Mata Kuliah
Manusia dan Masyarakat Indonesia
Oleh:
Danistya Smara Putri
1706058142
Kelas MMI – G
Di Universitas Indonesia, khususnya di rumpun sosial dan humaniora, yang terdiri dari
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Fakultas
Hukum (FH), Fakultas Psikologi (FPsi), dan juga Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), para
mahasiswa dan mahasiswi diwajibkan untuk mengikuti suatu mata kuliah. Mata kuliah tersebut
bernama Manusia dan Masyarakat Indonesia. Mata kuliah Manusia dan Masyarakat Indonesia
(MMI), adalah mata kuliah yang memberikan kemampuan kepada mahasiswa dan mahasiswi
untuk mempelajari dan mengerti tentang manusia, dan dinamika masyarakat Indonesia.
Di mata kuliah MMI, bentuk aktivitas belajar yang digunakan adalah small group
discussion, cooperative learning, dan studi lapangan. Small group discussion dan cooperative
learning terjadi di dalam kelompok masing-masing saat membahas tentang pengalaman studi
lapangan yang telah dilakukan masing-masing anggota kelompok. Studi lapangan dilakukan
setiap dua minggu sekali di kelas ini, sesuai kesepakatan. Di dalam studi lapangan, semua
mahasiswa dan mahasiswi di kelas tersebut mendatangi lokasi ‘setting’, dan mengobservasi
setting tersebut. Observasi tersebut dilakukan terhadap manusia (masyarakat) di sekitar setting.
Di kelas MMI – G, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, saya dan teman-teman sekelas saya
dipandu oleh dosen kami, yaitu Dr. Palupi Lindiasari S, S.SPi, MM. Untuk studi lapangan,
kami ditugaskan untuk melakukan aktivitas belajar ini di daerah Pondok Cina. Sehingga,
Pondok Cina merupakan setting kelas kami. Dari setting tersebut, setiap kelompok diberi tugas
untuk menentukan sub-setting yang berbeda-beda. Setelah menentukan sub-setting, kami
menentukan subjek yang akan menjadi fokus utama studi lapangan kami masing-masing.
Untuk saya sendiri, saya berada di dalam kelompok satu kelas MMI – G, yang berisi
Nuna, Miya, Usman, Razif, dan tentu saya sendiri. Kami memilih sub-setting yaitu tikungan
setelah rel kereta api Pondok Cina (dari arah area Universitas Indonesia), lalu menyusuri
jembatan menuju warung-warung di area Universitas Gunadarma. Dari sub-setting tersebut,
saya memilih seorang pemilik warung bernama Bu Salsa untuk menjadi foksu utama studi
lapangan saya.
1
BAB 2. METODE PENELITIAN
2
Jalan Stasiun Pondok Cina Jalan Stasiun Pondok Cina
Area pusat
KAMPUS UI
setting (Jl.
Stasiun Pondok
Cina)
3
Kelompok 1 memilih sub-setting ini karena cukup luas sehingga banyak pelaku yang
ada di sub-setting. Para pelaku pun bervariasi, mulai dari pedagang (‘cilok’, ‘maklor’ es kelapa,
gorengan, buah-buahan, pempek), pemilik warung, tukang ojek, tukang sol sepatu, tukang
reparasi jam, tukang tambal ban, satpam, pengemis, orang yang berlalu-lalang (penghuni
Pondok Cina, orang yang pulang ke Stasiun Pondok Cina dengan KRL, orang yang berangkat
dari Stasiun Pondok Cina dengan KRL), mahasiswa-mahasiswi Universitas Indonesia, dan
mahasiswa-mahasiswi Universitas Gunadarma Kampus D.
Karena variasi tersebut, kami dapat melihat karakteristik-karakteristik yang berbeda-
beda dari setiap pelaku dimana setiap pelaku memiliki latar belakang sosial, ekonomi,
pendidikan dan daerah asal yang beragam pula. Dari variasi tersebut, kami juga dapat
mengamati dinamika masyarakat yang terjadi dan tidak hanya manusia di sub-setting itu secara
individual, namun, interaksi dan hubungan mereka. Kami dapat melihat apakah hubungan antar
sesama penghuni sub-setting itu baik, atau mungkin ada keunikan dari relasi dan interaksi
mereka yang dapat lebih jauh diobservasi sehingga kami juga dapat belajar dari dinamika
masyarakat mereka.
Berikut beberapa foto dari sub-setting:
4
Kantin di area Universitas Gunadarma kampus D
Area sub-setting
5
adalah dua minggu setelahnya (karena seminggu setelahnya dilakukan kegiatan pembelajaran
di dalam kelas) yaitu tanggal 6 Oktober 2017.
