Anda di halaman 1dari 470

Beautiful Disaster

by

Jamie McGuire
Ratu-buku.blogspot.com
Sinopsis:
“Abby Abernathy yang sekarang adalah seorang gadis yang baik, Dia
tidak minum atau menyumpah. Abby percaya bahwa dia sudah punya
cukup jarak dari kegelapan masa lalunya, tapi... ketika ia tiba di kampus
dengan sahabatnya, jalan yang akan menjadi awal yang baru untuknya
dengan cepat dihadang oleh seseorang.
Travis Maddox, ramping, berotot, penuh tato, adalah seseorang yang
dibutuhkan dan diperlukan Abby untuk... dijauhi. Dia menghabiskan
malam dengan memperoleh uang dengan bertarung di dalam ring, dan
siangnya sebagai pemikat terhebat di kampus.
Penasaran dengan penolakan Abby, Travis membujuknya untuk
menerima taruhan sederhana dengannya. Jika dia kalah, dia harus
„puasa‟ berhubungan seks selama satu bulan. Jika Abby kalah, ia harus
tinggal di apartemen Travis dalam waktu yang sama. Travis tak tahu
bahwa ia telah menemukan lawan yang seimbang.”

Buku ini bercerita tentang seorang mahasiswi baru yang berharap


menjauh dari masalah. Tapi yang terjadi dia malah menarik perhatian
sang ―bad boy‖ kampus.
Plot ceritanya benar-benar kreatif dan tak terduga, buku ini merangkum
semuanya hal tentang hubungan antar manusia: cinta, air mata, seks dan
pertengkaran. Pemahaman yang cukup bagus tentang realitas, dengan
menyisipkan beberapa pesan tentang kehidupan yang kebanyakan dari
kita lupa menyadarinya.

Beautiful Disaster ® LoveReads


Kehancuran yang Indah (Beautiful #1)
Jamie McGuire
Bab 1
Peringatan (Red Flag)

Semua yang ada di ruangan ini seolah-olah berteriak kalau aku tidak
pantas untuk berada di sini.
Tangga mulai bergetar, orang-orang gaduh berdesakan, udara bercampur
dengan bau keringat, darah, dan jamur. Suara-suara menjadi tidak jelas
terdengar ketika mereka meneriakkan satu angka dan nama berulang-
ulang, tangan bergerak-gerak di udara, saling bertukar uang dan
berkomunikasi dengan gerakan tubuh di tengah kebisingan. Aku
menerobos masuk ke dalam kerumunan, dan sahabatku mengikuti di
belakang.
―Simpan uangmu, Abby!‖ kata America padaku. Senyumnya yang lebar
bersinar meskipun di tempat yang redup.
―Tetap berdekatan! Semua akan lebih buruk ketika acara di mulai!‖
Shepley berteriak di tengah kebisingan. America memegang tangannya
dan tanganku ketika Shepley menuntun kita melewati kerumunan orang.
Suara keras dari pengeras suara membelah udara yang penuh dengan
asap. Suaranya mengejutkanku, dan aku melompat kaget, sambil melihat
ke arah asal suara. Seorang pria berdiri di atas kursi kayu, sambil
memegang segepok uang di satu tangan dan memegang pengeras suara
di tangan yang satunya. Dia memegang pengeras suara itu di depan
mulutnya.
―Selamat datang di acara ‗ pertumpahan darah‘! Kalau kalian mencari
Economic one-oh-one, kalian berada di tempat yang salah, teman! Jika
kalian mencari The Circle, ini adalah Mekkah-nya!
Namaku Adam, aku yang membuat peraturan-peraturannya dan yang
mengadakan acara ini.
Pertaruhan berakhir ketika penantang memasuki arena, dilarang
memegang dan membantu para petarung, tidak boleh mengganti taruhan,
dan tidak boleh melewati batas arena. Jika kalian melanggar peraturan
ini, kalian akan dipukuli dan dilempar keluar tanpa uang kalian! Ini juga
berlaku untuk kalian, Ladies! Jadi jangan coba-coba melanggar sistem,
boys!
Shepley menggelengkan kepalanya. ―Astaga, Adam!‖ dia berteriak
kepada MC, sangat jelas dia tidak setuju dengan kata-kata yang dipilih
temannya.
Jantungku berdebar kencang. Dengan memakai cardigan wol pink dan
anting mutiara, aku merasa seperti guru sekolah di pantai Normandia.
Aku berjanji pada America bahwa aku akan menerima apapun yang
terjadi nanti, tapi ketika tiba di sini aku merasakan dorongan kuat untuk
memegang tangannya erat-erat. Dia tidak akan membiarkan aku dalam
bahaya, tapi dengan berada di basement bersama 50 atau lebih
mahasiswa yang mabuk, kecenderungan besar mungkin terjadi
perkelahian, aku sedikit tidak percaya kalau kita akan keluar tanpa
terluka.
Setelah America bertemu Shepley di orientasi mahasiswa/i baru, dia
sering menemani Shepley ke acara ini yang diadakan di basement yang
berbeda di daerah sekitar Universitas Eastern. Setiap acara diadakan di
tempat yang berbeda dan dirahasiakan hingga sejam sebelum
pertarungan mulai.
Karena aku selalu berada di lingkungan yang lebih ‗jinak‘, aku
tercengang mengetahui tentang dunia bawah tanah Eastern; tapi Shepley
mengetahui itu sebelum masuk ke Universitas Eastern.
Travis, teman sekamar dan sepupu Shepley, mengikuti pertarungan
pertamanya tujuh bulan sebelumnya. Sebagai mahasiswa baru, Travis
digosipkan sebagai lawan paling mematikan yang pernah Adam lihat
selama 3 tahun dia mengadakan The Circle. Memulai tingkat keduanya,
Travis jadi tak terkalahkan. Travis dan Shepley dengan mudah
membayar sewa dan tagihan-tagihan mereka karena selalu menang
taruhan.
Adam memegang pengeras suaranya lagi, teriakan dan gerakan
meningkat menjadi kegelisahan.
―Malam ini kita punya penantang baru! Bintang gulat di Eastern, Marek
Young!‖
Sorak sorai bergema, dan orang-orang terbagi menjadi dua seperti Laut
Merah ketika Marek memasuki arena. Lingkaran arena kosong, dan
semua orang bersiul, mencemooh, dan mengejek si penantang. Dia
melompat ke atas ke bawah, dan menggoyangkan lehernya ke belakang
dan ke depan; wajahnya tampak keras dan focus. Orang-orang terdiam
karena suara raungan, lalu tanganku menutupi telingaku ketika musik
berbunyi dari speaker besar di seberang ruangan.
―Petarung kita selanjutnya tidak perlu diperkenalkan, tapi karena dia
membuat aku takut, jadi aku tetap akan memperkenalkan dia! Takutilah,
boys, dan buka dalaman kalian, ladies! Ini dia, Travis ‗Mad Dog‘
Maddox!‖
Suara bergemuruh ketika Travis muncul di pintu. Dia masuk, telanjang
dada, santai dan tak terpengaruh oleh keributan yang ada. Dia berjalan
memasuki arena seperti orang yang sedang menuju kantornya. Ototnya
yang tak berlemak meregang di bawah kulitnya yang bertato saat dia
beradu tinju dengan Marek. Travis sedikit membungkuk dan
membisikkan sesuatu ke telinga Marek, dan si pegulat itu berusaha keras
untuk tetap mempertahankan ekspresi tegasnya. Marek berdiri
berhadapan dengan Travis dan mereka saling menatap langsung pada
mata masing-masing.
Ekspresi Marek sangat mematikan, Travis terlihat agak geli melihatnya.
Mereka mundur beberapa langkah, dan Adam membunyikan terompet.
Marek mengambil posisi bertahan dan Travis menyerang. Aku berjinjit
karena tidak bisa melihat, bergerak ke kanan kiri agar dapat melihat
pertarungan dengan lebih baik. Aku terus naik, bergeser melewati orang-
orang yang berteriak-teriak. Aku tersikut dan ditabrak, terpental ke
depan dan ke belakang seperti pin bola.
Kepala Marek dan Travis mulai terlihat, jadi aku terus menerobos ke
depan.
Ketika aku tepat di depan arena, Marek memegang Travis dan
bermaksud untuk melemparnya ke bawah. Waktu Marek membungkuk,
Travis menendangkan lututnya ke wajah Marek. Sebelum
Marek bisa berdiri tegak, Travis menonjok wajah Marek yang sudah
berdarah berulang kali.
Ada tangan yang menarikku hingga aku tersentak ke belakang.
―Apa yang kau lakukan Abby?‖ tanya Shepley
―Aku tidak bisa melihat dari belakang sana!‖ sahutku.
Aku berbalik tepat ketika Marek terkena pukulan keras. Travis berbalik,
dan untuk sesaat aku pikir dia telah menghindari beberapa pukulan, tapi
dia berhasil memutar dan memukulkan sikunya tepat ke hidung Marek.
Darah menyiprat mengenai wajahku, dan berceceran di bagian depan
cardiganku.
Marek jatuh ke lantai beton dengan suara gedebuk yang keras. Untuk
sesaat ruangan sunyi senyap.
Adam melemparkan kain merah ke arah tubuh Marek yang lemah, dan
orang-orang mukai bersorak.
Uang berpindah tangan sekali lagi, dan ekspresi orang-orang terbagi dua,
ada yang bangga dan ada yang frustrasi.
Aku terdorong kesana kemari oleh orang-orang yang baru masuk dan
yang akan keluar. America memanggil namaku dari suatu tempat di
belakang, tapi aku lebih terpesona pada noda merah yang membekas di
dadaku hingga pinggang.
Sepasang sepatu boot berat berjalan ke arahku, mengalihkan perhatianku
ke lantai. Mataku bergerak ke atas; melihat celana jeans yang ada noda
darahnya, otot perut yang terpahat dengan indah, telanjang dada,
dadanya bertato dan basah oleh keringat, dan akhirnya sepasang mata
coklat yang hangat. Aku terdorong dari belakang, dan Travis
menangkapku sebelum aku terjatuh ke depan.
―Hey, mundur!‖ Travis mengernyit, mendorong semua orang yang ada
di sekitarku. Ekspresi wajahnya yang keras mencair menjadi senyuman
ketika dia melihat bajuku kemudian mengelap wajahku dengan handuk
―Maafkan soal ini, Peogen!‖
Adam menepuk belakang kepala Travis. ―Ayo, Mad Dog! Ada sejumlah
uang yang harus diambil!‖
Matanya terus memandangku. ―Sayang sweaternya, padahal itu terlihat
bagus dipakai olehmu.‖
Detik berikutnya dia ditelan kerumunan fansnya, menghilang secepat dia
datang.
―Apa yang kau pikirkan, bodoh?‖ America berteriak padaku sambil
menarik tanganku.
―Aku datang kesini untung melihat pertarungan kan?‖ aku tersenyum.
―Kau seharusnya tidak boleh berada di sini, Abby,‖ Shepley mengomel.
―Begitu juga America.‖ kataku.
―Dia tidak mencoba loncat ke dalam arena!‖ dia mengernyit. ―Ayo kita
pergi.‖
America tersenyum padaku dan mengelap wajahku. ―Kau sangat
menyusahkan, Abby. Ya Tuhan, Aku sangat sayang padamu!‖ Dia
memeluk leherku,kemudian kami berjalan menuju tangga dan keluar di
udara malam.
America mengikuti ke kamar asramaku, dan menyeringai ke arah teman
sekamarku, Kara. Aku langsung membuka Cardiganku yang penuh noda
darah, dan melemparkannya ke dalam keranjang.
―Ih menjijikkan. Kalian memang dari mana?‖ Kara bertanya dari atas
tempat tidurnya.
Aku memandang America yang mengangkat bahunya, ―Mimisan. Kau
belum pernah melihat
hidung mimisan Abby yang terkenal?‖
Kara membetulkan posisi kacamatanya sambil menggelengkan
kepalanya.
―Oh, kau akan melihatnya. America mengedipkan sebelah matanya
padaku, kemudian menutup pintu di belakangnya. Kurang dari semenit
kemudian, HPku berbunyi. Seperti biasa, Amaerika selalu mengirim
SMS setelah kita mengucapkan selamat tinggal.
“Menginap di tempat Shepley. Sampai bertemu besok,
Ring Queen.”
Aku melirik Kara yang sedang memperhatikanku seakan-akan hidungku
akan menyemburkan darah setiap saat.
―America hanya bercanda.‖ kataku.
Kara mengangguk acuh tak acuh, kemudian memandangi buku yang
berantakan di atas tempat tidurnya.
―Aku akan mandi dulu.‖ kataku sambil mengambil handuk dan peralatan
mandiku.
―Aku akan memberitahu media.‖ kata Kara tanpa ekspresi, sambil
menunduk.
Keesokan harinya, Shepley dan America bergabung denganku saat
makan siang. Aku bermaksud untuk duduk sendirian, tapi ketika para
mahasiswa menuju cafeteria, semua kursi di sekitarku terisi, baik oleh
teman perkumpulannya Shepley atau anak tim football. Beberapa dari
mereka ada di tempat pertarungan kemarin, tapi tidak ada yang
membahas pengalamanku di dekat arena.
―Shep,‖ panggil seseorang.
Shepley mengangguk, America dan aku berpaling untuk melihat Travis
yang duduk di kursi di ujung meja. Dia diikuti oleh dua wanita pirang
seksi yang memakai kaos seragam Sigma Kappa.
Salah seorangnya duduk di pangkuan Travis dan yang satu lagi duduk di
sebelahnya, sambil memainkan kaos Travis dengan jarinya.
―Aku rasa aku muntah sedikit di dalam mulutku.‖ America bergumam.
Si pirang yang di pangkuan Travis melirik ke arah America, ―Aku
mendengar itu, dasar pelacur!‖
America mengambil rotinya dan melemparkannya ke atas meja sehingga
hampir mengenai wajah perempuan pirang itu.
Sebelum perempuan itu sempat mengatakan sesuatu, Travis menarik
lututnya sehingga perempuan itu jatuh ke bawah.
―Aduh!‖ dia menjerit, sambil memandang Travis.
―America adalah temanku. Silahkan mencari pangkuan lain, Lex.‖
―Travis!‖ dia merengek, berusaha berdiri.
Travis mengalihkan perhatian pada piringnya, mengacuhkan dia.
Perempuan itu melihat pada temannya dan mendengus, kemudian
mereka pergi sambil berpegangan tangan.
Travis mengedipkan sebelah matanya ke arah America, seakan-akan
tidak terjadi apa-apa, kemudian melahap makanannya lagi. Saat itulah
aku melihat luka kecil di pelipisnya. Travis dan Shepley saling
memandang, kemudian dia mulai mengobrol dengan salah seorang dari
tim football yang ada dihadapannya.
Meskipun meja makan mulai sepi, aku, America, dan Shepley terus
membicarakan rencana kami untuk akhir minggu ini. Travis berdiri dan
pergi, tapi kemudian berhenti di dekat meja tempat kami berada.
―Apa?‖ Shepley bertanya dengan sedikit berteriak, mengangkat
tangannya ke telinga.
Aku mencoba untuk mengacuhkan Travis selama mungkin tapi ketika
aku melihat ke atas, dia sedang memandangku.
―Kau tahu dia kan, sahabatnya America? Dia bersama kami kemarin,‖
Shepley menjelaskan.
Travis tersenyum padaku yang menurutku itu adalah salah satu
ekspresinya yang sangat mempesona. Dia mengalirkan seks dan sikap
memberontaknya melalui suara, rambut coklat, dan tangannya yang
bertato, dan aku mendelik padanya saat dia berusaha menggodaku.
―Sejak kapan kalian bersahabat, Mare?‖ Travis bertanya.
―Sejak SMP.‖ jawabnya, sambil tersenyum ke arahku. ―Apakah kau
lupa, Travis? Kau telah merusak sweaternya.‖
―Aku sudah merusak banyak sweater.‖
―Iiiiihh,‖ aku bergumam.
Travis memutar kursi kosong dan kemudian duduk di sebelahku,
meletakkan tangannya di depannya. ―Jadi kau adalah si Pigeon ya?‖
―Bukan‖ aku membentak, ―Aku punya nama.‖
Dia tampak kagum dengan cara aku memperlakukannya, yang malah
membuat aku semakin kesal.
―Jadi? Siapa namamu?‖ tanyanya.
Aku memakan potongan apel terakhirku, mengacuhkannya.
―Kalau begitu, Pigeon saja ya,‖ dia mengangkat bahunya.
Aku melirik America, lalu melihat ke arah Travis ―Aku sedang makan
nih.‖
Travis tetap santai menanggapi perlakuanku, ―Namaku Travis, Travis
Maddox.‖
Aku mendelik lagi, ―Aku tahu kau siapa.‖
―Tahu ya?‖ Travis berkata sambil mengangkat alisnya yang terluka.
―Jangan senang dulu. Sulit untuk tidak mengetahui siapa dirimu saat 50
orang mabuk meneriakkan namamu.‖
Travis duduk lebih tegak, ―Aku sering mengalami hal itu.‖ Aku
mendelik lagi, dan Travis cekikikan. ―Apakah kau punya penyakit
kedut?‖
―Apa?‖
―Penyakit kedut, matamu selalu bergerak memutar,‖ dia tertawa lagi
ketika aku membelalak.
―Tapi itu sepasang mata yang indah kok,‖ dia berkata sambil
mendekatkan wajahnya ke wajahku.
―Apa warnanya? Abu-abu?‖
Aku memandangi piringku, membiarkan rambut panjang warna
caramelku menjadi seperti tirai yang membatasi kita. Aku tidak
menyukai apa yang aku rasakan saat dia sangat dekat. Aku tidak mau
menjadi seperti mereka, sejumlah wanita yang akan tersipu ketika dia
datang. Aku tidak mau dia memberikan efek seperti itu padaku sama
sekali.
―Jangan coba-coba, Travis. Dia sudah seperti saudara perempuanku,‖
America memperingatkan.
―Sayang,‖ Shepley berkata, ―Kau baru saja melarang Travis, sekarang
dia tidak akan berhenti.‖
―Kau bukan tipenya,‖ dia melindungi.
Travis pura-pura tersinggung ―Aku tipe semua orang!‖
Aku melirik Travis dan tersenyum.
―Ah, akhirnya tersenyum, aku bukan seorang bajingan busuk ternyata‖.
Dia mengedipkan satu matanya. ―Senang bertemu denganmu, Pidge.‖
Dia berjalan mengitari meja dan membungkuk ke telinga America.
Shepley melemparkan kentang goreng ke arah sepupunya. ―Jauhkan
bibirmu dari telinga pacarku, Trav!‖
―Memperluas jaringan! Aku sedang memperluas jaringan!‖ Travis
melangkah keluar dengan tangan di atas dengan wajah polosnya.
Beberapa perempuan lain lagi mengikuti di belakangnya, cekikikan dan
menggerak-gerakkan jari di rambut mereka untuk menarik perhatiannya.
Dia membukakan pintu untuk mereka, dan mereka hampir menjerit
kegirangan.
America tertawa. ―Oh, tidak. Kau dalam bahaya, Abby.‖
―Apa yang dia bisikkan?‖ Aku bertanya dengan hati-hati.
―Dia ingin kau agar mengajak Abby ke apartement, ya kan?‖ Shepley
berkata. America
mengangguk dan Shepley menggelengkan kepalanya. ―Kau adalah
wanita yang cerdas, Abby. Aku beritahu dari sekarang, jika nanti kau
mulai percaya omong kosongnya dan ternyata dia membuatmu marah,
kau jangan melampiaskannya padaku atau America, mengerti?‖
Aku tersenyum. ―Aku tidak mungkin menyukainya, Shep. Apa aku
kelihatan seperti Barbie kembar tadi?‖
―Dia tidak akan menyukainya,‖ America meyakinkan Shepley sambil
menyentuh tangannya.
―Ini bukan masalah pertamaku, Mare. Apakah kau tahu berapa kali dia
mengacaukan hubunganku karena dia meniduri sahabatnya? Karena
tiba-tiba berkencan denganku menjadi seperti lebih memilih musuh
daripada teman! Ingat ya, Abby,‖ dia menatapku, ―Jangan melarang
Mare untuk datang ke apartemen atau berkencan denganku hanya karena
kau percaya semua omong kosongnya Travis. Anggap kau sudah
diperingati ya.‖
―Tidak perlu tapi aku menghargai pemberitahuannya,‖ kataku. Aku
mencoba meyakinkan Shepley dengan senyuman, tapi dia merasa tidak
yakin karena sudah bertahun-tahun mengalami hal yang sama, terluka
karena kelakuan Travis.
America melambaikan tangannya, kemudian melangkah pergi bersama
Shepley, sedangkan aku memasuki kelas soreku. Aku memicingkan
sebelah mataku karena silau oleh sinar matahari, sambil memegang tali
ranselku. Eastern sangat sesuai dengan yang apa aku harapkan; dari
ruang kelasnya yang lebih kecil, hingga tidak adanya satu orang pun
yang kenal siapa dia. Ini adalah awal yang baru bagiku; akhirnya aku
bisa berjalan kemanapun tanpa ada orang yang berbisik-bisik karena
mengetahui siapa aku—atau mereka pikir mereka tahu—semua tentang
masa laluku. Aku tidak berbeda dengan semua yang bermata lebar,
bekerja keras untuk masuk kelas; tidak ada yang menatap, tidak ada
gosip, tidak ada rasa kasihan atau penilaian. Hanya ilusi yang aku ingin
mereka lihat; memakai Kasmir, tidak ada omong kosong tentang Abby
Abertany.
Aku menaruh tas ranselku di lantai, dan duduk di kursi, membungkuk
untuk mengambil laptopku dari dalam tas. Ketika aku duduk lagi untuk
menaruhnya di atas meja, Travis baru duduk di kursi sebelahku.
―Bagus. Kau bisa membuatkan catatan untukku,‖ dia berkata padaku.
Dia menggigit pulpennya dan tersenyum, tidak diragukan lagi sangat
mempesona.
Aku memandang dengan rasa jijik padanya. ―Bahkan kau tidak
mengambil mata kuliah ini.‖
―Aku mengambil mata kuliah ini kok. Biasanya aku duduk di atas sana.‖
dia berkata sambil mengangguk ke arah tempat duduk paling atas.
Sekelompok kecil perempuan memandangiku, dan aku melihat kursi
yang kosong di tengah-tengah mereka.
―Aku tidak akan membuat catatan untukmu‖, aku berkata sambil
menyalakan laptop.
Travis membungkuk sangat dekat padaku hingga aku bisa merasakan
nafasnya di pipiku. ―Maaf, apakah aku pernah menyinggungmu?‖
Aku menghela nafas kemudian menggelengkan kepalaku.
―Lalu apa masalahmu?‖
Aku menahan suaraku agar tetap pelan. ―Aku tidak akan tidur
denganmu. Kau harus menyerah sekarang.‖
Senyuman kecil muncul di wajahnya sebelum dia berkata ―Aku belum
mengajakmu untuk tidur denganku,‖ matanya melayang ke atas
memandangi atap kelas seperti sedang berfikir, ―Iya kan?‖
―Aku tidak seperti Barbie kembar tadi atau kelompok kecilmu di atas
sana,‖ aku berkata sambil melihat sekilas ke arah mereka yang di
belakangku. ―Aku tidak tertarik dengan tatomu, ataupun kelakuanmu
yang seperti anak kecil, atau ketidakacuhanmu yang dipaksakan. Jadi
kau bisa menghentikan semua usahamu, oke?‖
―Ok, Pigeon.‖ Dia tampak tidak kesal sedikitpun atas perlakuan kasarku.
―Kenapa kau tidak ikut America malam ini?‖
Aku menyeringai atas ajakannya, tapi dia malah semakin mendekat.
―Aku tidak berusaha untuk ‗menangkapmu‘. Aku cuma ingin hang out.‖
―‗Menangkapku‘? Bagaimana kau bisa menarik wanita untuk tidur
denganmu kalau caramu berbicara seperti ini?‖
Tawa Travis meledak, sambil menggelengkan kepalanya. ―Mampir saja
ya nanti. Aku bahkan tidak akan menggodamu, aku janji.‖
―Akan aku pertimbangkan.‖
Prof. Chaney masuk, dan Travis mengalihkan perhatiannya ke depan.
Masih terlihat senyuman di wajahnya, membuat lesung pipinya semakin
jelas. Semakin dia tersenyum, semakin ingin aku membencinya, padahal
itu yang membuat membencinya menjadi tidak mungkin.
