Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut penelitian, down syndrome menimpa satu di antara 700 kelahiran


hidup atau 1 diantara 800-1000 kelahiran bayi. Diperkirakan saat ini terdapat empat
juta penderita down syndrome di seluruh dunia, dan 300 ribu kasusnya terjadi di
Indonesia. Analisis baru menunjukkan bahwa dewasa ini lebih banyak bayi
dilahirkan dengandown syndrome dibanding 15 tahun lalu. Karena merupakan
suatu kelainan yang tersering yang tidak letal pada suatu kondisi trisomi, maka
skrining genetik dan protokol testing menjadi fokus dibidang obstetri. Kelainan
mayor yang sering berhubungan adalah kelainan jantung 30-40%. atresia
gastrointestinal, leukimia dan penyakit tiroid. IQ berkisar 25-50.Insidensnya pada
Wanita yang hamil diatas usia 35 th meningkat dengan cepat menjadi 1 diantara
250 kelahiran bayi. Diatas 40 th semakin meningkat lagi, 1 diantara 69 kelahiran
bayi.

Dengan adanya data tersebut makalah ini tersusun untuk memberi informasi dan
menggali kepedulian terhadap sesama. Selain itu juga dapat mengetahui gejala-
gejala sejak dini, sehingga penderita down syndrome dapat penanganan secara
tepat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu Down Syndrome ?

2. Bagaimana patofisiologi dan epidemiologi pada Down Syndrome ?

3. Untuk mengetahui dan memahami diagnosis, prognosis, dan fisioterapi pada


Down Syndrome ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa itu Down Syndrome

2. Untuk mengetahui patofisiologi dan epidemiologi Down Syndrome

1
3. Untuk mengetahui dan memahami diagnosis, prognosis, dan fisioterapi pada
Down Syndrome

1.4 Manfaat Penulisan

1. Agar pembaca dapat mengetahui apa itu Down Syndrome

2. Agar pembaca dapat mengetahui patofisiologi dan epidemiologi pada Down


Syndrome

3. Agar pembaca dapat mengetahui dan memahami diagnosis, prognosis, dan


fisioterapi pada Down Syndrome

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Down Syndrome


Menurut World Health Organization (WHO) Down Syndrome adalah
sebuah tipe retardasi mental yang disebabkan materi genetic kromosom 21.
Sindrom ini bisa terjadi akibat adanya proses yang disebut nondisjunction atau
gagal berpisah yang mana materi genetiknya gagal untuk memisahkan diri
selama proses penting dari pembentukan gamet, menghasilkan kromosom
ekstra yang disebut trisomi 21. Penyebab gagal berpisah ini belum diketahui,
walaupun sebenarnya berkolerasi dengan umur ibu penyerta.( WHO, 2016)

Semua penyandang Down Syndrome mengalami keterlambatan kognitif


yang efeknya biasanya dalam taraf ringan ke sedang, dan tidak diindikasikan
terhadap banyaknya kekuatan dan bakat yang dimiliki tiap individu. Anak-anak
penyandang Down Syndrome juga memiliki keterlambatan dalam aspek
motorik kasar, motorik halus, bahasa dan personal sosial, antara lain hipotonus,
perhatian penglihatan yang inkonsisten, ketidakmampuan membuat frase yang
bermakna setelah 24 bulan menurut acuan perkembangan yang dipakai yaitu
Denver (Lampiran 1) (National Down Syndrome Society, 2005).

2.2 Patofisiologi Down Syndrome


Tubuh manusia terbuat dari sel, yang teridri dari bagian utamanya yaitu
nukleus, dimana nukleus merupakan tempat menyimpanan gen. kumpulan gen
yang mempunyai struktur disebut kromosom. Normalnya, setiap nukleus dari
tiap sel berjumlah 23 pasang kromosom, dimana setengahnya diwarisi dari
masing-masing orang tua. Pada tiap individu penyandang Down Syndrome sel
berjumlah 47, bukan 46 dimana kromosom ekstra adalah kromosom ke 21. Ini
merupakan kelebihan jumlah materi genetik pada Down Syndrome. Kromosom
ke 21 ini dideteksi dengan menggunakan prosedur yang dinamakan karotype.
(National Down Syndrome Society, 2005)

3
Down Syndrom biasanya disebabkan karena kesalahan dalam
memisahkan kromosom abnormal dari sel, dua tipe kromosom yang abnormal
adalah mosiacism dan transovation. Semua penyandang Down Syndrome
memiliki kromosom ekstra 21 pada tiap sel. Kromosom inilah yang
menyebabkan keterlambatan dan menyebabkan anak mempunyai sindrom-
sindrom tersebut. (National Down Syndrome Society, 2005)

Translokasi merupakan kasus perpindahan kromosom yang terjadi pada


badan sel. Sebanyak 5% kasus Down Syndrome merupakan translokasi badan
sel, misalnya translokasi antara kromososm 14 dan 21, translokasi dapat
mempunyai 46 kromososm yang salah satunya mempunyai badan genetik dari
kromosom 14 dan 21. Down Syndrome tipe translokasi tidak berhubungan
dengan usia ibu saat kehamilan, namun akan meningkat resikonya pada orang
tua yang merupakan pembawa sifat. (Sudiono Janti, 2007)

Gambar 1 Kromosom Trisomi 21 pada Wanita


Sumber : National Down Syndrome Society

4
Indikasi dari region
kromosom 21 tampak
berasosiasi dengan
berbagai karakteristik
yang berhubungan
dengan down
syndrome

Gambar 2 Regio Kromosom 21


Sumber : National Down Syndrome Society

Selama fertilisasi, 23 kromosom dari sel telur dan sperma


menyatu. Hasil dari fertilisasi adalah 46 kromosom. Selama
proses mitosis, sel mereplika dirinya sendiri menjadi dua sel
menjadi 46 kromosom
Gambar 2.3 Pembelahan Sel yang Normal
Sumber :National Down Syndrome Society

5
Peristiwa gagal berpisah adalah kegagalan dari pasangan kromosom untuk
berpisah selama masa meiosis, dimana prosesna terjadi ketika sel telur dan sel
sperma mereplikasi diri mereka sendiri lalu berpisah.