Observasi biasa dilakukan dua sampai dua setengah jam, sebelum pukul 16.30 yaitu
waktu formal kelas diselesaikan. Cara kerjanya adalah apabila sebelum dua setengah jam sudah
merasa cukup puas dengan observasi kali itu, kelompok dapat melaporkan diri ke Dr. Palupi
dan menceritakan apa yang didapatkan dalam observasi tersebut, lalu presensi kembali dan
diizinkan untuk pulang.
6
BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN CATATAN LAPANGAN
7
mendapatkan kesempatan untuk mengamatinya saat teman saya, Usman, membeli es kelapa
muda di tempatnya. Beliau ternyata sosok yang senang mengobrol karena banyak pelanggan
yang datang dan mengajak bicara bapak ini, beliau pun merespon kepada mereka dengan
senang hati.
Untuk satpam Universitas Gunadarma, ia merupakan seorang lelaki berbadan agak
pendek dan gemuk, terlihat agak lelah karena matanya warna kuning, namun sangat murah
senyum dan ramah kepada dosen dan mahasiswa-mahasiswi Universitas Gunadarma, menurut
pengamatan saya.
Untuk dosen Universitas Gunadarma, saya mengamati mereka saat mereka berinteraksi
dengan satpam Universitas Gunadarma, mereka terlihat memiliki hubungan yang sangat baik.
Satpam itu terlihat menghormati dosen, ia berbicara dengan mereka secara sopan dan mau
membantu, ia juga sangat terbuka dengan salah satu dosen yang ingin duduk di pos satpam
untuk menunggu jemputannya.
Untuk mahasiswa Universitas Gunadarma, saya mengamati hanya beberapa yang
sedang duduk-duduk di area luar kampus, mereka sedang mengobrol dan merokok. Saya
mengetahui bahwa mereka mahasiswa Universitas Gunadarma karena saat salah satu dosen
lewat di depan mereka, mereka salim dengannya. Salah satu dari mahasiswa berambut
gondrong dan hanya mengenakan kaos, jins, dan sepatu kets. Sikapnya terlihat sangat santai.
Untuk tukang fotocopy di area Universitas Gunadarma, ia merupakan salah satu
pegawai di tempat itu. Ia terlihat sangat sibuk mengerjakan pekerjaannya, dan rekan-rekan
kerjanya pun sama. Tentu karena pelanggannya pasti hampir semua adalah mahasiswa-
mahasiswi Universitas Gunadarma yang jumlahnya banyak sehingga tugasnya pun juga
banyak yang mungkin harus di-print, atau di-fotocopy, atau dijilid.
Untuk Bu Salsa, akan diuraikan lebih detil di bagian selanjutnya. Anaknya, Mas
Hendro, adalah seseorang yang berbadan tinggi dan kurus, kulitnya berwarna sawo matang,
rambutnya pendek, rapih, dan mengenakan seragam Telkom Indonesia. Ia tentu sangat akrab
dengan ibunya, senang sekali bercanda dengannya, karena saya melihat langsung mereka
berdua bercanda seakan sahabat.
8
D. Profil Pelaku Fokus Pengamatan (Identitas)
• Nama : Salsa
• Umur : 47 tahun
• Status : Sudah menikah
• Jumlah anak : 5 (lima)
• Tempat tinggal : Pondok Cina (di belakang warung)
• Pekerjaan : Pemilik warung
Warung Bu Salsa
9
Denah warung Bu Salsa:
Tangga
Rak
Kasir
rokok
Rak-rak penuh
dengan makanan
kemasan
Rak-rak penuh
dengan makanan
kemasan
Kulkas minuman
Kulkas minuman
Kursi
Masuk/Keluar
10
E. Peran dan Fungsi Pelaku Fokus Pengamatan
Beliau adalah salah satu pemilik warung di area luar kampus Universitas Gunadarma.
Warungnya merupakan salah satu dari lima warung yang ada bersebelahan dengannya di area
itu.
Peran pelaku di area itu adalah sebagai anggota dari masyarakat itu, juga penghuni
daerah itu karena memang rumahnya ada tepat di belakang warungnya. Tentu pelaku juga
berperan sebagai pemilik warung di area itu. Fungsi pelaku di area itu adalah penyedia (yang
dibayar) makanan dan minuman ataupun rokok untuk entah dosen Universitas Gunadarma,
atau mahasiswa-mahasiswi Universitas Gunadarma, atau orang yang sekadar sedang melewati
jalan itu.
F. Tindakan yang Dilakukan Pelaku Terhadap Dirinya dan Setting atau Sub-setting
Bu Salsa, saat saya pertama melihatnya di observasi kali kedua, sedang mengobrol
dengan temannya yang pada observasi pertama kali tidak berada di sub-setting kelompok saya.
