikus tikus dilakukan
pencabutan gigi pada gigi molar satu bawah kiri selanjutnya tikus diberi
ekstrak kulit buah naga merah secara peroral. Pemberian pertama
dilakukan setelah pencabutan dengan dosis 0.7 mg / g BB tikus.
Pemberian ekstrak kulit buah naga merah dengan dosis 0.7 mg / g BB
dilakukan 1x dalam satu hari pada pagi hari. Tikus dikorbankan dan
didekapitulasi, kemudian di ambil rahang bawahnya untuk proses
pembuatan sediaan jaringan.

a. Sub kelompok P1 : pada hari ke-1 setelah dilakukan pencabutan


dan pemberian ekstrak kulit buah naga merah pada hari ke-0, 4
ekor tikus Wistar jantan didekaputasi, kemudian di ambil rahang
bawahnya, selanjutnya di proses untuk pembuatan jaringan

b. Sub kelompok P2 : pada hari ke-3, setelah dilakukan pencabutan


pada hari ke 0, dan pemberian ekstrak kulit buah naga merah
selama 2 hari, 4 ekor tikus Wistar jantan didekaputasi, kemudian di
ambil rahang bawahnya, selanjutnya di proses untuk pembuatan
jaringan

c. Sub kelompok P3 : pada hari ke-5, setelah dilakukan pencabutan


pada hari ke 0, dan pemberian ekstrak kulit buah naga merah
selama 4 hari, 4 ekor tikus Wistar jantan didekaputasi, kemudian di
ambil rahang bawahnya, selanjutnya di proses untuk pembuatan
jaringan

3.7.5 Tahap Ekstraksi Gigi Tikus


Tahap ekstraksi gigi dimulai dengan tahap anastesi pada tikus
menggunakan ketalar. Saat tikus sudah dibawah pengaruh anastesi, maka ekstraksi
gigi segera dilakukan dengan menggunakan excavator dan sonde setengah
lingkaran. Gigi tikus dipisahkan dengan jaringan sekitarnya menggunakan sonde
setengah lingkaran, kemudian setelah gigi terlepas dari perlekatan gigi tikus di
ungkit dengan menggunakan excavator, untuk mengambil gigi dari soket
37

digunakan pinset berkerat.

3.7.6 Tahap perlakuan


Perlakuan pada hewan coba di berikan sesaat setelah tikus dilakukan
pencabutan. Masing-masing tikus diberi perlakuan sesuai kelompoknya sebagai
berikut:
a. Kelompok K1, K2, K3 merupakan kelompok kontrol, gigi molar kiri
bawah di ekstraksi dan diberi Na-CMC 0,5% secara peroral kemudian
hewan di korbankan.

b. Kelompok P1, P2, P3 merupakan kelompok perlakuan, gigi molar kiri


bawah tikus di ekstraksi dan dilakukan pemberian ekstrak kulit buah naga
merah dengan dosis 0.7 mg / g BB tikus secara per oral menggunakan
sonde lambung kemudian hewan di korbankan.

3.7.7 Mengorbankan Hewan Coba

Hewan coba dikorbankan setelah 24 jam dari waktu pemberian


perlakuan terakhir. Pengorbanan dilakukan dengan cara memasukkan kapas
yang telah dibasahi eter kedalam suatu tempat yang sesuai dengan besar
tikus (toples), kemudian tikus dimasukkan kedalam tempat tersebut dan
ditunggu sampai mati.

3.7.8 Tahap Pembuatan Preparat Jaringan

Menurut Muntiha (2001), tahapan pembuatan preparat Jaringan


adalah sebagai berikut:

A. Setelah tikus dikorbankan, dilakukan pengambilan rahang bawah


kiri tikus untuk dibuat preparat jaringan

B. Jaringan difiksasi selama 24 jam dengan menggunakan buffer


formalin 10% supaya tidak membusuk dan untuk melindungi
struktur morfologi sel.

C. Larutan dekalsifikasi yaitu larutan yang berfungsi untuk menghilangkan


38

garam-garam kalsium dari jaringan tulang sebelum pemotongan sehingga


tulang menjadi lunak, selain itu juga untuk memudahkan pemotongan.
Dekalsifikasi hanya bisa dilakukan apabila jaringan difiksasi dengan
sempurna. Larutan dekalsifikasi menggunakan asam format 10% selama 10
hari tanpa dicampur menggunakan shaker dan dilakukan penggantian larutan
selama dua hari sekali.

