Anda di halaman 1dari 4

Sejarah

Glider merupakan pesawat tanpa mesin dan sering disebut sebagai pesawat
layang. Lilienthal adalah pelopornya. Dengan glider, Lilienthal melakukan
penyelidikan untuk mengetahui apa dan bagaimana aerodinamika bekerja.
Wright bersaudara meniru kerja Lilienthal dengan membuat glider yang
memiliki lebar sayap sepanjang 20 kaki.

Sayangnya, Wright bersaudara tidak puas. Pada 1901 mereka


menyempurnakan penciptaan dengan merilis “1901 Glider” yang bersayap
lebih luas. Tapi penciptaan glider kedua ini pun tak membuat Wright
bersaudara puas. Dengan sayap yang telah diperluas, glider hanya mampu
memperoleh sepertiga daya angkat dari teori penciptaan glider milik
Lilienthal yang mereka pelajari. Wright kemudian paham, membuat sistem
pengendali pesawat (flight control) adalah solusinya. Dan pada 1902 mereka
memecahkan solusi itu dengan “1902 Glider.”

Pada teori aerodinamika ada istilah bernama rasio L/D atau lift-to-drag.


Sederhananya, daya angkat akan tercipta manakala sayap bertubrukan
dengan angin. Untuk menciptakan rasio L/D yang baik, yang akan
menghasilkan daya angkat maksimal, Wright bersaudara menyadari
pentingnya sistem pengendali pesawat.

Mereka mempelajari centre of gravity (titik berat atau pusat massa), lokasi


dalam pesawat di mana rata-rata berat berada. Bila centre of
gravity ditemukan, akan diketahui di mana titik-titik three dimensional
coordinate (tiga koordinat penentu sumbu utama): pitch, roll, dan yaw.
Ketiga titik itulah yang bisa membuat pesawat bergerak leluasa.

1902 Glider sukses. Di tahun itu, 700 hingga 1.000 kali penerbangan “1902
Glider” dilakukan Wright bersaudara. Setahun berselang, Wright Flyer lahir.
Wright Flyer merupakan pesawat heavier-than-air bermesin yang diciptakan
Wright bersaudara. Pesawat dibuat memanfaatkan kayu cemara dan mesin
khusus berkekuatan 12 tenaga kuda.

Lewat pencapaian tersebut, Wright bersaudara jadi dua orang pertama di


dunia yang sukses menciptakan pesawat terbang bermesin. Itulah cikal-
bakal semua pesawat yang lahir kemudian, termasuk dari Boeing maupun
Airbus.

Wright Flyer sukses diujicoba untuk terbang empat kali, antara Kill Devil Hills
hingga Kitty Hawk di North Carolina, Amerika Serikat, dengan jarak tempuh
sejauh 6,4 kilometer, pada 1903. Dan kakak-adik ini akhirnya menerima
paten “Flying Machine” bernomor US821393A pada 22 Mei 1906, tepat hari
ini 113 tahun lalu.

Meski pada 1903 pesawat bermesin sukses dilahirkan Wright bersaudara,


mereka tak mau langsung mengumumkannya pada publik. Pada 5 Januari
1904, sebagaimana dikutip Associated Press, Wilbur mengatakan bahwa
“kami bertekad, sebelum kembali ke rumah, untuk mengetahui apakah
mesin memiliki kekuatan yang cukup untuk terbang, kekuatan yang cukup
untuk menahan guncangan pendaratan, dan kapasitas kontrol yang cukup
untuk membuat penerbangan aman di angin yang kencang, serta di udara
yang tenang. Ketika poin-poin ini telah ditetapkan dengan pasti, kami akan
segera mengemas barang-barang kami dan kembali ke rumah.”

Secara tersirat, Wright bersaudara menginginkan ciptaan mereka benar-


benar bekerja baik, tidak setengah-setengah. Semangat itulah yang terus
dipertahankan para pencipta pesawat sampai kini, sehingga bisa melahirkan
rasio kecelakaan yang paling rendah.

Pesawat Glider di Indonesia

Pesawat terbang dibuat untuk berbagai tujuan misalnya transportasi, militer,


olahraga, dan hiburan. Pesawat transportasi dan militer sudah familiar di
masyarakat. Namun masih banyak yang belum tahu bahwa ada pesawat
yang dibuat untuk tujuan olahraga dan hiburan. Salah satu pesawat yang
dibuat untuk tujuan ini adalah glider (pesawat layang).

Ciri khas dari glider adalah sebagai berikut :


- Memiliki bentang sayap (span) yang lebar
- Kapasitas kecil (hanya 1 atau 2 seat)
- Bentuk sangat aerodinamis, perbandingan gaya angkat/gaya hambat >20
(lama), >30 (baru)
- Tanpa mesin (take-off dengan cara ditarik atau towing)

- Ada yang bermesin namun hanya untuk take-off dan climb

Glider banyak digunakan dalam perlombaan dan memiliki kelas-kelas


berdasarkan bentang sayap dan fiturnya. Kelas-kelas dalam lomba glider
meliputi :
- Standard class (span 15 m, tanpa flaps)
- 15 meter class
- 18 meter class
- 20 meter class (two seater)
- Open class
- Club class
- Word class
- Ultralight class
Di Indonesia, glider juga dilombakan sebagai salah satu cabang dalam Pekan
Olahraga Nasional (PON). Pada PON 2016 di Jawa Barat, cabang glider
diselenggarakan di Lanud Suryadharma Kalijati, Subang. 
Glider dirancang sedemikian rupe sehingga memiliki performa aerodinamika
yang sangat efisien. Secara aerodinamika performa glider dinilai dari
besarnya Glide Ratio. Glide ratio adalah perbandingan Lift/Drag (gaya
angkat/gaya hambat). Pemilihan airfoil sayap (bentuk sayap), bentuk
fuselage (badan), konfigurasi ekor, dan komponen lain dilakukan dengan
pertimbangan yang ketat. Tujuannya adalah untuk mencapai glide ratio
besar sehingga glider mampu terbang lama.

Misi dari glider adalah untuk memiliki endurance sebaik mungkin sehingga
dapat terbang dalam durasi yang lama. Selain optimasi aerodinamika, glider
juga memanfaatkan alam untuk meningkatkan performanya. Glider
memanfaatkan aliran udara ke atas untuk menjaganya tetap terbang. Aliran
udara ke atas ini dapat diperoleh dengan terbang di atas ground yang
hangat, terbang di bawah awan, dan terbang di atas permukaan laut. Pilot
glider harus mempunyai kemampuan melihat lingkungannya dan mencari
upwash (aliran udara ke atas). Rekor nasional Indonesia untuk durasi
terbang glider adalah 17 jam non-stop, tanpa mesin. Rekor ini dibuat di
Pacitan, Jawa Timur.

Anda mungkin juga menyukai