Anda di halaman 1dari 6

HAK DAN KETERLIBATAN PEREMPUAN

DALAM PERADILAN ADAT

Di susun Oleh:
Rosette Elbaar, Helen Lusiana, Corry Theresia, Elmalia Tara, Halsey M. Magat,
Hj. Daris Susilawati, Rusdiana, Ita Dara Puspita, Yudinantir, Renhart Jemi

Disampaikan pada Disampaikan pada Workshop Finalisasi Draft Pedoman


Peradilan Adat di Kalimantan Tengah, Palangka Raya, 17-20 Desember 2013

1. Kedudukan Perempuan Dayak Pada Tatanan Sosial Masyarakat

Perempuan Dayak atau bawin Dayak memiliki kedudukan yang terhormat

dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat Dayak. Sebutan “bawi mandiri” untuk

perempuan Dayak sebenarnya memberikan penjelasan yang banyak tentang

kesetaraan gender di kalangan masyarakat Dayak. Tidak ada perbedaan antara

perempuan dan laki-laki, baik itu dalam tugas sehari-hari dalam rumah tangga,

kehidupan sosial, kepemimpinan, mencari nafkah dan juga dalam melaksanakan

tugas serta kewajiban lainnya. Walaupun tidak ada perbedaan gender (gender

disparity), namun perempuan Dayak tetap menjunjung tinggi kehormatan laki-laki

(suami, saudara/kerabat). Sebaliknya, kaum laki-laki Dayak sangat melindungi

kehormatan perempuan Dayak, dibuktikan dengan ditetapkan banyak jenis singer

atau denda adat yang mengacu pada hasil rapat damai tumbang anoi 1894, untuk

melindungi perempuan Dayak dari kekerasan dan pelecehan. Beberapa contoh

singer tersebut :

1. Singer Hatulang Belom ( Denda dalam perceraian sepihak)

2. Singer Palepak Pisek/panggul pupuh (denda batal janji tunangan atau calon

Tunangan)

3. Singer Tihi,Sarau Sawan Oloh (denda hamil gelap dengan istri orang lain)
4. Singer Surau Tihi Bujang (denda hamil gelap gadis perawan)

5. Singer Marusak Balu (denda merusak janda)

6. Singer Sala Basa dengan Sawan Oloh (denda salah tingkah pada istri orang

lain)

7. Singer Sala Basa Dengan Bawi Bujang ( denda salah tingkah dengan gadis

perawan).

8. Singer Tukung (denda adat merampas istri orang)

9. Singet Tukung Balang (denda adat, gagal merapas tetapi berzinah)

10. Singer Hatulang Belom (denda dalam perceraian sepihak)

11. Singer Hatulang Palekak Sama Handak (denda perceraian karena

kehendak bersama).

12. Singer Palekak Pisek/Panggul Pupuh (denda batal janji tunangan atau

calon tunangan)

13. Singer Tungkun Paisek (denda karena berani merampas tunagan orang

lain).

14. Singer Tihi Sarau Sumbang Tulah (denda hamil gelap, sumbang tulah).

15. Singer Tihi, Sarau Sawan Oloh (denda hamil gelap dengan istri orang lain).

16. Singer Sarau Tihi Bujang (denda hamil gelap gadis perawan)

17. Singer Marusak Balu (denda merusak janda)

18. Singer Sala Basa dengan sawan Oloh (denda salah tingkah dengan istri

orang lain)

19. Singer Sala Basa dengan Bawi Bujang (denda salah tingkah pada gadis

perawan)
20. Singer Sala Basa dengan Oloh Beken (denda salah tingkah dengan orang

lain)

21. Singer Paranggar Raung ( denda pelanggaran raung atau peti mati).

22. Singer Palangi Pangarai (singer cadangan untuk biaya tiwah)

Penghormatan kepada perempuan dayak juga dibuktikan dengan ketika

perempuan Dayak dilamar untuk menikah melalui beberapa tahapan,yaitu

Hakumbang auh/manjakah duit (datang kerumah perempuan keberadan anaka

gadis), Mamanggul (tunangan), Maja Misek (mengantar biaya perkawianan),

Panganten Mandai (calon pengantin laki-laki datang kerumah orang tua calon

pengantin perempuan), dan Pakaja Manantu (manantu perempuan datang

kerumah orang tua pengantin laki-laki). Semua tahapan tersebut membuktikan

bahwa perempuan Dayak yang dilamar, tidak diserahkan begitu saja oleh

keluarganya sebelum mengetahui secara akurat mengenai keluarga laki-laki yang

melamar dan pada proses lamaran itu juga harus menyerahkan sekitar 17 (tujuh

belas) pemberian kepada pihak pengantin perempuan.