C. Selanjutnya dilakukan dehidrasi dengan menggunakan alkohol


konsentrasi bertingkat. Dengan urutan alkohol 70 % selama 15 menit,
alkohol 80% selama 1 jam, alkohol 95% selama 2 jam, alkohol 100%
selama 1 jam dan dilakukan pengulangan 3 kali.

D. Proses clearing yaitu proses penjernihan jaringan dengan menggunakan


xylol. Dengan urutan xylol I selama 1 jam, xylol II selama 2 jam,
xylol III selama 2 Jam.

E. Tahap impregnasi yaitu proses infiltrasi bahan embedding ke dalam


jaringan pada suhu 56-60°C. Jaringan dibu ngkus dengan kertas saring
yang diberi label kemudian dimasukkan ke dalam parafin cair.
Dengan urutan parafin 1 selama 2 jam, parafin 2 selama 2 jam, parafin
3 selama 2 jam.

F. Penanaman dalam parafin. Cetakan dari bahan stainles steel


dihangatkan di atas api bunsen, lalu ke dalam setiap cetakan
dimasukkan jaringan sambil diatur dan sedikit ditekan. Sementara
ditempat lain telah disiapkan parafin cair dengan suhu 60°C. Parafin
cair tersebut dituangkan ke dalam jaringan sampai seluruh jaringan
terendam parafin. Parafin dibiarkan membeku di atas mesin pendingin
Selanjutnya blok parafin dilepas dari cetakan dan disimpan dalam
lemari pendingin sebelum dilakukan pemotongan.

G. Tahap penyayatan jaringan. Jaringan yang telah ditanam dalam parafin


dipotong sagital sehingga akan terlihat soket pada bagian bukal dan
lingual. Penyayatan dilakukan dengan menggunakan mikrotom.
39

Ketebalan sayatan ketebalan berkisar 5 mikron. Potongan tersebut


diletakkan secara hati-hati di atas permukaan air dingin, dirapikan
dengan kuas sampai tidak ada permukaan yang menggulung kemudian
dengan kaca obyek sayatan jaringan diambil dan dikembangkan dalam
waterbath bersuhu 37°C. Pada kesempatan ini bentuk irisan dirapikan
kembalikan hingga jaringan mengembang, kemudian diletakkan di atas
kaca obyek yang telah diolesi meyer egg albumin, yang berfungsi sebagai
bahan perekat kaca obyek dengan jaringan di atasnya diletakkan diatas
slide warmer selama 24 jam dengan suhu 37°C. Setelah 24 jam preparat
siap untuk diwarnai.

3.7.9 Pewarnaan jaringan


Menurut Muntiha (2001), preparat yang akan diwarnai diletakkan pada rak
slide (slide jar) dan dicelupkan secara berurutan ke dalam larutan dengan waktu
sebagai berikut xylol 1 selama 3 menit, xylol 2 selama 3 menit, alkohol absolute
selama 3 menit, alkohol absolute 2 selama 3 menit, alkohol 95% selama 3 menit,
alkohol 95% selama 3 menit, bilas dengan air kran selama 10 menit, larutan
hematoksilin selama 8-10 menit, bilas dengan air kran selama 20 menit, larutan
eosin selama 15 detik, alkohol 95% selama 3 menit, alkohol 95% selama 3 menit,
alkohol absolute selama 3 menit, alkohol absolute selama 3 menit, xylol 1 selama
3 menit, xylol 2 selama 3 menit, xylol 3 selama 3 menit. Preparat diangkat satu
persatu dari larutan xylol dalam keadaan basah, diberi satu tetes cairan perekat
(entelan) dan selanjutnya ditutup dengan kaca penutup. Hasil pewarnaan dapat
dilihat di bawah mikroskop.

3.7.10 Pengamatan dan perhitungan hasil


Sel neutrofil pada luka soket pasca pencabutan dihitung menggunakan
mikroskop binokuler oleh 3 pegamat. Penghitungan di mikroskop dengan
perbesaran 400x . Perhitungan sel neutrofil dilakukan di daerah 1/3 apikal dari 3
lapang pandang dengan pola huruf V yaitu pada bagian kiri, tengah dan kanan.
Penghitungan dilakukan pada 3 potongan jaringan dari setiap preparat, kemudian
dilakukan tabulasi jumlah neutrofil dan diambil reratanya
40

