by
Jamie McGuire
Ratu-buku.blogspot.com
Sinopsis:
“Abby Abernathy yang sekarang adalah seorang gadis yang baik, Dia
tidak minum atau menyumpah. Abby percaya bahwa dia sudah punya
cukup jarak dari kegelapan masa lalunya, tapi... ketika ia tiba di kampus
dengan sahabatnya, jalan yang akan menjadi awal yang baru untuknya
dengan cepat dihadang oleh seseorang.
Travis Maddox, ramping, berotot, penuh tato, adalah seseorang yang
dibutuhkan dan diperlukan Abby untuk... dijauhi. Dia menghabiskan
malam dengan memperoleh uang dengan bertarung di dalam ring, dan
siangnya sebagai pemikat terhebat di kampus.
Penasaran dengan penolakan Abby, Travis membujuknya untuk
menerima taruhan sederhana dengannya. Jika dia kalah, dia harus
„puasa‟ berhubungan seks selama satu bulan. Jika Abby kalah, ia harus
tinggal di apartemen Travis dalam waktu yang sama. Travis tak tahu
bahwa ia telah menemukan lawan yang seimbang.”
Semua yang ada di ruangan ini seolah-olah berteriak kalau aku tidak
pantas untuk berada di sini.
Tangga mulai bergetar, orang-orang gaduh berdesakan, udara bercampur
dengan bau keringat, darah, dan jamur. Suara-suara menjadi tidak jelas
terdengar ketika mereka meneriakkan satu angka dan nama berulang-
ulang, tangan bergerak-gerak di udara, saling bertukar uang dan
berkomunikasi dengan gerakan tubuh di tengah kebisingan. Aku
menerobos masuk ke dalam kerumunan, dan sahabatku mengikuti di
belakang.
―Simpan uangmu, Abby!‖ kata America padaku. Senyumnya yang lebar
bersinar meskipun di tempat yang redup.
―Tetap berdekatan! Semua akan lebih buruk ketika acara di mulai!‖
Shepley berteriak di tengah kebisingan. America memegang tangannya
dan tanganku ketika Shepley menuntun kita melewati kerumunan orang.
Suara keras dari pengeras suara membelah udara yang penuh dengan
asap. Suaranya mengejutkanku, dan aku melompat kaget, sambil melihat
ke arah asal suara. Seorang pria berdiri di atas kursi kayu, sambil
memegang segepok uang di satu tangan dan memegang pengeras suara
di tangan yang satunya. Dia memegang pengeras suara itu di depan
mulutnya.
―Selamat datang di acara ‗ pertumpahan darah‘! Kalau kalian mencari
Economic one-oh-one, kalian berada di tempat yang salah, teman! Jika
kalian mencari The Circle, ini adalah Mekkah-nya!
Namaku Adam, aku yang membuat peraturan-peraturannya dan yang
mengadakan acara ini.
Pertaruhan berakhir ketika penantang memasuki arena, dilarang
memegang dan membantu para petarung, tidak boleh mengganti taruhan,
dan tidak boleh melewati batas arena. Jika kalian melanggar peraturan
ini, kalian akan dipukuli dan dilempar keluar tanpa uang kalian! Ini juga
berlaku untuk kalian, Ladies! Jadi jangan coba-coba melanggar sistem,
boys!
Shepley menggelengkan kepalanya. ―Astaga, Adam!‖ dia berteriak
kepada MC, sangat jelas dia tidak setuju dengan kata-kata yang dipilih
temannya.
Jantungku berdebar kencang. Dengan memakai cardigan wol pink dan
anting mutiara, aku merasa seperti guru sekolah di pantai Normandia.
Aku berjanji pada America bahwa aku akan menerima apapun yang
terjadi nanti, tapi ketika tiba di sini aku merasakan dorongan kuat untuk
memegang tangannya erat-erat. Dia tidak akan membiarkan aku dalam
bahaya, tapi dengan berada di basement bersama 50 atau lebih
mahasiswa yang mabuk, kecenderungan besar mungkin terjadi
perkelahian, aku sedikit tidak percaya kalau kita akan keluar tanpa
terluka.
Setelah America bertemu Shepley di orientasi mahasiswa/i baru, dia
sering menemani Shepley ke acara ini yang diadakan di basement yang
berbeda di daerah sekitar Universitas Eastern. Setiap acara diadakan di
tempat yang berbeda dan dirahasiakan hingga sejam sebelum
pertarungan mulai.
Karena aku selalu berada di lingkungan yang lebih ‗jinak‘, aku
tercengang mengetahui tentang dunia bawah tanah Eastern; tapi Shepley
mengetahui itu sebelum masuk ke Universitas Eastern.
Travis, teman sekamar dan sepupu Shepley, mengikuti pertarungan
pertamanya tujuh bulan sebelumnya. Sebagai mahasiswa baru, Travis
digosipkan sebagai lawan paling mematikan yang pernah Adam lihat
selama 3 tahun dia mengadakan The Circle. Memulai tingkat keduanya,
Travis jadi tak terkalahkan. Travis dan Shepley dengan mudah
membayar sewa dan tagihan-tagihan mereka karena selalu menang
taruhan.
Adam memegang pengeras suaranya lagi, teriakan dan gerakan
meningkat menjadi kegelisahan.
―Malam ini kita punya penantang baru! Bintang gulat di Eastern, Marek
Young!‖
Sorak sorai bergema, dan orang-orang terbagi menjadi dua seperti Laut
Merah ketika Marek memasuki arena. Lingkaran arena kosong, dan
semua orang bersiul, mencemooh, dan mengejek si penantang. Dia
melompat ke atas ke bawah, dan menggoyangkan lehernya ke belakang
dan ke depan; wajahnya tampak keras dan focus. Orang-orang terdiam
karena suara raungan, lalu tanganku menutupi telingaku ketika musik
berbunyi dari speaker besar di seberang ruangan.
―Petarung kita selanjutnya tidak perlu diperkenalkan, tapi karena dia
membuat aku takut, jadi aku tetap akan memperkenalkan dia! Takutilah,
boys, dan buka dalaman kalian, ladies! Ini dia, Travis ‗Mad Dog‘
Maddox!‖
Suara bergemuruh ketika Travis muncul di pintu. Dia masuk, telanjang
dada, santai dan tak terpengaruh oleh keributan yang ada. Dia berjalan
memasuki arena seperti orang yang sedang menuju kantornya. Ototnya
yang tak berlemak meregang di bawah kulitnya yang bertato saat dia
beradu tinju dengan Marek. Travis sedikit membungkuk dan
membisikkan sesuatu ke telinga Marek, dan si pegulat itu berusaha keras
untuk tetap mempertahankan ekspresi tegasnya. Marek berdiri
berhadapan dengan Travis dan mereka saling menatap langsung pada
mata masing-masing.
Ekspresi Marek sangat mematikan, Travis terlihat agak geli melihatnya.
Mereka mundur beberapa langkah, dan Adam membunyikan terompet.
Marek mengambil posisi bertahan dan Travis menyerang. Aku berjinjit
karena tidak bisa melihat, bergerak ke kanan kiri agar dapat melihat
pertarungan dengan lebih baik. Aku terus naik, bergeser melewati orang-
orang yang berteriak-teriak. Aku tersikut dan ditabrak, terpental ke
depan dan ke belakang seperti pin bola.
Kepala Marek dan Travis mulai terlihat, jadi aku terus menerobos ke
depan.
Ketika aku tepat di depan arena, Marek memegang Travis dan
bermaksud untuk melemparnya ke bawah. Waktu Marek membungkuk,
Travis menendangkan lututnya ke wajah Marek. Sebelum
Marek bisa berdiri tegak, Travis menonjok wajah Marek yang sudah
berdarah berulang kali.
Ada tangan yang menarikku hingga aku tersentak ke belakang.
―Apa yang kau lakukan Abby?‖ tanya Shepley
―Aku tidak bisa melihat dari belakang sana!‖ sahutku.
Aku berbalik tepat ketika Marek terkena pukulan keras. Travis berbalik,
dan untuk sesaat aku pikir dia telah menghindari beberapa pukulan, tapi
dia berhasil memutar dan memukulkan sikunya tepat ke hidung Marek.
Darah menyiprat mengenai wajahku, dan berceceran di bagian depan
cardiganku.
Marek jatuh ke lantai beton dengan suara gedebuk yang keras. Untuk
sesaat ruangan sunyi senyap.
Adam melemparkan kain merah ke arah tubuh Marek yang lemah, dan
orang-orang mukai bersorak.
Uang berpindah tangan sekali lagi, dan ekspresi orang-orang terbagi dua,
ada yang bangga dan ada yang frustrasi.
Aku terdorong kesana kemari oleh orang-orang yang baru masuk dan
yang akan keluar. America memanggil namaku dari suatu tempat di
belakang, tapi aku lebih terpesona pada noda merah yang membekas di
dadaku hingga pinggang.
Sepasang sepatu boot berat berjalan ke arahku, mengalihkan perhatianku
ke lantai. Mataku bergerak ke atas; melihat celana jeans yang ada noda
darahnya, otot perut yang terpahat dengan indah, telanjang dada,
dadanya bertato dan basah oleh keringat, dan akhirnya sepasang mata
coklat yang hangat. Aku terdorong dari belakang, dan Travis
menangkapku sebelum aku terjatuh ke depan.
―Hey, mundur!‖ Travis mengernyit, mendorong semua orang yang ada
di sekitarku. Ekspresi wajahnya yang keras mencair menjadi senyuman
ketika dia melihat bajuku kemudian mengelap wajahku dengan handuk
―Maafkan soal ini, Peogen!‖
Adam menepuk belakang kepala Travis. ―Ayo, Mad Dog! Ada sejumlah
uang yang harus diambil!‖
Matanya terus memandangku. ―Sayang sweaternya, padahal itu terlihat
bagus dipakai olehmu.‖
Detik berikutnya dia ditelan kerumunan fansnya, menghilang secepat dia
datang.
―Apa yang kau pikirkan, bodoh?‖ America berteriak padaku sambil
menarik tanganku.
―Aku datang kesini untung melihat pertarungan kan?‖ aku tersenyum.
―Kau seharusnya tidak boleh berada di sini, Abby,‖ Shepley mengomel.
―Begitu juga America.‖ kataku.
―Dia tidak mencoba loncat ke dalam arena!‖ dia mengernyit. ―Ayo kita
pergi.‖
America tersenyum padaku dan mengelap wajahku. ―Kau sangat
menyusahkan, Abby. Ya Tuhan, Aku sangat sayang padamu!‖ Dia
memeluk leherku,kemudian kami berjalan menuju tangga dan keluar di
udara malam.
America mengikuti ke kamar asramaku, dan menyeringai ke arah teman
sekamarku, Kara. Aku langsung membuka Cardiganku yang penuh noda
darah, dan melemparkannya ke dalam keranjang.
―Ih menjijikkan. Kalian memang dari mana?‖ Kara bertanya dari atas
tempat tidurnya.
Aku memandang America yang mengangkat bahunya, ―Mimisan. Kau
belum pernah melihat
hidung mimisan Abby yang terkenal?‖
Kara membetulkan posisi kacamatanya sambil menggelengkan
kepalanya.
―Oh, kau akan melihatnya. America mengedipkan sebelah matanya
padaku, kemudian menutup pintu di belakangnya. Kurang dari semenit
kemudian, HPku berbunyi. Seperti biasa, Amaerika selalu mengirim
SMS setelah kita mengucapkan selamat tinggal.
“Menginap di tempat Shepley. Sampai bertemu besok,
Ring Queen.”
Aku melirik Kara yang sedang memperhatikanku seakan-akan hidungku
akan menyemburkan darah setiap saat.
―America hanya bercanda.‖ kataku.
Kara mengangguk acuh tak acuh, kemudian memandangi buku yang
berantakan di atas tempat tidurnya.
―Aku akan mandi dulu.‖ kataku sambil mengambil handuk dan peralatan
mandiku.
―Aku akan memberitahu media.‖ kata Kara tanpa ekspresi, sambil
menunduk.
Keesokan harinya, Shepley dan America bergabung denganku saat
makan siang. Aku bermaksud untuk duduk sendirian, tapi ketika para
mahasiswa menuju cafeteria, semua kursi di sekitarku terisi, baik oleh
teman perkumpulannya Shepley atau anak tim football. Beberapa dari
mereka ada di tempat pertarungan kemarin, tapi tidak ada yang
membahas pengalamanku di dekat arena.
―Shep,‖ panggil seseorang.
Shepley mengangguk, America dan aku berpaling untuk melihat Travis
yang duduk di kursi di ujung meja. Dia diikuti oleh dua wanita pirang
seksi yang memakai kaos seragam Sigma Kappa.
Salah seorangnya duduk di pangkuan Travis dan yang satu lagi duduk di
sebelahnya, sambil memainkan kaos Travis dengan jarinya.
―Aku rasa aku muntah sedikit di dalam mulutku.‖ America bergumam.
Si pirang yang di pangkuan Travis melirik ke arah America, ―Aku
mendengar itu, dasar pelacur!‖
America mengambil rotinya dan melemparkannya ke atas meja sehingga
hampir mengenai wajah perempuan pirang itu.
Sebelum perempuan itu sempat mengatakan sesuatu, Travis menarik
lututnya sehingga perempuan itu jatuh ke bawah.
―Aduh!‖ dia menjerit, sambil memandang Travis.
―America adalah temanku. Silahkan mencari pangkuan lain, Lex.‖
―Travis!‖ dia merengek, berusaha berdiri.
Travis mengalihkan perhatian pada piringnya, mengacuhkan dia.
Perempuan itu melihat pada temannya dan mendengus, kemudian
mereka pergi sambil berpegangan tangan.
Travis mengedipkan sebelah matanya ke arah America, seakan-akan
tidak terjadi apa-apa, kemudian melahap makanannya lagi. Saat itulah
aku melihat luka kecil di pelipisnya. Travis dan Shepley saling
memandang, kemudian dia mulai mengobrol dengan salah seorang dari
tim football yang ada dihadapannya.
Meskipun meja makan mulai sepi, aku, America, dan Shepley terus
membicarakan rencana kami untuk akhir minggu ini. Travis berdiri dan
pergi, tapi kemudian berhenti di dekat meja tempat kami berada.
―Apa?‖ Shepley bertanya dengan sedikit berteriak, mengangkat
tangannya ke telinga.
Aku mencoba untuk mengacuhkan Travis selama mungkin tapi ketika
aku melihat ke atas, dia sedang memandangku.
―Kau tahu dia kan, sahabatnya America? Dia bersama kami kemarin,‖
Shepley menjelaskan.
Travis tersenyum padaku yang menurutku itu adalah salah satu
ekspresinya yang sangat mempesona. Dia mengalirkan seks dan sikap
memberontaknya melalui suara, rambut coklat, dan tangannya yang
bertato, dan aku mendelik padanya saat dia berusaha menggodaku.
―Sejak kapan kalian bersahabat, Mare?‖ Travis bertanya.
―Sejak SMP.‖ jawabnya, sambil tersenyum ke arahku. ―Apakah kau
lupa, Travis? Kau telah merusak sweaternya.‖
―Aku sudah merusak banyak sweater.‖
―Iiiiihh,‖ aku bergumam.
Travis memutar kursi kosong dan kemudian duduk di sebelahku,
meletakkan tangannya di depannya. ―Jadi kau adalah si Pigeon ya?‖
―Bukan‖ aku membentak, ―Aku punya nama.‖
Dia tampak kagum dengan cara aku memperlakukannya, yang malah
membuat aku semakin kesal.
―Jadi? Siapa namamu?‖ tanyanya.
Aku memakan potongan apel terakhirku, mengacuhkannya.
―Kalau begitu, Pigeon saja ya,‖ dia mengangkat bahunya.
Aku melirik America, lalu melihat ke arah Travis ―Aku sedang makan
nih.‖
Travis tetap santai menanggapi perlakuanku, ―Namaku Travis, Travis
Maddox.‖
Aku mendelik lagi, ―Aku tahu kau siapa.‖
―Tahu ya?‖ Travis berkata sambil mengangkat alisnya yang terluka.
―Jangan senang dulu. Sulit untuk tidak mengetahui siapa dirimu saat 50
orang mabuk meneriakkan namamu.‖
Travis duduk lebih tegak, ―Aku sering mengalami hal itu.‖ Aku
mendelik lagi, dan Travis cekikikan. ―Apakah kau punya penyakit
kedut?‖
―Apa?‖
―Penyakit kedut, matamu selalu bergerak memutar,‖ dia tertawa lagi
ketika aku membelalak.
―Tapi itu sepasang mata yang indah kok,‖ dia berkata sambil
mendekatkan wajahnya ke wajahku.
―Apa warnanya? Abu-abu?‖
Aku memandangi piringku, membiarkan rambut panjang warna
caramelku menjadi seperti tirai yang membatasi kita. Aku tidak
menyukai apa yang aku rasakan saat dia sangat dekat. Aku tidak mau
menjadi seperti mereka, sejumlah wanita yang akan tersipu ketika dia
datang. Aku tidak mau dia memberikan efek seperti itu padaku sama
sekali.
―Jangan coba-coba, Travis. Dia sudah seperti saudara perempuanku,‖
America memperingatkan.
―Sayang,‖ Shepley berkata, ―Kau baru saja melarang Travis, sekarang
dia tidak akan berhenti.‖
―Kau bukan tipenya,‖ dia melindungi.
Travis pura-pura tersinggung ―Aku tipe semua orang!‖
Aku melirik Travis dan tersenyum.
―Ah, akhirnya tersenyum, aku bukan seorang bajingan busuk ternyata‖.
Dia mengedipkan satu matanya. ―Senang bertemu denganmu, Pidge.‖
Dia berjalan mengitari meja dan membungkuk ke telinga America.
Shepley melemparkan kentang goreng ke arah sepupunya. ―Jauhkan
bibirmu dari telinga pacarku, Trav!‖
―Memperluas jaringan! Aku sedang memperluas jaringan!‖ Travis
melangkah keluar dengan tangan di atas dengan wajah polosnya.
Beberapa perempuan lain lagi mengikuti di belakangnya, cekikikan dan
menggerak-gerakkan jari di rambut mereka untuk menarik perhatiannya.
Dia membukakan pintu untuk mereka, dan mereka hampir menjerit
kegirangan.
America tertawa. ―Oh, tidak. Kau dalam bahaya, Abby.‖
―Apa yang dia bisikkan?‖ Aku bertanya dengan hati-hati.
―Dia ingin kau agar mengajak Abby ke apartement, ya kan?‖ Shepley
berkata. America
mengangguk dan Shepley menggelengkan kepalanya. ―Kau adalah
wanita yang cerdas, Abby. Aku beritahu dari sekarang, jika nanti kau
mulai percaya omong kosongnya dan ternyata dia membuatmu marah,
kau jangan melampiaskannya padaku atau America, mengerti?‖
Aku tersenyum. ―Aku tidak mungkin menyukainya, Shep. Apa aku
kelihatan seperti Barbie kembar tadi?‖
―Dia tidak akan menyukainya,‖ America meyakinkan Shepley sambil
menyentuh tangannya.
―Ini bukan masalah pertamaku, Mare. Apakah kau tahu berapa kali dia
mengacaukan hubunganku karena dia meniduri sahabatnya? Karena
tiba-tiba berkencan denganku menjadi seperti lebih memilih musuh
daripada teman! Ingat ya, Abby,‖ dia menatapku, ―Jangan melarang
Mare untuk datang ke apartemen atau berkencan denganku hanya karena
kau percaya semua omong kosongnya Travis. Anggap kau sudah
diperingati ya.‖
―Tidak perlu tapi aku menghargai pemberitahuannya,‖ kataku. Aku
mencoba meyakinkan Shepley dengan senyuman, tapi dia merasa tidak
yakin karena sudah bertahun-tahun mengalami hal yang sama, terluka
karena kelakuan Travis.
America melambaikan tangannya, kemudian melangkah pergi bersama
Shepley, sedangkan aku memasuki kelas soreku. Aku memicingkan
sebelah mataku karena silau oleh sinar matahari, sambil memegang tali
ranselku. Eastern sangat sesuai dengan yang apa aku harapkan; dari
ruang kelasnya yang lebih kecil, hingga tidak adanya satu orang pun
yang kenal siapa dia. Ini adalah awal yang baru bagiku; akhirnya aku
bisa berjalan kemanapun tanpa ada orang yang berbisik-bisik karena
mengetahui siapa aku—atau mereka pikir mereka tahu—semua tentang
masa laluku. Aku tidak berbeda dengan semua yang bermata lebar,
bekerja keras untuk masuk kelas; tidak ada yang menatap, tidak ada
gosip, tidak ada rasa kasihan atau penilaian. Hanya ilusi yang aku ingin
mereka lihat; memakai Kasmir, tidak ada omong kosong tentang Abby
Abertany.
Aku menaruh tas ranselku di lantai, dan duduk di kursi, membungkuk
untuk mengambil laptopku dari dalam tas. Ketika aku duduk lagi untuk
menaruhnya di atas meja, Travis baru duduk di kursi sebelahku.
―Bagus. Kau bisa membuatkan catatan untukku,‖ dia berkata padaku.
Dia menggigit pulpennya dan tersenyum, tidak diragukan lagi sangat
mempesona.
Aku memandang dengan rasa jijik padanya. ―Bahkan kau tidak
mengambil mata kuliah ini.‖
―Aku mengambil mata kuliah ini kok. Biasanya aku duduk di atas sana.‖
dia berkata sambil mengangguk ke arah tempat duduk paling atas.
Sekelompok kecil perempuan memandangiku, dan aku melihat kursi
yang kosong di tengah-tengah mereka.
―Aku tidak akan membuat catatan untukmu‖, aku berkata sambil
menyalakan laptop.
Travis membungkuk sangat dekat padaku hingga aku bisa merasakan
nafasnya di pipiku. ―Maaf, apakah aku pernah menyinggungmu?‖
Aku menghela nafas kemudian menggelengkan kepalaku.
―Lalu apa masalahmu?‖
Aku menahan suaraku agar tetap pelan. ―Aku tidak akan tidur
denganmu. Kau harus menyerah sekarang.‖
Senyuman kecil muncul di wajahnya sebelum dia berkata ―Aku belum
mengajakmu untuk tidur denganku,‖ matanya melayang ke atas
memandangi atap kelas seperti sedang berfikir, ―Iya kan?‖
―Aku tidak seperti Barbie kembar tadi atau kelompok kecilmu di atas
sana,‖ aku berkata sambil melihat sekilas ke arah mereka yang di
belakangku. ―Aku tidak tertarik dengan tatomu, ataupun kelakuanmu
yang seperti anak kecil, atau ketidakacuhanmu yang dipaksakan. Jadi
kau bisa menghentikan semua usahamu, oke?‖
―Ok, Pigeon.‖ Dia tampak tidak kesal sedikitpun atas perlakuan kasarku.
―Kenapa kau tidak ikut America malam ini?‖
Aku menyeringai atas ajakannya, tapi dia malah semakin mendekat.
―Aku tidak berusaha untuk ‗menangkapmu‘. Aku cuma ingin hang out.‖
―‗Menangkapku‘? Bagaimana kau bisa menarik wanita untuk tidur
denganmu kalau caramu berbicara seperti ini?‖
Tawa Travis meledak, sambil menggelengkan kepalanya. ―Mampir saja
ya nanti. Aku bahkan tidak akan menggodamu, aku janji.‖
―Akan aku pertimbangkan.‖
Prof. Chaney masuk, dan Travis mengalihkan perhatiannya ke depan.
Masih terlihat senyuman di wajahnya, membuat lesung pipinya semakin
jelas. Semakin dia tersenyum, semakin ingin aku membencinya, padahal
itu yang membuat membencinya menjadi tidak mungkin.
―Siapa yang bisa menjawab Presiden mana yang istrinya juling dan
bermuka jelek?‖ Chaney bertanya.
―Kau harus mencatat itu,‖ Travis berbisik. ―Aku membutuhkannya
untuk menjawab pertanyaan di job interviews.
―Sssshh,‖ kataku sambil tetap mengetik.
Travis menyeringai dan santai di kursinya. Setelah sejam berlalu, dia
bolak-balik mendekat dan menatap monitorku sambil sekali-kali
menguap. Aku berusaha keras untuk berkonsentrasi dan
mengacuhkannya, tapi kedekatan dan otot kekarnya membuat semua itu
menjadi sulit. Dia memainankan gelang kulit di pergelangan tangannya
hingga saatnya Chaney membubarkan kelas.
Aku bergegas keluar kelas menuju lorong. Ketika aku merasa sudah
aman, tiba-tiba Travis Maddox muncul di sebelahku.
―Apa kau sudah memikirkannya?‖ dia bertanya sambil mengenakan
kacamata hitamnya.
Perempuan bertubuh kecil berambut coklat melangkah ke arahku dan
Travis. Matanya lebar dan berharap. ―Hai,Travis,‖ dia menyapa dengan
riang, sambil memainkan rambutnya.
Aku berhenti berjalan, menghindar dari suaranya yang dibuat-buat
seperti anak kecil kemudian berjalan memutar ke belakangnya. Aku
sudah pernah melihatnya sebelumnya di asrama di Gedung Morgan,
sedang mengobrol dengan temannya tapi tidak dengan suara yang di
buat-buat seperti ini.
Suaranya waktu itu terdengar lebih dewasa, dan aku penasaran apa yang
membuat dia berfikir kalau Travis akan menyukai suara anak kecilnya
itu. Dia terus mengoceh dengan suara yang lebih tinggi hingga Travis
berada di sampingku lagi.
Dia mengeluarkan pematik api dari sakunya, kemudian menyalakan
rokok dan menghembuskan asap tebal.
―Tadi sampai mana ya?‖ Oh ya, kau sedang berfikir.‖
Aku menyeringai, ―Apa yang kau bicarakan?‖
―Apa kau sudah memutuskan untuk datang?‖
―Jika aku mengatakan ya, akankah kau berhenti mengikutiku?‖
Dia berfikir sejenak kemudian mengangguk.‖Ya.‖
―Kalau begitu aku akan datang.‖
―Kapan?‖
Aku menarik nafas. ―Malam ini. Aku akan datang malam ini.‖
Travis tersenyum dan berhenti berjalan. ―Bagus. Sampai bertemu nanti
kalau begitu, Pidge.‖ dia memanggilku.
Aku berbelok ke pojok dan melihat America bersama dengan Finch di
luar asrama. Aku dan America bertemu dengan Finch di acara orientasi
mahasiswa baru, dan aku langsung tahu dia bisa menjadi orang ketiga
yang ditunggu-tunggu di dalam hubungan pertemananku dengan
America. Dia tidak terlalu tinggi, tapi tetap kelihatan seperti menara
dibandingkan dengan tinggiku yang hanya 5 kaki 4 Inci (163 cm).
Matanya yang bulat mengimbangi penampilannya yang ramping dan
rambutnya yang di bleaching biasanya dibentuk seperti paku.
―Travis Maddox? Ya Tuhan, Abby, sejak kapan kau mulai memancing
di laut dalam?‖ Finch bertanya dengan mata yang memancarkan
ketidaksetujuannya.
America menarik permen karet dari mulutnya menjadi tali yang panjang.
―Kau hanya membuatnya semakin parah dengan menyuruhnya pergi.
Dia tidak terbiasa dengan itu.‖
―Jadi aku harus bagaimana? Tidur dengannya?‖
America menarik nafas. ―Itu akan menghemat waktu.‖
―Aku memberitahunya kalau aku akan mampir malam ini.‖
Finch dan America saling pandang.
―Apa? Dia berjanji tidak akan menggangguku lagi kalau aku bilang ya.
Kau akan pergi kesana kan malam ini?‖
―Hhhmm, ya,‖ jawab America. ―Kau benar-benar akan datang?‖
Aku tersenyum dan berjalan menuju aula melewati mereka, penasaran
apakah Travis akan menepati janjinya untuk tidak merayuku. Dia bukan
orang yang sulit untuk ditebak; dia hanya melihatku sebagai tantangan,
atau hanya tidak tertarik untuk hanya menjadi sekedar teman. Aku tidak
yakin mana yang paling menggangguku.
Empat jam kemudian, America mengetuk pintu kamarku dan
mengantarku ke tempat Shepley dan Travis. Dia tidak dapat menahan
diri ketika aku keluar kamar.
―Iiiih, Abby! Kau seperti gelandangan!‖
―Bagus,‖ kataku sambil tersenyum melihat baju yang aku pakai.
Rambutku diikat dengan asal ke atas, tidak memakai make up dan
mengganti lensa kontakku dengan kacamata yang bingkainya berwarna
hitam. Memakai kaos dan celana usang, aku mengenakan sandal jepit.
Ide itu datang sejam sebelumnya, berpenampilan tidak menarik adalah
ide yang sangat bagus. Idealnya, Travis menjadi tidak tertarik dan akan
menghentikan kelakuan bodohnya. Jika dia mencari teman untuk pergi
hang out, aku akan memberikan alasan kalau bajuku tidak pantas untuk
terlihat berjalan bersamanya.
America menurunkan jendela mobilnya dan memuntahkan permen
karetnya. ―Kau sangat jelas. Kenapa kau tidak berguling-guling di atas
kotoran anjing untuk membuat penampilanmu lengkap?‖
―Aku tidak bertujuan untuk menarik perhatian seseorang,‖ kataku.
―Sangat jelas.‖
Kami berhenti di tempat parkir komplek apartemen Shepley, dan aku
mengikuti America munuju tangga. Shepley membuka pintu, dan
tertawa ketika aku melangkah masuk. ―Apa yang terjadi padamu?‖
―Dia mencoba untuk tidak menarik,‖ America menjawab.
America mengikuti Shepley ke kamarnya. Pintunya ditutup dan aku
berdiri sendirian, merasa canggung. Aku duduk di kursi malas yang
dekat dengan pintu, dan menendang lepas sandal jepitku.
Apartement mereka tampak lebih, secara estetika menyenangkan
dibandingkan dengan kamar bujangan pada umumnya. Poster wanita
setengah telanjang dan rambu-rambu jalan yang mereka curi terpasang
di tembok, tapi semua bersih. Kursi tampak masih baru, dan bau bir basi
atau pakaian kotor sama sekali tidak ada.
―Sudah waktunya kau datang,‖ Travis berkata sambil menjatuhkan diri
ke kursi.
Aku tersenyum dan membetulkan posisi kacamataku, menunggu dia
mundur karena melihat penampilanku. ―America menyelesaikan dulu
makalahnya.‖
―Bicara tentang makalah, apa kau sudah menyelesaikan makalah untuk
mata kuliah Sejarah?‖
Dia sama sekali tidak peduli dengan rambutku yang berantakan, dan aku
tidak menyukai reaksinya.
―Apa kau sudah menyelesaikannya?‖
―Aku sudah menyelesaikannya tadi sore.‖
―Batas waktunya kan Rabu,‖ kataku heran.
―Aku baru saja menyelesaikannya, lagian akan sesulit apa sih 2 lembar
makalah tentang Grant, ya kan?‖
―Well, aku pikir aku hanya orang yang suka menunda pekerjaan,‖ aku
menarik nafas. ―Aku mungkin baru akan mulai mengerjakannya akhir
minggu ini.‖
―Well, kalo kau butuh bantuan, beritahu aku.‖
Aku menunggu dia tertawa, atau menunjukkan tanda kalau dia hanya
bercanda, tapi ekspresinya sangat tulus. Aku mengangkat salah satu
alisku. ―Kau akan membantuku membuat makalah.‖
―Aku mendapat nilai A di kelas sejarah,‖ dia berkata, merasa sedikit
kesal karena aku tidak percaya.
―Dia mendapat nilai A dalam semua mata pelajaran. Dia sangat jenius.
Aku sangat membencinya,‖
Shepley berkata sambil menuntun America ke ruang tamu.
Aku menatap Travis dengan tatapan tidak percaya dan alisnya naik.
―Apa? Kau pikir pria dengan tato dan bertarung untuk mata
pencahariannya tidak akan mendapat nilai bagus di kelasnya? Aku tidak
menyukai sekolah karena aku tidak punya kegiatan yang lebih baik
untuk aku kerjakan.‖
―Lalu kenapa kau harus bertarung? Kenapa tidak mencoba beasiswa?‖
tanyaku.
―Sudah. Aku di beri beasiswa setengah dari jumlah biaya kuliahku. Tapi
ada sejumlah buku, biaya hidup dan aku harus mendapatkan uang untuk
menutupi biaya kuliahku yang setengahnya lagi. Aku serius, Pidge.