Gambar 3 Translokasi
Sumber : National Down Syndrome Society

Walaupun peristiwa gagal memisah bisa menjadi penyebab awal


Down Syndrome, ada faktor lingkungan yang berperan dalam peristiwa
gagal memisahnya. Namun, setelah beberapa tahun penelitian ditemukan
bahwa penyebab dari gagal memisah masih belum ditemukan. Tidak ada
bukti yang kuat bahwa faktor lingkungan atau aktivitas orang tua sebelum
mengandung mempunyai efek pada tiga tipe Down Syndrome. (National
Down Syndrome Society, 2005)

Mosaicism yakni suatu individu yang terbentuk dari 1 zygot tetapi


mengandung 2 atau lebih sel yang berbeda genotipe, misalnya genotipe pada

6
iris terjadi saat peristiwa gagal memisah dari kromosom 21 bertempat pada
divisi sel setelah pembuahan. Ketika ini terjadi, ada percampuran antara dua
tipe sel, beberapa dari peristiwa ini menjadi 46 kromosom dan beberapa
menjadi 47. Sel-sel yang terdiri dari 47 kromosom mempunyai kromosom
21 ekstra. Karena pola (mosaic) sel, prinsip “mosaicism” terbentuk.
Mosaicism jarang terjadi, biasanya terjadi hanya satu sampai dua persen
pada kasus Down Syndrome. (National Down Syndrome Society, 2005)

Mosaicism terjadi setelah fertilisasi mulai berpisah secara normal. Peristiwa


gagal berpisah terjadi pada satu sel yang menyebabkan kombinasi kedua
tipe trisome 21 dan tipikal dari sel individu

Gambar 4 Mosaic
Sumber :National Down Syndrome Society

Translokasi hanya terjadi pada 3-4% dari kasus Down Syndrome.


Pada saat translokasi, bagian dari kromosom 21 berpisah pada divisi sel dan

7
menyambung ke kromosom lain. Ketika jumlah keseluruhan kromosom
pada sel tetap 46, adanya bagian ekstra dari kromosom 21 menyebabkan
karakteristik lain dari Down Syndrome. (National Down Syndrome Society,
2005)

Penyebab terjadinya gagal memisah terjadi masih belum diketahui,


walaupun berbagai penelitian menunjukkan bahwa peristiwa tersebut
bertambah resikonya seiring bertambahnya usia pada wanita. Meskipun
demikian, banyak orang terkejut saat mengetahui bahwa 80% anak yang lahir
dengan Down Syndrome adalah anak yang lahir dari seorang ibu yang berusia
dibawah 35 tahun. Ini terjadi karena wanita yang lebih muda mempunyai
tingkat kesuburan yang lebih tinggi. Namun itu tidak menyangkal fakta bahwa
insiden kelahiran anak Down Syndrome meningkat secara drastik seiring
dengan bertambahnya usia ibu. (National Down Syndrome Society, 2005)

2.3 Epidemiologi Down Syndrome

Down Syndrome merupakan kelainan kromosom yang paling sering


ditemukan pada manusia. Kelainan ini dapat terjadi pada setiap orang, ras dan
status sosial ekonomi. Kelainan ini ditemukan di seluruh dunia, pada semua
suku bangsa dan kejadiannya 1,6% per 1000 kelahiran dan terjadi pada bangsa
kulit putih lebih tinggi daripada kulit hitam. (Stoll, 1998 dalam Wong, 2000).
Insiden Down Syndrome meningkat dengan meningkatnya usia ibu.
Banyak ahli merekomendasikan perempuan yang berumur diatas 35 tahun harus
mengadakan test prenatal untuk mengetahui adanya kelainan Down Syndrome.
Wanita di bawah 30 tahun yang hamil dan kemungkinan mempunyai bayi
dengan Down Syndrome diperkirakan 1 dari 1.000, tetapi kesempatan
mempunyai bayi dengan Down Syndrome meningkat pada ibu yang berusia 35
tahun atau lebih (Linsdjo, 2001).
Faktor penyebab lain adalah autoimun, khususnya autoimun tiroid dan
penyakit tiroid yang lain. Penelitian Fialkow’s menunjukkan perbedaan kadar
autoantibodi tiroid antara ibu yang melahirkan anak Down Syndrome dengan

8
ibu kontrol pada umur yang sama. Tidak didapatkan penyakit tertentu yang
secara langsung menyebabkan peningkatan kejadian Down Syndrome, tetapi
beberapa peneliti menemukan peningkatan kejadian pada ibu dengan diabetes
mellitus (Soetjiningsih, 1995).