3.8 Analisa Data


Analisis data setelah hasil data diperoleh. data dianalisis terlebih dahulu
dengan uji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk untuk menentukan apakah
distribusi kelompok sampel adalah normal, kemudian dilanjutkan dengan uji
homogenitas varian untuk menggali variasi populasi menggunakan uji Levene –
Test. Jika data diperoleh berdistribusi normal dan homogen, maka dilanjutkan
dengan parametrik Independent T-test dengan tingkat kepercayaan 95 % (α=0,05).
Tetapi apabila data tidak terdistribusi secara normal, maka dilanjutkan dengan uji
non-parametrik Mann-Whitney.
41

3.9 Alur Penelitian

Tikus wistar jantan (24 ekor) yang telah


diadaptasikan selama 7 hari

Pencabutan gigi molar kiri


bawah tikus

Kelompok K1 Kelompok P1 Kelompok K2 Kelompok P2 Kelompok K3 Kelompok P3


4 ekor tikus 4 ekor tikus 4 ekor tikus 4 ekor tikus 4 ekor tikus 4 ekor tikus
diberi CMC- diberi ekstrak diberi CMC- diberi ekstrak diberi CMC- diberi ekstrak
Na kulit buah Na kulit buah Na kulit buah
naga merah naga merah naga merah

Tikus dikorbankan pada hari ke- Tikus dikorbankan pada hari ke- Tikus dikorbankan pada hari ke-
1 dan diambil rahang bawahnya 3 dan diambil rahang bawahnya 5 dan diambil rahang bawahnya

Tahap fiksasi, dekalsifikasi, dehidrasi, clearing, impregnasi jaringan

Penanaman blok parafin dan penyayatan


dengan mikrotom setebal 5 mikron

Pewarnaan preparat dengan


Hematoksilin Eosin

Pengamatan dan perhitungan sel radang akut


(neutrofil) dalam soket gigi

Analisa Data
42

DAFTAR PUSTAKA
Agtini MD (2010). Persentase Pengguna Protesa Di Indonesia. Media Litbang Kesehatan.
XX (2): 50-8.
Amorim ELC, Castro VTN, Melo JG, Corrêa AJC, Sobrinho TJSP. 2012. Standard
operating procedures (sop) for the spectrophotometric determination of phenolic
compounds contained in plant samples. InTech. [cited June 16, 2016]. Available
from: http://dx.dol.org/10.5772/51686.
Anthony L. M.. 2010. Junqueira’s Basic Histology: Text and Atlas 12th Edition.
McGraw-Hill Medical.
Andhini, R. P. 2016. Efek Ekstrak Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus Polyrhizus)
Terhadap Jumlah Sel Fibroblas Pada Soket Gigi Tikus Wistar. Skripsi. Surabaya :
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya.
Andersson dkk. 2010. Oral and Maxillofacial Surgery. 1st. USA: Wiley-Blackwell.
Ardiana T, Kusuma ARP, Firdausy MD. 2015. Efektivitas pemberian gel binahong
(anredera cordifolia) 5% terhadap jumlah sel fibroblast pada sambungan pasca
pencabutan gigi marmut (cavia cobaya). Odonto Dental Journal 2 (1): 64-70
Bahfie I. 2015. Daya hambat ekstrak kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus)
terhadap pertumbuhan aggregatibacter actinomycetemcomitans. Skripsi Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya
Baratawidjaja , KG & Rengganis , I 2010, Imunologi Dasar, 9th ed, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 162.
Corwin E.J. 2008. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Edisi ke 3. EGC. Jakarta. h.235
Chew, K.K., M.Z. Khoo, S.Y. Ng, Y.Y. Thoo, W.M.W. Aida Dan C.W. Ho. 2011. Effect
Of Ethanol Concentration, Extraction Time And Extraction Temperature On The
Recovery Of Phenolic Coumponds And Antioxidant Capacity Of Centella
Asiatica Extract. International Journal Of Food Research 18(4):1427-1435.
Dorland WA, Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. p. 702, 1003.
Dupre-Crochet S, Erard M, Nubetae O. 2013. ROS production in phagocytes: why, when,
and where?. J Leukoc Biol . 94(70): 657 (Ortiz-Hernandez, 2012).
Effendi, Z. (2003) Peranan Leukosit Sebagai Antiinflamasi Alergik Dalam Tubuh, FK
USU.
Ermadayanti, W. 2018. Seribu Manfaat pada Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus
polyrhizus) . Surabaya : Departemen Kimia Fakultas Sains ITS
43

Furze, R. C. dan Sara M. Rankin. 2008. Neutriphil mobilization and clearance in the bone
marrow. Immunology The Journal of Cells, Molecules, Systems, and
Technologies 125: 281-288.Oliveira, S., et al. 2016. Neutrophil migration in
infection and wound repair: going forward in reverse. Net Rev Immunol. May;
16(6): 378-391.

