PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Kabupaten flores timur yang meliputi flores daratan (daerah ujung pulau flores),dan
tiga buah pulau yaitu pulau adonara,pulau solor,dan pulau lembata/lomblen,tetapi pulau
kembata memisahkan diri menjadi kabupaten baru.Masyarakat kabupaten flores timur dan
masyarakat yang berada di pantai utara pulau lembata merupakan satu rumpun yang biasa
lazim disebut masyarakat lamaholot.Karena masyarakat yang baik berada di daratan ujung
pulau timur flores,pulau adonara,pulau solor dan penduduk yang berada di pantai uatara pulau
lembata menggunakan bahasa yang sama yang di sebut bahasa lamaholot,letak perbedaannya
adalah masing-masing pulau mempunyai dialek khusus yang khas.
Salah satu system budaya yang sangat khas dari masyarakat Lamaholot adalah Sistem
perkawinan (patrilineal)dimana mas kawin (belis/bahasa lamaholot di sebut welin)seorang
wanita dinyatakan dalam bentuk gading gajah (dalam bahasa lamaholot=Bala).Adat istiadat ini
dilaksanakan secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu dan masih di laksanakan
sampai sekarang.Belis seorang gadis (kebarek=bahasa lamaholot)untuk kaum bangsawan (Ata
kabel’en=Bahasa lamaholot)biasanya lima gading dan untuk masyarakat biasa 3 gading (Bala).
B.TUJUAN
Sistem perkawinan adat yang di anut oleh masyarakat adonara ada 4 jenis perkawinan yaitu:
Dari 4 sistem perkawinan ini ada tiga jenis perkawinan yang di anggap ekstreme,namun sah
menurut hukum adat yang berlaku yaitu:Kawin tangkap,kawin masuk dan kawin
lari.Sedangkan system perkawinan yang lebih bermartabat adalah system perkawinan melamar
atau meminang.Sistem perkawinan ini dilakukan melalui proses yang cukup panjang dan
membutuhkan biaya yang cukup besar.Untuk menghindari proses tersebut,pihak laki-laki dan
keluarganya menempuh tiga jalur perkawinan yang lain sebagai alternative antara lain:
Dalam sistem sosial budaya masyarakat lamaholot pada umumnya dan masyarakat Adonara
pada khususnya, mempunyai satu corak keistimewaan yaitu sistem perkawinan, dimana belis
untuk seorang gadis (Kebarek) itu adalah Gading. Pemberian mas kawin berupa gading gajah
di Pulau Adonara sekarang ini masih dipraktikkan secara ketat. Tidak ada perkawinan tanpa
gading. Batang gading itu tidak hanya memiliki nilai adat, tetapi juga kekerabatan, harga diri
perempuan, dan nilai ekonomis yang tinggi.
Meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus merembes sampai ke pelosok-
pelosok desa di Pulau Adonara, mas kawin berupa gading gajah tidak pernah hilang dari
kehidupan mereka. Kehidupan orang Adonara secara keseluruhan berada dalam suasana adat
yang kuat, yang mengikat.
“Gading gajah tidak hanya mengikat hubungan perkawinan antara suami-istri, atau antara
keluarga perempuan dan keluarga laki-laki, tetapi seluruh kumpulan masyarakat di suatu
wilayah. Perkawinan itu memiliki nilai sakral yang meluas, suci, dan bermartabat yang lebih
sosialis” .
Gading gajah merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap pribadi seorang gadis yang
hendak dinikahi. Penghargaan atas kepercayaan, kejujuran, ketulusan, dan keramahan yang
dimiliki sang gadis. Kesediaan menyerahkan mas kawin gading gajah kepada keluarga wanita
pertanda membangun suasana harmonis bagi kehidupan sosial budaya setempat. Pernikahan
gadis asal Adonara selalu ditandai dengan pembicaraan mas kawin gading gajah
Di masyarakat Adonara dikenal lebih kurang lima jenis gading (dalam bahasa lamaholot,
gading = bala). Namun, jika sang pria menikahi perempuan yang masih berhubungan darah
dengannya, maka dia akan kena denda, yakni memberi tambahan dua jenis gading sehingga
totalnya menjadi tujuh jenis gading (Ata Kebel’en = kaum bangsawan). Kelima jenis gading itu
adalah, pertama, bala belee (gading besar dan panjang) dengan panjang satu depa orang
dewasa. Kedua, bala kelikene (setengah depa sampai pergelangan tangan), kewayane (setengah
depa sampai siku), ina umene (setengah depa sampai batas bahu), dan opu lake (setengah depa,
persis belah dada tengah). Dua jenis gading tambahan yang biasa dijadikan sebagai denda
ukurannya ditentukan sesuai dengan kesepakatan.
Satuan yang dipakai untuk menentukan besar atau kecil sebatang gading adalah depa, satu
depa orang dewasa (rentangan tangan dari ujung jari tengah tangan kiri ke ujung jari tengah
tangan kanan).