Gambar 5 Insiden terjadinya down syndrome per usia ibu hamil


Sumber :National Down Syndrome Society

2.4 Diagnosis dan Prognosis Penyandang Down Syndrome


1. Diagnosis Down Syndrome
Diagnosis Down Syndrome dapat dibuat setelah riwayat penyakit,
pemeriksaan intelektual yang baku, dan pengukuran fungsi adaptif
menyatakan bahwa perilaku anak sekarang adalah secara bermakna di
bawah tingkat yang diharapkan. Suatu riwayat penyakit dan wawancara
psikiatrik sangat berguna untuk mendapatkan gambaran longitudinal
perkembangan dan fungsi anak, sedangkan pemeriksaan fisik, dan tes
laboratorium dapat digunakan untuk memastikan penyebab dan prognosis.
Diagnosa Down Syndrome dapat ditegakkan melalui apa pemeriksaan

9
ultrasonografi pada masa kehamilan ibu, pemeriksaan kromosom dilakukan
dengan melakukan tes nuchal translucency screening (USG) awal, tes darah
atau kombinasi keduanya. (National Down Syndrome Society, 2013)

Pada anamnesis riwayat penyakit didapatkan dari orang tua, dengan


perhatian khusus pada kehamilan ibu, persalinan, kelahiran, riwayat
keluarga retardasi mental, dan gangguan herediter. Selain itu, sebagai
bagian riwayat penyakit, klinisi sebaiknya menilai latar belakang
sosiokultural pasien, iklim emosional di rumah, dan fungsi intelektual
pasien. (National Down Syndrome Society, 2013)

2. Prognosis Down Syndrome


Anak dengan Down Syndrome beresiko tinggi mengalami kelainan
jantung dan leukemia sehingga kemungkinan angka harapan hidup
berkurang. Beberapa penderita Down Syndrome dapat mengalami
hal-hal berikut :
a. Gangguan tiroid.
b. Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa
c. Gangguan pengelihatan kare adanya perubahan pada lensa dan kornea .
d. Usia 30 tahun menderita dimensia, bisa terjadi kematian dini meskipun
ada banyak yang berumur panjang .

Survival rate penderita Down Syndrome umumnya hingga usia 50


tahun. Selain perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan
berbagai kelainan fisik. Kemampuan berpikir penderita dapat digolongkan
idiot dan biasanya ditemukan kelainan jantung bawaan, seperti defek
septum ventrikel yang memperburuk prognosis. Manisfestasi Klinik
DownSyndromeManifestasi klinis penderita Down Syndromeantara lain
adanya joint laxity pada ekstremitas atas bawah, mental retardasi,
keterlambatan bicara, yang disertai dengan keterlambatan perkembangan
motorik.

10
Dikutip dari Clinical Practice Guideline: The Guideline Technical
Report of Down Syndrome, Assessment and Intervention for Young
Children (Age 0-3 Years) bahwa Gejala yang muncul akibat Down
Syndromedapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali,
tampak minimal sampai muncul tanda yang khas :
a. Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya
penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil
dari normal (microchephaly) dengan bagian (anteroposterior) kepala
mendatar
b. Sifat pada kepala, muka dan leher : penyandang down syndrome
memiliki ciri-ciri :
1) bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar.
2) Pangkal hidungnya pendek.
3) Jarak diantara 2 mata jauh dan berlebihan kulit di sudut dalam.
4) Ukuran mulut adalah kecil dan ukuran lidah yang besar
menyebabkan lidah selalu terjulur.
5) Mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar
(macroglossia).
c. Manifestasi mulut :
1) gangguan mengunyah menelan dan bicara.
2) Scrotal tongue, rahang atas kecil (hypoplasia maxilla),
3) keterlambatan pertumbuhan gigi, hypodontia, juvenile
periodontitis,
4) kadang timbul bibir sumbing Hypogenitalism (penis, scrotum, dan
testes kecil), hypospadia, cryptorchism, dan keterlambatan
perkembangan pubertas.
d. Manifestasi kulit :
1) kulit lembut, kering dan tipis,
2) Xerosis (70%), atopic dermatitis (50%), palmoplantar
hyperkeratosis (40-75%), dan seborrheic dermatitis (31%),
Premature wrinkling of the skin, cutis marmorata, and

11
acrocyanosis, Bacteria infections, fungal infections (tinea), and
ectoparasitism (scabies), Elastosis perforans serpiginosa,
Syringomas, Alopecia areata (6-8.9%), Vitiligo, Angular cheilitis.
e. Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa :
1) tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari
pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. B.
2) lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics).
3) Kelainan kromosom ini juga bisa menyebabkan gangguan atau
bahkan kerusakan pada sistim organ yang lain.
4) Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa congenital heart disease.
5) Kelainan ini yang biasanya berakibat fatal karena bayi dapat
meninggal dengan cepat.

Gambar 6 Penyandang Down Syndrome

f. Sifat pada tangan dan lengan :


1) Sifat-sifat yang jelas pada tangan adalah mereka mempunyai jari-
jari yang pendek dan jari kelingking membengkok ke dalam.
2) Tapak tangan mereka biasanya hanya terdapat satu garisan urat
dinamakan “simian crease”.
3) Tampilan kaki :

12
a) Kaki agak pendek dan jarak di antara ibu jari kaki dan jari kaki
kedua agak jauh terpisah dan tapak kaki.
b) Tampilan klinis otot : mempunyai otot yang lemah
menyebabkan mereka menjadi lembek dan menghadapi masalah
dalam perkembangan motorik kasar.
c) Masalah-masalah yang berkaitan dengan masa kanak-kanak
Down Syndrome mungkin mengalami masalah kelainan organ-
organ dalam terutama sekali jantung dan usus.
g. Down Syndrome mungkin mengalami masalah Hipotiroidism yaitu
kurang hormon tiroid. Masalah ini berlaku di kalangan 10 % kanak-
kanak down syndrom. Down syndrom mempunyai ketidakstabilan di
tulang-tulang kecil di bagian leher yang menyebabkan berlakunya
penyakit lumpuh (atlantoaxial instability) dimana ini berlaku di
kalangan 10% kanak-kanak Down Syndrome. Sebagian kecil mereka
mempunyai risiko untuk mengalami kanker sel darah putih yaitu
leukimia. Pada otak penderita sindrom down, ditemukan peningkatan
rasio APP (amyloid precursor protein) seperti pada penderita
Alzheimer.