―Siapa yang bisa menjawab Presiden mana yang istrinya juling dan
bermuka jelek?‖ Chaney bertanya.
―Kau harus mencatat itu,‖ Travis berbisik. ―Aku membutuhkannya
untuk menjawab pertanyaan di job interviews.
―Sssshh,‖ kataku sambil tetap mengetik.
Travis menyeringai dan santai di kursinya. Setelah sejam berlalu, dia
bolak-balik mendekat dan menatap monitorku sambil sekali-kali
menguap. Aku berusaha keras untuk berkonsentrasi dan
mengacuhkannya, tapi kedekatan dan otot kekarnya membuat semua itu
menjadi sulit. Dia memainankan gelang kulit di pergelangan tangannya
hingga saatnya Chaney membubarkan kelas.
Aku bergegas keluar kelas menuju lorong. Ketika aku merasa sudah
aman, tiba-tiba Travis Maddox muncul di sebelahku.
―Apa kau sudah memikirkannya?‖ dia bertanya sambil mengenakan
kacamata hitamnya.
Perempuan bertubuh kecil berambut coklat melangkah ke arahku dan
Travis. Matanya lebar dan berharap. ―Hai,Travis,‖ dia menyapa dengan
riang, sambil memainkan rambutnya.
Aku berhenti berjalan, menghindar dari suaranya yang dibuat-buat
seperti anak kecil kemudian berjalan memutar ke belakangnya. Aku
sudah pernah melihatnya sebelumnya di asrama di Gedung Morgan,
sedang mengobrol dengan temannya tapi tidak dengan suara yang di
buat-buat seperti ini.
Suaranya waktu itu terdengar lebih dewasa, dan aku penasaran apa yang
membuat dia berfikir kalau Travis akan menyukai suara anak kecilnya
itu. Dia terus mengoceh dengan suara yang lebih tinggi hingga Travis
berada di sampingku lagi.
Dia mengeluarkan pematik api dari sakunya, kemudian menyalakan
rokok dan menghembuskan asap tebal.
―Tadi sampai mana ya?‖ Oh ya, kau sedang berfikir.‖
Aku menyeringai, ―Apa yang kau bicarakan?‖
―Apa kau sudah memutuskan untuk datang?‖
―Jika aku mengatakan ya, akankah kau berhenti mengikutiku?‖
Dia berfikir sejenak kemudian mengangguk.‖Ya.‖
―Kalau begitu aku akan datang.‖
―Kapan?‖
Aku menarik nafas. ―Malam ini. Aku akan datang malam ini.‖
Travis tersenyum dan berhenti berjalan. ―Bagus. Sampai bertemu nanti
kalau begitu, Pidge.‖ dia memanggilku.
Aku berbelok ke pojok dan melihat America bersama dengan Finch di
luar asrama. Aku dan America bertemu dengan Finch di acara orientasi
mahasiswa baru, dan aku langsung tahu dia bisa menjadi orang ketiga
yang ditunggu-tunggu di dalam hubungan pertemananku dengan
America. Dia tidak terlalu tinggi, tapi tetap kelihatan seperti menara
dibandingkan dengan tinggiku yang hanya 5 kaki 4 Inci (163 cm).
Matanya yang bulat mengimbangi penampilannya yang ramping dan
rambutnya yang di bleaching biasanya dibentuk seperti paku.
―Travis Maddox? Ya Tuhan, Abby, sejak kapan kau mulai memancing
di laut dalam?‖ Finch bertanya dengan mata yang memancarkan
ketidaksetujuannya.
America menarik permen karet dari mulutnya menjadi tali yang panjang.
―Kau hanya membuatnya semakin parah dengan menyuruhnya pergi.
Dia tidak terbiasa dengan itu.‖
―Jadi aku harus bagaimana? Tidur dengannya?‖
America menarik nafas. ―Itu akan menghemat waktu.‖
―Aku memberitahunya kalau aku akan mampir malam ini.‖
Finch dan America saling pandang.
―Apa? Dia berjanji tidak akan menggangguku lagi kalau aku bilang ya.
Kau akan pergi kesana kan malam ini?‖
―Hhhmm, ya,‖ jawab America. ―Kau benar-benar akan datang?‖
Aku tersenyum dan berjalan menuju aula melewati mereka, penasaran
apakah Travis akan menepati janjinya untuk tidak merayuku. Dia bukan
orang yang sulit untuk ditebak; dia hanya melihatku sebagai tantangan,
atau hanya tidak tertarik untuk hanya menjadi sekedar teman. Aku tidak
yakin mana yang paling menggangguku.
Empat jam kemudian, America mengetuk pintu kamarku dan
mengantarku ke tempat Shepley dan Travis. Dia tidak dapat menahan
diri ketika aku keluar kamar.
―Iiiih, Abby! Kau seperti gelandangan!‖
―Bagus,‖ kataku sambil tersenyum melihat baju yang aku pakai.
Rambutku diikat dengan asal ke atas, tidak memakai make up dan
mengganti lensa kontakku dengan kacamata yang bingkainya berwarna
hitam. Memakai kaos dan celana usang, aku mengenakan sandal jepit.
Ide itu datang sejam sebelumnya, berpenampilan tidak menarik adalah
ide yang sangat bagus. Idealnya, Travis menjadi tidak tertarik dan akan
menghentikan kelakuan bodohnya. Jika dia mencari teman untuk pergi
hang out, aku akan memberikan alasan kalau bajuku tidak pantas untuk
terlihat berjalan bersamanya.
America menurunkan jendela mobilnya dan memuntahkan permen
karetnya. ―Kau sangat jelas. Kenapa kau tidak berguling-guling di atas
kotoran anjing untuk membuat penampilanmu lengkap?‖
―Aku tidak bertujuan untuk menarik perhatian seseorang,‖ kataku.
―Sangat jelas.‖
Kami berhenti di tempat parkir komplek apartemen Shepley, dan aku
mengikuti America munuju tangga. Shepley membuka pintu, dan
tertawa ketika aku melangkah masuk. ―Apa yang terjadi padamu?‖
―Dia mencoba untuk tidak menarik,‖ America menjawab.
America mengikuti Shepley ke kamarnya. Pintunya ditutup dan aku
berdiri sendirian, merasa canggung. Aku duduk di kursi malas yang
dekat dengan pintu, dan menendang lepas sandal jepitku.
Apartement mereka tampak lebih, secara estetika menyenangkan
dibandingkan dengan kamar bujangan pada umumnya. Poster wanita
setengah telanjang dan rambu-rambu jalan yang mereka curi terpasang
di tembok, tapi semua bersih. Kursi tampak masih baru, dan bau bir basi
atau pakaian kotor sama sekali tidak ada.
―Sudah waktunya kau datang,‖ Travis berkata sambil menjatuhkan diri
ke kursi.
Aku tersenyum dan membetulkan posisi kacamataku, menunggu dia
mundur karena melihat penampilanku. ―America menyelesaikan dulu
makalahnya.‖
―Bicara tentang makalah, apa kau sudah menyelesaikan makalah untuk
mata kuliah Sejarah?‖
Dia sama sekali tidak peduli dengan rambutku yang berantakan, dan aku
tidak menyukai reaksinya.
―Apa kau sudah menyelesaikannya?‖
―Aku sudah menyelesaikannya tadi sore.‖
―Batas waktunya kan Rabu,‖ kataku heran.
―Aku baru saja menyelesaikannya, lagian akan sesulit apa sih 2 lembar
makalah tentang Grant, ya kan?‖
―Well, aku pikir aku hanya orang yang suka menunda pekerjaan,‖ aku
menarik nafas. ―Aku mungkin baru akan mulai mengerjakannya akhir
minggu ini.‖
―Well, kalo kau butuh bantuan, beritahu aku.‖
Aku menunggu dia tertawa, atau menunjukkan tanda kalau dia hanya
bercanda, tapi ekspresinya sangat tulus. Aku mengangkat salah satu
alisku. ―Kau akan membantuku membuat makalah.‖
―Aku mendapat nilai A di kelas sejarah,‖ dia berkata, merasa sedikit
kesal karena aku tidak percaya.
―Dia mendapat nilai A dalam semua mata pelajaran. Dia sangat jenius.
Aku sangat membencinya,‖
Shepley berkata sambil menuntun America ke ruang tamu.
Aku menatap Travis dengan tatapan tidak percaya dan alisnya naik.
―Apa? Kau pikir pria dengan tato dan bertarung untuk mata
pencahariannya tidak akan mendapat nilai bagus di kelasnya? Aku tidak
menyukai sekolah karena aku tidak punya kegiatan yang lebih baik
untuk aku kerjakan.‖
―Lalu kenapa kau harus bertarung? Kenapa tidak mencoba beasiswa?‖
tanyaku.
―Sudah. Aku di beri beasiswa setengah dari jumlah biaya kuliahku. Tapi
ada sejumlah buku, biaya hidup dan aku harus mendapatkan uang untuk
menutupi biaya kuliahku yang setengahnya lagi. Aku serius, Pidge.
Kalau kau membutuhkan bantuanku, tinggal beritahu aku.‖
―Aku tidak membutuhkan bantuanmu, aku bisa menulis sendiri
makalahku.‖ Aku ingin berhenti.
Aku seharusnya berhenti, tapi sisi barunya menumbuhkan rasa
penasaranku. ―Apa kau tidak bisa mencari pekerjaan lain yang tidak
terlalu – sadis?‖
Travis menghela nafas. ―Itu pekerjaan yang paling mudah untuk
mendapatkan uang. Aku tidak bisa mendapatkan uang sebanyak itu
kalau aku bekerja di mall.‖
―Aku tidak akan bilang itu pekerjaan yang mudah kalau wajahmu bisa
terluka karena pukulan.‖
―Apa? Kau mengkhawatirkan aku?‖ dia mengedipkan matanya. Aku
terdiam dan dia tertawa
cekikikan. ―Aku tidak sesering itu kena pukulan. Kalau mereka
mengayunkan pukulannya, aku bergerak. Itu tidak sulit.‖
Aku tertawa. ―Kau melakukan itu seperti tidak akan ada orang yang
akan mengantisipasi gerakanmu.‖
―Ketika aku mengayunkan pukulanku, mereka menerimanya dan
mencoba untuk membalas. Mereka tidak akan menang kalau begitu.‖
Aku memutar mataku. ―Makhluk apa kau ini…The Karate Kid? Dimana
kau belajar bertarung?‖
Shepley dan America saling pandang, dan kemudian mereka berdua
menatap lantai.
Tidak lama bagiku untuk mengetahui kalau aku telah mengatakan
sesuatu yang salah.
Travis tampak tidak terganggu. ―Aku mempunyai seorang ayah yang
suka mabuk dan sangat temperamen dan empat kakak lelaki yang
mempunyai gen seorang bajingan.‖
―Oh.‖ Telingaku memerah.
―Tidak perlu malu, Pidge. Ayah sudah berhenti minum. Dan kakak-
kakakku semakin dewasa.‖
―Aku tidak merasa malu.‖ Aku merasa gelisah karena ikatan rambutku
lepas dan memutuskan untuk menggulungnya menjadi sanggul,
mencoba untuk menghindari situasi yang hening dan canggung.
―Aku suka penampilanmu yang natural. Biasanya tidak ada perempuan
yang datang kemari
berdandan seperti itu.‖
―Aku dipaksa datang kemari. Tidak terpikir olehku untuk membuatmu
kagum‖, kataku, jengkel karena ternyata rencanaku telah gagal.
Dia tersenyum seperti anak kecil, tersenyum geli, dan aku memunculkan
rasa marahku, berharap rasa gelisahku tidak terlihat. Aku tidak tahu
bagaimana perasaan para wanita itu saat bersama dia, tapi aku sudah
pernah melihat bagaimana kelakuan mereka di dekatnya. Aku lebih
merasa pusing dan mual daripada cekikikan tergila-gila. Semakin dia
berusaha membuat aku tersenyum, aku semakin merasa tidak menentu.
―Aku sudah merasa kagum. Biasanya aku tidak harus memohon pada
wanita agar mereka datang ke apartemenku.‖
―Aku yakin begitu.‖ kataku dengan sebal.
Dia adalah orang yang rasa percaya dirinya sangat parah. Tidak saja dia
tidak tahu malu menyadari penampilannya, dia sudah terbiasa dengan
wanita yang menawarkan dirinya sehingga dia menganggap sikap
dinginku menjadi angin segar daripada menganggapnya menyinggung.
Aku harus merubah strategiku.
America mengarahkan remote ke arah TV dan menyalakannya. ―Ada
film bagus malam ini. Ada yang ingin mengetahui di mana Baby Jane
berada?‖
Travis berdiri. ―Aku baru mau pergi makan malam. Apa kau lapar,
Pidge?‖
―Aku sudah makan‖ aku menghela nafas.
―Belum, kau belum makan‖, kata America sebelum menyadari
kesalahannya. ―Oh..eh..ya benar, aku lupa tadi kau makan
eehhmmm…pizza? Sebelum kita pergi tadi.‖
Aku menyeringai padanya yang bermaksud memperbaiki kesalahan
besarnya, dan kemudian menunggu reaksi Travis.
Dia berjalan ke seberang ruangan menuju pintu depan. ―Ayo. Kau pasti
lapar.‖
―Kita mau kemana?‖
―Kemanapun yang kau mau. Kita bisa beli pizza.‖
Aku melihat pakaianku. ―Aku tidak memakai pakaian yang pantas untuk
pergi.‖
Dia menilai penampilanku sebentar lalu menyeringai. ―Kau terlihat
sangat baik. Mari kita pergi, aku sudah kelaparan.‖
Aku berdiri dan melambai ke arah America, melewati Travis lalu turun
tangga. Aku berhenti di tempat parkir, dan memandang ketakutan ketika
dia menaiki motor hitam.
―Eeehh…‖ aku terdiam, meremas jari kakiku yang terbuka.
Dia memandangku dengan tidak sabar. ―Ayo, naik. Aku akan hati-hati.‖
―Apa itu?‖ tanyaku, terlambat membaca tulisan yang tertulis di atas
tanki bensin. ―Ini adalah Harley Night Rod. Dia cinta dalam hidupku,
jadi jangan menggores catnya ketika kau naik.‖
―Aku memakai sandal jepit!‖
Travis memandangku seakan aku berbicara menggunakan bahasa asing.
―Aku memakai sepatu boot. Ayo naik.‖
Dia memakai kacamatanya, dan suara mesin menggeram saat dia
menyalakannya. Aku naik dan meraih sesuatu untuk berpegangan, tapi
tanganku tergelincir dari kulit ke cover plastik diatas lampu belakang.
Travis memegang dan memelukkan tanganku di pinggangnya. ―Tidak
ada tempat untuk berpegangan kecuali aku, Pidge. Jangan lepas‖,
katanya sambil mendorong motor ke belakang dengan kakinya. Dengan
sekali hentakan tangannya, dia mengarah ke jalan, dan melaju seperti
roket. Seuntai rambut yang lepas dari ikatannya menggantung dan
memukul-mukul wajahku, aku menunduk di belakang Travis,
mengetahui aku akan berakhir dengan kotoran serangga di kacamataku
apabila aku melihat ke depan dari atas bahunya.
Dia memacu klep penutup saat kita berhenti di tempat parkir sebuah
restoran, dan ketika dia melambat untuk berhenti, aku tidak membuang
waktu untuk berjalan menuju lantai beton yang aman.
―Kau sinting!‖
Travis tertawa kecil, memiringkan motornya diatas standarnya sebelum
turun. ―Aku hanya mengikuti aturan batas kecepatan.‖
―Ya, kalau kita di Autobahn!‖ (Jalan Raya dalam bahasa Jerman) kataku
sambil menyisir rambutku dengan jari.
Travis memperhatikanku dan menarik rambut dari wajahku lalu
melangkah menuju pintu kemudian membuka dan menahannya. ―Aku
tidak akan membiarkan sesuatu terjadi pada dirimu, Pigeon.‖
Aku menerobos masuk melewati dirinya ke dalam restoran, kepalaku
tidak sejalan dengan kakiku.
Wangi lemak dan bumbu memenuhi udara saat aku mengikutinya
melewati karpet yang penuh dengan remah roti. Dia memilih tempat
duduk di pojok, jauh dari gerombolan pelajar dan beberapa keluarga,
lalu memesan dua bir. Aku mengamati ruangan, memperhatikan para
orangtua yang membujuk anak yang ribut untuk makan. Aku
mengalihkan pandanganku dari pandangan ingin tahu beberapa murid
Eastern.
―Tentu, Travis.‖ kata pelayan, menuliskan pesanan minum kami.
Pelayan itu tampak sedikit lebih tinggi dari Travis saat dia kembali ke
dapur.
Aku menyelipkan rambutku yang terkena tiupan angin ke belakang
telingaku, tiba-tiba merasa malu akan penampilanku. ―Sering datang
kesini?‖ tanyaku.
Travis bersandar diatas meja, sikunya menahannya di atas meja, mata
coklatnya terpaku menatap mataku. ―So, ceritakan tentang dirimu,
Pidge? Apakah kau selalu membenci pria secara umum, atau hanya
membenci diriku?‖
―Aku pikir aku hanya membenci dirimu.‖ aku menggerutu.
Dia tertawa, geli melihat suasana hatiku. ―Aku tidak dapat menebak
dirimu. Kau wanita pertama yang muak padaku sebelum tidur denganku.
Kau tidak gugup kalau sedang bicara denganku, dan kau tidak mencoba
untuk menarik perhatianku.‖
―Itu bukan taktik. Aku hanya tidak menyukaimu.‖
―Kau tidak akan berada disini kalau tidak menyukaiku.‖
Rasa tidak sukaku harus diperhalus dan akupun menghela nafas. ―Aku
tidak pernah bilang kau orang yang jahat. Aku hanya tidak suka menjadi
satu akhir yang tidak terelakkan untuk satu alasan karena memiliki
vagina‖. Aku fokus pada butiran garam yang ada di atas meja hingga
mendengar suara tersedak dari arah Travis.
Matanya melebar dan dia bergetar saat tertawa seperti melolong. ―Ya
Tuhan! Kau membunuhku! Sudah pasti. Kita harus berteman. Aku tidak
akan menerima jawabanmu jika kau menolak.‖
―Aku tidak keberatan kita berteman, tapi itu bukan berarti kau akan
berusaha memasuki celana dalamku setiap lima detik.‖
―Karena kau tidak akan tidur denganku, aku mengerti.‖
Aku mencoba untuk tidak tersenyum, tapi gagal.
Matanya lebih bersinar. ―Aku berjanji. Aku tidak akan memikirkan
celana dalammu..kecuali kau menginginkannya.‖
Aku meletakkan sikuku di atas meja dan bersandar ke depan. ―Dan itu
tidak akan terjadi, so kita bisa menjadi teman.‖
Seringai nakal tampak jelas di wajahnya saat dia mendekatiku. ―Jangan
pernah bilang tidak akan.‖
―So, ceritakan tentang dirimu,‖ tanyaku. ―Apakah kau selalu menjadi
Travis ‗Mad Dog‘ Maddox atau julukan itu ada saat kau kuliah di sini?‖
Aku mengangkat kedua tanganku untuk membuat tanda ‗kutip‘ ketika
aku menyebutkan nama julukannya, dan untuk pertama kalinya rasa
percaya dirinya kelihatan berkurang. Dia tampak sedikit malu. ―Tidak,
Adam yang memulainya setelah pertarungan pertamaku.‖
Jawaban-jawaban singkatnya mulai menggangguku. ―Hanya itu? Kau
tidak akan menceritakan apapun tentang dirimu?‖
―Apa yang ingin kau ketahui?‖
―Hal yang biasa. Kau berasal dari mana, apa cita-citamu saat dewasa
nanti..hal-hal seperti itu.‖
―Aku orang sini, lahir dan dibesarkan di sini, dan aku mengambil
jurusan Hukum Pidana.‖
Dengan tarikan nafas panjang, dia membuka bungkusan alat makannya
dan menaruhnya di samping piringnya. Dia melirik ke belakangnya, dan
aku menyadari rahangnya sedikit menegang ke arah mereka yang ada di
sekitar kami. Tim sepak bola Eastern duduk di dua meja dan tawa
mereka meledak, Travis tampak terganggu dengan apa yang mereka
tertawakan.
―Kau bercanda,‖ kataku tak percaya.
―Tidak, aku orang sini,‖ katanya, teralihkan.
―Maksudku tentang jurusan yang kau ambil. Kau tidak seperti tipe
Hukum Pidana.‖
Alisnya mengkerut, tiba-tiba fokus pada obrolan kami. ―Kenapa?‖
Aku mengamati tato di tangannya. ―Aku hanya bilang kalau kau lebih
mirip kriminal daripada hukum.‖
―Aku tidak pernah terlibat masalah..hampir sepanjang waktu. Ayahku
sangat keras.‖
―Dimana Ibumu?‖
―Dia meninggal waktu aku masih kecil,‖ dia menjawab.
―Maafkan aku‖ kataku, sambil menggelengkan kepalaku. Jawabannya
membuatku tidak siap.
Dia menolak rasa simpatiku. ―Aku tidak mengingatnya. Tapi kakak-
kakakku mengingatnya, aku baru berumur tiga tahun waktu dia
meninggal.‖
―Empat kakak laki-laki ya? Bagaimana caramu membuat mereka lurus?‖
aku menggodanya.
―Aku membuat mereka lurus dengan siapa yang bisa memukul paling
keras, itu juga menimpa dari yang tertua hingga yang termuda. Thomas,
si kembar.. Taylor dan Tyler, lalu Trenton. Kau tidak boleh berada di
ruangan sendirian dengan Taylor dan Ty. Aku mempelajari setengah
dari yang aku tahu di The Circle dari mereka. Trenton adalah yang
tubuhnya paling kecil, tapi dia sangat cepat. Dia satu-satunya orang yang
bisa mendaratkan pukulan padaku sekarang.‖
Aku mengelengkan kepalaku, ternganga membayangkan lima Travis
bersaudara berkeliaran di satu rumah. ―Apa mereka semua punya tato?‖
―Hampir semua, kecuali Thomas. Dia eksekutif periklanan di
California.‖
―Dan ayahmu? Di mana sekarang dia?‖
―Ada‖ dia menjawab. Rahangnya tegang lagi, semakin terganggu oleh
tim sepak bola.
―Apa yang mereka tertawakan?‖ tanyaku, menunjuk ke arah meja yang
gaduh. Dia menggelengkan kepalanya, sangat jelas tidak ingin
memberitahu. Aku melipat tanganku dan menggeliat di tempat dudukku,
cemas dengan apa yang mereka katakan yang membuat dia merasa
terganggu. ―Beritahu aku.‖
―Mereka menertawakan aku membawamu makan malam terlebih
dahulu. Itu tidak biasa..bukan kebiasaanku.‖
―Terlebih dahulu?‖ ketika kenyataan terlihat di wajahku, Travis
memperhatikan ekspresiku. Aku bicara tanpa berpikir. ―Justru aku takut
mereka menertawakanmu karena mengajakku makan malam dengan
pakaian seperti ini, dan mereka pikir aku akan tidur denganmu‖ aku
bergumam.
―Kenapa aku tidak akan pernah terlihat jalan bersamamu?‖
―Apa yang kita bicarakan?‖ tanyaku, mengusir rasa panas yang
meningkat di bawah pipiku.
―Kau. Apa jurusan yang kau ambil?‖ dia bertanya.
―Oh, ehm…umum, sekarang. Aku masih belum memutuskan, tapi aku
cenderung memilih jurusan Akuntansi.‖
―Kau bukan berasal dari sini kan. Sangat jelas terlihat.‖
―Wichita. Sama dengan America.‖
―Kenapa bisa berada di sini dari Kansas?‖
Aku mengambil label botol birku. ―Kami hanya harus pergi dari sana.‖
―Menghindar dari apa?‖
―Orangtuaku.‖
―Oh. Bagaimana dengan America? Dia punya masalah dengan orangtua
juga?‖
―Tidak, Mark dan Pam sangat baik. Mereka hampir bisa dibilang yang
merawatku. Dia cuma ingin ikut; dia tidak mau aku pergi sendirian.
Travis mengangguk. ―Jadi kenapa memilih Eastern?‖
―Ada apa dengan tingkat tiga?‖ tanyaku. Pertanyaannya mulai
menyimpang dari pertanyaan biasa ke pertanyaan yang lebih pribadi,
dan aku mulai merasa tidak nyaman.
Beberapa kursi saling membentur ketika tim sepak bola meninggalkan
tempat duduk mereka.
Mereka saling melempar lelucon untuk terakhir kalinya sebelum mereka
berjalan ke arah pintu keluar. Mereka berjalan lebih cepat saat Travis
berdiri. Mereka yang di belakang mendorong yang di depan agar bisa
kabur sebelum Travis berjalan ke seberang ruangan. Dia duduk,
memaksa rasa marah dan frustrasinya pergi.
Aku mengangkat salah satu alisku.
―Kau tadi baru akan menjelaskan kenapa kau memilih Eastern,‖ dia
memaksa.
―Sangat sulit untuk dijelaskan,‖ jawabku sambil mengangkat bahu. ―Aku
hanya merasa ini pilihan yang tepat.‖
Dia tersenyum saat dia membuka menu. ―Aku tahu maksudmu.‖
®LoveReads
Bab 2
Babi (Pig)