2. Keterlibatan Perempuan Dayak dalam Proses Peradilan Adat


Sejak jaman dulu, perempuan Dayak memiliki hak dan kewajiban yang

sama dengan kaum laki-laki, kecuali dalam hal yang dipantang atau pali

dilakukan oleh kaum perempuan, karena jika hal yang dipantang tersebut

dilanggar atau tidak dipatuhi maka akan mendatangkan bencana, tidak hanya

untuk perempuan yang melanggar, namun juga berdampak pada keluarga,

keturunan bahkan satu kampungnya. Misalnya, perempuan Dayak pali ikut

menangkap ikan di Mihing (alat penangkap ikan tradisional). Keterlibatan

perempuan dalam peradilan adat, bisa secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsung, mereka bisa menjabat sebagai mantir, sekretaris damang, dan

sebagai damang kepala adat. Secara tidak langsung, mereka bisa berpartisipasi

melalui suami atau keluarga yang sedang menjabat sebagai tua-tua adat dengan

cara memberikan dukungan tenaga dan pemikiran.

Meningkatan fungsi perlindungan/hak hukum dan melindungi nama baik

atau martabat bawi Dayak (perempuan Dayak), perempuan Dayak harus berperan

lansung dalam pengambilan keputusan pada pusaran peradilan adat dengan

dipenuhi kouta ketelibatanya yaitu minimal 1 orang di lembaga kedamangan dan

minimal 1 orang sebagai mantir adat desa/kelurahan.

Bebeberapa perkara terhadap perempuan dan anak yang dapat diselesaikan

oleh pemangku adat :

a. Kekerasan terhadap rumah tangga (KDRT)

b. Perselingkuhan

c. Perceraian

d. Kekerasan yang dilakukan sesame perempuan

e. Kekerasan oleh pacaran

f. Pemerkosaan

g. Laki-laki yang menelantarakan atau mengabaikan hak perempuan; dan

h. Pembagaian warisan yang tidak berpihak kepada perempuan.

Ketika menjalankan kewajibannnya dalam proses peradilan adat perempuan

Dayak pada umumnya mengaplikasikan ketrampilannnya dan pengetahuannya

yang didapat secara empiris. Artinya, karena dalam keseharian tidak ada

perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan, maka mereka dapat

melaksanakan proses peradilan tanpa spesifikasi pada kasus perempuan saja.


Pemberdayaan perempuan diperlukan dalam meningkatkan kompetensi

perempuan terhadap peradilan adat melalui regulasi pendidikan dan pelatihan

berjenjang untuk meraih legalitas seperti, melatih kemampuan perempuan untuk

mengenal dan mendefinisikan setiap perkara dan melatih kemampuannya sebagai

mediator, negosiator dan fasilitator dalam penyelesaian perkara.

3. Hak/Perlindungan Hukum Perempuan dan Anak

Faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan perempuan rentan mengalami

KDRT karena kodrat perempuan yang secara fisik lemah, pandangan budaya

masyarakat terhadap perempuan masih rendah, bukan sebagai pencari nafkah

utama keluarga sehingga minim secara financial, pendidikan yang rendah dan ada

pihak ketiga yang mendominasi rumah tangga.

Hak dan perlindungan hukum untuk perempuan dan anak terdiri dari:

a. Penetapan singer sesuai dengan kesepakatan Tumbang Anoi tahun 1894

b. Proses penyelesaian sengketa dengan mengutamakan prisip keamanan dan

prinsip kerahasiaan

Langkah-langkah pemangku adat dalam menyelesaikan perkara perempuan

dan anak meliputi :

1. Menerima laporan pelaku

2. Menyerahkan penanganan awal pada perempuan untuk perkara khusus

3. Melindungi perempuan dengan menempatkan pada salah satu rumah tokoh

perempuan adat atau rumah aman jika kasus tersebut pada tahap kekerasan

4. Menggali informasi pada kedua belah pihak dan saksi

5. Menjamin kerahasian perkara untuk kasus yang menyangkut nama baik.


6. Melakukan mediasi untuk jalan keluar dan memberitahu hak-hak mereka

dalam hukum positif nasional.

7. Mendamaikan kedua belah pihak setelah ada kesepakatan dengan surat

perjanjian

8. Melakukan pemantauan setelah upaya damai dilakukan

9. Melakukan upaya-upaya lain termasuk rujukan perkara jika kasus berulang

10. Pemantau damai oleh polisi adat atau memastikan kekerasan tidak berulang
setelah proses damai dilaksanakan.

Anda mungkin juga menyukai