2.5 Etiologi Down Syndrom


Faktor penyebab down syndrome antara lain:
1. Hubungan faktor oksigen dengan down syndrome
Down syndrome terjadi bukan karena faktor luar, down
Syndrome terjadi karena kekurangan kromosom akibat dari
kecelakaan yang bersifat genetika yang bisa dideteksi melalui
pemeriksaan amniosintesis. Para dokter menekankan bahwa down
syndrome tidak terkait dengan segala yang dilakuakan oleh orang
tua baik sebelum ataupun selama kehamilan. Down syndrome
terjadi bukan karna makanan atau minuman yang dikonsumsi ibunya
ketika hamil, tidak juga perasaan traumatis, bukan pula ibu dan ayah
melakukan atau menyesali perbuatannya yang telah dialami.

13
2. Hubungan faktor endogen dengan Down Syndrome
Down syndrome disebabkan karena adanya kromosom
ekstra dalam setiap sel tubuh, faktor penyebab lain yang
menimbulkan resiko tingginya resiko mempunyai anak down
syndrome adalah umur rang tua. Semakin tua umur ibu, semakin
pula ibu memiliki peluang untuk melahirkan anak down syndrome.

2.6 Permasalahan Sosial dan adaptasi pada anak Down Syndrome


Permasalahan anak down syndrome adalah terdapat pada karakteristiknya
yang akan menjadi hambatan pada kegiatan belajarnya. Mereka dihadapkan
dengan masalah internal dalam mengembangkan dirinya melalui pendidikan
yang diikutinya. Masalah-masalah tersebut tampak dalam hal dibawah ini:
1. Kehidupan sehari-hari
Masalah ini berkaitan dengan kesehatan dan pemeliharaan diri dalam
kehidupan sehari-hari. Kebiasaan di rumah dan kondisi anak down
syndrome akan membawa suasana yang kurang kondusif terhadap kegiatan
pembelajaran di sekolah. Pihak sekolah tidak berhubungan secara akademis,
melainkan harus pula mempertimbangkan usaha peningkatan kebiasaan dan
kondisi kesehatan yang lebih baik bagi anak. (Gunarhadi, 2005)
2. Kemampuan belajar
Kesulitan belajar anak down syndrome adalah masalah paling besar,
mengingat keterbatasan mereka kegiatan pembelajaran yang di sekolah.
Keterbatasan ini tercermin dari seluruh aspek akademik seperti,
matematika, IPA, IPS dan Bahasa. (Gunarhadi, 2005)
3. Adaptasi
Tingkat kecerdasan yang dimiliki anak down syndrome tidak saja
berpengaruh terhadap kesulitan belajar, melainkan juga terhadap
penyesuaina diri. Hallahan D dan Kauffanan dalam (Gunarhadi 2005 : 198)
mengisyaratkan bahwa seorang dikategorikan down syndrome harus
memiliki dua persyaratan yaitu tingkat kecerdasan dibawah normal dan
bermasalah dalam penyesuaian diri. Implikasinya terhadap pendidikan,

14
anak down syndrome harus mendapatkan porsi pembelajaran untuk
meningkatkan ketrampilan sosialnya. (Gunarhadi, 2005)
4. Kepribadian dan Emosinya
Karena kondisi mentalnya anak down syndrome sering menampilkan
kepribadiannya yang tidak seimbang. Terkadang tenang terkadang juga
kacau, sering termenung berdiam diri, namun terkadang menunjukan sikap
tantrum (ngambek), marahmarah, mudah tersinggung, mengganggu orang
lain, atau membuat kacau dan bahkan merusak.
(Gunarhadi, 2005)

2.7 Mental Retardasi


Retardasi mental adalah gangguan intelegensi yang disebabkan
gangguan dalam kandungan sampai masa perkembangan dini, usia 5 tahun.
Retardasi mental adalah penurunan fungsi intelektual yang menyeluruh secara
bermakna dan secara langsung menyebabkan gangguan adaptasi sosial, dan
bermanifestasi selama masa perkembangan.
Berdasarkan The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural
Disorders, WHO, Geneva tahun 1994 retardasi mental dibagi menjadi 4
golongan : (1) mild retardation, IQ 50-69; (2) moderate retardation, IQ 35-49;
(3) severe retardation, IQ 20-34; (4) profound retardation, IQ <20.
1. Klasifikasi Mental Retardasi
a. Mild Retardation
Retardasi mental ringan dikategorikan sebagai retardasi mental
dapat dididik (educable). Anak mengalami gangguan berbahasa tetapi
masih mampu menguasainya untuk keperluan bicara sehari-hari dan
untuk wawancara klinik. Umumnya mereka juga mampu mengurus diri
sendiri secara independen (makan, mencuci, memakai baju,
mengontrol saluran cerna dan kandung kemih), meskipun tingkat
perkembangannya sedikit lebih lambat dari ukuran normal. Kesulitan
utama biasanya terlihat pada pekerjaan akademik sekolah, dan banyak
yang bermasalah dalam membaca dan menulis.

