Anda di halaman 1dari 20

1

APLIKASI MODEL KONSERVASI LEVINE DALAM ASUHAN


KEPERAWATAN BAYI YANG MENDAPAT FOTOTERAPI

Yusniar Pratiwi Marzuki, Yeni Rustina, Elfi Syahreni

Program Pendidikan Ners Spesialis Keperawatan Anak


Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Abstrak

Karya ilmiah akhir ini membahas tentang aplikasi model Konservasi Levine dalam pemberian
asuhan keperawatan pada lima bayi yang dilakukan fototerapi. Selain bertujuan menurunkan
konsentrasi bilirubin serum pada bayi dengan hiperbilirubinemia, fototerapi memiliki efek
samping jangka pendek dan jangka panjang. Efek samping fototerapi dapat diminimalkan
melalui pemberian asuhan keperawatan dengan menerapkan prinsip konservasi untuk
mempertahankan keseimbangan energi, konservasi integritas struktural, personal dan sosial.
Bayi menunjukkan keseimbangan volume cairan, suhu tubuh stabil, tidak terjadi iritasi mata
dan kulit, dan orang tua dapat berinteraksi dengan bayi selama pelaksanaan fototerapi. Model
Konservasi diharapkan menjadi acuan praktik keperawatan pada neonatus yang dilakukan
fototerapi.

Kata kunci : Asuhan Keperawatan; Bayi; Fototerapi; Model Konservasi.

Abstract

This paper discusses the application of Levine's conservation model in nursing care of the five
infants who do phototherapy. Instead of reducing infants’ serum bilirubin concentrations by
hyperbilirubinemia, phototherapy has short and long term side effect. But, side effect of
phototherapy can be minimized through the provision of nursing care by applying
conservation principle in order to maintain energy balance, structural integrity conservation,
personal and social integrity. As result, the infants show the balance of fluid volume, normal
range body temperature, no eyes and skin irritation, and the parents can still interact with their
baby during phototherapy implementation. This conservation model is expected to be a
reference of nursing practice in neonates who get phototherapy.

Keywords: Nursing Care; Babies; Phototherapy; Conservation Models.

Pendahuluan

Ikterus neonatorum merupakan salah satu masalah kesehatan pada bayi baru lahir. Ikterus
neonatorum adalah akumulasi bilirubin tak terkonjugasi dalam darah yang mengakibatkan
kulit, mukosa dan sklera bayi nampak kekuningan. Ikterus mulai nampak bila konsentrasi
bilirubin darah mencapai 5-6 mg/dL. Hiperbilirubinemia merupakan istilah yang digunakan
pada ikterus neonatorum setelah ada hasil pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan
peningkatan konsentrasi bilirubin. Ikterus terjadi pada sekitar 50% bayi cukup bulan dan 80%
pada bayi kurang bulan (WHO, 2009). Pada sebagian besar kasus, ikterus neonatorum
2

merupakan bagian dari adaptasi terhadap kehidupan ekstrauterin, dimana pada masa transisi
setelah lahir, hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses konjugasi bilirubin tidak
terjadi secara maksimal. Beberapa bayi lainnya menunjukkan peningkatan bilirubin secara
berlebihan (Kosim, Garina, Chandra, & Adi, 2007; Gomella, Cunningham, & Eyal, 2009;
Lissauer & Fanaroff, 2009; Hockenberry & Wilson, 2009; Davies & McDonald, 2011).

Berbagai cara telah digunakan untuk mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia.
Strategi yang dilakukan berupa pencegahan, fototerapi dan transfusi tukar. Fototerapi
merupakan pemajanan lampu fluorescent ke kulit bayi. Cahaya membantu ekskresi bilirubin
dengan cara fotoisomerasi, yang mengubah struktur bilirubin menjadi bentuk larut
(lumirubin) agar ekskresinya lebih mudah (Hockenberry & Wilson, 2009; Kosim et al, 2010).

Fototerapi selain bermanfaat untuk menurunkan kadar bilirubin juga memiliki efek samping.
Efek samping fototerapi yaitu menghambat interaksi ibu dan bayi, perubahan suhu dan
peningkatan Insensible Water Loss (IWL), gangguan elektrolit (hipokalsemia), gangguan
irama sirkardian, perubahan warna kulit, perubahan kardiovaskuler, perubahan aktivitas, dan
perubahan berat badan dan kerusakan retina (Kosim et al, 2010; Xiong, Qu, Cambier, & Mu,
2011).

Perawat memiliki peran penting dalam meningkatkan dan mempertahankan kesehatan bayi
serta meminimalkan terjadinya efek samping yang mungkin terjadi selama fototerapi (Wong,
Hockenberry, Wilson, Winkelstein, & Schwartz, 2008). Pelaksanaan peran perawat dalam
pemberian asuhan keperawatan tidak lepas dari penerapan teori keperawatan. Salah satu teori
keperawatan yang dapat diterapkan dalam asuhan keperawatan neonatus yaitu model
Konservasi menurut Myra E. Levine. Teori ini mempunyai tiga konsep mayor yaitu
wholeness (holism), adaptasi dan konservasi. Model Konservasi Levine telah dikembangkan
sebagai model dalam pemberian asuhan keperawatan pada neonatus. Mefford dan Alligood
(2011a) mengembangkan teori promosi kesehatan pada bayi prematur berdasarkan model
keperawatan Konservasi Levine. Hasil penelitian Mefford dan Alligood, menunjukkan bahwa
konsistensi perawat anak mempengaruhi kemampuan adaptasi fisiologis bayi prematur dalam
mencapai derajat kesehatan (Tomey & Alligood, 2006; Mefford & Alligood, 2011a).
3

Berdasarkan penjelasan diatas, pendekatan proses keperawatan dan aplikasi teori konservasi
Myra E. Levine yang dilakukan perawat pada bayi yang mendapat fototerapi merupakan hal
penting untuk membantu proses adaptasi bayi dan meningkatkan proses penyembuhan.

Gambaran Kasus
Kasus 1
Bayi Ny. Q, laki-laki, lahir spontan pada usia gestasi 27 minggu, berat badan 1100 gram dan
riwayat resusitasi aktif. Usia 1 hari, bayi nampak kuning (kramer II-III). Bayi dirawat di
Special Care Nursery (SCN) 4 dengan diagnosa medis Neonatus Kurang Bulan (NKB),
Sesuai Masa Kehamilan (SMK), respiratory distres ec. Hyalin Membran Disease (HMD)
grade I dd sepsis, tersangka Sepsis Neonatus Awitan Dini (SNAD), Apnea of Prematurity
(AOP), ikterus neonatorum. Hasil pengkajian yang diperoleh seperti bayi menangis kuat,
nampak retraksi minimal, terpasang bubble Continuous Positive Airway Pressure (CPAP),
Positive End Expiratory Pressure (PEEP) 6 cmH2O, FiO2 21%, flow 8 liter/menit, Capilary
Refill Time (CRT) kurang dari 2 detik. Bayi mulai priming 4x1 ml/OGT (Oro Gastric Tube),
refleks isap sangat lemah. Tanda-tanda vital (TTV) yaitu denyut jantung 135 kali/menit,
frekuensi nafas 48 kali/menit, saturasi O2 99% dan suhu 37,0ºC. Abdomen nampak datar,
bising usus ada. Kulit nampak kuning (kramer II-III), bayi dirawat dalam inkubator dan
dilakukan fototerapi. Ibu dirawat terpisah dengan bayi.

