Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas kebangsaan. Secara etimologis ,
identitas nasional berasal dari kata “identitas” dan “ nasional”. Kata identitas berasal dari bahasa
Inggris identity yang memiliki pengertian harfiah; ciri, tanda atau jati diri yang melekat pada
seseorang, kelompok atau . sesuatu sehingga membedakan dengan yang lain. Kata “nasional”
merujuk pada konsep kebangsaan. Jadi, pegertian Identitas Nasional adalah pandangan hidup
bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai
kedudukan paling tinggi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk disini adalah
tatanan hukum yang berlaku di Indonesia, dalam arti lain juga sebagai Dasar Negara yang
merupakan norma peraturan yang harus dijnjung tinggi oleh semua warga Negara tanpa kecuali
“rule of law”, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban warga Negara, demokrasi serta hak asasi
manusia yang berkembang semakin dinamis di Indonesia.
Istilah identitas nasional dapat disamakan dengan identitas kebangsaan. Secara
etimologis, identitas nasional berasal dari kata “identitas” dan ”nasional”. Kata identi
tas
berasal dari bahasa Inggris yaitu identity yang memiliki pengertian harfiah yaitu ciri, t
anda / jati diri yang melekat pada seseorang, kelompok atau sesuatu sehingga memb
edakan denganyang lain.
Sedangkan kata “nasional”
merujuk pada konsep kebangsaan. Jadi, pegertianIdentitas Nasional adalah pandang
an hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan juga sebagai Ideologi Neg
ara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi dalam tatanankehidupan berbangs
a dan bernegara termasuk disini adalah tatanan hukum yang berlaku diIndonesia, dal
am arti lain juga sebagai Dasar Negara yang merupakan norma peraturan yangharus
dijnjung tinggi oleh semua warga Negara tanpa kecuali, yang mengatur mengenai ha
kdan kewajiban warga Negara, demokrasi serta hak asasi manusia yang berkembang
semakindinamis di Indonesia atau juga Istilah Identitas Nasional adalah suatu ciri yan
g dimiliki olehsuatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut deng
an bangsa lain.Eksistensi suatu bangsa pada Era Globalisasi yang sangat kuat terutam
a karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut
Berger
dalam
The Capitalist Revolution
,Era Globalisasi dewasa ini, ideologi kapitalisme yang akan menguasai dunia. Kapitalis
metelah mengubah masyarakat satu persatu dan menjadi sistem internasional yang
menentukannasib ekonomi sebagian besar bangsa-bangsa di dunia, dan secara tidak
langsung juga nasibsosial, politik dan kebudayaan.Perubahan global ini membawa pe
rubahan suatu ideologi, yaitu dari
ideologi partikular
ke arah
ideologi universal
dan dalam kondisi seperti ini kapitalisme yang akanmenguasainya. Negara Nasional a
kan dikuasai oleh negara transnasional yang lazimnyadidasari oleh negara-negara de
ngan prinsip kapitalisme. Konsekuensinya, negara-negarakebangsaan lambat laun ak
an semakin terdesak. Namun demikian, dalam menghadapi proses perubahan terseb
ut sangat tergantung kepada kemampuan bangsa itu sendiri.
7
Menurut Toyenbee
, ciri khas suatu bangsa yang merupakan local genius dalammenghadapi pengaruh bu
daya asing akan menghadapi
challence
dan
response
.Jika challence cukup besar sementara response kecil maka bangsa tersebut akan pu
nah danhal ini sebagaimana terjadi pada bangsa Aborigin di Australia dan bangsa Indi
an di Amerika. Namun demikian jika challance kecil sementara response besar maka
bangsa tersebut tidakakan berkembang menjadi bangsa yang kreatif.Oleh karena itu,
agar bangsa Indonesia tetap eksis dalam menghadapi globalisasimaka harus tetap m
eletakkan jati diri dan identitas nasional yang merupakan kepribadian bangsa Indone
sia sebagai dasar pengembangan kreatifitas budaya globalisasi. Sebagaimanaterjadi
di berbagai negara di dunia, justru dalam Era Globalisasi dengan penuh tantanganya
ng cenderung menghancurkan nasionalisme, muncullah kebangkitan kembali kesada
rannasional.