Kalau kau membutuhkan bantuanku, tinggal beritahu aku.‖
―Aku tidak membutuhkan bantuanmu, aku bisa menulis sendiri
makalahku.‖ Aku ingin berhenti.
Aku seharusnya berhenti, tapi sisi barunya menumbuhkan rasa
penasaranku. ―Apa kau tidak bisa mencari pekerjaan lain yang tidak
terlalu – sadis?‖
Travis menghela nafas. ―Itu pekerjaan yang paling mudah untuk
mendapatkan uang. Aku tidak bisa mendapatkan uang sebanyak itu
kalau aku bekerja di mall.‖
―Aku tidak akan bilang itu pekerjaan yang mudah kalau wajahmu bisa
terluka karena pukulan.‖
―Apa? Kau mengkhawatirkan aku?‖ dia mengedipkan matanya. Aku
terdiam dan dia tertawa
cekikikan. ―Aku tidak sesering itu kena pukulan. Kalau mereka
mengayunkan pukulannya, aku bergerak. Itu tidak sulit.‖
Aku tertawa. ―Kau melakukan itu seperti tidak akan ada orang yang
akan mengantisipasi gerakanmu.‖
―Ketika aku mengayunkan pukulanku, mereka menerimanya dan
mencoba untuk membalas. Mereka tidak akan menang kalau begitu.‖
Aku memutar mataku. ―Makhluk apa kau ini…The Karate Kid? Dimana
kau belajar bertarung?‖
Shepley dan America saling pandang, dan kemudian mereka berdua
menatap lantai.
Tidak lama bagiku untuk mengetahui kalau aku telah mengatakan
sesuatu yang salah.
Travis tampak tidak terganggu. ―Aku mempunyai seorang ayah yang
suka mabuk dan sangat temperamen dan empat kakak lelaki yang
mempunyai gen seorang bajingan.‖
―Oh.‖ Telingaku memerah.
―Tidak perlu malu, Pidge. Ayah sudah berhenti minum. Dan kakak-
kakakku semakin dewasa.‖
―Aku tidak merasa malu.‖ Aku merasa gelisah karena ikatan rambutku
lepas dan memutuskan untuk menggulungnya menjadi sanggul,
mencoba untuk menghindari situasi yang hening dan canggung.
―Aku suka penampilanmu yang natural. Biasanya tidak ada perempuan
yang datang kemari
berdandan seperti itu.‖
―Aku dipaksa datang kemari. Tidak terpikir olehku untuk membuatmu
kagum‖, kataku, jengkel karena ternyata rencanaku telah gagal.
Dia tersenyum seperti anak kecil, tersenyum geli, dan aku memunculkan
rasa marahku, berharap rasa gelisahku tidak terlihat. Aku tidak tahu
bagaimana perasaan para wanita itu saat bersama dia, tapi aku sudah
pernah melihat bagaimana kelakuan mereka di dekatnya. Aku lebih
merasa pusing dan mual daripada cekikikan tergila-gila. Semakin dia
berusaha membuat aku tersenyum, aku semakin merasa tidak menentu.
―Aku sudah merasa kagum. Biasanya aku tidak harus memohon pada
wanita agar mereka datang ke apartemenku.‖
―Aku yakin begitu.‖ kataku dengan sebal.
Dia adalah orang yang rasa percaya dirinya sangat parah. Tidak saja dia
tidak tahu malu menyadari penampilannya, dia sudah terbiasa dengan
wanita yang menawarkan dirinya sehingga dia menganggap sikap
dinginku menjadi angin segar daripada menganggapnya menyinggung.
Aku harus merubah strategiku.
America mengarahkan remote ke arah TV dan menyalakannya. ―Ada
film bagus malam ini. Ada yang ingin mengetahui di mana Baby Jane
berada?‖
Travis berdiri. ―Aku baru mau pergi makan malam. Apa kau lapar,
Pidge?‖
―Aku sudah makan‖ aku menghela nafas.
―Belum, kau belum makan‖, kata America sebelum menyadari
kesalahannya. ―Oh..eh..ya benar, aku lupa tadi kau makan
eehhmmm…pizza? Sebelum kita pergi tadi.‖
Aku menyeringai padanya yang bermaksud memperbaiki kesalahan
besarnya, dan kemudian menunggu reaksi Travis.
Dia berjalan ke seberang ruangan menuju pintu depan. ―Ayo. Kau pasti
lapar.‖
―Kita mau kemana?‖
―Kemanapun yang kau mau. Kita bisa beli pizza.‖
Aku melihat pakaianku. ―Aku tidak memakai pakaian yang pantas untuk
pergi.‖
Dia menilai penampilanku sebentar lalu menyeringai. ―Kau terlihat
sangat baik. Mari kita pergi, aku sudah kelaparan.‖
Aku berdiri dan melambai ke arah America, melewati Travis lalu turun
tangga. Aku berhenti di tempat parkir, dan memandang ketakutan ketika
dia menaiki motor hitam.
―Eeehh…‖ aku terdiam, meremas jari kakiku yang terbuka.
Dia memandangku dengan tidak sabar. ―Ayo, naik. Aku akan hati-hati.‖
―Apa itu?‖ tanyaku, terlambat membaca tulisan yang tertulis di atas
tanki bensin. ―Ini adalah Harley Night Rod. Dia cinta dalam hidupku,
jadi jangan menggores catnya ketika kau naik.‖
―Aku memakai sandal jepit!‖
Travis memandangku seakan aku berbicara menggunakan bahasa asing.
―Aku memakai sepatu boot. Ayo naik.‖
Dia memakai kacamatanya, dan suara mesin menggeram saat dia
menyalakannya. Aku naik dan meraih sesuatu untuk berpegangan, tapi
tanganku tergelincir dari kulit ke cover plastik diatas lampu belakang.
Travis memegang dan memelukkan tanganku di pinggangnya. ―Tidak
ada tempat untuk berpegangan kecuali aku, Pidge. Jangan lepas‖,
katanya sambil mendorong motor ke belakang dengan kakinya. Dengan
sekali hentakan tangannya, dia mengarah ke jalan, dan melaju seperti
roket. Seuntai rambut yang lepas dari ikatannya menggantung dan
memukul-mukul wajahku, aku menunduk di belakang Travis,
mengetahui aku akan berakhir dengan kotoran serangga di kacamataku
apabila aku melihat ke depan dari atas bahunya.
Dia memacu klep penutup saat kita berhenti di tempat parkir sebuah
restoran, dan ketika dia melambat untuk berhenti, aku tidak membuang
waktu untuk berjalan menuju lantai beton yang aman.
―Kau sinting!‖
Travis tertawa kecil, memiringkan motornya diatas standarnya sebelum
turun. ―Aku hanya mengikuti aturan batas kecepatan.‖
―Ya, kalau kita di Autobahn!‖ (Jalan Raya dalam bahasa Jerman) kataku
sambil menyisir rambutku dengan jari.
Travis memperhatikanku dan menarik rambut dari wajahku lalu
melangkah menuju pintu kemudian membuka dan menahannya. ―Aku
tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada dirimu, Pigeon.‖
Aku menerobos masuk melewati dirinya ke dalam restoran, kepalaku
tidak sejalan dengan kakiku.
Wangi lemak dan bumbu memenuhi udara saat aku mengikutinya
melewati karpet yang penuh dengan remah roti. Dia memilih tempat
duduk di pojok, jauh dari gerombolan pelajar dan beberapa keluarga,
lalu memesan dua bir. Aku mengamati ruangan, memperhatikan para
orangtua yang membujuk anak yang ribut untuk makan. Aku
mengalihkan pandanganku dari pandangan ingin tahu beberapa murid
Eastern.
―Tentu, Travis.‖ kata pelayan, menuliskan pesanan minum kami.
Pelayan itu tampak sedikit lebih tinggi dari Travis saat dia kembali ke
dapur.
Aku menyelipkan rambutku yang terkena tiupan angin ke belakang
telingaku, tiba-tiba merasa malu akan penampilanku. ―Sering datang
kesini?‖ tanyaku.
Travis bersandar diatas meja, sikunya menahannya di atas meja, mata
coklatnya terpaku menatap mataku. ―So, ceritakan tentang dirimu,
Pidge? Apakah kau selalu membenci pria secara umum, atau hanya
membenci diriku?‖
―Aku pikir aku hanya membenci dirimu.‖ aku menggerutu.
Dia tertawa, geli melihat suasana hatiku. ―Aku tidak dapat menebak
dirimu. Kau wanita pertama yang muak padaku sebelum tidur denganku.
Kau tidak gugup kalau sedang bicara denganku, dan kau tidak mencoba
untuk menarik perhatianku.‖
―Itu bukan taktik. Aku hanya tidak menyukaimu.‖
―Kau tidak akan berada disini kalau tidak menyukaiku.‖
Rasa tidak sukaku harus diperhalus dan akupun menghela nafas. ―Aku
tidak pernah bilang kau orang yang jahat. Aku hanya tidak suka menjadi
satu akhir yang tidak terelakkan untuk satu alasan karena memiliki
vagina‖. Aku fokus pada butiran garam yang ada di atas meja hingga
mendengar suara tersedak dari arah Travis.
Matanya melebar dan dia bergetar saat tertawa seperti melolong. ―Ya
Tuhan! Kau membunuhku! Sudah pasti. Kita harus berteman. Aku tidak
akan menerima jawabanmu jika kau menolak.‖
―Aku tidak keberatan kita berteman, tapi itu bukan berarti kau akan
berusaha memasuki celana dalamku setiap lima detik.‖
―Karena kau tidak akan tidur denganku, aku mengerti.‖
Aku mencoba untuk tidak tersenyum, tapi gagal.
Matanya lebih bersinar. ―Aku berjanji. Aku tidak akan memikirkan
celana dalammu..kecuali kau menginginkannya.‖
Aku meletakkan sikuku di atas meja dan bersandar ke depan. ―Dan itu
tidak akan terjadi, so kita bisa menjadi teman.‖
Seringai nakal tampak jelas di wajahnya saat dia mendekatiku. ―Jangan
pernah bilang tidak akan.‖
―So, ceritakan tentang dirimu,‖ tanyaku. ―Apakah kau selalu menjadi
Travis ‗Mad Dog‘ Maddox atau julukan itu ada saat kau kuliah di sini?‖
Aku mengangkat kedua tanganku untuk membuat tanda ‗kutip‘ ketika
aku menyebutkan nama julukannya, dan untuk pertama kalinya rasa
percaya dirinya kelihatan berkurang. Dia tampak sedikit malu. ―Tidak,
Adam yang memulainya setelah pertarungan pertamaku.‖
Jawaban-jawaban singkatnya mulai menggangguku. ―Hanya itu? Kau
tidak akan menceritakan apapun tentang dirimu?‖
―Apa yang ingin kau ketahui?‖
―Hal yang biasa. Kau berasal dari mana, apa cita-citamu saat dewasa
nanti..hal-hal seperti itu.‖
―Aku orang sini, lahir dan dibesarkan di sini, dan aku mengambil
jurusan Hukum Pidana.‖
Dengan tarikan nafas panjang, dia membuka bungkusan alat makannya
dan menaruhnya di samping piringnya. Dia melirik ke belakangnya, dan
aku menyadari rahangnya sedikit menegang ke arah mereka yang ada di
sekitar kami. Tim sepak bola Eastern duduk di dua meja dan tawa
mereka meledak, Travis tampak terganggu dengan apa yang mereka
tertawakan.
―Kau bercanda,‖ kataku tak percaya.
―Tidak, aku orang sini,‖ katanya, teralihkan.
―Maksudku tentang jurusan yang kau ambil. Kau tidak seperti tipe
Hukum Pidana.‖
Alisnya mengkerut, tiba-tiba fokus pada obrolan kami. ―Kenapa?‖
Aku mengamati tato di tangannya. ―Aku hanya bilang kalau kau lebih
mirip kriminal daripada hukum.‖
―Aku tidak pernah terlibat masalah..hampir sepanjang waktu. Ayahku
sangat keras.‖
―Dimana Ibumu?‖
―Dia meninggal waktu aku masih kecil,‖ dia menjawab.
―Maafkan aku‖ kataku, sambil menggelengkan kepalaku. Jawabannya
membuatku tidak siap.
Dia menolak rasa simpatiku. ―Aku tidak mengingatnya. Tapi kakak-
kakakku mengingatnya, aku baru berumur tiga tahun waktu dia
meninggal.‖
―Empat kakak laki-laki ya? Bagaimana caramu membuat mereka lurus?‖
aku menggodanya.
―Aku membuat mereka lurus dengan siapa yang bisa memukul paling
keras, itu juga menimpa dari yang tertua hingga yang termuda. Thomas,
si kembar.. Taylor dan Tyler, lalu Trenton. Kau tidak boleh berada di
ruangan sendirian dengan Taylor dan Ty. Aku mempelajari setengah
dari yang aku tahu di The Circle dari mereka. Trenton adalah yang
tubuhnya paling kecil, tapi dia sangat cepat. Dia satu-satunya orang yang
bisa mendaratkan pukulan padaku sekarang.‖
Aku mengelengkan kepalaku, ternganga membayangkan lima Travis
bersaudara berkeliaran di satu rumah. ―Apa mereka semua punya tato?‖
―Hampir semua, kecuali Thomas. Dia eksekutif periklanan di
California.‖
―Dan ayahmu? Di mana sekarang dia?‖
―Ada‖ dia menjawab. Rahangnya tegang lagi, semakin terganggu oleh
tim sepak bola.
―Apa yang mereka tertawakan?‖ tanyaku, menunjuk ke arah meja yang
gaduh. Dia menggelengkan kepalanya, sangat jelas tidak ingin
memberitahu. Aku melipat tanganku dan menggeliat di tempat dudukku,
cemas dengan apa yang mereka katakan yang membuat dia merasa
terganggu. ―Beritahu aku.‖
―Mereka menertawakan aku membawamu makan malam terlebih
dahulu. Itu tidak biasa..bukan kebiasaanku.‖
―Terlebih dahulu?‖ ketika kenyataan terlihat di wajahku, Travis
memperhatikan ekspresiku. Aku bicara tanpa berpikir. ―Justru aku takut
mereka menertawakanmu karena mengajakku makan malam dengan
pakaian seperti ini, dan mereka pikir aku akan tidur denganmu‖ aku
bergumam.
―Kenapa aku tidak akan pernah terlihat jalan bersamamu?‖
―Apa yang kita bicarakan?‖ tanyaku, mengusir rasa panas yang
meningkat di bawah pipiku.
―Kau. Apa jurusan yang kau ambil?‖ dia bertanya.
―Oh, ehm…umum, sekarang. Aku masih belum memutuskan, tapi aku
cenderung memilih jurusan Akuntansi.‖
―Kau bukan berasal dari sini kan. Sangat jelas terlihat.‖
―Wichita. Sama dengan America.‖
―Kenapa bisa berada di sini dari Kansas?‖
Aku mengambil label botol birku. ―Kami hanya harus pergi dari sana.‖
―Menghindar dari apa?‖
―Orangtuaku.‖
―Oh. Bagaimana dengan America? Dia punya masalah dengan orangtua
juga?‖
―Tidak, Mark dan Pam sangat baik. Mereka hampir bisa dibilang yang
merawatku. Dia cuma ingin ikut; dia tidak mau aku pergi sendirian.
Travis mengangguk. ―Jadi kenapa memilih Eastern?‖
―Ada apa dengan tingkat tiga?‖ tanyaku. Pertanyaannya mulai
menyimpang dari pertanyaan biasa ke pertanyaan yang lebih pribadi,
dan aku mulai merasa tidak nyaman.
Beberapa kursi saling membentur ketika tim sepak bola meninggalkan
tempat duduk mereka.
Mereka saling melempar lelucon untuk terakhir kalinya sebelum mereka
berjalan ke arah pintu keluar. Mereka berjalan lebih cepat saat Travis
berdiri. Mereka yang di belakang mendorong yang di depan agar bisa
kabur sebelum Travis berjalan ke seberang ruangan. Dia duduk,
memaksa rasa marah dan frustrasinya pergi.
Aku mengangkat salah satu alisku.
―Kau tadi baru akan menjelaskan kenapa kau memilih Eastern,‖ dia
memaksa.
―Sangat sulit untuk dijelaskan,‖ jawabku sambil mengangkat bahu. ―Aku
hanya merasa ini pilihan yang tepat.‖
Dia tersenyum saat dia membuka menu. ―Aku tahu maksudmu.‖
®LoveReads
Bab 2
Babi (Pig)
Sepertinya aku baru saja tertidur saat alarm berbunyi. Aku meraih untuk
mematikannya tapi langsung menarik tanganku kembali dengan cepat
ketika merasakan kulit yang hangat di bawah jariku. Aku mencoba
mengingat di mana aku berada. Ketika aku mengingatnya, membuatku
merasa malu kalau sampai Travis berpikir aku melakukan itu dengan
sengaja.
―Travis? Alarmmu,‖ aku berbisik. Dia tetap tidak bergerak. ―Travis!‖
aku memanggilnya lagi sambil menyikutnya. Ketika dia tetap tidak
bergerak, aku meraih alarm itu melewati tubuh Travis, meraba-raba di
kegelapan hingga aku merasakan bagian atasnya jam. Tak yakin
bagaimana mematikannya, aku memukul-mukul bagian atasnya hingga
tombol snooze terpijit dan menjatuhkan diri lagi ke atas bantal dengan
gusar.
Travis tertawa.
―kau sudah bangun?‖
―Aku sudah berjanji akan menjaga sikapku. Tapi aku tidak bilang apa-
apa tentang membiarkanmu berbaring di atasku.‖
―Aku tidak berbaring di atasmu,‖ protesku. ―Aku tidak bisa meraih jam
itu. Itu adalah alarm yang paling mengganggu yang pernah aku dengar.
Suaranya seperti binatang yang sekarat.‖
Dia meraih jam itu dan memijit tombolnya. ―kau mau sarapan?‖
Aku melotot ke arahnya kemudian menggelengkan kepalaku. ―Aku tidak
lapar.‖
―Well, aku lapar. Kenapa kita tidak pergi ke kafe?‖
―Kupikir aku tidak bisa menerima kurangnya keterampilan menyetirmu
sepagi ini,‖ jawabku. Aku mengayunkan kakiku keluar dari tempat tidur
dan memakai sandalku lalu berjalan menuju pintu.
―Mau kemana?‖ dia bertanya.
―Bersiap-siap ke kampus. Apakah kau butuh rincian kegiatanku selama
aku disini?‖
Travis menggeliat, berjalan menuju ke arahku, masih memakai
boxernya. ―Apakah kau selalu temperamen seperti ini atau akan mereda
setelah kau percaya aku tidak sedang membuat skema yang rumit agar
bisa tidur denganmu?‖ Tangannya memegang bahuku dan aku
merasakan ibu jarinya menyentuh kulitku.
―Aku tidak temperamental.‖
Dia membungkuk mendekat dan berbisik di telingaku. ―Aku tidak akan
tidur denganmu, Pidge. Aku terlalu menyukaimu.‖
Dia berjalan melewatiku menuju kamar mandi, dan aku diam berdiri,
terpana. Ucapan Kara berputar ulang di pikiranku. Travis Maddox tidur
dengan semua orang; aku tak bisa mencegah merasa rendah diri dalam
beberapa hal sampai-sampai dia tak punya keinginan untuk tidur
denganku.
Pintu terbuka kembali, dan America berjalan masuk. ―Wakey, wakey,
eggs and bakey!‖ Dia tersenyum lalu menguap.
―kau menjadi seperti ibumu, Mare,‖ aku bergumam sambil mengaduk-
aduk tasku.
―Ooohh...apakah seseorang ada yang kurang tidur tadi malam?‖
―Dia bahkan tidak bernafas ke arahku,‖ aku berkata.
Senyum penuh arti muncul di wajahnya. ―Oh.‖
―Oh apa?‖
―Tidak apa-apa,‖ dia menjawab, kembali masuk ke kamar Shepley.
Travis sedang berada di dapur, menyenandungkan lagu asal-asalan
sambil membuat telur urak-arik.
―kau yakin tidak mau?‖ dia bertanya.
―Aku yakin. Terimakasih.‖
Shepley dan America masuk dan Shepley mengeluarkan dua piring dari
dalam lemari, memegangnya ketika Travis menyendokkan setumpuk
telur panas ke atas setiap piring. Shepley meletakan piring di atas meja
dapur lalu dia dan America duduk berdua, memuaskan nafsu lapar
mereka setelah ‗beraktivitas‘ tadi malam.
―Jangan melihatku seperti itu, Shep. Maafkan aku, aku hanya tak ingin
pergi,‖ America berkata.
―Sayang, the House mengadakan pesta kencan dua kali dalam setahun,‖
Shepley bicara sambil mengunyah. ―Acaranya bulan depan. kau akan
punya banyak waktu untuk mencari gaun dan melakukan hal lainnya
yang biasa dilakukan wanita.‖
―Ya benar, Shep...itu sangat manis...tapi aku tidak mengenal siapapun di
sana.‖
―Akan ada banyak wanita yang datang tanpa mengenal siapapun di
sana,‖ dia berkata, terkejut karena penolakan America.
America merosot di kursinya. ―Cewek-cewek sorority (perkumpulan
persaudaraan mahasiswi) yang menyebalkan diundang ke acara seperti
itu. Mereka semua mengenal satu sama lain...Itu akan aneh nantinya.‖
―Ayolah, Mare. Jangan biarkan aku pergi sendirian.‖
―Well...mungkin kau bisa menemukan seseorang untuk mengajak
Abby?‖ dia berkata sambil melihat padaku lalu ke arah Travis.
Travis menaikkan satu alisnya, dan Shepley menggelengkan kepalanya.
―Trav tak pernah datang ke acara seperti itu. Itu yang harus kau hadiri
bersama pacarmu...dan Travis tidak...kau tahu, kan.‖
America mengangkat bahunya. ―Kita bisa mengenalkannya pada
seseorang.‖
Aku memicingkan mataku ke arah mereka. ―Aku bisa mendengarmu,
tahu.‖
America memberiku pandangan yang tidak mungkin aku tolak.
―Tolonglah, Abby? Kita akan mencarikanmu seorang pria yang baik,
lucu, pintar dan aku akan memastikan dia tampan...Aku berjanji kau
akan bersenang-senang! Dan siap tahu, mungkin kau akan cocok
dengannya.‖
Travis meletakan wajan di tempat cuci piring. ―Aku tidak bilang aku
tidak akan mengajak dia.‖
Aku memutar mataku. ―Tidak perlu membantuku, Travis.‖
―Bukan itu maksudku, Pidge. Pesta kencan adalah pesta yang didatangi
pria dengan kekasihnya, dan seperti yang sudah kalian tahu, aku tidak
pernah pacaran. Tapi aku tak ingin khawatir kau akan mengharapkan
cincin tunangan setelah itu.‖
America memanyunkan bibirnya. ―Aku mohon, Abby.‖
―Jangan melihatku seperti itu!‖ Aku mengeluh. ―Travis tak ingin datang,
aku juga tak ingin...kita tidak akan bersenang-senang.‖
Travis melipat tangannya dan bersandar di tempat cuci piring. ―Aku
tidak bilang aku tak ingin datang. Kurasa akan menyenangkan bila kita
berempat bisa datang,‖ dia mengangkat bahunya.
Semua mata menatapku, dan aku mundur satu langkah. ―Kenapa kita
tidak hang out di sini saja?‖
America cemberut dan Shepley bersandar ke depan. ―Karena aku harus
datang, Abby. Aku anggota baru; Aku harus memastikan semua berjalan
lancar, memastikan semua orang memegang bir di tangannya, hal-hal
semacam itu.‖
Travis berjalan ke luar dapur dan meletakkan tangannya di bahuku,
menarikku ke arahnya.
―Ayolah, Pidge. Maukah kau pergi denganku?‖
Aku memandang America, lalu Shepley dan akhirnya ke arah Travis
lagi. ―Ya, aku mau,‖ aku menghela nafas.
America berteriak lalu memelukku, dan aku merasakan tangan Shepley
di punggungku.
―Terimakasih, Abby,‖ kata Shepley.
®LoveReads
Bab 3
Komentar Pedas (Cheap Shot)
Finch menghisap sekali lagi. Asap keluar dari hidungnya dalam dua
kepulan tebal. Aku mengarahkan wajahku ke arah matahari saat dia
menceritakan tentang acara dansa, minuman keras dan teman barunya
yang gigih selama weekend kemarin.
―Jika kau tidak menyukainya, mengapa kau membiarkannya
membelikanmu minuman?‖ aku tertawa.
―Jawabannya sederhana, Abby. Aku sedang tidak punya uang.‖
Aku tertawa lagi, dan Finch menusukan sikunya padaku lalu melihat
Travis berjalan ke arah kami.
―Hai, Travis,‖ Finch menyapa sambil mengedipkan sebelah matanya
padaku.
―Finch,‖ dia mengangguk. Dia memegang kunci. ―Aku akan pulang,
Pidge. Apakah kau butuh tumpangan?‖
―Aku baru saja akan ke asrama,‖ jawabku, aku tersenyum padanya
sambil memakai kacamataku.
―kau tak akan tinggal bersamaku malam ini?‖ dia bertanya, wajahnya
tampak terkejut dan kecewa.
―Tidak, aku akan menginap di sana. Hanya saja aku harus mengambil
beberapa barang yang lupa aku bawa dari asrama.‖
―Barang apa?‖
―Well, pisau cukurku misalnya. Apa pedulimu?‖
―Memang sudah waktunya kau mencukur bulu kakimu. Karena melukai
punyaku,‖ dia berkata sambil menyeringai nakal.
Mata Finch melotot saat memandangku sekilas, dan aku cemberut ke
arah Travis. ―Itulah awalnya bagaimana gosip menyebar!‖ aku melihat
ke arah Finch dan menggelengkan kepalaku. ―Aku tidur di tempat
tidurnya... hanya tidur.‖
―Ya, benar,‖ kata Finch sambil tersenyum puas.
Aku memukul tangan Finch sebelum menghentak pintu agar terbuka dan
menaiki tangga. Ketika aku tiba di lantai dua, Travis berada di
sampingku.
―Oh, jangan marah. Aku hanya bercanda.‖
―Semua orang sudah berpikiran kita berhubungan seks. Dan kau
membuatnya semakin parah.‖
―Siapa yang peduli dengan yang apa mereka pikirkan?‖
―Aku, Travis, aku peduli,‖ aku mendorong pintu kamarku hingga
terbuka, memasukan barangku ke dalam sebuah tas kecil, lalu
melangkah keluar dan Travis mengikuti di belakang. Dia tertawa saat
mengambil tas dari tanganku dan aku melotot padanya. ―Itu tidak lucu.
Apakah kau ingin semua orang di kampus berpikir kalau aku adalah
salah satu perekmu?‖
Travis mengerutkan dahinya. ―Tidak ada seorangpun yang berpikir
seperti itu. Dan jika ada, mereka akan berharap aku tak pernah
mendengarnya.‖
Dia menahan pintu terbuka untukku, dan setelah aku melewatinya, aku
berhenti tiba-tiba di depannya. ―Aww!‖ dia terkejut saat menabrakku.
Aku membalik tubuhku. ―Ya Tuhan! Semua orang mungkin berpikir kita
pacaran tapi kau tetap melakukan... gaya hidupmu, tanpa rasa malu sama
sekali. Aku pasti terlihat sangat menyedihkan!‖
Aku berkata, baru menyadarinya saat aku bicara. ―Kupikir aku tak akan
tinggal bersamamu lagi. Kita harus saling menjauh untuk sementara.‖
Aku mengambil tas darinya dan dia merebutnya lagi.
―Tak ada seorangpun yang berpikir kita pacaran, Pidge. kau tak harus
berhenti bicara padaku untuk membuktikannya.‖
Kami tarik-menarik memperebutkan tas, dan ketika dia menolak untuk
melepaskannya, aku menggeram keras dengan frustrasi. ―Apakah pernah
ada seorang wanita—yang hanya teman—tinggal bersamamu? Apakah
kau pernah menawarkan tumpangan pada seorang wanita pulang dari
kampus? Apa kau makan siang dengannya setiap hari? Tidak ada yang
tahu apa yang mereka pikirkan tentang kita, meskipun kita telah
menjelaskannya!‖
Dia berjalan ke parkiran sambil memegangiku. ―Aku akan perbaiki itu,
ok? Aku tak ingin ada seseorang yang berpikiran buruk tentangmu
karena aku,‖ dia berkata dengan ekspresi terganggu.
Matanya berbinar lalu tersenyum. ―Biarkan aku menebusnya.
Bagaimana kalau kita pergi ke The Dutch malam ini?‖
―Itu bar untuk para biker,‖ aku mencibir, memperhatikan dia mengikat
tasku pada motornya.
―Ok, kalau begitu kita pergi ke club. Aku akan mengajakmu makan
malam lalu kita ke The Red Door. Aku traktir.‖
―Bagaimana bisa makan malam dan pergi clubbing akan memperbaiki
masalah? Kalau orang lain melihat kita pergi bersama, itu akan
membuatnya semakin buruk.‖
Dia menaiki motornya. ―Coba pikir, aku, mabuk, di ruangan penuh
wanita setengah telanjang? Tidak akan membutuhkan waktu yang lama
untuk mereka mengetahui bahwa kita bukan pasangan.‖
―Jadi aku harus melakukan apa? Membawa pria pulang dari bar untuk
mengantarku pulang?‖
―Aku tidak berkata begitu. Tak perlu terlalu berlebihan,‖ dia berkata
sambil mengerutkan dahinya.
Aku memutar mataku lalu naik ke atas motor, dan meletakkan tanganku
di pinggangnya. ―Apakah nanti ada seorang wanita yang akan ikut kita
pulang dari bar? Itu kah caramu menebusnya padaku?‖
―kau tidak cemburu kan, Pigeon?‖
―Cemburu pada apa? Pada pembawa penyakit seksual menular yang
bodoh yang akan
menyerangmu dan membuatmu kesal pada pagi harinya?‖
Travis tertawa, lalu menyalakan Harley-nya. Dia melesat menuju
apartemen dengan kecepatan dua kali lipat dari kecepatan maksimum.
Aku menutup mataku agar tidak melihat pada bayangan pohon dan
mobil yang kami lewati.
Saat turun dari motornya, aku memukul bahunya. ―Apakah kau lupa
bahwa ada aku di belakangmu?
Apa kau mencoba untuk membunuhku?‖
―Sangat sulit untuk melupakanmu ada di belakangku saat pahamu
menjepitku dengan sangat erat.‖
Seringai bodoh muncul di wajahnya karena membayangkan yang tidak-
tidak. ―Aku tidak bisa membayangkan cara untuk mati yang lebih baik
dari ini.‖
―Ada yang benar-benar salah dengan dirimu.‖
Kami baru saja masuk ketika America berjalan keluar dari kamar
Shepley. ―Kami berencana untuk pergi keluar malam ini, kalian ingin
ikut?‖
Aku memandang Travis dan tersenyum. ―Kami berencana makan sushi
sebelum pergi ke The Red.‖
America tersenyum lebar. ―Shep!‖ dia memanggil sambil berlari ke
kamar mandi. ―Kita akan pergi keluar malam ini!‖
Aku mendapat giliran terakhir untuk mandi, Shepley, America dan
Travis sudah tidak sabar menunggu di depan pintu ketika aku keluar dari
kamar mandi memakai gaun hitam dan sepatu bertumit warna pink.
America bersiul. ―Sangat seksi!‖
Aku tersenyum menghargai, dan Travis mengangkat tangannya. ―Kaki
yang indah.‖
―Apakah aku sudah bilang kalau itu pisau cukur ajaib?‖
―Aku pikir bukan karena pisau cukurnya,‖ dia tersenyum sambil
menarikku keluar pintu.
Kami merasa terlalu bising dan tidak nyaman di sushi bar, kami sudah
cukup banyak minum sebelum pergi ke The Red Door. Shepley
memasuki tempat parkir, berputar-putar mencari tempat untuk parkir.
―Cepatlah, Shep,‖ America menggerutu.
®LoveReads
―Heh. Aku harus menemukan tempat yang agak luas untuk parkir. Aku
tak ingin orang idiot yang mabuk merusak cat mobilku.‖
Setelah kita parkir, Travis memajukan kursinya ke depan dan
membantuku keluar. ―Kalian membuat KTP palsu dimana? Itu sangat
rapi. Sulit untuk mendapatkannya di sini.‖
―Ya, kami memilikinya sudah cukup lama. Itu sangat penting...di
Wichita.‖ jawabku.
―Penting?‖ Travis bertanya.