Wajah-wajah yang familiar memenuhi tempat duduk di meja makan.


America duduk di sebelahku, dan Finch duduk di sisi yang lain, dan
tempat yang kosong lainnya di duduki Shepley dan saudara
perkumpulannya di Sigma Tau. Sangat sulit untuk mendengar di dalam
kafetaria karena bising dan AC sepertinya tidak menyala lagi. Tercium
bau yang menyengat dari makanan yang digoreng dan kulit yang
berkeringat di udara, tapi tampaknya semua orang lebih bersemangat
dari biasanya.
―Hai, Brazil,‖ kata Shepley, menyapa ke arah pria yang sedang duduk di
hadapanku. Kulit kecoklatan dan mata coklatnya tertutup oleh topi putih
tim football Eastern yang ditarik hingga ke bawah dahinya.
―Kau menghilang setelah pertandingan hari Sabtu kemarin, Shep. Aku
meminum satu sampai enam bir jatahmu,‖ dia berkata sambil tersenyum
lebar. ―Aku hargai itu. Aku mengajak Mare makan malam,‖ dia
membunguk sedikit kemudian mencium rambut pirang panjang
America.
―Kau menduduki kursiku, Brazil.‖
Brazil menoleh dan melihat Travis berdiri di belakangnya, lalu dia
memandang ke arahku dengan rasa terkejut. ―Oh, apakah dia salah satu
dari pacarmu, Trav?‖
―Sama sekali bukan,‖ aku menjawab sambil menggelengkan kepala.
Brazil melihat lagi ke arah Travis yang sedang menatapnya dengan
penuh harap. Brazil menarik nafas panjang lalu membawa nampan
makanannya ke ujung meja.
Travis tersenyum padaku ketika dia duduk. ―Apa kabar, Pidge?‖
―Apa itu?‖ aku bertanya sambil terus melihat ke arah nampannya.
Makanan aneh di atas piringnya tampak seperti lilin.
Travis tertawa sambil meminum air dari gelasnya. ―Pekerja kafetaria
menakutiku. Aku tidak akan mengkritik keterampilan mereka dalam
memasak.‖
Aku menyadari tatapan menilai dari mereka yang duduk semeja bersama
kami. Kelakuan Travis mengusik rasa ingin tahu mereka, aku tersenyum
tenang karena menjadi satu-satunya wanita yang mereka lihat yang
membuat Travis memaksa untuk duduk berdekatan dengannya.
―Uuuhh...ujian Biologi nanti setelah makan siang, America menggerutu.
―Apa kau sudah belajar?‖ tanyaku.
―Tentu saja belum. Aku menghabiskan waktu tadi malam untuk
meyakinkan Shepley kalau kau tak akan tidur dengan Travis.‖
Pemain football yang duduk di ujung meja kami menghentikan tawanya
agar bisa mendengarkan lebih jelas, membuat semua orang heran. Aku
membelalak ke arah America, tapi dia tak peduli pada semua tuduhan,
menyenggol Shepley dengan bahunya.
―Ya Tuhan, Shep. Kau mengira akan seburuk itu ya?‖ Travis bertanya,
sambil melemparkan sebungkus saos ke arah sepupunya. Shepley tidak
menjawab, tapi aku tersenyum menghargai Travis karena mencoba
untuk mengalihkan perhatian.
America mengusap punggung Shepley. ―Dia akan baik-baik saja. Hanya
saja dia membutuhkan waktu untuk percaya kalau Abby menolak
pesonamu.‖
―Aku belum mencoba untuk menarik perhatiannya,‖ Travis mendengus,
tampak tersinggung. ―Dia temanku.‖
Aku menatap Shepley. ―Sudah aku bilang. Tidak perlu khawatir.‖
Shepley akhirnya menatapku, melihat ekspresi tulusku, matanya bersinar
sedikit.
―Apa kau sudah belajar?‖ Travis bertanya padaku.
Aku cemberut. ―Selama apapun aku belajar tidak akan menolong.
Biologi bukan pelajaran yang mudah di pelajari.‖
Travis berdiri. ―Ayo.‖
―Apa?‖
―Mari kita ambil catatanmu. Aku akan membantumu belajar.‖
―Travis...‖
―Ayo berdiri, Pidge. kau akan mendapat nilai yang bagus ujian nanti.‖
Aku menarik salah satu kepang panjang America sambil lewat. ―Sampai
bertemu di kelas Mare.‖
Dia tersenyum. ―Aku akan sisakan tempat duduk untukmu. Aku
membutuhkan semua bantuan yang bisa aku dapatkan.‖
Travis mengikutiku ke kamar, dan aku mengeluarkan buku pelajaranku
sementara dia membuka-buka bukuku. Dia memberikan pertanyaan
tanpa henti dan menjelaskan segala sesuatu yang tidak aku mengerti.
Dengan caranya menjelaskan, konsep yang tadinya membingungkan
menjadi mudah untuk di mengerti.
―...Dan somatik sel menggunakan mitosis untuk berkembang biak. Di
situlah terdapat fase-fasenya.
Terdengar seperti nama seorang wanita: Prometa Anatela.‖
Aku tertawa. ―Prometa Anatela?‖
―Prophase, Metaphase, Anaphase dan Telophase.‖
―Prometa Anatela,‖ aku mengulangi, sambil mengangguk.
Dia memukulkan kertas ke atas kepalaku. ―kau sudah hafal semua. kau
sudah mempelajari buku panduan belajar ini berulang-ulang.‖
Aku menghela nafas. ―Well, kita lihat nanti.‖
―Aku akan mengantarmu ke kelas. Aku akan menanyakan beberapa
pertanyaan sepanjang jalan.‖
Aku mengunci pintu. ―kau tidak akan marah kan kalau aku gagal dalam
ujian ini?‖
―kau tidak akan gagal, Pidge. Lain kali kita harus belajar lebih awal,‖ dia
berkata sambil terus berjalan di sampingku hingga tiba di gedung sains.
―Bagaimana caranya kau akan membantuku belajar, mengerjakan PR
mu, belajar dan berlatih bertarung?‖
Travis tertawa. ―Aku tidak berlatih. Adam menghubungiku,
memberitahu tempat bertarungnya dan aku tinggal datang.‖
Aku menggelengkan kepala karena tidak percaya saat dia memegang
kertas di depannya dan mengajukan pertanyaan pertamanya.
Kami hampir selesai untuk kedua kalinya mempelajari buku bimbingan
belajar itu saat kami tiba di depan kelasku.
―kau pasti berhasil,‖ dia tersenyum sambil menyerahkan catatanku dan
bersandar pada kusen pintu.
―Hai, Trav.‖
Aku berpaling dan melihat pria tinggi dan kurus tersenyum ke arah
Travis ketika akan masuk kelas.
―Parker,‖ Travis mengangguk.
Matanya berbinar saat melihat ke arahku kemudian tersenyum. ―Hai,
Abby.‖
―Hai,‖ jawabku, terkejut dia tahu namaku. Aku pernah melihatnya di
kelas, tapi kita tidak pernah saling menyapa.
Parker terus berjalan menuju tempat duduknya, bercanda dengan
beberapa orang yang duduk di sebelahnya. ―Siapa dia?‖ tanyaku.
Travis mengangkat bahunya, tapi kulit di sekitar matanya jadi semakin
tegang dari sebelumnya.
―Parker Hayes.‖
―Dia salah satu teman perkumpulanku di Sig Tau.‖
―kau ikut frat (fraternity: semacam perkumpulan persaudaraan
mahasiswa)?‖ aku bertanya, tidak percaya.
―Sigma Tau, sama seperti Shep. kupikir kau tahu itu,‖ dia menjawab
sambil melihat ke arah Parker.
―Well...kau seperti bukan tipe orang yang ikut perkumpulan,‖ aku
berkata, menatap tato di atas tangannya.
Travis kembali memperhatikanku dan menyeringai. ―Ayahku dulu
anggota Sigma Tau, begitu pula semua kakakku...jadi seperti tradisi.‖
―Dan mereka mengharapkanmu untuk mengikuti sumpah?‖ aku
bertanya, skeptis.
―Tidak juga. Mereka orang-orang yang baik,‖ dia menjawab sambil
mengibaskan kertas catatanku.
―Sebaiknya kau masuk kelas.‖
―Terima kasih sudah membantuku,‖ aku berkata, menyenggol dia
dengan sikuku. America masuk dan aku mengikutinya menuju tempat
duduk kami.
―Bagaimana tadi?‖ dia bertanya.
Aku mengangkat bahu. ―Dia pengajar yang baik.‖
―Hanya pengajar?‖
―Dia teman yang baik juga.‖
Dia tampak kecewa, dan aku tertawa melihat ekspresi di wajahnya.
America berharap aku akan berkencan dengan teman, atau teman
sekamar-garis miring-sepupunya, dan kalau itu terjadi akan menjadi
seperti jackpot baginya. Dia ingin agar kita satu kamar saat mendaftar di
Eastern tapi aku menolaknya, berharap untuk melebarkan sayap sedikit.
Setelah dia berhenti merajuk, dia berusaha memperkenalkan semua
teman Shepley padaku.
Ketertarikan Travis padaku telah melampaui semua idenya. Aku telah
mengerjakan ujianku dan duduk di tangga di luar gedung, menunggu
America. Ketika dia merosot ke bawah duduk di sebelahku, merasa tak
dapat mengerjakan soal ujian dengan baik, aku menunggu dia bicara.
―Tadi sangat sulit!‖ dia menangis.
―kau harus ikut belajar bersama aku dan Travis. Dia menjelaskan dengan
sangat baik.‖
America mengerang dan bersandar di bahuku. ―kau tidak membantu
sama sekali! Tidak bisakah kau cuma mengangguk atau semacamnya?‖
Aku memeluk lehernya dan menuntunnya menuju asrama.
®LoveReads

Selama seminggu berikutnya, Travis membantuku membuat makalah


mata kuliah Sejarah dan mengajariku Biologi. Aku dan Travis
mengamati papan nilai di luar kantor Prof Campbell. Nomor
mahasiswaku berada di urutan ketiga dari atas.
―Urutan ketiga tertinggi di kelas! Bagus, Pidge!‖ dia berkata sambil
memelukku. Matanya bersinar karena gembira dan bangga, dan situasi
menjadi canggung, membuatku mundur satu langkah.
―Terimakasih, Trav. Aku tak akan berhasil tanpa bantuanmu,‖ aku
berkata sambil menarik bajunya.
Dia memelukku, sambil berjalan ke arah kerumunan di belakang kami.
―Awas! Minggir! Beri jalan untuk wanita malang yang menyeramkan,
rusak dan berotak encer ini! Dia benar-benar jenius!‖
Aku tertawa melihat ekspresi senang dan penasaran teman sekelasku.
®LoveReads

Ketika hari-hari berlalu, kami berhasil menurunkan gosip tentang


hubungan kami. Reputasi Travis dapat menghilangkan gosip itu. Dia
tidak pernah setia pada satu wanita lebih dari satu malam, jadi semakin
sering kami terlihat bersama, orang-orang semakin mengerti kalau itu
hanya hubungan biasa, tidak lebih. Meskipun dengan pertanyaan yang
sering diajukan tentang hubungan kami, perhatian yang Travis terima
dari para mahasiswi sama sekali tidak surut.
Dia selalu duduk di sampingku setiap mata kuliah Sejarah, dan makan
siang bersama. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk menyadari
kalau aku telah salah menilainya, malah aku selalu membelanya di
depan orang yang tidak mengenal Travis sepertiku.
Di kafetaria, Travis menaruh sekaleng jus jeruk di hadapanku.
―kau tak perlu melakukannya. Aku akan mengambilnya sendiri,‖ kataku
sambil membuka jaket.
―Well, sekarang kau tak perlu lagi mengambilnya, kan?‖ dia berkata,
memamerkan lesung pipi di pipi kirinya.
Brazil mendengus. ―Apa dia telah merubahmu menjadi seorang pesuruh,
Travis? Apa selanjutnya, mengipasi dia dengan daun palem, sambil
memakai speedo?‖
Travis mengarahkan pandangan marah padanya, dan aku melompat
berdiri untuk membela Travis.
―kau tak akan muat memakai speedo, Brazil. Tutup mulutmu.‖
―Tenanglah, Abby! Aku hanya bercanda!‖ Brazil menjawab sambil
mengangkat tangannya.
―Pokoknya...jangan bicara seperti itu padanya,‖ kataku sambil
mengerutkan dahi.
Ekspresi Travis terkejut bercampur syukur. ―Sekarang aku sudah melihat
semua. Aku dibela oleh seorang wanita,‖ dia berkata sambil berdiri.
Sebelum dia pergi membawa nampannya, dia memberikan tatapan
peringatan pada Brazil, kemudian berjalan keluar untuk merokok
bersama sekelompok kecil sesama perokok di luar gedung.
Aku berusaha untuk tidak memperhatikan dia yang sedang ngobrol dan
tertawa. Setiap wanita bersaing untuk mendapatkan tempat di
sampingnya, America menyenggolku dengan sikunya ketika dia
menyadari perhatianku teralihkan.
―Apa yang sedang kau lihat, Abby?‖
―Tidak ada. Aku tidak sedang melihat apapun.‖
Dia meletakan dagunya di atas tangannya dan menggelengkan
kepalanya. ―Mereka sangat mencolok. Lihat si rambut merah. Dia
memainkan jari di rambutnya sebanyak dia berkedip. Aku penasaran
apakah Travis pernah merasa bosan dengan itu.‖
Shepley mengangguk. ―Dia pernah. Semua orang menganggap dia
bajingan, andaikan mereka tahu bagaimana sabarnya dia menghadapi
semua wanita yang berpikir mereka bisa ‗menjinakkannya‘...dia tak bisa
pergi kemanapun tanpa gangguan dari mereka. Percayalah; dia jauh
lebih sopan dari aku kalau berada di posisinya.‖
―Ah, seperti kau tidak akan menikmatinya saja,‖ America berkata sambil
mencium pipinya.
Travis telah selesai merokok di luar kafetaria saat aku melewatinya.
―Tunggu, Pidge. Aku akan mengantarmu.‖
―kau tidak harus mengantarku ke setiap kelas, Travis. Aku tahu caranya
kesana meskipun sendirian.‖
Travis mudah teralihkan perhatiannya oleh wanita berambut hitam
panjang memakai rok pendek yang berjalan sambil tersenyum padanya.
Matanya mengikuti wanita itu dan mengangguk ke arahnya lalu
membuang rokoknya.
―Sampai bertemu nanti, Pidge.‖
―Ya,‖ kataku sambil memutar mataku ketika dia berlari ke samping
wanita itu.
®LoveReads

Tempat duduk Travis tetap kosong selama pelajaran berlangsung, dan


aku merasa sedikit jengkel padanya karena bolos untuk wanita yang tak
dia kenal. Prof Chaney membubarkan kelas lebih awal, aku bergegas
menyebrangi halaman rumput, karena ada janji dengan Finch jam 3
untuk memberinya catatan Sherri Cassidy‘s Music Appreciation. Aku
melihat jamku dan mempercepat langkahku.
―Abby?‖
Parker berlari menyeberangi halaman rumput untuk berjalan di
sampingku. ―Kupikir kita belum berkenalan secara resmi,‖ dia berkata
sambil mengulurkan tangannya. ―Parker Hayes.‖
Aku membalas uluran tangannya sambil tersenyum. ―Abby Abernathy.‖
―Aku ada di belakangmu ketika kau sedang melihat hasil nilai ujian
Biologi. Selamat ya,‖ dia tersenyum sambil memasukkan tangan ke
dalam saku celananya.
―Terimakasih. Travis membantuku belajar, kalau tidak, mungkin aku
akan berada di urutan paling bawah daftar nilai itu, percayalah.‖
―Oh, apakah kalian...‖
―Sahabat.‖
Parker tersenyum dan mengangguk. ―Apakah dia memberitahumu
bahwa akan ada pesta di The House akhir minggu ini?‖
―Kami kebanyakan hanya membahas Biologi dan makanan.‖
Parker tertawa. ―Itu terdengar seperti Travis.‖
Di depan pintu masuk Aula Morgan, Parker mengamati wajahku dengan
mata hijau besarnya. ―kau harus datang. Itu akan menyenangkan.‖
―Aku akan bicara dengan America. kupikir kita tak punya rencana
apapun.‖
―Apakah kalian merupakan satu paket?‖
―Kita bersumpah musim panas ini. Tak akan datang ke pesta seorang
diri.‖
―Pintar,‖ dia mengangguk setuju.
―Dia bertemu Shep ketika orientasi, jadi aku jarang bisa bersama
dengannya. Ini akan menjadi pertama kalinya aku meminta bantuannya,
jadi kupikir dia akan senang untuk datang.‖ Aku dalam hati meringis.
Aku meringis dalam hati. Aku tidak hanya mengoceh, aku juga
membuatnya sangat jelas terlihat kalau aku tidak pernah diajak ke
sebuah pesta.
―Bagus. Sampai bertemu di sana,‖ dia berkata. Dia memancarkan
kesempurnaan, senyum seperti model Banana Republic dengan rahang
yang kotak dan kulit coklat alaminya, berbalik berjalan menuju kampus.
Aku terus memandanginya ketika dia pergi; dia sangat tinggi, tercukur
rapi, memakai kaos bergaris dan celana jins. Rambutnya yang
bergelombang dan pirang gelap bergerak ke atas ke bawah ketika dia
berjalan.
Aku menggigit bibirku, tersanjung oleh undangannya.
―Nah kalau dia lebih cocok untukmu,‖ Finch berbisik di telingaku.
―Dia cakep kan?‖ aku bertanya, tak bisa berhenti tersenyum.
―Sudah pasti dia tampan...dalam posisi misionari.‖
―Finch!‖ aku berteriak sambil memukul bahunya.
―Apakah kau membawa catatan milik Sherri?‖
―Bawa,‖ aku menjawab sambil mengeluarkannya dari tasku. Dia
menyalakan rokok, menghisapnya lalu memicingkan matanya ke arah
kertas.
―Benar-benar hebat,‖ dia berkata sambil membolak-balik halamannya.
Dia menggulung dan menyimpannya ke dalam saku kemudian
menghisap rokoknya lagi. ―Untung pemanas air di asrama mati. kau
membutuhkan mandi air dingin setelah bermain mata dengan Parker.‖
―Di asrama tak ada air panas?‖ aku meratap.
―Ya benar,‖ Finch berkata sambil mengenakan tas ranselnya. ―Aku pergi
dulu, ada kelas Aljabar. Beritahu Mare jangan lupakan aku akhir minggu
ini.‖
―Aku akan memberitahunya,‖ omelku sambil melihat ke arah dinding
antik batu bata asrama. Aku membuka pintu kamarku dan menerobos
masuk, dan menjatuhkan tas ranselku ke lantai.
―Tidak ada air panas,‖ Kara bergumam dari meja belajarnya.
―Aku sudah tahu.‖
Handphoneku bergetar dan aku memijit satu tombol untuk membaca
SMS America yang memaki-maki karena pemanas air mati. Beberapa
menit kemudian ada yang mengetuk pintu.
America masuk dan menjatuhkan diri ke atas tempat tidurku, tangannya
dilipat. ―Apa kau percaya omong kosong ini? Kita sudah membayar
mahal tapi tidak bisa mandi air panas?‖
Kara mendengus, ―Berhentilah merengek. Kenapa kau tidak tinggal di
apartemen pacarmu? Bukannya kau sering menginap di sana?‖
America menatap tajam Kara. ―Ide yang bagus, Kara. Mengingat kau
sangat menyebalkan tapi berguna juga kadang-kadang.‖
Kara tetap memandangi monitor komputernya, tidak terpengaruh
sindiran America.
America mengeluarkan Handphonenya kemudian mengetik SMS dengan
ketepatan dan kecepatan yang luar biasa. Handphonenya berbunyi dan
dia tersenyum ke arahku. ―Kita menginap di tempat Shep dan Travis
sampai pemanas air selesai di perbaiki.‖
―Apa? Aku tak akan ikut,‖ teriakku.
―Oh kau ikut. Tidak ada alasan untukmu terkurung di sini dan mandi air
dingin sedangkan Travis dan Shep memiliki dua kamar mandi di
apartemennya.
―Aku tidak diajak.‖
―Aku mengajakmu. Shep sudah bilang tidak apa-apa. kau bisa tidur di
sofa...kalau Travis tidak sedang memakainya.‖
―Dan kalau dia sedang memakainya?‖
America mengangkat bahunya. ―kau bisa tidur di kamar Travis.‖
―Aku tidak mau!‖
Dia memutar matanya. ―Jangan seperti anak kecil, Abby. Kalian
berteman, kan? Jika dia belum mencoba melakukan apapun sekarang,
berarti dia tidak akan pernah melakukannya.‖
Kata-katanya membuatku menutup mulutku. Travis bersamaku setiap
malam selama seminggu ini.
Aku selalu direpotkan untuk meyakinkan semua orang bahwa kami
hanya berteman, tidak pernah muncul di benakku kalau dia hanya
tertarik untuk berteman. Aku tak tahu mengapa, tapi aku merasa sedikit
tersinggung.
Kara menatap tidak percaya ke arah kami. ―Travis Maddox tidak
berusaha untuk tidur denganmu?‖
―Kami hanya teman!‖ Aku berkata dengan nada membela diri.
―Aku tahu, tapi apakah dia benar tidak pernah...mencoba? Dia tidur
dengan semua orang.‖
―Kecuali kita,‖ America berkata lalu memandang Kara. ―Dan kau.‖
Kara mengangkat bahu. ―Well, aku belum pernah bertemu dengannya.
Aku cuma mendengar
ceritanya.‖
―Tepat,‖ aku membentaknya, ―kau bahkan belum mengenalnya.‖
Kara kembali menatap komputernya, melupakan kehadiran kami.
Aku menghela nafas. ―Baiklah Mare. Aku akan berkemas dulu.‖
―Pastikan kau membawa pakaian untuk tinggal beberapa hari, siapa yang
tahu berapa lama untuk memperbaiki pemanas airnya,‖ dia berkata
sedikit terlalu bersemangat.
Ada sedikit rasa takut seperti akan mengintip daerah musuh.
―Ya...Baiklah.‖
America melompat ketika memelukku. ―Ini akan sangat
menyenangkan!‖
Setengah jam kemudian kami memasukan barang bawaan kami ke
dalam mobil Honda milik
America dan menuju apartemen. America hampir tidak menarik nafas
saat dia asyik mengoceh sambil menyetir. Dia membunyikan klakson
saat melambat untuk berhenti di tempat biasa dia parkir. Shepley berlari
menuruni tangga, dan menarik ke dua tas kami dari dalam bagasi,
mengikuti kami ke atas.
―Tidak dikunci kok,‖ dia terengah.
America membuka pintu dan aku menahan pintunya. Shepley
mendengus saat menurunkan tas kami ke lantai. ―Ya Tuhan, Sayang!
Tasmu 20 pound lebih berat dari tas Abby!‖
America dan aku terdiam saat seorang wanita keluar dari kamar mandi,
sambil mengancingkan kemejanya.
―Hai,‖ sapanya, tampak terkejut. Mata dengan maskaranya yang
berantakan menatap kami sebelum mendengus melihat ke arah koper
kami. Aku mengenali dia sebagai wanita yang diikuti Travis dari
kafetaria.
America membelalak ke arah Shepley.
Dia mengangkat tangannya ke atas. ―Dia bersama Travis!‖
Travis keluar dari pojokan hanya memakai celana boxer sambil
menguap. Dia melihat pada tamunya, dan kemudian menepuk pantatnya.
―Temanku sudah datang. kau sebaiknya pergi.‖
Gadis itu tersenyum dan memeluk Travis lalu mencium lehernya. ―Aku
akan meninggalkan nomor teleponku di meja dapur.‖
―Ehm...tidak perlu,‖ kata Travis santai.
―Apa?‖ dia bertanya dan melepaskan pelukannya untuk menatap mata
Travis.
―Selalu seperti ini! Kenapa kau terkejut? Dia adalah Travis Maddox si
bajingan! Dia terkenal seperti itu tapi selalu saja kalian terkejut!‖
America berkata sambil berbalik ke arah Shepley. Dia memeluk
America untuk menenangkannya.
Wanita itu memicingkan matanya ke arah Travis lalu mengambil tasnya
dan berlari keluar sambil membanting pintu di belakangnya.
Travis berjalan menuju dapur dan membuka kulkas seperti tidak terjadi
apapun.
America menggelengkan kepalanya dan berjalan menuju lorong.
Shepley mengikuti, memiringkan badannya untuk mengimbangi berat
dari tas America sambil berjalan di belakangnya.
Aku duduk bersandar di kursi malas dan menghela nafas, merasa kalau
aku sudah sinting karena setuju untuk ikut.
Aku tak menyadari sebelumnya kalau apartemen Shepley menjadi
seperti pintu putar untuk cewek gampangan yang tak dikenal.
Travis berdiri di belakang meja dapur, melipat tangannya di atas dada
dan tersenyum. ―Ada apa, Pidge? Lelah?‖
―Tidak, aku hanya merasa jijik.‖
―Padaku?‖ dia tersenyum. Aku seharusnya tahu dia telah mengharapkan
obrolan ini. Itu hanya membuatku semakin tidak bisa menahan diri.
―Ya, padamu. Bagaimana bisa kau memperalat seseorang lalu
memperlakukannya seperti itu?‖
―Memang bagaimana aku memperlakukannya? Dia menawarkan nomor
teleponnya dan aku menolaknya.‖
Mulutku menganga karena kurangnya rasa bersalah Travis. ―kau ingin
tidur dengannya tapi tidak mau menerima nomor teleponnya?‖
Travis bersandar di meja di atas sikunya. ―Kenapa aku mau nomor
teleponnya kalau aku tak akan pernah meneleponnya?‖
―Kenapa kau mau tidur dengannya kalau kau tidak akan
meneleponnya?‖
―Aku tak menjanjikan apapun pada siapapun, Pidge. Dia tidak menuntut
suatu hubungan sebelum bercinta denganku di sofa.‖
Aku memandang sofa dengan rasa jijik. ―Dia anak perempuan dari
seseorang, Travis. Bagaimana jika suatu saat nanti, seseorang
memperlakukan anak perempuanmu seperti itu?‖
―Anak perempuanku sebaiknya tidak membuka celana dalamnya untuk
seorang bajingan yang baru dia kenal, mari kita harap begitu.‖
Aku melipat tanganku, marah akan pikiran Travis. ―Jadi kau mengakui
kalau kau adalah bajingan, kau mengatakan itu karena kau sudah tidur
dengannya dan dia pantas untuk dibuang seperti kucing liar?‖
―Menurutku aku hanya berusaha untuk jujur padanya. Dia sudah dewasa,
atas dasar suka sama suka...dia malah terlalu ‗bersemangat‘ kalau kau
ingin tahu yang sebenarnya. kau bersikap seperti aku melakukan suatu
tindak kejahatan.‖
―Dia sepertinya tak mengetahui niatmu yang sebenarnya, Travis.‖
―Wanita selalu membenarkan tindakan mereka dengan apapun yang
mereka putuskan di dalam kepala mereka. Dia tak memberitahu lebih
dulu padaku kalau dia mengharapkan suatu hubungan yang lebih, aku
sudah katakan sebelumnya kalau aku hanya ingin seks tanpa ikatan. Apa
bedanya?‖
―Dasar Babi.‖
Travis mengangkat bahunya. ―Aku pernah dihina lebih parah dari itu.‖
Aku memandangi sofa yang masih berantakan setelah digunakan Travis
tadi. Aku tersentak oleh pikiran sudah berapa banyak wanita yang
menyerahkan dirinya di atas situ. Membuat gatal kulitku.
―Kupikir aku akan tidur di kursi malas saja.‖ Aku bergumam.
―Kenapa?‖
Aku melotot padanya, sangat marah karena ekspresi bingungnya. ―Aku
tak akan tidur di sofa itu!
Hanya Tuhan yang tahu apa saja yang ada di atas sofa itu!‖
Dia mengangkat koperku dari lantai. ―kau tak akan tidur di sofa ataupun
di kursi malas. Kau akan tidur di kamarku.‖
―Yang aku yakin lebih kotor dari sofa.‖
―Tak ada yang pernah tidur di kamarku selain aku sendiri.‖
Aku memutar mataku. ―Yang benar saja!‖
―Aku sangat serius. Aku meniduri mereka di sofa. Aku tak
memperbolehkan mereka masuk ke kamarku.‖
―Lalu, kenapa aku diperbolehkan masuk?‖
Sudut bibirnya membentuk seringai nakal. ―Apakah kau berencana
untuk berhubungan seks denganku malam ini?‖
―Tidak!‖
―Nah karena itulah. Ayo sekarang berdiri lalu mandi kemudian kita bisa
belajar Biologi.‖
Aku melotot padanya, sesaat kemudian mengikuti perintahnya sambil
menggerutu.
®LoveReads
Aku berdiri dibawah pancuran cukup lama, membiarkan air
menghilangkan rasa marahku. Memijat kepalaku sambil keramas, aku
merindukan pada begitu nikmatnya mandi bukan di kamar mandi umum
— tidak harus memakai sandal, tidak ada tas peralatan mandi, hanya
campuran yang menenangkan dari air dan uap.
Pintu terbuka membuatku terkejut. ―Mare?‖
―Bukan, ini aku,‖ Travis menjawab.
Otomatis aku menutupi bagian tubuhku yang tak ingin dilihat Travis
dengan tanganku. ―Apa yang kau lakukan di dalam sini? Cepat keluar!‖
―kau lupa membawa handukmu dan aku membawakan pakaian, sikat
gigi dan krem muka aneh ini yang aku temukan di dalam tasmu.‖
―kau membuka tasku?‖ Aku berteriak. Dia bahkan tidak menjawab.
Sebaliknya, justru terdengar suara kran dibuka dan suara Travis yang
sedang menggosok gigi.‖
Aku mengintip dari balik tirai plastik, menahannya menutupi dadaku.
―Keluar, Travis.‖
Dia menatapku dengan busa odolnya di mulutnya. ―Aku tidak bisa tidur
tanpa menggosok gigi.‖
―Jika kau mendekat jarak dua kaki dari tirai ini, aku akan menusuk
matamu saat kau tidur.‖
―Aku tidak akan mengintip, Pidge,‖ dia tertawa.
Aku menunggu di bawah pancuran sambil melipat tanganku di atas
dadaku. Dia meludah, berkumur dan meludah lagi lalu pintu tertutup.
Aku membersihkan sabun dari tubuhku, mengeringkannya secepat
mungkin, memakai kaos dan celana pendek, mengenakan kacamataku,
lalu menyisir rambutku. Pelembab malam yang Travis bawakan
mengalihkan perhatianku, dan aku tidak dapat menahan senyumku. Dia
sangat perhatian dan hampir baik kalau dia menginginkannya.
Travis membuka pintu lagi. ―Ayo cepat, Pidge! Aku sudah menunggu
terlalu lama.‖
Aku melempar sisir ke arahnya dan dia menghindar, lalu dia menutup
pintu dan tertawa sepanjang jalan menuju kamarnya. Aku menggosok
gigiku lalu berjalan menuju lorong melewati kamar Shepley.
―Selamat tidur, Abby,‖ America memanggil dari kegelapan.
―Selamat tidur, Mare.‖
Aku ragu-ragu sebelum mengetuk pintu kamar Travis dua kali.
―Masuk saja, Pidge. kau tak perlu mengetuk.‖
Dia membukakan pintu lalu aku melangkah masuk, melihat besi hitam
tempat tidurnya yang di tempatkan sejajar dengan jendela di seberang
ruangan. Dindingnya polos kecuali satu sombero yang di gantung di atas
ujung kepala tempat tidur. Aku mengira kamarnya akan dipenuhi poster
wanita setengah telanjang, tapi bahkan aku tidak melihat poster iklan bir
di sana. Tempat tidur hitam, karpet abu dan sisanya semua yang ada di
kamar ini berwarna putih. Tampak seperti dia baru saja pindah.
―Piyama yang bagus,‖ Travis berkata, memperhatikan celana pendekku
yang berwarna kuning kotak-kotak biru, dan seragam kaos abu-abu
Eastern. Dia duduk di atas tempat tidurnya lalu menepuk-nepuk bantal di
sampingnya. ―Well, ayo naik. Aku tidak akan menggigit.‖
―Aku tidak takut padamu,‖ aku berkata, berjalan menuju tempat tidur
dan menjatuhkan buku biologiku disampingnya. ―Apakah kau punya
pulpen?‖
Dia menggunakan kepalanya untuk menunjuk ke meja. ―Laci paling
atas.‖
Aku melangkah ke seberang tempat tidur dan menarik laci hingga
terbuka, menemukan tiga pulpen, pensil, satu tube jelly KY, dan
mangkuk kaca penuh dengan kondom dari berbagai merk.
Dengan rasa jijik, aku mengambil pulpennya dan menutup laci dengan
cepat.
―Ada apa?‖ dia bertanya sambil membuka-buka halaman bukuku.
―Apakah kau merampok klinik kesehatan?‖
―Tidak, kenapa?‖
Aku membuka tutup pulpen, tak mampu menyembunyikan rasa muak
dari wajahku. ―Kondom
untuk persediaan seumur hidupmu.‖
―Lebih baik aman daripada menyesal, benar, kan?‖
Aku memutar mataku. Travis kembali melihat halaman bukuku, senyum
nakal muncul di bibirnya.
Dia membacakan catatannya padaku, menandai poin yang penting
sambil dia mengajukan beberapa pertanyaan dan dengan sabar
menjelaskan apa yang tidak aku mengerti.
Setelah satu jam berlalu, aku melepas kacamataku dan menggosok
mataku. ―Aku lelah. Tidak dapat mengingat satu lagi mikromolekul.‖
Travis tersenyum, menutup bukuku. ―Baiklah.‖
Aku terdiam, tidak yakin bagaimana pengaturan tempat tidur kita. Travis
meninggalkan kamar menuju lorong, menggumamkan sesuatu di kamar
Shepley sebelum menyalakan pancuran dan
mandi. Aku membalikkan selimut dan menariknya hingga ke atas
leherku sambil mendengarkan suara air mengalir di dalam pipa.
Sepuluh menit kemudian, air dimatikan, dan lantai berderak ketika
Travis melangkah. Dia berjalan masuk kamar dengan hanya
menggunakan handuk yang dililitkan di pinggulnya. Dia mempunyai
tato di sisi dadanya, dan gambar tribal di kedua bahunya yang berotot.
Pada tangan sebelah kanannya, garis hitam dan symbol-simbol
membentang dari bahu hingga pergelangan, di bagian tangan kirinya,
tato hanya sampai ke sikunya, dengan hanya satu tulisan di bagian dalam
lengannya.
Aku dengan sengaja membelakangi Travis saat dia berdiri di depan
lemarinya dan menjatuhkan handuknya untuk memakai celana boxernya.
Setelah mematikan lampu, dia merangkak ke atas tempat tidur dan tidur
disampingku.
―kau tidur di sini juga?‖ aku bertanya sambil berbalik dan menatapnya.
Bulan purnama di luar jendela membuat bayangan di wajahnya. ―Well,
tentu saja. Inikan tempat tidurku.‖
―Aku tahu, tapi aku...‖ aku tidak melanjutkan. Pilihanku satu-satunya
hanya sofa atau kursi malas.
Travis tersenyum dan menggelengkan kepalanya. ―Bukankah seharusnya
kau sudah percaya
padaku? Aku akan menjaga kelakuanku, aku janji,‖ dia berkata sambil
mengangkat dua jarinya yang aku yakin pramuka di America tidak
pernah berpikir untuk melakukannya.
Aku tidak membantah, hanya berbalik dan berbaring di atas bantal, dan
menyelipkan selimut di belakangku agar ada batas jelas diantara kita.
―Selamat tidur, Pigeon,‖ dia berbisik di telingaku. Aku dapat mencium
aroma mint nafasnya di pipiku, membuat bulu di seluruh tubuhku berdiri
di setiap jengkal kulitku. Bersyukur saat itu cukup gelap sehingga dia
tak dapat melihat reaksiku yang memalukan atau rona merah di pipiku.
®LoveReads