Beliau sedang duduk di bagian depan warungnya, menunggu pelanggan datang untuk dilayani.
Saya menangkap bahwa beliau tidak jarang menunggu-tunggu untuk pelanggan berikutnya,
sebab, warungnya bukanlah warung satu-satunya di tempat itu. Ada satu warung di paling kiri
deretan, yaitu sebelah kiri Warung Arifin dan Gado-gado Linda, kemudian di sebelah kanan
Warung Arifin dan Gado-gado Linda adalah warung Bu Salsa, namun, di sebelah warung Bu
Salsa, ada tiga warung lainnya. Selain tidak menjadi satu-satunya warung di tempat itu, ada
satu kelemahan yang dimiliki warung Bu Salsa, yaitu sempitnya tempat itu, mungkin hanya
berukuran 3x2 m2 dan penuh dengan dagangannya. Jadi, sudah sewajarnya orang akan memilih
warung yang lebih besar, sebab lebih nyaman untuk mondar-mandir. Namun, bagi saya, hal itu
justru merupakan keuntungan untuk saya, sebab warung menjadi tidak ramai, dan saya dapat
lebih pribadi dalam mengobrol dengan Bu Salsa.
Untuk pertama kali saya bertemu dengan Bu Salsa, saya melihat bahwa beliau berkulit
putih dan berambut hitam kecoklatan yang lurus dan panjang, badannya agak berisi dan
tingginya mungkin sekitar 155 cm. Beliau memakai kacamata, poni rambutnya dijepit, dan
memakai kaos pink dan jeans ¾. Terlihat bahwa Bu Salsa cukup memerhatikan
penampilannya, sebab fisik dirinya terlihat cukup terawat, seperti kulitnya yang putih bersih,
rambutnya yang hitam kecoklatan, yang pastinya dicat, sebab sepatutnya Bu Salsa pada
umurnya yaitu 47 tahun sudah memiliki uban setidaknya beberapa helai saja. Namun, saya bisa
11
saja salah, dan mungkin Bu Salsa memang memiliki gen yang sangat menguntungkan baginya
dan menjadikannya sangat awet muda.
Bu Salsa memiliki warung yang ada di deretan warung dan kantin di area luar kampus
D Universitas Gunadarma. Beliau memiliki rumah tepat di belakang warungnya itu, sehingga
mudah untuknya apabila ada urusan di rumah, beliau hanya perlu berpindah ke belakang
warungnya, atau sebaliknya apabila ada urusan di tempat kerjanya dan beliau sedang di rumah,
beliau hanya butuh berpindah ke depan rumahnya karena tempat kerjanya adalah warungnya.
Warung ini merupakan bisnis Bu Salsa sendiri yang beliau bangun dengan suaminya saat
berpindah tempat tinggal ke Pondok Cina bersamanya, lebih dari sepuluh tahun yang lalu.
12
(Di tahap ini percakapan saya dengan Bu Salsa masih agak sepihak karena hanya saya
yang bertanya dan Bu Salsa hanya menjawab tanpa bertanya kembali tentang diri saya.)
R : “Duh, maaf ya, Bu kalo aku lama-lama di sini, aku lagi nunggu jemputan aku
nih mau pulang, hehehe.”
(Saya menggunakan pronomina ‘aku’ agar lebih akrab dan terkesan terbuka.)
BS : “Oh, iya, ga apa kok.”
R : (diam sejenak, bingung ingin menanyakan apalagi agar tidak terkesan
mencurigakan)
BS : “Anak Gundar, mbak?”
(Akhirnya di tahap ini Bu Salsa sudah memulai menanyakan tentang diri saya kembali
kepada saya.)
R : “Oh, iya, Bu, hehehe. Belum pernah liat ya?”
BS : “Ya, Ibu jarang merhatiin juga sih... Fakultas apa?”
R : “Wah iya sih Bu, banyak banget juga ya anak Gundar mah. Aku... anak
Ekonomi Bu.”
BS : “Iya, banyak.”
R : “Disini anak Gundarnya baik-baik kan Bu sama Ibu?”
BS : “Baik kok.”
R : “Akrab gitu gak sih Bu sama anak-anak Gundar?”
BS : “Yaa... ada yang akrab, ada yang nggak.”
R : “Yang akrab biasanya cowo ya Bu?”
BS : “Nggak juga. Cowo, cewe, sama aja.”
R : “Kalo udah jadi alumni gitu Bu? Masih suka mampir ke tempat Ibu nggak?”
BS : “Oh, ada kok, yang udah beristri, bersuami, bawa anaknya kesini. Masih inget
sama Ibu.”
R : “Wah, hahaha, keren juga ya Ibu.”
(Percakapan pun berlanjut hingga sekitar 20 menit.)