Juru bicara keluarga biasanya memiliki keterampilan memahami bahasa adat, tata cara
pemberian, ungkapan-ungkapan adat, dan bagaimana membuka dan mengakhiri setiap
pembicaraan. Tiap-tiap juru bicara harus mengingatkan keluarga wanita atau pria agar tidak
melupakan segala hasil kesepakatan bersama.
Oleh karena itu, kedua pihak juga perlu menentukan waktu pertemuan bersama calon
pengantin masing-masing, menanyakan kebenaran dan keseriusan kedua calon pengantin
membangun rumah tangga baru. Jika ada pengakuan terbuka di hadapan kedua pihak orangtua,
pertemuan akan dilanjutkan ke tingkat keluarga besar dan akhirnya memasuki tahap
pembicaraan adat sesungguhnya, koda pake. Pada Koda Pake itulah disepakati jumlah gading
yang dijadikan mas kawin, besar dan panjang gading, serta kapan gading mulai diserahkan.
Penyerahan gading berlangsung pada tahap Pai Napa. Pada acara ini pihak pria
menyerahkan mas kawin berupa gading gajah disertai beberapa babi, kambing, ayam jantan,
dan minuman arak. Di sisi lain, pihak wanita menyiapkan anting, gelang dari gading, cincin,
rantai mas, serta kain sarung yang berkualitas. Selain itu, perlengkapan dapur, mulai dari alat
memasak sampai piring dan sendok makan.
Meski tidak dipatok dalam proses Pai Napa, pemberian dari pihak wanita kepada keluarga
pria merupakan suatu kewajiban adat. Perlengkapan dari pihak wanita harus benar-benar
disiapkan dan nilainya harus bisa bersaing dengan nilai gading.
Keluarga wanita akan merasa malu dengan sendirinya jika tidak mempersiapkan
perlengkapan tersebut, atau nilai dari barang-barang itu tidak seimbang dengan nilai gading,
babi, kambing, dan ayam yang disiapkan keluarga pria. Keseimbangan pemberian ini supaya
kedua pihak dapat merayakan pesta adat di masing-masing kelompok.
Wanita akan menjadi sasaran kemarahan dan emosi keluarga pria jika pihak keluarga
wanita tidak menyiapkan “imbalan” sama sekali. Di sinilah biasanya awal kekerasan terhadap
perempuan dapat terjadi, bahkan tidak jarang berakhir dengan perceraian.
Belakangan ini dikenal satu istilah gere rero lodo rema, atau gere rema lodo rero. Artinya,
gading gajah hanya dibawa siang atau malam hari ke rumah pihak keluarga wanita, dan pada
malam atau siang hari dibawa pulang ke pemiliknya. Kehadiran gading itu hanya sebagai
simbol, memenuhi tuntutan adat. Pihak wanita tidak harus memiliki gading tersebut. Peristiwa
seperti ini sering terjadi kalau sang pria yang menikah dengan gadis Lamaholot adalah orang
dari luar lingkungan budaya Lamaholot, seperti Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Bali.
-BAHASA LAMAHOLOT
Bahasa merupakan alat komunikasi yang menyatukan .Dengan bahasa ,orang dapat
berkomunikasi dengan orang lain untuk membangun kebersamaan,mengungkapkan pikiran dan
perasaan baik secara lisan (berkomunikasi secara langsung)maupun secara tulisan (komunikasi
dalam bentuk tulisan).
Di wilayah Flores,misalnya ada beragam bahasa daerah yang di dasarkan pada wilayah
etnik,seperti bahasa manggarai,ngada,Ende-Lio,sikka,dan bahasa lamaholot yang mencakup
wilayah flores timnur daratan,Adonara,Solor dan Lembata.
Bahasa Lamaholot yang digunakan oleh masyarakat Lamaholot tersebut di atas,variasi dialek
Lamaholot secara tradisional di pengaruhi oleh tropografis,etnografis,dan demografis,dimana
dalam pelfalannya memiliki dialek dan sub-sub dialek yang khas berdasarkan tata letak wilayah
hunian.
Berdasarkan pemetaan dan sesuai kenyataan terdapat variasi dialek dan sub-sub dialek yang
khas berdasarkan daratan maka di flores timur terbagi atas 4 daratan yang menggunakan bahasa
Lamaholot antara lain:
Pakaian adat wanita disebut :Kewatek (sarung)dan labu kebaya (baju kebaya) sedangkan
pakaian adat laki-laki disebut :Nowin dan Senai.Bahan dasar untuk pembuatan kewatek ,nowin
dan senai adalah dari benang yang diperoleh tumbuhan kapas.
Peralatan yang dibutuhkan untuk pengolahan kapas menjadi benang antara lain:
Proses menenun ini di sebut :Nekek Tane dengan menggunakak berbagai macam
peralatan,Adapun peralatan menenun itu antara lain:Nuda,Pola-Sapit,Surit,Ne’wa,Belete,Nubo.
