Anda di halaman 1dari 2

Meluruskan Bahasa Orang-Orang Sekolahan

Oleh: Dr. E. Kosasih, M.Pd.

Beberapa orang siswa asyik berjalan di depan sebuah kelas dengan langkahnya yang cukup
membuat orang di sekitarnya merasa terganggu. Terdengar percakapan di antara mereka yang kira-kira
begini, “Punya gua kemaren ilang.” Terdengar pula sahutan salah satu dari mereka, “Lho, kalau punya gua,
sama elo kemanain?”

Tak menyangka, salah seorang siswa di samping saya juga memperhatikan percakapan mereka.
Kemudian nyeletuk, “Gua apa: Gua Selarong atau Gua Jepang?”

Beberapa siswa yang mendengarnya tertawa kecil. Di antara mereka ada yang berbisik, “Serasa di
Terminal Rambutan, ye?”

Peristiwa tersebut menggambarkan bahwa ada dua kelompok siswa yang memiliki sikap berbahasa
yang berbeda di sekolah tersebut. Kelompok pertama adalah mereka yang kurang memiliki kepedulian
terhadap penggunaan bahasa yang baik dan benar. Hal ini tampak pada ragam bahasa yang mereka gunakan
yang menurut sinidiran siswa kelompok kedua sebagai ragam bahasa yang biasa digunakan di Kampung
Rambutan.

Dari komentar-komentarnya, kelompok siswa kedua memiliki sikap kritis terhadap kaidah
penggunaan bahasa temannya. Mereka mengetahui makna gua yang benar dalam bahasa Indonesia adalah
‘lubang besar pada kaki gunung’. Dengan makna tersebut, kata gua seharusnya ditujukkan untuk
penyebutan nama tempat, seperti Gua Selarong, Gua Jepang, Gua Pamijahan, dan seterusnya; dan bukannya
pengganti orang (persona).

Pada kebanyakan sekolah, penggunaan bahasa para siswanya cenderung lebih tidak terkontrol.
Penggunaan yang dominan adalah ragam bahasa pasar atau ragam bahasa gaul sehingga yang banyak
terdengar adalah pilihan kata seperti elu-gua.

Prasangka baik saya, bukan mereka tidak memahami perlunya ketertiban berbahasa di lingkungan
sekolah. Saya berkeyakinan bahwa doktrin tentang “berbahasa Indonesialah yang baik dan benar” telah
mereka peroleh jauh-jauh sebelumnya, sejak SMP atau bahkan sejak mereka SD. Saya melihat
ketidakberesan mereka berbahasa, antara lain, disebabkan oleh kekurangwibawaan bahasa Indonesia itu
sendiri di mata mereka.

Ragam bahasa Indonesia baku mereka anggap kurang “asyik” dibandingkan dengan bahasa gaul,
lebih-lebih dengan bahasa asing, baik dalam pergaulan maupun dalam dunia kerja. Tuntutan kehidupan
modern telah membelokkan apresiasi para siswa itu terhadap bahasanya sendiri. Bahasa asing terkesan lebih
bergengsi. Pelajaran bahasa Indonesia tak jarang ditanggapi dengan cibiran. Mereka merasa lebih asyik
dengan mengikuti pelajaran bahasa asing atau pelajaran eksakta, misalnya.

Dalam kehidupan masyarakat umum pun, kinerja bahasa Indonesia memang menunjukkan kondisi
yang semakin tidak menggembirakan. Bahasa Indonesia digunakan seenaknya sendiri; tidak hanya oleh
kalangan pelajar, tetapi juga oleh para pejabat dan wakil rakyat.
Seorang pejabat negara berkata dalam sebuah wawancara televisi, “content undang-undang
tersebut nggak begitu, kok. Ada dua item yang harus kita perhatikan di dalamnya.” Pejabat tersebut
tampaknya merasa dirinya lebih hebat dengan menggunakan kata content daripada kata isi atau kata item
daripada kata bagian atau hal.

Penggunaan bahasa yang acak-acakan juga banyak dipelopori oleh kalangan pebisnis. Badan usaha,
pemilik took, dan pemasangan iklan kian getol menggunakan bahasa asing. Seorang pengusaha salon lebih
merasa bergaya dengan nama usahanya yang berlabel Susi Salon daripada Salon Susi atau pengusaha kue
lebih percaya diri dengan tokonya yang bernama Lutfita Cake daripada Toko Kue Lutfita.

Akan terasa aneh terdengarnya apabila kemudian PT Jasa Marga ikut-ikutan menamai jalan-jalan,
misalnya menjadi Sudirman Jalan, Kartini Jalan, Soekarno-Hatta Jalan. Juga akan menjadi lucu apabila
para petinggi universitas negeri ini mengubah nama lembaganya seperti salon, toko kue, ataupun pemilik
hotel itu.

Kalangan terpelajar dengan julukan hebatnya sebagai “pemimpin bangsa, harapan masa depan
bangsa” seharusnya tidak larut dengan kebiasaan seperti itu. Para siswa harus menunjukkan kelas tersendiri
dalam hal berbahasa.

Intensitas para siswa dalam memahami literatur-literatur ilmiah sesungguhnya merupakan saran
efektif dalam mengakrabi ragam bahasa baku. Dari literatur-literatur tersebut, mereka dapat mencontoh
tentang cara berpikir, berasa, dan berkomunikasi dengan bahasa yang lebih logis dan tertata.

Sumber: Cerdas Berbahasa Indonesia Jilid 1, hlm. 42 dengan penyesuaian.

AKTIVITAS

Apabila diamati dengan cermat, tampak bahwa di dalam isi teks tersebut terdapat beberapa bagian. Ada
suatu masalah yang diungkapkan, ada argumentasi, ada fakta atau pengetahuan, serta sejumlah saran.
1. Masalah apa yang diungkapkan dalam teks di atas?
2. Argumen apa saying yang disampaikan penulis?
3. Adakah fakta yang terdapat dalam teks di atas? Coba temukan!
4. Saran/rekomendasi apa yang disampaikan penulis dalam teks di atas?

Anda mungkin juga menyukai