Identitas nasional berkaitan dengan konsep bangsa. Apakah bangsa itu? Pengertian bangsa
(nation) dalam konsep modern, tidak terlepas dari seorang cendekiawan Prancis, Ernest Renan
(1823-1892), seorang filsuf, sejarahwan dan pemuka agama dalam esainya yang terkenal Qu‟est-ce
qu‟une nation? yang disampaikan dalam kuliah di Universitas Sorbonne pada tahun 1882. Dalam
esainya tersebut dia menyatakan bahwa bangsa adalah sekelompok manusia yang memiliki
kehendak bersatu sehingga merasa dirinya adalah satu. Menurut Renan,faktor utama yang
menimbulkan suatu bangsa adalah kehendak bersama dari masing-masing warga untuk membentuk
suatu bangsa (Soeprapto, 1994:115)
Lain halnya dengan Otto Bauer (1881-1934) seorang legislator dan seorang theoreticus,
menyebut bahwa bangsa adalah suatu persatuan karakter/perangai yang timbul karena persatuan
nasib. Otto Bauer lebih menekankan pengertian bangsa dari karakter, sikap dan perilaku yang
menjadi jatidiri bangsa dengan bangsa yang lain. Karakter ini terbentuk karena pengalaman sejarah
budaya yang tumbuh berkembang bersama dengan tumbuhkembangnya bangsa (Soeprapto,
1994:114).
Dalam pandangan Tilaar (2007:29), bangsa adalah suatu prinsip spiritual sebagai hasil dari
banyak hal yang terjadi dalam sejarah manusia. Bangsa adalah keluarga spiritual dan tidak
ditentukan oleh bentuk bumi misalnya. Apa yang disebut prinsip spiritual atau jiwa dari bangsa?
Terdapat dua hal dalam prinsip spiritual tersebut: 1) terletak pada masa lalu, dan 2) terletak pada
masa kini. Pada masa lalu suatu komunitas mempunyai sejarah atau memori yang sama. Pada masa
kini, komunitas tersebut mempunyai keinginan untuk hidup bersama atau suatu keinginan untuk
mempertahankan nilai-nilai yang telah diperoleh oleh seorang dari upaya-upaya masa lalu,
perngorbanan-pengorbanan dan pengabdian. Masa lalu merupakan modal sosial (social capital)
dimana di atasnya dibangun cita-cita nasional. Jadi suatu bangsa mempunyai masa jaya yang lalu dan
mempunyai keinginan yang sama di masa kini. Berdasarkan spirit tersebut itulah manusia bersepakat
untuk berbuat sesuatu yang besar. Rasa kejayaan atau penderitaan masa lalu adalah lebih penting
dari perbedaan ras dan budaya. Dengan demikian suatu bangsa adalah suatu masyarakat solidaritas
dalam skala besar. Solidaritas tersebut disebabkan oleh pengorbanan yang telah diberikan pada
masa lalu dan bersedia berkorban untuk masa depan (Tilaar, 2007:29).
Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (Soeprapto, 1994:115), dijelaskan definisi bangsa
menurut hukum, yaitu rakyat atau orang-orang yang berada di dalam suatu masyarakat hukum yang
terorganisir. Kelompok orang-orang satu bangsa ini pada umumnya menempati bagian atau wilayah
tertentu, berbicara dalam bahasa yang sama (meskipun dalam bahasa-bahasa daerah), memiliki
sejarah, kebiasaan, dan kebudayaan yang sama, serta terorganisir dalam suatu pemerintahan yang
berdaulat.
Dari definisi tersebut, nampak bahwa bangsa adalah sekelompok manusia yang:
1. Memiliki cita-cita bersama yang mengikat mereka menjadi satu kesatuan.
2. Memiliki sejarah hidup bersama, sehingga tercipta rasa senasib sepenanggungan.
3. Memiliki adat, budaya, kebiasaan yang sama sebagai akibat pengalaman hidup bersama.
4. Memiliki karakter, perangai yang sama yang menjadi pribadi dan jatidirinya.
5. Menempati suatu wilayah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah.
6. Terorganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat, sehingga mereka terikat dalam suatu
masyarakat hukum.