―Untung kau memiliki koneksi,‖ kata America. Dia cegukan dan
menutup bibirnya sambil cekikikan.
―Ya ampun,‖ Shepley berkata sambil memegang tangan America saat
dia berjalan sempoyongan di atas kerikil. ―Kupikir kau sudah terlalu
banyak minum malam ini.‖
Travis penasaran. ―Apa maksudmu, Mare? Koneksi apa?‖
―Abby mempunyai teman lama yang—‖
―Itu KTP palsu, Trav,‖ kataku memotong. ―kau harus mengenal orang
yang tepat agar hasilnya bagus, benar kan?‖
America sengaja memalingkan wajahnya dari Travis dan aku menunggu.
―Benar,‖ dia menjawab, tangannya memegang tanganku.
Aku memegang tiga jari Travis dan tersenyum, mengetahui ekspresinya
yang tak puas atas jawabanku.
―Aku membutuhkan minum lagi,‖ kataku sebagai usaha kedua untuk
mengubah topik pembicaraan.
―Minum!‖ America berteriak.
Shepley memutar matanya. ―Ya benar, itu yang kau butuhkan, minuman
lagi.‖
Setelah di dalam, Amarica langsung menarikku ke lantai dansa. Rambut
pirangnya berantakan, dan aku tertawa pada bibirnya yang di dorong
maju seperti bebek saat dia bergerak mengikuti musik. Ketika lagu
berakhir, kita bergabung dengan Shepley dan Travis di meja bar. Ada
seorang wanita yang sangat seksi, berambut pirang pucat di samping
Travis, dan ekspresi mabuk America berubah menjadi rasa jijik.
―Akan selalu seperti ini sepanjang malam, Mare. Acuhkan saja mereka,‖
Shepley berkata sambil menunjuk kearah sekumpulan wanita yang
berada tidak jauh dari kami menggunakan kepalanya.
Mata mereka memandangi si pirang, menunggu giliran mereka untuk
mendekati Travis.
―Seperti Vegas yang memuntahkan domba pada sekawanan burung
nasar,‖ America mengejek.
Travis menyalakan rokoknya saat memesan dua botol bir, si pirang
sedikit mendesah, membasahi bibirnya lalu tersenyum. Bartender
membuka tutup botol dan menyerahkannya pada Travis. Si pirang
mengambil salah satu botol bir itu tapi Travis mengambilnya kembali
dari tangannya.
―Bukan untukmu,‖ Travis berkata padanya lalu menyerahkannya
padaku.
Awalnya aku berpikir untuk membuang bir itu ke tempat sampah tapi
wanita itu tampak tersinggung, lalu aku tersenyum dan meminum bir itu.
Dia melangkah pergi dengan dongkol dan aku tersenyum karena
tampaknya Travis tak peduli.
―Memangnya aku akan membelikan minuman untuk seorang wanita di
bar,‖ dia berkata sambil menggelengkan kepalanya. Aku mengangkat
botol bir ku ke atas dan dia tersenyum kecil. ―kau berbeda.‖
Aku bersulang dengannya. ―Untuk menjadi satu-satunya wanita yang
tidak diajak tidur oleh pria yang tidak punya aturan.‖ Kataku sambil
meneguk birku.
―Apakah kau serius?‖ dia bertanya sambil menarik botol bir dari
mulutku. Dan ketika aku tidak menarik kembali kata-kataku, dia
bersandar mendekat ke arahku. Pertama...aku punya aturan. Aku tidak
pernah bersama wanita jelek, tidak pernah. Kedua, aku ingin tidur
denganmu. Aku telah membayangkan menidurimu di sofaku dengan
lima puluh cara yang berbeda, tapi aku tidak melakukannya karena aku
tidak melihatmu seperti itu lagi sekarang. Bukan karena aku tidak
tertarik padamu, aku hanya berpikir bahwa kau lebih baik dari itu.‖
Aku tak dapat menahan senyuman puas yang merayap di wajahku. ―kau
berpikir bahwa aku terlalu baik untukmu?‖
Dia menyeringai pada penghinaan keduaku. ―Aku tak dapat
menyebutkan satu priapun yang cukup baik untukmu.‖
Kesombonganku mencair hilang dan digantikan oleh perasaan tersentuh
dan senyum menghargai.
―Terimakasih, Trav,‖ kataku sambil meletakan botol kosongku di atas
meja bar.
Travis menarik tanganku. ―Ayo,‖ dia berkata sambil menarikku ke
tengah kerumunan di lantai dansa.
―Aku terlalu banyak minum! Aku akan terjatuh!‖
Travis tersenyum dan menarikku ke arahnya, memegang pinggulku.
―Diam dan berdansalah.‖
America dan Shepley muncul di samping kami. Gerakan Shepley seperti
dia terlalu banyak nonton video klipnya Usher. Travis hampir
membuatku panik dengan caranya memelukku. Jika dia menggunakan
salah satu dari gerakan ini di sofa, aku dapat mengerti mengapa banyak
wanita mau dipermalukan keesokan harinya.
Dia bergerak dengan lincah di pinggulku, dan aku menyadari kalau
ekspresinya berbeda, hampir serius. Aku menggerakan tanganku di atas
dadanya yang tanpa cacat dan six-pack yang saat itu meregang dan
menjadi keras di bawah kaos ketatnya mengikuti musik. Aku
membelakanginya dan tersenyum ketika dia memeluk pinggangku.
Ditambah alkohol dalam darahku, ketika dia menarik tubuhku ke
tubuhnya, aku berpikir itu semua lebih dari sekedar hanya teman.
Lagu berikutnya terlalu bersemangat untuk kita berdansa, dan Travis
tidak menunjukan tanda kalau dia ingin kembali ke meja bar. Butiran
keringat di belakang leherku, lampu sorot warna-warni membuatku
sedikit pusing. Aku menutup mataku dan menyandarkan kepalaku di
bahunya. Dia memegang tanganku dan menariknya ke atas lehernya.
Tangannya bergerak ke bawah dari tanganku, lalu ke tulang rusukku
akhirnya kembali ke pinggulku. Ketika aku merasakan bibirnya lalu
lidahnya di leherku, aku menjauh darinya.
Dia tertawa sedikit terkejut. ―Ada apa, Pidge?‖
Kemarahanku menyala, membuat kata-kata pedas yang ingin aku
katakan tertahan di tenggorokanku. Aku kembali menuju bar dan
memesan Corona lagi. Travis mengambil tempat duduk di sampingku,
mengangkat jarinya untuk memesan satu lagi. Tak lama setelah
bartender meletakan botol di hadapanku, aku meneguk setengah isinya
sebelum membantingnya ke atas meja bar.
―Kau pikir itu akan mengubah pikiran semua orang tentang kita?‖
tanyaku sambil menarik rambut untuk menutupi tempat yang dia cium.
Dia tertawa sekali. ―Aku tak peduli dengan apa yang mereka pikirkan
tentang kita.‖
Aku menatapnya dengan pandangan jijik lalu melangkah pergi.
―Pigeon,‖ panggilnya sambil menyentuh tanganku.
Aku menjauh darinya. ―Jangan. Aku tak akan pernah cukup mabuk
untuk membiarkanmu menidurkanku di sofa itu.‖
Wajahnya berubah menjadi marah, tapi sebelum dia mengatakan
sesuatu, seorang wanita yang sangat menarik berambut hitam dengan
bibir penuh, mata biru yang sangat besar memakai baju yang belahan
dadanya sangat rendah mendekatinya.
―Well, ternyata benar ini Travis Maddox,‖ dia berkata sambil
menggerakan dadanya naik turun di tempat yang tepat.
Travis meminum birnya sambil tetap memandang ke dalam mataku.
―Hai, Megan.‖
―Perkenalkan aku pada pacarmu,‖ dia tersenyum.
Aku memutar mataku karena betapa keterus terangannya menyedihkan.
Travis menengadahkan kepalanya untuk meminum habis birnya lalu
mendorong dan luncurkan botol kosongnya di sepanjang meja bar.
Semua orang yang sedang menunggu giliran untuk memesan
memperhatikan botol itu hingga akhirnya jatuh dan masuk ke tempat
sampah di ujung meja. ―Dia bukan pacarku.‖
Dia menarik tangan Megan yang dengan senang hati berjalan di
belakangnya menuju lantai dansa.
Travis ‗menyerangnya‘ selama lagu pertama, lagu berikutnya,
berikutnya. Mereka menarik perhatian dengan cara Megan membiarkan
Travis menggerayanginya dan ketika dia membungkukan Megan, aku
berpaling dari mereka.
―kau kelihatan kesal,‖ kata seorang pria yang duduk di sampingku. ―Apa
dia pacarmu?‖
―Bukan, dia hanya temanku,‖ aku menggerutu.
―Well, bagus kalau begitu. Karena akan jadi canggung kalau itu adalah
pacarmu,‖ dia memandang ke arah lantai dansa, menggelengkan
kepalanya ke arah tontonan itu.
―Aku tahu,‖ jawabku sambil meminum habis birku. Aku hampir
merasakan efek dari dua minumanku sebelumnya, dan gigiku mati rasa.
―Apakah kau mau minum lagi?‖ dia bertanya. Aku menatapnya dan dia
tersenyum. ―Namaku Ethan.‖
―Aku Abby,‖ jawabku sambil meraih uluran tangannya.
Dia mengangkat dua jarinya untuk memesan dua lagi pada bartender lalu
aku tersenyum. ―Terimakasih.‖
―Apakah kau tinggal di sekitar sini?‖ dia bertanya.
―Aku tinggal di asrama Morgan di Eastern.‖
―Aku tinggal di apartemen di Hinley.‖
―kau tinggal di negara bagian lain?‖ aku bertanya. ―Itu kan...satu jam
perjalanan? Apa yang kau lakukan di sini?‖
―Aku lulus Mei kemarin. Adikku kuliah di Eastern. Aku tinggal
dengannya sepanjang minggu ini sambil mencari pekerjaan.‖
―Oh...menjalani kehidupan nyata ya?‖
Ethan tertawa. ―Dan itu sama seperti yang mereka katakan.‖
Aku mengeluarkan lipgloss-ku dari dalam tas dan memoleskannya di
bibirku, menggunakan cermin yang menempel sepanjang dinding di
belakang bar.
―Warnanya bagus,‖ dia berkata sambil memperhatikanku menekan
bibirku.
Aku tersenyum, merasa marah pada Travis dan karena banyaknya
alkohol. ―Mungkin kau akan mencobanya nanti.‖
Mata Ethan berbinar ketika aku mendekat, lalu aku tersenyum ketika dia
menyentuh lututku. Dia menarik tangannya kembali ketika Travis berdiri
diantara kami.
―kau siap, Pidge?‖
―Aku sedang mengobrol, Travis,‖ kataku sambil mendorongnya.
Bajunya basah karena bersirkus di lantai dansa, lalu aku sengaja
mengelapkan tanganku pada rokku.
Travis menyeringai. ―Apakah kau benar-benar mengenal pria ini?‖
―Namanya Ethan,‖ jawabku, sambil tersenyum semenggoda mungkin ke
arah Ethan.
Dia mengedipkan satu matanya padaku, memandang Travis lalu
mengulurkan tangannya. ―Senang bertemu denganmu.‖
Travis melihat sekilas ke arahku dan aku mendengus. ―Ethan ini Travis,‖
aku bergumam pelan.
―Travis Maddox,‖ dia menambahkan, menatap tangan Ethan seperti
akan merobeknya hingga lepas.
Mata Ethan melebar dan dengan canggung menarik kembali tangannya.
―Travis Maddox? Travis Maddox dari Eastern?
Aku meletakan kepalan tanganku di pipiku, takut akan terjadi pertikaian
yang dipicu hormon testosteron yang tidak terelakkan.
Travis meregangkan tangannya di belakangku untuk berpegangan pada
meja bar. ―Ya benar, kenapa?‖
―Aku melihat pertarunganmu dengan Shawn Jenks tahun lalu. Aku pikir
aku akan menyaksikan kematian seseorang!‖
Travis menatap tajam ke arahnya ―Apakan kau ingin melihatnya lagi?‖
Ethan tertawa sekali dan menatap pada kami bergantian. Ketika dia
menyadari Travis serius, dia tersenyum padaku meminta maaf lalu pergi.
―kau siap pergi sekarang?‖ Travis membentak.
―kau benar-benar brengsek, kau tahu itu?‖
―Aku pernah di panggil lebih parah,‖ dia berkata sambil membantuku
turun dari kursi bar.
®LoveReads
Kami mengikuti America dan Shepley menuju mobil, dan ketika Travis
berusaha memegang tanganku untuk menuntun ke tempat parkir, aku
menepiskan tangannya. Dia berbalik dan aku tersentak lalu berhenti,
mundur ke belakang ketika dia hanya beberapa inchi dari wajahku.
―Aku harusnya tinggal menciummu dan mengakhiri semua ini!‖ dia
berteriak. ―kau sangat menggelikan! Aku mencium lehermu, terus
kenapa?‖
Aku dapat mencium bau bir dan rokok dari nafasnya lalu aku
mendorongnya. ―Aku bukan teman berhubungan seks, Travis.‖
Dia menggelengkan kepalanya karena tidak percaya. ―Aku tidak pernah
bilang kau begitu! kau selalu bersamaku dua puluh empat jam sehari,
kau tidur di tempat tidurku tapi sepanjang waktu kau bertingkah seperti
kau tidak ingin terlihat bersamaku!‖
―Aku datang kemari bersamamu!‖
―Aku selalu memperlakukanmu dengan hormat, Pidge.‖
Aku berdiri tegak. ―Tidak, kau memperlakukanku seperti aku adalah
barang milikmu. kau tidak berhak mengusir Ethan seperti itu!‖
―Apakah kau tahu Ethan itu siapa?‖ dia bertanya. Ketika aku
menggelengkan kepalaku, dia mendekat. ―Aku tahu dia siapa. Dia
pernah di penjara karena pelecehan seksual, tapi tuntutannya di
batalkan.‖
Aku melipat tanganku. ―Oh, jadi kalian mempunyai kesamaan?‖
Mata Travis menyipit, dan otot rahangnya berkedut di bawah kulitnya.
―Apakah kau memanggilku pemerkosa? ― dia bertanya dengan dingin
dan pelan.
Aku menekan bibirku, bahkan lebih marah karena Travis benar. Aku
sudah bertindak terlalu jauh.
―Tidak, aku hanya marah padamu!‖
―Aku habis minum-minum, kulitmu hanya beberapa inchi dari wajahku,
kau cantik dan kau sangat wangi saat berkeringat. Aku menciummu!
Maafkan aku! Lupakanlah!‖
Alasannya membuat bibirku tersenyum. ―Menurutmu aku cantik?‖
Dia mengernyit dengan muak. ―Kau sangat cantik dan kau tahu itu. Apa
yang kau tertawakan?‖
Aku berusaha menyembunyikan rasa kagumku dengan tidak
mengakuinya. ―Tidak ada apa-apa. Ayo pergi.‖
Travis tertawa satu kali dan menggelengkan kepalanya. ―Apa..? kau..?
kau adalah orang yang sangat merepotkan!‖ dia berteriak dan melotot
padaku. Aku tak bisa berhenti tersenyum, setelah beberapa lama, Travis
mulai tersenyum. Dia menggelengkan kepalanya lagi dan melingkarkan
tangannya di leherku. ―kau membuatku gila. Apa kau tahu itu?‖
®LoveReads
Travis melihat kebawah dengan acuh tak acuh, lalu membuka pintu,
memberi isyarat agar aku masuk. Aku melewati Kara yang sedang
belajar di atas tempat tidurnya, disibukkan oleh buku pelajaran yang ada
di sekelilingnya.
―Pemanas airnya telah diperbaiki pagi ini,‖
―Aku tahu,‖ kataku sambil mengaduk-aduk isi lemariku.
―Hai,‖ Travis menyapa Kara.
Wajah Kara berubah saat keadaan Travis yang berkeringat dan berdarah.
―Travis, ini teman sekamarku, Kara Lin. Kara, ini Travis Maddox.‖
―Senang berkenalan denganmu,‖ Kara berkata sambil meperbaiki posisi
kacamata di hidungnya.
Dia melihat sekilas pada tasku yang menggembung karena penuh
barang. ―Apa kau akan pindah?‖
―Tidak, hanya kalah taruhan.‖
Tawa Travis terbahak lalu mengambil tasku. ―Siap?‖
―Ya. Bagaimana cara kita membawa semua barang ini ke apartemen?
Kita kan naik motor.‖
Travis tersenyum lalu mengeluarkan handphonenya. Dia membawa
tasku ke luar, dan beberapa menit kemudian mobil Charger hitam klasik
Shepley berhenti.
Jendela di kursi penumpang turun dan America menjulurkan kepalanya
keluar. ―Hai, Chickie!‖
―Hai juga. Pemanas air di asrama sudah diperbaiki, apakah kau tetap
akan tinggal dengan Shepley?‖
Dia berkedip. ―Ya, kupikir aku akan menginap di sana malam ini. Aku
dengar kau kalah taruhan.‖
Sebelum aku sempat menjawabnya, Travis menutup bagasi mobil lalu
Shepley melesat pergi dan America memekik ketika dia jatuh bersandar
di kursinya.
Kami berjalan menuju motor, dan ketika aku memeluk pinggangnya, dia
memegang tanganku.
―Aku senang kau menginap malam ini, Pidge. Aku tidak pernah merasa
begitu senang saat bertarung.‖
Aku mengangkat kepalaku di bahunya lalu tersenyum. ―Itu karena kau
sedang berusaha memenangkan taruhan ini.‖
Dia melirik ke belakang menatapku. ―Benar, aku benar-benar berusaha
untuk menang.‖ Tidak ada kegirangan di matanya, dia sangat serius dan
dia ingin aku melihatnya.
Alisku terangkat. ―Itu kah sebabnya kau bad mood hari ini? Karena tahu
pemanas air di asrama telah di perbaiki dan aku akan pulang malam
ini?‖
Travis tidak menjawab; dia hanya tersenyum lalu menyalakan motornya.
Perjalanan menuju apartemen sangat lambat. Di setiap stopan, Travis
akan memegang tanganku atau lututku. Batasnya tidak jelas lagi, dan
aku khawatir bagaimana kami akan menjalani satu bulan bersama tanpa
merusak semuanya. Ujung tali persahabatan kita bergantung dengan cara
yang tidak pernah aku bayangkan.
Ketika kita tiba di tempat parkir apartemen, mobil Shepley terparkir di
tempat biasa.
Aku berdiri di depan tangga. ―Aku tidak suka kalau mereka tiba lebih
dulu di rumah. Aku merasa seperti kita akan mengganggu mereka.‖
―Biasakan. Ini rumahmu untuk empat minggu ke depan,‖ Travis
tersenyum dan berbalik menghadapku. ―Ayo naik.‖
―Apa?‖ aku tersenyum.
―Ayo, aku akan menggedongmu ke atas.‖
Aku terkekeh dan naik ke atas punggungnya, berpegangan di atas
dadanya saat dia berlari ke atas.
America membuka pintu sebelum kami sampai di atas dan tersenyum.
―Lihat kalian berdua. Jika aku tidak tahu yang sebenarnya...‖
―Hentikan, Mare,‖ Shepley berteriak dari sofa.
America tersenyum seperti dia telah terlalu banyak bicara, dan membuka
pintu dengan lebar agar cukup untuk kami berdua bisa masuk. Travis
ambruk di kursi malas. Aku berteriak ketika dia menindihku di bawah
punggungnya.
―kau tampak sangat ceria malam ini, Trav. Ada apa?‖ America bertanya.
Aku duduk tegak untuk melihat wajah Travis. Aku tak pernah melihat
dia begitu bahagia.
―Aku baru saja memenangkan banyak uang, Mare. Dua kali lipat dari
yang aku kira akan dapatkan. Kenapa tidak bahagia?‖
―Bukan itu, sepertinya ada alasan lain,‖ America berkata lagi ketika
melihat tangan Travis membelai pahaku. Dia benar; Travis berbeda. Ada
aura kedamaian di sekitarnya, hampir seperti ada rasa kepuasan baru
yang menghuni di jiwanya.
―Mare,‖ Shepley memperingatkan.
―Baiklah, aku akan membicarakan hal lain. Bukankah Parker
mengundangmu ke pesta Sig Tau akhir minggu ini, Abby?‖
Senyum Travis menghilang dan dia melihat padaku, menunggu jawaban.
―Ehm...Ya? Bukankah kita semua akan datang?‖
―Aku akan datang,‖ Shepley menjawab, sambil melihat tv.
―Dan itu artinya aku juga datang.‖ America tersenyum, memandang
Travis penuh harap.
Travis memandangiku sejenak, lalu menyikut kakiku. ―Apa dia akan
menjemputmu?‖
―Tidak, dia hanya memberitahuku tentang pesta itu.‖
Bibir America tersenyum nakal, hampir seperti mengangguk dalam
antisipasi. ―Tapi kan dia bilang akan bertemu denganmu di sana, dia
sangat manis.‖
Travis menatap America dengan kesal lalu menatapku. ―Apa kau akan
datang?‖
―Aku bilang padanya aku akan datang,‖ aku mengangkat bahuku. ―Apa
kau akan datang?‖
―Ya, aku akan datang,‖ jawabnya tanpa ragu.
Perhatian Shepley kembali pada Travis, saat itu. ―Tapi minggu kemarin
kau bilang tidak akan datang.‖
―Aku berubah pikiran, Shep, apa masalahnya?‖
―Tidak ada.‖ Dia menggerutu lalu kembali masuk kamarnya.
America cemberut pada Travis. ―kau tahu masalahnya apa,‖ dia
menjawab. ―Kenapa kau tidak berhenti membuatnya gila dan
menyelesaikan semua.‖ Dia bergabung dengan Shepley di kamarnya,
dan suara mereka menjadi bisikan di belakang pintu yang tertutup.
―Well, aku senang semua orang tahu,‖ kataku.
Travis berdiri. ―Aku akan mandi sebentar.‖
―Apakah mereka sedang ada masalah?‖ tanyaku.
―Tidak, dia hanya paranoid.‖
―Karena kita,‖ aku menebak. Mata Travis menyala lalu dia mengangguk.
―Apa?‖ aku bertanya, menatapnya curiga.
―kau benar. Itu karena kita. Jangan tidur dulu, ya? Aku ingin
membicarakan sesuatu denganmu.‖
Dia berjalan mundur beberapa langkah, lalu menghilang di belakang
pintu kamar mandi. Aku memilin rambutku dengan jari, merenungkan
cara dia menekankan kata kita, dan ternyata hanya aku yang
menganggap bahwa Travis dan aku hanya berteman.
Shepley keluar dari kamar, dan America mengejarnya. ―Shep, jangan!‖
dia memohon.
Shepley melihat ke belakang ke arah pintu kamar mandi lalu menatapku.
Suaranya pelan tapi terdengar marah.
―kau sudah berjanji, Abby. Ketika aku bilang jangan menghakimi
Travis, bukan berarti kalian harus berhubungan! Kukira kalian hanya
berteman!‖
―Kita memang hanya berteman,‖ jawabku, terkejut dengan serangannya.
―Tidak, kalian lebih dari teman!‖ dia benar-benar marah.
America menyentuh bahunya. ―Sayang, aku sudah bilang bahwa semua
akan baik-baik saja.‖
Dia menjauh dari tangan America. ―Kenapa kau membiarkan ini, Mare?
kau tahu apa yang akan terjadi!‖
America memegang wajah Shepley dengan dua tangannya. ―Dan aku
bilang itu semua tidak akan terjadi! Tidakkah kau percaya padaku?‖
Shepley menghela nafas, memandang ke arah America, lalu padaku,
kemudian menghentak masuk ke kamarnya.
America duduk di sampingku, terengah. ―Aku tidak bisa membuatnya
mengerti bahwa meskipun hubunganmu dengan Travis berjalan lancar
atau tidak, itu tidak akan mempengaruhi hubungan aku dan dia. Itu
karena dia sudah pernah terluka beberapa kali. Dia tidak percaya
padaku.‖
―Apa yang kau bicarakan, Mare? Travis dan aku tidak pacaran. Kita
hanya teman. kau dengar yang dia katakan tadi...dia tidak tertarik
padaku seperti itu.‖
―kau mendengarnya?‖
―Well, ya.‖
―Dan kau percaya itu?‖
Aku mengangkat bahuku. ―Itu tidak penting. Itu tidak akan terjadi. Dia
bilang padaku dia tidak menginginkanku seperti itu, dia benar-benar
fobia pada komitmen. Aku akan sulit mencari teman wanita yang belum
pernah dia tiduri selain dirimu, dan aku tidak bisa mengikuti moodnya
yang selalu berubah. Aku tidak percaya Shep berpikir sebaliknya.‖
―Bukan hanya karena dia mengenal Travis...dia telah bicara dengan
Travis, Abby.‖
―Apa maksudmu?‖
―Mare?‖ Shepley memanggilnya dari kamar tidur.
America menghela nafas. ―Kau adalah sahabatku. kupikir aku lebih
mengenalmu dari pada dirimu sendiri kadang-kadang. Aku telah melihat
kalian berdua, dan satu-satunya perbedaan antara aku dan Shep dengan
kau dan Travis adalah kami berhubungan seks. Selain dari itu? Tak ada
bedanya.‖
―Ada perbedaan yang sangat, sangat besar. Apakah Shep membawa
pulang wanita yang berbeda setiap malam? Apakah kau akan datang ke
pesta besok untung hang out bersama pria yang berpotensi untuk jadi
teman kencan? kau tahu aku tidak bisa berhubungan dengan Travis,
Mare. Aku bahkan tak tahu kenapa kita membicarakan hal ini.‖
Ekspresi America berubah menjadi kekecewaan. ―Aku tidak mengada-
ada, Abby. kau telah menghabiskan banyak waktu bersamanya selama
sebulan lebih. Mengakulah, kau menyukai dia.‖
―Hentikan, Mare,‖ Travis berkata sambil mengencangkan handuk di
pinggangnya.
Aku dan America terkejut mendengar suara Travis, dan ketika mata kita
bertemu, aku dapat melihat kebahagiaan di matanya telah hilang. Dia
berjalan meninggalkan ruangan tanpa mengatakan apapun lagi, lalu
America menatapku dengan ekspresi sedih.
―Kupikir kau membuat kesalahan,‖ dia berbisik. ―kau tak perlu pergi ke
pesta itu untuk bertemu seorang pria, kau sudah memilikinya yang
tergila-gila padamu, di sini.‖ Dia berkata lalu meninggalkanku sendiri.
Aku duduk di atas kursi malas, membiarkan apa yang sudah terjadi di
minggu-minggu terakhir ini berputar kembali di pikiranku. Shepley
marah padaku, America kecewa terhadapku, dan Travis...dia berubah
dari paling bahagia yang pernah aku lihat menjadi sangat tersinggung
hingga membuat dia tidak dapat mengatakan apapun. Terlalu gugup
untuk berbaring bersamanya, aku memandangi jam dari menit ke menit.
Satu jam telah berlalu ketika Travis keluar dari kamarnya, berjalan
menelusuri lorong, dan ketika dia muncul, aku mengharapkan dia
menyuruhku tidur, tapi dia telah berpakaian rapi dengan kunci motor di
tangannya. Kacamatanya menyembunyikan matanya, lalu dia
memasukan rokok ke mulutnya sebelum memegang pegangan pintu.
―kau akan pergi?‖ aku bertanya sambil duduk tegak. ―Mau pergi
kemana?‖
―Keluar,‖ dia menjawab sambil menghentak pintu hingga terbuka lalu
membanting pintu di belakangnya.
Aku terjatuh ke kursi malas kemudian menghela nafas. Entah bagaimana
aku merasa seperti penjahat tapi tidak mengerti kenapa merasa
demikian.
Ketika jam di atas televisi menunjukan jam dua pagi, akhirnya aku
menyerah dan pergi tidur. Kasur terasa kosong tanpa dirinya, dan ide
untuk menelepon handphone-nya terus muncul di pikiranku.
Aku hampir tertidur ketika motor Travis berhenti di tempat parkir. Dua
pintu mobil tertutup tidak lama kemudian lalu beberapa pasang langkah
kaki menaiki tangga. Travis meraba-raba kunci pintu, lalu pintu terbuka.
Dia tertawa dan bergumam, lalu aku mendengar bukan satu tapi dua
suara wanita. Cekikikan mereka berganti menjadi suara ciuman dan
erangan. Hatiku hancur, dan aku langsung marah karena merasa seperti
itu. Aku menutup rapat mataku saat salah satu dari wanita itu menjerit,
dan aku yakin suara setelah itu adalah suara mereka bertiga ambruk di
atas sofa.
Aku sedang menimbang untuk meminjam mobil pada America, namun
kamar Shepley berada tepat di depan sofa, dan aku tak sanggup
menyaksikan pemandangan yang sesuai dengan suara ribut di ruang
tamu. Aku menenggelamkan kepalaku di bawah bantal dan menutup
mataku saat pintu terbuka. Travis berjalan melintasi ruangan lalu
membuka laci meja lampu tidur yang paling atas, meraih mangkuk
kondomnya kemudian menutup laci dan berlari kecil keluar. Si wanita
cekikikan selama kurang lebih setengah jam lalu hening.
Beberapa lama kemudian, erangan, dengungan dan teriakan terdengar
keseluruh ruangan. Terdengar seperti sedang membuat film porno di
ruang tamu. Aku menutup wajah dengan tanganku sambil mengelengkan
kepala. Batas apapun yang hilang atau tidak jelas selama minggu
kemarin, telah di gantikan oleh dinding batu yang tidak bisa di tembus.
Aku menepiskan emosi bodohku, memaksaku untuk tenang. Travis
adalah Travis, dan kita...tanpa tanpa diragukan lagi...hanya teman...dan
hanya teman.
Teriakan dan suara yang memuakkan berhenti setelah satu jam, diikuti
oleh suara merengek lalu menggerutu dari si wanita setelah diusir keluar.
Travis mandi lalu ambruk di sisi tempat tidurnya, membelakangiku.
Meskipun sudah mandi, dia masih tercium seperti dia telah banyak
meminum whiskey untuk membuat mabuk seekor kuda, dan aku marah
karena dia mengendarai motornya pulang dalam keadaan seperti itu.
Setelah rasa canggung hilang dan kemarahan berkurang, aku masih
belum bisa tidur. Ketika nafas Travis menjadi dalam dan tetap, aku
duduk untuk melihat jam. Matahari sudah akan muncul dalam kurang
dari satu jam. Aku membuka selimut, berjalan menelusuri lorong lalu
mengambil selimut dari lemari di lorong. Bukti dari Travis telah
melakukan threesome adalah dua bungkus kondom yang kosong di
lantai. Aku melangkah melewatinya lalu menjatuhkan diri di kursi
malas.
Aku menutup mataku. Ketika aku membukanya lagi, America dan
Shepley sedang duduk di sofa dengan diam sambil menonton tv yang
dimatikan suaranya. Matahari menerangi apartemen dan aku meringis
ketika punggungku terasa sakit saat aku berusaha bergerak.
Perhatian America tertuju padaku. ―Abby?‖ dia berkata, melangkah
cepat ke arahku. Dia melihatku dengan waspada. Dia menunggu
kemarahan, air mata, atau emosi lainnya untuk keluar.
Shepley tampak tersiksa. ―Aku menyesal tentang semalam, Abby. Ini
adalah salahku.‖
Aku tersenyum. ―Tidak apa-apa, Shep. kau tidak perlu minta maaf.‖
America dan Shepley saling berpandangan lalu America menarik
tanganku. ―Travis sedang pergi ke toko. Dia...ehm, tidak penting siapa
dia. Aku telah mengemas semua barangmu dan aku akan membawamu
ke asrama sebelum dia pulang sehingga kau tidak harus berhadapan
dengannya.
Pada saat itulah aku ingin menangis; aku diusir. Aku berusaha agar
suaraku tenang sebelum aku bicara. ―Apa aku punya waktu untuk mandi
terlebih dulu?‖
America menggelengkan kepalanya. ―Ayo langsung pergi, Abby. Aku
tak ingin kau melihatnya. Dia tidak pantas untuk—,‖
Pintu terbuka dan Travis berjalan masuk, tangannya penuh dengan tas
belanjaan. Dia berjalan langsung menuju dapur, berusaha menyimpan
kaleng dan kotak ke dalam lemari.
―Kalau Pidge sudah bangun, beritahu aku ya?‖ dia berkata dengan suara
pelan. ―Aku punya spagheti, pancake, stroberi dan oatmeal dengan
coklat, dan dia suka sereal Fruit Pebles, benar kan, Mare?‖ dia bertanya
dan berbalik.
