Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Rhinosinusitis adalah inflamasi yang terjadi pada sinus atau mukosa


hidung. Rhinosinusitis kronik adalah inflamasi pada sinus atau mukosa hidung
yang terjadi lebih dari 12 minggu. Rhinosinusitis kronik bisa terjadi tanpa polip
nasal atau dengan polip nasal.1 Rinosinusitis adalah rhinitis yang memicu
terjadinya peradangan sinus sehingga sinusitis sering disebut rinosinusitis.
Penyebab utamanya adalah selesma yang merupakan infeksi virus, yang
selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. 2
Rinosinusitis dapat mempengaruhi kualitas hidup secara signifikan.
Rinosinusitis kronik ditandai dengan adanya minmal dua dari empat tanda
cardinal seperti nyeri atau rasa menekan pada wajah, hiposmia/anosmia, hidung
berair, dan hidung tersumbat. Bukti objektif dari rinosinusitis ditentukan dengan
pemeriksaan fisik (rinoskopi anterior, endoskopi) atau radiografi yaitu dari CT
Scan sinus.1
Di Amerika Serikat, kasus rhinosinusitis memiliki prevalensi 1-5%. 1 Di
Indonesia sendiri, data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit
hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat
utama.3 Penelitian oleh Hesti di RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2012
mendapatkan data mayoritas pasien rinosinutis kronik berada di kelompok usia
15-49 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, penderita rinosinsitis kronik didominasi
oleh perempuan (60,32%) dibandingkan laku-laki (39,68%). Gejala klinik yang
sering dirasakan pasien adalah pilek (71,43%) dan hidung tersumbat (88,89%). 4
Rinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang banyak untuk saat ini
dan mempengaruhi kualitas hidup, produktifitas, dan finansial. Angka libur kantor
setiap tahunnya akibat rinosinusitis sama dengan angka kejadian untuk asma akut.
Selain itu pasien dengan rinosinusitis menghabiskan uang lebih dari 500 dolar
pertahunnya di fasilitas kesehatan dibandingkan pasien bronchitis kronik, ulkus,
dan asma.5 Selain masalah produktifitas dan finansial, dari segi medis,
rhinosinusitis dapat menjadi berbahaya karena dapat meyebabkan komplikasi ke
orbita dan intracranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit
diobati.2
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan Penulisan adalah untuk mengetahui anatomi dan fisiologi hidung,
definisi, epidemiologi, etiologi, pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
diagnosis banding, tatalaksana dan komplikasi dari rinosinusitis kronik
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Rinosinusitis adalah suatu penyakit peradangan mukosa yang melapisi
hidung dan sinus paranasal. Istilah rinosinusitis saat ini lebih sering digunakan
dibandingkan sinusitis karena perjalanan penyakit sinusitis selalu disertai
inflamasi mukosa hidung.. Inflamasi dapat diawali dengan infeksi bakteri, jamur,
infeksi dari gigi atau pun terjadinya tumor atau fraktur.10
2.2 Anatomi
Hidung Luar
Hidung bagian luar menonjol pada garis tengah wajah di antara pipi dan
bibir atas. Struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian, pada bagian yang
paling atas adalah kubah tulang yang tak dapat digerakkan, dibawahnya terdapat
kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah
lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk hidung luar seperti piramid
dengan bagian dari atas ke bawah yaitu : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang
hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala nasi, 5) kolumnela, dan 6)
lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan
tulang rawan yang di lapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang
berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang
terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis, 3) prosesus nasalis
os frontalis; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri atas beberapa pasang tulang
rawan yang terletak di bagain paling bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago
nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang
disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan, 3) tepi anterior kartilago septum.9
Hidung Dalam
Bagian hidung dalam terdiri dari struktur yang membentang dari os.internum
di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung
dari nasofaring. Kavum nasi terbagi oleh septum, dinding lateral yang terdapat
konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior
dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut
meatus superior.10

Gambar 1 Anatomi Hidung Dalam.11

Sinus Paranasal
Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus
etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara ke rongga hidung.10
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM),
terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus,
resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan
ostium sinus maksila.9
a. Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila
disebut juga antrum Highmore. Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-8 ml. Sinus
ini kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal,
yaitu 15 ml saat dewasa. Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus
adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding
posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah
dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan
dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila
berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus
semilunaris melalui infundibulum etmoid . 9,10