Trophicognosis yang teridentifikasi yaitu ketidakefektifan pola nafas, ketidakefektifan pola


menyusu, ikterik neonatus, risiko ketidakefektifan termoregulasi, risiko infeksi, risiko
ketidakseimbangan volume cairan, risiko kerusakan integritas kulit, risiko cidera dan risiko
gangguan perlekatan orang tua dan bayi. Tindakan keperawatan yang dilakukan yaitu
menjaga suhu tubuh 36,5-37,5ºC, pemeriksaan TTV, mengobservasi keseimbangan cairan,
dan toleransi minum. Penatalaksanaan fototerapi dengan mengubah posisi tiap 3 jam,
penggunaan penutup mata, menjaga kebersihan kulit bayi dan memotivasi orang tua
berinteraksi dengan bayi. Tindakan lainya yaitu pemantauan saturasi oksigen dan nilai
bilirubin serum. Tindakan kolaborasi yang dilakukan yaitu penatalaksanaan nutrisi dan cairan
dengan pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara enteral dan nutrisi parenteral (NP), pemenuhan
oksigenasi diberikan melalui bubble CPAP dan pemberian aminofilin dan antibiotik.

Evaluasi keperawatan setelah dilakukan implementasi keperawatan yaitu risiko


ketidakseimbangan volume cairan, risiko cidera, kerusakan integritas kulit, gangguan
4

perlekatan orang tua dan bayi, dan infeksi tidak terjadi. Masalah ketidakefektifan
termoregulasi dan ketidakefektifan pola nafas belum teratasi, bayi masih mendapatkan
suplementasi oksigen dengan bubble CPAP. Masalah ikterik neonatus belum teratasi, bayi
masih di fototerapi konvensional. Masalah ketidakefektifan pola menyusu juga belum teratasi,
bayi sementara dipuasakan dan produksi OGT keruh.

Kasus 2
Bayi Ny. RW, perempuan, lahir spontan pada usia gestasi 28 minggu, berat badan lahir 1100
gram, riwayat resusitasi aktif dan pemberian surfaktan. Pernafasan bayi dibantu oleh
ventilator. Usia 3 hari, bayi nampak ikterik (kramer II-III), nilai bilirubin total 5,29 mg/dl,
albumin 2,79 g/dl, dilakukan fototerapi konvensional. Diagnosa medis: NKB, SMK, RD ec
HMD dd sepsis, tersangka SNAD, hiperbilirubinemia. Hasil pengkajian meliputi, bayi
menangis lemah, mendapatkan suplementasi oksigen dengan ventilator mode A/C, pressure
16/6, rate 60 kali/menit, FiO2 21%, denyut jantung 182 kali/menit, SaO2 90-95%, riwayat
alkalosis respiratorik. Produksi OGT kecoklatan, klien masih dipuasakan, refleks isap belum
efektif. Bayi dirawat dalam inkubator, suhu tubuh 37,6ºC. Bayi nampak pucat, CRT > 3 detik,
akral dingin. Bayi difototerapi hari kedua dengan bilirubin total 7,39 mg/dl. Nilai CRP 0,9
mg/l; prokalsitonin 1,44 ng/ml; IT ratio 0,14; kultur darah 4x24 jam belum tumbuh.

Trophicognosis yang teridentifikasi yaitu gangguan pertukaran gas, ketidakefektifan perfusi


jaringan perifer, ikterik neonatus, ketidakefektifan pola menyusu bayi, ketidakefektifan
termoregulasi, risiko ketidakseimbangan volume cairan, risiko infeksi, risiko kerusakan
integritas kulit, risiko cidera dan risiko gangguan perlekatan orang tua dan bayi. Tindakan
keperawatan yang dilakukan meliputi, merawat bayi dalam inkubator, mengobservasi TTV,
CRT, pemantauan saturasi oksigen, status hidrasi, dan tanda infeksi. Mengobservasi
pemberian oksigen melalui ventilator. Selain itu, orang tua dimotivasi agar dapat berinteraksi
dengan bayi. Tindakan kolaborasi yang dilakukan yaitu pemberian nutrisi parenteral total
(NPT).

Evaluasi keperawatan setelah implementasi keperawatan yaitu masalah ikterik neonatus dan
gangguan perfusi jaringan perifer teratasi. Masalah risiko infeksi, risiko ketidakseimbangan
volume cairan, risiko kerusakan integritas kulit, risiko cidera dan risiko gangguan perlekatan
orang tua dan bayi tidak terjadi. Masalah gangguan pertukaran gas belum teratasi, pernafasan
masih dibantu ventilator. Masalah ketidakefektifan termoregulasi belum teratasi, masih
5

terdapat hipertermi dan hipotermi. Bayi masih mengalami ketidakefektifan pola menyusu,
dimana bayi masih dipuasakan karena masih terdapat perdarahan saluran cerna.

Kasus 3
Bayi Ny. P, perempuan, lahir secara sectio caesarea atas indikasi janin letak lintang dan
ketuban habis pada usia gestasi 33 minggu dan riwayat resusitasi aktif. Usia 4 hari, bayi
bernafas spontan, terdapat ikterik kramer II, bilirubin total 5,63 mg/dl, albumin 2,69 g/dl dan
bayi mendapat fototerapi. Bayi dirawat di SCN 2 dengan diagnosa medis NKB, SMK, SNAD,
AOP, RD ec HMD grade I, hiperbilirubinemia ec prematuritas. Data pengkajian: bayi nampak
aktif, bernafas spontan, CRT kurang dari 2 detik, berat badan 1540 gram, mulai primming 8x2
ml/OGT, refleks isap masih lemah. Hasil pemeriksaan TTV meliputi, denyut jantung 142
kali/menit, frekuensi pernafasan 50 kali/menit, suhu 36,6ºC, terdapat murmur grade III/VI di
sela iga ke 2 parasternal kiri. Abdomen datar, supel, bising usus ada. Kulit nampak kuning
kramer II-III. Hasil kultur darah steril.

Trophicognosis yang teridentifikasi pada kasus ini adalah ketidakefektifan termoregulasi,


ketidakefektifan pola menyusu bayi, ikterik neonatus, risiko infeksi, risiko ketidakseimbangan
volume cairan, risiko cidera dan risiko kerusakan integritas kulit. Tindakan keperawatan yang
dilakukan meliputi menjaga suhu bayi antara 36,5-37,5ºC dengan perawatan dalam inkubator,
mengobservasi TTV dengan hasil dalam batas normal, mengobservasi keseimbangan cairan.
Tindakan lainnya yaitu mengobservasi toleransi minum, hari kedua perawatan terdapat
muntah kecoklatan sehingga bayi dipuasakan. Penatalaksanaan fototerapi dilakukan dengan
memasang penutup mata, mengubah posisi dan memantau nilai bilirubin serum.
Penatalaksanaan nutrisi dan cairan dilakukan dengan pemberian ASI dan NPT.