Ketika dia melihatku, dia terdiam. Setelah jeda yang canggung,
ekspresinya mencair dan suaranya menjadi lembut dan manis. ―Hai,
Pigeon.‖
Aku tidak akan merasa lebih bingung dari ini kalau saja aku terbangun
dan ada di negara asing.
Tidak ada yang masuk akal. Awalnya kupikir aku telah diusir, lalu
Travis datang membawa tas yang penuh dengan makanan kesukaanku.
Dia melangkah ke ruang tamu, dengan gugup memasukan tangan ke
sakunya. ―kau lapar, Pidge?
Aku akan membuatkanmu beberapa pancake. Atau ada...ehm, ada
oatmeal. Dan aku membelikanmu busa pink yang biasa di pakai wanita
untuk bercukur, hairdryer dan…ehm...tunggu sebentar, itu ada disini,‖
dia berkata lalu terburu-buru menuju kamar tidur.
Pintu terbuka, tertutup dan dia muncul kembali, wajahnya pucat. Dia
mengambil nafas panjang dan alisnya ditarik ke atas. ―Semua barangmu
di kemas.‖
―Aku tahu,‖ jawabku.
―kau akan pergi,‖ dia berkata, merasa kalah.
Aku menatap America, yang menatap Travis seperti dia ingin
membunuhnya. ―Apa kau benar-benar berpikir dia akan tinggal?‖
―Sayang,‖ Shepley berbisik.
―Jangan memulai, Shep. Jangan berani-beraninya kau membela dia di
depanku,‖ America mendesis marah.
Travis tampak putus asa. ―Maafkan aku, Pidge. Aku bahkan tak tahu
harus mengatakan apa.‖
―Ayo, Abby,‖ America berkata. Dia berdiri dan menarik tanganku.
Travis menghalangi, namun America menunjuk padanya. ―Ya Tuhan,
Travis! Jika kau berusaha untuk menghentikan dia, aku akan
menyiramkan bensin padamu dan menyalakan api saat kau tidur!‖
―America,‖ Shepley berkata, terdengar sedikit putus asa. Aku dapat
melihat dia terkoyak diantara sepupu dan wanita yang dia cintai, dan aku
merasa kasihan padanya. Situasi inilah yang sejak awal ingin dia hindari.
―Aku baik-baik saja,‖ aku berkata, putus asa karena ketegangan yang
ada di ruangan ini.
―Apa maksudmu kau baik-baik saja?‖ Shepley bertanya, hampir
berharap.
Aku memutar mataku. ―Travis membawa wanita dari bar pulang tadi
malam, lalu kenapa?‖
America tampak khawatir. ―Hah, Abby. Maksudmu kau tidak keberatan
dengan apa yang terjadi?‖
Aku memandang mereka semua. ―Travis dapat membawa pulang
siapapun yang dia mau. Inikan apartemennya.‖
America menatapku seperti aku sudah kehilangan akalku, Shepley
hampir tersenyum dan Travis tampak lebih buruk dari sebelumnya.
―Bukan kau yang mengemas barangmu?‖ tanya Travis.
Aku menggelengkan kepalaku dan melirik jam; sudah jam 2 siang lewat.
―Tidak, dan sekarang aku harus membongkar semuanya lagi. Aku masih
harus makan, mandi dan berpakaian...‖ aku berkata sambil melangkah
masuk kamar mandi. Setelah pintu tertutup di belakangku, aku bersandar
di pintu dan terduduk di lantai. Aku yakin telah membuat America
sangat kesal, akan tetapi aku telah berjanji pada Shepley dan aku berniat
untuk menepatinya.
Ketukan pelan di pintu terdengar di atasku. ―Pidge?‖ Travis memanggil.
―Apa?‖ jawabku, berusaha terdengar normal.
―Apakah kau akan tetap tinggal di sini?‖
―Aku akan pergi jika kau ingin aku pergi, tapi taruhan tetap taruhan.‖
Pintu bergetar karena benturan pelan dari dahi Travis pada pintu. ―Aku
tidak ingin kau pergi, tapi aku tidak akan menyalahkanmu kalau kau
pergi.‖
―Maksudmu aku terbebas dari taruhan?‖
Ada jeda yang cukup lama. ―Kalau aku bilang ya, apa kau akan pergi?‖
―Well, ya tentu saja. Aku kan tidak tinggal di sini, bodoh,‖ aku
menjawab, memaksakan tertawa.
―Kalau begitu tidak, taruhan tetap berjalan.‖
Aku melihat ke atas dan menggelengkan kepala, merasakan air mata
mulai turun. Aku tak tahu kenapa aku menangis, aku tidak bisa
menahannya. ―Bolehkah aku mandi sekarang?‖
―Ya...,‖ dia menghela nafas.
Aku mendengar suara sepatu America memasuki lorong dan menuju ke
arah Travis. ―Dasar bajingan egois kau,‖ dia menggeram sambil
membanting pintu kamar Shepley di belakangnya.
Aku mendorong tubuhku agar berdiri, menyalakan shower, membuka
pakaianku lalu menarik tirai di belakangku.
Setelah beberapa ketukan di pintu, Travis berdehem. ―Pigeon? Aku
membawakan beberapa barangmu.‖
―Simpan saja di wastafel. Nanti aku akan mengambilnya.‖
Travis masuk lalu menutup pintu di belakangnya. ―Aku sangat marah.
Aku mendengar kau mengatakan semua hal yang buruk tentang aku
pada America dan itu membuatku sangat kesal. Aku hanya bermaksud
untuk pergi dan minum beberapa gelas dan berusaha memikirkan
semuanya, tapi sebelum aku menyadarinya, aku sudah sangat mabuk dan
cewek-cewek itu...,‖ dia terdiam. ―Aku terbangun pagi ini dan kau tidak
ada di tempat tidur, dan ketika aku menemukanmu di kursi lalu melihat
bungkus kondom di lantai, aku merasa mual.‖
―kau bisa bertanya padaku dari pada menghabiskan banyak uang di toko
hanya untuk menyuapku agar tinggal.‖
―Aku tidak peduli tentang uang, Pidge. Aku sangat takut kau akan pergi
dan tidak akan pernah bicara padaku lagi.‖
Aku merinding karena penjelasannya. Aku tidak bisa berhenti
memikirkan bagaimana perasaannya ketika mendengarku bicara tentang
betapa tidak pantasnya dia untukku, dan sekarang situasinya terlalu
kacau untuk dapat di selamatkan.
―Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu,‖ aku berkata dari bawah
pancuran air.
―Aku tahu itu. Dan aku tahu apapun yang aku katakan tidak akan
merubah apapun sekarang, karena aku mengacaukan semuanya, seperti
biasa yang aku lakukan.‖
―Trav?‖
―Ya?‖
―Jangan mengendarai motor sambil mabuk lagi, ya?‖
Aku menunggu selama satu menit hingga akhirnya dia menarik nafas
panjang dan berkata. ―Ya, baiklah,‖ dia berkata sambil menutup pintu di
belakangnya.
®LoveReads
Bab 5
Parker Hayes
Aku menyalakan hair dryer baruku dan mulai berdandan untuk kencanku
dengan Parker. Aku mengeriting rambutku, memoles kuku dan bibirku
dengan warna merah tua. Itu memang sedikit berlebihan untuk kencan
pertama. Aku mengerutkan dahi pada diriku sendiri. Bukan Parker yang
ingin aku buat terkesan. Bagaimanapun aku tidak dalam posisi untuk
merasa tersinggung ketika Travis menuduhku mempermainkannya.
Melihat sekali lagi pada cermin, rasa bersalah melandaku. Travis
berusaha terlalu keras dan aku seperti anak bandel keras kepala. Aku
melangkah keluar ke ruang tamu dan Travis tersenyum, bukan reaksi
yang aku harapkan sama sekali.
―kau...sangat cantik.‖
―Terima kasih,‖ jawabku, bingung karena tidak ada rasa terganggu atau
rasa cemburu dalam suaranya.
Shepley bersiul. ―Pilihan yang bagus, Abby. Cowok suka warna merah.‖
―Dan rambut kritingnya sangat indah,‖ America menambahkan.
Bel pintu berbunyi dan America tersenyum, melambai dengan rasa
senang yang berlebihan.
―Selamat bersenang-senang!‖
Aku membuka pintu. Parker memegang satu karangan kecil bunga, dia
memakai celana panjang dan dasi. Matanya melihat pada gaun dan
sepatuku lalu kembali ke wajahku.
―kau adalah makhluk paling cantik yang pernah kulihat,‖ dia berkata,
terpesona.
Aku melihat ke belakang untuk melambai pada America yang sedang
tersenyum sangat lebar sehingga aku bisa melihat semua giginya.
Ekspresi Shepley seperti seorang ayah yang bangga pada anak
perempuannya, dan Travis tidak melepaskan pandangannya dari tv.
Parker mengulurkan tangannya, menuntunku ke mobil Porsche-nya yang
mengkilap. Setelah kami di dalam mobil, dia menghembuskan nafasnya.
―Kenapa?‖ aku bertanya.
―Aku harus bilang, aku sedikit gugup menjemput wanita yang membuat
Travis Maddox jatuh cinta...dari apartemennya. kau tak tahu berapa
banyak orang yang mengira aku gila hari ini.‖
―Travis tidak jatuh cinta padaku. Dia hampir tidak pernah tahan berada
di dekatku kadang-kadang.‖
―Kalau begitu itu hubungan cinta tapi benci? Karena ketika aku
menceritakan pada teman-temanku bahwa aku mengajakmu kencan
malam ini, mereka mengatakan hal yang sama. Kelakuan Travis tidak
menentu — bahkan lebih dari biasanya — mereka semua menyimpulkan
hal yang sama.‖
―Mereka salah.‖ Aku bersikeras.
Parker menggelengkan kepalanya karena aku benar-benar tidak mengerti
maksudnya. Dia memegang tanganku.
―Sebaiknya kita pergi. Aku sudah memesan tempat.‖
―Di mana?‖
―Biasetti. Aku berinisiatif...aku harap kau suka masakan Italia.‖
Aku mengangkat satu alisku. ―Bukankah itu waktu yang singkat untuk
melakukan reservasi, tempat itu selalu penuh.‖
―Well...itu adalah restoran keluargaku. Separuhnya.‖
―Aku suka masakan Italia,‖ aku tersenyum.
®LoveReads
Keesokan paginya, aku menuangkan jus jeruk kedalam gelas besar, lalu
meminumnya satu teguk sambil mengayunkan kepalaku mengikuti
alunan musik dari IPod-ku. Aku terbangun sebelum matahari terbit dan
menggeliat di kursi hingga jam menunjukan angka delapan. Setelah itu
aku memutuskan membersihkan dapur untuk menghabiskan waktu
hingga teman sekamarku yang kurang ambisius terbangun. Aku
memasukan piring kotor ke dalam dishwasher lalu mengelap dan
mengepel, lalu mengelap meja. Ketika dapur sudah bersih, aku
mengambil sekeranjang baju bersih lalu duduk di sofa, melipatnya
hingga ada beberapa lusin lebih tumpukan mengelilingiku.
Terdengar suara bisikan dari arah kamar Shepley. America cekikikan
lalu hening beberapa saat, diikuti suara yang membuatku merasa sedikit
tidak nyaman saat sedang duduk sendirian di ruang tamu.
Aku menyusun tumpukan baju yang telah dilipat ke dalam keranjang
lalu membawanya ke kamar Travis, tersenyum ketika aku melihat bahwa
dia tidak bergerak dari posisi ketika jatuh tadi malam.
Aku menurunkan keranjang ke bawah dan menarik selimut
menutupinya, menahan tawa ketika dia berbalik.
―Pemandangan, Pigeon,‖ dia berkata, menggumamkan sesuatu yang
tidak terdengar sebelum nafasnya kembali pelan dan dalam.
Aku tidak bisa menahannya untuk memperhatikan dia tidur; mengetahui
dia memimpikan diriku mengirimkan getaran ke pembuluh darahku
yang tidak dapat aku jelaskan. Travis terbaring diam, maka aku mandi,
berharap suara orang yang sudah bangun dan ada di sekitarnya dapat
menghentikan suara erangan Shepley dan America serta suara berderit
dan benturan tempat tidur pada dinding. Ketika aku mematikan pancuran
air, aku menyadari mereka tidak peduli siapa yang mendengar.
Aku menyisir rambutku, memutar mataku saat America memekik
dengan suara keras, yang lebih mirip suara anjing pudel daripada bintang
film porno. Bel pintu berbunyi lalu aku mengambil jubah handuk biruku
dan mengikatkan talinya, berlari kecil melintasi lantai ruang tamu. Suara
dari arah kamar Shepley langsung berhenti lalu aku membuka pintu dan
melihat wajah Parker yang tersenyum. ―Selamat pagi,‖ dia berkata.
Aku menyisir rambut basahku dengan jari. ―Apa yang kau lakukan
disini?‖
―Aku tidak menyukai cara kita mengucapkan selamat tinggal tadi
malam. Aku pergi keluar tadi pagi untuk membeli hadiah ulang tahun
untukmu, dan aku tidak sabar untuk memberikannya padamu. Jadi…,‖
dia berkata sambil mengeluarkan kotak mengkilap dari saku jaketnya,
―Selamat ulang tahun, Abs.‖
Dia meletakan kotak perak di tanganku dan aku mendekat untuk
mencium pipinya. ―Terimakasih.‖
―Ayo, aku ingin melihat wajahmu saat kau membukanya.‖
Aku memasukan jariku ke bawah selotip di bawah kotaknya, lalu
menarik lepas bungkus kertasnya, memberikannya pada Parker. Sebuah
untaian berlian yang berkilauan menghiasi gelang emas putih.
―Parker,‖ aku berbisik.
Dia berseri-seri. ―kau menyukainya?‖
―Ya, aku menyukainya,‖ jawabku memegangnya di depan wajahku
dengan kagum, ―Tapi ini berlebihan. Aku tidak dapat menerimanya
meskipun kita telah berkencan selama satu tahun, apalagi baru
seminggu.‖
Parker menyeringai. ―Aku tahu kau pasti berpikir begitu. Aku sudah
kemana-mana sepanjang pagi ini untuk mencari hadiah ulang tahun yang
sempurna, dan ketika aku melihat ini, aku tahu hanya ada satu tempat
yang tepat untuknya,‖ dia berkata, mengambilnya dari jariku dan
memasangkannya di pergelangan tanganku. ―Dan aku benar. Itu terlihat
sangat indah dipakai olehmu.‖
Aku mengangkat pergelangan tanganku lalu menggelengkan kepala,
terhipnotis oleh kecemerlangan warnanya yang bereaksi terhadap sinar
matahari. ―Ini adalah benda yang paling indah yang pernah aku lihat.
Tidak pernah seorangpun memberiku sesuatu yang sangat..,‖ kata mahal
terlintas di pikiranku, tapi aku tidak mengatakannya, ―rumit. Aku tidak
tahu harus berkata apa.‖
Parker tertawa lalu mencium pipiku. ―Katakan kau akan memakainya
besok.‖
Aku tersenyum lebar. ―Aku akan memakainya besok,‖ aku berkata
sambil memandangi pergelangan tanganku.
―Aku senang kau menyukainya. Ekspresi wajahmu sebanding dengan
tujuh toko yang aku datangi.‖
Aku menghela nafas. ―kau mendatangi tujuh toko?‖ Dia mengangguk,
dan aku memegang wajahnya.
―Terima kasih. Ini sempurna,‖ aku berkata sambil menciumnya.
Dia memelukku dengan erat. ―Aku harus pergi. Aku akan makan siang
dengan orangtuaku, tapi aku akan meneleponmu nanti, ok?‖
―Ok. Terimakasih!‖ aku berteriak ke arahnya, memperhatikan dia yang
berlari kecil menuruni tangga.
Aku langsung masuk ke dalam, tidak bisa berhenti memandangi
pergelangan tanganku.
―Ya ampun, Abby!‖ America berkata, memegang tanganku. ―Dari mana
kau mendapatkan ini?‖
―Parker yang membelinya. Ini adalah hadiah ulang tahunku dari Parker!‖
America ternganga, lalu melihat ke arah gelang. ―Dia membelikanmu
berlian sebesar bola tenis? Setelah seminggu? Jika aku tidak
mengenalmu lebih baik, aku akan mengira kau mempunyai
selangkangan ajaib!‖
Aku tertawa keras, memulai festival cekikikan konyol di ruang tamu.
Shepley keluar dari kamarnya, kelihatan lelah tapi puas. ―Apa yang
kalian tertawakan di sini?‖
America mengangkat pergelangan tanganku.
―Lihat! Hadiah ulang tahunnya dari Parker!‖
Shepley memicingkan matanya lalu matanya terbuka lebar. ―Wow.‖
―Hebat, kan?‖ America berkata sambil mengangguk.
Travis terhuyung keluar dari kamarnya, terlihat sedikit lelah. ―Kalian
sangat berisik,‖ dia mengeluh, mengancingkan celana jinsnya.
―Maaf,‖ kataku, menarik tanganku dari genggaman America. ‗Moment-
hampir‘ kita menyelinap di pikiranku, dan aku tidak mampu menatap
matanya.
Dia meminum habis sisa jus jerukku, lalu mengelap mulutnya. ―Siapa
yang membiarkanku minum sangat banyak tadi malam?‖
America menyeringai, ―kau. kau pergi keluar dan membeli lima botol
setelah Abby pergi dengan Parker, dan sudah menghabiskannya saat dia
pulang.‖
―Sialan,‖ dia berkata, menggelengkan kepalanya. ―Apa kau bersenang-
senang?‖ dia bertanya, melihat ke arahku.
―Apakah kau serius?‖ aku bertanya, memperlihatkan kemarahanku
sebelum berpikir.
―Kenapa?‖
America tertawa. ―kau menariknya keluar dari mobil Parker, terlihat
memerah saat kau mengetahui mereka bercumbu seperti anak sekolah
yang mabuk. Mereka membuat jendela beruap dan semuanya!‖
Mata Travis tidak fokus, memindai ingatannya tentang yang terjadi tadi
malam. Aku berusaha menahan amarahku. Jika dia tidak ingat
menarikku keluar dari mobil, dia tidak akan ingat aku hampir
menyerahkan keperawananku padanya di atas piring perak.
―Seberapa kesalnya dirimu?‖ dia bertanya sambil meringis.
―Sangat kesal.‖ Aku lebih marah karena perasaanku tidak ada
hubungannya dengan Parker. Aku mengikat tali jubahku lebih erat dan
berjalan menelusuri lorong. Langkah Travis berada di belakangku.
―Pidge,‖ dia memanggilku, menangkap pintu ketika aku menutupnya di
depan wajahnya. Dia perlahan mendorong pintu terbuka dan berdiri di
depanku, menunggu untuk menerima kemarahanku.
―Apa kau mengingat semua yang kau katakan padaku tadi malam?‖ aku
bertanya.
―Tidak, kenapa? Apakah aku kasar padamu?‖ Matanya yang merah
terlihat berat karena khawatir, yang hanya memperkuat rasa marahku.
―Tidak, kau tidak kasar padaku! kau...kita...‖ aku mentup mataku dengan
tangan, lalu membeku ketika merasakan tangan Travis di pergelangan
tanganku.
―Dari mana ini?‖ dia bertanya, memandang ke arah gelang.
―Ini punyaku,‖ aku menjawab, menarik tanganku darinya.
Dia tidak melepaskan pandangannya dari pergelangan tanganku. ―Aku
tidak pernah melihatnya sebelumnya. Itu kelihatannya baru.‖
―Benar.‖
―Dari mana kau mendapatkannya?‖
―Parker memberikannya padaku sekitar lima belas menit yang lalu,‖ aku
berkata, melihat wajahnya berubah dari kebingungan menjadi marah.
―Apa yang dilakukan orang brengsek itu di sini? Apa dia menginap di
sini?‖ dia bertanya, suaranya semakin tinggi pada setiap pertanyaan.
Aku menyilangkan tanganku. ―Dia pergi belanja untuk mencari hadiah
ulang tahun untukku lalu membeli ini.‖
―Ini kan belum hari ulang tahunmu.‖
Wajahnya berubah menjadi merah saat dia berusaha mengontrol
emosinya.
―Dia tidak tahan menunggu,‖ aku berkata, mengangkat daguku dengan
rasa bangga.
―Tidak heran aku harus menyeretmu keluar dari mobilnya,
kedengarannya kalian sedang...‖ dia terhenti, menekan bibirnya.
Aku menyipitkan mataku. ―Apa? Kedengarannya aku sedang apa?‖
Rahangnya menjadi tegang dan dia menarik nafas panjang,
menghembuskannya melalui hidung.
―Tidak sedang apa-apa. Aku hanya kesal dan tadi aku akan mengatakan
hal yang buruk yang akan aku sesali.‖
―Itu tidak pernah menghentikanmu sebelumnya.‖
―Aku tahu. Aku sedang berusaha memperbaikinya,‖ dia berkata sambil
melangkah menuju pintu.
―Aku akan membiarkanmu berpakaian.‖
Ketika dia meraih pegangan pintu, dia berhenti, menggosok tangannya.
Ketika dia menyentuh luka lebam berwarna ungu di kulitnya, dia
mengangkat sikunya dan melihat lukanya. Dia memandanginya sesaat,
lalu berbalik ke arahku.
―Aku terjatuh di tangga tadi malam. Dan kau membantuku ke tempat
tidur…‖ dia berkata, menyaring semua gambaran yang samar di
pikirannya.
Jantungku berdebar, aku sulit untuk menelan saat aku melihat kesadaran
menyerangnya. Matanya menyipit. ―Kita,‖ dia memulai, mengambil satu
langkah ke arahku, melihat ke arah lemari lalu ke tempat tidur.
―Tidak, kita tidak melakukannya. Tidak ada yang terjadi,‖ kataku sambil
menggelengkan kepala.
Dia meringis, ingatannya jelas berputar ulang di pikirannya. ―kau
membuat jendela Parker beruap, aku menarikmu keluar dari mobil, lalu
aku mencoba untuk…‖ dia berkata, menggelengkan kepalanya. Dia
berbalik menuju pintu dan menarik pegangan pintu, telapak tangannya
menjadi putih. ―kau membuatku menjadi seperti orang gila sialan,
Pigeon,‖ dia menggerutu. ―Aku tidak berpikiran lurus ketika berada di
dekatmu.‖
―Jadi ini salahku?‖
Dia berbalik. Matanya menatapku lalu jubahku, pahaku kemudian
kakiku, kembali ke mataku. ―Aku tidak tahu, ingatanku sedikit
kabur...namun aku tidak ingat kau berkata tidak.‖
Aku melangkah maju, siap untuk mendebat fakta kecil yang tidak
relevan itu, tapi aku tidak bisa. Dia benar. ―Apa yang kau ingin aku
katakan, Travis?‖
Dia melihat ke arah gelang lalu menatapku dengan pandangan menuduh.
―kau berharap aku tidak akan mengingatnya?‖
―Tidak! Aku sangat kesal bahwa kau lupa!‖
Mata coklatnya menatap mataku. ―Mengapa?‖
―Karena jika aku telah...kita telah…dan kau tidak...aku tidak tahu
mengapa! Aku pokoknya kesal!‖
Dia bergegas menyeberangi ruangan, berhenti beberapa inchi dariku.
Tangannya menyentuh kedua sisi wajahku, dia bernafas cepat saat dia
mengamati wajahku. ―Apa yang sedang kita lakukan, Pidge?‖
Mataku mulai memandang ikat pinggangnya, naik ke atas ke arah otot
dan tato di perut dan dadanya, dan berakhir di mata coklatnya yang
hangat. ―kau yang beritahu aku.‖
®LoveReads
Bab 7
Sembilan Belas
Gosip
Kita masuk ke tempat parkir, America melaju dengan pelan dan berhenti
diantara mobil Shepley dan motor Travis. Dia berjalan menuju tangga,
meletakkan tangan di pinggangnya dengan cara yang dramatis.
―Cepat, Abby!‖ America memanggil, membuatku bergerak
mengikutinya.
Dengan ragu, aku mengikutinya, langkahku terhenti saat melihat
Shepley menuruni tangga untuk berbicara dengan pelan di telinga
America. Dia menatapku, menggelengkan kepalanya lalu berbisik di
telinga America lagi.
―Ada apa?‖ aku bertanya.
―Shep pikir...,‖ America gelisah, ―Shep pikir bukan ide yang bagus kalau
kita masuk sekarang. Travis masih sangat marah.‖
―Maksudmu dia pikir aku tidak seharusnya masuk.‖ Aku berkata.
America mengangkat bahu dengan malu, lalu memandang Shepley.
Shepley menyentuh bahuku. ―Kau tidak melakukan kesalahan, Abby.
Dia hanya...dia hanya tidak ingin bertemu denganmu saat ini.‖
―Jika aku tidak melakukan kesalahan, lalu mengapa dia tidak ingin
bertemu denganku?‖
―Aku tak tahu kenapa; dia tidak memberitahuku. Kupikir dia merasa
malu karena lepas kendali di depanmu.‖
―Dia lepas kendali di depan semua orang di kafetaria! Apa hubungannya
denganku?‖
―Lebih dari yang kau pikir,‖ Shepley berkata, menghindari tatapan
mataku.
Aku memandang mereka beberapa saat, lalu mendorong mereka untuk
lewat, berlari menaiki tangga. Aku langsung melewati pintu dan melihat
ruang tamu yang kosong. Pintu kamar Travis tertutup rapat, maka aku
mengetuk pintu.
―Travis? Ini aku, buka pintunya.‖
―Pergilah, Pidge,‖ dia bicara dari balik pintu.
Aku mengintip ke dalam dan melihat dia sedang duduk di ujung tempat
tidur, menghadap ke jendela. Toto menggaruk punggungnya, tidak
merasa senang karena di abaikan.
―Apa yang terjadi pada dirimu, Trav?‖ aku bertanya. Dia tidak
menjawab, maka aku berdiri di sampingnya, melipat tangan di dadaku.
Wajahnya tegang, tapi ekspresinya sudah tidak semenakutkan seperti
tadi di kafetaria. Dia kelihatan sedih. Sangat putus asa. ―kau tidak akan
membicarakan ini denganku?‖
Aku menunggu, namun dia tetap diam. Aku berbalik menuju pintu dan
akhirnya dia menghela nafas. ―Kau ingat kemarin saat Brazil bicara yang
tidak-tidak tentangku dan kau langsung membelaku? Well...ini
kejadiannya seperti itu. Namun aku sedikit keterlaluan.‖
―Kau sudah marah sebelum Chris mengatakan sesuatu,‖ aku berkata,
kembali duduk di sampingnya di atas tempat tidur.
Dia kembali menatap jendela. ―Aku serius dengan yang aku katakan
tadi. kau harus pergi, Pidge. Tuhan tahu aku tidak bisa pergi darimu.‖
Aku menyentuh lengannya. ―Kau tidak serius ingin aku pergi.‖
Wajah Travis kembali tegang, lalu memelukku. Dia terdiam beberapa
saat lalu mencium keningku, menekan pipinya ke pelipisku. ―Tidak
peduli seberapa kerasnya aku berusaha. kau akan membenciku setelah
aku memberitahumu.‖
Aku memeluknya. ―Kita harus bersahabat. Aku tak akan menerima kata
tidak sebagai jawaban.‖
Alisnya naik lalu dia memelukku lagi dengan kedua tangannya, sambil
tetap melihat ke jendela.
―Aku memandangimu saat kau tidur. Kau selalu terlihat sangat damai.
Aku tak pernah merasa damai seperti itu. Aku selalu merasa marah dan
kesal yang bergejolak di dalam diriku—kecuali saat aku melihatmu yang
sedang tertidur. Itu yang sedang aku lakukan saat Parker masuk,‖ dia
melanjutkan. ―Aku sudah bangun dan dia masuk, namun hanya berdiri di
pintu dengan ekspresi terkejut di wajahnya. Aku tahu apa yang dia
pikirkan, tapi aku tidak meluruskannya. Aku tidak menjelaskan karena
aku ingin dia berpikir telah terjadi sesuatu di antara kita. Sekarang
seluruh kampus berpikir kau melakukannya dengan kami berdua dalam
satu malam yang sama.‖
Toto menyeruduk ke pangkuanku, dan aku mengusap telinganya. Travis
meraih untuk membelainya sekali, lalu memegang tanganku. ―Maafkan
aku.‖
Aku mengangkat bahu. ―Jika dia percaya gosip itu, itu salahnya sendiri.‖
―Sulit untuk berpikir hal lain saat dia melihat kita di atas tempat tidur.‖
―Dia tahu aku tinggal bersamamu. Lagi pula aku masih berpakaian
lengkap.‖
Travis menghela nafas. ―Dia mungkin sudah terlalu kesal untuk
menyadarinya. Aku tahu kau sangat menyukainya, Pidge. Aku
seharusnya menjelaskan padanya. Aku berhutang begitu banyak
padamu.‖
―Itu bukan masalah.‖
―kau tidak marah?‖ dia bertanya, terkejut.
―Itukah yang tadi membuatmu kesal? kau berpikir aku akan marah
padamu setelah kau memberitahuku yang sebenarnya?‖
―Seharusnya kau marah. Jika ada seseorang yang menjatuhkan
reputasiku, aku akan sangat marah.‖
―Kau tidak peduli tentang reputasi. Apa yang terjadi dengan Travis yang
tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan?‖ aku meledek sambil
menyikutnya.
―Itu sebelum aku melihat ekspresi wajahmu saat mendengar apa yang
dibicarakan semua orang. Aku tak ingin kau tersakiti karena aku.‖
―kau tidak akan pernah melakukan sesuatu yang akan menyakitiku.‖
―Aku lebih baik memotong tanganku daripada melakukannya.‖ Dia
menghela nafas. Dia meletakan pipinya di rambutku. Aku tidak
menjawab, dan Travis sepertinya sudah mengatakan semua yang ingin
dia katakan, jadi kita hanya duduk dan terdiam. Sesekali Travis
memelukku dengan erat di sampingnya. Aku berpegangan pada kaosnya,
tak tahu harus bagaimana lagi untuk membuatnya merasa lebih baik
selain hanya membiarkannya memelukku.
Ketika matahari tenggelam, aku mendengar ketukan di pintu. ―Abby?‖
suara America terdengar pelan di balik pintu.
―Masuklah, Mare,‖ Travis menjawab.
America masuk bersama dengan Shepley, dan dia tersenyum melihat
kami yang berpegangan tangan. ―Kita akan pergi makan. Kalian mau
makan di Pei Wei?‖
―Aahh…makanan Asia lagi, Mare? Serius?‖ Travis bertanya.
Aku tersenyum. Dia sudah terdengar seperti dirinya lagi.
America menyadarinya juga. ―Ya, serius. Kalian ikut atau tidak?‖
―Aku sangat lapar.‖ kataku.
―Tentu saja kau lapar, kau tidak sempat makan siang,‖ Travis berkata
sambil merengut. Dia berdiri, mengajakku bersamanya. ―Ayo kita pergi
cari makan untukmu.‖
Dia terus memelukku dan tidak melepaskannya hingga kita tiba di Pei
Wei.
Sesaat setelah Travis pergi ke kamar mandi, America mendekat. ―Jadi?
Apa yang dia katakan?‖
―Tidak mengatakan apa-apa.‖ aku mengangkat bahu.
Dia mengangkat alisnya. ―kau berada di kamarnya selama dua jam. Dia
tidak mengatakan apapun?‖
―Dia biasanya begitu kalau sedang marah.‖ Shepley berkata.
―Dia pasti mengatakan sesuatu.‖ America mendesak.
―Dia bilang dia agak kelewat batas dalam membelaku, dan bahwa dia
tidak memberitahu Parker yang sebenarnya ketika dia melihat kami.
Hanya itu,‖ kataku sambil merapikan botol garam dan merica.
Shepley menggelengkan kepala dan menutup matanya.
―Kenapa, sayang?‖ America berkata, duduk dengan tegak.
―Travis..,‖ dia menghela nafas, memutar matanya. ―Lupakan saja.‖
Ekspresi America keras kepala. ―Oh tidak, kau tidak bisa—,‖
Dia berhenti saat Travis duduk dan mengayunkan tangannya di
belakangku. ―Sialan! Makanannya belum datang juga?‖
®LoveReads
Kami tertawa dan bercanda hingga restoran tutup, lalu kita masuk ke
dalam mobil untuk pulang.