Sepertinya aku baru saja tertidur saat alarm berbunyi. Aku meraih untuk
mematikannya tapi langsung menarik tanganku kembali dengan cepat
ketika merasakan kulit yang hangat di bawah jariku. Aku mencoba
mengingat di mana aku berada. Ketika aku mengingatnya, membuatku
merasa malu kalau sampai Travis berpikir aku melakukan itu dengan
sengaja.
―Travis? Alarmmu,‖ aku berbisik. Dia tetap tidak bergerak. ―Travis!‖
aku memanggilnya lagi sambil menyikutnya. Ketika dia tetap tidak
bergerak, aku meraih alarm itu melewati tubuh Travis, meraba-raba di
kegelapan hingga aku merasakan bagian atasnya jam. Tak yakin
bagaimana mematikannya, aku memukul-mukul bagian atasnya hingga
tombol snooze terpijit dan menjatuhkan diri lagi ke atas bantal dengan
gusar.
Travis tertawa.
―kau sudah bangun?‖
―Aku sudah berjanji akan menjaga sikapku. Tapi aku tidak bilang apa-
apa tentang membiarkanmu berbaring di atasku.‖
―Aku tidak berbaring di atasmu,‖ protesku. ―Aku tidak bisa meraih jam
itu. Itu adalah alarm yang paling mengganggu yang pernah aku dengar.
Suaranya seperti binatang yang sekarat.‖
Dia meraih jam itu dan memijit tombolnya. ―kau mau sarapan?‖
Aku melotot ke arahnya kemudian menggelengkan kepalaku. ―Aku tidak
lapar.‖
―Well, aku lapar. Kenapa kita tidak pergi ke kafe?‖
―Kupikir aku tidak bisa menerima kurangnya keterampilan menyetirmu
sepagi ini,‖ jawabku. Aku mengayunkan kakiku keluar dari tempat tidur
dan memakai sandalku lalu berjalan menuju pintu.
―Mau kemana?‖ dia bertanya.
―Bersiap-siap ke kampus. Apakah kau butuh rincian kegiatanku selama
aku disini?‖
Travis menggeliat, berjalan menuju ke arahku, masih memakai
boxernya. ―Apakah kau selalu temperamen seperti ini atau akan mereda
setelah kau percaya aku tidak sedang membuat skema yang rumit agar
bisa tidur denganmu?‖ Tangannya memegang bahuku dan aku
merasakan ibu jarinya menyentuh kulitku.
―Aku tidak temperamental.‖
Dia membungkuk mendekat dan berbisik di telingaku. ―Aku tidak akan
tidur denganmu, Pidge. Aku terlalu menyukaimu.‖
Dia berjalan melewatiku menuju kamar mandi, dan aku diam berdiri,
terpana. Ucapan Kara berputar ulang di pikiranku. Travis Maddox tidur
dengan semua orang; aku tak bisa mencegah merasa rendah diri dalam
beberapa hal sampai-sampai dia tak punya keinginan untuk tidur
denganku.
Pintu terbuka kembali, dan America berjalan masuk. ―Wakey, wakey,
eggs and bakey!‖ Dia tersenyum lalu menguap.
―kau menjadi seperti ibumu, Mare,‖ aku bergumam sambil mengaduk-
aduk tasku.
―Ooohh...apakah seseorang ada yang kurang tidur tadi malam?‖
―Dia bahkan tidak bernafas ke arahku,‖ aku berkata.
Senyum penuh arti muncul di wajahnya. ―Oh.‖
―Oh apa?‖
―Tidak apa-apa,‖ dia menjawab, kembali masuk ke kamar Shepley.
Travis sedang berada di dapur, menyenandungkan lagu asal-asalan
sambil membuat telur urak-arik.
―kau yakin tidak mau?‖ dia bertanya.
―Aku yakin. Terimakasih.‖
Shepley dan America masuk dan Shepley mengeluarkan dua piring dari
dalam lemari, memegangnya ketika Travis menyendokkan setumpuk
telur panas ke atas setiap piring. Shepley meletakan piring di atas meja
dapur lalu dia dan America duduk berdua, memuaskan nafsu lapar
mereka setelah ‗beraktivitas‘ tadi malam.
―Jangan melihatku seperti itu, Shep. Maafkan aku, aku hanya tak ingin
pergi,‖ America berkata.
―Sayang, the House mengadakan pesta kencan dua kali dalam setahun,‖
Shepley bicara sambil mengunyah. ―Acaranya bulan depan. kau akan
punya banyak waktu untuk mencari gaun dan melakukan hal lainnya
yang biasa dilakukan wanita.‖
―Ya benar, Shep...itu sangat manis...tapi aku tidak mengenal siapapun di
sana.‖
―Akan ada banyak wanita yang datang tanpa mengenal siapapun di
sana,‖ dia berkata, terkejut karena penolakan America.
America merosot di kursinya. ―Cewek-cewek sorority (perkumpulan
persaudaraan mahasiswi) yang menyebalkan diundang ke acara seperti
itu. Mereka semua mengenal satu sama lain...Itu akan aneh nantinya.‖
―Ayolah, Mare. Jangan biarkan aku pergi sendirian.‖
―Well...mungkin kau bisa menemukan seseorang untuk mengajak
Abby?‖ dia berkata sambil melihat padaku lalu ke arah Travis.
Travis menaikkan satu alisnya, dan Shepley menggelengkan kepalanya.
―Trav tak pernah datang ke acara seperti itu. Itu yang harus kau hadiri
bersama pacarmu...dan Travis tidak...kau tahu, kan.‖
America mengangkat bahunya. ―Kita bisa mengenalkannya pada
seseorang.‖
Aku memicingkan mataku ke arah mereka. ―Aku bisa mendengarmu,
tahu.‖
America memberiku pandangan yang tidak mungkin aku tolak.
―Tolonglah, Abby? Kita akan mencarikanmu seorang pria yang baik,
lucu, pintar dan aku akan memastikan dia tampan...Aku berjanji kau
akan bersenang-senang! Dan siap tahu, mungkin kau akan cocok
dengannya.‖
Travis meletakan wajan di tempat cuci piring. ―Aku tidak bilang aku
tidak akan mengajak dia.‖
Aku memutar mataku. ―Tidak perlu membantuku, Travis.‖
―Bukan itu maksudku, Pidge. Pesta kencan adalah pesta yang didatangi
pria dengan kekasihnya, dan seperti yang sudah kalian tahu, aku tidak
pernah pacaran. Tapi aku tak ingin khawatir kau akan mengharapkan
cincin tunangan setelah itu.‖
America memanyunkan bibirnya. ―Aku mohon, Abby.‖
―Jangan melihatku seperti itu!‖ Aku mengeluh. ―Travis tak ingin datang,
aku juga tak ingin...kita tidak akan bersenang-senang.‖
Travis melipat tangannya dan bersandar di tempat cuci piring. ―Aku
tidak bilang aku tak ingin datang. Kurasa akan menyenangkan bila kita
berempat bisa datang,‖ dia mengangkat bahunya.
Semua mata menatapku, dan aku mundur satu langkah. ―Kenapa kita
tidak hang out di sini saja?‖
America cemberut dan Shepley bersandar ke depan. ―Karena aku harus
datang, Abby. Aku anggota baru; Aku harus memastikan semua berjalan
lancar, memastikan semua orang memegang bir di tangannya, hal-hal
semacam itu.‖
Travis berjalan ke luar dapur dan meletakkan tangannya di bahuku,
menarikku ke arahnya.
―Ayolah, Pidge. Maukah kau pergi denganku?‖
Aku memandang America, lalu Shepley dan akhirnya ke arah Travis
lagi. ―Ya, aku mau,‖ aku menghela nafas.
America berteriak lalu memelukku, dan aku merasakan tangan Shepley
di punggungku.
―Terimakasih, Abby,‖ kata Shepley.
®LoveReads
Bab 3
Komentar Pedas (Cheap Shot)

Finch menghisap sekali lagi. Asap keluar dari hidungnya dalam dua
kepulan tebal. Aku mengarahkan wajahku ke arah matahari saat dia
menceritakan tentang acara dansa, minuman keras dan teman barunya
yang gigih selama weekend kemarin.
―Jika kau tidak menyukainya, mengapa kau membiarkannya
membelikanmu minuman?‖ aku tertawa.
―Jawabannya sederhana, Abby. Aku sedang tidak punya uang.‖
Aku tertawa lagi, dan Finch menusukan sikunya padaku lalu melihat
Travis berjalan ke arah kami.
―Hai, Travis,‖ Finch menyapa sambil mengedipkan sebelah matanya
padaku.
―Finch,‖ dia mengangguk. Dia memegang kunci. ―Aku akan pulang,
Pidge. Apakah kau butuh tumpangan?‖
―Aku baru saja akan ke asrama,‖ jawabku, aku tersenyum padanya
sambil memakai kacamataku.
―kau tak akan tinggal bersamaku malam ini?‖ dia bertanya, wajahnya
tampak terkejut dan kecewa.
―Tidak, aku akan menginap di sana. Hanya saja aku harus mengambil
beberapa barang yang lupa aku bawa dari asrama.‖
―Barang apa?‖
―Well, pisau cukurku misalnya. Apa pedulimu?‖
―Memang sudah waktunya kau mencukur bulu kakimu. Karena melukai
punyaku,‖ dia berkata sambil menyeringai nakal.
Mata Finch melotot saat memandangku sekilas, dan aku cemberut ke
arah Travis. ―Itulah awalnya bagaimana gosip menyebar!‖ aku melihat
ke arah Finch dan menggelengkan kepalaku. ―Aku tidur di tempat
tidurnya... hanya tidur.‖
―Ya, benar,‖ kata Finch sambil tersenyum puas.
Aku memukul tangan Finch sebelum menghentak pintu agar terbuka dan
menaiki tangga. Ketika aku tiba di lantai dua, Travis berada di
sampingku.
―Oh, jangan marah. Aku hanya bercanda.‖
―Semua orang sudah berpikiran kita berhubungan seks. Dan kau
membuatnya semakin parah.‖
―Siapa yang peduli dengan yang apa mereka pikirkan?‖
―Aku, Travis, aku peduli,‖ aku mendorong pintu kamarku hingga
terbuka, memasukan barangku ke dalam sebuah tas kecil, lalu
melangkah keluar dan Travis mengikuti di belakang. Dia tertawa saat
mengambil tas dari tanganku dan aku melotot padanya. ―Itu tidak lucu.
Apakah kau ingin semua orang di kampus berpikir kalau aku adalah
salah satu perekmu?‖
Travis mengerutkan dahinya. ―Tidak ada seorangpun yang berpikir
seperti itu. Dan jika ada, mereka akan berharap aku tak pernah
mendengarnya.‖
Dia menahan pintu terbuka untukku, dan setelah aku melewatinya, aku
berhenti tiba-tiba di depannya. ―Aww!‖ dia terkejut saat menabrakku.
Aku membalik tubuhku. ―Ya Tuhan! Semua orang mungkin berpikir kita
pacaran tapi kau tetap melakukan... gaya hidupmu, tanpa rasa malu sama
sekali. Aku pasti terlihat sangat menyedihkan!‖
Aku berkata, baru menyadarinya saat aku bicara. ―Kupikir aku tak akan
tinggal bersamamu lagi. Kita harus saling menjauh untuk sementara.‖
Aku mengambil tas darinya dan dia merebutnya lagi.
―Tak ada seorangpun yang berpikir kita pacaran, Pidge. kau tak harus
berhenti bicara padaku untuk membuktikannya.‖
Kami tarik-menarik memperebutkan tas, dan ketika dia menolak untuk
melepaskannya, aku menggeram keras dengan frustrasi. ―Apakah pernah
ada seorang wanita—yang hanya teman—tinggal bersamamu? Apakah
kau pernah menawarkan tumpangan pada seorang wanita pulang dari
kampus? Apa kau makan siang dengannya setiap hari? Tidak ada yang
tahu apa yang mereka pikirkan tentang kita, meskipun kita telah
menjelaskannya!‖
Dia berjalan ke parkiran sambil memegangiku. ―Aku akan perbaiki itu,
ok? Aku tak ingin ada seseorang yang berpikiran buruk tentangmu
karena aku,‖ dia berkata dengan ekspresi terganggu.
Matanya berbinar lalu tersenyum. ―Biarkan aku menebusnya.
Bagaimana kalau kita pergi ke The Dutch malam ini?‖
―Itu bar untuk para biker,‖ aku mencibir, memperhatikan dia mengikat
tasku pada motornya.
―Ok, kalau begitu kita pergi ke club. Aku akan mengajakmu makan
malam lalu kita ke The Red Door. Aku traktir.‖
―Bagaimana bisa makan malam dan pergi clubbing akan memperbaiki
masalah? Kalau orang lain melihat kita pergi bersama, itu akan
membuatnya semakin buruk.‖
Dia menaiki motornya. ―Coba pikir, aku, mabuk, di ruangan penuh
wanita setengah telanjang? Tidak akan membutuhkan waktu yang lama
untuk mereka mengetahui bahwa kita bukan pasangan.‖
―Jadi aku harus melakukan apa? Membawa pria pulang dari bar untuk
mengantarku pulang?‖
―Aku tidak berkata begitu. Tak perlu terlalu berlebihan,‖ dia berkata
sambil mengerutkan dahinya.
Aku memutar mataku lalu naik ke atas motor, dan meletakkan tanganku
di pinggangnya. ―Apakah nanti ada seorang wanita yang akan ikut kita
pulang dari bar? Itu kah caramu menebusnya padaku?‖
―kau tidak cemburu kan, Pigeon?‖
―Cemburu pada apa? Pada pembawa penyakit seksual menular yang
bodoh yang akan
menyerangmu dan membuatmu kesal pada pagi harinya?‖
Travis tertawa, lalu menyalakan Harley-nya. Dia melesat menuju
apartemen dengan kecepatan dua kali lipat dari kecepatan maksimum.
Aku menutup mataku agar tidak melihat pada bayangan pohon dan
mobil yang kami lewati.
Saat turun dari motornya, aku memukul bahunya. ―Apakah kau lupa
bahwa ada aku di belakangmu?
Apa kau mencoba untuk membunuhku?‖
―Sangat sulit untuk melupakanmu ada di belakangku saat pahamu
menjepitku dengan sangat erat.‖
Seringai bodoh muncul di wajahnya karena membayangkan yang tidak-
tidak. ―Aku tidak bisa membayangkan cara untuk mati yang lebih baik
dari ini.‖
―Ada yang benar-benar salah dengan dirimu.‖
Kami baru saja masuk ketika America berjalan keluar dari kamar
Shepley. ―Kami berencana untuk pergi keluar malam ini, kalian ingin
ikut?‖
Aku memandang Travis dan tersenyum. ―Kami berencana makan sushi
sebelum pergi ke The Red.‖
America tersenyum lebar. ―Shep!‖ dia memanggil sambil berlari ke
kamar mandi. ―Kita akan pergi keluar malam ini!‖
Aku mendapat giliran terakhir untuk mandi, Shepley, America dan
Travis sudah tidak sabar menunggu di depan pintu ketika aku keluar dari
kamar mandi memakai gaun hitam dan sepatu bertumit warna pink.
America bersiul. ―Sangat seksi!‖
Aku tersenyum menghargai, dan Travis mengangkat tangannya. ―Kaki
yang indah.‖
―Apakah aku sudah bilang kalau itu pisau cukur ajaib?‖
―Aku pikir bukan karena pisau cukurnya,‖ dia tersenyum sambil
menarikku keluar pintu.
Kami merasa terlalu bising dan tidak nyaman di sushi bar, kami sudah
cukup banyak minum sebelum pergi ke The Red Door. Shepley
memasuki tempat parkir, berputar-putar mencari tempat untuk parkir.
―Cepatlah, Shep,‖ America menggerutu.
®LoveReads