Guyton, A. C., Hall, J. E.2014.textbook of medical physiologi. Twelfth edition.


Singapore : Elsevier inc. terjemahan oleh Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi 12. Jakarta : EGC.
Hamamoto D, Rhodus N. Methamphetamine abuse and dentistry. J Complication Oral
Disease 2009; 15: 27-37.
Idawati, Nurul.2012. Budidaya Buah Naga Hitam Varietas Baru yang Kian
Diburu.Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Iqbal K, Khan A, Khattak MMAK. 2004. Biological significance of ascorbic acid
(vitamin c) in human health – a review. Pakistan Journal of Nutrition 3(1): 513.
Jaafar R.A., Abdul Rahman A.R. Bin, Mahmod N.Z.C. and Vasudevan R., 2009,
Proximate Analysis of Dragon Fruit (Hylocereus polyrhizus), American Journal of
Applied Sciences, 6 (7), 1341–1346.
Jayanti, PR. 2010. Kajian kandungan senyawa fungsional dan karakteristik sensoris es
goyang buah naga super merah (Hylocereus costaricensis). Skripsi Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Jayanegara A & Sofyan A. 2008. Penentuan aktivitas biologis tanin beberapa hijauan
secara in vitro menggunakan ‘hohenheim gas test’ dengan polietilen glikol
sebagai determinan. Media Peternakan 31(1): 44-52.
Jhunjhunwala S, Aresta-DaSilva S, Tang K, et al. 2015. Neutrophil responses tosterile
implant materials. PloS One 5;10:e0137550.
Kristanto, D. 2008. Buah Naga Pembudidayaan di Pot dan di Kebun. Jakarta: Penebar
Swadaya.

Kumar, V., Abbas A.K., Fausto, N., Robbins, S.L, dan Cotran, R,S., 2005, Robbins and
Cotran Pathologic Basic of Disease, Edisi 7, Elsivier Inc., Philadelphia.
Kusumastuti, Endah., Juni H. 2014, Ekspresi COX-2 dan Jumlah Neutrofil Fase
Inflamasi pada Proses Penyembuhan Luka Setelah Pemberian Sistemik Ekstrak
Etanolik Rosela (Hibiscus sabdariffa) (studi in vivo pada Tikus Wistar). Maj Ked
Gi. Juni 2014; 21(1): 13-19
Kiswari, dr. Rukman. 2014. Hematologi dan Transfusi. Jakarta : Erlangga, 2014.
Kumar V., Cotran R.S., Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC.
Hal 186-94, 200-11, 788-801.
44