Shepley menggendong America ke atas di atas punggungnya, namun
Travis tetap diam di belakang, menarikku agar aku tidak mengikuti
mereka ke atas. Dia melihat ke atas memperhatikan mereka hingga
mereka menghilang di belakang pintu, lalu memberiku senyuman
menyesal. ―Aku berhutang permintaan maaf hari ini, jadi maafkan aku.‖
―kau sudah meminta maaf. Itu tidak apa-apa.‖
―Belum, tadi aku meminta maaf karena Parker. Aku tidak ingin kau
berpikir aku adalah orang gila yang suka menyerang orang lain hanya
karena masalah kecil,‖ dia berkata, ―tapi aku berhutang permintaan maaf
karena aku tidak membelamu untuk alasan yang tepat.‖
―Dan itu adalah…‖ aku mendesak.
―Aku menyerangnya karena dia bilang dia ingin menjadi yang
berikutnya, bukan karena dia mengganggumu.‖
―Menyindir itu ada batasnya, banyak alasan untukmu untuk
membelaku.‖
―Itu maksudku. Aku kesal karena aku menganggap dia ingin tidur
denganmu.‖
Setelah memproses apa yang Travis maksudkan, aku menarik ujung
kaosnya lalu meletakan kepalaku di dadanya. ―kau tahu? Aku tak
peduli,‖ kataku, menatap wajahnya. ―Aku tak peduli apa yang orang lain
katakan, atau saat kau kehilangan kendali, atau mengapa kau merusak
wajah Chris.
Hal yang tak ingin aku miliki adalah reputasi yang buruk, namun aku
lelah harus menjelaskan hubungan persahabatan kita pada semua orang.
Persetan dengan mereka.‖
Mata Travis melembut, dan ujung bibirnya terangkat ke atas.
―Persahabatan kita? Kadang aku bertanya kapan kau benar-benar mau
mendengarkanku.‖
―Apa maksudmu?‖
―Ayo kita masuk. Aku lelah.‖
Aku mengangguk. Dan dia memelukku di sampingnya sampai kita
masuk ke apartemen. America dan Shepley sudah masuk ke dalam
kamar tidur mereka, lalu aku mandi. Travis dan Toto menunggu di luar
saat aku mengenakan piyamaku, dalam waktu setengah jam, kami
berdua sudah berada di tempat tidur.
Aku membaringkan kepala di atas tanganku, menghembuskan nafas
panjang, mengeluarkan hembusan udara keluar. ―Hanya tinggal dua
minggu. Apa yang akan kau lakukan untuk drama ketika aku pindah
kembali ke asrama?‖
―Aku tak tahu,‖ dia berkata. Aku bisa melihat garis tersiksa di wajahnya,
meskipun di dalam kegelapan.
―Hey,‖ aku menyentuh tangannya. ―Aku hanya becanda.‖
Aku menatapnya lama, bernafas, berkedip dan berusaha untuk tenang.
Dia sedikit gelisah lalu melihat ke arahku. ―Kau percaya padaku,
Pidge?‖
―Ya, kenapa?‖
―Kemarilah,‖ dia berkata, menarikku mendekat ke arahnya. Aku menjadi
tegang beberapa saat sebelum membaringkan kepalaku di atas dadanya.
Apapun yang terjadi padanya, dia membutuhkanku di dekatnya, dan aku
merasa tidak keberatan walaupun aku menginginkannya.
Terasa sangat tepat berbaring di sampingnya.
®LoveReads
Bab 9
Janji
Telepon berbunyi mulai dari jam delapan pagi, lalu menjadi setiap lima
menit sekali selama satu jam.
―Abby!‖ Kara mengeluh. ―Angkat telepon bodohmu!‖
Aku meraih teleponku dan mematikannya. Sesaat setelah aku mematikan
teleponku aku mendengar ada yang menggedor pintu dan aku menyadari
aku tidak akan bisa menghabiskan hariku di atas tempat tidur seperti
yang sudah aku rencanakan.
Kara membuka pintu. ―Apa?‖
America mendorongnya lalu masuk melewatinya, dan berdiri di samping
tempat tidurku. ―Sialan, apa sih yang terjadi?‖ dia membentak. Matanya
merah dan bengkak, dan dia masih memakai piyamanya.
Aku bangun. ―Kenapa, Mare?‖
―Travis mengamuk! Dia tidak mau memberitahu kami, dia
menghancurkan apartemen, melempar stereo ke seberang ruangan. .Shep
tidak bisa membujuknya!‖
Aku menggosok mata dengan telapak tanganku, lalu berkedip. ―Aku
tidak tahu.‖
―Omong kosong! kau akan memberitahuku apa yang telah terjadi, dan
kau akan memberitahukannya sekarang!‖
Kara mengambil peralatan mandinya lalu pergi. Dia membanting pintu
di belakangnya, dan aku merengut, khawatir dia akan memberitahu
penasehat mahasiswa, atau lebih parah lagi, memberitahu Dekan
mahasiswa.
―Pelankan suaramu, America, ya Tuhan,‖ aku berbisik.
Dia menutup rapat bibirnya. ―Apa yang telah kau lakukan?‖
Kupikir dia hanya akan marah padaku; aku tak tahu dia akan mengamuk.
―Aku…tidak tahu,‖ aku menelan ludah.
―Dia melayangkan tinjunya ke arah Shepley ketika dia tahu kami
membantumu pergi. Abby! Kumohon beritahu aku!‖ Matanya berkaca-
kaca. ―Itu menakutiku.‖
Rasa ngeri di matanya membuatku memberitahukan hanya sebagian dari
yang terjadi sebenarnya. ―Aku hanya tidak dapat mengucapkan selamat
tinggal. kau tahu itu berat untukku.‖
―Bukan itu, pasti ada yang lain, Abby. Dia menjadi gila! Aku
mendengarnya memanggil namamu, lalu dia berlari ke seluruh sudut
apartemen mencari dirimu. Dia menerobos masuk ke kamar Shepley,
memaksa ingin mengetahui keberadaanmu. Lalu dia mencoba
meneleponmu. Lagi, dan lagi dan lagi,‖ dia menghela nafas.
―Wajahnya sangat. ya Tuhan, Abby. Aku belum pernah melihatnya
seperti itu.
Dia merobek sprei tempat tidurnya, lalu melemparnya, melempar
bantalnya, menghancurkan cerminnya dengan tinjunya, menendang
pintu…melepasnya dari engsel! Itu adalah kejadian yang paling
menakutkan dalam hidupku!‖
Aku menutup mataku, sehingga air mata di ujung mataku turun ke
pipiku.
America memberikan teleponnya padaku. ―kau harus meneleponnya.
kau setidaknya harus memberitahunya bahwa kau baik-baik saja.‖
―Ok, aku akan meneponnya.‖
Dia menyodorkan teleponnya lagi padaku. ―Tidak, kau harus
meneleponnya, sekarang.‖
Aku mengambil teleponnya dan menekan tombolnya, berusaha
memikirkan apa yang bisa aku katakan padanya. Dia merebut
teleponnya dari tanganku, menekan nomor lalu menyerahkannya
padaku. Aku memegang telepon di telingaku, dan mengambil nafas
panjang.
―Mare?‖ Travis menjawab teleponnya, suaranya sangat cemas.
―Ini aku.‖
Teleponnya hening sesaat sebelum akhirnya dia mulai bicara. ―Apa yang
terjadi padamu tadi malam? Aku terbangun pagi ini, kau tidak ada dan
kau…pergi begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal?
Mengapa?‖
―Maafkan aku. Aku—,‖
―kau minta maaf? Aku menjadi gila! kau tidak menjawab teleponmu,
menyelinap pergi dan, apa—kenapa?
Kupikir kita akhirnya menyadari semuanya!‖
―Aku hanya membutuhkan waktu untuk berpikir.‖
―Berpikir tentang apa?‖ dia terhenti. ―Apa aku telah menyakitimu?‖
―Tidak! Bukan itu! Aku benar-benar..benar-benar minta maaf. Aku
yakin America telah memberitahumu. Aku tidak mampu mengucapkan
selamat tinggal.‖
―Aku harus bertemu denganmu,‖ dia berkata, suaranya terdengar putus
asa.
Aku menghela nafas. ―Banyak yang harus aku kerjakan hari ini. Aku
harus membongkar barangku dan aku punya setumpuk baju yang harus
di cuci.‖
―kau menyesalinya,‖ dia berkata, suaranya terdengar hancur.
―Bukan…bukan karena itu. Kita berteman. Dan itu tidak akan berubah.‖
―Berteman? Lalu kau pikir tadi malam itu apa?‖ dia berkata, kemarahan
terdengar dalam suaranya.
Aku menutup rapat mataku. ―Aku tahu apa yang kau inginkan. Aku
hanya tidak bisa….melakukannya saat ini.‖
―Jadi kau hanya membutuhkan waktu?‖ dia bertanya dengan suara yang
lebih tenang. ―Kau seharusnya memberitahuku. kau tidak perlu lari
dariku.‖
―Itu adalah cara yang paling mudah.‖
―Paling mudah untuk siapa?‖
―Aku tidak bisa tidur. Aku terus berpikir tentang bagaimana rasanya
nanti pagi, saat memasukkan tasku ke dalam mobil America dan…aku
tidak bisa melakukannya, Trav,‖ Kataku.
―Itu sudah cukup buruk bahwa kau tidak akan berada di sini lagi. kau
tidak bisa langsung menghilang dari hidupku.‖
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. ―Kita akan bertemu besok. Aku
tidak ingin semua jadi aneh, OK? Aku hanya ingin memikirkan beberapa
masalah dulu. Hanya itu.‖
―OK,‖ dia berkata.‖Aku bisa melakukan itu.‖
Aku menutup telepon, dan America membelalak ke arahku. ―kau
TIDUR dengannya? Sialan kau! kau bahkan tidak akan
memberitahuku?‖
Aku memutar mataku dan ambruk di atas bantal. ―Ini bukan tentang
dirimu, Mare. Ini menjadi satu masalah sulit dan rumit.‖
―Apanya yang sulit tentang itu? Kalian berdua seharusnya sangat
bahagia, bukannya merusak pintu atau bersembunyi di kamarmu!‖
―Aku tidak boleh bersamanya,‖ aku berbisik, terus memandangi langit-
langit.
Tangannya memegang tanganku, dia bicara dengan lembut. ―Bersama
Travis memang butuh banyak usaha.
Percayalah padaku, aku mengerti pada semua rasa ragumu padanya, tapi
lihat bagaimana dia telah berubah begitu banyak untukmu. Pikirkan
tentang dua minggu yang lalu, Abby. Dia tidak seperti Mick.‖
―Aku yang seperti Mick! Aku terlibat dengan Travis dan semua yang
telah kami lakukan…lenyap!‖ aku menjentikkan jariku. ―Begitu saja!‖
―Travis tidak akan membiarkan itu terjadi.‖
―Itu bukan tergantung padanya sekarang, ya kan?‖
―kau akan menghancurkan hatinya, Abby. kau akan menghancurkan
hatinya! Satu-satunya wanita yang dia percaya untuk dicintai, dan kau
akan sangat menyakitinya!‖
Aku berpaling darinya, tidak mampu melihat ekspresinya yang datang
bersamaan dengan nada pembelaan di suaranya.
―Aku ingin akhir yang bahagia. Itu alasan kita datang kemari.‖
―kau tidak harus melakukan ini. Semua akan berjalan lancar.‖
―Hingga keberuntunganku habis.‖
America mengangkat tangannya ke atas, dan menjatuhkannya di
pangkuannya. ―Ya Tuhan, Abby, jangan bicara tentang omong kosong
itu lagi. Kita sudah membahasnya tentang ini.‖
Teleponku berbunyi, dan aku melihat nama di layarnya. ―Itu Parker.‖
Dia menggelengkan kepalanya. ―Kita masih belum selesai bicara.‖
―Halo?‖ aku menjawab, menghindari tatapan America.
―Abs! Ini hari pertama dari kebebasanmu! Bagaimana rasanya?‖ dia
berkata.
―Itu terasa…bebas,‖ aku berkata, tidak bisa mengeluarkan sedikit pun
nada antusias.
―Makan malam besok malam? Aku merindukanmu.‖
―Ya,‖ aku mengelap hidungku dengan tangan bajuku. ―Besok
kedengaran sempurna.‖
Setelah aku menutup telepon, America merengut. ― Travis akan bertanya
padaku saat aku pulang,‖ dia berkata. ―Dia akan bertanya apa saja yang
kita bicarakan. Apa yang harus aku katakan padanya?‖
―Katakan padanya bahwa aku menepati janjiku. Saat besok tiba, dia
tidak akan merindukanku.‖
®LoveReads
Bab 10
Dua meja di depan, satu meja di belakang. America dan Shepley hampir
tidak terlihat dari tempat aku duduk, dan aku membungkuk, melihat
Travis menatap kursi kosong tempat aku biasa duduk sebelum dia duduk
di ujung meja. Aku merasa konyol karena bersembunyi, tapi aku merasa
belum siap untuk duduk di hadapannya selama satu jam penuh. Ketika
aku telah menghabiskan makananku, aku mengambil nafas panjang dan
melangkah keluar ke arah Travis yang sedang menghabiskan rokoknya.
Aku telah menghabiskan sepanjang malam berusaha untuk membuat
satu rencana yang akan membawa kami pada keadaan sebelumnya. Jika
aku menganggap pertemuan kami seperti dia menganggap seks adalah
hal yang biasa, aku akan mempunyai kesempatan yang lebih baik.
Semua rencanaku beresiko akan kehilangan dia, tapi aku harap ego
lelakinya yang besar akan memaksanya untuk menerima itu seperti hal
yang biasa juga.
―Hai,‖ aku tersenyum.
Dia menyeringai. ―Hai. Kupikir kau sedang makan siang.‖
―Aku buru-buru, harus belajar,‖ aku mengangkat bahu, berusaha sebaik
mungkin terlihat biasa.
―Butuh bantuan?‖
―Itu mata kuliah Kalkulus. Kupikir aku bisa mengatasinya.‖
―Aku bisa datang hanya untuk memberikan bantuan moral.‖ dia
tersenyum, memasukan tangannya ke dalam saku. Ototnya yang kekar di
tangannya menjadi tegang karena melakukan itu, dan memikirkannya
meregang ketika dia mendorong dirinya masuk kedalam diriku berputar
kembali dengan jelas di dalam kepalaku.
―Ehm..apa?‖ aku bertanya, bingung karena pikiran erotis yang tiba-tiba
terlintas di pikiranku.
―Apakah kita harus berpura-pura yang terjadi kemarin malam tidak
pernah terjadi?‖
―Tidak, kenapa?‖ aku pura-pura bingung dan dia menghela nafas,
frustrasi karena kelakuanku.
―Aku tak tahu…karena aku mengambil keperawananmu?‖ dia mendekat
ke arahku, mengatakan kata itu dengan suara berbisik.
Aku memutar mataku. ―Aku yakin itu bukan pertama kalinya kau
mengambil keperawanan seorang cewek, Trav.‖
―Seperti yang aku takutkan, sikapku yang seperti tidak terjadi apapun
telah membuatnya marah.‖
―Sebenarnya, itu adalah yang pertama.‖
―Ayolah…aku sudah bilang aku tidak ingin kita jadi canggung.‖
Travis mengambil satu lagi hisapan terakhir rokoknya lalu
membuangnya ke bawah. ―Well, jika aku telah belajar sesuatu beberapa
hari terakhir ini, itu adalah bahwa kita tidak selalu mendapat apa yang
kita inginkan.‖
―Hai, Abs,‖ Parker berkata sambil mencium pipiku.
Travis melotot ke arah Parker dengan ekspresi kejam.
―Aku akan menjemputmu sekitar jam enam?‖ kata Parker.
Aku mengangguk. ―Jam enam.‖
―Sampai bertemu sebentar lagi,‖ dia berkata, berjalan menuju kelasnya.
Aku memperhatikan dia pergi, takut pada konsekuensi yang akan di
dapat karena sepuluh detik terakhir tadi.
―Kau akan pergi kencan bersamanya malam ini?‖
Travis mendesis marah. Mulutnya tertutup rapat, dan aku dapat melihat
dia menggertakkan gigi di bawah kulitnya.
―Aku sudah bilang padamu dia akan mengajakku kencan lagi setelah aku
kembali ke asrama. Dia meneleponku kemarin.‖
―Apakah kau tidak berpikir semua sedikit berubah setelah pembicaraan
itu?‖
―kenapa?‖
Dia pergi menjauhiku, dan aku menelan ludah, berusaha menahan air
mata yang akan menetes.
Travis berhenti dan kembali, mendekat pada wajahku. ―Itu sebabnya kau
berkata aku tidak akan merindukanmu lagi setelah hari ini! Kau tahu
bahwa aku akan mengetahui tentang kau dan Parker, dan kau pikir aku
akan…apa? Melupakanmu? kau tidak percaya padaku, atau karena aku
kurang pantas untukmu? Beritahu aku, sialan! Beritahu apa yang telah
aku lakukan padamu yang membuatmu melakukan ini padaku!‖
Aku berdiri tegak, menatap langsung ke matanya. ―Kau tidak melakukan
apapun padaku. Sejak kapan seks menjadi masalah hidup dan mati
untukmu?‖
―Sejak itu bersamamu!‖
Aku melihat sekeliling, menyadari kalau kami menarik perhatian orang
lain. Orang-orang berjalan pelan, menatap dan berbisik satu sama lain.
Aku rasa telingaku menjadi merah, dan menyebar ke wajahku, membuat
mataku berair.
Dia menutup matanya, berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum
mulai bicara lagi. ―Apa memang begitu? Kau pikir itu tidak berarti
apapun bagiku?‖
―Kau adalah Travis Maddox.‖
Dia menggelengkan kepalanya, merasa jijik.
―Kalau aku tidak tahu lebih baik, aku akan berpikir kau sedang
mengingatkan aku akan masa laluku.‖
―Kupikir empat minggu yang lalu bukan merupakan masa lalu.‖
Wajahnya mengernyit dan aku tertawa. ―Aku bercanda! Travis, semua
baik-baik saja. Aku baik-baik saja, kau baik-baik saja. Tidak perlu
terlalu membesar-besarkan masalah ini.‖
Semua amarah hilang dari wajahnya lalu dia mengambil nafas panjang
dari hidungnya. ―Aku tahu apa yang sedang kau lakukan.‖ Matanya
menerawang sesaat, terhanyut dalam pikirannya sendiri.
―Aku harus membuktikannya padamu kalau begitu.‖ Matanya tajam saat
melihat ke dalam mataku, bertekad seperti saat sebelum dia bertarung.
―Jika kau pikir aku akan langsung kembali berhubungan seks dengan
semua orang, kau salah. Aku tidak menginginkan orang lain. Kau ingin
kita hanya berteman? Baiklah, kita berteman. Tapi kau dan aku tahu apa
yang telah terjadi bukan hanya sekedar seks.‖
Dia bergegas pergi melewatiku dan aku menutup mataku,
menghembuskan nafas yang tanpa aku sadari telah aku tahan. Travis
memandang kembali ke arahku, lalu melanjutkan langkahnya menuju
kelas selanjutnya. Air mata yang tidak dapat aku tahan turun di pipiku
dan aku langsung menghapusnya. Pandangan ingin tahu dari teman
sekelasku menusuk tajam di punggungku saat aku bersusah payah masuk
kelas.
Parker ada di barisan kedua dan aku langsung duduk di sampingnya.
Senyuman terlihat di wajahnya. ―Aku tidak sabar menunggu nanti
malam.‖
Aku menarik nafas lalu tersenyum, berusaha merubah moodku setelah
berbicara dengan Travis tadi.
―Apa rencananya?‖
―Well, aku telah selesai membereskan apartemenku. Aku ingin kita
makan malam di sana.‖
―Aku juga sudah tidak sabar menunggu nanti malam.‖ Aku berkata,
berusaha meyakinkan diriku sendiri.
®LoveReads
America sedang berjalan keluar dari kamar mandi ketika aku berbelok,
matanya bersinar ketika dia melihatku. ―Hai, chickie! Bagaimana
kencanmu?‖
―Biasa saja,‖ kataku datar.
―Uh oh.‖
―Jangan beritahu Travis, OK?‖
Dia mendengus. ―Tidak akan, apa yang terjadi?‖
―Parker mengajakku ke pesta kencan.‖
America mengencangkan handuknya. ―Kau tidak akan membatalkan
pergi dengan Trav kan?‖
―Tidak, dan Parker tidak senang karena itu.‖
―Bisa dipahami,‖ dia berkata, mengangguk. ―Itu juga sangat buruk.‖
America menarik rambutnya yang panjang dan basah ke sisi salah satu
bahunya, dan butiran air menetes di kulit telanjangnya. Dia
kontradiksiku yang berjalan. Dia melamar masuk Eastern agar kami bisa
tinggal bersama. Dia adalah suara hatiku, akan turun tangan saat aku
menyerah pada kecenderunganku yang tertanam untuk pergi keluar jalur.
Semua berlawanan dengan yang telah kam bicarakan tentang aku
berhubungan dengan Travis, dan dia telah menjadi penyemangat Travis
yang terlalu antusias.
Aku bersandar ke dinding. ―Apa kau akan marah kalau aku tidak jadi
pergi?‖
―Tidak, aku akan sangat kesal hingga tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata. Di sana akan banyak terjadi perkelahian antar wanita, Abby.‖
―Kalau begitu aku akan pergi,‖ aku berkata, memasukkan kunciku ke
pintu. Teleponku berbunyi, dan terlihat foto Travis yang sedang
membuat wajah yang lucu di layar.
―Halo?‖
―kau sudah di rumah, belum?‖
―Ya, dia mengantarku pulang lima menit yang lalu.‖
―Aku akan tiba di sana lima menit lagi.
―Tunggu! Travis?‖ aku berkata saat dia menutup telepon.
America tertawa. ―kau baru pulang dari kencan yang mengecewakan
dengan Parker, tapi kau tersenyum saat Travis menelepon. Apakah kau
begitu bodoh?‖
―Aku tidak tersenyum,‖ protesku. ―Dia akan kemari. Maukah kau
menemuinya di luar dan bilang padanya kalau aku sudah tidur?‖
―Kau tadi tersenyum, dan tidak mau…bilang saja sendiri.‖
―Ya, Mare, seperti akan berhasil baik kalau aku bilang sendiri bahwa
aku sudah tidur.‖ Dia meninggalkanku, berjalan ke kamarnya. Aku
mengangkat tanganku dan memukul pahaku. ―Mare! Ku mohon?‖
―Selamat bersenang-senang, Abby,‖ dia tersenyum, menghilang ke
dalam kamarnya.
Aku menuruni tangga dan melihat Travis di atas motornya, sedang
parkir di depan tangga masuk.
Dia memakai kaos putih dengan gambar berwarna hitam, membuat tatoo
di tangannya semakin kelihatan.
―Apakah kau tidak kedinginan?‖ aku bertanya, menarik jaketku lebih
kencang.
―kau kelihatan cantik. Apakah kau bersenang-senang?‖
―Uh…ya, terima kasih,‖ aku berkata, salah tingkah. ―Apa yang kau
lakukan di sini?‖
Dia menstarter motornya, dan mesinnya hidup. ―Aku akan berkeliling
naik motor untuk menjernihkan pikiranku. Aku ingin kau ikut
denganku.‖
―Tapi dingin, Trav.‖
―kau mau aku meminjam mobilnya Shepley?‖
―Kita akan pergi bowling besok. Tidak bisakah kau menunggu hingga
besok?‖
―Aku dari yang bertemu denganmu setiap detik sepanjang hari menjadi
hanya bertemu denganmu selama sepuluh menit, itu juga kalau aku
beruntung.‖
Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. ―Ini baru dua hari, Trav.‖
―Aku merindukanmu. Ayo cepat naik dan kita pergi.‖
Aku tidak bisa membantah. Aku juga merindukannya. Lebih dari yang
akan aku akui padanya. Aku menyeletingkan jaketku dan naik ke
belakangnya, memasukkan jariku ke tempat ikat pinggang celana
jinsnya. Dia menarik pergelangan tanganku ke dadanya dan melipatnya
satu di atas yang lain. Setelah dia merasa puas karena aku telah
memeluknya erat, dia melaju pergi, melaju cepat di jalan.
Aku menyandarkan pipiku di punggungnya dan menutup mataku,
menghirup aroma wangi tubuhnya. Itu mengingatkanku pada
apartemennya, sprei dan wangi tubuhnya saat dia berjalan dengan hanya
memakai handuk di pinggangnya. Pemandangan kota kelihatan tidak
jelas saat kami lewat, dan aku tidak peduli seberapa cepat dia menyetir,
atau seberapa dingin angin saat menyentuh kulitku; aku bahkan tidak
memperhatikan ke mana kami pergi. Yang aku pikirkan hanya tubuhnya
menempel ditubuhku. Kami tidak memiliki tujuan ataupun jangka
waktu, dan kami berkeliling hingga tidak ada orang lagi di jalan selain
kami.
Travis berhenti di pom bensin lalu parkir. ―kau menginginkan sesuatu?‖
dia bertanya.
Aku menggelengkan kepala, turun dari motor untuk meluruskan kakiku.
Dia memperhatikanku yang sedang menyisirkan jari di rambutku, dan
tersenyum.
―Hentikan itu. Kau sudah terlihat sangat cantik.‖
―Tunjukan saja padaku video musik rock tahun delapan puluhan yang
terdekat,‖ aku berkata.
Dia tertawa, lalu menguap sambil mengusir ngengat yang berdengung di
sekitarnya. Mulut pipa bensin berbunyi, terdengar lebih keras dari
seharusnya di malam yang hening. Kami tampaknya menjadi satu-
satunya orang di dunia.
Aku mengeluarkan teleponku untuk melihat jam. ―Ya Tuhan, Trav. Ini
sudah jam tiga pagi.‖
―kau ingin pulang?‖ dia bertanya, wajahnya tampak kecewa.
Aku menutup rapat bibirku. ―Sebaiknya kita pulang.‖
―Kita masih akan pergi bowling malam ini?‖
―Aku sudah bilang aku akan ikut.‖
―Dan kau tetap akan pergi ke Sig Tau bersamaku kan dua minggu lagi?‖
―Apa kau menyindirku bahwa aku tidak akan menepati janjiku? Aku
merasa sedikit tersinggung.‖
Dia menarik keluar mulut pipa bensin dari tankinya dan menggantung di
tempatnya. ―Aku hanya tidak tahu lagi apa yang akan kau lakukan.‖
Dia duduk di atas motornya dan membantuku naik di belakangnya. Aku
mengaitkan jariku di tempat ikat pinggangnya namun aku pikir lebih
baik aku melingkarkan tanganku di tubuhnya.
Dia menghela nafas dan menegakkan motornya, dengan berat hati
menyalakan mesinnya. Telapak tangannya menjadi putih saat dia
memegang stang motor. Dia mengambil nafas, dan mulai berbicara lalu
menggelengkan kepalanya.
―Kau sangat berarti untukku, kau tahu,‖ aku berkata, memeluknya lebih
erat.
―Aku tidak mengerti dirimu, Pigeon. Ku pikir aku mengenal wanita, tapi
dirimu benar-benar sangat membuat bingung hingga aku tak tahu harus
bagaimana.‖
―Aku juga tidak mengerti dirimu. Kau seharusnya menjadi kekasih
semua wanita di Eastern. Aku belum mendapat semua pengalaman
seorang mahasiswa baru yang mereka tawarkan di brosur,‖ aku
menggodanya.
―Well, itu yang pertama. Aku belum pernah bertemu wanita yang mau
tidur denganku hanya agar aku tidak mengganggunya lagi,‖ dia berkata,
tetap membelakangiku.
―Bukan itu maksudnya, Travis,‖ aku berbohong, merasa malu karena dia
dapat menebak maksudku tanpa menyadari seberapa benarnya dia.
Dia menggelengkan kepalanya lalu menyalakan mesin motornya, melaju
ke jalan. Dia menjalankan motornya dengan pelan tidak seperti biasa,
berhenti di setiap lampu kuning, mengambil jalan yang terjauh menuju
kampus.
Kami berhenti di depan pintu masuk asrama, kesedihan yang sama yang
aku rasakan di malam aku pergi meninggalkan apartemen menelanku.
Mengetahui itu tampak konyol untuk merasa begitu emosional, namun
setiap kali aku melakukan sesuatu untuk mendorongnya pergi, aku
sangat takut itu akan benar-benar membuatnya pergi.
Dia mengantarku ke pintu, aku mengeluarkan kunciku, menghindari
tatapannya. Saat aku merogoh kunci, tangannya tiba-tiba ada di daguku,
ibu jarinya menyentuh bibirku dengan lembut.
―Apakah dia menciummu?‖ dia bertanya.
Aku mundur menjauh, terkejut karena jarinya mengakibatkan rasa
terbakar yang membakar semua saraf dari mulut hingga ujung kakiku.
―Kau benar-benar tahu bagaimana caranya mengacaukan malam yang
sempurna, ya?‖
―Kau berpikir malam ini sempurna, ya? Apa itu berarti kau merasa
senang?‖
―Aku selalu merasa senang saat bersamamu.‖
Dia melihat ke bawah dan alisnya mengernyit. ―Apakah tadi dia
menciummu?‖
―Ya,‖ aku menghela nafas, merasa terganggu.
Matanya tertutup. ―Apakah hanya itu?‖
―Itu sama sekali bukan urusanmu!‖ aku berkata sambil menarik pintu
hingga terbuka.
Travis mendorongnya hingga tertutup dan menghalangi jalan masukku,
ekspresinya seperti meminta maaf. ―Aku harus tahu.‖
―Tidak, kau tidak harus tahu! Minggir, Travis!‖
―Pigeon…,‖
―Kau pikir karena aku bukan lagi perawan, aku akan tidur dengan semua
orang yang ada? Terima kasih!‖ aku berkata sambil mendorongnya.
―Aku tidak mengatakan itu, sialan! Apakah itu terlalu berlebihan untuk
ditanyakan agar pikiranku tenang?‖
―Mengapa itu akan membuat pikiranmu tenang jika mengetahui apa aku
tidur dengan Parker?‖
―Bagaimana kau tidak tahu? Itu terlihat sangat jelas untuk semua orang
kecuali dirimu!‖ dia berkata, putus asa.
―Kalau begitu mungkin hanya karena aku adalah orang yang tolol. kau
mabuk malam ini, Trav,‖ aku berkata sambil meraih pegangan pintu.
Dia menahan bahuku. ―Perasaan aku padamu…sangat membuatku gila.‖
―Bagian gila itu memang benar,‖ aku membentak, melepaskan diri
darinya.
―Aku sudah melatih ini di pikiranku sepanjang waktu kita di motor tadi,
jadi dengarkanlah aku,‖ dia berkata.
―Travis—,‖
―Aku tahu kita sangat kacau, kan? Aku impulsif, cepat marah, dan aku
selalu memikirkan dirimu. kau bersikap seperti membenciku menit ini,
lalu menit berikutnya kau membutuhkanku. Aku tak pernah melakukan
hal yang benar, dan aku tidak pantas untukmu… tapi aku benar-benar
mencintaimu, Abby. Aku mencintaimu lebih dari aku mencintai
seseorang atau sesuatu, sebelumnya. Saat kau ada di sisiku, aku tidak
membutuhkan minuman keras, uang, pertarungan, atau hubungan seks
satu malam…yang aku butuhkan hanya dirimu. Hanya kau yang aku
pikirkan. Hanya kau yang aku mimpikan. Hanya kau yang aku
inginkan.‖
Rencanaku untuk bersikap seolah tidak peduli gagal total. Aku tidak bisa
berpura-pura tidak terpengaruh saat dia mengungkapkan semua
perasaannya. Saat kami bertemu pertama kali, sesuatu di dalam diri kami
berubah, dan apapun itu, membuat kami saling membutuhkan. Untuk
alasan yang tidak aku ketahui, aku adalah pengecualiannya, dan sekuat
apapun aku mencoba melawan perasaanku, dia adalah pengecualianku.
Dia menggelengkan kepalanya, memegang kedua sisi wajahku, dan
menatap langsung ke mataku.
―Apakah kau tidur dengannya?‖
Air mata yang hangat memenuhi mataku saat aku menggelengkan
kepalaku. Dia langsung menciumku, dan lidahnya masuk ke dalam
mulutku tanpa rasa ragu. Tidak dapat mengontrol diriku sendiri, aku
mencengkram kaosnya di dalam kepalan tanganku, dan menariknya ke
arahku. Dia mendesah karena rasa takjubnya, suara yang berat, dan
mencengkeramku sangat erat hingga membuat sulit untuk bernafas.