15
b. Moderate Retardation
Retardasi mental sedang dikategorikan sebagai retardasi mental
dapat dilatih (trainable). Pada kelompok ini anak mengalami
keterlambatan perkembangan pemahaman dan penggunaan bahasa,
serta pencapaian akhirnya terbatas. Pencapaian kemampuan mengurus
diri sendiri dan ketrampilan motor juga mengalami keterlambatan, dan
beberapa diantaranya membutuhkan pengawasan sepanjang hidupnya.
Kemajuan di sekolah terbatas, sebagian masih bisa belajar dasardasar
membaca, menulis dan berhitung.
c. Severe retardation
Kelompok retardasi mental berat ini hampir sama dengan
retardasi mental sedang dalam hal gambaran klinis, penyebab organik,
dan keadaan-kedaan yang terkait. Pebedaan utama adalah pada
retardasi mental berat ini biasanya mengalami kerusakan motor yang
bermakna atau adanya defisit neurologis.
d. Very Severe Retardation
Retardasi mental sangat berat berarti secara praktis anak sangat
terbatas kemampuannya dalam mengerti dan menuruti permintaan atau
instruksi. Umumnya anak sangat terbatas dalam hal mobilitas, dan
hanya mampu pada bentuk komunikasi nonverbal yang sangat
elementer.

2.8 Penatalaksanaan Fisioterapi pada Down Syndrome


1. Neuro-Developmental Treatment (NDT)
Neuro Development Treatment (NDT) atau sering dikenal dengan
Bobath merupakan suatu teknik yang dikembangkan oleh Karel dan Bertha
Bobath pada tahun 1940. Metode ini khususnya ditujukan untuk menangani
gangguan sistem saraf pusat pada bayi dan anak-anak.Penanganan harus
dimulai secepatnya, sebaiknya sebelum anak berusia 6 bulan, walaupun
sesungguhnya masih efektif untuk digunakan pada usia yang lebih tua,
namun ketidaknormalan akan semakin tampak seiring dengan

16
bertambahnya usia anak dengan cerebral palsy. Tujuan konsep NDT pada
umumnya adalah memperbaiki dan mencegah postur dan pola gerakan
abnormal dan mengajarkan postur dan pola gerak yang normal.
a. Teori dasar NDT
1) Pengertian bahwa manusia itu dipengaruhi oleh sistem-sistem
yang berbeda (otot, tuang, paru, jantung, hormon, saraf, dll) yang
bekerja dibawah komando otak.
2) Pentingnya mengerti bagaimana perkembangan anak dan
bagaimana anak bergerak, sehingga terapis dapat membuat
rencana treatment sesuai dengan gangguan gerakannya.
b.Prinsip NDT
1) Anak sebagai manusia seutuhnya
2) Intervensi bersifat individual, mengacu pada :
a) Masalah geraknya
b) Personaliti, keluarga, dan budaya.
3) Assessment rutin setiap akan dilakukan treatment
4) Kesempatan anak bergerak aktif selama treatment
5) Handling digunakan untuk mempengaruhi tonus postural,
mengatur koordinasi, menghinbisi pola abnormal, dan
memfasilitasi respon otomatis normal. Dengan handling yang
tepat, tonus serta pola gerak yang abnormal dapat dicegah sesaat
setelah terlihat tanda-tandanya.
6) Prinsip motor control,motor learning dan postural control
1) Motor Control
Motor control adalah proses informasi suatu aktifitas yang
berpusat pada central nervous system (CNS) dengan tujuan
mengorganisasikan sistem musculoskeletal untuk membuat
koordinasi suatu gerakan. Motor Control merupakan nama dari
bidang yang berkembang dalam ilmu saraf dimana bidang ini
menganalisis bagaimana orang mengendalikan gerakan mereka.
Sebagai contoh mudah seperti meraih segelas kopi, yang

17
sebernarnya mempunyai komponen-komponen kompleks di
dalamnya. Motor control difokuskan pada kordinasi terhadap postur
dan gerakan melalui mekanisme serta perpaduan antara fisiologis
dan psikologis.
Motor control memungkinkan tubuh kita untuk mengatur atau
mengarahkan mekanisme gerakan. Secara singkat, memungkinkan
tubuh kita untuk bergerak ketika kita membutuhkan mereka untuk
pergi, tanpa harus berpikir tentang hal itu. Ketika salah satu
menunjukan "normal" motor control, kitabisa berasumsi bahwa ia
memiliki otot yang normal.
2) Motor Learning
Motor learning adalah perubahan yang “relatif permanen”,
yang dihasilkan dari praktek atau pengalaman baru, dalam
kemampuan untuk merespon. Motor learning melibatkan kelancaran
dan ketepatan gerakan serta diperlukan untuk gerakan rumit seperti
berbicara, bermain piano dan memanjat pohon. Penelitian dalam
motor learning sering melibatkan beberapa variable yang
mendukung pembentukan program itu sendiri, yaitu sensitifitas pada
proses deteksi kesalahan dan kekuatan dari skema gerakan itu
sendiri.
Menurut Schmidt motor learning adalah serangkaian proses
internal berkaitan dengan praktek atau pengalaman yang
akanmembentuk perubahan permanent relatif terhadap kemampuan
untuk merespons. Jadi pengertian motor learning ini beraneka
ragam, dan berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat dirumuskan
bahwa motor learning adalah: suatu proses pembentukan sistematika
kognitif tentang gerak yang kemudian diaplikasikan dalam
psikomotor, mulai dari tingkat keterampilan gerak yang sederhana
ke keterampilan gerak yang kompleks sebagai gambaran fisiologis
yang dapat membentuk psikologis untuk mencapai otomatisasi
gerak.