Evaluasi keperawatan setelah implementasi yaitu masalah ikterik teratasi. Masalah


ketidakefektifan pola menyusu belum teratasi, bayi masih dipuasakan karena terdapat muntah.
Masalah ketidakefektifan termoregulasi belum teratasi, masih terdapat instabilitas suhu dan
bayi nampak letargis. Risiko infeksi, kerusakan integritas kulit, risiko cidera dan risiko
ketidakseimbangan volume cairan masih terjadi.

Kasus 4
Bayi Ny. O, laki-laki, lahir spontan dengan usia gestasi 36 minggu, berat badan 2100 gram,
dan nilai APGAR 8/9. Usia 2 hari, bayi nampak ikterik II-III dengan bilirubin total 9,42
6

mg/dl, albumin 3,15 g/dl. Usia 4 hari, fototerapi dihentikan. Bayi dirawat di SCN 4 dengan
diagnosa medis: NKB, SMK, riwayat respiratory distress ec sepsis, riwayat perdarahan
saluran cerna, dan ikterus neonatorum. Hasil pemeriksaan fisik meliputi, bayi menangis kuat,
bernafas spontan, CRT < 2 detik, abdomen datar, supel, dan bising usus ada. Bayi malas
minum. Kulit nampak kuning (kramer IV) dan mendapatkan fototerapi intensif. Hasil
pemeriksaan TTV yaitu denyut jantung 148 kali/menit, frekuensi pernafasan 48 kali/menit,
suhu 36,9ºC, berat badan bayi 1880 gram. Hasil pemeriksaan laboratorium yaitu bilirubin
total 14,4 mg/dl dan kultur darah steril.

Trophicognosis yang teridentifikasi yaitu ketidakefektifan pola menyusu bayi, ikterik


neonatus, risiko ketidakefektifan termoregulasi, risiko infeksi, risiko cidera, risiko
ketidakseimbangan volume cairan dan risiko kerusakan integritas kulit. Tindakan
keperawatan yang dilakukan yaitu mempertahankan suhu tubuh bayi antara 36,5-37,5ºC
dengan perawatan dalam inkubator, mengobservasi TTV dan keseimbangan cairan.
Penatalaksanaan fototerapi, memasang penutup mata, perawatan kulit dan memantau nilai
bilirubin serum total. Tindakan kolaborasi melalui penatalaksanaan nutrisi dan cairan meliputi
pemberian ASI dan NP dan pemberian ranitidin.

Evaluasi keperawatan setelah implementasi yaitu ikterik neonatus teratasi. Masalah


ketidakefektifan pola menyusu pada bayi teratasi. Risiko ketidakefektifan termoregulasi,
risiko infeksi, risiko ketidakseimbangan volume cairan tidak terjadi, risiko cidera dan risiko
kerusakan integritas kulit tidak terjadi.

Kasus 5
Bayi Ny. RY, perempuan, lahir spontan dengan ekstraksi forceps pada usia gestasi 37
minggu, dan berat badan 2600 gram. Usia 21 jam, bayi nampak ikterik (kramer III) dengan
nilai bilirubin total 6,31 mg/dl dan diberi PASI 30 cc. Usia 40 jam dilakukan pemeriksaan
bilirubin (bilirubin total 9,07 mg/dl). Pada usia 2 hari, bayi masih nampak ikterik kramer III-
IV dan nampak letargis, sehingga dilakukan pemeriksaan laboratorium dengan hasil IT ratio
0,13 dan CRP 5, selanjutnya bayi mendapatkan antibiotik lini II. Bayi dirawat di SCN 4
dengan diagnosa medis Neonatus Cukup Bulan (NCB), SMK, ikterus neonatorum ec
tersangka hemolitik, tersangka SNAD, konjungtivitis bakterialis, perdarahan subkonjungtiva.
Data hasil pengkajian meliputi bayi nampak kurang aktif, malas menyusu, terdapat sekret
pada mata kanan, jejas forceps di bawah mata kanan, dan terdapat perdarahan subkonjungtiva
7

pada mata kanan dan kiri. Pemeriksaan denyut jantung 120 kali/menit, frekuensi pernafasan
50 kali/menit, suhu 36,9ºC. Penilaian CRT lebih dari 2 detik.

Trophicognosis yang teridentifikasi yaitu ketidakefektifan termoregulasi, ketidakefektifan


pola menyusu bayi, ikterik neonatus, risiko infeksi, risiko ketidakseimbangan volume cairan,
risiko cidera dan risiko kerusakan integritas kulit. Tindakan keperawatan yang dilakukan yaitu
menjaga suhu tubuh bayi 36,5-37,5ºC melalui perawatan bayi dalam inkubator,
mengobservasi TTV, pemantauan keseimbangan cairan. Penatalaksanaan fototerapi dilakukan
dengan memasang penutup mata, bayi hanya menggunakan diaper, dan mengobservasi dan
menjaga kebersihan kulit serta mengobservasi tanda-tanda infeksi. Tindakan kolaborasi yang
dilakukan yaitu penatalaksanaan nutrisi dan cairan dengan pemberian Nutrisi Parenteral Total
(NPT) dan pemberian antibiotik lini 2, polygran dan cenfresh.

Evaluasi keperawatan setelah dilakukan implementasi keperawatan selama 3 hari yaitu:


Masalah ikterik neonatus teratasi, nilai bilirubin total 7 mg/dl. Masalah ketidakefektifan pola
menyusu dan risiko ketidakseimbangan volume cairan tidak terjadi, bayi mendapat cairan
peroral, refleks isap dan telan baik, cairan parenteral dihentikan dan diuresis dalam batas
normal. Risiko cidera dan risiko kerusakan integritas kulit juga tidak terjadi. Masalah
ketidakefektifan termoregulasi teratasi, hasil pemeriksaan TTV menunjukkan suhu bayi stabil.
Risiko infeksi tidak terjadi, namun bayi masih mendapatkan antibiotik.

Tinjauan Teoritis
Ikterus Neonatorum dan fototerapi
Ikterus atau jaundice merupakan warna kuning pada sklera mata, mukosa dan kulit, karena
peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Hiperbilirubinemia ditegakkan setelah diperoleh
hasil pemeriksaan bilirubin yang menunjukkan peningkatan bilirubin dalam darah. Dalam
keadaan normal, kadar bilirubin dalam darah tidak melebihi 1 mg/dl. Ikterus awalnya terlihat
dari kulit wajah lalu berkembang ke arah ekstremitas bawah sesuai dengan peningkatan kadar
bilirubin. Mekanisme terjadinya ikterus berkaitan dengan produksi bilirubin, ambilan
bilirubin oleh hepatosit, ikatan bilirubin intrahepatosit, konjugasi bilirubin, sekresi bilirubin
dan eksresi bilirubin (Widagdo, 2012; Davies & McDonald, 2011).