Dia mundur, terengah. ―Telepon Parker. Katakan padanya kau tidak
ingin berkencan dengannya lagi. Katakan padanya kau bersamaku
sekarang.‖
Aku menutup mataku. ―Aku tidak bisa bersamamu, Travis.‖
―Kenapa tidak bisa?‖ dia berkata, melepaskan tangannya.
Aku menggelengkan kepalaku, takut pada reaksinya saat mengetahui
yang sebenarnya.
Dia tertawa sekali. ―Tak bisa dipercaya. Satu-satunya gadis yang aku
inginkan, tapi dia tidak menginginkan aku.‖
Aku menelan ludah, mengetahui aku harus lebih banyak
mengungkapkan kebenaran daripada yang seharusnya selama bulan-
bulan terakhir ini.
―Ketika aku dan America pindah kemari, itu dengan pengertian hidupku
akan berjalan sesuai rencanaku. Atau tidak akan berjalan di luar
rencanaku. Pertarungan, perjudian, minuman…itu semua yang aku
tinggalkan. Ketika aku berada di dekatmu…itu semua terbungkus dalam
satu paket tatoo yang tidak bisa aku tolak. Aku tidak pindah ratusan
kilometer hanya untuk menjalaninya sekali lagi.‖
Dia mengangkat daguku sehingga aku bisa melihat wajahnya. ―Aku tahu
kau berhak mendapatkan yang lebih baik daripada aku. kau pikir aku tak
tahu itu? Tapi jika ada satu wanita yang tercipta untukku…wanita itu
adalah dirimu. Aku akan melakukan apapun yang harus aku lakukan,
Pidge. kau dengar aku? Aku akan melakukan apapun.‖
Aku berbalik dari cengkramannya, merasa malu karena tidak bisa
mengatakan yang sebenarnya.
Akulah yang tidak pantas untuknya. Aku akan menjadi orang yang
menghancurkan semuanya; menghancurkan dia. Dia akan membenciku
suatu hari nanti, dan aku tidak akan bisa melihat ke dalam matanya saat
dia pada akhirnya menyadari itu.
Dia menahan pintu tertutup dengan tangannya . ―Aku akan berhenti
bertarung setelah aku lulus. Aku tidak akan minum minuman keras satu
tetes pun lagi. Aku akan memberimu akhir yang bahagia selamanya,
Pigeon. Jika kau mempercayaiku, aku akan dapat melakukannya.‖
―Aku tidak ingin kau berubah.‖
―Lalu katakan aku harus melakukan apa. Katakan padaku dan aku akan
melakukannya,‖ dia memohon.
Semua pikiran untuk bersama Parker telah lama hilang, dan aku tahu
sebabnya karena perasaanku pada Travis. Aku membayangkan tentang
jalan berbeda yang aku akan ambil sejak saat itu —mempercayai Travis
dengan sebuah lompatan keyakinan dan mengambil resiko untuk yang
tidak pasti, atau mendorongnya menjauh dan mengetahui dengan pasti
aku akan berakhir di mana, yang termasuk hidup tanpa dirinya — kedua
keputusan itu membuatku sangat takut.
―Boleh aku meminjam teleponmu?‖ aku bertanya.
Travis mengeryit, bingung. ―Tentu,‖ dia berkata, mengeluarkan telepon
dari dalam sakunya, memberikannya padaku.
Aku menekan nomor, lalu menutup mata saat itu berdering di telingaku.
―Travis? Ada apa? kau tahu jam berapa ini?‖ Parker menjawab.
Suaranya dalam dan serak, dan aku langsung merasa hatiku bergetar di
dadaku. Tidak terpikir olehku bahwa dia akan mengetahui aku
menelepon dari teleponnya Travis.
Kata berikutnya akhirnya menemukan cara untuk keluar dari bibirku
yang gemetar. ―Maafkan aku meneleponmu malam-malam, tapi ini tidak
bisa menunggu. Aku….tidak bisa pergi makan malam denganmu hari
Rabu nanti.‖
―Ini sudah hampir jam empat pagi, Abby. Apa yang terjadi?‖
―Aku tidak bisa pergi lagi denganmu, sebenarnya.‖
―Abs…‖
―Aku…sangat yakin aku jatuh cinta pada Travis, ― aku berkata, bersiap
untuk reaksinya.
Setelah beberapa saat hening, dia menutup telepon di telingaku.
Mataku masih fokus melihat trotoar, aku menyerahkan kembali telepon
pada Travis, lalu dengan enggan menatap wajahnya. Kombinasi antara
bingung, kaget, dan rasa kagum terlihat di wajahnya.
―Dia menutup teleponnya.‖ Aku menyeringai.
Dia menatap wajahku dengan harapan yang hati-hati di matanya. ―kau
mencintaiku?‖
―Itu karena tatoonya,‖ aku mengangkat bahuku.
Senyuman lebar terlihat di wajahnya, membuat lesung pipinya menjadi
jelas terlihat. ―Mari pulang bersamaku,‖ dia berkata, mendekapku di
tangannya.
Alisku naik. ―Kau mengatakan semua itu untuk membawaku ke tempat
tidur? Aku pasti telah membuat kesan yang hebat.‖
―Satu-satunya yang aku pikirkan sekarang adalah memelukmu sepanjang
malam.‖
―Mari kita pergi.‖ Aku tersenyum.
®LoveReads
Rasa Cemburu
Akhirnya setelah membujuk Travis cukup lama untuk pergi keluar dari
apartemen untuk menghadiri kelas Sejarah, kami dengan cepat pergi ke
kampus, duduk di kursi tepat sebelum Prof. Cheney mulai mengajar.
Travis membalik topi baseball merahnya agar dapat mencium bibirku, di
depan mata semua orang yang berada di kelas.
Dalam perjalanan kami menuju kafetaria, dia memegang tanganku,
menggenggam erat jariku saat kami berjalan. Dia kelihatan sangat
bangga karena dapat memegang tanganku, mengumumkan pada seluruh
dunia bahwa akhirnya kami bersama. Finch menyadarinya, melihat ke
arah tangan kami, lalu menatap ke arahku dengan senyuman bodoh.
Bukan hanya dia, pertunjukan sederhana kasih sayang kami membuat
semua orang yang kami temui menatap atau berbisik-bisik.
Di pintu kafetaria, Travis menghembuskan asap terakhir rokoknya,
menatapku yang sedang merasa ragu. America dan Shepley sudah ada di
dalam, dan Finch menyalakan rokok lagi, sehingga aku masuk kafetaria
hanya dengan Travis berdua. Aku yakin gosip telah menyebar setelah
Travis menciumku di depan semua orang di dalam kelas Sejarah tadi,
dan aku merasa takut melangkah ke atas panggung di dalam kafetaria.
―Ada apa, Pigeon?‖ dia berkata, menarik tanganku.
―Semua orang memperhatikan kita.‖
Dia menarik tanganku lalu menciumnya, ―Mereka akan melupakannya.
Itu hanya karena mereka terkejut. Ingat saat kita pertama kali hang out?
Rasa ingin tahu mereka hilang setelah beberapa saat dan mereka menjadi
terbiasa melihat kita bersama. Ayolah,‖ dia berkata sambil menarikku ke
pintu.
Salah satu alasan aku memilih Universitas Eastern karena orang-
orangnya yang sopan, tapi rasa tertarik yang berlebihan terhadap skandal
yang ada sangat melelahkan. Itu adalah lelucon; semua orang tahu
betapa bodohnya tukang gosip itu namun mereka tetap saja tanpa rasa
malu ikut bergosip.
Kami duduk di tempat biasa kami membawa makanan kami. America
tersenyum dengan ekspresi sudah tahu. Dia mengobrol seperti semua
biasa saja, namun para pemain football yang berada di ujung meja
menatapku seolah aku sedang terbakar.
Travis menepuk apelku dengan garpunya. ―Apakah kau akan
memakannya, Pidge?‖
―Tidak, kau boleh memakannya, sayang.‖
Telingaku memerah saat America tersentak kaget dan menatapku.
―Itu hanya spontan keluar,‖ aku berkata, menggelengkan kepalaku. Aku
melirik ke arah Travis, yang ekspresinya campur aduk antara merasa geli
dan kagum.
Kami saling memanggil dengan sebutan itu beberapa kali tadi pagi, dan
tidak terpikir olehku kalau itu merupakan hal baru untuk semua orang
hingga sesaat setelah itu keluar dari mulutku.
―Kalian berdua dalam tahap mengganggu yang lucu.‖ America
menyeringai.
Shepley menepuk bahuku. ―kau akan menginap malam ini?‖ dia
bertanya, kata-katanya terdengar tidak jelas karena dia sambil
mengunyah roti di mulutnya. ―Aku janji tidak akan keluar dari kamarku
lalu memakimu lagi.‖
―kau sedang membela kehormatanku, Shep. kau dimaafkan,‖ aku
berkata.
Travis menggigit sepotong apel lalu mengunyahnya, terlihat sangat
bahagia, aku tidak pernah melihatnya seperti itu. Rasa damai di matanya
telah kembali terlihat, bahkan saat semua orang memperhatikan setiap
gerakan kami, semua terasa begitu…benar.
Aku memikirkan tentang selama ini aku selalu bersikeras bahwa
berhubungan dengan Travis adalah keputusan yang buruk, dan berapa
waktu yang terbuang percuma untuk melawan perasaanku terhadapnya.
Melihat ke seberang meja ke arah matanya yang lembut berwarna coklat,
dan lesung pipi yang bergerak-gerak saat dia mengunyah, aku tidak bisa
mengingat apa yang membuat aku sangat khawatir.
―Dia terlihat sangat bahagia. Apa kau akhirnya tidur dengannya, Abby?‖
Chris berkata sambil menyikut temannya.
―kau tidak terlalu pintar ya, Jenks?‖ Shepley berkata, mengernyit.
Darah langsung naik ke pipiku, lalu aku melihat Travis yang di matanya
ada rasa ingin membunuh.
Rasa marah Travis melebihi rasa maluku, dan aku menggelengkan
kepalaku tanda tidak setuju.
―Abaikan dia.‖
Setelah beberapa saat yang menegangkan, bahunya menjadi sedikit lebih
santai, dan dia mengangguk sekali, lalu mengambil nafas panjang.
Setelah beberapa detik, dia mengedipkan sebelah matanya padaku.
Aku meraih ke seberang meja, menyelipkan jariku di jarinya. ―kau serius
dengan yang kau katakan tadi malam, kan?‖
Dia mulai bicara, namun suara tawa Chris terdengar ke seluruh kafetaria.
―Ya Tuhan, Travis Maddox menjadi penurut?‖
―Apakah kau serius dengan ucapanmu waktu bilang kau tidak ingin aku
berubah?‖ dia bertanya, meremas tanganku.
Aku melihat ke arah Chris yang sedang tertawa bersama teman satu
timnya, lalu kembali melihat ke arah Travis. ―Tentu saja. Beri orang
brengsek itu pelajaran.‖
Seringai nakal terlihat di wajahnya, lalu dia berjalan ke meja tempat
Chris duduk. Ruangan langsung hening, dan Chris berhenti tertawa.
―Hey, aku hanya bercanda, Travis,‖ dia berkata, melihat ke arah Travis.
―Minta maaflah pada Pidge,‖ Travis berkata, menatap tajam ke arahnya.
Chris melihat ke arahku sambil tersenyum gugup. ―Aku…aku hanya
bercanda, Abby. Maafkan aku.‖
Aku melotot ke arahnya saat dia melihat ke arah Travis untuk meminta
persetujuan. Ketika Travis melangkah pergi, Chris mencibir, dan dia
membisikkan sesuatu pada Brazil. Hatiku mulai berdegup kencang
ketika aku melihat Travis berhenti melangkah dan tangannya mengepal
di samping tubuhnya.
Brazil menggelengkan kepalanya dan mendengus dengan jengkel. ―Ingat
saat kau sadar nanti…kau sendiri yang menyebabkannya.‖
Travis mengangkat nampan Finch dari meja dan mengayunkannya ke
wajah Chris, membuat Chris terjatuh dari kursi. Chris berusaha masuk
ke bawah meja namun Travis menarik kakinya lalu mulai memakinya.
Chris meringkuk seperti bola, lalu Travis menendang punggungnya.
Chris melengkung dan berbalik, mengangkat tangannya di luar,
membuat Travis mampu untuk mendaratkan beberapa pukulan di
wajahnya. Darah mulai mengalir, dan Travis pun berdiri, kehabisan
nafas.
―Jika kau bahkan hanya melihat ke arah Abby, dasar brengsek, aku akan
mematahkan rahangmu.‖
Wanita yang bekerja di kafetaria berlari keluar, terkejut melihat darah
berceceran di lantai.
―Maaf,‖ Travis berkata, mengelap darah Chris dari pipinya.
Beberapa mahasiswa berdiri agar dapat melihat dengan lebih jelas; yang
lainnya tetap duduk, melihat dengan biasa saja. Tim football hanya
memandangi tubuh Chris yang terkulai lemas di lantai, sambil
menggelengkan kepala mereka.
Travis berbalik, dan Shepley berdiri, lalu memegang tanganku dan
America, menarik kami keluar pintu dan berjalan di belakang
sepupunya. Kami mengambil jalan pintas menuju aula, aku dan America
duduk di tangga masuk, memperhatikan Travis yang sedang berjalan
mondar-mandir.
―kau baik-baik saja, Trav?‖ tanya Shepley.
―Beri aku…beberapa menit,‖ dia berkata, meletakkan tangannya di
pinggang saat berjalan mondar-mandir.
Shepley memasukan tangannya ke dalam saku. ―Aku terkejut kau bisa
berhenti memukul.‖
―Pidge hanya bilang untuk memberinya pelajaran, Shep, bukan
membunuhnya. Aku berusaha sekuat tenaga untuk berhenti tadi.‖
America memakai kacamata kotak besarnya saat melihat pada Travis.
―Apa yang telah Chris katakan sehingga membuatmu marah?‖
―Sesuatu yang tidak akan dia katakan lagi,‖ Travis mendengus marah.
America menatap Shepley yang mengangkat bahunya. ―Aku tidak
mendengarnya.‖
Tangan Travis mengepal lagi. ―Aku akan kembali ke dalam.‖
Shepley menyentuh bahu Travis. ―Kekasihmu ada di sini. kau tidak
perlu kembali ke sana.‖
Travis menatapku, memaksa dirinya untuk tenang. ―Chris
berkata…semua orang pikir Pidge memiliki…ya Tuhan, aku tidak bisa
mengatakannya.‖
―Katakan saja,‖ America bergumam, sambil menggigit kukunya.
Finch berjalan dari arah belakang Travis, sangat jelas merasa senang
karena kejadian tadi. ―Semua lelaki normal di Eastern ingin merasakan
tidur dengan Abby karena dia berhasil menaklukan Travis Maddox,‖ dia
mengangkat bahu. ― Setidaknya itu yang mereka bicarakan di sana
sekarang.‖
Travis menabrak bahu Finch saat melewatinya, berjalan menuju
kafetaria. Shepley berlari mengejarnya, memegangi tangannya. Aku
menutup mulutku dengan tangan saat Travis mengayunkan tinjunya,
namun Shepley menghindar. Aku memandang ke arah America yang
tampaknya tidak bereaksi, karena sudah terbiasa dengan kejadian seperti
itu.
Aku hanya bisa memikirkan satu cara untuk menghentikan Travis. Aku
berlari dari tangga ke arah Travis, mengitarinya. Aku melompat ke
arahnya, meletakan kakiku di pinggangnya, dan dia memegang pahaku
saat aku memegang kedua sisi wajahnya, lalu menciumnya bibirnya.
Aku dapat merasakan kemarahannya mulai hilang saat dia membalas
ciumanku, lalu aku melepaskannya, aku tahu aku telah menang.
―Kita tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan, ingat? kau jangan
mulai peduli sekarang,‖ aku berkata sambil tersenyum untuk
meyakinkan. Ternyata aku dapat mempengaruhi dia lebih dari yang aku
sadari.
―Aku tidak bisa membiarkan mereka membicarakanmu seperti itu,
Pigeon,‖ dia berkata dengan wajah frustrasi, sambil menurunkanku.
Aku memasukan tanganku di bawah tangannya, mengunci tanganku di
punggungnya. ―Seperti apa? Mereka pikir aku punya sesuatu yang
spesial karena kau belum pernah berpacaran sebelumnya. Apa kau tidak
setuju?‖
―Tentu saja aku setuju, aku hanya tidak tahan memikirkan bahwa semua
pria di kampus ingin tidur denganmu karena itu.‖ Dia menekan dahinya
di dahiku. ―Ini akan membuatku gila. Aku tahu itu.‖
―Jangan biarkan mereka mengganggumu, Travis,‖ Shepley berkata. ―kau
tidak bisa melawan semua orang.‖
Travis menghela nafas. ―Semua orang. Bagaimana perasaanmu kalau
semua orang memikirkan tentang America seperti itu?‖
―Siapa bilang mereka tidak memikirkan hal itu?‖ America berkata,
sedikit tersinggung. Kami semua tertawa, dan America cemberut. ―Aku
tidak bercanda.‖
Shepley membantunya berdiri lalu mencium pipinya. ―Kami tahu,
sayang. Aku sudah berhenti merasa cemburu sejak lama. Karena aku
tidak akan sempat melakukan apapun kalau aku terus merasa cemburu.‖
America tersenyum karena senang, lalu memeluknya. Shepley punya
bakat yang luar biasa untuk membuat semua orang di sekitarnya merasa
nyaman, tidak diragukan mungkin itu karena harus tumbuh bersama
Travis dan semua kakaknya. Itu bisa menjadi satu alat untuk membela
diri lebih dari apapun.
Travis menciumi telingaku, dan aku cekikikan lalu aku melihat Parker
datang mendekat. Perasaan mendesak seperti yang aku rasakan saat
Travis ingin kembali ke kafetaria datang lagi, aku langsung melepaskan
Travis dan langsung berjalan sejauh sepuluh kaki atau lebih untuk
mencegat Parker.
―Aku harus bicara denganmu,‖ dia berkata.
Aku melirik ke belakang, dan menggelengkan kepalaku sebagai
peringatan. ―Sekarang bukan waktu yang tepat, Parker. Ini adalah waktu
yang sangat…sangat tidak tepat sebenarnya. Travis dan Chris baru saja
berkelahi tadi saat makan siang, dan dia masih sedikit kesal. kau harus
pergi.‖
Parker menatap Travis, lalu kembali mengalihkan perhatiannya
kepadaku, bertekad. ―Aku baru saja mendengar apa yang terjadi di
kafetaria. Aku pikir kau tidak menyadari kau terlibat dengan apa.
Travis itu adalah berita buruk, Abby. Semua orang tahu itu. Tidak ada
yang membicarakan betapa hebatnya dirimu yang telah
merubahnya…mereka semua hanya menunggunya melakukan apa yang
paling bisa dia lakukan dengan baik. Aku tidak tahu apa yang dia
katakan padamu, tapi kau tidak tahu orang macam apa dia.‖
Aku merasakan tangan Travis di bahuku. ―Mengapa tidak kau beritahu
dia kalau begitu?‖
Parker bergerak dengan gugup. ―kau tahu berapa banyak wanita yang
sudah merasa dipermalukan yang harus aku antar pulang dari sebuah
pesta setelah mereka menghabiskan beberapa jam berdua di dalam
kamar bersama dengan Travis? Dia akan menyakitimu.‖
Jari Travis semakin menegang mendengarnya, dan aku menyentuh
tangannya hingga dia kembali tenang. ―kau harus pergi, Parker.‖
―Kau harus mendengar apa yang akan aku katakan, Abs.‖
―Jangan panggil dia dengan nama itu,‖ Travis geram.
Parker tidak melepaskan pandangannya dariku. ―Aku mengkhawatirkan
dirimu.‖
―Aku hargai itu, tapi itu tidak perlu.‖
Parker menggelengkan kepalanya. ―Dia melihatmu hanya sebagai
tantangan jangka panjang, Abby. Dia harus membuatmu berpikir bahwa
kau berbeda dari wanita lain agar dia bisa menidurimu. Dia akan bosan
padamu. Dia punya rentang perhatian seperti anak kecil.‖
Travis berjalan mengitariku, berdiri sangat dengan Parker sehingga
hidung mereka hampir bersentuhan. ―Aku sudah membiarkanmu
mengatakan apa yang ingin kau katakan. Kesabaranku sudah habis.‖
Parker berusaha memandangku, namun Travis menghalanginya. ―Jangan
berani-berani kau memandangnya. Lihat aku, dasar kau orang hina yang
manja.‖ Parker menatap ke arah mata Travis lalu menunggu. ―Meskipun
kau hanya bernafas ke arahnya, aku akan memastikan kau akan pincang
selama kuliah kedokteran.‖
Parker mundur beberapa langkah sehingga aku terlihat olehnya. ―Aku
pikir kau lebih pintar dari ini,‖ dia berkata sambil menggelengkan
kepalanya sebelum berbalik pergi.
Travis memperhatikan dia pergi, lalu berbalik, menatapku. ―kau tahu
kan kalau itu hanya omong kosong? Itu tidak benar.‖
―Aku yakin itu yang semua orang pikirkan,‖ aku menggerutu,
mengetahui semua itu akan berlalu.
―Aku akan membuktikan mereka salah.‖
®LoveReads
Malam terasa sangat panjang. Aku terus melihat jam, dan meringis
setiap aku melihat satu jam lagi telah berlalu. Aku tidak bisa berhenti
memikirkan Travis dan apakah aku harus meneleponnya atau tidak,
ingin tahu apakah dia masih belum tidur juga. Akhirnya terpaksa aku
memasang earphone Ipod di telingaku dan mendengarkan semua lagu
berirama kencang yang ada di playlistku.
Terakhir aku melihat jam, jam menunjukan jam empat lewat. Beberapa
burung sudah mulai berkicau di luar jendelaku, dan aku tersenyum saat
mataku mulai terasa berat. Seperti baru beberapa menit aku tertidur saat
aku mendengar ada yang mengetuk pintu, dan America menerobos
masuk.
Dia menarik earphone dari telingaku lalu duduk di kursi meja belajarku.
―Selamat pagi, sayang. kau tampak berantakan,‖ dia berkata sambil
meniup gelembung pink dari mulutnya lalu membiarkannya meletus
dengan suara yang keras.
―Diamlah, America!‖ Kara berkata dari bawah selimutnya.
―kau sadar kan orang sepertimu dan Travis akan bertengkar?‖ America
berkata, mengikir kukunya sambil mengunyah permen karet di
mulutnya.
Aku berbalik di tempat tidur. ―kau resmi dipecat. kau seharusnya
membelaku.‖
Dia tertawa. ―Aku sangat mengenalmu. Jika aku memberimu kunci
mobilku sekarang, kau akan langsung pergi menuju rumah Travis.‖
―Tidak, tidak akan!‖
―Terserah saja,‖ dia terlihat senang.
―Ini baru jam delapan pagi, Mare. Mereka mungkin masih tertidur
pulas.‖
Beberapa saat kemudian, aku mendengar ketukan pelan di pintu. Lengan
Kara keluar dari selimut dan memutar pegangan pintu. Pintu dengan
pelan terbuka, memperlihatkan Travis yang sedang berdiri di depan
pintu.
―Bolehkah aku masuk?‖ dia bertanya dengan suara pelan dan serak.
Bulatan ungu di bawah matanya memberitahu kurang tidurnya dia, jika
memang dia sempat tidur.
Aku duduk di tempat tidur, terkejut oleh penampilannya yang
berantakan. ―kau tidak apa-apa?‖
Dia melangkah masuk dan berlutut di hadapanku. ―Aku sangat
menyesal, Abby. Maafkan aku.‖ Dia berkata, memeluk pinggangku dan
menenggelamkan kepalanya di pangkuanku.
Aku memeluk kepalanya dan melihat ke arah America.
―Aku ehm...aku akan pergi,‖ dia berkata, meraba-raba mencari pegangan
pintu dengan canggung.
Kara menggosok matanya lalu menghela nafas, kemudian mengambil tas
peralatan mandinya. ―Aku selalu sangat bersih kalau kau ada di sini,
Abby,‖ dia menggerutu, membanting pintu di belakangnya.
Travis melihat ke atas ke arahku. ―Aku tahu aku menjadi gila kalau itu
tentangmu, tapi Tuhan tahu aku berusaha, Pidge. Aku tidak mau
mengacaukan ini.‖
―Kalau begitu jangan.‖
―Ini sangat sulit untukku, kau tahu. Aku merasa setiap saat kau akan
menyadari betapa tidak berharganya aku lalu meninggalkanku. Ketika
kau berdansa tadi malam, aku melihat banyak pria berbeda yang
memperhatikanmu. kau pergi ke bar, dan aku melihat kau berterimakasih
pada pria itu untuk minumanmu. Lalu orang brengsek yang di lantai
dansa itu memegangmu.‖
―kau tidak melihatku memukuli setiap wanita yang berbicara denganmu.
Aku tidak bisa selalu diam di apartemen sepanjang waktu. kau harus
bisa untuk dapat mengontrol emosimu.‖
―Aku akan bisa mengontrolnya. Aku tidak pernah ingin punya kekasih
sebelumnya, Pigeon. Aku tidak terbiasa merasa seperti ini tentang
seseorang…tentang siapapun. Jika kau mau bersabar terhadapku, aku
bersumpah akan mengatasinya.‖
―Mari kita luruskan beberapa hal; kau bukan orang yang tidak berguna,
kau adalah orang yang sangat mengagumkan. Tidak peduli siapa yang
membelikanku minuman, atau yang mengajakku berdansa, atau yang
mencoba merayuku. Aku akan pulang bersamamu. kau minta aku untuk
mempercayaimu, tapi kau tampak tidak percaya padaku.‖
Dia cemberut. ―Itu tidak benar.‖
―Jika kau pikir aku akan meninggalkanmu untuk pria yang datang
padaku berikutnya, itu berati kau tidak mempercayaiku.‖
Dia mempererat pegangannya. ―Aku tidak cukup baik untukmu, Pidge.
Itu bukan berarti aku tidak percaya padamu, aku hanya bersiap untuk hal
yang sudah pasti akan terjadi.‖
―Jangan berkata seperti itu. Saat kita berdua, kau sangat sempurna. Kita
sangat sempurna. Tapi kau membiarkan orang lain menghancurkannya.
Aku tidak mengharapkan kau berubah seratus delapan puluh derajat, tapi
kau harus memilih mana hal yang lebih penting. kau tidak bisa selalu
memukul setiap orang yang melihatku.‖
Dia mengangguk. ―Aku akan melakukan apapun maumu. Tapi…katakan
bahwa kau mencintaiku.‖
―Kau tahu itu.‖
―Aku ingin mendengar kau mengatakannya,‖ dia berkata, alisnya
terangkat.
―Aku mencintaimu,‖ aku berkata sambil menciumnya. ―Sekarang
berhentilah berkelakuan seperti anak kecil.‖
Dia tertawa, merangkak naik ke tempat tidurku. Kami menghabiskan
waktu selama satu jam di tempat yang sama di bawah selimut, cekikikan
dan berciuman, hampir tidak menyadari saat Kara kembali dari kamar
mandi.
―Bisakah kau keluar? Aku harus berpakaian,‖ Kara berkata pada Travis,
mengencangkan jubah mandinya.
Travis mencium pipiku, lalu melangkah keluar kamar. ―Sampai bertemu
sebentar lagi.‖
Aku menjatuhkan kepalaku ke atas bantal saat Kara menggeledah
lemarinya. ―Kenapa kau kelihatan sangat senang, Abby? Kekasihmu
adalah contoh utama, yang menakutkan mengingat dia dari yang tidak
pernah menghormati wanita sama sekali menjadi yang berpikir bahwa
dia membutuhkanmu untuk bernafas.‖
―Mungkin dia memang begitu.‖ aku berkata, tidak akan membiarkan dia
merusak moodku.
―Apa kau tidak ingin tahu mengapa bisa seperti itu? Maksudku….dia
pernah tidur dengan sebagian dari wanita yang ada di kampus ini.
Kenapa kau yang dia pilih?‖
―Dia bilang aku berbeda.‖
―Tentu saja saja dia bilang begitu. Tapi kenapa?‖
―Kenapa kau peduli?‖ aku membentak.
―Sangat berbahaya untuk membutuhkan seseorang sebegitu besarnya.
kau berusaha untuk menolongnya dan dia berharap kau dapat
menolongnya. Kalian berdua adalah musibah.‖
Aku tersenyum sambil melihat langit-langit. ―Tidak penting apa atau
mengapa begitu. Ketika itu berjalan dengan baik, Kara…itu sangat
indah.‖
Dia memutar matanya. ―kau memang tidak ada harapan.‖
Travis mengetuk pintu, dan Kara membiarkan dia masuk.
―Aku akan ke ruang makan untuk belajar. Semoga beruntung,‖ dia
berkata dengan suara paling tulus yang dia bisa kerahkan.
―Semoga beruntung untuk apa?‖ Travis bertanya.
―Dia bilang kita berdua adalah musibah.‖
―Beritahu aku sesuatu yang tidak aku ketahui,‖ dia tersenyum. Matanya
tiba-tiba menjadi fokus, dan dia mencium bagian belakang telingaku.
―Kenapa kau tidak pulang bersamaku?‖
Aku menaruh tanganku di belakang lehernya dan mendesah karena
bibirnya yang lembut di kulitku.
―Aku pikir aku akan tinggal di sini. Aku selalu berada di apartemenmu.‖
Kepalanya terangkat. ―Terus kenapa? kau tidak suka berada di sana?‖
Aku menyentuh pipinya lalu menghela nafas. Dia sangat cepat cemas.
―Tentu saja aku senang berada di sana, tapi aku tidak tinggal di sana.‖
Dia mengusapkan ujung hidungnya di leherku. ―Aku ingin kau berada di
sana. Aku menginginkanmu di sana setiap malam.‖
―Aku tidak akan tinggal bersamamu,‖ aku berkata sambil
menggelengkan kepala.
―Aku tidak memintamu untuk tinggal bersamaku. Aku hanya bilang aku
ingin kau ada di sana.‖
―Sama saja!‖ aku tertawa.
Travis cemberut. ―Kau serius tidak akan menginap bersamaku malam
ini?‖
Aku menggelengkan kepala, dan matanya bergerak menatap dinding
kamarku lalu ke langit-langit.
Aku hampir dapat melihat roda yang berputar di dalam kepalanya. ―Kau
sedang memikirkan apa?‖ aku bertanya, memicingkan mataku.
―Aku berusaha memikirkan tentang membuat taruhan baru.‖
®LoveReads
Bab 12
Serasi
―Mr. Maddox, bisakah kau berhenti sebentar hingga kelas usai?‖ kata
Prof. Chaney, bereaksi karena mendengarku cekikikan saat Travis
menciumi leherku.
Aku berdehem, merasa malu.
―Saya rasa tidak akan bisa, Dr. Chaney. Apakah anda sudah melihat
dengan baik wajah kekasihku?‖ kata Travis sambil menunjuk padaku.
Suara tawa bergema di seluruh ruangan dan wajahku merah padam.
Prof. Chaney melihat sekilas ke arahku dengan sedikit tersenyum,
dengan sedikit canggung dia menggelengkan kepalanya pada Travis.
―Lakukan sebisa mungkin,‖ kata Chaney.
Seluruh kelas tertawa lagi, dan aku merosot di kursiku. Travis
meletakkan tangannya di atas sandaran kursiku, dan pelajaran pun di
lanjutkan. Setelah kelas selesai, Travis mengantarku ke kelas berikutnya.
―Maaf kalau aku sudah membuatmu malu. Aku tidak bisa menahan
diriku.‖
―Berusahalah.‖
Parker berjalan melewati kami, lalu ketika aku membalas anggukannya
dengan senyuman, matanya jadi bersinar. ―Hai, Abby. Sampai bertemu
di dalam.‖ Dia masuk ke dalam kelas, Travis menatap tajam ke arahnya
untuk beberapa saat yang menegangkan.
―Hey,‖ aku menarik tangan Travis hingga dia melihat ke arahku.
―Lupakan dia.‖
―Dia cerita pada semua orang di The House kalau kau masih
menelponnya.‖
―Itu tidak benar,‖ kataku, tidak terpengaruh.
―Aku tahu itu, tapi mereka tidak. Dia bilang dia hanya menunggu
waktunya. Dia mengatakan pada Brad kalau kau menunggu waktu yang
tepat untuk mencampakkan aku, dan bagaimana kau meneleponnya
untuk bilang betapa kau tidak bahagia. Dia mulai membuatku kesal.‖
―Dia benar-benar punya imajinasi.‖ Aku menatap Parker dan ketika
mata kami bertemu dan dia tersenyum, aku melotot ke arahnya.