―Heh. Aku harus menemukan tempat yang agak luas untuk parkir. Aku
tak ingin orang idiot yang mabuk merusak cat mobilku.‖
Setelah kita parkir, Travis memajukan kursinya ke depan dan
membantuku keluar. ―Kalian membuat KTP palsu dimana? Itu sangat
rapi. Sulit untuk mendapatkannya di sini.‖
―Ya, kami memilikinya sudah cukup lama. Itu sangat penting...di
Wichita.‖ jawabku.
―Penting?‖ Travis bertanya.
―Untung kau memiliki koneksi,‖ kata America. Dia cegukan dan
menutup bibirnya sambil cekikikan.
―Ya ampun,‖ Shepley berkata sambil memegang tangan America saat
dia berjalan sempoyongan di atas kerikil. ―Kupikir kau sudah terlalu
banyak minum malam ini.‖
Travis penasaran. ―Apa maksudmu, Mare? Koneksi apa?‖
―Abby mempunyai teman lama yang—‖
―Itu KTP palsu, Trav,‖ kataku memotong. ―kau harus mengenal orang
yang tepat agar hasilnya bagus, benar kan?‖
America sengaja memalingkan wajahnya dari Travis dan aku menunggu.
―Benar,‖ dia menjawab, tangannya memegang tanganku.
Aku memegang tiga jari Travis dan tersenyum, mengetahui ekspresinya
yang tak puas atas jawabanku.
―Aku membutuhkan minum lagi,‖ kataku sebagai usaha kedua untuk
mengubah topik pembicaraan.
―Minum!‖ America berteriak.
Shepley memutar matanya. ―Ya benar, itu yang kau butuhkan, minuman
lagi.‖
Setelah di dalam, Amarica langsung menarikku ke lantai dansa. Rambut
pirangnya berantakan, dan aku tertawa pada bibirnya yang di dorong
maju seperti bebek saat dia bergerak mengikuti musik. Ketika lagu
berakhir, kita bergabung dengan Shepley dan Travis di meja bar. Ada
seorang wanita yang sangat seksi, berambut pirang pucat di samping
Travis, dan ekspresi mabuk America berubah menjadi rasa jijik.
―Akan selalu seperti ini sepanjang malam, Mare. Acuhkan saja mereka,‖
Shepley berkata sambil menunjuk kearah sekumpulan wanita yang
berada tidak jauh dari kami menggunakan kepalanya.
Mata mereka memandangi si pirang, menunggu giliran mereka untuk
mendekati Travis.
―Seperti Vegas yang memuntahkan domba pada sekawanan burung
nasar,‖ America mengejek.
Travis menyalakan rokoknya saat memesan dua botol bir, si pirang
sedikit mendesah, membasahi bibirnya lalu tersenyum. Bartender
membuka tutup botol dan menyerahkannya pada Travis. Si pirang
mengambil salah satu botol bir itu tapi Travis mengambilnya kembali
dari tangannya.
―Bukan untukmu,‖ Travis berkata padanya lalu menyerahkannya
padaku.
Awalnya aku berpikir untuk membuang bir itu ke tempat sampah tapi
wanita itu tampak tersinggung, lalu aku tersenyum dan meminum bir itu.
Dia melangkah pergi dengan dongkol dan aku tersenyum karena
tampaknya Travis tak peduli.
―Memangnya aku akan membelikan minuman untuk seorang wanita di
bar,‖ dia berkata sambil menggelengkan kepalanya. Aku mengangkat
botol bir ku ke atas dan dia tersenyum kecil. ―kau berbeda.‖
Aku bersulang dengannya. ―Untuk menjadi satu-satunya wanita yang
tidak diajak tidur oleh pria yang tidak punya aturan.‖ Kataku sambil
meneguk birku.
―Apakah kau serius?‖ dia bertanya sambil menarik botol bir dari
mulutku. Dan ketika aku tidak menarik kembali kata-kataku, dia
bersandar mendekat ke arahku. Pertama...aku punya aturan. Aku tidak
pernah bersama wanita jelek, tidak pernah. Kedua, aku ingin tidur
denganmu. Aku telah membayangkan menidurimu di sofaku dengan
lima puluh cara yang berbeda, tapi aku tidak melakukannya karena aku
tidak melihatmu seperti itu lagi sekarang. Bukan karena aku tidak
tertarik padamu, aku hanya berpikir bahwa kau lebih baik dari itu.‖
Aku tak dapat menahan senyuman puas yang merayap di wajahku. ―kau
berpikir bahwa aku terlalu baik untukmu?‖
Dia menyeringai pada penghinaan keduaku. ―Aku tak dapat
menyebutkan satu priapun yang cukup baik untukmu.‖
Kesombonganku mencair hilang dan digantikan oleh perasaan tersentuh
dan senyum menghargai.
―Terimakasih, Trav,‖ kataku sambil meletakan botol kosongku di atas
meja bar.
Travis menarik tanganku. ―Ayo,‖ dia berkata sambil menarikku ke
tengah kerumunan di lantai dansa.
―Aku terlalu banyak minum! Aku akan terjatuh!‖
Travis tersenyum dan menarikku ke arahnya, memegang pinggulku.
―Diam dan berdansalah.‖
America dan Shepley muncul di samping kami. Gerakan Shepley seperti
dia terlalu banyak nonton video klipnya Usher. Travis hampir
membuatku panik dengan caranya memelukku. Jika dia menggunakan
salah satu dari gerakan ini di sofa, aku dapat mengerti mengapa banyak
wanita mau dipermalukan keesokan harinya.
Dia bergerak dengan lincah di pinggulku, dan aku menyadari kalau
ekspresinya berbeda, hampir serius. Aku menggerakan tanganku di atas
dadanya yang tanpa cacat dan six-pack yang saat itu meregang dan
menjadi keras di bawah kaos ketatnya mengikuti musik. Aku
membelakanginya dan tersenyum ketika dia memeluk pinggangku.
Ditambah alkohol dalam darahku, ketika dia menarik tubuhku ke
tubuhnya, aku berpikir itu semua lebih dari sekedar hanya teman.
Lagu berikutnya terlalu bersemangat untuk kita berdansa, dan Travis
tidak menunjukan tanda kalau dia ingin kembali ke meja bar. Butiran
keringat di belakang leherku, lampu sorot warna-warni membuatku
sedikit pusing. Aku menutup mataku dan menyandarkan kepalaku di
bahunya. Dia memegang tanganku dan menariknya ke atas lehernya.
Tangannya bergerak ke bawah dari tanganku, lalu ke tulang rusukku
akhirnya kembali ke pinggulku. Ketika aku merasakan bibirnya lalu
lidahnya di leherku, aku menjauh darinya.
Dia tertawa sedikit terkejut. ―Ada apa, Pidge?‖
Kemarahanku menyala, membuat kata-kata pedas yang ingin aku
katakan tertahan di tenggorokanku. Aku kembali menuju bar dan
memesan Corona lagi. Travis mengambil tempat duduk di sampingku,
mengangkat jarinya untuk memesan satu lagi. Tak lama setelah
bartender meletakan botol di hadapanku, aku meneguk setengah isinya
sebelum membantingnya ke atas meja bar.
―Kau pikir itu akan mengubah pikiran semua orang tentang kita?‖
tanyaku sambil menarik rambut untuk menutupi tempat yang dia cium.
Dia tertawa sekali. ―Aku tak peduli dengan apa yang mereka pikirkan
tentang kita.‖
Aku menatapnya dengan pandangan jijik lalu melangkah pergi.
―Pigeon,‖ panggilnya sambil menyentuh tanganku.
Aku menjauh darinya. ―Jangan. Aku tak akan pernah cukup mabuk
untuk membiarkanmu menidurkanku di sofa itu.‖
Wajahnya berubah menjadi marah, tapi sebelum dia mengatakan
sesuatu, seorang wanita yang sangat menarik berambut hitam dengan
bibir penuh, mata biru yang sangat besar memakai baju yang belahan
dadanya sangat rendah mendekatinya.
―Well, ternyata benar ini Travis Maddox,‖ dia berkata sambil
menggerakan dadanya naik turun di tempat yang tepat.
Travis meminum birnya sambil tetap memandang ke dalam mataku.
―Hai, Megan.‖
―Perkenalkan aku pada pacarmu,‖ dia tersenyum.
Aku memutar mataku karena betapa keterus terangannya menyedihkan.
Travis menengadahkan kepalanya untuk meminum habis birnya lalu
mendorong dan luncurkan botol kosongnya di sepanjang meja bar.
Semua orang yang sedang menunggu giliran untuk memesan
memperhatikan botol itu hingga akhirnya jatuh dan masuk ke tempat
sampah di ujung meja. ―Dia bukan pacarku.‖
Dia menarik tangan Megan yang dengan senang hati berjalan di
belakangnya menuju lantai dansa.
Travis ‗menyerangnya‘ selama lagu pertama, lagu berikutnya,
berikutnya. Mereka menarik perhatian dengan cara Megan membiarkan
Travis menggerayanginya dan ketika dia membungkukan Megan, aku
berpaling dari mereka.
―kau kelihatan kesal,‖ kata seorang pria yang duduk di sampingku. ―Apa
dia pacarmu?‖
―Bukan, dia hanya temanku,‖ aku menggerutu.
―Well, bagus kalau begitu. Karena akan jadi canggung kalau itu adalah
pacarmu,‖ dia memandang ke arah lantai dansa, menggelengkan
kepalanya ke arah tontonan itu.
―Aku tahu,‖ jawabku sambil meminum habis birku. Aku hampir
merasakan efek dari dua minumanku sebelumnya, dan gigiku mati rasa.
―Apakah kau mau minum lagi?‖ dia bertanya. Aku menatapnya dan dia
tersenyum. ―Namaku Ethan.‖
―Aku Abby,‖ jawabku sambil meraih uluran tangannya.
Dia mengangkat dua jarinya untuk memesan dua lagi pada bartender lalu
aku tersenyum. ―Terimakasih.‖
―Apakah kau tinggal di sekitar sini?‖ dia bertanya.
―Aku tinggal di asrama Morgan di Eastern.‖
―Aku tinggal di apartemen di Hinley.‖
―kau tinggal di negara bagian lain?‖ aku bertanya. ―Itu kan...satu jam
perjalanan? Apa yang kau lakukan di sini?‖
―Aku lulus Mei kemarin. Adikku kuliah di Eastern. Aku tinggal
dengannya sepanjang minggu ini sambil mencari pekerjaan.‖
―Oh...menjalani kehidupan nyata ya?‖
Ethan tertawa. ―Dan itu sama seperti yang mereka katakan.‖
Aku mengeluarkan lipgloss-ku dari dalam tas dan memoleskannya di
bibirku, menggunakan cermin yang menempel sepanjang dinding di
belakang bar.
―Warnanya bagus,‖ dia berkata sambil memperhatikanku menekan
bibirku.
Aku tersenyum, merasa marah pada Travis dan karena banyaknya
alkohol. ―Mungkin kau akan mencobanya nanti.‖
Mata Ethan berbinar ketika aku mendekat, lalu aku tersenyum ketika dia
menyentuh lututku. Dia menarik tangannya kembali ketika Travis berdiri
diantara kami.
―kau siap, Pidge?‖
―Aku sedang mengobrol, Travis,‖ kataku sambil mendorongnya.
Bajunya basah karena bersirkus di lantai dansa, lalu aku sengaja
mengelapkan tanganku pada rokku.
Travis menyeringai. ―Apakah kau benar-benar mengenal pria ini?‖
―Namanya Ethan,‖ jawabku, sambil tersenyum semenggoda mungkin ke
arah Ethan.
Dia mengedipkan satu matanya padaku, memandang Travis lalu
mengulurkan tangannya. ―Senang bertemu denganmu.‖
Travis melihat sekilas ke arahku dan aku mendengus. ―Ethan ini Travis,‖
aku bergumam pelan.
―Travis Maddox,‖ dia menambahkan, menatap tangan Ethan seperti
akan merobeknya hingga lepas.
Mata Ethan melebar dan dengan canggung menarik kembali tangannya.
―Travis Maddox? Travis Maddox dari Eastern?
Aku meletakan kepalan tanganku di pipiku, takut akan terjadi pertikaian
yang dipicu hormon testosteron yang tidak terelakkan.
Travis meregangkan tangannya di belakangku untuk berpegangan pada
meja bar. ―Ya benar, kenapa?‖
―Aku melihat pertarunganmu dengan Shawn Jenks tahun lalu. Aku pikir
aku akan menyaksikan kematian seseorang!‖
Travis menatap tajam ke arahnya ―Apakan kau ingin melihatnya lagi?‖
Ethan tertawa sekali dan menatap pada kami bergantian. Ketika dia
menyadari Travis serius, dia tersenyum padaku meminta maaf lalu pergi.
―kau siap pergi sekarang?‖ Travis membentak.
―kau benar-benar brengsek, kau tahu itu?‖
―Aku pernah di panggil lebih parah,‖ dia berkata sambil membantuku
turun dari kursi bar.
®LoveReads

Kami mengikuti America dan Shepley menuju mobil, dan ketika Travis
berusaha memegang tanganku untuk menuntun ke tempat parkir, aku
menepiskan tangannya. Dia berbalik dan aku tersentak lalu berhenti,
mundur ke belakang ketika dia hanya beberapa inchi dari wajahku.
―Aku harusnya tinggal menciummu dan mengakhiri semua ini!‖ dia
berteriak. ―kau sangat menggelikan! Aku mencium lehermu, terus
kenapa?‖
Aku dapat mencium bau bir dan rokok dari nafasnya lalu aku
mendorongnya. ―Aku bukan teman berhubungan seks, Travis.‖
Dia menggelengkan kepalanya karena tidak percaya. ―Aku tidak pernah
bilang kau begitu! kau selalu bersamaku dua puluh empat jam sehari,
kau tidur di tempat tidurku tapi sepanjang waktu kau bertingkah seperti
kau tidak ingin terlihat bersamaku!‖
―Aku datang kemari bersamamu!‖
―Aku selalu memperlakukanmu dengan hormat, Pidge.‖
Aku berdiri tegak. ―Tidak, kau memperlakukanku seperti aku adalah
barang milikmu. kau tidak berhak mengusir Ethan seperti itu!‖
―Apakah kau tahu Ethan itu siapa?‖ dia bertanya. Ketika aku
menggelengkan kepalaku, dia mendekat. ―Aku tahu dia siapa. Dia
pernah di penjara karena pelecehan seksual, tapi tuntutannya di
batalkan.‖
Aku melipat tanganku. ―Oh, jadi kalian mempunyai kesamaan?‖
Mata Travis menyipit, dan otot rahangnya berkedut di bawah kulitnya.
―Apakah kau memanggilku pemerkosa? ― dia bertanya dengan dingin
dan pelan.
Aku menekan bibirku, bahkan lebih marah karena Travis benar. Aku
sudah bertindak terlalu jauh.
―Tidak, aku hanya marah padamu!‖
―Aku habis minum-minum, kulitmu hanya beberapa inchi dari wajahku,
kau cantik dan kau sangat wangi saat berkeringat. Aku menciummu!
Maafkan aku! Lupakanlah!‖
Alasannya membuat bibirku tersenyum. ―Menurutmu aku cantik?‖
Dia mengernyit dengan muak. ―Kau sangat cantik dan kau tahu itu. Apa
yang kau tertawakan?‖
Aku berusaha menyembunyikan rasa kagumku dengan tidak
mengakuinya. ―Tidak ada apa-apa. Ayo pergi.‖
Travis tertawa satu kali dan menggelengkan kepalanya. ―Apa..? kau..?
kau adalah orang yang sangat merepotkan!‖ dia berteriak dan melotot
padaku. Aku tak bisa berhenti tersenyum, setelah beberapa lama, Travis
mulai tersenyum. Dia menggelengkan kepalanya lagi dan melingkarkan
tangannya di leherku. ―kau membuatku gila. Apa kau tahu itu?‖
®LoveReads

Tiba di apartemen, kami semua terhuyung di pintu. Aku langsung


menuju kamar mandi untuk mencuci bau asap rokok dari rambutku.
Ketika aku keluar dari pancuran, aku lihat Travis telah membawakanku
salah satu kaos dan celana boxernya untuk baju gantiku.
Kaosnya kebesaran dan boxernya menghilang di bawah kaos. Aku
berbaring di atas tempat tidur dan menghela nafas, masih tetap
tersenyum mengingat apa yang telah dia katakan di tempat parkir.
Travis menatapku sekilas, dan aku merasakan sengatan di dadaku. Aku
hampir merasakan dorongan kuat untuk menarik wajahnya dan
menciumnya, tapi aku melawan aliran alkohol dan hormon yang
mengalir di dalam darahku.
―Selamat tidur, Pidge.‖ dia berbisik kemudian membalik.
Aku bergerak dengan gelisah, belum ingin tidur. ―Trav?‖ aku
memanggilnya sambil menyandarkan pipiku di pundaknya.
―Ya?‖
―Aku tahu aku mabuk, dan kita baru saja bertengkar hebat karena
masalah ini, tapi...‖
―Aku tidak akan berhubungan seks denganmu, jadi berhentilah
bertanya,‖ dia berkata sambil tetap membelakangiku.
―Apa? Bukan itu!‖ Aku berteriak.
Travis tertawa dan berbalik menatapku dengan lembut. ―Ada apa,
Pidge?‖
Aku mendesah. ―Ini...‖ kataku sambil membaringkan kepalaku di
dadanya dan melingkarkan tanganku di pinggangnya, meringkuk sedekat
mungkin padanya.
Tubuhnya menegang dan tangannya di atas, tak tahu bagaimana harus
bereaksi. ―kau benar-benar mabuk.‖
―Aku tahu,‖ jawabku, terlalu mabuk untuk merasa malu.
Dia meletakkan satu tangannya di punggungku dan tangan satunya di
rambut basahku, lalu mencium dahiku. ―kau adalah wanita yang paling
membuatku bingung yang pernah kutemui.‖
―Setidaknya ini yang bisa kau lakukan setelah menakuti satu-satunya
pria yang mendekatiku malam ini.‖
―Maksudmu Ethan si pemerkosa? Ya, aku berhutang padamu untuk
itu.‖
―Lupakan saja,‖ kataku mulai merasakan penolakan.
Dia menarik tanganku dan menahannya di atas perutnya mencegah aku
untuk melepaskannya.
―Tidak, aku serius. kau harus lebih berhati-hati. Jika aku tidak ada di
sana...aku bahkan tidak mau memikirkannya. Dan sekarang kau
mengharapkan aku meminta maaf karena mengusirnya?‖
―Aku tak ingin kau meminta maaf. Ini bahkan bukan tentang itu.‖
―Lalu tentang apa?‖ dia bertanya, menatap mataku mencari sesuatu.
Wajahnya hanya beberapa inchi dariku dan aku bisa merasakan nafasnya
di bibirku.
Aku cemberut. ―Aku mabuk, Travis. Hanya itu alasan yang aku punya.‖
―kau hanya ingin aku memelukmu hingga kau tertidur?‖
Aku tidak menjawab.
Dia bergerak untuk menatap lurus ke mataku. ―Seharusnya aku
menolaknya untuk membuktikan maksudku,‖ dia berkata, alisnya
mengernyit. ―Tapi aku akan membenci diriku nanti jika aku menolaknya
dan kau tak pernah memintanya lagi.‖
Aku membaringkan leherku di dadanya, lalu dia mempererat
pelukannya, mendesah. ―kau tidak membutuhkan alasan, Pidge. Kau
hanya tinggal minta. ―
®LoveReads

Aku meringis karena sinar matahari menembus jendela dan alarm


berbunyi di telingaku. Travis masih tertidur, memelukku dengan kedua
tangan dan kakinya. Aku memutar tanganku untuk meraih dan menekan
tombol tunda. Mengusap wajahku, lalu memandanginya yang sedang
tertidur nyenyak di dekatku.
―Ya Tuhan,‖ aku berbisik, heran bagaimana kita bisa seperti ini. Aku
menarik nafas panjang dan menahannya saat aku berusaha melepaskan
diri dari pelukannya.
―Hentikan, Pidge. Aku sedang tidur.‖ Dia bergumam, semakin erat
memelukku.
Setelah beberapa kali berusaha, akhirnya aku lepas dari pelukannya lalu
duduk di ujung tempat tidur, menatap tubuhnya yang setengah telanjang
tertutup selimut. Aku memandangnya sebentar dan mendesah. Batasnya
jadi semakin tidak jelas dan itu kesalahanku.
Tangannya keluar dari selimut dan menyentuh jariku. ―Ada apa, Pidge?‖
dia bertanya dengan mata sedikit terbuka.
―Aku akan bawa segelas air minum, apa kau menginginkan sesuatu?‖
Travis menggelengkan kepalanya lalu memejamkan matanya lagi,
pipinya menempel di atas tempat tidur.
―Selamat pagi, Abby,‖ Shepley menyapa dari atas kursi malas ketika aku
muncul.
―Di mana Mare?‖
―Masih tidur. Apa yang kau lakukan sepagi ini?‖ dia bertanya sambil
melirik jam.
―Alarmnya mati tapi aku selalu bangun pagi setelah mabuk, itu
kutukan.‖
―Aku juga,‖ dia mengangguk.
―Sebaiknya kau membangunkan Mare. Kita ada kelas dalam satu jam.‖
Aku berkata sambil membuka kran dan membungkuk untuk minum
seteguk.
Shepley mengangguk. ―Tadinya aku akan membiarkan dia tidur.‖
Aku menggeleng. ―Jangan, dia akan marah kalau kesiangan.‖
―Oh,‖ dia berkata lalu berdiri. ―Sebaiknya membangunkan dia kalau
begitu.‖ Dia berbalik, ―Hey, Abby?‖
―Ya?‖
―Aku tak tahu apa yang terjadi antara kau dan Travis, tapi aku tahu dia
akan melakukan hal yang bodoh untuk membuatmu kesal. Dia selalu
seperti itu. Dia jarang dekat dengan seseorang dan aku tak tahu apa
alasannya, dia membiarkanmu mendekat. Tapi kau harus mengabaikan
kelakuan jeleknya. Hanya dengan itu dia akan tahu.‖
―Tahu apa?‖ aku bertanya sambil mengangkat alisku karena ucapannya
yang melodramatis.
―Kalau kau bersedia menerima Travis,‖ dia menjawab dengan sungguh-
sungguh.
Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. ―Terserah apa katamu,
Shep.‖
Shepley menghela nafas lalu menghilang masuk ke kamarnya. Aku
mendengar keluhan pelan, erangan protes lalu tawa cekikikan manis
America.
Aku mengaduk oatmeal di mangkukku dan menambahkan coklat sirup
ke dalamnya saat aku mengaduk.
―Sangat menjijikan, Pidge,‖ Travis berkata, hanya memakai celana
boxer kotak-kotak hijau. Dia menggosok matanya lalu mengeluarkan
sereal dari dalam lemari.
―Selamat pagi juga,‖ kataku sambil menutup botol sirup coklat.
―Aku dengar sebentar lagi ulang tahunmu. Kesempatan terakhir di tahun
remajamu,‖ dia menyeringai, matanya merah dan bengkak.
―Ya...aku orang yang tidak suka merayakan ulang tahunnya. Aku pikir
Mare akan mengajakku makan malam atau lainnya.‖ Aku tersenyum.
―kau boleh ikut kalau mau.‖
―Baiklah,‖ dia mengangkat bahunya. ―Itu seminggu dari hari minggu,
kan?‖
―Ya benar. Kapan ulang tahunmu?‖
Dia menuangkan susu, mencelupkan flake dengan sendoknya. ―Nanti
April, tanggal satu.‖
―Serius?‖
―Aku serius,‖ dia menjawab sambil mengunyah.
―Ulang tahunmu tepat pada saat April Fool‟s?‖ aku bertanya lagi sambil
mengangkat alisku.
Dia tertawa. ―Ya benar! kau akan terlambat nanti. Sebaiknya aku
bersiap-siap.‖
―Aku akan pergi bersama America.‖
Aku tahu dia berusaha bersikap tak acuh saat dia mengangkat bahu.
―Terserah,‖ jawabnya lalu berbalik untuk menghabiskan serealnya.
®LoveReads
Bab 4
Taruhan (The Bet)