Ikterus dapat dideteksi secara klinis dari warna kulit yaitu menekan kulit secara ringan dengan
jari. Bayi yang mengalami ikterus dilakukan pengkajian riwayat kesehatan meliputi riwayat
8

keluarga dengan ikterus, anemia, splenektomi, atau kelainan metabolisme. Pemeriksaan fisik
yang dilakukan pada bayi dengan ikterik meliputi adanya area perdarahan seperti
sefalhematoma, petekie, ekstravasasi darah, adanya hepatosplenomegali yang menunjukkan
adanya penyakit hemolisis, hati dan infeksi. Pemeriksaan neurologis dilakukan melihat tanda-
tanda ensefalopati bilirubin, seperti letargis, malas minum, muntah dan hipotonia.
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan yaitu pemeriksaan konsentrasi bilirubin baik bilirubin
transkutaneus dan atau bilirubin serum total, pemeriksaan golongan darah (ABO dan rhesus),
uji Coombs (direk dan indirek), hitung darah lengkap, hitung retikulosit, konsentrasi G6PD,
serum albumin, work up sepsis, urinalisis dan pemeriksaan diagnostik lainnya (Gomella,
2009; Kosim et al, 2010; Hadinegoro et al, 2007).

Fototerapi bertujuan menurunkan konsentrasi bilirubin dalam sirkulasi, dengan memberikan


pajanan sinar biru-hijau ke permukaan kulit bayi (Davies, 2009; Hockenberry & Wilson,
2009). Fototerapi dilakukan bila bayi dengan penilaian klinis ikterus dan konsentrasi bilirubin
total sesuai dengan normogram untuk tatalaksana fototerapi (Gomella et al, 2009).

Prinsip kerja fototerapi adalah penggunaan energi cahaya untuk mengubah bentuk dan
struktur bilirubin menjadi bentuk yang mudah diekskresikan. Fototerapi mengurangi
hiperbilirubinemia melalui tiga proses yaitu fotoisomerisasi, isomerisasi struktural dan
fotooksidasi. Fototerapi mengubah bilirubin di kapiler superfisial dan jaringan interstitial
dengan reaksi fotokimia dan fotooksidasi menjadi isomer secara cepat. Produk utamanya ialah
reaksi fotoisomerisasi yang merubah 4Z, 15Z-bilirubin tidak terkonjugasi yang bersifat toksik
menjadi 4Z, 15E-bilirubin yang mudah larut dalam air dan tidak toksik, kemudian
dieksresikan ke empedu tanpa konjugasi. Produk mayor lainnya ialah lumirubin dengan
struktur isomer ireversibel kemudian dieksresikan oleh ginjal dalam keadaan tanpa konjugasi
(Kenner & Lott, 2007; Widagdo, 2012; Maisels & McDonagh, 2008).

Efektifitas fototerapi dipengaruhi oleh panjang gelombang, radiasi, jarak antara sinar dengan
bayi dan luas permukaan kulit yang terpajan. Sinar biru-hijau memberikan sinar yang paling
efektif dengan panjang gelombang 425-475 nm (Lissauer & Fanaroff, 2009). Radiasi yang
dihasilkan oleh fototerapi konvensional yaitu antara 8-10 µW/cm2/nm sedangkan fototerapi
intensif menghasilkan radiasi lebih dari atau sama dengan 30 µW/cm2/nm (Maisels &
McDonagh, 2008). Jarak bayi dengan lampu fototerapi sebaiknya 35-50 cm dan semua
permukaan kulit harus terpajan sinar fototerapi. Beberapa peralatan yang dapat menghambat
9

penyinaran yaitu radiant warmer, penutup kepala, popok yang terlalu besar, penutup mata
yang terlalu besar, dan penggunaan elektroda. Fototerapi intensif dapat menurunkan kadar
bilirubin total serum 1-2 mg/dL dalam 4-6 jam, sehingga kadar bilirubin harus dimonitor
setiap 4-12 jam.

Beberapa hal perlu diperhatikan perawat selama dilakukan fototerapi (Pratima, 2004; Cohen,
2006) yaitu bayi tidak menggunakan pakaian, mata ditutup dengan masker opak dengan
ukuran sesuai dan posisi yang baik untuk menutupi area mata tanpa menutupi hidung.
Kelopak mata ditutup sebelum memasang masker, perawat mengecek adanya kemerahan,
cairan dan iritasi kornea. Ubah posisi untuk agar seluruh tubuh terpajan cahaya. Letakkan bayi
pada jarak 45 cm dan cahaya lampu. Monitor suhu tubuh bayi tiap 2-4 jam atau frekuensinya
lebih bila terjadi fluktuasi suhu tubuh bayi. Pertahankan posisi bayi telentang dengan
gulungan selimut dikedua bagian tubuh untuk mempertahankan kehangatan dan
meningkatkan kenyamanan. Berikan cairan adekuat secara oral atau intravena (penambahan
cairan 10-20%). Timbang berat badan setiap hari. Hentikan fototerapi bila birirubin serum
dibawah protokol fototerapi. Dokumentasi pelaksanaan fototerapi berisi tentang kapan
dimulai dan dihentikan fototerapi, pelindung mata, tipe lampu yang digunakan, jumlah lampu,
jarak lampu ke tubuh bayi, penggunaan fototerapi bersaman in kubator atau di infant warmer,
efek samping fototerapi.

Model Konservasi Levine


Model Konservasi Levine merupakan salah satu teori keperawatan yang dapat digunakan pada
penerapan asuhan keperawatan pada bayi. Teori ini menggambarkan adaptasi untuk
mempertahankan keutuhan diri dengan menggunakan prinsip-prinsip konservasi. Model
Konservasi menurut Levine mempunyai tiga konsep mayor yaitu wholeness (holism),
adaptasi, dan konservasi. Wholeness menggambarkan klien sebagai suatu sistem terbuka yang
berespon terhadap perubahan pada lingkungan. Wholeness dalam konsep keperawatan anak
khususnya neonatus menggambarkan keutuhan atau integritas bayi dan keluarga yang
berespon terhadap perubahan yang terjadi lingkungan. Adaptasi adalah proses interaksi
terhadap perubahan lingkungan. Respon individu terhadap lingkungan sangat unik dan
berbeda antara satu individu dengan yang lainnya, baik secara fisiologis maupun psikologis
(Tomey & Alligood, 2006).
10

Lingkungan yang melingkupi individu meliputi lingkungan internal dan lingkungan eksternal.
Lingkungan internal melibatkan aspek fisiologis individu yang dipengaruhi oleh lingkungan
eksternal Bayi melakukan adaptasi dari lingkungan intrauterin ke lingkungan ekstrauterin
segera setelah lahir. Adaptasi terjadi pada sistem respirasi, sirkulasi, termoregulasi,
pertahanan terhadap infeksi dan sistem fisiologis lainnya. Riwayat kehamilan dan persalinan
ibu serta riwayat kesehatan anak sebelumnya akan mempengaruhi kemampuan bayi
beradaptasi terhadap lingkungan ekstrauterin. Bila bayi mampu beradaptasi dengan
lingkungan ekstrauterin dengan baik, maka bayi akan sehat dan dapat meminimalkan
perawatan di rumah sakit. Masalah kesehatan akan timbul bila bayi tidak mampu beradaptasi
dengan lingkungan ekstrauterin, sehingga memerlukan perawatan lebih lama di rumah sakit
(Hockenberry & Wilson, 2009; Tomey & Alligood, 2006).