18
3) Postural Control
Postural control (kontrol postur) adalah gerakan korektif yang
diperlukan untuk menjaga pusat gravitasi dalam basis dukungan.
Yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan ini adalah, koordinasi dari
rangka, otot sensorik dan system saraf pusat.
Kontrol postur meliputi kontrol terhadap posisi tubuh dan
berfungsi ganda yaitu untuk stabilitas (keseimbangan) dan orientasi
(memelihara hubungan yang tepat antar segmen tubuh dan antara
tubuh dan lingkungan). Fungsi ganda musculo postural didasarkan
pada empat komponen yaitu:
a) Nilai acuan, seperti orientasi segmen tubuh dan posisi pusat
gravitasi (representasi internal dari tubuh atau skema tubuh
postural);
b) Masukan multiindrawi mengatur orientasi
c) Stabilisasi segmen tubuh
d) Reaksi postural fleksibel atau antisipasi untuk pemulihan
keseimbangan setelah gangguan, atau stabilisasi postural
selama gerakan sukarela.
Sistem kontrol postur terdiri dari proses kompleks yang
meliputi komponen sensoris dan motoris dan menghasilkan
kombinasi yang terintegrasi antara visual, vestibular dan input
afferent proprioseptif. Gabungan dari usaha alat-alat sensoris ini
merupakan dasar untuk keseimbangan dinamis (stabilitas). Apabila
salah satu dari alat ini mengalami kerusakan, maka stabilitas dari
postur akan mengalami gangguan.Adapun prinsip dasar dari
postural control antara lain:
(1) Sistem sensoris
(2) Kemampuan melihat
(3) Sistem vestibular
(4) Sistem somatosensoris
(5) Sistem Musculoskeletal

19
(6) All day management
(7) Team approach
(8) Konsep bobath (NDT)

Menurut Raine (2005) dsalam konsep Bobath (NDT) terdapat Tone


influence Patterns (TIPs) merupakan suatu usaha untuk mengurangi
aktifitas refleks, reaksi asosiasi, involuntary movement, dan mengatasi
tonus postural abnormal dengan menggunakan inhibisi, stimulasi, dan
fasilitasi untuk mencapai:

1) Gambaran postural yang normal untuk bergerak


2) Membangun reaksi righting dan equilibrium
3) Membangun pattern gerakan yang fundamental yang lebih kearah
aktifitas yang lebih terampil, berfungsi, dan bertujuan.

. Gambar 7 Konsep NDT

Sumber:Jung Sung Hong, PT.MPH., “Cerebral Palsy Treatment Ideas


From Normal Development”,Koonja Inc, Rep Korea, 2007

Dalam konsep bobath, Tone Influence Patterns (TIPs) akan


mempengaruhi fasilitasi terhadap reaksi normal yang merupakan di

20
dalamnyakey point of control.Key Point of Controlsendiri yaitu titik
yang digunakan terapis dalam inhibisi dan fasilitasi. KPoC harus
dimulai dari proksimal ke distal atau bergerak mulai dari kepala–leher–
trunk-kaki dan jari kaki. Dengan bantuan KPoC, pola inhibisi dapat
dilakukan pada penderita cerebral palsy dengan mengarahkan pada pola
kebalikannya.
Latihan menggunakan konsep NDT terlampir pada lampiran.

2. Sensori Integrasi
Terapi Sensori Integrasi sebagai bentuk treatment pada anak dengan
kondisi tertentu seringkali digunakan sebagai cara untuk melakukan upaya
perbaikan, baik untuk perbaikan gangguan perkembangan atau tumbuh
kembang atau gangguan belajar, gangguan interaksi sosial, maupun perilaku
lainnya.
Sensori integrasi merupakan suatu proses mengenal, mengubah,
membedakan sensasi dari sistem sensori untuk menghasilkan suatu respon
berupa “Perilaku Adaptif Bertujuan”.
1) Respon Adaptif
Respon adaptif ini bervariasi pada setiap anak yang bergantung pada
tingkat perkembangan, derajat integrasi sensori, dan tingkat ketrampilan
yang tercapai sebelumnya. Respons adaptif mencerminkan kemampuan
anak menguasai tantangan dan hal-hal baru.
2) Dorongan dari dalam diri
Konsep ini merupakan hal terpenting dalam perkembangan sensori
integrasi, bagaimana dorongan ini muncul dari dalam diri yang terwujud
dalam bentuk kegembiraan dan eksplorasi lingkungan tanpa lelah. Tetapi
motivasi internal ini kurang atau tidak dimiliki oleh anak dengan gangguan
disfungsi sensori integrasi.

3. Terapi Kelompok

21
Terapi kelompok merupakan bentuk intervensi untuk stimulasi motorik
dan stimulasi sensorik yang diberikan kepada anak dengan SD secara
bersama-sama dan melibatkan orang tua dalam kegiatan tersebut,
fisioterapis sebagai instruktur yang mencontohkan dan menginstruksikan
kegiatan stimulasi tersebut dalam permainan.