Lalu apakah bangsa Indonesia itu? Perkembangan masyarakat yang kini menyebut dirinya
sebagai bangsa Indonesia telah melalui suatu jarak waktu yang panjang, yaitu ketika masyarakat itu
masih bertegak dan hidup dalam “negara” atau kerajaan-kerajaan Nusantara (Gonggong, 2000:x).
Tentang hal ini amatlah menarik menyimak apa yang dikatakan oleh Clifford Geertz (2000),
antropolog kondang yang dianggap sebagai ahli Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh
Gonggong (2000:x) berikut:
"Ketika kita menyaksikan panorama Indonesia saat ini, rasanya kita sedang menyusun suatu sinopsis
masa lalu yang tanpa batas, seperti kalau kita melihat benda-benda peninggalan sejarah (artefak)
dari bermacam-macam lapisan dalam situs arkeologis yang lama mengeram, yang dijajarkan di atas
sebuah meja sehingga sekali pandang bisa kita lihat kilasan sejarah manusia sepanjang ribuan tahun.
Semua arus kultural yang sepanjang tiga milennia, mengalir berurutan, memasuki Nusantara dari
India, dari Cina, dari Timur Tengah, dari Eropa – terwakili di tempat-tempat tertentu: di Bali yang
Hindu, di permukiman Cina di Jakarta, Semarang atau Surabaya, di pusat-pusat Muslim di Aceh,
Makasar atau Dataran Tinggi Padang; di daerah-daerah Minahasa dan Ambon yang Calvinis, atau
daerah-daerah Flores dan Timor yang Katolik".
Lebih lanjut, Geertz menunjukkan fakta tentang situasi masyarakat Indonesia, sebagai berikut:
Rentang struktur sosialnya juga lebar, dan merangkum:
"Sistem-sistem kekuasaan Melayu-Polynesia di pedalaman Kalimantan atau Sulawesi, desa-desa
tradisional di dataran rendah di sepanjang sungai Jawa Tengah dan Jawa Timur; desa-desa nelayan
dan penyelundupan yang berorientasi pasar di pantai-pantai Kalimantan dan Sulawesi; ibu-ibu kota
provinsi yang kumuh dan kota-kota kecil di Jawa dan pulau-pulau seberang; dan kota-kota
metropolitan yang besar, terasing, dan setengah modern seperti Jakarta, Medan, Surabaya dan
Makasar. Keanekaragaman bentuk perekonomian sistem-sistem stratifikasi, atau aturan kekerabatan
juga melimpah ruah".
Apa yang diterangkan di atas barulah hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan yang dilatari
oleh perjalanan sejarah yang panjang. Dilihat dari segi agama, keyakinan, budaya, dan suku bangsa,
Indonesia adalah satu contoh negara yang paling beragam. Bahkan menurut Geertz (1996)
sebagaimana dikemukakan F Budi Hardiman (2005:viii) dalam pengantarnya untuk
bukuKewarganegaraan Multikultural karya Will Kymlicka, menyatakan sebagai berikut:
"Indonesia ini sedemikian kompleksnya sehingga rumit untuk menentukan anatominya secara persis.
Negara ini bukan saja multi-etnis (Dayak, Kutai, Makasar, Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Aceh, Flores,
Bali, dan seterusnya), tetapi juga menjadi medan pertarungan pengaruh multi-mental dan ideologi
(India, Cina, Belanda, Portugis, Hinduisme, Budhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalisme, dan
seterusnya). “Indonesia” demikian tulisnya, “adalah sejumlah „bangsa‟ dengan ukuran, makna dan
karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis,
religius atau semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomis dan politis
bersama".
2. Adanya keinginan bersama untuk merdeka, melepaskan diri dari belenggu penjajahan.
3. Adanya kesatuan tempat tinggal, yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang sampai
Merauke.
4. Adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sebagai suatu bangsa.
Keanggotaan seseorang sebagai bangsa Indonesia bukan berarti ia melepaskan keanggotaan dari
suatu kesatuan sosial lainnya seperti keanggotaannya sebagai suku Jawa, sebagai umat penganut
dari suatu agama. Menurut Tilaar (2007:32), seseorang termasuk bangsa Indonesia adalah seseorang
yang memiliki perilaku tertentu yang merupakan perilaku Indonesia, perasaan-perasaan tertentu
yang merupakan jati diri (identitas) bangsa Indonesia