Konservasi adalah hasil dari adaptasi. Konservasi menggambarkan kemampuan individu


menghadapi hambatan, beradaptasi sesuai kebutuhan, dan mempertahankan keunikan mereka,
dengan fokus utama menjaga keutuhan individu. Meskipun intervensi keperawatan mungkin
hanya dilakukan pada salah satu prinsip konservasi, namun dapat memberikan pengaruh
terhadap prinsip konservasi lainnya. Konservasi energi merupakan keseimbangan antara
asupan dan haluaran energi, sehingga persediaan energi dapat digunakan untuk tumbuh dan
berkembang. Konservasi energi pada bayi baru lahir meliputi kemampuan bayi
mempertahankan keefektifan ventilasi, oksigenasi, sirkulasi dan termoregulasi (Mefford,
2004). Konservasi integritas struktural pada neonatus dinilai dari peningkatan berat badan,
pertahanan terhadap infeksi, dan integritas kulit, dan pencegahan cidera selama perawatan.
Konservasi integritas personal dinilai dari apgar skore, respon terhadap lingkungan seperti
perubahan denyut jantung, tangisan dan perilaku bayi terhadap tindakan yang dilakukan.
Konservasi integritas sosial dinilai dari karakteristik sistem keluarga untuk mempersiapkan
bayi berada di lingkungan sosial. Kemampuan keluarga beradaptasi terhadap kelahiran bayi
dipengaruhi oleh karakteristik sistem keluarga meliputi usia ibu, dan status sosial ekonomi
(Mefford & Alligood, 2011a).

Model Konservasi Levine dalam proses keperawatan meliputi pengkajian, trophicognosis,


hipotesis, intervensi dan respon organismik. Pengkajian merupakan tahap awal proses
keperawatan. Perawat melakukan pemeriksaan fisik, mengobservasi respon klien terhadap
penyakit, membaca catatan medis klien, melihat hasil pemeriksan diagnostik, dan
mendiskusikan kebutuhan klien. Perawat mengkaji perubahan pada lingkungan internal dan
11

eksternal. Sembilan model pedoman pengkajian menurut Levine yaitu: tanda-tanda vital,
pergerakan tubuh dan posisi, kebutuhan personal higiene, kebutuhan cairan, kebutuhan
nutrisi, kebutuhan oksigenasi, perubahan suhu (panas dan dingin), pengobatan, dan
menyediakan lingkungan aseptik (Alligood & Tomey, 2006).

Tahap kedua yaitu trophicognosis. Trophicognosis merupakan tahapan dimana perawat


menginterpretasi atau menetapkan masalah sesuai kebutuhan klien. Tahap ketiga yaitu
hipotesis (rencana perawatan). Rumusan hipotesis bertujuan membantu klien beradaptasi
dengan lingkungan dan mempertahankan keutuhan klien. Tahap selanjutnya yaitu intervensi.
Intervensi dilakukan untuk menguji efektifitas dari hipotesis. Perawat melakukan tindakan
sesuai masalah dan rencana keperawatan. Intervensi yang dilakukan berdasarkan pada prinsip
konservasi yaitu konservasi energi, integritas struktur, integritas personal dan integritas sosial.
Tahap terakhir yaitu respon organismik. Perawat melakukan evaluasi atau menilai hasil dari
pengujian hipotesis. Jika hipotesis tidak berhasil, maka perlu dilakukan revisi atau membuat
hipotesis baru (Alligood & Tomey, 2006).

Kompetensi dan Peran Ners Spesialis Anak


Ners spesialis anak diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan pada anak dan
melakukan kerjasama dengan klien dan keluarga, serta memberikan dukungan dan pendidikan
pada keluarga tentang perawatan anak untuk meningkatkan kesehatan anak pada lingkup
pelayanan keperawatan di rumah sakit, masyarakat dan fasilitas kesehatan lainnya (ACPCHN,
2006). Kompetensi perawat dikelompokkan dalam 3 ranah. Ranah pertama yaitu praktik
profesional, etis, legal dan peka perilaku meliputi bertanggung gugat terhadap praktik
profesional, dan melaksanakan praktik keperawatan secara legal dengan prinsip etis dan peka
budaya. Ranah kedua, pemberian asuhan dan manajemen asuhan keperawatan meliputi
pemberian asuhan keperawatan (pengkajian, diagnosis, menyusun rencana, melaksanakan
tindakan dan evaluasi), melaksanakan upaya promosi kesehatan, menggunakan komunikasi
terapeutik dan hubungan interpersonal, menciptakan dan mempertahankan lingkungan yang
aman, membina hubungan interprofesional, dan menjalankan fungsi delegasi dan supervisi
dalam pemberian asuhan keperawatan. Ranah ketiga, pengembangan kualitas personal dan
profesional meliputi melaksanakan peningkatan profesional dalam praktik keperawatan,
melaksanakan peningkatan mutu pelayanan maupun asuhan keperawatan dan mengikuti
pendidikan berkelanjutan sebagai wujud tanggung jawab profesi (PP-PPNI, 2010; ICN,
2009).
12

Peran ners spesialis keperawatan anak yang telah dilaksanakan residen selama praktik
residensi meliputi peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan, pendidik, advokat bagi
klien dan keluarga, pengelola asuhan keperawatan dan peneliti.
Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan dilaksanakan dengan asuhan keperawatan
langsung pada klien kelolaan.

Peran sebagai pendidik dilakukan dengan memberikan informasi terkait perkembangan bayi,
tentang pelaksanaan fototerapi, tentang cara memerah, menyimpan dan transportasi ASI ke
rumah sakit, dan mengajarkan tentang perawatan metode kanguru. Peran advokat dilakukan
melalui pemberian informasi kepada keluarga yang sedang memutuskan tindakan yang akan
dilakukan pada bayi. Peran pengelola asuhan keperawatan diimplementasikan residen dengan
mengikuti operan perawat ruangan selanjutnya diskusi dengan penanggung jawab ruangan.
Peran sebagai peneliti dilaksanakan melalui penerapan evidence based practice (EBP) dan
menggunakan hasil-hasil penelitian terkait pelayanan keperawatan anak dalam menganalisis
masalah klien, membuat proyek inovasi pembuatan buku diagnosis keperawatan neonatus dan
mengaplikasikan teori Konservasi Levine.