Beberapa kelebihan pendekatan terapi kelompok anatara lain adalah


situasi bermain. Situasi bermain tersebut akan memungkinkan penggunanya
sebagai modalitas terapi, sehingga tidak saja membangkitkan anak untuk
mengembangkan keterampilan baru tetapi juga menyenangkan. bermain
Sebagai sarana meningkatkan keterampilan motori, selain itu aktifitas
sensorik dan motorik membantu melepaskan energy yang berlebihan dan
memperbaiki keseimbangan.
Kelebihan terapi kelompok lainnya adalah dengan bermain secara
kelompok dapat meningkatkan fungsi psikososial, anak akan mengerti
apakah ia diterima atau tidak oleh lingkungannya, maka ia sudah mualai
belajar mempunyai rasa moral social. Dengan terapi kelompok anak juga
mendapat perkembangan emotional dimana anak dapat menemukan rasa
percaya diri dan stabilitas internal.
Perkembangan kognitif juga dapatmelalui terapi kelompok yang
diperoleh melalui bermain dengan manipulasi objek-objek dikelompoknya.
Hal ini meltih anak pada saat dewasa nanti dapat memecahkan masalah-
masalah yang dihadapi. Perasaan seorang anak dalam aktifitas bermain
menentukan kualitas anak tersebut untuk interaksi dengan lingkungannya
pada saat bermain, dan aspek-aspek lain dalam kehidupannya. Kemampuan
turut serta berperan dalam terapi kelompok sebagai interaksi social dan fisik
(Cassel, 1962). Dengan demikian terapi kelompok juga memiliki beberapa
tujuan seperti uraian diatas, yaitu : (1)Situasi bermain yang menyenangkan
sambil mengembangkan keterampilan baru, (2) bermain selain sebagai
sarana meningkatkan keterampilan motorik juaga membantu melepaskan
energy yang berlebihan dan memperbaiki keseimbangan, (3) meningkatkan

22
fungsi psikososial , (4) perkembangan emosional untuk kepercayaan diri
dan (5) perkembangan kognitif. Pengaturan dalam terapi kelompok meliputi
:
1. Jumlah anak
Jumlah anak dalam terapi kelompok tergantung dari situasi klinis sejauh
anak-anak dalam terapi kelompok tersebut dapat terlibat dan
berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
2. Staf
Satu orang staf dalam hal ini fisioterapi memimpin kelompok dan
fisioterapi yang lain membantu memantau kegiatan
3. Durasi
Setiap sesi terapi kelompok direncanakan lamanya satu hingga dua jam
tergantung pada kemampuan anak-anak untuk tetap berpatisipasi dalam
kegiatan. Anak dengan SD dimana terdapat hipotonus otot maka
dianjurkan untuk mendapatkan kegiatan fisik hingga 60 menit Seleksi
anak
Dasar untuk seleksi anak yang mengikuti terapi kelompok bervariasi,
tetapi akan lebih mudah bagi staf atau fisioterapis bila kesenjangan
perkembangan motork tidak terala besar (Sophie Levitt, 1995). Namun
demikian dimungkinkan beberapa kekuranan pendekatan terapi
kelompok, diantara lain:
(1) kesenjangan kemampuan motorik walaupun pada usia yang
sama.
(2) Kesenjangan tingkat kognitif
(3) Tingkat pendidikan dan social ekonomi orangtua juga turut
menentukan keberhasilan pendekatan dengan terapi kelompok
ini. Adapun kegiatan dalam terapi kelompok meliputi:
1. Kegiatan untuk taktil, vestibular inputi dan feedback
propriocepsi
Akomodasi motorik kasar: postur dan pola gerakan
(berguling dari telungkup, menumpu pada elbow (forearm support),

23
merangkak, berdiri, berjalan dalam pola dan permukaan yang berbeda-beda,
berlari, melompat pada titik tertentu, menangkap, melempar).
Perencanaan motorik (motor planning/praxis); adalah
kemampuan otak untuk memahami, mengatur dan melaksanakan urutan
tindakan yang asing yang diperlukan. Kegiatan diarahkan untuk
pencapaian tujuan untuk membantu mengembangkan keterampilan
gerakan (motor planning). Membersihkan tempat tidur atau meja dan
bermain bola dapat membantu meningkatkan akomodasi motorik kasar
dan praksis.
Reaksi tegak dan keseimbangan dan pola
mengintegrasikan pada perbedaan posisi dapat mempertahankan
rangsangan tersebut. Bermain diatas roll dapat memfasilitasi
keseimbangan dan reaksi ekuilibrium. Terapis mengatakan, “kamu adalah
perahu diatas laut, dan aku badai maka kamu harus mencoba untuk tidak
jatuh kebawah” dan terapis mendorong roll sangat lambat untuk beberapa
kali dalam rangka untuk mengganggu keseimbangan anak (Kramer, 2007).
Dalam mempelajari keterampilan motorik halus,
stabilisasi postural yang tepat sangat penting. Baiknya ko-kontraksi
kepala, leher, dan lengan juga diperlukan. Ocular kontrol yang baik,
koordinasi motorik bilateral dan taktil mempengaruhi fungsi tangan. Anak
membutuhkan kegiatan yang terdiri dari semua komponen dalam rangka
untuk mengembangkan keterampilan motorik halus. Sebagai contoh:
bermain puzzle, bermain dengan jari-jari, origami. (Ayeres 1979, Lerner
1985, Scheerer 1997, Wilson 1988, Bumin dan Kayihan 2001, Uyanik dkk,
2003).
2. Kegiatan stimulasi sistem vestibular dalam
perkembangan motorik
Sistem vestibular sangat penting dalam pencapaian
perkembangan motorik normal dan koordinasi (Weeks 1979a, Cohen dan
Keshner 1989b, Shumway-cook 1992). Disfungsi vestibular diamati
dalam gangguan perkembangan sebagai diskoordinasi motorik dan ketidak