Di dalam percakapan ini, Bu Salsa meletakkan sikunya di kasir, gayanya sangat santai,
posturnya pun sangat santai. Saat berbicara dengan saya, terlihat bahwa beliau tidak
sepenuhnya fokus dengan saya, sebab matanya kadang menatap saya, tapi kadang menatap ke
luar warungnya. Entah apa yang ada di pikiran Bu Salsa, mungkin menurutnya situasi ini agak
canggung, atau dia sedang tidak begitu nyaman dengan saya yang banyak bertanya-tanya.
Saya menanyakan kepada Bu Salsa apakah terjadi persaingan yang menjurus ke konflik
di kalangan para pemilik warung sebab memang ada empat warung lain di area itu dan sangat
13
berdekatan satu sama lain, beliau menjawab “biasa aja”. Saya menanyakan beberapa hal lain
tentang lingkungannya juga:
R : “Bu, kan di sini warungnya banyak ya, bahkan sebelah warung Ibu kan warung
juga, nah, kayak ada persaingan gitu nggak sih, Bu? Atau baik-baik aja
hubungannya?”
BS : “Biasa aja.”
(Jawaban yang singkat, padat, dan mungkin kurang jelas untuk saya. Tetapi, Bu Salsa
memang tidak banyak berbicara, setidaknya dengan saya tidak banyak.)
R : “Ooh, sama sebelah-sebelah akrab-akrab aja ya, Bu?”
BS : “Iya, temenan semua kok ini. Baik-baik aja.”
R : “Di belakang itu rumah-rumah semua Bu?”
BS : “Yaa, rumah yang jualan di depan.”
R : “Suka ada kegiatan gitu nggak Bu sama tetangga-tetangga Ibu?”
BS : “Kalo kegiatan sih ada, biasa lah, 17-an, arisan.”
Dari percakapan tersebut, saya mendapatkan informasi bahwa Bu Salsa ikut dalam
dinamika masyarakat. Beliau berhubungan baik dengan lingkungannya, berteman dengan
tetangga-tetangganya.
Selama percakapan kami, ada beberapa pelanggan yang datang membeli makanan dan
minuman dan Bu Salsa selalu siap untuk melayani mereka semua. Walau sedang bercakap
dengan saya, beliau tidak menjadi terganggu dalam melayani pelanggannya, dan pelanggannya
pun tidak terganggu dengan saya yang mengajak beliau bercakap. Mungkin terganggu karena
areanya semakin sempit karena ada saya yang berdiam diri di warung Bu Salsa. Terkadang
omongannya kepada saya terpotong untuk melayani pelanggan, namun, setelah melayani,
beliau langsung melanjutkan omongannya yang terpotong itu. Saya senang akan hal itu karena
artinya Bu Salsa mulai fokus dalam bercakap dengan saya.
Suatu saat, datang seorang lelaki yang mengenakan seragam Telkom Indonesia, ia
berbincang seperti akan memasang telefon di rumah Bu Salsa. Saya pun melihat dirinya dan
lelaki ini sangat akrab, bercanda selayaknya sahabat, dan saya berpikir bahwa Bu Salsa ini
orangnya senang bercanda dan mudah bergaul dengan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Namun, setelah saya bertanya apakah benar lelaki itu akan memasang telefon di rumah beliau
itu atau tidak, beliau tertawa dan mengoreksi saya, beliau mengatakan bahwa lelaki tersebut
merupakan anaknya. Saya pun terkejut, lelaki itu sudah dewasa dan kelihatannya berumur
sekitar 27 tahun, namun Ibu itu terlihat masih muda sekali. Saya pun tertawa saat lelaki dewasa
itu menanyakan kepada Ibunya, “Mi, masak apa nanti malam?”
14
Setelah bercakap selama sekitar 20 menit itu, saya pun mencukupi pembicaraan saya
dengan Bu Salsa agar beliau dapat melanjutkan pekerjaannya, dan agar tidak terlalu
menyeramkan atau mencurigakan bila saya berlama-lama bertanya-tanya tentang hidup Bu
Salsa. Saya berpura-pura membaca sebuah SMS dari penjemput saya untuk pulang.
R : (mengecek HP)
R : “Aduh, Bu, jemputan aku udah dateng nih di depan. Aku pamit dulu ya.”
BS : “Iya, mbak. Ati-ati.”
R : “Makasih banyak ya, Bu. Sukses terus, hehehe.”
BS : “Iya, mbak.”
Saya pun pamit dan keluar dari warung Bu Salsa, lalu kembali ke tempat kelompok
saya untuk berkumpul. Saat itu jam 3, dan kami pun sekelompok merancang catatan dari
observasi kali ini untuk berlapor kepada Dr. Palupi.
15
BAB 4. KESIMPULAN
16