Luginda, R., Lohita, B., Indriani, L. 2018. Pengaruh Variasi Konsentrasi Pelarut Etanol
Terhadap Kadar Flavonoid Total Daun Beluntas (Pluchea Indica (L.)Less)
Dengan Metode Microwave – Assisted Extraction (Mae) . Bogor : Program Studi
Farmasi Fmipa Universitas Pakuan Bogor
Mulu, M. 2018. Formulasi Krim Ekstrak Etanol Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus
Polyrhizus). Skripsi. Kupang : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang Program Studi Farmasi Kupang
Miloro, M., Ghali, G.E., Larsen, P.E. and Waite, P.D. (2004) Peterson’s Principles of
Oral and Maxillofacial Surgery. 2nd Edition, BC Decker Inc., Hamilton, London,
Vol-1: 583.
Manurung, D. 2014. Buah Naga Merah. http:// repository. usu.ac. id/ bit stream/ 1 234567
89 /42048 /4/ Chapter % 20II. pdf.[Diakses Pada Tanggal 15 Juni 2018].
Mantovani A, Cassatella MA, Costantini C, Jaillon S. Neutrophils in the activation and
regulation of innate and adaptive immunity. Nat Rev Immunol. 2011 Jul
25;11(8):519-31. doi: 10.1038/nri3024. Review. PubMed PMID: 21785456.
Manihuruk, Fitri, M. 2016. Efektivitas Ekstrak Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus
Polyrhizus) Sebagai Pewarna, Antioksidan, Dan Antimikroba Pada Sosis Daging
Sapi. Bogor : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
McCartney-Francis NL, Wahl SM. 2001. TGF-beta and macrophages in the rise and fall
of inflammation. Basel Burkhauser 65-90
Noor, M., Yufita, E., Zulfalina. 2016. Identifikasi Kandungan Ekstrak Kulit Buah Naga
Merah Menggunakan Fourier Transform Infrared (Ftir) Dan Fitokimia. Journal Of
Aceh Physics Society (Jacps) 5(1) : 14-15
Nelson DL. & Cox, MM. 2005. Lehninger Principles of Biochemistry 4th ed. New York:
W. H. Freeman. Pp. 1119.
Ngajow M, Abidjulu J, Kamu VS. 2013. Pengaruh antibakteri ekstrak kulit batang matoa
(Pometia pinnata) terhadap bakteri staphylococcus aureus secara in vitro. 2013.
Jurnal MIPA Unsrat Online 2(2): 128-132.
Nurliyana, R., Z.I. Syrd, S.K., Mustapha, M.R., Aisyah, R.K., Kamarul, 2010,
Antioxidant Study of Pulps and Peels of Dragon Fruits : A Comparative Study,
International Food Research Journal, 17 : 367-375.
Pribadi, Y. S., Sukatiningsih., & Sari, P. (2014). Formulasi tablet effervescent berbahan
baku kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) dan buah salam (Syzygium
polyanthum [Wight.] Walp). Jurnal Teknologi Hasil Pertanian. 1, (4),86-89.
Puspitasari, Sagita., Hendy, Hendarto., 2017. Pengaruh Ekstrak Kulit Buah Naga Merah
(Hylocereus Polyrhizus) Terhadap Kadar Interleukin-6 Mencit Model
Endometriosis. Jbp Vol. 19 No. 03, Desember 2017
45

Putra ATW, Ade W, Hamidy MY. 2013. Tingkat kepadatan fibroblast pada luka sayat
mencit dengan pemberian gel lidah buaya (Aloe chinensis Baker). Bagian Patologi
Anatomi dan Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Riau. pp. 6-8.

Panjuantiningrum F. 2009. Pengaruh pemberian buah naga merah (hylocereus polyrhizus)


terhadap kadar glukosa darah tikus putih yang diinduksi aloksan. Skripsi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Pawestri, Asri Dinar. 2015. Pengaruh Ekstrak Thymoquinone Jintan Hitam (Nigella
sativa) Terhadap Jumlah Neutrofil pada Soket Tikus Pasca Pencabutan Gigi
Disertai Trauma Jaringan. Skripsi. Jember: Universitas Jember.
Permatasari, Kartika Andari Wulan dan Rr. Merina Diah Eri Nurmasari. Efek ekstrak
ginseng asia (Panax ginseng) pada jumlah sel epitel mukosa soket pasca
pencabutan gigi pada Rattus norvegicus. Majalah FKUB. Malang. 2012.
RS Ngangi, Mariati NW, Hutagalung BSP. 2012. Gambaran pencabutan gigi di balai
perawatan rumah sakit gigi dan mulut Universitas Sam Ratulangi tahun 2012. Pp.
81-87.
Renasari,N. 2010. Budidaya tanaman buah naga super red di Wana Bekti Handayani
[skripsi]. Purwokerto: Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2013. Pp. 110-113. Diakses Mei 2018.
Tersedia dari: http://www.depkes.go.id/gigi.pdf

Robbins, dkk., 2007. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Edisi 7. Penerbit buku Kedokteran
EGC. Jakarta
Redha, Abdi. 2010. Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidatif Dan Peranannya Dalam
Sistem Biologis. Jurusan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Pontianak, Jalan
Ahmad Yani Pontianak 78124. Jurnal Belian Vol. 9 No. 2 Sep. 2010: 196 – 202
Rahardjo C, Prameswari N, Rahardjo P. 2014. Pengaruh gel teripang emas terhadap
jumlah fibroblas di daerah tarikan pada relaps gigi setelah perawatan ortodonti.
Denta Jurnal Kedokteran Gigi 8(1): 26-33.