Pembahasan
Bayi kelolaan sebagian besar dengan usia gestasi kurang dari 37 minggu, berat badan lahir
rendah dan riwayat persalinan spontan. Ikterus sebagian besar dialami oleh bayi kurang bulan
akibat hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi pada minggu pertama kehidupan (Lissauer &
Fanaroff, 2009). Peningkatan bilirubin terjadi 1,5 kali lebih besar pada bayi dengan berat
badan kurang dari 2500 gram (Keren et al, 2005). Ikterus fisiologis terjadi lebih dari 24 jam.
Sebagian bayi kelolaan mengalami ikterus pada usia 1 hari, hanya 1 bayi kelolaan yang
mengalami ikterus pada usia 21 jam, dan hasil pemeriksaan golongan darah ibu O dan darah
bayi A. Bayi yang mengalami ikterus pada 24 jam pertama dicurigai mengalami ikterus
patologis (Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline Program, 2009). Hasil
pemeriksaan golongan darah pada bayi Ny. RY menunjukkan golongan darah ibu O dan
golongan darah bayi A. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama dapat disebabkan karena
hemolitik seperti inkompabilitias ABO, rhesus dan defisiensi G6PD (Kosim et al, 2010).
Pemberian ASI memiliki hubungan dengan kejadian ikterus sehingga perlu dikaji. Riwayat
pemberian minum bayi yang dikelola yaitu tiga bayi mulai diberikan ASI dan dua bayi
lainnya dipuasakan. Breastfeeding jaundice dapat terjadi pada minggu pertama karena
13

kurangnya produksi atau asupan ASI. Breastmilk jaundice terjadi setelah 4-7 hari setelah lahir
dan berlangsung lebih lama dari ikterus fisiologis. Ikterus dapat terjadi karena pemberian ASI
atau bayi dipuasakan (Chen, Y.J., Chen, W-C., & Chen, C.M., 2012). Breastmilk jaundice
dapat disebabkan karena ASI mengandung progesteron hasil metabolik (pregnane-3-α 20 β-
diol) dan konsentrasi asam lemak bebas yang meningkat sehingga menghambat konjugasi
enzim glukoronil transferase di hati. Susu formula mengandung β glukuronidase yang dapat
meningkatkan sirkulasi bilirubin enterohepatik dan meningkatkan penyerapan bilirubin di
usus. Pemberian minum lebih awal atau lebih sering akan menurunkan insiden terjadinya
ikterus fisiologis (Kosim et al, 2010).

Sebagian besar bayi yang dirawat dengan masalah kesehatan tersangka SNAD. Penelitian
Kosim, Garina, Chandra, dan Adi (2007) menunjukkan bahwa terdapat hubungan kejadian
hiperbilirubinemia dengan sepsis. Bayi dengan SNAL mempunyai risiko 32,3 kali lebih besar
mengalami peningkatan kadar bilirubin dibandingkan SNAD.

Trophicognosis merupakan penentuan masalah berdasarkan kebutuhan klien (Alligood &


Tomey, 2006). Diagnosis keperawatan bayi yang dikelola meliputi: ikterik neonatus,
gangguan pertukaran gas, ketidakefektifan pola nafas, ketidakefektifan pola menyusu bayi,
ikterik, risiko ketidakefektifan termoregulasi, risiko infeksi, risiko ketidakseimbangan volume
cairan, risiko kerusakan integritas kulit, risiko cedera dan risiko gangguan perlekatan orang
tua dan bayi. Masalah ini ditegakkan berdasarkan adanya data pendukung berupa sebagian
besar bayi kurang bulan, nampak ikterus pada kulit bayi, riwayat alkalosis metabolik, adanya
apnoe, riwayat takipnea, dan retraksi interkostal, refleks isap belum efektif, bayi malas
menyusu, terdapat instabilitas suhu, paparan radiasi fototerapi, dan perawatan ibu yang
terpisah dengan bayi.

Hipotesis yang ditetapkan pada bayi kelolaan bertujuan agar setelah diberikan tindakan
keperawatan pola nafas bayi efektif, status nutrisi dan cairan adekuat, dan meminimalkan efek
samping fototerapi dengan kriteria konsentrasi bilirubin serum di bawah batas fototerapi,
keefektifan termoregulasi, integritas kulit dapat dipertahankan, tidak terjadi cedera, dan orang
tua dapat tetap berinteraksi dengan bayinya selama fototerapi. Selain itu mencegah terjadinya
infeksi selama perawatan bayi.
14

Residen melakukan tindakan keperawatan berdasarkan rencana keperawatan yang telah


dibuat. Fototerapi dilaksanakan berdasarkan nilai bilirubin serum yang menunjukkan
terjadinya peningkatan sesuai batas fototerapi pada tabel. Selama pelaksanaan fototerapi,
perawat melakukan tindakan yaitu memasang penutup mata pada bayi selama fototerapi, bayi
hanya menggunakan popok agar semua area kulit terpajan sinar fototerapi, dan observasi
perubahan nilai bilirubin selama pelaksanaan fototerapi. Pamela (2006) menyebutkan bahwa
bayi yang dilakukan fototerapi perlu menggunakan penutup mata dan dilakukan perawatan
mata untuk mencegah terjadinya iritasi dan infeksi pada mata. Selain itu, posisi bayi selama
fototerapi juga perlu diperhatikan. Beberapa penelitian telah membahas tentang pengaturan
posisi bayi selama fototerapi. Penelitian Shinwell, Sciaky, dan Karplus (2002) menunjukkan
bahwa posisi telungkup lebih efektif menurunkan nilai bilirubin serum dibandingkan posisi
bayi diubah antara posisi telentang dan telungkup. Tidak ada perbedaan penurunan nilai
bilirubin serum pada bayi yang diposisikan telentang dan berganti-ganti posisi (Donneborg,
Knudsen, & Ebbesen, 2010). Pajanan sinar fototerapi dapat menyebabkan terjadinya reaksi
inflamasi dan kemerahan dikulit, sehingga perlu dilakukan perawatan kulit 4-6 jam sekali
untuk mempertahankan integritas kulit (Pamela, 2006).

Tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan perlekatan orang tua dan bayi melalui motivasi
orang tua untuk mengunjungi bayi, melihat dan menyentuh bayi, memberikan informasi
tentang perkembangan bayi dan peralatan yang digunakan, mengajarkan orang tua tentang
cara perawatan bayi dan memberikan kesempatan pada keluarga untuk ikut merawat bayinya
(Pamela, 2006).

Peran perawat pada bayi yang mendapatkan suplementasi oksigen dari bubble CPAP yaitu
observasi posisi nasal prong, observasi PEEP tidak lebih dari 8cm H2O, atur posisi bayi,
pantau usaha nafas (adanya retraksi, grunting), saturasi oksigen dan denyut jantung serta
observasi sistem CPAP meliputi sirkuit, humidifier, bubble dan flow. Selain itu dilakukan
kolaborasi pemeriksaan AGD (Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline
Program, 2009a).

Pemenuhan kebutuhan nutrisi dan cairan bayi dikelola, dilakukan dengan pemberian ASI dan
penatalaksanaan pemberian nutrisi parenteral. ASI bayi kurang bulan mengandung lebih
banyak sistein, taurin, lipase, yang meningkatkan absrbsi lemak, asam lemak tak jenuh rantai
panjang, nukleotida dan gangliosida (Suradi et al, 2010). Bila bayi dalam kondisi tertentu dan
15

tidak dapat mendapatkan nutrisi oral, maka bayi akan mendapatkan nutrisi parenteral yang
diberikan melalui jalur intravena (Sjarif, Lestari, Mexitalia, & Nasar, 2011).

