Anda di halaman 1dari 3

Berdarah Dengue dalam Perspektif Sistem Kesehatan”

Pada Sabtu (2/3/2019), S2 IKM FK – KMK menyelenggarakan seminar nasional terkait DBD di
Auditorium Lantai 8, Gedung Pascasarjana Tahir, FK - KMK UGM. Seminar Nasional Demam
Berdarah Dengue (DBD) dalam Perspektif Sistem Kesehatan bertujuan untuk membahas mengenai
situasi terakhir DBD di Indonesia, peran lintas profesi dalam pencegahan dna penanganan DBD dan
strategi penanganan DBD dan penyakit menular lainnya dalam perspektif sistem kesehatan. Seminar
ini terbagi menjadi tiga sesi utama sesuai dengan tujuannya. Pada sesi pertama, lebih banyak dibahas
mengenai gambaran dan situasi DBD di Indonesia serta beberapa program yang telah dilakukan
terkait kasus DBD.
dr. Citra Indriyani, MPH mengawali pemaparan pertama dengan menjelaskan bahwa 75% beban
dengue dunia ada di Asia Pasifik. Insidensinya secara tahunan selalu meningkat dari waktu ke waktu
(sejak 1968- 2017) dan memiliki korelasi terhadap perubahan iklim. Jika perubahan iklim semakin
tidak terkendali, maka beban dengue yang ada akan semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan
jumlah dengue meningkat ketika La Nina (1988,1996, 1998) terjadi sementara akan menurun pada
saat El Nino (1987,1991,1994,1997). Namun demikian, angka fatalitas DBD menurun sejak 1968 -
2017 dengan tersedianya tatalaksana efektif. Sejak 2008, angka fatalitas DBD di Indonesia telah
mencapai <1%.
DBD menyerang berbagai kelompok usia di Indonesia. Sejak 1993 - 2013, trend insidensi DBD pada
kelompok usia > 15 tahun paling banyak meningkat, sementara untuk usia 5 - 14 tahun terjadi
penurunan. Di Yogyakarta, diketahui bahwa 68% anak usia 1 - 10 tahun pernah terinfeksi dengue,
dengan proporsi infeksi dengue yang meningkat seiring dengan peningkatan usia. Jumlah prevalensi
infeksi multitipik pada kelompok 1 -18 tahun mencapai 50% lebih. Penyebaran kasus DBD sangat
beragam dan ada di sekitar kita dengan kejadian kasus naik atau turunnya tergantung pada karateristik
dari daerah tersebut.
Berdasarkan kategori WHO (2011), Indonesia termasuk pada hiperendemis DF/DBD. Hal tersebut
mengacu pada empat kriteria yang dimiliki oleh Indonesia, yakni : masih merupakan masalah
kesehatan utama, penyebab kematian dan hospitalisasi anak, adanya 4 serotipe yang bersirkulasi dan
penyebaran hingga ke area pedesaan (rural area). Surveilans dengue di Indonesia terdiri dari
surveilans pasif dan surveilans berbasis rumah sakit melalui KDRS (kewaspadaan dini rumah sakit).
Di masa asimptomatik, jumlah virus dengue berada pada jumlah yang paling banyak pada tubuh
seseorang dan periode ini sangat berperan dari terjadinya transmisi dengue.
Dr. dr. Ida Safitri, Sp.A(K) melanjutkan pemaparan mengenai tatalaksana klinis terbaru DBD.
Terdapat dua guideline yang menjadi referensi tatalaksana DBD, yakni WHO 2011 dan WHO 2009.
Saat ini Indonesia mengacu pada tatalaksana menurut WHO 2011 sebagai referensi bagi negara Asia
Tenggara yang diterbitkan oleh WHO SEARO. Berdasarkan guideline tersebut, terdapat tiga
klasifikasi yakni dengue fever, dengue haemorraghic fever dan expanded dengue syndrome. Untuk
kriteria expanded dengue syndrome belum terwadahi oleh kode pembiayaan BPJS yang terbaru di
fasilitas pelayanan kesehatan.