Serhan, C.N., Ward, P.A. dan Gilroy, D.W., 2010, Fundamentals of Inflammation,
Cambridge University Press, Newyork.
Sorongan RS, Pangemanan DHC, Siagian KV. 2015. Efektivitas perasan daun pepaya
terhadap aktivitas fibroblast pasca pencabutan gigi pada tikus wistar jantan. Jurnal
Ilmiah Farmasi Pharmacon 4 (4): 52-57
Sudarmi S, Subagyo P, Susanti A, Wahyningsih AS. 2015. Ekstraksi sederhana
antosianon dari kulit buah naga (Hylocereus polyrhizus) sebagai pewarna alami.
Eksergi 12(1): 5-7
46

Sumardika IW, Jawe IM. 2012. Ekstrak air daun ubijalar ungu memperbaiki profil lipid
dan meningkatkan kadar sod darah tikus yang diberi makanan tinggi kolesterol.
Medicina 43(2): 67-71

Suhendra, C., Widarta, I., Wiadnyani, A. 2019. Pengaruh Konsentrasi Etanol Terhadap
AktivitasAntioksidan Ekstrak Rimpang Ilalang (Imperata Cylindrica (L) Beauv.)
Pada Ekstraksi Menggunakan Gelombang Ultrasonik. Jurnal Ilmu Dan Teknologi
Pangan 8(1): 27-32
Saati E. 2010. Identifikasi dan uji kualitas pigmen kulit buah naga merah (Hylocareus
costaricensis) pada beberapa umur simpan dengan perbedaan jenis pelarut.
GAMMA 6(1): 25-34.
Sies. H.. T. Schewe. C. Heiss and M. Keln. 2005. Cocoa polyphenols and inflammatory
mediators. American Journal of Clinical Nutrition 81 : 304312.
Steed DL. 2003. Wound-healing trajectories. Surg Clin North Am. 83:547–55.
Sorongan RS, Pangemanan DHC, Siagian KV. 2015. Efektivitas perasan daun pepaya
terhadap aktivitas fibroblast pasca pencabutan gigi pada tikus wistar jantan. Jurnal
Ilmiah Farmasi Pharmacon 4(4): 52-57.
Selders, G. S., et al. An Overview of The Role of Neutrophils in Innate Immunity,
Inflammation and Host-biomaterial Integration. Regenerative Biomaterials. 2017,
10.1093. 55-68

Suartha, I Nyoman; Swantara, I Made Dira; Rita, Wiwik Susanah. Ekstrak Etanol dan
Fraksi Heksan Buah Pare (Momordica charantia) Sebagai Penurun Kadar Glukosa
Darah Tikus Diabetes (Ethanol Extract And Hexane Fraction Of Momordica
Charantia Decrease Blood Glucose Level Of Diabetic Rat). Jurnal Veteriner,
[S.l.], v. 17, n. 1, p. 30-36, mar. 2016. ISSN 2477-5665.
Samber, L.N., Semangun, H., Prasetyo B., 2013, Ubi Jalar Papua Sebagai Sumber
Antioksidan, Program Studi Magister Biologi, Universitas Kristen Setya Wacana.

Trombelli, Leonardo & Farina, Roberto. (2008). Clinical outcomes with bioactive agents
alone or in combination with grafting or guided tissue regeneration. Journal of
clinical periodontology. 35. 117-35. 10.1111/j.1600-051X.2008.01265.x.
Tsuruda AY, Filho MLM, Busanello M, Guergoletto KB, Baú TR, Ida EI, Garcia S.
2013. Differentiated foods for consumers with new demands. [cited June 16,
2016]. Available from:
http://www.intechopen.com/books/foodindustry/differentiated-foods-for-
consumers-with-new-demands
Annisa, Wahida. (2018). Seribu Manfaat pada Kulit Buah Naga Merah (Hylocereus
polyrhizus).
47

Waladi, Johan VS, Hamzah F. 2015. Pemanfaatan kulit buah naga merah (Hylocereus
polyrhizus) sebagai bahan tambahan dalam pembuatan es krim. Jom Faperta 2(1):
1-11.

Wilmana P.F., dan Sulistia G.G., 2007, Analgesik-antipiretik, analgesic-antiinflamasi non


steroid dan obat pirai, Farmakologi dan Terapi, Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 230-246
Woo KK, Ngou FH, Ngo LS, Soong WK, Tang PY. 2011. Stability of betalain pigment
from red dragon fruit (Hylocereus polyrhizus). American Journal of Food
Technology, 6(2): 140-148.
Yuwono, SS. 2015. Buah naga merah (Hylocereus polyrhizus). Diakses 12 Mei, 2016.
Available from: http://darsatop.lecture.ub.ac.id/2015/06/buah-nagamerah-
hylocereus-polyrhizus/.

Anda mungkin juga menyukai