Selain pemenuhan kebutuhan nutrisi dan cairan, keefektifan pola menyusu bayi juga perlu
ditingkatkan melalui stimulasi oromotor terutama pada bayi kurang bulan. Bayi kelolaan
dengan usia gestasi 33 minggu, dilakukan stimulasi oromotor. Stimulasi oro motor ini akan
meningkatkan kemampuan refleks mengisap, menelan, kematangan fungsi pernafasan dan
kordinasi gerakan mengisap, menelan dan bernafas (Suradi et al, 2010). Hasil systematic
review oleh Arvedson, Clark, Lazarus, Schooling, dan Frymark, (2010) tentang efek dari oral
motor intervention (OMIs) terhadap proses makan dan menelan pada bayi prematur
menunjukkan bahwa stimulasi makan/menelan akan mempercepat pemberian makan peroral
atau peningkatan berat badan.

Hal penting yang harus diperhatikan perawat selama perawatan bayi yaitu tindakan
pencegahan infeksi. Beberapa hal yang diperhatikan untuk mencegah terjadinya infeksi pada
bayi yang dirawat di NICU yaitu semua tindakan invasif harus dilakukan secara hati-hati
dengan memperhatikan teknik aseptik, melakukan penggantian inkubator bayi secara teratur
minimal sekali seminggu, penggunaan stetoskop berbeda untuk tiap bayi dan dibersihkan
dengan alkohol sebelum digunakan, cuci tangan dengan air mengalir dan penggunaan hand
rub, pemberian informasi pada petugas lainnya dan keluarga bayi tentang teknik kontrol dan
pencegahan infeksi (Callaghan, 2007).

Evaluasi dilakukan berdasarkan respon klien dan hasil pemeriksaan penunjang (Alligood &
Tomey, 2006). Evaluasi keperawatan pada kasus kelolaan setelah impelementasi keperawatan
selama 3–5 hari yaitu: Masalah ikterik teratasi pada 4 bayi kelolaan, fototerapi dilaksanakan
dalam rentang 1-6 hari, sedangkan masalah ikterik pada bayi Ny. Q belum teratasi, bayi masih
di fototerapi hari ke 3 dengan nilai bilirubin total 9,28 mg/dl (BLT 5-8). Bayi dengan nilai
bilirubin serum lebih dari 30 mg/dl akan mengalami penurunan sebanyak 10 mg/dl setelah
beberapa jam dilakukan fototerapi intensif bila disertai penyakit hemolisis. Pada bayi yang
tidak disertai penyakit hemolisis, penurunan nilai bilirubin serum sekitar 30-40% pada 24 jam
pertama. Penurunan nampak setelah 4-6 jam fototerapi. Fototerapi akan dihentikan setelah
terjadi penurunan nilai bilirubin sekitar 13-14 mg/dl. Setelah fototerapi dihentikan dapat juga
terjadi penurunan nilai bilirubin serum sekitar 1-2 mg/dl (Maisels & McDonagh, 2008).
16

Masalah ketidakefektifan pola nafas pada bayi Ny. Q belum teratasi. Klien masih mengalami
retraksi minimal, desaturasi, apnoe dan mendapatkan suplementasi oksigen dengan bubble
CPAP. Gangguan pertukaran gas pada bayi Ny. RW belum teratasi, klien masih mendapatkan
suplementasi oksigen dari ventilator. Sedangkan masalah gangguan perfusi jaringan perifer
yang dialami oleh bayi RW teratasi, dengan data CRT kurang dari 2 detik dan tidak terdapat
sianosis. Masalah ketidakefektifan pola menyusu belum teratasi, Tiga bayi kelolaan masih
dipuasakan dan pemberian cairan melalui nutrisi parentaral total. Dua bayi kelolaan lainnya
mulai mendapatkan ASI secara enteral.

Masalah risiko ketidakseimbangan volume cairan tidak terjadi. Berdasarkan evaluasi kelima
bayi kelolaan dengan status hidrasi yang adekuat. Masalah ketidakefektifan termoregulasi.
Instabilitas suhu pada beberapa bayi masih terjadi walaupun tidak dilakukan fototerapi, hal ini
dikarenakan sebagian besar bayi yang dikelola dengan tersangka sepsis. Hipotermia dan
hipertermia merupakan salah satu tanda klinis terjadinya sepsis (Rubarth, 2005).

Masalah risiko infeksi pada beberapa bayi tidak terjadi, beberapa bayi masih mendapatkan
antibiotik sampai hasil kultur darah dinyatakan steril. Masalah lainnya yaitu risiko kerusakan
integritas kulit dan gangguan perlekatan orang tua dan bayi tidak terjadi. Hasil evaluasi
menunjukkan tidak terdapat iritasi dan perfusi jaringan baik selama perawatan. dan orang tua
datang berkunjung, menanyakan kondisi bayi dan melakukan interaksi dengan bayi mereka.

Model Konservasi Levine dapat diterapkan pada semua kasus terpilih. Model konservasi
Levine dapat digunakan sebagai teori dalam asuhan keperawatan neonatus karena memiliki
model yang dapat dijadikan acuan/kerangka bagi perawat. Prinsip-prinsip konservasi ini
sudah mencakup dalam masalah yang sering ditemukan dan dapat dijadikan acuan dalam
mengatasi masalah tersebut. Kendala ditemukan dalam penerapan Model konservasi Levine
yaitu model ini masih bersifat umum dan abstrak, sehingga agak sulit diterapkan dalam kasus
nyata. Penyusunan hipotesis tidak dijelaskan secara rinci sehingga terjadi kesulitan melakukan
evaluasi, karena tidak ada indikator tujuan dan kriteria yang spesifik.

Residen menggunakan konsep teori Mefford dalam penerapan model Konservasi Levine.
Mefford merupakan salah satu peneliti yang mencoba menspesifikkan teori Levine di
keperawatan anak khususnya neonatus yaitu teori promosi kesehatan pada bayi prematur yang
didasarkan pada model konservasi Levine. Penelitian Mefford (2011a) memperjelas kerangka
17

yang digunakan sebagai acuan asuhan keperawatan neonatus, namun kemampuan untuk
memprediksi perubahan yang terjadi dari model konservasi belum jelas.

Kompetensi ners spesialis keperawatan anak dicapai selama melaksanakan praktik residensi
meliputi 3 ranah kompetensi ners spesialis (PP-PPNI, 2010). Pencapaian kompetensi pada 3
ranah ini meliputi melaksanakan praktik keperawatan secara legal, menerapkan prinsip etik
selama merawat bayi, menghormati hak bayi untuk dipenuhi kebutuhan fisiknya dan interaksi
dengan orang tua, dan melakukan praktik sesuai standar yang berlaku di rumah sakit.
Pemberian asuhan keperawatan pada klien kelolaan, melakukan komunikasi dengan bayi dan
keluarga, memberi informasi pada keluarga terkait perkembangan dan tindakan yang
dilakukan dan hal-hal yang ingin diketahui keluarga terkait perawatan bayi, melakukan
diskusi dengan dokter dan tenaga kesehatan lain terkait masalah bayi, meminimalkan risiko
jatuh dengan perawatan dalam inkubator dengan menjaga pintu dalam keadaan tertutup dan
memberikan obat sesuai tepat. Residen memberikan asuhan keperawatan berdasarkan analisis
hasil penelitian terkait, melakukan program inovasi dan ikut serta dalam pelatihan neonatus.