Warning signs merupakan tanda klinis dari seseorang yang patut menjadi perhatian utama. Sebelum
terjadi perubahan parameter laboratorium, tubuh sudah menunjukkan tanda dari warning signs. Pada
saat pasien sudah menunjukkan tanda warning signs, maka ia harus segera diobservasi. Adapun tanda
dan gejala warning signs diantaranya ditandai dengan muntah berulang, letargi, perdarahan, tidak ada
perbaikan klinis saat suhu reda, tidak bisa makan dan minum, keadaan pucat dengan ekstrimitas
dingin dan diuresisi yang menurun hingga 4 - 6 jam. Perlu diketahui bahwa kegawatan pada dengue
bukan pada penurunan trombosit melainkan pada kondisi terjadinya kebocoran plasma. Selanjutnya
dilakukan penatalaksanaan sesuai penegakkan kondisinya : sindrom syok dengue terkompensasi dan
sindrom syok dengue dekompensasi.
Terkait dengan penatalaksanaan DBD di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), penegakkan
diagnosa sesuai dengan kompensasi BPJS dilakukan berdasarkan pada hasil pemeriksaan kadar
trombosit. Seharusnya, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, perlu melihat kembali pada
tanda klinis dari pasien. Kasus - kasus Dengeu Shock Syndrome (DSS) dengan penyulit di PPK III
juga masih memberikan beban biaya yang cukup besar dan melebihi paket biaya yang disediakan oleh
BPJS berdasarkan pada data biaya perawatan DFH/DSS RSUP Dr. Sardjito Januari - Februari 2019.
Oleh sebab itu, perlu dikaji kembali mengenai penegakkan diagnosis dan jumlah pembiayaan yang
tepat bagi kasus dengue di PPK. Di samping itu, perlu juga dilakukan uji deteksi antigen serologi
sebagai konfirmasi diagnostik (mengingat banyak penyakit dengan demam yang bergejala mirip
dengan infeksi dengue) serta perhatian pada pengenalan tanda bahaya dan tatalaksana awal kegawatan
terkait kasus dengue yang akan berpengaruh pada hasil outcome.
Pada paparan yang ketiga, dr. Lutfan Lazuardi, M.Kes., PhD menerangkan lebih banyak mengenai
penggunaan sistem informasi kesehatan untuk melakukan prediksi terjadinya wabah DBD.
Menurutnya, sistem deteksi saat ini masih tergolong terlambat dalam hal pelaporan mengenai kasus
DBD. Seringkali kejadian atau outbreaks sudah terlanjur terjadi tanpa ada prediksi sebelumnya.
Sistem prediksi menjadi penting sebagai sistem kewaspadaan dini/deteksi dini dan informasi untuk
melakukan respon. Prediksi dapat dilakukan dengan memanfaatkan data yang aksesibel dan mudah
didapatkan, mendekati real time dan free-access/gratis.
Kenaikan suhu permukaan laut sebesar 1,5 derajat Celcius berpengaruh besar pada terjadinya
perubahan iklim yang bermanifestasi pada angka kejadian DBD.
Berdasarkan kajian ini, kasus DBD dapat diprediksi dengan data cuaca. Demikian halnya hasil yang
ditemukan dari sebuah riset terbaru yang dilakukan di Indonesia dengan memanfaatkan salah satu
akses data gratis melalui data google trends. Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa data google
trends memiliki pola deret waktu linier dan secara statistik berkorelasi dengan laporan demam
berdarah yang resmi dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan. Pemanfaatan penggunaan google
trends lebih lanjut dapat menjadi potensi sebagai salah satu pengawasan penyakit di Indonesia dengan
perlunya mengidentifikasi perilaku pencarian informasi bagi penggunanya. Di samping itu, analisis
data juga merupakan kunci dari kajian model prediksi pada kesehatan yang data analisisnya dapat
digunakan dari berbagai sumber mumpuni, terutama di era big data system saat ini.