Nuda : Dua pasang bamboo yang berguna sebagai alat untuk menyusun barang
Pola:Balok/bamboo yang diikat pada tiang tenun.
Surit:Berfungsi untuk membentuk atau menyusun benang agar lebih rapat.
Sapit:Dua pasang kayu /bamboo yang di pasang bagian perut penenun.
Ne’wa:Dua bambu yang satu berukurn kecil dan yang lain dan yang lain berukuran
sedang yang berfungsi tidak mengatur tata letak benang berselang-seling.
Nubo:Sebilah bambu yang berujung runcing sebagai penahan atau penjaga jarak sarung
agar tidak bengkok.
Belege:Bambu berukuran sedang sebagai penahan atau menekan benang saat ditarik ke
atas.
Seligu:Sejenis ikat pinggang yang di ikatkan pada bagian ujung sapit kiri dan kanan
yang di rekatkan di pinggang penenun.
Temaro:Bahan ini terbuat dari dari sarang lebah yang di padatkan menjadi semacam
lilin yang berguna untuk melicinkan semua perkakas tenun ikat.
Dengan perlengkapan alat menenun tadi perempuan Lamaholot dapat mengerjakan kain sarung
dengan memperhatikan desain motif,kerumitan,ketelitian,pewarnaan,dan keuletan kerja motif
benang asli menghasilkan sarung yang disebut :Kewatek kiwan sekarang ini sudah
langka,sehingga lebih gampang saat ini orang mengerjakan kain sarung modofikasi dengan
benang hasil industri atau tekstil.
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Perkawinan merupakan salah satu bidang permasalahan yang diatur dalam tatanan
hukum di Indonesia. Untuk itu, segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh warga
negara, termasuk yang menyangkut urusan perkawinan, harus taat dan tunduk serta tidak
bertentangan atau melanggar peraturan perundang-undangan.
Mengenai bentuk-bentuk perkawinan hingga sistem perkawinan tiap daerah biasanya
berbeda.Meskipun tidak terlalu nampak, namun itu dapat menjadi ciri khas tersendiri terutama
mengenai hukum atau aturan perkawinan adat.Karena Indonesia memiliki keunikan dalam
berbagai tata cara dan adat istiadat masing-masing daerah.Itu kenapa Indonesia di sebut negeri
yang kaya dengan berbagai suku dan bahasa. Ada beberapa bentuk perkawinan yang dapat
dijumpai dalam masyarakat diantaranya, endogami, eksogami, monogami, poligami, levirat,
sororat, perkawinan berturut, perkawinan -kelompok
Mas kawin/bride price adalah merupakan sejumlah harta/materi yang diberikan laki
kepada perempuan yang akan dinikahinya dan atau kepada kerabatnya. Mas kawin/bride-price
yang dalam bahasa lamaholot disebut Welin, dan welin ini berupa gading gajah yang
merupakan suatu syarat mutlak yang harus diberikan pihak lakilaki kepada pihak perempuan
yang hendak dinikahinyak
Meski perkembangan ilmu dan teknologi informasi terus merembes sampai ke pelosok-
pelosok desa di Pulau Adonara, mas kawin berupa gading gajah tidak pernah hilang dari
kehidupan mereka. Kehidupan orang Adonara secara keseluruhan berada dalam suasana adat
yang kuat, yang mengikat.
Gading gajah merupakan simbol penghargaan tertinggi terhadap pribadi seorang gadis
yang hendak dinikahi. Penghargaan atas kepercayaan, kejujuran, ketulusan, dan keramahan
yang dimiliki sang gadis .
.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna dan makalah ini tidak akan jadi
tanpa adanya bantuan dari narasumber, sumber referensi, dan teman-teman. Saya mohon maaf
apabila terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam penulisan makalah ini. Maka dari itu, saya
mengharapkan adanya kritik membangun untuk melengkapi makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat dan digunakan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
PENULIS:ZHAZHA USHALY
REFERENSI:
Puji syukur senantiasa saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.Sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas perseorangan untuk mata kuliah Hukum Adat
dengan judul “ADAT PERKAWINAN SUKU ADONARA”
Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dengan
bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan doa,saran dan kritik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalamn dan pengetahuan yang saya miliki.Oleh
karena itu,saya mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak.Akhirnya saya berharap semoga makalah
ini dapat memberikan pengetahuan tambahan bagi pendidikan adat-adat yang di
Nusa Tenggara Timur.
Penulis
ZHAZHA USHALY
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………
BAB .I PENDAHULUAN…………………………………………………………..
BAB.II PEMBAHASAN……………………………………………………………
BAB.III PENUTUP……………………………………………………………………
3.1 KESIMPULAN……………………………………………
3.2 SARAN…………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………
MAKALAH
(HUKUM ADAT)
DOSEN PEMBIMBING:
DISUSUN OLEH:
NAMA:ZHAZHA USHALY
NIM:19310273
KUPANG
2019