―Apakah kau akan marah kalau aku membuatmu malu sekali lagi?‖
Aku mengangkat bahuku dan tanpa membuang waktu Travis
menuntunku ke dalam kelas. Dia berhenti di tempat dudukku, lalu
menaruh tasku di lantai. Dia melihat ke arah Parker lalu menarikku ke
pelukannya, satu tangannya di leherku, dan tangan satunya di
punggungku lalu menciumku, dalam dan bertekad. Dia menciumku
seperti saat kami sedang berada di kamarnya, dan aku tidak bisa
menahannya selain menarik kaosnya dengan kedua tanganku.
Suara bisikan dan cekikikan semakin terdengar keras saat Travis dengan
jelas tidak akan melepaskanku dalam waktu dekat.
―Aku rasa dia baru saja membuatnya hamil!‖ kata seseorang di belakang
kelas, tertawa.
Aku menjauh dari Travis dengan mata tertutup, berusaha untuk tenang
kembali. Saat aku melihat Travis, dia sedang menatapku mencoba untuk
menahan dirinya juga.
―Aku hanya ingin menekankan maksudku,‖ dia berbisik.
―Bagus,‖ aku mengangguk.
Travis tersenyum, mencium pipiku lalu melihat ke arah Parker yang
terlihat sangat marah di kursinya.
―Sampai bertemu nanti saat makan siang,‖ Travis mengedipkan sebelah
matanya padaku.
Aku duduk di kursiku lalu menghela nafas, berusaha untuk
menghilangkan rasa menggelitik di antara pahaku.
Aku berusaha konsentrasi pada pelajaran Kalkulus, dan ketika kelas usai
aku menyadari Parker berdiri di tembok dekat pintu.
―Parker,‖ aku mengangguk, bertekad untuk tidak memberinya reaksi
yang dia harapkan.
―Aku tahu kau berpacaran dengannya. Dia tidak harus melecehkanmu
seperti itu di depan seluruh kelas hanya untuk memberitahuku.‖
Aku berhenti berjalan dan siap untuk menyerang. ―Mungkin seharusnya
kau berhenti untuk mengatakan pada semua temanmu kalau aku
meneleponmu. kau akan mendorongnya terlalu jauh dan aku tidak akan
mengasihanimu kalau sampai dia menendangmu.‖
Dia mengerutkan hidungnya. ―Dengarkan dirimu. kau terlalu sering
bersama Travis.‖
―Tidak, inilah aku. Ini hanya bagian dari aku yang kau tidak tahu sama
sekali.‖
―kau tidak memberiku kesempatan, kan?‖
Aku menghela nafas. ―Aku tidak ingin bedebat denganmu, Parker.
Hanya saja itu tidak akan berjalan dengan baik, OK?‖
―Tidak, itu tidak baik. kau pikir aku menikmati ditertawakan oleh
seluruh Eastern? Travis Maddox adalah seseorang yang kami hargai
karena membuat kami terlihat baik. Dia memperalat wanita, lalu
mencampakkannya, dan bahkan orang paling brengsek di seluruh
Eastern pun tampak seperti Pangeran Tampan di samping Travis.‖
―Kapan kau akan membuka matamu dan menyadari kalau dia berbeda
sekarang?‖
―Dia tidak mencintaimu, Abby. kau hanya mainan baru baginya. Bahkan
setelah kejadian tadi di kelas, aku beranggapan kau bukan lagi mainan
barunya.‖
Aku menampar wajahnya diikuti suara keras sebelum aku menyadari apa
yang telah aku lakukan. ―Jika kau menunggu beberapa saat, aku akan
melakukannya untukmu, Pidge,‖ kata Travis sambil menarikku ke
belakangnya.
Aku menarik lengannya. ―Travis, jangan.‖
Parker terlihat sedikit gugup saat garis merah bekas telapak tanganku
muncul di wajahnya.
―Aku sudah memperingatkanmu,‖ kata Travis, mendorong Parker
dengan kasar ke tembok.
Rahang Parker menjadi tegang lalu dia melihat ke arahku. ―Anggap ini
sebagai penutupan, Travis. Aku tahu sekarang kalau kalian berdua
memang serasi satu sama lain.‖
―Terima kasih.‖ kata Travis, meletakkan tangannya memeluk bahuku.
Parker menjauh dari tembok lalu dengan cepat berbelok ke pojok untuk
menuruni tangga, memastikan Travis tidak mengikuti dengan melihat
sekilas ke belakang.
―kau tidak apa-apa?‖ tanya Travis.
―Tanganku sakit.‖
Dia tersenyum. ―Itu tadi hebat, Pidge. Aku terkesan.‖
―Dia mungkin akan menuntutku dan aku akan berakhir membiayai
kuliahnya di Harvard. Apa yang kau lalukan di sini? Kupikir kita akan
bertemu di kafetaria?‖
Bibirnya tersenyum nakal. ―Aku tidak bisa berkonsentrasi di kelas tadi.
Aku masih merasakan ciuman tadi.‖
Aku melihat ke sekeliling lorong lalu menatapnya. ―Ayo, ikut aku.‖
Alisnya terangkat karena tersenyum. ―Apa?‖
Aku berjalan mundur, menariknya bersamaku hingga aku merasakan
pegangan pintu ruangan laboratorium Fisika. Pintunya terbuka, dan aku
melihat ke belakang, melihat ruangan yang kosong dan gelap. Aku
menarik lengannya, cekikikan karena ekspresi bingungnya, lalu
mengunci pintu dan mendorongnya ke pintu.
Aku menciumnya dan dia tertawa pelan. ―Apa yang kau lakukan?‖
―Aku tidak ingin kau sulit berkonsentrasi di kelas,‖ jawabku, sambil
menciuminya lagi. Dia mengangkatku dan menaruh kakiku di sekeliling
tubuhnya.
―Aku tidak yakin apa yang akan aku lakukan tanpamu,‖ dia berkata
sambil memelukku dengan satu tangannya dan membuka ikat
pinggangnya dengan tangan satunya lagi, ―tapi aku tak pernah ingin
mengetahuinya. Kau adalah segalanya yang aku inginkan, Pigeon.‖
―Ingat itu saat aku mengambil semua uangmu saat malam poker
berikutnya,‖ aku berkata sambil membuka kaosku.
®LoveReads
________________
Karena disebut seorang Lucky Thirteen, Abby benci angka tiga belas.
Jadi dalam novel ini tak ada Bab 13. Setelah Bab 12 lompat ke Bab 14
Bab 14
Full House
Pigeon
―kau menyukainya?‖ tanyanya.
―kau membuat tatoo namaku di pergelangan tanganmu?‖ aku
mengatakan itu tapi tidak terdengar seperti suaraku. Pikiranku tidak bisa
fokus, tapi aku berusaha tetap bicara dengan suara tenang.
―Ya,‖ dia berkata sambil mencium pipiku saat aku menatap tidak
percaya pada tinta permanen di kulitnya.
―Aku berusaha melarangnya, Abby. Dia sudah beberapa lama tidak
melakukan sesuatu yang gila.
Aku pikir dia akan menjadi gila,‖ kata Shepley, menggelengkan
kepalanya.
―Bagaimana menurutmu?‖ Travis meminta jawaban.
―Aku tidak tahu harus bagaimana,‖ kataku.
―kau seharusnya meminta izin pada Abby sebelumnya, Trav,‖ kata
America, menggelengkan kepalanya dan menutup mulut dengan jarinya.
―Minta izin untuk apa? Untuk membuat tatoo?‖ dia mengernyit, melihat
padaku lagi. ―Aku mencintaimu. Aku ingin semua orang tahu bahwa aku
adalah milikmu.‖
Aku bergerak dengan gugup,‖Tapi itu permanen, Travis,‖
―Begitu juga dengan hubungan kita, permanen,‖ dia berkata sambil
menyentuh pipiku.
―Perlihatkan padanya yang satu lagi,‖ kata Shepley.
―Satu lagi?‖ aku berkata sambil melihat pergelangan tangannya yang
satu lagi.
Travis berdiri, mengangkat kaosnya. Perut six-pack nya terlihat
mengagumkan dan kencang saat dia bergerak. Travis berputar, dan di
sisi tubuhnya ada tatoo lain yang membentang sepanjang tulang
rusuknya.
―Apa itu?‖ aku berkata sambil memicingkan mataku pada simbol
vertikal di tubuhnya.
―Itu bahasa Ibrani,‖ Travis tersenyum.
―Apa artinya itu?‖
―Artinya, ‗ Aku milik kekasihku dan kekasihku adalah miliku‘.‖
Mataku menatap matanya. ―kau tidak puas dengan satu tatoo, jadi harus
membuat dua tatoo?‖
―Ini adalah sesuatu yang selalu aku katakan akan aku lakukan saat
menemukan orang yang tepat.
Aku bertemu denganmu…aku melakukannya dan membuat tatoo ini.‖
Senyumnya hilang saat dia melihat ekspresiku. ―kau marah?‖ dia berkata
sambil menurunkan kaosnya.
―Aku tidak marah. Aku hanya…bingung.‖
Shepley memeluk America dengan satu tangannya dengan erat. ―kau
harus mulai membiasakan diri dengan ini, Abby. Travis orangnya
impulsif dan bersungguh-sungguh terhadap apapun. Ini akan
membuatnya tenang hingga dia bisa menyematkan cincin di jarimu.‖
Alis America terangkat, melihat ke arahku lalu pada Shepley. ―Apa?
Mereka baru saja mulai berpacaran!‖
―Aku…pikir aku perlu minum,‖ kataku sambil melangkah ke dapur.
Travis tertawa geli, memperhatikanku menggeledah lemari. ―Dia
bercanda, Pidge.‖
―Apa aku bercanda?‖ tanya Shepley.
―Dia tidak bilang dalam waktu dekat,‖ Travis membela diri. Dia
berpaling pada Shepley sambil menggerutu, ―Terima kasih banyak,
brengsek.‖
―Mungkin sekarang kau akan berhenti membicarakan hal itu,‖ Shepley
menyeringai.
Aku menuangkan satu sloki tequila ke dalam gelas lalu menenggaknya,
dan menelannya sekaligus.
Aku menekan wajahku saat tequila membakar tenggorokanku.
Travis memeluk pinggangku dari belakang dengan lembut. ―Aku bukan
melamar, Pidge. Ini hanya tatoo.‖
―Aku tahu,‖ kataku, menganggukan kepalaku sambil menuang satu gelas
minuman lagi.
Travis mengambil botol dari tanganku lalu menutupnya, memasukannya
kembali ke lemari. Ketika aku tidak berbalik, dia memutar badanku
hingga berhadapan dengannya.
―Ok. Aku seharusnya membicarakan ini denganmu terlebih dahulu, tapi
aku memutuskan membeli sofa, lalu satu hal menuju hal lainnya. Aku
jadi bersemangat.‖
―Ini terlalu cepat untukku, Travis. kau sudah menyebutkan tentang
tinggal bersama, kau baru saja menandai dirimu dengan namaku, kau
memberitahuku bahwa kau mencintaiku…ini semua terlalu…cepat.‖
Travis cemberut. ―kau panik. Aku sudah bilang jangan panik.‖
―Sangat sulit untuk tidak panik! kau mengetahui tentang ayahku dan
semua yang kau rasakan sebelumnya tiba-tiba menjadi semakin kuat!‖
―Siapa ayahmu?‖ tanya Shepley, sangat jelas merasa tidak senang
karena tidak tahu apa-apa tentang itu. Ketika aku tidak menjawab
pertanyaannya, dia menghela nafas. ―Siapa ayahnya Abby?‖ dia
bertanya pada America. America mengelengkan kepala agar Shepley
diam.
Ekspresi Travis terlihat kesal. ―Perasaanku padamu tidak ada
hubungannya dengan ayahmu.‖
―Kita akan ke pesta kencan besok. Itu seharusnya menjadi hal yang
penting di mana kita mengumumkan hubungan kita, dan sekarang
namaku terukir di tanganmu dan semua pembicaraan tentang bagaimana
kita saling memiliki satu sama lain! Itu menakutkan, ok? Dan aku
panik!‖
Travis menarik wajahku lalu mencium bibirku, kemudian mengangkatku
dari lantai, mendudukanku di meja dapur. Lidahnya memohon untuk
masuk ke dalam mulutku, dan ketika aku mengizinkannya masuk, dia
mengerang.
Jarinya masuk ke pangkal pahaku, menarikku lebih dekat. ―kau sangat
seksi kalau sedang marah,‖ dia berkata sambil tetap menciumku.
―Ok,‖ aku menarik nafas, ―aku sudah tidak marah.‖
Dia tersenyum, merasa senang karena rencananya untuk mengalihkan
telah berhasil. ―Semua tetap sama, Pidge. Masih tetap hanya kau dan
aku.‖
―Kalian berdua memang sinting,‖ kata Shepley, menggelengkan
kepalanya.
America memukul pelan bahu Shepley. ―Abby juga membeli sesuatu
untuk Travis hari ini.‖
―America!‖ aku menegurnya.
―kau sudah menemukan gaun?‖ tanya Travis, tersenyum.
―Ya,‖ aku melingkarkan kaki dan tanganku di tubuhnya. ―Besok giliran
kau yang akan panik.‖
―Aku tidak sabar ingin melihatnya,‖ dia berkata sambil mengangkatku
dari atas meja dapur. Aku melambai pada America saat Travis
menggendongku menelusuri lorong.
®LoveReads
Hari Jumat setelah kelas usai, aku dan America menghabiskan sore di
pusat kota, memanjakan diri dan berdandan. Kuku kaki dan tangan di
kuteks, menghilangkan bulu yang tidak diinginkan, kulit diberi warna
coklat mengkilap, dan rambut di cat warna terang. Saat kami kembali ke
apartemen, semua permukaannya sudah tertutupi oleh beberapa
karangan bunga mawar. Berwarna merah, pink, kuning, dan putih—
tampak seperti toko bunga.
―Ya Tuhan!‖ jerit America saat dia berjalan masuk melewati pintu.
Shepley melihat ke sekelilingnya, berdiri dengan bangga. ―Kami pergi
untuk membeli dua bunga, tapi kami berdua berpikir satu karangan
bunga tidak akan cukup.‖
Aku memeluk Travis. ―Kalian sangat…mengagumkan. Terima kasih.‖
Travis memukul pantatku. ―Tiga puluh menit sebelum pesta di mulai,
Pidge.‖
Para pria berganti pakaian di kamar Travis sementara aku dan America
berdandan di kamar Shepley. Pada saat aku akan mengenakan sepatu
hak tinggiku yang berwarna silver, seseorang mengetuk pintu.
―Waktunya pergi, ladies,‖ kata Shepley.
America melangkah keluar, dan Shepley pun bersiul.
―Di mana dia?‖ tanya Travis.
―Abby mempunyai sedikit kesulitan mengenakan sepatunya. Dia akan
keluar sebentar lagi,‖
America menjelaskan.
―Rasa tegang ini membunuhku, Pidge.‖ teriak Travis.
Aku melangkah keluar, gelisah dengan gaunku sementara Travis berdiri
di hadapanku, tanpa ekspresi.
America menyikutnya dan dia pun berkedip. ―Ya ampun.‖
―Apakah kau siap untuk merasa panik?‖ tanya America.
―Aku tidak panik, dia terlihat sangat mengagumkan,‖ kata Travis.
Aku tersenyum lalu perlahan berputar untuk memperlihatkan padanya
model belakang gaunku yang backless.
―Ok, sekarang aku panik,‖ Travis berkata sambil berjalan ke arahku dan
memutarku.
―kau tidak menyukainya?‖ tanyaku.
―kau harus pakai jaket.‖ Dia berlari kecil ke rak baju lalu dengan
tergesa-gesa membungkus bahuku dengan jaketku.
―Dia tidak bisa memakai itu semalaman, Trav,‖ America tertawa geli.
―kau terlihat cantik, Abby,‖ kata Shepley sebagai permintaan maaf atas
kelakuan Travis.
Ekspresi Travis terluka saat dia bicara. ―Kau memang cantik. kau
terlihat luar biasa…tapi kau tidak bisa memakai itu. Rok mu..wow,
kakimu sangat…rok mu terlalu pendek dan itu hanya setengah gaun. Itu
bahkan tidak ada punggungnya!‖
Aku tidak dapat menahan senyumku. ―Modelnya memang seperti ini,
Travis.‖
―Apa kalian hidup untuk saling menyiksa satu sama lain?‖ Shepley
mengernyit.
―Apa kau punya gaun lain yang lebih panjang?‖ tanya Travis.
Aku melihat ke bawah. ―Sebenarnya bagian depan terlihat cukup
sederhana. Hanya bagian belakangnya saja yang terbuka dan
memperlihatkan punggungku.‖
―Pigeon,‖ Travis meringis pada saat mengatakan kata berikutnya, ―Aku
tidak ingin kau marah, tapi aku tidak bisa membawamu ke rumah
perkumpulanku seperti itu. Aku akan berkelahi pada lima menit pertama
kita tiba di sana, Sayang.‖
Aku mendekatinya lalu berjinjit kemudian mencium bibirnya. ―Aku
percaya kau tidak akan begitu.‖
―Malam ini akan menyebalkan.‖ gerutunya.
―Malam ini akan luar biasa,‖ kata America, merasa tersinggung.
―Pikirkan saja bagaimana mudahnya nanti melepas gaun ini,‖ kataku,
mencium lehernya.
―Itulah masalahnya. Semua pria lain di sana juga akan memikirkan hal
yang sama.‖
―Tapi hanya kau yang akan membuktikannya,‖ kataku riang. Dia tidak
menjawab, dan aku
mendekat lagi untuk menafsirkan ekspresinya. ―Apa kau benar-benar
ingin aku mengganti pakaianku?‖
Travis memperhatikan wajahku, gaunku, kakiku, lalu dia
menghembuskana nafasnya. ―Apapun yang kau pakai, kau tetap cantik.
Aku hanya harus terbiasa dengan itu, kan?‖ dia mengangkat bahunya
dan menggelengkan kepala. ―Baiklah, kita sudah terlambat. Mari kita
pergi.‖
Aku merapatkan tubuhku pada tubuh Travis agar merasa hangat saat
kami berjalan ke mobil Shepley menuju Sigma Tau.
®LoveReads
_____________
*perubahan sikap atau perilaku seorang pemain poker yg
dipakai sebagai petunjuk pemain lain utk menilai kartunya.
Bab 16
Rumah
Aku menolak untuk membahasnya lebih jauh hingga kami naik pesawat,
takut Travis akan membiarkanku pergi tanpa dirinya. Aku memakai
sabuk pengamanku dan gigiku terkatup rapat, memperhatikan dia yang
sedang menatap penuh kerinduan keluar jendela saat kami naik ke
angkasa malam. Dia sudah mulai merindukan kejahatan dan godaan tak
terbatas yang Vegas telah tawarkan.
―Itu uang yang banyak, Pidge.‖
―Tidak.‖
Dia mendekatkan kepalanya ke arahku. ―Ini keputusanku. Kupikir kau
tidak melihat gambaran besarnya.‖
―Kupikir kau sudah kehilangan akal sehatmu.‖
―Kau bahkan tidak akan mempertimbangkannya?‖
―Tidak, dan begitu juga denganmu. Kau tidak akan bekerja untuk
penjahat yang kejam di Las Vegas, Travis. Itu bener-benar bodoh jika
kau pikir aku akan mempertimbangkannya.‖
Travis menghela nafas dan melihat keluar jendela. ―Pertarungan
pertamaku tiga minggu lagi.‖
Mulutku menganga. ―Kau sudah menyetujuinya?‖
Dia mengedipkan satu matanya. ―Belum.‖
―Tapi kau akan menyetujuinya?‖
Dia tersenyum. ―Kau akan berhenti marah saat aku membelikanmu
mobil Lexus.‖
―Aku tidak ingin mobil Lexus.‖ aku mendesis marah.
―Kau bisa membeli apapun yang kau mau, sayang. Bayangkan
bagaimana rasanya mendatangi dealer manapun yang kau mau, dan yang
harus kau lakukan hanya tinggal memilih warna favoritmu.‖
―Kau tidak melakukan ini untukku. Berhentilah berpura-pura seolah kau
melakukan ini untukku.‖
Dia mendekatiku, mencium rambutku. ―Tidak, aku melakukan ini untuk
kita. kau hanya tidak melihat bagaimana hebatnya nanti.‖
Menggigil karena dingin terpancar dari dadaku, bergerak turun ke
punggung terus ke kakiku. Dia tidak akan melihat alasannya hingga
kami tiba di apartemen, dan aku takut kalau Benny sudah memberikan
tawaran yang tidak bisa dia tolak. Aku membuang semua rasa takutku;
aku harus percaya bahwa Travis sangat mencintaiku, cukup untuk
melupakan uang dan janji palsu yang sudah Benny berikan.
―Pidge? kau tahu cara memasak seekor kalkun?‖
―Kalkun? Kataku, tidak siap oleh perubahan topik pembicaraan yang
tiba-tiba.
Dia meremas tanganku. ―Well, liburan Thanksgiving akan segera tiba,
dan kau tahu kalau ayahku menyukaimu. Dia ingin kau datang saat
Thanksgiving, namun kami selalu berakhir dengan memesan pizza dan
menonton pertandingan. Kupikir mungkin aku dan kau akan mencoba
memasak kalkun bersama. Kau tahu, makan malam kalkun sungguhan
sekali ini di rumah keluarga Maddox.‖
Aku menutup rapat bibirku, berusaha agar tidak tertawa. ―Kau hanya
tinggal mencairkan kalkunnya dan menaruhnya di dalam panci lalu
memasaknya di oven seharian. Tidak banyak yang harus di lakukan.‖
―Jadi kau akan datang? kau akan membantuku?‖
Aku mengangkat bahuku. ―Tentu saja.‖
Perhatiannya teralihkan dari lampu di bawah yang memabukkan, dan
aku membiarkan diriku untuk berharap bahwa dia akan melihat betapa
salahnya dia tentang Benny.
®LoveReads
Aku dan America tinggal satu kamar selama seminggu lebih, dan dia
selalu memastikan Shepley tidak mengetahui aku berada di mana
sehingga dia tidak akan tergoda untuk memberitahu Travis tentang
keberadaanku. Ini menjadi pekerjaanku sepenuhnya untuk menghindari
bertemu dengannya.
Aku menghindari kafetaria, kuliah Sejarah, dan aku bermain aman
dengan meninggalkan semua kelas lebih awal. Aku tahu aku harus
bicara dengan Travis pada akhirnya, tapi aku tidak bisa melakukannya
sebelum dia cukup tenang untuk menerima keputusanku.
Aku duduk sendirian pada Jumat malam, berbaring di tempat tidur,
memegang telepon di telingaku.
Aku memutar mataku ketika perutku berbunyi.
―Aku bisa menjemputmu dan mengajakmu makan malam di satu
tempat,‖ kata America.
Aku membalik buku Sejarahku, melewati halaman di mana Travis
mencorat-coret dan menuliskan kata-kata cinta di marginnya. ―Tidak
usah, ini malam pertamamu bersama Shep dalam seminggu ini, Mare.
Aku akan mampir ke kafetaria saja.‖
―Kau yakin?‖
―Ya. Sampaikan salamku untuk Shep.‖
Aku berjalan perlahan ke kafetaria, tidak terburu-buru untuk mendapat
tatapan dari orang-orang yang duduk di kafetaria. Seluruh kampus
terkejut saat mendengar kabar kami putus, dan kelakuan kasar Travis
tidak membantu. Pada saat lampu kafetaria terlihat, aku melihat sosok
gelap mendekat.
―Pigeon?‖
Terkejut, aku tersentak berhenti. Travis melangkah ke dalam cahaya
lampu, tidak bercukur dan pucat. ―Ya Tuhan, Travis! kau menakutiku!‖
―Jika kau menjawab teleponmu ketika aku menelepon, aku tidak akan
mengendap-endap di kegelapan.‖
―kau terlihat seperti baru kembali dari neraka (berantakan),‖ kataku.
―Aku memang sepertinya pergi ke sana satu atau dua kali minggu ini.‖
Aku memeluk tubuhku lebih erat. ―Sebenarnya aku sedang mencari
sesuatu untuk dimakan. Aku akan meneleponmu nanti, ok?‖
―Tidak. Kita harus bicara.‖
―Trav…‖
―Aku sudah menolak Benny. Aku meneleponnya hari Rabu kemarin dan
mengatakan tidak padanya.‖ Ada secercah harapan di matanya, namun
langsung hilang saat dia menyadari ekspresiku.
―Aku tak tahu kau ingin aku mengatakan apa, Travis.‖
―Katakan kau memaafkan aku. Katakan kau akan menerimaku kembali.‖
Aku mengatupkan gigiku dengan rapat, melarang diriku sendiri untuk
menangis. ―Aku tidak bisa.‖
Wajah Travis kusut dan aku mengambil kesempatan untuk berjalan
mengitarinya, namun dia melangkah ke samping untuk menghalangi
jalanku. ―Aku tidak tidur, atau makan…aku tidak bisa konsentrasi. Aku
tahu kau mencintaiku. Semua akan kembali seperti semula jika kau
menerimaku kembali.‖
Aku menutup mataku. ―Kita berdua sama-sama disfungsional, Travis.
Kupikir kau hanya terobsesi dengan pemikiran untuk memilikiku lebih
dari apapun.‖
―Itu tidak benar. Aku mencintaimu lebih dari hidupku, Pigeon,‖ dia
berkata, merasa sakit.
―Itulah maksudku. Itu pembicaraan yang gila.‖
―Itu bukan gila. Itu yang sebenarnya.‖
―Baiklah…jadi apa urutan yang sebenarnya untukmu? Apakah uang,
aku, hidupmu…atau ada lagi sebelum uang?‖
―Aku menyadari yang telah aku lakukan, ok? Aku mengerti mengapa
kau berpikir begitu, tapi jika aku tahu kau akan meninggalkanku, aku tak
akan pernah…aku hanya ingin mengurus segala keperluanmu.‖
―Kau sudah pernah mengatakan itu.‖
―Aku mohon jangan lakukan ini. Aku tak tahan merasa seperti
ini…ini…ini membunuhku,‖ dia berkata sambil menarik nafas seolah
udara melumpuhkannya.
―Aku sudah merasa cukup, Travis.‖
Dia meringis. ―Jangan mengatakan itu.‖
―Semua sudah berakhir. Pulanglah ke rumah.‖
Alisnya ditarik masuk. ― Kau adalah rumahku.‖
Kata-katanya memotongku, dadaku menjadi sangat tegang hingga sangat
sulit untuk bernafas. ―Kau sudah menentukan pilihanmu, Trav. Aku
menentukan pilihanku,‖ aku berkata sambil memaki dalam hati karena
suaraku yang gemetar.
―Aku akan menjauhi Vegas, dan Benny…aku akan menyelesaikan
kuliahku. Tapi aku membutuhkanmu. Aku membutuhkan dirimu. Kau
adalah sahabatku.‖ Suaranya terdengar putus asa dan hancur, sama
dengan ekspresinya.
Di remang-remang cahaya aku dapat melihat air mata jatuh dari
matanya, dan dalam sekejap dia meraihku dan aku berada dalam
pelukannya, dia mencium bibirku. Dia memelukku dengan erat di
dadanya saat dia menciumku, lalu menahan wajahku dengan tangannya,
menekan bibirnya lebih keras di bibirku, memaksa untuk mendapatkan
reaksi dariku.
―Cium aku,‖ dia berbisik sambil menempelkan bibirnya di bibirku. Aku
tetap menutup mata dan bibirku, merasa tenang di dalam pelukannya.
Dengan sekuat tenaga aku bertahan untuk tidak membalas ciumannya,
karena telah merindukan bibirnya selama satu minggu ini. ―Cium aku,‖
dia memohon. ―Aku mohon, Pigeon! Aku sudah mengatakan tidak pada
Benny!‖
Ketika aku merasakan hangatnya air mata di wajahku yang dingin, aku
mendorongnya. ―Tinggalkan aku sendiri, Travis!‖
Aku baru berjalan beberapa langkah ketika dia menarik pergelangan
tanganku. Lenganku meregang, terentang di belakangku. Namun aku
tidak melihat ke belakang.
―Aku mohon padamu.‖ Lenganku merendah dan tertarik saat dia
berlutut. ―Aku mohon padamu, Abby. Jangan lakukan ini.‖
Aku berbalik dan melihat ekspresinya yang penuh penderitaan, lalu
pandanganku tertuju ke lenganku lalu ke arah lengannya Travis, melihat
namaku dalam huruf hitam tebal meregang di pergelangan tangannya.
Aku berpaling, ke arah kafetaria. Dia telah membuktikan padaku yang
aku takuti selama ini. Sebesar apapun dia mencintaiku, ketika
berhubungan dengan uang, aku akan menjadi urutan kedua. Sama seperti
aku dan Mick.
Jika aku menyerah, dia akan merubah pikirannya lagi tentang Benny,
atau dia akan membenciku setiap kali uang akan membuat hidupnya
lebih mudah. Aku membayangkan dia bekerja sebagai pegawai biasa,
pulang ke rumah dengan pandangan yang sama di matanya sama seperti
Mick saat dia pulang setelah malamnya yang tidak beruntung. Dia akan
menyalahkanku karena hidupnya tidak seperti yang dia inginkan, dan
aku tidak bisa membiarkan masa depanku terganggu oleh kepahitan dan
penyesalan yang aku dulu tinggalkan di belakang.
―Lepaskan aku, Travis.‖
Setelah beberapa saat akhirnya dia melepaskan lenganku. Aku berlari
menuju pintu kaca, mendorongnya terbuka tanpa melihat ke belakang.
Semua orang di ruangan itu menatapku saat aku berjalan ke meja
prasmanan, dan ketika aku mencapai tujuanku, aku memiringkan
kepalaku melihat ke luar jendela dimana Travis masih berlutut, telapak
tangan di atas jalan beraspal.
Melihat dia berlutut membuat air mata yang aku tahan dari tadi mengalir
deras di wajahku. Aku melewati tumpukan piring dan nampan, berlari di
lorong menuju kamar mandi. Sudah cukup buruk semua orang
menyaksikan adegan antara aku dan Travis. Aku tidak bisa membiarkan
mereka melihatku menangis.
®LoveReads
Aku meringkuk di dalam bilik kamar mandi selama satu jam, menangis
tak terkendali hingga aku mendengar ketukan pelan di pintu.
―Abby?‖
Aku terisak. ―Apa yang kau lakukan di sini, Finch? kau ada di kamar
mandi wanita.‖
―Kara melihatmu datang lalu dia menjemputku ke asrama. Biarkan aku
masuk,‖ dia berkata dengan suara yang lembut.
Aku menggelengkan kepala. Aku tahu dia tidak bisa melihatku, tapi aku
tidak dapat mengeluarkan satu patah katapun. Aku mendengar dia
menarik nafas lalu telapak tangannya menepuk lantai saat dia merangkak
di bawah bilik.
―Aku tidak percaya kau membuatku melakukan ini,‖ kata Finch,
menarik tubuhnya ke bawah dengan tangannya. ―Kau akan menyesal
tidak membukakan pintu, karena aku baru saja merangkak melewati
lantai yang berlumuran air kencing dan aku sekarang akan
memelukmu.‖
Aku tertawa satu kali, lalu wajahku seperti ditekan di sekitar bibirku saat
Finch menarikku ke dalam pelukannya. Aku berdiri, dan Finch
menurunkanku ke lantai, menarikku ke atas pangkuannya.
―Sssshh,‖ dia berkata sambil menggoyang-goyangkanku di pelukannya.
Dia menarik nafas dan menggelengkan kepala. ―Ya ampun, Girl. Apa
yang harus kulakukan padamu?‖
®LoveReads
Bab 17
Tidak, Terima Kasih
―Ow!‖ jeritku, menarik tanganku dari kompor dan secara otomatis aku
menghisap luka bakar dengan mulutku.
―Kau baik-baik saja, Pidge?‖ tanya Travis, berjinjit di lantai dan
memasukan kaos ke kepalanya.
―Sialan! Lantainya sangat dingin!‖ aku menahan senyum geliku saat aku
melihatnya melompat dengan satu kaki lalu kaki satu lagi hingga telapak
kakinya terbiasa dengan lantai yang dingin.