―Dia benar-benar menatap ke arahmu,‖ America berbisik sambil


bersandar ke belakang untuk mengintip ke seberang ruangan.
―Berhenti melihat ke arahnya, bodoh, dia akan mengetahuinya nanti.‖
America tersenyum dan melambaikan tangannya. ―Dia sudah melihatku
tapi dia tetap menatap ke arahmu.‖
Aku ragu sejenak lalu mengumpulkan keberanian untuk menatap balik
ke arahnya. Parker memang sedang menatapku lalu tersenyum.
Aku membalas senyumannya, lalu pura-pura mengetik sesuatu di
laptopku.
―Apakah dia masih melihat kemari?‖ aku berbisik.
―Ya,‖ America tersenyum.
Setelah kelas selesai, Parker menghentikanku di lorong.
―Jangan lupa ada pesta akhir minggu ini.‖
―Aku tidak akan lupa,‖ jawabku sambil berusaha tidak mengedipkan
mataku atau melakukan sesuatu yang bodoh.
Aku dan America berjalan menyeberangi halaman rumput menuju
kafetaria, untuk bertemu dengan Travis dan Shepley lalu makan siang
bersama. America masih menertawakan kelakuan Parker tadi ketika
Shepley dan Travis mendekat.
―Hai, Sayang,‖ America menyapa lalu mencium tepat di bibir
kekasihnya.
―Apa yang begitu lucu?‖ Shepley bertanya.
―Oh, ada seorang cowok di kelas yang memandangi Abby sepanjang
waktu. Sangat manis.‖
―Selama dia hanya memandangi Abby,‖ Shepley mengedipkan sebelah
matanya.
―Siapa orangnya?‖ Travis mendengus.
Aku mencoba melepaskan tas ranselku, meminta Travis untuk
melepaskannya dari tanganku dan memegangnya. Aku menggelengkan
kepalaku. ―Mare membayangkan yang tidak-tidak.‖
―Abby! kau benar-benar pembohong! Orangnya Parker Hayes dan dia
sangat jelas memandanginya.
Dia hampir meneteskan air liurnya.‖
Ekspresi Travis berubah menjadi rasa jijik. ―Parker Hayes?‖
Shepley menarik tangan America. ―Kita akan makan siang. Apakah kau
ingin menikmati masakan kafetaria sore ini?‖
America menciumnya lagi sebagai jawaban, Travis dan aku mengikuti di
belakang mereka. Aku meletakan nampanku diantara America dan Finch
namun Travis tidak duduk di tempat biasa di depanku. Melainkan dia
duduk beberapa kursi dari tempat biasanya. Baru aku menyadari dia
tidak banyak bicara ketika kita berjalan menuju kafetaria tadi.
―Apa kau baik-baik saja, Trav?‖ tanyaku.
―Aku? Baik-baik saja, kenapa?‖ dia balik bertanya, melembutkan
ekspresi wajahnya.
―Kau lebih banyak diam.‖
Beberapa anggota tim football mendekati meja lalu duduk dan tertawa
keras. Travis tampak sedikit terganggu saat dia memutar-mutar makanan
di atas piringnya.
Chris Jenks melemparkan kentang goreng ke dalam piring Travis. ―Apa
kabar, Trav? Aku dengar kau meniduri Tina Martin. Dia terus-terusan
menyebutkan namamu hari ini.‖
―Diam, Jenks,‖ Travis berkata, tetap memandangi makanannya.
Aku bersandar ke depan hingga pria berotot besar di depan Travis dapat
dengan jelas melihat tatapan tajamku. ―Hentikan, Chris.‖
Travis memandangku kesal. ―Aku dapat menjaga diriku sendiri, Abby.‖
―Maafkan aku, aku...‖
―Aku tidak ingin kau minta maaf. Aku tidak ingin apapun darimu.‖ Dia
membentak dan mendorong menjauh dari meja kemudian berjalan cepat
keluar pintu.
Finch memandangku lalu mengangkat alisnya. ―Ya ampun, dia kenapa?‖
Aku menusuk anggur kecil dengan garpuku dan menghela nafas. ―Aku
tak tahu.‖
Shepley menepuk punggungku. ―Bukan karena dirimu, Abby.‖
―Dia hanya sedang punya masalah,‖ America menambahkan.
―Masalah apa?‖ tanyaku.
Shepley mengangkat bahunya dan kembali memandangi piringnya.
―Seharusnya kau sudah terbiasa sekarang untuk lebih sabar dan
memaafkan jika berteman dengan Travis. Dia mempunyai alam
semestanya sendiri.‖
Aku menggelengkan kepalaku. ―Itu Travis yang orang lain lihat...Travis
yang aku kenal tidak seperti itu.‖
Shepley bersandar ke depan. ―Tidak ada bedanya. kau harus mengikuti
arus.‖
®LoveReads
Setelah kelas selesai, aku pulang bersama America ke apartemen dan
mengetahui bahwa motor Travis sudah tidak ada. Aku masuk ke
kamarnya dan meringkuk seperti bola di atas tempat tidurnya, menahan
kepalaku di atas tanganku. Travis tampak baik-baik saja tadi pagi.
Setelah sekian lama kita bersama, aku tak bisa percaya bahwa aku tidak
melihat ada sesuatu yang mengganggunya.
Bukan hanya itu, yang lebih menggangguku saat America tahu apa yang
terjadi sedangkan aku tidak.
Nafasku semakin pelan dan mata semakin berat; tidak begitu lama aku
langsung tertidur. Ketika mataku terbuka lagi, langit malam
menggelapkan jendela. Suara bisikan terdengar dari arah lorong di ruang
tamu, termasuk suara berat Travis. Aku berjalan keluar dan membeku
saat mendengar namaku.
―Abby mengerti, Trav. Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri,‖
Shepley berkata.
―Kalian sudah akan pergi ke pesta kencan, kenapa tidak mengajaknya
kencan?‖ America bertanya.
Aku menegang menanti jawabannya. ―Aku tidak ingin berkencan
dengannya; Aku hanya ingin ada di dekatnya. Dia...berbeda.‖
―Berbeda bagaimana?‖ America bertanya terdengar sedikit tidak sabar.
―Dia tidak termakan rayuanku, itu sangat menyegarkan untukku. kau
sendiri yang bilang, Mare, aku bukan tipenya. Kita hanya...tidak seperti
itu.‖
―kau mendekati tipenya lebih dari yang kau tahu,‖ America berkata.
Aku mundur sepelan mungkin dan ketika lantai kayu berderak di bawah
kakiku, aku meraih pintu kamar Travis untuk menutupnya, lalu
melangkah menuju lorong.
―Hai, Abby,‖ America tersenyum. ―Bagaimana tidurmu?‖
―Aku tertidur selama lima jam. Itu lebih seperti koma daripada tidur.‖
Travis memandangku sejenak dan ketika aku tersenyum padanya, dia
melangkah ke arahku, memegang tanganku dan menarikku sepanjang
lorong menuju kamarnya. Dia menutup pintu dan jantungku berdegup
kencang di dadaku, menguatkan diri menunggu dia mengatakan sesuatu
untuk menghancurkan egoku.
Dia mengernyit. ―Maafkan aku, Pidge. Aku sikapku menyebalkan tadi.‖
Aku sedikit lebih tenang, melihat penyesalan di matanya. ―Aku tak tahu
kalau kau marah padaku.‖
―Aku memang tidak marah padamu. Aku hanya punya kebiasaan
melampiaskannya pada orang yang aku sayangi. Itu alasan yang buruk,
aku tahu, tapi aku sangat menyesal.‖ dia berkata sambil mendekapku.
Aku menaruh pipiku di dadanya, merasa nyaman. ―Apa yang
membuatmu marah?‖
―Itu tidak penting. Yang aku khawatirkan hanya dirimu.‖
Aku mundur untuk memandangnya. ―Aku bisa menghadapi luapan
kemarahanmu.‖
Dia mengamati wajahku beberapa saat sebelum senyuman kecil muncul
di bibirnya.
―Aku tak tahu mengapa kau tahan denganku, tak tahu apa yang akan aku
lakukan apabila kau tidak tahan.‖
Aku dapat mencium campuran antara rokok dan mint di nafasnya dan
aku menatap bibirnya, tubuhku bereaksi dengan kedekatan kami.
Ekspresi Travis berubah dan nafasnya terengah — dia menyadarinya
juga.
Dia membungguk semakin dekat padaku, lalu...kita berdua terlonjak
karena terkejut ketika handphonenya berdering. Dia mendengus lalu
mengeluarkannya dari saku celananya.
―Ya. Hoffman? Ya Tuhan...baiklah. Itu akan menjadi kemenangan yang
mudah. Jefferson?‖ Dia melihat ke arahku dan mengedipkan satu
matanya. ―Kita akan datang.‖ Dia menutup telepon dan menarik
tanganku. ―Ayo ikut denganku.‖ Dia menarikku ke ruang tamu. ―Tadi
Adam menelepon,‖ dia memberitahu Shepley. ―Brady Hoffman akan
datang ke Jefferson dalam 90 menit.‖
Shepley mengangguk dan berdiri, mengambil Handphone dari sakunya.
Setelah beberapa lama, dia mengulangi apa yang di katakan Travis
padanya saat menelepon, menutup telepon lalu memutar nomor lain dan
mengulang informasi yang sama sekali lagi. Dia memutar nomor lain
lagi saat menutup pintu kamarnya.
―Inilah saatnya,‖ America berkata sambil tersenyum. ―Sebaiknya kita
bersiap-siap!‖
Suasana di apartemen sangat tegang dan tenang pada saat yang sama.
Travis tampak tidak terpengaruh, memakai sepatu bootnya dan tank top
putih seperti akan pergi hanya untuk mengurus suatu urusan.
America menuntunku menyelusuri lorong menuju kamar Travis dan
mengerutkan dahi. ―kau harus ganti pakaianmu, Abby. kau tidak bisa
memakai itu ke pertarungan.‖
―Aku memakai cardigan saat terakhir kali ke sana tapi kau tidak bilang
apapun!‖ protesku.
―Kupikir kau tidak akan datang waktu itu. Ini,‖ dia melempar pakaian ke
arahku, ―Pakai ini.‖
―Aku tak akan memakai ini!‖
―Ayo kita pergi!‖ Shepley memanggil dari ruang tamu.
―Ayo cepat!‖ America berteriak, berlari ke kamar Shepley.
Aku mengenakan atasan ketat bertali warna kuning yang belahan di
bagian dadanya rendah dan celana low-rise jins yang tadi America
lemparkan ke arahku, memakai sepatu yang berhak agak tinggi, lalu
menyisir rambutku sambil berjalan menuju ruang tamu.
America keluar dari kamar memakai celana pendek, dress baby doll
warna hijau dan sepatu berhak dengan warna senada, dan ketika kita tiba
di ruang tamu, Travis dan Shepley sudah berdiri di dekat pintu keluar.
Mulut Travis terbuka. ―Oh tidak, jangan. Apa kau mau membuatku
terbunuh? kau harus ganti pakaianmu, Pidge.‖
―Apa?‖ Aku bertanya lalu melihat pakaian yang aku pakai.
America menutup mulut dengan tangannya. ―Dia terlihat cantik, Trav,
biarkan saja!‖
Travis menarik tanganku dan menuntunku menyelusuri lorong. ―Pakai
kaos...dan sepatu kets saja. Sesuatu yang nyaman dipakai.‖
―Apa? Kenapa?‖
―Karena aku akan lebih khawatir pada orang yang melihat payudaramu
dalam pakaian itu bukannya pada Hoffman,‖ dia berkata lalu berhenti di
depan pintu kamarnya.
―Aku pikir kau tak peduli pada apa yang orang lain pikirkan?‖
―Ini situasinya berbeda, jadi aku mohon...tolong...aku mohon ganti saja,‖
dia tergagap lalu mendorongku masuk dan mengurungku di kamar.
―Travis!‖ aku berteriak. Aku menendang lepas sepatuku dan
menggantinya dengan Converse. Lalu aku melepas atasanku dan
melemparkannya ke ujung kamar. Aku memakai kaos katun pertama
yang aku pegang lalu berlari keluar kamar, berdiri di depan pintu keluar.
―Lebih baik?‖ aku mendengus sambil mengikat rambutku.
―Ya!‖ Travis menjawab lega. ―Ayo kita pergi!‖
®LoveReads
Kita semua berlari menuju tempat parkir. Aku melompat naik ke atas
motor Travis saat dia menyalakan mesinnya lalu melesat cepat menuju
kampus. Aku memeluk erat pinggang Travis untuk antisipasi; karena
tadi terburu-buru keluar telah membuat adrenalin melonjak dalam
pembuluh darahku.
Travis memacu motornya melewati trotoar, memarkirkan motornya di
bawah bayangan belakang gedung Liberal Arts Jefferson. Dia
mendorong kacamatanya ke atas kepalanya, lalu memegang tanganku
dan tersenyum saat menyelinap ke belakang gedung. Dia berhenti di
depan jendela yang terbuka yang berada tidak jauh dari permukaan
tanah.
Ketika menyadari itu jalan untuk masuk, mataku terbelalak. ―Apa kau
bercanda?‖
Travis tersenyum. ―Ini pintu masuk VIP. kau harus lihat bagaimana cara
orang lain untuk masuk.‖
Aku menggelengkan kepala ketika dia mencoba mendorong masuk
kakinya lalu menghilang. Aku membungkuk ke bawah dan
memanggilnya, merasa ditinggalkan. ―Travis!‖
―Kau pasti sudah gila kalau kau pikir aku akan melompat ke lubang
gelap!‖
―Dibawah sini, Pidge. Masuklah dengan posisi kaki terlebih dulu, aku
akan menangkapmu.‖
Aku menarik nafas, menyentuh dahi dengan tanganku. ―Ini gila!‖
Aku duduk di lantai, lalu bergeser ke depan sehingga setengah tubuhku
menggantung dalam kegelapan. Aku berbalik telungkup, mengarahkan
tumitku untuk merasakan lantai. Aku menunggu sampai tangan Travis
menyentuh kakiku, namun aku kehilangan pegangan, menjerit ketika
jatuh kebelakang. Sepasang tangan memegangku lalu mendengar suara
Travis di dalam kegelapan.
―kau jatuh seperti cewek,‖ dia tertawa terkekeh.
Dia menurunkan kakiku ke bawah dan menarikku lebih jauh ke dalam
kegelapan. Seteleh beberapa langkah, aku dapat mendengar suara
teriakan nomor dan nama yang familiar lalu ruangan menjadi terang.
Ada sebuah lentera dipojok ruangan, cahayanya cukup terang untuk
dapat membaca wajah Travis.
―Apa yang akan kita lakukan?‖
―Menunggu. Adam harus menyelesaikan ocehannya terlebih dahulu
sebelum aku masuk.‖
Aku duduk dengan gelisah. ―Apakah aku harus menunggu di sini atau
ikut masuk ketika pertarungan di mulai? Shep dan Mare di mana?‖
―Mereka masuk lewat pintu lain. Ikuti saja aku nanti, aku tidak akan
mengirimmu ke sarang hiu tanpa aku. Berdiri dekat Adam, dia akan
membuatmu terhindar dari desakan orang-orang. Aku tidak bisa
memperhatikanmu sambil mengayunkan pukulan dalam waktu yang
sama.‖
―Desakan?‖
Akan ada banyak orang yang datang malam ini. Brady Hoffman dari
State. Mereka mengadakan acara pertarungan sendiri di sana. Maka akan
ada penonton mereka dan penonton dari kita sehingga keadaan akan
menjadi gila.‖
―Apakah kau gugup?‖ aku bertanya.
Dia tersenyum sambil menatapku. ―Tidak. Tapi kau kelihatan sedikit
gugup.‖
―Mungkin sedikit,‖ aku mengaku.
―Kalau ini membuatmu merasa lebih baik, aku tidak akan membiarkan
dia menyentuhku. Aku bahkan tidak akan membiarkannya meskipun
untuk fansnya.‖
―Bagaimana kau akan melakukannya?‖
Dia mendengus. ―Biasanya aku membiarkan mereka memukulku satu
kali, agar terlihat adil.‖
―kau? kau membiarkan orang lain memukulmu?‖
―Dimana kesenangannya kalau aku membantai orang lain tapi mereka
tak pernah bisa membalas pukulanku sama sekali? Itu tidak bagus untuk
bisnis, tidak akan ada orang yang bertaruh melawanku.‖
―Omong kosong macam apa itu,‖ kataku sambil melipat tanganku.
Travis mengangkat alisnya. ―kau pikir aku bercanda?‖
―Aku sulit untuk percaya kalau kau terkena pukulan hanya karena kau
membiarkannya.‖
―Apa kau akan bertaruh untuk itu, Abby Abernathy?‖ dia tersenyum,
matanya tampak bersemangat.
Aku tersenyum. ―Aku terima tantangan itu. Kupikir dia akan
memukulmu sekali.‖
―Dan apabila dia tidak berhasil? Apa yang akan aku menangkan?‖ dia
bertanya. Aku mengangkat bahu saat teriakan di dinding sebelah
semakin keras terdengar. Adam menyapa penonton, lalu membacakan
semua peraturannya.
Senyuman Travis semakin lebar. ―Jika kau menang, aku tidak akan
berhubungan seks selama satu bulan.‖ Aku mengangkat sebelah alisku
lalu dia tersenyum lagi. ―Tapi bila aku menang, kau harus tinggal
bersamaku selama satu bulan.‖
―Apa? Tapi aku kan memang tinggal bersamamu sekarang! Taruhan
macam apa itu?‖ aku berteriak di antara suara bising.
―Mereka telah memperbaiki pemanas air di asrama hari ini,‖ Travis
tersenyum sambil mengedipkan matanya.
Satu senyuman puas terukir di wajahku saat Adam memanggil nama
Travis. ―Apapun berharga untuk melihatmu berusaha untuk tidak
terpukul.‖
Travis mencium pipiku lalu melangkah keluar, berdiri tegak. Aku
mengikutinya di belakang, dan ketika kita berjalan memasuki ruangan
berikutnya, aku terkejut dengan jumlah penonton yang berada di
ruangan sekecil ini. Hanya tersedia sedikit ruang untuk berdiri, tapi
desakan dan teriakan semakin keras saat kita memasuki ruangan. Travis
mengangguk ke arahku lalu tangan Adam berada di atas bahuku,
menarikku ke sampingnya.
Aku mendekat ke telinga Adam. ―Aku bertaruh dua untuk Travis,‖ aku
berkata.
Alis Adam terangkat saat aku mengeluarkan dua lembar uang bergambar
Benjamin (100 dollar) dari sakuku. Dia mengulurkan telapak tangannya,
lalu aku menaruh uangku di tangannya.
―Ternyata kau tidak seoptimis yang kukira,‖ dia berkata menatapku
sekilas.
Brady setidaknya satu kepala lebih tinggi dari Travis, aku menelan ludah
ketika aku melihat mereka berdiri berhadapan. Brady sangat besar, dua
kali lipat dari Travis dengan otot yang sangat besar.
Aku tidak dapat melihat ekspresi Travis, tapi terlihat sangat jelas kalau
Brady haus darah.
Adam mendekatkan bibirnya ke telingaku. ―kau mungkin harus menutup
telingamu, nak.‖
Aku menutup telingaku dan Adam membunyikan terompetnya.
Bukannya menyerang, Travis justru mundur beberapa langkah. Brady
mengayunkan pukulannya, dan Travis menghindar ke kanan.
Brady mencoba memukul lagi dan Travis menunduk lalu bergeser ke
samping.
―Apa ini? Ini bukan pertarungan tinju, Travis!‖ Adam berteriak.
Travis mendaratkan pukulan di hidung Brady. Suara di basement sangat
memekakan telinga waktu itu. Travis kemudian memukul rahang Brady,
dan tanganku menutup mulutku saat Brady berusaha memukul lagi
beberapa kali, tidak ada yang kena. Brady terjatuh ke arah
rombongannya ketika Travis memukulkan sikunya ke wajah Brady.
Ketika kupikir semua akan berakhir, Brady berdiri dan mengayunkan
pukulannya lagi. Pukulan demi pukulan, Brady tampak tidak dapat
mengikuti.
Mereka berdua berkeringat, aku terkesiap ketika Brady meleset lagi,
memukul tiang semen. Ketika dia membungkuk memegangi tangannya
yang sakit, Travis menyerang untuk mengakhiri pertarungan.
Tanpa ampun, pertama dia menendangkan dengan lututnya ke wajah
Brady, lalu memukulinya terus menerus hingga Brady terjatuh dan
menyentuh lantai. Tingkat kebisingan semakin keras saat Adam
meninggalkanku untuk melempar kain berwarna merah ke wajah Brady
yang penuh darah.
Travis menghilang di belakang para fansnya, dan aku bersandar di
tembok, mencari jalan kembali ke pintu tempat kita datang tadi. Merasa
lega ketika dapat memegang lentera. Aku khawatir akan terjatuh lalu
terinjak.
Mataku fokus menatap pintu keluar, memperhatikan tanda akan semakin
bertambahnya orang di dalam ruangan yang kecil ini. Setelah beberapa
menit dan masih tidak ada tanda-tanda dari Travis, aku bersiap untuk
mengingat jalan ke jendela tempat kita masuk tadi. Dengan semakin
banyaknya orang yang berusaha keluar bersamaan, sangat tidak aman
untuk hanya diam berdiri.
Ketika aku akan melangkah ke kegelapan, suara langkah terdengar
berderak di semen yang lepas di lantai. Travis menatapku dengan panik.
―Pigeon!‖
―Aku di sini!‖ aku menyahut, berlari kepelukannya.
Travis melihat ke bawah dan mengerutkan dahinya. ―kau membuat aku
sangat takut! Aku hampir memulai perkelahian lagi tadi ketika
mencarimu...akhirnya aku tiba di sini tapi kau tidak ada!‖
―Aku senang kau kembali ke sini. Aku tak ingin mencari jalan keluar di
kegelapan sendirian.‖
Semua rasa khawatir di wajahnya menghilang, lalu dia tersenyum lebar.
―Aku rasa kau kalah taruhan.‖
Adam melangkah masuk, menatapku lalu menatap tajam ke arah Travis.
―Kita perlu bicara.‖
Travis mengedipkan matanya padaku. ―Diam ditempat. Aku akan segera
kembali.‖
Travis menghilang di kegelapan. Adam meninggikan suaranya beberapa
kali, tapi aku tak bisa mendengar apa yang dia katakan. Travis kembali,
memasukan setumpuk uang ke dalam sakunya, lalu dia tersenyum kecil.
―kau perlu membawa pakaian tambahan.‖
―kau serius akan membuatku tinggal bersamamu selama sebulan?‖
―Apa kau akan membuatku tidak berhubungan seks selama satu bulan?‖
Aku tertawa, mengetahui kalau aku akan melakukannya. ―Kita harus
mampir ke asrama dulu.‖
Travis berseri-seri. ―Ini akan jadi menarik.‖
Ketika Adam lewat, dia menyerahkan uang yang aku menangkan ke
tanganku, lalu menghilang di tengah orang banyak.
Travis menaikan satu alisnya. ―kau ikut bertaruh?‖
Aku tersenyum dan mengangkat bahuku. ―Kupikir aku harus
mendapatkan pengalaman sepenuhnya.‖
Dia menuntunku ke jendela lalu merangkak keluar, berbalik untuk
menolongku keluar ke udara malam yang segar. Jangkrik sedang
mengerik di kegelapan, berhenti cukup lama untuk membiarkan kami
lewat. Rumput monyet di sepanjang trotoar melambai karena angin
sepoi-sepoi, mengingatkanku akan suara laut bila aku tidak terlalu dekat
untuk mendengar suara ombak pecah.
Udara tidak terlalu panas, tidak terlalu dingin; ini adalah malam yang
sempurna.
―Jadi, kenapa kau menginginkan aku untuk tinggal bersamamu?‖ aku
bertanya.
Travis mengangkat bahunya, memasukan tangan ke dalam sakunya.
―Aku tak tahu. Semua tampak lebih baik ketika kau ada didekatku.‖
Rasa hangat yang tidak jelas yang aku rasakan karena kata-katanya
langsung berubah melihat warna merah, noda kotor di kaosnya. ―Ih, ada
darah di bajumu.‖
®LoveReads