Dr. Retna Siwi Padmawati melengkapi paparan mengenai pencegahan melalui perilaku dan
lingkungan. Beberapa hal yang telah dilakukan oleh masyarakat saat ini antara lain : pemberantasan
sarang nyamuk dengan 3M dan gerakan 1 rumah 1 jumantik; kegiatan promosi kesehatan melalui
jumantik sekolah dan pramuka; pokjanal DBD dan penemuan dini kasus dan pengobatannya. Namun
sejauh mana efektivitas dan sustainability dari pelaksanaan program tersebut masih menjadi pekerjaan
rumah kita bersama. Salah satu studi yang dilakukan di Kuba (wilayah non - endemis DBD)
menunjukkan bahwa dukungan pemerintah, ketersediaan link antara masyarakat, struktur program dan
pemerintah serta adanya mobilisasi masyarakat menjadi faktor penting. Pendekatan yang selama ini
dilakukan melalui COMBI (community for behavioural impact) dan pemberdayaan masyarakat perlu
untuk dipertahankan. Sementara itu, pendekatan lain melalui participatory action research juga
dibutuhkan dengan tidak hanya terbatas pada penelitian yang dilakukan tetapi juga mendapatkan
intervensi yang memberikan dampak perubahan perilaku positif bagi pencegahan kasus. Beberapa hal
yang menjadi tindak lanjut ke depannya antara lain penguatan advokasi, penguatan mobilisasi sosial
dan tentu saja komunikasi dan koordinasi secara lintas sektor.
Paparan akhir diberikan oleh dr. Riris Andono Ahmad, Ph.D melalui kajian riset pengendalian dengue
dengan teknologi Wolbachia. Tantangan kasus DBD di Indonesia masih menjadi masalah sebab angka
kasus yang masih meningkat fluktuatif, uatamanya saat musim penghujan tiba. Vector nyamuk Aedes
Aegepty cenderung dekat dengan perilaku manusia, dengan karakteristik tidak berbunyi, tidak sakit
jika menggigit, tidak suka bau wangi dan suka menggigit di bagian bawah tubuh. Tantangan
pengendalian dengue saat ini adalah masih belum tersedianya vaksin yang 100% efektif, belum
tersedianya obat untuk dengue, 70& kasus bersifat asimptomatis, dan belum kuatnya sistem
surveilans.
Melalui Eliminate Dengue Project (EDP), dikembangkan pemanfaatan bakteri alami Wolbachia yang
memiliki kapasitas menekan pengembangan virus dengue. Wolbachia berfungsi sebagai vaksin pada
tubuh nyamuk yang disebarluaskan sendiri dengan cara berkawin dengan nyamuk lain dan melahirkan
nyamuk dengan Wolbachia didalam tubuhnya. Dengan adanya Wolbachia didalam tubuh nyamuk,
maka virus dengue tidak memiliki kesempatan untuk berkembang dan berakibat pada nyamuk aedes
aegypti yang tidak bisa mendistribusikan virus dengue sebagai penyebab dari kejadian DBD.
Penggunaan nyamuk dengan Wolbachia dilakukan di Yogyakarta, terutama di Sleman dan Bantul.
Penelitian ini dilakukan dalam 4 fase yang terdiri dari fase persiapan dan kelayakan penialian
keamanan, fase penyebaran skala terbatas nyamuk aedes aegypti dengan Wolbachia, fase penyebaran
skala luas nyamuk Aedes Aegypti dengan Wolbachia dan fase penguatan adopsi dan implementasi
kebijakan. Saat ini, riset yang sedang dilakukan berada pada fase ketiga untuk penyebaran skala luas.
Hasil sementara yang didapatkan menunjukkan terjadi penurunan kasus DBD di wilayah sasaran
penyebaran.
(Reporter: Kurnia Widyastuti/ PKMK)

Anda mungkin juga menyukai