Simpulan
Asuhan keperawatan bayi yang mendapat fototerapi dilakukan pada neonatus kurang bulan
antara 28-37 minggu, dengan berat badan antara 1100-2600 gram. Empat bayi mengalami
ikterus pada usia 1-6 hari dan satu bayi mengalami ikterus pada usia 21 jam. Pada beberapa
bayi, ikterik teratasi dan ada bayi yang masih terus memerlukan fototerapi. Tindakan
keperawatan yang dilakukan yaitu perawatan mata dan kulit, mengupayakan area tubuh
terpajan sinar, pemenuhan kebutuhan nutrisi dan cairan dan memotivasi interaksi orang tua
dan bayi dan observasi perubahan nilai bilirubin serum. Penerapan model Konservasi Levine
memfasilitasi pelaksanaan asuhan keperawatan pada bayi dengan fototerapi dengan
menerapkan empat prinsip konservasi yaitu prinsip konservasi energi, integritas strultural,
integritas personal dan intergritas sosial. Dalam penerapan asuhan keperawatan, Ners spesialis
keperawatan anak memiliki tiga ranah kompetensi yaitu praktik profesional etis, legal dan
peka budaya; pemberian asuhan keperawatan dan manajemen asuhan keperawatan dan
pengembangan profesional. Selain itu memiliki peran sebagai pemberi asuhan keperawatan,
pendidik, advokat, pengelola asuhan keperawatan dan sebagai peneliti.
18

Saran
Perawat diharapkan memperhatikan jenis dan lama pemakaian lampu fototerapi sebelum
digunakan, memastikan agar seluruh area tubuh bayi terkena pajanan sinar lampu selama
fototerapi, melakukan tindakan untuk meminimalkan efek samping dan menggunakan
evidence based practice terkait perawatan bayi yang dilakukan fototerapi. Model Konservasi
Levine dapat digunakan dalam pemberian asuhan keperawatan, namun perlu penjabaran
secara rinci indikator pencapaian wholeness agar bisa lebih aplikatif dan spesifik dalam
penerapannya.

Referensi
Alligood, M.R. & Tomey, A.M. (2006). Nursing theory: Utilization & Application. Missouri:
Mosby Elsevier.

Arvedson, J., Clark, H., Lazarus, C., Schooling, T., & Frymark, T. (2010). Evidence-based
systematic review: Effects of oral motor interventions on feeding and swallowing in
preterm infants. American Journal of Speech-Language Pathology, 19, 321-340.

Australian Confederation of Paediatric and Child Health Nurse (ACPCHN). (2006).


Competencies of specialist Paediatric and child health nurse. Diperoleh tanggal 06 Juni
2013. http://www.chnwa.org.au/Portals/0/docs/ ACPCHN.pdf.

Chen, Y.J., Chen, W-C., & Chen, C.M. (2012). Risk factors for hyperbilirubinemia in
breastfed term neonates. Eur J Pediatr, 171, 167-171.

Cohen, S.M. (2006). Jaundice in the full-term newborn. Pediatric Nursing, 32(3), 202-208.

Davies, L. & McDonald, S. (2011). Pemeriksaan kesehatan bayi: Pendekatan multidimensi.


Jakarta: EGC.

Donneborg, M.L., Knudsen, K.B., & Ebbesen, F. (2010). Effect of infants’ position on serum
bilirubin level during conventional phototherapy. Acta Paediatrica, 99 (8), 1131-1134.

Gomella, T.C., Cunningham, M.D. & Eyal, F.G. (2009). Neonatology: Management,
procedurs, on-call problems, diseases, and drugs. New York: McGraw-Hill Companies.

Hadinegoro, S.R., Prawitasari, T., Endyarni, B., Kadim, M., & Sjakti, H. (2007). Diagnosis
dan tata laksana penyakit anak dengan gejala kuning. Jakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM.

Hockenberry, M.J. & Wilson, D. (2009). Wong’s essentials of pediatric nursing. St. Louis:
Mosby Elsevier.

Kenner, C., & Lott, J.W. (2007). Comprehensive neonatal care. St Louis: Elsevier.

Kosim, M.S., Yunanto, A., Dewi, R., Sarosa, G.I., & Usman, A. (2010). Buku ajar
neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
19

Kosim, M.S., Garina, L.A., Chandra, T., & Adi, M.S. (2007). Hubungan hiperbilirubinemia
dan kematian pasien yang dirawat di NICU RSUP Dr. Kariadi Semarang. Sari Pediatri, 9
(4), 270-273.

Lissauer, T., & Fanaroff, A. (2009). At a glance neonatologi. Jakarta: Erlangga.

Maisels, M.J. & McDonagh, A.F. (2008). Phototherapy for neonatal jaundice. The New
England Journal of Medicine, 28, 920-929.

Mefford, L.C., & Alligood, M.R. (2011a). Testing a theory of helath promotion for preterm
infants based on Levine’s consevation model of nursing. Journal of Theory Construction
& Testing, 15 (2), 41-47.

Mefford, L.C. (2004). A Theory health promotion for preterm infants based on Levine’s
conservation model of nursing. Nurs Sci Q, 17, 260-266.

Pamela, T. (2006). Jaundice in the preterm infant. Paediatric Nursing, 18 (5), 20-22.

PP-PPNI. (2010). Standar profesi dan kode etika perawat Indonesia. Jakarta: Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.

Pratima, M. (2004). Nurse’s responsibilities in phototherapy. Nursing Journal of India, 95


(1), 19-20.

Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline Program. (2009). Neonatal jaundice:
Prevention, assessment and management. Diperoleh tanggal 08 Juni 2013.
http://www.technomedica. ru/site.

Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline Program. (2009a). Management of


neonatal respiratory distress incorporating the administration of continuous positive
airway pressure (CPAP). Diperoleh tanggal 25 Juni 2013. http://www.technomedica.
ru/site.

Rubarth, L.B. (2005). Nursing patterns of knowing in assessment of newborn sepsis. A


disertation submitted to The Faculty of College of Nursing In partial fulfillment of the
requirements for the degree of Doctor of Philosophy in the graduate college Th
University of Arizona.

Shinwell, E.S., Sciaky, Y., & Karplus, M. (2002). Effect of postion changing on bilirubin
levels during phototherapy. Journal of Perinatology, 22, 226-229.

Tomey, A.M. & Alligood, M.R. (2006). Nursing theorists and their works. St.Louis: Mosby
Elsevier.

Widagdo. (2012). Tatalaksana masalah penyakit anak dengan ikterus. Jakarta: Sagung Seto.

Wong, D., Hockenberry, M., Wilson, D., Winkelstein, M.L., & Schwartz, P. (2008). Buku
ajar keperawatan pediatrik. Jakarta: EGC.
20

Xiong, T., Qu, Y., Cambier, S., & Mu, D. (2011). The side effects of phototherapy for
neonatal jaundice: What do we know? What should we do?. European Journal of
Pediatrics, 170, 1247-1255.

Anda mungkin juga menyukai