Travis melihat kebawah dengan acuh tak acuh, lalu membuka pintu,
memberi isyarat agar aku masuk. Aku melewati Kara yang sedang
belajar di atas tempat tidurnya, disibukkan oleh buku pelajaran yang ada
di sekelilingnya.
―Pemanas airnya telah diperbaiki pagi ini,‖
―Aku tahu,‖ kataku sambil mengaduk-aduk isi lemariku.
―Hai,‖ Travis menyapa Kara.
Wajah Kara berubah saat keadaan Travis yang berkeringat dan berdarah.
―Travis, ini teman sekamarku, Kara Lin. Kara, ini Travis Maddox.‖
―Senang berkenalan denganmu,‖ Kara berkata sambil meperbaiki posisi
kacamata di hidungnya.
Dia melihat sekilas pada tasku yang menggembung karena penuh
barang. ―Apa kau akan pindah?‖
―Tidak, hanya kalah taruhan.‖
Tawa Travis terbahak lalu mengambil tasku. ―Siap?‖
―Ya. Bagaimana cara kita membawa semua barang ini ke apartemen?
Kita kan naik motor.‖
Travis tersenyum lalu mengeluarkan handphonenya. Dia membawa
tasku ke luar, dan beberapa menit kemudian mobil Charger hitam klasik
Shepley berhenti.
Jendela di kursi penumpang turun dan America menjulurkan kepalanya
keluar. ―Hai, Chickie!‖
―Hai juga. Pemanas air di asrama sudah diperbaiki, apakah kau tetap
akan tinggal dengan Shepley?‖
Dia berkedip. ―Ya, kupikir aku akan menginap di sana malam ini. Aku
dengar kau kalah taruhan.‖
Sebelum aku sempat menjawabnya, Travis menutup bagasi mobil lalu
Shepley melesat pergi dan America memekik ketika dia jatuh bersandar
di kursinya.
Kami berjalan menuju motor, dan ketika aku memeluk pinggangnya, dia
memegang tanganku.
―Aku senang kau menginap malam ini, Pidge. Aku tidak pernah merasa
begitu senang saat bertarung.‖
Aku mengangkat kepalaku di bahunya lalu tersenyum. ―Itu karena kau
sedang berusaha memenangkan taruhan ini.‖
Dia melirik ke belakang menatapku. ―Benar, aku benar-benar berusaha
untuk menang.‖ Tidak ada kegirangan di matanya, dia sangat serius dan
dia ingin aku melihatnya.
Alisku terangkat. ―Itu kah sebabnya kau bad mood hari ini? Karena tahu
pemanas air di asrama telah di perbaiki dan aku akan pulang malam
ini?‖
Travis tidak menjawab; dia hanya tersenyum lalu menyalakan motornya.
Perjalanan menuju apartemen sangat lambat. Di setiap stopan, Travis
akan memegang tanganku atau lututku. Batasnya tidak jelas lagi, dan
aku khawatir bagaimana kami akan menjalani satu bulan bersama tanpa
merusak semuanya. Ujung tali persahabatan kita bergantung dengan cara
yang tidak pernah aku bayangkan.
Ketika kita tiba di tempat parkir apartemen, mobil Shepley terparkir di
tempat biasa.
Aku berdiri di depan tangga. ―Aku tidak suka kalau mereka tiba lebih
dulu di rumah. Aku merasa seperti kita akan mengganggu mereka.‖
―Biasakan. Ini rumahmu untuk empat minggu ke depan,‖ Travis
tersenyum dan berbalik menghadapku. ―Ayo naik.‖
―Apa?‖ aku tersenyum.
―Ayo, aku akan menggedongmu ke atas.‖
Aku terkekeh dan naik ke atas punggungnya, berpegangan di atas
dadanya saat dia berlari ke atas.
America membuka pintu sebelum kami sampai di atas dan tersenyum.
―Lihat kalian berdua. Jika aku tidak tahu yang sebenarnya...‖
―Hentikan, Mare,‖ Shepley berteriak dari sofa.
America tersenyum seperti dia telah terlalu banyak bicara, dan membuka
pintu dengan lebar agar cukup untuk kami berdua bisa masuk. Travis
ambruk di kursi malas. Aku berteriak ketika dia menindihku di bawah
punggungnya.
―kau tampak sangat ceria malam ini, Trav. Ada apa?‖ America bertanya.
Aku duduk tegak untuk melihat wajah Travis. Aku tak pernah melihat
dia begitu bahagia.
―Aku baru saja memenangkan banyak uang, Mare. Dua kali lipat dari
yang aku kira akan dapatkan. Kenapa tidak bahagia?‖
―Bukan itu, sepertinya ada alasan lain,‖ America berkata lagi ketika
melihat tangan Travis membelai pahaku. Dia benar; Travis berbeda. Ada
aura kedamaian di sekitarnya, hampir seperti ada rasa kepuasan baru
yang menghuni di jiwanya.
―Mare,‖ Shepley memperingatkan.
―Baiklah, aku akan membicarakan hal lain. Bukankah Parker
mengundangmu ke pesta Sig Tau akhir minggu ini, Abby?‖
Senyum Travis menghilang dan dia melihat padaku, menunggu jawaban.
―Ehm...Ya? Bukankah kita semua akan datang?‖
―Aku akan datang,‖ Shepley menjawab, sambil melihat tv.
―Dan itu artinya aku juga datang.‖ America tersenyum, memandang
Travis penuh harap.
Travis memandangiku sejenak, lalu menyikut kakiku. ―Apa dia akan
menjemputmu?‖
―Tidak, dia hanya memberitahuku tentang pesta itu.‖
Bibir America tersenyum nakal, hampir seperti mengangguk dalam
antisipasi. ―Tapi kan dia bilang akan bertemu denganmu di sana, dia
sangat manis.‖
Travis menatap America dengan kesal lalu menatapku. ―Apa kau akan
datang?‖
―Aku bilang padanya aku akan datang,‖ aku mengangkat bahuku. ―Apa
kau akan datang?‖
―Ya, aku akan datang,‖ jawabnya tanpa ragu.
Perhatian Shepley kembali pada Travis, saat itu. ―Tapi minggu kemarin
kau bilang tidak akan datang.‖
―Aku berubah pikiran, Shep, apa masalahnya?‖
―Tidak ada.‖ Dia menggerutu lalu kembali masuk kamarnya.
America cemberut pada Travis. ―kau tahu masalahnya apa,‖ dia
menjawab. ―Kenapa kau tidak berhenti membuatnya gila dan
menyelesaikan semua.‖ Dia bergabung dengan Shepley di kamarnya,
dan suara mereka menjadi bisikan di belakang pintu yang tertutup.
―Well, aku senang semua orang tahu,‖ kataku.
Travis berdiri. ―Aku akan mandi sebentar.‖
―Apakah mereka sedang ada masalah?‖ tanyaku.
―Tidak, dia hanya paranoid.‖
―Karena kita,‖ aku menebak. Mata Travis menyala lalu dia mengangguk.
―Apa?‖ aku bertanya, menatapnya curiga.
―kau benar. Itu karena kita. Jangan tidur dulu, ya? Aku ingin
membicarakan sesuatu denganmu.‖
Dia berjalan mundur beberapa langkah, lalu menghilang di belakang
pintu kamar mandi. Aku memilin rambutku dengan jari, merenungkan
cara dia menekankan kata kita, dan ternyata hanya aku yang
menganggap bahwa Travis dan aku hanya berteman.
Shepley keluar dari kamar, dan America mengejarnya. ―Shep, jangan!‖
dia memohon.
Shepley melihat ke belakang ke arah pintu kamar mandi lalu menatapku.
Suaranya pelan tapi terdengar marah.
―kau sudah berjanji, Abby. Ketika aku bilang jangan menghakimi
Travis, bukan berarti kalian harus berhubungan! Kukira kalian hanya
berteman!‖
―Kita memang hanya berteman,‖ jawabku, terkejut dengan serangannya.
―Tidak, kalian lebih dari teman!‖ dia benar-benar marah.
America menyentuh bahunya. ―Sayang, aku sudah bilang bahwa semua
akan baik-baik saja.‖
Dia menjauh dari tangan America. ―Kenapa kau membiarkan ini, Mare?
kau tahu apa yang akan terjadi!‖
America memegang wajah Shepley dengan dua tangannya. ―Dan aku
bilang itu semua tidak akan terjadi! Tidakkah kau percaya padaku?‖
Shepley menghela nafas, memandang ke arah America, lalu padaku,
kemudian menghentak masuk ke kamarnya.
America duduk di sampingku, terengah. ―Aku tidak bisa membuatnya
mengerti bahwa meskipun hubunganmu dengan Travis berjalan lancar
atau tidak, itu tidak akan mempengaruhi hubungan aku dan dia. Itu
karena dia sudah pernah terluka beberapa kali. Dia tidak percaya
padaku.‖
―Apa yang kau bicarakan, Mare? Travis dan aku tidak pacaran. Kita
hanya teman. kau dengar yang dia katakan tadi...dia tidak tertarik
padaku seperti itu.‖
―kau mendengarnya?‖
―Well, ya.‖
―Dan kau percaya itu?‖
Aku mengangkat bahuku. ―Itu tidak penting. Itu tidak akan terjadi. Dia
bilang padaku dia tidak menginginkanku seperti itu, dia benar-benar
fobia pada komitmen. Aku akan sulit mencari teman wanita yang belum
pernah dia tiduri selain dirimu, dan aku tidak bisa mengikuti moodnya
yang selalu berubah. Aku tidak percaya Shep berpikir sebaliknya.‖
―Bukan hanya karena dia mengenal Travis...dia telah bicara dengan
Travis, Abby.‖
―Apa maksudmu?‖
―Mare?‖ Shepley memanggilnya dari kamar tidur.
America menghela nafas. ―Kau adalah sahabatku. kupikir aku lebih
mengenalmu dari pada dirimu sendiri kadang-kadang. Aku telah melihat
kalian berdua, dan satu-satunya perbedaan antara aku dan Shep dengan
kau dan Travis adalah kami berhubungan seks. Selain dari itu? Tak ada
bedanya.‖
―Ada perbedaan yang sangat, sangat besar. Apakah Shep membawa
pulang wanita yang berbeda setiap malam? Apakah kau akan datang ke
pesta besok untung hang out bersama pria yang berpotensi untuk jadi
teman kencan? kau tahu aku tidak bisa berhubungan dengan Travis,
Mare. Aku bahkan tak tahu kenapa kita membicarakan hal ini.‖
Ekspresi America berubah menjadi kekecewaan. ―Aku tidak mengada-
ada, Abby. kau telah menghabiskan banyak waktu bersamanya selama
sebulan lebih. Mengakulah, kau menyukai dia.‖
―Hentikan, Mare,‖ Travis berkata sambil mengencangkan handuk di
pinggangnya.
Aku dan America terkejut mendengar suara Travis, dan ketika mata kita
bertemu, aku dapat melihat kebahagiaan di matanya telah hilang. Dia
berjalan meninggalkan ruangan tanpa mengatakan apapun lagi, lalu
America menatapku dengan ekspresi sedih.
―Kupikir kau membuat kesalahan,‖ dia berbisik. ―kau tak perlu pergi ke
pesta itu untuk bertemu seorang pria, kau sudah memilikinya yang
tergila-gila padamu, di sini.‖ Dia berkata lalu meninggalkanku sendiri.
Aku duduk di atas kursi malas, membiarkan apa yang sudah terjadi di
minggu-minggu terakhir ini berputar kembali di pikiranku. Shepley
marah padaku, America kecewa terhadapku, dan Travis...dia berubah
dari paling bahagia yang pernah aku lihat menjadi sangat tersinggung
hingga membuat dia tidak dapat mengatakan apapun. Terlalu gugup
untuk berbaring bersamanya, aku memandangi jam dari menit ke menit.
Satu jam telah berlalu ketika Travis keluar dari kamarnya, berjalan
menelusuri lorong, dan ketika dia muncul, aku mengharapkan dia
menyuruhku tidur, tapi dia telah berpakaian rapi dengan kunci motor di
tangannya. Kacamatanya menyembunyikan matanya, lalu dia
memasukan rokok ke mulutnya sebelum memegang pegangan pintu.
―kau akan pergi?‖ aku bertanya sambil duduk tegak. ―Mau pergi
kemana?‖
―Keluar,‖ dia menjawab sambil menghentak pintu hingga terbuka lalu
membanting pintu di belakangnya.
Aku terjatuh ke kursi malas kemudian menghela nafas. Entah bagaimana
aku merasa seperti penjahat tapi tidak mengerti kenapa merasa
demikian.
Ketika jam di atas televisi menunjukan jam dua pagi, akhirnya aku
menyerah dan pergi tidur. Kasur terasa kosong tanpa dirinya, dan ide
untuk menelepon handphone-nya terus muncul di pikiranku.
Aku hampir tertidur ketika motor Travis berhenti di tempat parkir. Dua
pintu mobil tertutup tidak lama kemudian lalu beberapa pasang langkah
kaki menaiki tangga. Travis meraba-raba kunci pintu, lalu pintu terbuka.
Dia tertawa dan bergumam, lalu aku mendengar bukan satu tapi dua
suara wanita. Cekikikan mereka berganti menjadi suara ciuman dan
erangan. Hatiku hancur, dan aku langsung marah karena merasa seperti
itu. Aku menutup rapat mataku saat salah satu dari wanita itu menjerit,
dan aku yakin suara setelah itu adalah suara mereka bertiga ambruk di
atas sofa.
Aku sedang menimbang untuk meminjam mobil pada America, namun
kamar Shepley berada tepat di depan sofa, dan aku tak sanggup
menyaksikan pemandangan yang sesuai dengan suara ribut di ruang
tamu. Aku menenggelamkan kepalaku di bawah bantal dan menutup
mataku saat pintu terbuka. Travis berjalan melintasi ruangan lalu
membuka laci meja lampu tidur yang paling atas, meraih mangkuk
kondomnya kemudian menutup laci dan berlari kecil keluar. Si wanita
cekikikan selama kurang lebih setengah jam lalu hening.
Beberapa lama kemudian, erangan, dengungan dan teriakan terdengar
keseluruh ruangan. Terdengar seperti sedang membuat film porno di
ruang tamu. Aku menutup wajah dengan tanganku sambil mengelengkan
kepala. Batas apapun yang hilang atau tidak jelas selama minggu
kemarin, telah di gantikan oleh dinding batu yang tidak bisa di tembus.
Aku menepiskan emosi bodohku, memaksaku untuk tenang. Travis
adalah Travis, dan kita...tanpa tanpa diragukan lagi...hanya teman...dan
hanya teman.
Teriakan dan suara yang memuakkan berhenti setelah satu jam, diikuti
oleh suara merengek lalu menggerutu dari si wanita setelah diusir keluar.
Travis mandi lalu ambruk di sisi tempat tidurnya, membelakangiku.
Meskipun sudah mandi, dia masih tercium seperti dia telah banyak
meminum whiskey untuk membuat mabuk seekor kuda, dan aku marah
karena dia mengendarai motornya pulang dalam keadaan seperti itu.
Setelah rasa canggung hilang dan kemarahan berkurang, aku masih
belum bisa tidur. Ketika nafas Travis menjadi dalam dan tetap, aku
duduk untuk melihat jam. Matahari sudah akan muncul dalam kurang
dari satu jam. Aku membuka selimut, berjalan menelusuri lorong lalu
mengambil selimut dari lemari di lorong. Bukti dari Travis telah
melakukan threesome adalah dua bungkus kondom yang kosong di
lantai. Aku melangkah melewatinya lalu menjatuhkan diri di kursi
malas.
Aku menutup mataku. Ketika aku membukanya lagi, America dan
Shepley sedang duduk di sofa dengan diam sambil menonton tv yang
dimatikan suaranya. Matahari menerangi apartemen dan aku meringis
ketika punggungku terasa sakit saat aku berusaha bergerak.
Perhatian America tertuju padaku. ―Abby?‖ dia berkata, melangkah
cepat ke arahku. Dia melihatku dengan waspada. Dia menunggu
kemarahan, air mata, atau emosi lainnya untuk keluar.
Shepley tampak tersiksa. ―Aku menyesal tentang semalam, Abby. Ini
adalah salahku.‖
Aku tersenyum. ―Tidak apa-apa, Shep. kau tidak perlu minta maaf.‖
America dan Shepley saling berpandangan lalu America menarik
tanganku. ―Travis sedang pergi ke toko. Dia...ehm, tidak penting siapa
dia. Aku telah mengemas semua barangmu dan aku akan membawamu
ke asrama sebelum dia pulang sehingga kau tidak harus berhadapan
dengannya.
Pada saat itulah aku ingin menangis; aku diusir. Aku berusaha agar
suaraku tenang sebelum aku bicara. ―Apa aku punya waktu untuk mandi
terlebih dulu?‖
America menggelengkan kepalanya. ―Ayo langsung pergi, Abby. Aku
tak ingin kau melihatnya. Dia tidak pantas untuk—,‖
Pintu terbuka dan Travis berjalan masuk, tangannya penuh dengan tas
belanjaan. Dia berjalan langsung menuju dapur, berusaha menyimpan
kaleng dan kotak ke dalam lemari.
―Kalau Pidge sudah bangun, beritahu aku ya?‖ dia berkata dengan suara
pelan. ―Aku punya spagheti, pancake, stroberi dan oatmeal dengan
coklat, dan dia suka sereal Fruit Pebles, benar kan, Mare?‖ dia bertanya
dan berbalik.
Ketika dia melihatku, dia terdiam. Setelah jeda yang canggung,
ekspresinya mencair dan suaranya menjadi lembut dan manis. ―Hai,
Pigeon.‖
Aku tidak akan merasa lebih bingung dari ini kalau saja aku terbangun
dan ada di negara asing.
Tidak ada yang masuk akal. Awalnya kupikir aku telah diusir, lalu
Travis datang membawa tas yang penuh dengan makanan kesukaanku.
Dia melangkah ke ruang tamu, dengan gugup memasukan tangan ke
sakunya. ―kau lapar, Pidge?
Aku akan membuatkanmu beberapa pancake. Atau ada...ehm, ada
oatmeal. Dan aku membelikanmu busa pink yang biasa di pakai wanita
untuk bercukur, hairdryer dan…ehm...tunggu sebentar, itu ada disini,‖
dia berkata lalu terburu-buru menuju kamar tidur.
Pintu terbuka, tertutup dan dia muncul kembali, wajahnya pucat. Dia
mengambil nafas panjang dan alisnya ditarik ke atas. ―Semua barangmu
di kemas.‖
―Aku tahu,‖ jawabku.
―kau akan pergi,‖ dia berkata, merasa kalah.
Aku menatap America, yang menatap Travis seperti dia ingin
membunuhnya. ―Apa kau benar-benar berpikir dia akan tinggal?‖
―Sayang,‖ Shepley berbisik.
―Jangan memulai, Shep. Jangan berani-beraninya kau membela dia di
depanku,‖ America mendesis marah.
Travis tampak putus asa. ―Maafkan aku, Pidge. Aku bahkan tak tahu
harus mengatakan apa.‖
―Ayo, Abby,‖ America berkata. Dia berdiri dan menarik tanganku.
Travis menghalangi, namun America menunjuk padanya. ―Ya Tuhan,
Travis! Jika kau berusaha untuk menghentikan dia, aku akan
menyiramkan bensin padamu dan menyalakan api saat kau tidur!‖
―America,‖ Shepley berkata, terdengar sedikit putus asa. Aku dapat
melihat dia terkoyak diantara sepupu dan wanita yang dia cintai, dan aku
merasa kasihan padanya. Situasi inilah yang sejak awal ingin dia hindari.
―Aku baik-baik saja,‖ aku berkata, putus asa karena ketegangan yang
ada di ruangan ini.
―Apa maksudmu kau baik-baik saja?‖ Shepley bertanya, hampir
berharap.
Aku memutar mataku. ―Travis membawa wanita dari bar pulang tadi
malam, lalu kenapa?‖
America tampak khawatir. ―Hah, Abby. Maksudmu kau tidak keberatan
dengan apa yang terjadi?‖
Aku memandang mereka semua. ―Travis dapat membawa pulang
siapapun yang dia mau. Inikan apartemennya.‖
America menatapku seperti aku sudah kehilangan akalku, Shepley
hampir tersenyum dan Travis tampak lebih buruk dari sebelumnya.
―Bukan kau yang mengemas barangmu?‖ tanya Travis.
Aku menggelengkan kepalaku dan melirik jam; sudah jam 2 siang lewat.
―Tidak, dan sekarang aku harus membongkar semuanya lagi. Aku masih
harus makan, mandi dan berpakaian...‖ aku berkata sambil melangkah
masuk kamar mandi. Setelah pintu tertutup di belakangku, aku bersandar
di pintu dan terduduk di lantai. Aku yakin telah membuat America
sangat kesal, akan tetapi aku telah berjanji pada Shepley dan aku berniat
untuk menepatinya.
Ketukan pelan di pintu terdengar di atasku. ―Pidge?‖ Travis memanggil.
―Apa?‖ jawabku, berusaha terdengar normal.
―Apakah kau akan tetap tinggal di sini?‖
―Aku akan pergi jika kau ingin aku pergi, tapi taruhan tetap taruhan.‖
Pintu bergetar karena benturan pelan dari dahi Travis pada pintu. ―Aku
tidak ingin kau pergi, tapi aku tidak akan menyalahkanmu kalau kau
pergi.‖
―Maksudmu aku terbebas dari taruhan?‖
Ada jeda yang cukup lama. ―Kalau aku bilang ya, apa kau akan pergi?‖
―Well, ya tentu saja. Aku kan tidak tinggal di sini, bodoh,‖ aku
menjawab, memaksakan tertawa.
―Kalau begitu tidak, taruhan tetap berjalan.‖
Aku melihat ke atas dan menggelengkan kepala, merasakan air mata
mulai turun. Aku tak tahu kenapa aku menangis, aku tidak bisa
menahannya. ―Bolehkah aku mandi sekarang?‖
―Ya...,‖ dia menghela nafas.
Aku mendengar suara sepatu America memasuki lorong dan menuju ke
arah Travis. ―Dasar bajingan egois kau,‖ dia menggeram sambil
membanting pintu kamar Shepley di belakangnya.
Aku mendorong tubuhku agar berdiri, menyalakan shower, membuka
pakaianku lalu menarik tirai di belakangku.
Setelah beberapa ketukan di pintu, Travis berdehem. ―Pigeon? Aku
membawakan beberapa barangmu.‖
―Simpan saja di wastafel. Nanti aku akan mengambilnya.‖
Travis masuk lalu menutup pintu di belakangnya. ―Aku sangat marah.
Aku mendengar kau mengatakan semua hal yang buruk tentang aku
pada America dan itu membuatku sangat kesal. Aku hanya bermaksud
untuk pergi dan minum beberapa gelas dan berusaha memikirkan
semuanya, tapi sebelum aku menyadarinya, aku sudah sangat mabuk dan
cewek-cewek itu...,‖ dia terdiam. ―Aku terbangun pagi ini dan kau tidak
ada di tempat tidur, dan ketika aku menemukanmu di kursi lalu melihat
bungkus kondom di lantai, aku merasa mual.‖
―kau bisa bertanya padaku dari pada menghabiskan banyak uang di toko
hanya untuk menyuapku agar tinggal.‖
―Aku tidak peduli tentang uang, Pidge. Aku sangat takut kau akan pergi
dan tidak akan pernah bicara padaku lagi.‖
Aku merinding karena penjelasannya. Aku tidak bisa berhenti
memikirkan bagaimana perasaannya ketika mendengarku bicara tentang
betapa tidak pantasnya dia untukku, dan sekarang situasinya terlalu
kacau untuk dapat di selamatkan.
―Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu,‖ aku berkata dari bawah
pancuran air.
―Aku tahu itu. Dan aku tahu apapun yang aku katakan tidak akan
merubah apapun sekarang, karena aku mengacaukan semuanya, seperti
biasa yang aku lakukan.‖
―Trav?‖
―Ya?‖
―Jangan mengendarai motor sambil mabuk lagi, ya?‖
Aku menunggu selama satu menit hingga akhirnya dia menarik nafas
panjang dan berkata. ―Ya, baiklah,‖ dia berkata sambil menutup pintu di
belakangnya.
®LoveReads
Bab 5

Parker Hayes

―Masuklah,‖ aku menjawab ketika mendengar ketukan di pintu.


Travis masuk dan membeku di depan pintu. ―Wow.‖
Aku tersenyum dan melihat pakaianku, rok pendek. Kemben (bustier)
yang di panjangkan menjadi rok pendek, harus diakui model ini lebih
berani dari yang pernah kupakai sebelumnya. Bahannya tipis, hitam,
membuat kulit telanjangku terlihat. Parker akan ada di pesta nanti, dan
aku berniat untuk melakukan apapun untuk menarik perhatiannya.
―Kau terlihat mengagumkan,‖ dia berkata ketika aku sedang memakai
sepatu hak tinggiku.
Aku mengangguk setuju pada kemeja dan celana jins yang di pakainya.
―kau juga terlihat tampan.‖
Kemejanya di gulung sampai ke siku, memperlihatkan tato rumit di
lengan bagian atasnya. Aku melihat dia memakai ikat pinggang
favoritnya yang melingkar di pinggangnya ketika dia memasukan
tangannya kedalam saku.
America dan Shepley telah menunggu kami di ruang tamu.
―Parker akan sangat takjub melihat penampilanmu,‖ America cekikikan
saat Shepley menuntunnya ke mobil.
Travis membuka pintu mobil Shepley, lalu duduk di kursi belakang.
Meskipun sudah beberapa kali duduk di kursi ini bersamanya, namun
sekarang terasa canggung.
Mobil berjejer di pinggir jalan, bahkan ada yang parkir di halaman
rumput. The House (Rumah Perkumpulan) penuh sesak karena
banyaknya orang yang datang, dan masih banyak orang sedang berjalan
menuju The House dari asramanya, aku dan America mengikuti para
pria masuk.
Travis membawakanku gelas plastik merah berisi bir, membungkuk ke
arah telingaku. ―Jangan menerima bir pemberian orang lain selain dari
aku atau Shepley. Aku tak ingin ada yang memasukan sesuatu pada
minumanmu.‖
Aku memutar mataku. ―Tidak akan ada yang memasukan apapun pada
minumaku, Travis.‖
―Pokoknya jangan minum apapun selain pemberianku, ok? kau bukan di
Kansas sekarang, Pigeon.‖
―Aku belum pernah mendengar hal seperti itu sebelumnya,‖ aku
menjawab dengan nada sinis lalu minum.
Satu jam telah berlalu, Parker masih belum kelihatan. America dan
Shepley sedang berdansa diiringi lagu berirama lambat di ruang tamu
ketika Travis menarik tanganku. ―Mau berdansa?‖
―Tidak, terimakasih,‖ jawabku.
Wajahnya tampak kecewa.
Aku menyentuh bahunya. ―Aku hanya lelah, Trav.‖
Dia memegang tanganku dan mulai berbicara, tapi ketika aku menatap
kebelakang tubuhnya, aku melihat Parker sedang berjalan menuju ke
arah kami. Travis menyadari ekspresiku lalu melihat ke belakang.
―Hai, Abby! kau datang juga!‖ Parker tersenyum.
―Ya, kita semua disini kurang lebih dari satu jam yang lalu,‖ jawabku
sambil menarik tanganku dari tangan Travis.
―kau terlihat sangat cantik!‖ dia berteriak di antara musik.
―Terima kasih!‖ Aku tersenyum lebar, melirik ke arah Travis. Bibirnya
tegang, ada sebuah garis di antara alisnya.
Parker menunjuk ke arah ruang tamu dengan kepalanya lalu tersenyum.
―Mau berdansa?‖
Aku mengerutkan hidungku dan menggeleng. ―Ehm tidak, aku agak
lelah.‖
Lalu Parker menatap Travis. ―Kupikir kau tidak akan datang.‖
―Aku berubah pikiran,‖ Travis menjawab, merasa terganggu karena
harus menjelaskan.
―Oh,‖ Parker melihat ke arahku. ―kau ingin keluar?‖
Aku mengangguk lalu mengikuti Parker ke atas. Dia menghentikan
langkahnya lalu meraih tanganku saat kita naik ke lantai dua. Ketika kita
tiba di lantai atas, dia mendorong pintu yang bergaya Perancis menuju
balkon.
―Apakah kau kedinginan?‖ dia bertanya.
―Sedikit,‖ jawabku lalu tersenyum saat dia melepaskan jaketnya dan
mengenakannya di bahuku.
―Terimakasih.‖
―kau datang kemari bersama Travis?‖
―Ya, kami naik mobil bersama.‖
Bibir Parker tersenyum tegang lalu melihat ke arah halaman rumput di
bawah. Sekelompok wanita berkerumun sambil berpegangan tangan
untuk melawan udara dingin. Kertas dan kaleng bir berserakan di
rumput, bersama dengan botol kosong minuman keras. Diantara
kekacauan itu, anggota Sig Tau berdiri mengelilingi maha karya mereka
berupa piramid terbuat dari tong minuman yang dihiasi lampu putih.
Parker menggelengkan kepalanya. ―Tempat ini akan sangat berantakan
nanti pagi. Tim pembersih akan sangat sibuk.‖
―Kalian punya tim pembersih?‖
―Ya,‖ dia tersenyum, ―Kami menyebut mereka freshmen.‖
―Kasihan, Shep.‖
―Dia tidak termasuk. Dia bisa lolos karena sepupunya Travis, dan dia
tidak tinggal di sini.‖
―Apa kau tinggal di sini?‖
Parker mengangguk. ―Dua tahun terakhir ini. Tapi aku membutuhkan
apartemen sendiri sekarang.
Aku butuh tempat yang lebih tenang untung belajar.‖
―Biar aku tebak...jurusan Bisnis?‖
―Biologi, dengan jurusan minor anatomi. Aku punya satu tahun lagi,
mengambil tes MCAT (Medical College Admission Test/Tes Masuk
Fakultas Kedokteran) dan aku berharap diterima di Kedokteran
Harvard.‖
―kau sudah tahu bahwa kau diterima?‖
―Ayahku kuliah di Harvard. Maksudku, aku tidak tahu pasti, tapi dia
alumni yang dermawan, jika kau tahu maksudku. IPK-ku 4.0, dan
mendapat nilai 2200 dalam tes SAT (Tes Akademik), dan nilai 36 untuk
ACT-ku (Tes Penerimaan Perguruan Tinggi Amerika). Aku termasuk
dalam posisi yang patut dipertimbangkan untuk masuk.‖
―Ayahmu seorang dokter?‖
Parker mengiyakan dengan senyum bangga. ―Dokter bedah tulang.‖
―Hebat.‖
―Bagaimana denganmu?‖ dia balik bertanya.
―Belum ditentukan.‖
―Jawaban standar semua mahasiswa baru.‖
Aku menghela nafas dengan dramatis. ―Kurasa aku sudah
menghancurkan kesempatanku untuk menjadi hebat.‖
―Oh tidak, kau tak perlu khawatir tentang itu. Aku sudah
memperhatikanmu dari hari pertama kuliah mulai. Sebagai mahasiswa
baru, apa yang kau lakukan di kelas Kalkulus tiga?‖
Aku tersenyum dan memainkan rambut dengan jariku. ―Bagiku
Matematika sangat mudah. Aku mengambil semua kelas matematika
waktu SMA, dan mengikuti dua mata kuliah pada musim panas di
Wichita State.‖
―Itu baru namanya hebat,‖ dia berkata.
Kita berdiri di balkon selama hampir lebih dari satu jam, membicarakan
banyak hal, dari restoran lokal hingga bagaimana awalnya aku dan
Travis bisa berteman baik.
―Aku awalnya tidak akan mengatakannya, tapi kalian berdua tampaknya
menjadi topik pembicaraan.‖
―Baguslah.‖ Aku berbisik.
―Hanya tidak biasa saja untuk Travis. Dia tidak berteman dengan wanita.
Dia cenderung lebih sering menjadi musuh mereka daripada berteman.‖
―Oh, aku tak tahu itu. Aku telah melihat beberapa yang kehilangan
ingatan jangka pendek atau terlalu memaafkan kalau menyangkut
tentang dia.‖
Parker tertawa. Giginya yang putih berkilau di atas kulit coklat
keemasannya. ―Orang hanya tidak paham bagaimana hubungan kalian.
Kau harus mengakui bahwa itu sedikit membingungkan.‖
―kau bertanya apa aku tidur dengan Travis?‖
Dia tersenyum. ―Kau tidak akan berada di sini kalau kau pernah tidur
dengannya. Aku mengenalnya sejak berumur empat belas tahun, dan aku
sangat mengenal bagaimana dia beroperasi. Tapi aku penasaran tentang
hubungan kalian.‖
―Itu seperti hubungan biasa,‖ aku mengangkat bahu. ―Kita hangout,
makan, nonton tv, belajar bersama dan berdebat. Hanya itu.‖
Parker tertawa keras sambil menggelengkan kepalanya karena
kejujuranku. ―Aku dengar hanya kau yang bisa membuat Travis
menurut. Itu adalah gelar yang terhormat.‖
―Apapun artinya itu. Dia tidak seburuk yang orang lain kira.‖
Langit berubah ungu lalu menjadi merah muda saat matahari muncul di
batas cakrawala. Parker melihat jam tangannya, memandang ke arah
kerumunan yang mulai berkurang di halaman rumput dari atas pembatas
balkon. ―Sepertinya pesta sudah usai.‖
―Aku sebaiknya mencari Shep dan Mare.‖
―Apakah kau keberatan kalau aku yang mengantarmu pulang?‖ dia
bertanya.
Aku mencoba menyembunyikan rasa senangku. ―Tidak sama sekali.
Aku akan memberitahu America.‖ Aku berjalan melewati pintu, lalu
meringis sebelum berbalik ke belakang. ―Apa kau tahu tempat tinggal
Travis?‖
Alis Parker yang tebal mengernyit. ―Ya, kenapa?‖
―Di sana aku tinggal.‖ jawabku, menguatkan diri menunggu reaksinya.
―kau tinggal bersama Travis?‖
―Aku semacam kalah taruhan, karena dari itu aku harus tinggal disana
selama satu bulan.‖
―Satu bulan?‖
―Ceritanya panjang,‖ aku mengangkat bahu dengan malu.
―Tapi kalian berdua hanya berteman?‖
―Benar.‖
―Kalau begitu aku akan mengantarmu ke sana,‖ dia tersenyum.
®LoveReads