24
mampuan belajar (Maggrun dkk. 1981, Schaaf 1985, MacLean dkk. 1988,
Shunway-Cook 1992) Sistem vestibular adalah salah satu sistem sensorik
penyempurnaan strukturanatomi (Shunway-Cook 1992). Sistem
vestibular adalah salah satu sistem sensorik penyempurnaan struktur
anatomi (Shunway-Cook 1992)
Biasanya, input vestibulookular yang signifikan dalam
koordinasi mata dan kepala yang penting untuk stabilitas saat melihat pada
satu titik, sedangkan vestibulospinal adalah input yang signifikan dalam
menjaga stabilitas postur dengan inputvisual dan somatosensori (Nasher
dkk. 1982). The Vestibulonuclear complex, cerebellum dan juga ke nervus
cranialis 3,4,6 yang memungkinakan gerakan otot ocular ekstrake semua
level tulang belakang yang emperngaruhi tonus otot (ottenbacher dan
Peterson 1983, Kelly 1989).
Sistem vestibular sangat penting dalam perkembangan
keterampilan motorik, integrasi postural, gerakan mata yang terkoordinasi,
dan kemampuan mengatur tingkat keaktifan (Ottenbacher dan Peterson
1983).

25
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Dapat disimpulkan bahwa Down Syndrome adalah sebuah tipe retardasi


mental yang disebabkan materi genetic kromosom 21. Sindrom ini bisa
terjadi akibat adanya proses yang disebut nondisjunction atau gagal
berpisah

2. Pada normalnya nukleus dari tiap sel berjumlah 23 pasang kromosom,


dimana setengahnya diwarisi dari masing-masing orang tua. Pada tiap
individu penyandang Down Syndrome sel berjumlah 47, bukan 46 dimana
kromosom ekstra adalah kromosom ke 21. Ini merupakan kelebihan
jumlah materi genetik pada Down Syndrome. Kromosom ke 21 ini
dideteksi dengan menggunakan prosedur yang dinamakan karotype.

3. Down Syndrome merupakan kelainan kromosom yang paling sering


ditemukan pada manusia. Kelainan ini dapat terjadi pada setiap orang, ras
dan status sosial ekonomi.

3.2 Saran

Kami sadar bawah masih banyak kekurangan yang kami miliki, baik dari tulisan
dan penyajian bahasa. Kedepannya, diharapkan pembaca dapat mengambil manfaat
dari makalah ini dan menjadikan kesalahan pada makalah ini sebagai pembelajaran
untuk kedepannya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, Michael A dan Dennis J. Matthews, 2010. Pediatric Rehabilitation.


North America: Demos Medical
Behrman dkk, 1996. Nelson textbook of Pediatrics 15/E. Peesylvania: Penerbit
buku kedokteran EGC
Buckley, Sue, 2005. Autism and Down Syndrome. United Kingdom: The Down
Syndrome Educational Trust
Corcondia College, 2006. About Down Syndrome. New York: National Down
Syndrome Society
Crombie, Sarah, 1997. Physiotherapy Home Programmes for Children with Motor
Delay. United Kingdom: Winslow Press Ltd
Dey, Subrata, 2011. Genetics and Etiology of Down Syndrome. Croatia: InTech
Doman,Glenn, 2010. What to do about your brain-injured child. United
States of America: The Institutes
Goodman, Catherine C dan Kenda S. Fuller, 2009. Pathology Implications for the
Physical Therapist Third Edition. China: Saunders Elsevier
Gulick, Dawn, 2006. Screening Notes Rehabilitation Specialist’s Pocket Guide.
Philadelphia: F. A Davis Company
Gunarhadi. 2005. Penanganan Anak Syndrome Down Dalam Lingkungan Keluarga
dan Sekolah. Jakarta. Depdiknas
Kesehatan, BPDANP. “Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013”. 04 Oktober 2016.
http://www.depkes.go.id
Montgomery, Patricia C dan Barbara H Connoly, 2003. Clinical Applications for
Motor Control. United States of America: SLACK Incorporated.
Parks Peggy J, 2009. Down Syndrome Diseases and Disorders. San Diego:
Reference Point Press
Polden, Margaret dan Jill Mantle, 2004. Physiotherapy in Obstetrics and
Gynaecology. London: Elseview Limited
Pountney, Teresa, 2007. Physiotherapy for Children. Philadelphia: Elsevier
Raine, Sue dkk, 2009. Bobath Concept. Singapore: Blackwell Publishing Ltd

27
Shurr, Donald dan John W Michael, 2002. Prosthetics and Orthotics. New Jersey:
Prentice Hall
Selikowitz, Mark, 2008. The Facts Down Syndrome. New York: OXFORD
University Press.
Stack, Charles dan Patrick Dobbs, 2004. Essentials of Paedatric Intensive Care.
United States of America: Cambridge University Press.
Sudiono, Janti, 2007. Gangguan tumbuh kembang dentokraniofasial. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran RGC
Thomson, Kate dkk, 2009. Paediatric Handbook Eighth Edition. Australia: Wiley-
Blackwell
Toy, Eugene C, 2009. Case Files Pediatrics. United States: McGraw-Hill
Companies, Inc.
WHO, Genes and Human Disease. United States of America,WHO 2016;h.2
diakses tanggal 4 Oktober 2016

28

Anda mungkin juga menyukai