Matahari baru saja mengintip di tirai, dan Maddox yang lain masih
tertidur dengan nyenyak di kamar mereka. Aku mendorong panci timah
antik lebih jauh ke dalam oven lalu menutup pintunya, berbalik untuk
mendinginkan jariku di wastafel.
―Kau boleh kembali tidur. Aku hanya harus meletakkan kalkun ke dalam
oven.‖
―Apa kau akan ikut tidur?‖ dia bertanya, memeluk dadanya dengan
tangan untuk menangkal rasa dingin di udara.
―Ya.‖
―Silahkan duluan,‖ kata Travis, mengayunkan tangannya ke arah tangga.
Travis menarik lepas kaosnya saat kami berdua memasukan kaki di
bawah selimut, menariknya hingga leher. Dia mengencangkan
tangannya di sekelilingku saat kami berdua menggigil, menunggu panas
tubuh kami menghangatkan jarak kecil di antara kulit kami dan selimut.
Aku merasakan bibirnya di rambutku, lalu tenggorokannya bergerak saat
dia berbicara. ―Lihat, Pidge. Salju turun.‖ Aku memalingkan wajahku ke
jendela. Butiran putih hanya terlihat di bawah cahaya lampu jalan.
―Rasanya seperti Natal,‖ kataku, kulitku akhirnya menjadi hangat di
dekatnya.
Dia menghela nafas dan aku berpaling untuk melihat ekspresinya.
―Kenapa?‖
―Kau tidak akan di sini saat Natal.‖
―Aku di sini, sekarang.‖ Dia menarik ke atas satu sisi bibirnya lalu
mendekat untuk mencium bibirku. Aku menjauh ke belakang dan
menggelengkan kepala. ―Trav…‖
Cengkeramannya semakin erat dan dia merendahkan dagunya, matanya
yang coklat sudah bertekad.
―Aku punya kurang dari dua puluh empat jam bersamamu, Pidge. Aku
akan sering menciummu hari ini. Sepanjang hari. Setiap ada
kesempatan. Jika kau ingin aku berhenti, tinggal katakan saja, tapi
hingga kau mengatakannya, aku akan membuat setiap detik hari
terakhirku bersamamu berarti.‖
―Travis—,‖ aku memikirkannya beberapa saat, dan aku beralasan bahwa
dia sedang merasa kecewa tentang apa yang akan terjadi saat dia
mengantarku pulang. Aku harus datang ke sana berpura-pura, dan sesulit
apapun untuk kami berdua nantinya, aku tidak ingin mengatakan tidak
padanya.
Ketika dia menyadari aku menatap bibirnya, ujung bibirnya naik lagi,
dan dia mendekat untuk menekan bibir halusnya di bibirku. Awalnya
lembut dan murni, namun setelah bibirnya terbuka, aku membelai
lidahnya dengan lidahku. Tubuhnya langsung menegang, dan dia
menarik nafas dari hidungnya, mendekatkan tubuhnya padaku. Aku
membiarkan lututku jatuh ke samping dan dia berada di atasku, tidak
melepaskan bibirnya dari bibirku.
Dia tidak membuang waktu untuk membuka pakaianku, dan pada saat
tidak ada lagi kain di antara kami, dia mencengkeram ornamen
tumbuhan merambat yang terbuat dari besi di kepala tempat tidur
dengan kedua tangannya, dan dengan gerakan cepat, dia sudah berada di
dalam tubuhku. Aku menggigit bibirku dengan kuat, menahan jeritan
yang merangkak ke atas tenggorokanku. Travis mengerang di bibirku,
dan aku menekan kakiku ke tempat tidur, menahan tubuhku sehingga
aku dapat mengangkat pinggulku untuk bertemu pinggulnya.
Satu tangan di besi dan satu lagi di tengkukku, dia bergoyang di atasku
berkali-kali, dan kakiku bergetar karena gerakannya yang kuat dan
keras. Lidahnya mencari bibirku, dan aku bisa merasakan getaran
erangannya yang dalam di dadaku saat dia menepati janjinya untuk
membuat hari terakhir kami tidak akan terlupakan. Aku dapat
menghabiskan seribu tahun mencoba menghalangi momen itu dari
ingatanku, dan itu akan tetap membekas di pikiranku.
Satu jam telah berlalu saat aku menutup rapat mataku, setiap urat
sarafku fokus pada getaran di dalam tubuhku. Travis menahan nafasnya
saat dia mendorong ke dalam tubuhku untuk terakhir kalinya, aku
ambruk di atas tempat tidur, benar-benar kehabisan tenaga. Travis
mendesah dengan nafas yang dalam, terdiam dan berkeringat.
Aku dapat mendengar suara-suara di bawah dan aku menutup mulutku
dengan tangan, tertawa geli karena kelakuan nakal kami. Travis
menyamping, memeriksa wajahku dengan matanya yang berwarna
coklat dan lembut.
―Kau bilang hanya akan menciumku,‖ aku tersenyum.
Saat aku berbaring di dekat tubuhnya yang telanjang, melihat cinta yang
tulus di matanya, aku menghilangkan rasa kecewa, kemarahanku, dan
pendirianku yang keras kepala. Aku mencintainya, dan tak peduli
apapun alasanku untuk hidup tanpa dirinya, aku tahu bukan itu yang aku
mau.
Bahkan jika aku tidak berubah pikiran, sangat tidak mungkin bagi kami
untuk menjauhi satu sama lain.
―Kenapa kita tidak diam di tempat tidur saja seharian?‖ dia tersenyum.
―Aku datang kemari untuk memasak, ingat?‖
―Bukan, kau datang kemari untuk membantuku memasak, dan aku baru
akan mengerjakan tugasku delapan jam lagi.‖
Aku menyentuh wajahnya, dorongan untuk mengakhiri penderitaan
kami menjadi tidak tertahankan.
Saat aku mengatakan padanya aku merubah pikiranku dan keadaan itu
akan kembali normal, kami tidak harus menghabiskan hari dengan
berpura-pura. Sebaliknya kami dapat menghabiskannya dengan
merayakannya.
―Travis, aku pikir kita…‖
―Jangan katakan itu, ok? Aku tak ingin memikirkan tentang itu hingga
pada saatnya.‖ Dia berdiri dan mengenakan celana boxernya, berjalan
menuju tasku. Dia melemparkan pakaianku ke atas tempat tidur lalu
menarik masuk kaos ke kepalanya. ―Aku ingin mengingat ini sebagai
hari yang indah.‖
Aku memasak telur untuk sarapan dan sandwiches untuk makan siang,
dan ketika pertandingan dimulai, aku menyiapkan makan malam. Travis
berdiri di belakangku dalam setiap kesempatan, lengannya memeluk
pinggangku, bibirnya di leherku. Aku menangkap basah diriku melirik
jam, ingin sekali menemukan momen berdua dengannya untuk
memberitahunya keputusanku. Aku tidak sabar untuk melihat ekspresi
wajahnya dan untuk kembali ke keadaan semula.
Hari itu diisi dengan suara tawa, mengobrol, dan keluhan yang terus
menerus dari Tyler karena Travis yang terus menunjukan rasa
sayangnya.
―Carilah kamar kosong, Travis! Ya Tuhan!‖ Tyler mengeluh.
―Kau berubah jadi iri setengah mati,‖ Thomas menggodanya.
―Itu karena mereka membuat aku mual. Aku tidak iri, brengsek,‖ Tyler
mendesis marah.
―Biarkan mereka, Ty,‖ Jim memperingatkan.
Saat kita duduk untuk menikmati makan malam, Jim memaksa Travis
untuk memotong kalkunnya, dan aku tersenyum saat dia dengan bangga
berdiri dan mematuhinya. Aku sedikit cemas hingga pujian
menghilangkan rasa cemasku. Pada saat aku menghidangkan pie, tidak
ada sepotong makanan pun yang tersisa di meja.
―Apa aku cukup membuatnya? Aku tertawa.
Jim tersenyum, menarik garpu dari mulutnya untuk bersiap memakan
makanan penutup. ―Kau membuatnya cukup banyak, Abby. Kami hanya
memuaskan diri hingga tahun depan lagi…kecuali kau ingin melakukan
ini lagi saat Natal. Kau seorang Maddox sekarang. Aku mengharapkan
kedatanganmu setiap hari libur, dan bukan untuk memasak.‖
Aku melirik ke arah Travis yang senyumannya telah hilang, dan hatiku
tenggelam. Aku harus cepat memberitahunya. ―Terima kasih, Jim.‖
―Jangan bilang begitu padanya, Ayah,‖ kata Trenton. ―Dia harus masak.
Aku belum pernah makan seperti ini sejak aku berumur lima tahun!‖ Dia
memasukkan setengah potong pie kacang pikan ke dalam mulutnya,
bersenandung dengan penuh kenikmatan.
Aku merasa seperti di rumah, duduk di meja bersama sekumpulan pria
yang semuanya bersandar di kursi, mengusap perutnya yang penuh.
Emosi membanjiriku saat aku membayangkan Natal, dan Paskah, dan
semua hari libur yang akan aku habiskan di meja ini. Aku tidak
menginginkan lain selain ingin menjadi bagian dari keluarga kacau dan
berisik yang aku kagumi ini.
Ketika pie habis, saudaranya Travis membersihkan meja dan si kembar
bertugas mencuci piring.
―Aku yang akan mengerjakannya,‖ aku berkata sambil berdiri.
Jim mengelengkan kepala. ―Tidakk usah. Mereka akan mengerjakannya.
Kau ajak saja Travis ke sofa dan beristirahat. Kalian berdua sudah
bekerja keras, Sis.‖
Si kembar saling mencipratkan air cucian piring dan Trenton
mengumpat ketika dia tergelincir di atas genangan air dan menjatuhkan
satu piring. Thomas memarahi saudaranya, mengambil sapu dan pengki
untuk membersihkan pecahan kaca. Jim menepuk bahu anaknya, lalu
memelukku sebelum masuk ke kamarnya untuk tidur.
Travis menarik kakiku ke atas pangkuannya dan melepaskan sepatuku,
memijit telapak kakiku dengan ibu jarinya. Aku menyandarkan kepalaku
ke belakang dan menghela nafas.
―Ini adalah Thanksgiving terbaik kami setelah ibu meninggal.‖
Aku mengangkat kepalaku untuk melihat ekspresinya. Dia tersenyum,
namun diwarnai oleh kesedihan. ―Aku senang aku berada di sini untuk
melihatnya.‖
Ekspresi Travis berubah dan aku menyiapkan diriku pada apa yang akan
dia katakan. Jantungku berdebar di dadaku, berharap dia akan
memintaku kembali sehingga aku bisa mengatakan ya. Las Vegas
tampak seperti sudah sangat lama, duduk di rumah keluarga baruku.
―Aku berbeda. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku di Vegas. Itu
bukan diriku. Aku berpikir tentang segala sesuatu yang bisa kita beli
dengan uang itu, dan hanya itu yang aku pikirkan. Aku tidak melihat
betapa itu menyakitimu karena aku ingin mengajakmu kembali ke sana,
tapi di dalam hatiku, aku pikir aku tahu. Aku pantas untuk ditinggalkan
olehmu. Aku pantas menerima semua waktu tidurku yang hilang, dan
rasa sakit yang aku rasakan. Aku membutuhkannya untuk menyadari
betapa aku membutuhkanmu, dan apa yang akan aku lakukan untuk
membuatmu tetap berada dalam hidupku.‖
Aku menggigit bibirku, tidak sabar menunggu saat aku akan berkata ya.
Aku ingin dia membawaku kembali ke apartemennya dan menghabiskan
sisa malam ini dengan merayakannya. Aku tidak sabar untuk bersantai di
sofa barunya bersama Toto, menonton film dan tertawa seperti kita yang
dulu.
―Kau bilang kau sudah merasa cukup denganku, dan aku menerima itu.
Aku orang yang berbeda setelah bertemu denganmu. Aku
berubah…menjadi lebih baik. Tapi tidak peduli sekeras apapun aku
berusaha, aku sepertinya tidak dapat melakukan hal yang benar di
matamu. Kita berteman awalnya, dan aku tidak bisa kehilanganmu,
Pigeon. Aku akan selalu mencintaimu, tapi jika aku tidak bisa
membuatmu bahagia, tidak masuk akal untukku berusaha
mendapatkanmu kembali. Aku tidak bisa membayangkan untuk bersama
orang lain, tapi aku akan bahagia selama kita masih berteman.‖
―Kau ingin kita berteman?‖ tanyaku, kata itu membakar mulutku.
―Aku ingin kau bahagia. Apapun resikonya.‖
Bagian dalam diriku terluka karena kata-katanya, dan aku terkejut akan
rasa sakit yang sangat besar yang aku rasakan. Dia melepaskan diriku,
dan itu tepat pada saat aku tidak menginginkannya. Aku dapat
mengatakan padanya bahwa aku telah merubah pikiranku dan dia akan
menarik kembali semua yang telah dia katakan, tapi aku tahu kalau itu
tidak adil untuk kami berdua untuk bertahan pada saat dia telah
melepaskan.
Aku tersenyum untuk menahan air mata. ―Lima puluh dolar kau akan
berterima kasih padaku untuk ini pada saat kau bertemu calon istrimu
nanti.‖
Alis Travis menyatu saat wajahnya terlihat sedih. ―Itu taruhan yang
mudah. Satu-satunya wanita yang aku ingin nikahi baru saja
mematahkan hatiku.‖
Aku tidak dapat tersenyum setelah itu. Aku mengusap mataku lalu
berdiri. ―Aku pikir sudah waktunya kau mengantarku pulang.‖
―Ayolah, Pigeon. Aku minta maaf, itu tadi tidak lucu.‖
―Bukan karena itu, Trav. Aku hanya lelah, dan aku sudah siap untuk
pulang.‖
Dia menarik nafas dan mengangguk, berdiri. Aku memeluk saudaranya
untuk berpamitan, dan meminta Trenton untuk mengatakan selamat
tinggal pada Jim untukku. Travis berdiri di pintu dengan tas kami saat
mereka semua setuju untuk pulang saat Natal, dan aku menahan
senyumku cukup lama untuk keluar dari pintu.
Ketika Travis mengantarku ke asrama, wajahnya masih tetap terlihat
sedih, namun rasa tersiksanya sudah hilang. Akhir pekan ini bukan satu
usaha untuk mendapatkanku kembali. Melainkan penutupan. Dia
membungkuk untuk mencium pipiku dan menahan pintu terbuka
untukku, memperhatikan saat aku berjalan masuk. ―Terima kasih untuk
hari ini. Kau tak tahu betapa kau telah membuat keluargaku bahagia.‖
Aku berhenti di dasar tangga. ―Kau akan memberitahu mereka besok,
kan?‖
Dia melihat keluar ke tempat parkir lalu melihat ke arahku. ―Aku sangat
yakin mereka sudah mengetahuinya. Kau bukan satu-satunya yang bisa
poker face (wajah yang tak menunjukkan emosi), Pidge.‖
Aku menatapnya, terpana, dan untuk pertama kalinya sejak aku bertemu
dengannya, dia pergi meninggalkanku tanpa melihat ke belakang.
®LoveReads
Bab 18
Kotak
Ujian akhir semester adalah sebuah kutukan bagi semua orang, kecuali
diriku. Aku tetap sibuk, belajar bersama Kara dan America di kamarku
atau di perpustakaan. Ketika jadwal kuliah berubah saat ujian, aku
bertemu Travis hanya sambil lalu. Aku pulang bersama America saat
liburan musim semi, bersyukur karena Shepley tetap tinggal bersama
Travis sehingga aku tidak harus menderita karena melihat pertunjukan
kasih sayang mereka.
Empat hari sebelum liburan usai aku terkena flu, memberiku alasan
bagus untuk tetap di atas tempat tidur. Travis bilang dia ingin menjadi
teman, tapi dia belum menelepon. Sangat lega memiliki beberapa hari
untuk berkubang dalam perasaan kasihan pada diri sendiri. Aku ingin
mengeluarkan ini dari sistemku sebelum kembali kuliah.
Perjalanan kembali ke Eastern terasa sangat lama. Aku sudah tidak sabar
ingin memulai semester di musim semi ini, namun aku lebih tidak sabar
untuk bertemu dengan Travis lagi. Meskipun aku menyadari beberapa
kali bertemu dengannya dia tidak terpengaruh oleh beberapa wanita
yang mendekatinya setelah mendengar kabar tentang putusnya kami, dia
tampak puas dengan pertemanan baru kami. Kami menghabiskan waktu
satu bulan berjauhan, membuatku cemas dan tidak tahu bagaimana harus
bersikap di dekatnya.
Aku gelisah menunggu Travis saat makan siang, namun saat dia datang
dia hanya mengedipkan satu matanya padaku lalu duduk di ujung meja
bersama teman-teman perkumpulannya. Aku
berusaha untuk berkonsentrasi pada pembicaraan America dan Finch
tentang pertandingan football terakhir di musim ini, namun suara Travis
terus menarik perhatianku. Dia sedang menceritakan petualangan dan
gesekannya dengan hukum yang dia alami saat liburan, dan tentang
kekasih barunya Trenton, mereka bertemu suatu malam saat mereka
sedang berada di di The Red Door. Aku menguatkan diri untuk
mendengar nama seorang wanita yang dia bawa pulang atau temui, tapi
jika dia begitu, dia tidak menceritakan itu pada teman-temannya.
Bola berwarna merah dan emas metalik masih tergantung di langit-langit
kafetaria, tertiup oleh pemanas ruangan yang menyala. Aku menarik
cardiganku, dan Finch melihatnya, memelukku di dekatnya dan
menggosok-gosok lenganku. Aku tahu aku terlalu banyak melihat ke
arah Travis, menunggunya melihat ke arahku, tapi dia tampak sudah
lupa kalau aku duduk di meja ini.
Setelah dia menyelesaikan makan siangnya, hatiku bergetar saat dia
berjalan di belakangku dan meletakan tangannya di bahuku.
―Bagaimana pelajaranmu, Shep?‖ tanyanya.
Wajah Shepley seperti dicubit. ―Hari pertama sangat menyebalkan.
Berjam-jam kurikulum dan peraturan kelas. Aku bahkan tak tahu
mengapa aku kuliah pada minggu pertama. Bagaimana denganmu?‖
―Ehm…itu semua bagian dari permainan. Bagaimana denganmu,
Pidge?‖ tanyanya.
―Sama,‖ kataku, menjaga suaraku tetap kasual.
―Apakah liburanmu menyenangkan?‖ dia bertanya sambil
mengoyangkanku ke kanan dan ke kiri.
―Lumayan menyenangkan,‖ aku tersenyum.
―Baguslah. Aku ada kelas lain. Sampai nanti.‖
Aku melihatnya berlari menuju pintu, mendorong keduanya hingga
terbuka, lalu menyalakan rokok sambil jalan.
―Huh,‖ kata America dengan nada tinggi. Dia memperhatikan Travis
memotong jalan berumput melewati salju, lalu menggelengkan
kepalanya.
―Ada apa, Sayang?‖ tanya Shepley.
America meletakan dagunya di atas telapak tangannya, merasa
penasaran. ―Itu sangat aneh, kan?‖
―Kenapa?‖ Shepley bertanya sambil mengibaskan kepang pirang
America ke belakang agar dia bisa menyapukan bibirnya di leher
America.
America tersenyum dan lebih mendekat pada ciuman Shepley. ―Dia
kelihatan hampir normal…senormal yang Travis bisa. Ada apa
dengannya?‖
Shepley menggelengkan kepala dan mengangkat bahunya. ―Aku tak
tahu. Dia sudah seperti itu lumayan lama.‖
―Bagaimana bisa terbalik denganmu, Abby? Dia baik-baik saja,
sedangkan kau menderita,‖ kata America, tidak merasa khawatir akan
terdengar orang lain.
―Kau menderita?‖ tanya Shepley dengan ekspresi terkejut.
Mulutku menganga dan wajahku terbakar karena rasa malu. ―Aku tidak
menderita!‖
America memainkan salad di mangkuknya. ‗Well, dia hampir sangat
gembira.‖
―Sudahlah, Mare,‖ aku memperingatkan.
Dia mengangkat bahunya dan memakan saladnya lagi. ―Aku rasa dia
berpura-pura.‖
Shepley menyikut America. ―America? kau akan pergi ke pesta kencan
pada hari Valentine bersamaku atau tidak?‖
―Tidak bisakah kau bertanya padaku seperti seorang kekasih yang
normal? Dengan baik-baik?‖
―Aku sudah menanyakannya padamu…berkali-kali. kau terus
mengatakan padaku untuk bertanya lagi nanti.‖
America merosot di kursinya, cemberut. ―Aku tidak ingin pergi tanpa
Abby.‖
Wajah Shepley menjadi kacau karena frustrasi. ―Dia selalu bersama
Travis sepanjang waktu terakhir kali kita datang ke pesta itu.Kau hampir
tidak bertemu dengannya.‖
―Berhentilah bersikap seperti anak kecil, Mare,‖ kataku, melemparkan
sebatang seledri padanya.
Finch menyikutku. ―Aku ingin mengajakmu, Cupcake, tapi aku tidak
menyukai semua hal tentang kelompok persaudaraan mahasiswa, maaf.‖
―Itu merupakan ide yang sangat bagus,‖ kata Shepley, matanya berbinar.
Finch meringis pada pemikiran itu. ―Aku bukan Sig Tau, Shep. Aku
bukan apa pun. Kelompok persaudaraan bertentangan dengan agamaku.‖
―Aku mohon, Finch?‖ America meminta.
― Déjà vu,‖ gerutuku.
Finch melihatku dari ujung matanya lalu menghela nafas. ―Ini bukan
masalah pribadi, Abby. Aku tidak bisa mengatakan aku pernah pergi
berkencan…dengan seorang wanita.‖
―Aku tahu.‖ Aku menggelengkan kepala dengan acuh, menghilangkan
rasa maluku. ―Tidak apa-apa. Serius.‖
―Aku membutuhkanmu di sana,‖ kata America. ―Kita sudah bersumpah,
ingat? Tidak boleh datang ke pesta sendirian.‖
―Kau tidak benar-benar sendirian, Mare. Berhentilah menjadi terlalu
dramatis,‖ kataku, menjadi merasa tidak nyaman dengan pembicaraan
ini.
―Kau ingin yang dramatis? Aku membuang sampah dari tempat sampah
yang ada di samping tempat tidurmu, memegangi satu kotak tisu
untukmu semalaman, dan terbangun untuk mengambilkan obat batuk
untukmu dua kali waktu kau sakit saat liburan! kau berhutang padaku!‖
Aku merengut. ―Aku sangat sering memegangi rambutmu agar tidak
terkena muntahmu, America Mason!‖
―kau bersin di wajahku!‖ kata America, menunjuk ke hidungnya.
Aku meniup poni dari mataku. Aku tidak bisa berdebat dengannya
apabila dia sudah bertekad untuk mendapatkan keinginannya. ―Baiklah,‖
kataku sambil menutup rapat gigiku.
―Finch?‖ aku bertanya padanya dengan senyuman terbaikku yang di
paksakan. ―Maukah kau pergi ke pesta Valentine bodohnya Sig Tau
bersamaku?‖
Finch memelukku di sampingnya. ―Ya. Tapi hanya karena kau
menyebutnya pesta bodoh.‖
®LoveReads
Hellerton
―Apa yang terjadi? Ya ampun, Trav, apa yang terjadi pada wajahmu?‖
tanya America, berlari menuruni tangga.
―Aku akan menceritakannya di dalam,‖ kata Shepley, menuntunnya ke
pintu.
Travis mengangkatku ke atas, melewati ruang tamu dan menelusuri
lorong tanpa sepatah katapun, menidurkanku di tempat tidur. Toto
mencakar-cakar kakiku, melompat ke tempat tidur untuk menjilat
wajahku.
―Jangan sekarang, buddy,‖ kata Travis dengan suara pelan,
membawanya ke luar lalu menutup pintu.
Dia berlutut di hadapanku, menyentuh lengan bajuku yang sobek.
Matanya mulai dalam tahap memar, merah dan bengkak. Kulit marah di
atasnya sobek dan basah karena darah. Bibirnya berlumuran darah, dan
beberapa ruas jarinya sobek. Kaosnya yang berwarna putih sekarang
kotor karena campuran darah, rumput dan tanah.
Aku menyentuh matanya dan dia meringis, menjauh dari tanganku.
―Maafkan aku, Pigeon. Aku mencoba untuk meraihmu. Aku
mencoba…‖ dia mendehem karena rasa marah dan cemas yang
mencekiknya.
―Aku tidak bisa meraihmu.‖
―Maukah kau meminta America mengantarku ke asrama?‖ tanyaku.
―kau tidak bisa kembali kesana malam ini. Tempat itu di kelilingi
banyak polisi. Tingalah di sini. Aku akan tidur di sofa.‖
Aku menarik nafas bimbang, berusaha menahan air mata. Dia sudah
cukup merasa buruk. Travis berdiri dan membuka pintu.
―Kau mau kemana?‖ tanyaku.
―Aku mau mandi. Aku akan segera kembali.‖
America menerobos masuk melewati Travis, duduk di sampingku di atas
tempat tidur, menarikku ke dadanya. ―Maafkan aku karena tidak ada di
sana!‖ dia menangis.
―Aku baik-baik saja,‖ kataku, menghapus noda air mata di wajahku.
Shepley mengetuk pintu saat dia masuk, membawakanku gelas kecil
yang setengahnya terisi whiskey.
―Ini,‖ dia berkata sambil menyerahkannya pada America. Dia meletakan
tanganku di gelas dan membangkitkanku.
Aku menenggak minumanku, membiarkan cairan itu mengalir di
tenggorrokanku. Wajahku
berkerut saat whiskey membakar jalannya menuju perutku. ―Terima
kasih,‖ kataku, menyerahkan gelas kembali pada Shepley.
―Aku seharusnya mendapatkan dia lebih cepat. Aku tidak menyadari kau
tidak ada. Maafkan aku, Abby. Aku seharusnya…‖
―Itu bukan kesalahanmu, Shep. Itu bukan kesalahan siapapun.‖
―Itu kesalahan Ethan,‖ geramnya. ―Bajingan itu menghimpitnya di
dinding.‖
―Sayang!‖ kata America, menarikku ke sampingnya.
―Aku ingin minuman lagi,‖ kataku, mendorong gelas kosongku pada
Shepley.
―Aku juga,‖ kata Shepley, kembali ke dapur.
Travis masuk ke kamar memakai handuk di pinggangnya, memegang bir
dingin yang di letakan di atas matanya. America keluar kamar tanpa
mengatakan satu patah katapun lalu Travis memakai celana boxernya,
kemudian dia menarik bantalnya. Shepley membawa empat gelas kali
ini, semua penuh hingga meluap terisi cairan berwarna kuning tua. Kami
semua meminumnya tanpa ragu.
―Sampai bertemu besok pagi,‖ kata America, mencium pipiku.
Travis mengambil gelasku, menaruhnya di meja lampu tidur. Dia
memperhatikanku beberapa saat lalu berjalan menuju lemarinya,
menarik kaos dari gantungan baju dan melemparnya ke tempat tidur.
―Maafkan aku mengacaukan semuanya,‖ dia berkata, memegang bir di
matanya.
―kau terlihat berantakan. kau akan merasa sangat sakit besok.‖
Dia menggelengkan kepala, merasa jijik. ―Abby, kau dilecehkan malam
ini. Jangan khawatirkan aku.‖
―Sangat sulit kalau matamu sangat bengkak,‖ kataku, meletakan kaosnya
di pangkuanku.
Rahangnya tegang. ―Ini semua tidak akan terjadi kalau aku
meninggalkanmu bersama Parker. Tapi aku tahu jika aku mengajakmu,
kau akan ikut. Aku ingin membuktikan padanya kalau kau masih
milikku, tapi kau jadi terluka.‖
Aku tidak siap untuk mendengar kata itu, seolah aku salah mendengar.
―Itu alasanmu mengajakku datang malam ini? Untuk membuktikan
sesuatu pada Parker?‖
―Itu sebagian alasanku mengapa mengajakmu,‖ dia berkata dengan
sedikit malu.
Darah terkuras dari wajahku. Untuk pertama kalinya sejak kita bertemu,
dia membodohiku. Aku pergi ke Hellerton bersamanya berpikir kalau
dia membutuhkanku, berpikir terlepas dari semuanya, kita kembali pada
keadaan kita sebelumnya. Aku hanya seperti hydrant air; dia sedang
menandai wilayahnya, dan aku membiarkannya melakukan itu.
Mataku berkaca-kaca. ―Keluar!‖
―Pigeon,‖ dia berkata sambil maju satu langkah ke arahku.
―KELUAR!‖ kataku, mengambil gelas dari meja dan melemparkannya
ke arah Travis. Dia menghindar, dan gelasnya hancur terkena dinding
menjadi ratusan serpihan kecil. ― Aku benci kau!‖
Dia menghela nafas seolah udara melumpuhkannya, dan dengan ekspresi
terluka, dia meninggalkanku sendiri.
Aku melepas pakaianku dan memakai kaos tadi. Suara yang meledak
keluar dari tenggorokanku mengejutkanku. Sudah lama sejak terakhir
aku menangis terisak tidak terkendali. Tidak lama kemudian, America
berlari masuk ke dalam kamar. Dia naik ke atas tempat tidur dan
melingkarkan tangannya di sekelilingku. Dia tidak bertanya ada apa atau
mencoba menghiburku, dia hanya memelukku saat aku membiarkan air
mata membuat sarung bantal basah kuyup.
®LoveReads
Bab 20
Dansa Terakhir
Asap
Pesawat Jet
Mrs. Maddox
―Wow,‖ kataku, mengangkat kedua sikuku untuk dapat melihat dengan
lebih baik.
Kerutan dahi Travis berubah menjadi senyum penuh kemenangan. ―Itu
sangat indah.‖
Griffin menggelengkan kepalanya. ―Jika aku mendapat satu dolar setiap
istri yang di bawa suami barunya kemari untuk di tatoo dan merasa lebih
takut dari istrinya…well. Aku tidak perlu mentatoo siapapun lagi
selamanya.‖
―Katakan saja berapa harus aku bayar, bodoh,‖ Travis menggerutu.
―Bonnya ada di meja kasir,‖ kata Griffin, merasa geli mendengar
jawaban Travis.
Aku melihat ke sekeliling ruangan lalu pandanganku tertuju pada krom
mengkilap dan poster contoh tatoo di tembok, lalu kembali melihat
perutku. Nama terakhir baruku bersinar dalam bentuk huruf hitam tebal.
Travis melihatku dengan bangga, lalu memandang ke bawah ke arah
cincin kawinnya yang terbuat dari titanium.
―Kita berhasil, Sayang,‖ dia berkata dengan suara berbisik. ―Aku masih
tidak percaya kau sekarang adalah istriku.‖
―Percayalah,‖ aku berkata sambil tersenyum.
Dia membantuku bangkit dari kursi dan aku berhati-hati dengan bagian
kanan tubuhku, menyadari semua gerakan yang aku lakukan membuat
celana jinsku bergesekan dengan kulitku yang lecet.
Travis mengeluarkan dompetnya, menandatangani bon dengan cepat
sebelum menuntun tanganku menuju taksi yang sudah menunggu di luar.
Handphoneku berbunyi lagi, dan ketika aku mengetahui bahwa itu
America, aku tidak mengangkatnya.
―Dia akan membuat kita merasa sangat bersalah karena ini, ya kan?‖
Travis berkata sambil mengernyit.
―Dia akan cemberut selama dua puluh empat jam setelah dia melihat
semua foto ini, tapi dia akan melupakannya.‖
Travis memberiku seringai nakal. ―Apakah kau yakin, Mrs. Maddox?‖
―Apakah kau akan pernah berhenti memanggilku seperti itu? Kau telah
mengatakannya ratusan kali sejak kita meninggalkan chapel.‖
Dia menggelengkan kepalanya saat dia menahan pintu taksi terbuka
untukku. ―Aku akan berhenti memanggilmu itu saat aku benar-benar
yakin kalau ini semua adalah nyata.‖
―Oh, ini memang nyata,‖ kataku, meluncur ke tengah tempat duduk
untuk memberi tempat untuk Travis. ―Aku punya kenangan tentang
malam pernikahan kita untuk membuktikannya.‖
Dia bersandar padaku, menelusuri kulit leherku yang sensitif hingga
telingaku dengan hidungnya.
―Aku yakin kita punya.‖
―Aw…,‖ aku meringis saat dia tidak sengaja menekan perbanku.
―Oh, sial, maafkan aku, Pidge.‖
―Kau dimaafkan,‖ aku tersenyum.
®LoveReads
eBook by
Ratu-buku.blogspot.com