Gambar 2 Sinus Paranasal

b. Sinus Frontal
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan
keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan
akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Sinus frontal kanan dan
kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainya dan dipisahkan oleh
sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya
mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak
berkembang. Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm, lebarnya 2.4
cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus
berlekuk-lekuk.10
c. Sinus Ethmoid
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena dapat
merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk
sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari
anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior
dan 1.5 cm di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel
yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os
etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini
jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus
etmoid anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus etmoid posterior
bermuara ke di meatus superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan
banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka
media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid
posterior biasanya lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari
lamina basalis. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit,
disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang
terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu
penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus
maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis
maksila. Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan
lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis
dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
posterior berbatasan dengan sinus sfenoid .9,10
d. Sinus Sfenoid
Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior.
Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya
adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya
bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus.
Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri media dan
kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan
dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya
berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.10
2.3 Epidemiologi
Rinosinusitis Kronis memiliki prevalensi yan tinggi di masyarakat. Di
Eropa diperkirakan sekitar 10-15% menderita penyakit rinosinusitis. Sebanyak
14% pendduduk Amerika, pernah mengalami rinosinystis dan 15% diantaranya
menderita rinosinusitis kronik. 8
Hesty (2015) mengemukakan persebaran pasien rinosinusitis kronik di
RSUP Dr M Djamil Padang tahun 2012. Mayoritas pasien rinositis kronik berada
di kelompok usia 15-49 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, penderita rinosinsitis
kronik didominasi oleh perempuan (60,32%) dibandingkan laku-laki (39,68%).
Gejala klinik yang sering dirasakan pasien adalah pilek (71,43%) dan hidung
tersumbat (88,89%).4
Rinosinusitis kronis di Amerika serikat memiliki prevalensi 1-5%.
Penyakit ini menghabiskan biaya jutaan dolar setiap tahunnya.4
2.4 Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom kartagener, dan di luar negri
adalah penyakit fibrosis kistik.3
Pada banyak pasien dengan sinusitis, mukosa hidung dan sinus terlalu
sensitif terhadap berbagai faktor. Ini merupakan masalah bagi pasien yang
memeliki kecenderungan genetik. Faktor-faktor ini termasuk pencemaran
lingkungan dan alergi, perubahan suhu, dan mungkin stres dan makanan tertentu.4
Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara
mendalam. Pada rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah
ditetapkan sebagai penyebab utama.7,14 Namun sebaliknya, etiologi dan
patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya
diketahui.6
2.5 Patogenesis
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosiliar didalam KOM. Mukus juga mengandung substansi
antimikroba dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh
terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Organ-organ yang
membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi edema, mukosa yang
berdekatan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative di dalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap
sebagai rinositis non-bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa
pengobatan.10
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media yang baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri. Sekret menjadi
purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan
terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor
predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob
berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang
terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi,
polipoid atau pembengkakan polip dan kista.10,12
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok
sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting
bagi transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang
cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM
merupakan faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis
kronik.14 Namun demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi
terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor diatas akan
mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya kaskade yang
berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan patologis pada
mukosa sinus dan juga mukosa nasal.12
DAFTAR PUSTAKA

1. Sedaghat AR. Chronic Rhinosinusitis. Am Fam Physician. 2017; 96(8): 500-6.


2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Ratna DR. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga hidung tenggorok kepala & leher. Jakarta: Badan Penerbit FK UI. 2012
3. Multazar A, Nursiah S, Rambe A, Harahap IS. Ekspresi cyclooxygenase-2
(cox-2) pada penderita rinosinusitis kronis. Oto Rhino Laryngol Indones.
2012;42(2):96–103
4. Triahastuti H, Budiman BJ, Edison. 2015. Profil Pasien Rinosinusitis Kronik
di Poliklinik THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas;4(3):877-82.
5. Meltzer EO, Hamilos DL. Rhinosinusitis diagnosis and management for the
clinician: a sypnosis of recent consensus guidelines. Mayo Clin Proc. 2011;
86(5): 427-43.
6. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, et al. European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. International Rhinology Society. 2012.
7. Johnson JT, Rosan AC, et al. Bailey’s Head and Neck Sugery :
Otolaryngology, Lippincott William. Ed 5. 1(32): 501 - 507. 2014
8. Beninger MS. Adult chronic rhinosinusitis definition, diagnosis,
epidemiology, pathophysiology. Oto-laryngol Head and Neck Surgery.
Michigan. 2003
9. Hoddeson E, Wise S. Acute Rhinosinusitis. In: Johnson J, Rosen C, editors.
Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology. fifth. Philadelphia:
Lippincot; 2014. p. 509–14.
10. Brook, Itzhak. Sinusitis From microbiology to management. Georgetown
University School of Medicine Washington. D.C. USA. 2006
11. Soetjipto D, Wardani RS .Hidung Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi Ketujuh. Jakarta, FKUI : 118-
122, 131-135.2012
12. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds.
Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis,
2006;109-129.

Anda mungkin juga menyukai