Aku berlari menuruni tangga untuk mencari America, melewati Travis


yang kelihatan jengkel karena merasa terganggu oleh wanita mabuk
yang mengajaknya bicara. Dia mengikutiku saat aku menarik gaun
America.
―Kalian bisa pulang duluan. Parker akan mengantarku pulang.‖
―Apa?‖ America berkata dengan kegembiraan di matanya.
―Apa?‖ Travis bertanya dengan marah.
―Apakah ada masalah dengan itu?‖ tanya America pada Travis.
Dia menatap America dengan tajam lalu menarikku ke pojok ruangan,
rahangnya tegang di bawah kulitnya.
―kau bahkan tidak mengenal pria itu.‖
Aku melepaskan tanganku dari cengkramannya. ―Ini bukan masalahmu,
Travis.‖
―Aku tidak peduli. Aku tidak akan membiarkanmu pulang dengan orang
asing. Bagaimana kalau dia mencoba melakukan sesuatu padamu?‖
―Bagus! Dia tampan!‖
Ekspresi Travis berubah dari terkejut menjadi marah, aku bersiap
dengan apa yang akan dia katakan selanjutnya. ―Parker Hayes, Pidge?
Serius? Parker Hayes,‖ dia mengulang namanya dengan kebencian.
―Nama macam apa itu?‖
Aku melipat tanganku. ―Hentikan, Trav. kau bersikap menyebalkan.‖
Dia membungkuk mendekat, tampak bingung. ―Aku akan
membunuhnya bila dia menyentuhmu.‖
―Aku menyukainya,‖ kataku dengan penekanan pada setiap kata.
Dia tercengang atas pengakuanku, dia berubah bengis. ―Baiklah. Jika
berakhir dengan dia menekan dan menindihmu di kursi belakang
mobilnya, jangan menangis padaku.‖
Mulutku ternganga, tersinggung dan sangat marah. ―Jangan khawatir,
aku tidak akan menangis padamu,‖ jawabku sambil melangkah pergi.
Travis mencengkram tanganku lalu mendesah, melihat padaku melalui
bahunya. ―Bukan itu maksudku, Pidge. Jika dia menyakitimu — atau
bahkan jika dia membuatmu merasa tidak nyaman— beritahu aku.‖
Rasa marahku mereda, dan bahuku tidak tegang lagi. ―Aku tahu bukan
itu maksudmu. Tapi kau harus mengurangi rasa over-protectif seperti
seorang kakak lelaki padaku.‖
Travis tertawa. ―Aku tidak berlagak seperti seorang kakak lelaki, tidak
sama sekali.‖
Parker datang lalu memasukan tangan ke sakunya, menawarkan sikunya
padaku. ―Sudah siap?‖
Travis mengatupkan rahangnya, dan aku melangkah ke sisi lain dari
Parker agar dia tidak melihat ekspresi Travis. ―Sudah, mari kita pergi.‖
Aku memegang lengan Parker lalu berjalan beberapa langkah
bersamanya sebelum berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal pada
Travis, tapi dia sedang menatap marah ke arah belakang kepala Parker.
Matanya menatap tajam padaku lalu wajahnya melembut.
―Hentikan itu,‖ aku berkata sambil mengatupkan gigiku. Aku mengikuti
Parker melewati beberapa kerumunan yang masih ada untuk menuju ke
mobilnya.
―Mobilku yang berwarna silver.‖ Lampu depannya berkedip dua kali
ketika dia menekan tombol remotenya.
Dia membuka pintu sisi penumpang, dan aku tertawa. ―kau mengendarai
mobil Porsche?‖
―Dia bukan hanya Porsche. Dia Porsche 911 GT 3. Ada bedanya.‖
―Biar aku tebak, ini adalah cinta sejatimu?‖ aku berkata, mengutip
pernyataan Travis terhadap motornya.
―Bukan, ini hanya mobil. Cinta sejatiku adalah seorang wanita yang
akan memakai nama belakangku.‖
Aku tersenyum kecil, berusaha untuk tidak terlalu terpengaruh oleh
pernyataannya. Dia memegang tanganku untuk membantuku masuk ke
dalam mobil, dan ketika dia meluncur ke belakang kemudi, dia
menyandarkan kepala di kursinya lalu tersenyum padaku.
―Apa rencanamu malam ini?‖
―Malam ini?‖ tanyaku.
―Sekarang sudah pagi. Aku ingin mengajakmu makan malam sebelum
seseorang mendahuluiku.‖
Senyuman lebar muncul di wajahku. ―Aku tidak punya rencana apapun.‖
―Aku akan menjemput jam enam?‖
―Baiklah,‖ kataku sambil memperhatikan jarinya yang menggenggam
jariku.
Parker langsung mengantarku ke apartemen Travis, menjalankan mobil
dengan kecepatan minimum dan tanganku memegang tangannya. Dia
berhenti di belakang Harley, dan seperti sebelumnya, dia membukakan
pintu untukku. Setelah kita berdua tiba di lantai apartemen, dia
membungkuk ke bawah dan mencium pipiku.
―Beristirahatlah. Kita bertemu nanti malam,‖ dia berbisik di telingaku.
―Bye,‖ aku tersenyum, memutar pegangan pintu.
Ketika aku mendorong, pintu terbuka lebar dan aku terdorong ke depan.
Travis menangkapku sebelum aku terjatuh. ―Hati-hati, Sayang.‖
Aku berbalik untuk melihat Parker yang menatap kami dengan ekspresi
tidak nyaman. Dia melihat ke dalam apartemen. ―Apa ada wanita yang
sedang merasa telah di permalukan dan terlantar di sini yang harus aku
antar pulang?‖
Travis melotot ke arah Parker ―Jangan macam-macam padaku.‖
Parker tersenyum dan mengedipkan matanya. ―Aku selalu memberi dia
kesulitan. Aku tidak harus sering mengantar mereka karena dia
menyadari lebih mudah jika mereka pulang menyetir mobil sendiri.‖
―Aku rasa itu mempermudah semuanya,‖ aku berkata mengolok Travis.
―Tidak lucu, Pidge.‖
―Pidge? ― Parker bertanya.
―Itu adalah ehm...kependekan dari Pigeon. Hanya nama panggilan, aku
bahkan tak tahu mengapa dia memanggilku begitu,‖ jawabku. Itu adalah
pertama kalinya aku merasa aneh dengan nama yang Travis berikan
padaku di malam pertama kita bertemu.
―kau harus menceritakannya padaku kalau sudah tahu alasannya.
Kedengarannya menarik,‖ Parker tersenyum. ―Selamat malam, Abby.‖
―Maksudmu selamat pagi?‖ kataku, memperhatikan dia yang berjalan
cepat menuruni tangga.
―Itu juga,‖ dia menjawab sambil tersenyum manis.
Travis membanting pintu, aku harus menarik kepalaku ke belakang
sebelum pintunya mengenai wajahku. ―Apa?‖ aku membentaknya.
Travis menggelengkan kepalanya dan berjalan menuju kamarnya. Aku
mengikutinya, lalu melompat dengan satu kaki untuk membuka
sepatuku. ―Dia cowok yang baik, Trav.‖
Dia menghela nafas dan berjalan ke arahku. ―kau akan menyakiti dirimu
sendiri,‖ dia berkata sambil mengaitkan satu lengannya di pinggangku
dan menarik lepas sepatuku dengan lengan satunya. Dia melemparkan
sepatu itu ke dalam lemari, lalu membuka bajunya dan berjalan menuju
tempat tidur.
Aku membuka ritsleting pakaianku dan menggoyangkannya turun dari
pinggulku, lalu menendangnya ke pojok kamar. Aku memasukan kaos
ke kepalaku, lalu melepas bra-ku, menariknya keluar melalui lengan
bajuku.
Ketika aku mengikat rambutku, aku menyadari dia menatapku.
―Aku yakin tidak ada yang aku punya yang belum pernah kau lihat
sebelumnya.‖ Aku berkata sambil memutar mataku. Aku meluncur ke
dalam selimut dan berbaring di atas bantalku, meringkuk seperti bola.
Dia membuka ikat pinggangnya dan menarik lepas celana jinsnya.
Aku menunggu sementara dia diam berdiri sesaat. Aku
membelakanginya, membuatku penasaran apa yang sedang dia lakukan,
berdiri di samping tempat tidur dengan diam. Tempat tidur menjadi
cekung saat dia merangkak naik, dan aku menegang ketika dia menaruh
tangannya di atas pinggulku.
―Aku tidak ikut bertarung malam ini,‖ dia berkata. ―Adam menelepon,
tapi aku tidak datang.‖
―Kenapa?‖ aku bertanya, berbalik menghadapnya.
―Aku ingin memastikan kau pulang ke rumah.‖
Aku mengerutkan hidungku. ―kau tidak harus menjagaku.‖
Dia membelai lenganku dengan jarinya, mengirimkan getaran ke
punggungku. ―Aku tahu. Kupikir aku hanya masih merasa tidak enak
dengan kejadian tempo hari.‖
―Aku sudah bilang aku tidak peduli.‖
Dia bersandar di atas dua sikunya, ada rasa ragu di wajahnya. ―Apakah
itu sebabnya kau tidur di kursi? Karena kau tidak peduli?‖
―Aku tidak bisa tidur setelah... temanmu pulang.‖
―kau tidur nyenyak di kursi. Kenapa kau tidak bisa tidur denganku?‖
―Maksudmu di samping pria yang baunya seperti dua lalat bar yang baru
saja kau suruh pulang?
Aku tidak tahu. Betapa egoisnya aku!‖
Travis meringis. ―Aku sudah bilang aku menyesal.‖
―Dan aku sudah bilang aku tidak peduli.‖ Aku berkata dan berbalik
membelakanginya.
Beberapa saat berlalu dalam hening. Dia menyelipkan tangannya di atas
bantalku dan menaruh tangannya di atas tanganku. Dia mengelus kulit
halus di antara jariku dan mencium rambutku. ―Aku takut kau tidak akan
pernah bicara padaku lagi...tapi kupikir ini lebih buruk karena ternyata
kau tidak peduli.‖
Aku menutup mataku. ―Apa yang kau inginkan dariku, Travis? kau tak
ingin aku marah atas perbuatanmu, tapi kau ingin aku peduli. kau
mengatakan pada America kalau kau tak ingin berkencan denganku, tapi
kau jadi sangat kesal ketika aku mengatakan hal yang sama padanya,
kau pergi dan mabuk. Alasanmu tidak masuk di akal.‖
―Itukah sebabnya kau mengatakan hal itu pada America? Karena aku
berkata tidak ingin berkencan denganmu?‖
Gigiku mengatup. Dia baru saja mengatakan padaku bahwa dia mengira
aku sedang mepermainkan dirinya. Aku memberikan jawaban yang
paling tegas yang dapat aku pikirkan. ―Tidak, aku serius dengan apa
yang aku katakan. Aku tidak bermaksud menyinggungmu.‖
Travis menghela nafas. ―Aku mengatakan itu hanya karena...‖ dia
menggaruk rambut pendeknya dengan gugup, ―Aku tak ingin
menghancurkan semua yang ada, Pigeon. Aku bahkan tak tahu
bagaimana caranya menjadi seseorang yang pantas untukmu. Aku hanya
mencoba membuat itu semua berjalan dengan baik di kepalaku.‖
―Apapun maksudnya itu. Aku harus tidur. Aku ada kencan nanti
malam.‖
―Dengan Parker?‖ dia bertanya, kemarahan menyusup di nada suaranya.
―Ya. Bisakah aku tidur sekarang?‖
―Tentu saja,‖ jawabnya sambil mendorong tubuhnya berdiri dari tempat
tidur dan membanting pintu di belakangnya. Kursi malas mendecit
karena berat badannya lalu suara samar dari tv terdengar di seluruh
ruangan. Aku memaksa mataku untuk tertutup dan berusaha tenang agar
tidur sebentar, meskipun hanya untuk beberapa jam.
Jam menunjukan jam tiga sore ketika aku membuka mataku. Aku
mengambil handuk dan jubahku lalu berjalan dengan susah payah
menuju kamar mandi. Sesaat setelah aku menutup tirai mandi, pintu
terbuka lalu menutup. Aku menunggu beberapa saat untuknya bicara,
tapi satu-satunya suara adalah suara tutup toilet membentur porselen.
―Travis?‖
―Bukan, ini aku,‖ America menjawab.
―Apa kau harus pipis di sini? kau kan punya kamar mandi sendiri.‖
―Shep berada di kamar mandi sudah hampir setengah jam karena bir
yang dia minum. Aku tidak akan masuk kesana.‖
―Bagus.‖
―Aku dengar kau ada kencan malam ini. Travis sangat marah!‖ dia
terdengar senang.
―Jam enam nanti! Dia sangat manis, America. Dia sangat...‖ aku
terdiam, menghela nafas. Aku tak bisa mengontrol diriku dan aku
biasanya tidak seperti ini. Aku terus memikirkan betapa sempurnanya
dia sejak pertama kita bertemu. Dialah pria yang aku butuhkan, sangat
bertolak belakang dengan Travis.
―Membuatmu tidak bisa berkata apa-apa?‖ dia terkekeh.
Kepalaku keluar dari balik tirai mandi. ―Aku tidak ingin pulang! Aku
bisa bicara dengannya selamanya!‖
―Kedengarannya menjanjikan. Tapi bukannya sangat aneh kau berada di
sini akhirnya?‖
Aku menunduk di bawah pancuran air, menghilangkan semua busa.
―Aku telah menjelaskan semua padanya.‖
Toilet disiram dan kran menyala, membuat air menjadi dingin sesaat.
Aku menjerit lalu pintu terbuka.
―Pidge?‖ Travis memanggil.
America tertawa. ―Aku hanya menyiram toilet, Trav, tenanglah.‖
―Oh. kau tidak apa-apa, Pigeon?‖
―Aku tidak apa-apa. Keluar.‖ Pintu tertutup lagi dan aku mengela nafas.
―Apakah terlalu berlebihan untuk meminta memasang kunci di pintu?‖
America tidak menjawab. ―Mare?‖
―Sangat disayangkan kalian berdua tidak bisa bersama. kau satu-satunya
wanita yang bisa...‖ dia mendesah. ―Lupakanlah. Itu bukan masalah,
sekarang.‖
Aku mematikan air dan membungkus tubuhku dengan handuk. ―kau
sama buruknya dengan dia. Itu membuatku muak. Tidak ada seorangpun
disini yang masuk akal. kau kesal padanya kan, ingat?‖
―Aku tahu,‖ dia mengangguk.
®LoveReads

Aku menyalakan hair dryer baruku dan mulai berdandan untuk kencanku
dengan Parker. Aku mengeriting rambutku, memoles kuku dan bibirku
dengan warna merah tua. Itu memang sedikit berlebihan untuk kencan
pertama. Aku mengerutkan dahi pada diriku sendiri. Bukan Parker yang
ingin aku buat terkesan. Bagaimanapun aku tidak dalam posisi untuk
merasa tersinggung ketika Travis menuduhku mempermainkannya.
Melihat sekali lagi pada cermin, rasa bersalah melandaku. Travis
berusaha terlalu keras dan aku seperti anak bandel keras kepala. Aku
melangkah keluar ke ruang tamu dan Travis tersenyum, bukan reaksi
yang aku harapkan sama sekali.
―kau...sangat cantik.‖
―Terima kasih,‖ jawabku, bingung karena tidak ada rasa terganggu atau
rasa cemburu dalam suaranya.
Shepley bersiul. ―Pilihan yang bagus, Abby. Cowok suka warna merah.‖
―Dan rambut kritingnya sangat indah,‖ America menambahkan.
Bel pintu berbunyi dan America tersenyum, melambai dengan rasa
senang yang berlebihan.
―Selamat bersenang-senang!‖
Aku membuka pintu. Parker memegang satu karangan kecil bunga, dia
memakai celana panjang dan dasi. Matanya melihat pada gaun dan
sepatuku lalu kembali ke wajahku.
―kau adalah makhluk paling cantik yang pernah kulihat,‖ dia berkata,
terpesona.
Aku melihat ke belakang untuk melambai pada America yang sedang
tersenyum sangat lebar sehingga aku bisa melihat semua giginya.
Ekspresi Shepley seperti seorang ayah yang bangga pada anak
perempuannya, dan Travis tidak melepaskan pandangannya dari tv.
Parker mengulurkan tangannya, menuntunku ke mobil Porsche-nya yang
mengkilap. Setelah kami di dalam mobil, dia menghembuskan nafasnya.
―Kenapa?‖ aku bertanya.
―Aku harus bilang, aku sedikit gugup menjemput wanita yang membuat
Travis Maddox jatuh cinta...dari apartemennya. kau tak tahu berapa
banyak orang yang mengira aku gila hari ini.‖
―Travis tidak jatuh cinta padaku. Dia hampir tidak pernah tahan berada
di dekatku kadang-kadang.‖
―Kalau begitu itu hubungan cinta tapi benci? Karena ketika aku
menceritakan pada teman-temanku bahwa aku mengajakmu kencan
malam ini, mereka mengatakan hal yang sama. Kelakuan Travis tidak
menentu — bahkan lebih dari biasanya — mereka semua menyimpulkan
hal yang sama.‖
―Mereka salah.‖ Aku bersikeras.
Parker menggelengkan kepalanya karena aku benar-benar tidak mengerti
maksudnya. Dia memegang tanganku.
―Sebaiknya kita pergi. Aku sudah memesan tempat.‖
―Di mana?‖
―Biasetti. Aku berinisiatif...aku harap kau suka masakan Italia.‖
Aku mengangkat satu alisku. ―Bukankah itu waktu yang singkat untuk
melakukan reservasi, tempat itu selalu penuh.‖
―Well...itu adalah restoran keluargaku. Separuhnya.‖
―Aku suka masakan Italia,‖ aku tersenyum.
®LoveReads

Parker menyetir ke restoran dengan kecepatan minimal yang sama,


memakai lampu sein ketika berbelok dan memelankan laju mobilnya di
saat lampu kuning. Ketika kita bicara, dia sama sekali tidak
memalingkan pandangannya dari jalan. Ketika kita tiba di restoran, aku
cekikikan.
―Kenapa?‖ dia bertanya.
―kau...supir yang sangat berhati-hati. Itu adalah hal yang bagus.‖
―Berbeda dengan duduk di belakang motornya Travis?‖ dia tersenyum.
Aku seharusnya tertawa, namun perbedaanya tidak terasa seperti hal
yang bagus. ―Jangan membahas tentang Travis malam ini. Ok?‖
―Baiklah,‖ dia menjawab, meninggalkan kursinya untuk membukakan
pintu untukku.
Kita langsung mendapat tempat duduk di meja yang besar dekat jendela.
Meskipun aku memakai gaun, aku merasa jauh berbeda dibandingkan
dengan para wanita yang ada di restoran. Mereka memakai berlian dan
cocktail dress. Aku belum pernah makan di tempat manapun yang
semegah ini.
Kita telah memesan makanan, Parker menutup buku menu lalu
tersenyum pada pelayannya. ―Dan tolong bawakan kami sebotol
Allergrini Amarone.‖
―Baiklah, sir,‖ kata pelayan sambil mengambil buku menu kami.
―Tempat ini sangat indah,‖ aku berbisik sambil mecondongkan tubuhku
ke arah meja.
Mata hijaunya melembut. ―Terima kasih, aku akan memberitahu ayahku
kau bilang begitu.‖
Seorang wanita mendekati meja kami. Rambutnya dsanggul kecil
dengan rapi, sanggul perancis berwarna pirang, satu garis abu-abu
mengganggu poninya yang berombak halus. Aku mencoba untuk tidak
menatap pada perhiasan yang ada di leher, atau yang berayun ke depan
dan kebelakang di telinganya, tapi semua perhiasan itu dibuat untuk di
perhatikan. Mata birunya yang sipit tertuju ke arahku.
Lalu dengan cepat dia menatap ke arah teman kencanku. ―Siapa
temanmu ini, Parker?‖
―Ibu, ini adalah Abby Abernathy. Abby ini adalah ibuku, Vivienne
Hayes.‖
Aku mengulurkan tangan dan dia menggenggamnya sekali. Dengan
gerakan yang sudah terlatih, rasa tertarik palsu menyala di wajahnya
yang berfitur tajam, lalu melihat ke arah Parker.
―Abernathy?‖
Aku menelan ludah, khawatir dia mengenal nama itu.
Ekspresi Parker menjadi tidak sabar. ―Dia berasal dari Wichita, bu. Ibu
tidak mengenal keluarganya. Dia kuliah di Eastern.‖
―Oh?‖ Vivienne menatap ke arahku lagi. ―Parker akan kuliah di Harvard
tahun depan.‖
―Itu yang dia bilang padaku. Kupikir itu hebat. Anda pasti bangga
padanya.‖
Ketegangan di sekitar matanya sedikit menghilang, dia sedikit
tersenyum. ―Kami memang bangga. Terimakasih.‖
Aku sangat terkesan dengan kata-katanya yang halus namun sedikit
menyinggung. Itu bukan keterampilan yang dapat dipelajari hanya dalam
satu malam. Mrs. Hayes pasti telah bertahun-tahun menunjukan
kehebatannya pada orang lain.
―Sangat senang bertemu denganmu, Ibu. Selamat malam.‖ Ibunya
mencium pipi Parker, lalu menghapus noda lipstick dengan ibu jarinya
kemudian kembali ke mejannya. ―Maaf, aku tak tahu dia akan berada di
sini.‖
―Tidak apa-apa. Dia kelihatannya...baik.‖
Parker tertawa. ―Ya, untuk seekor piranha.‖ Aku menahan tawaku dan
dia tersenyum minta maaf.
―Dia akan terbiasa. Hanya butuh waktu.‖
―Semoga pada saat kau pergi ke Harvard.‖
Kami berbincang tanpa henti tentang makanan, Eastern, Kalkulus, dan
bahkan tentang The Circle (ring Pertarungan). Parker sangat menawan,
lucu, dan selalu mengatakan kata yang tepat. Beberapa orang mendekat
untuk menyapa Parker, dan dia selalu memperkenalkan diriku dengan
senyuman bangga. Dia seperti selebriti di dalam restoran, dan ketika
kami pergi, aku merasakan pandangan menilai dari semua orang.
―Mau kemana lagi kita?‖ aku bertanya.
―Sayangnya aku ada ujian tengah semester mata kuliah Anatomi
Vetebrata hari senin pagi. Aku harus belajar,‖ dia berkata sambil
memegang tanganku.
―Memang sebaiknya kau belajar,‖ kataku, berusaha tidak terlihat terlalu
kecewa.
Dia mengantarku ke apartemen, dan menuntun tanganku ke tangga.
―Terimakasih, Parker,‖ aku tersenyum. ―Aku sangat senang malam ini.‖
―Apakah terlalu cepat untuk mengajakmu kencan kedua?‖
―Tidak sama sekali,‖ aku berseri-seri.
―Aku akan meneleponmu besok?‖
―Kedengarannya sempurna.‖
Lalu ada keheningan yang canggung. Elemen dari berkencan yang aku
takutkan. Harus mencium atau tidak, aku benci pertanyaan itu.
Sebelum aku sempat untuk mencari tahu apa dia akan menciumku atau
tidak, dia memegang kedua sisi wajahku dan menariknya ke arahnya,
menekan bibirnya di bibirku. Bibirnya lembut dan hangat dan indah. Dia
melepaskannya sebentar lalu menciumku lagi.
―Sampai besok, Abs.‖
Aku melambai, memperhatikannya turun tangga menuju mobilnya.
―Bye.‖
Sekali lagi, ketika aku memutar pegangan pintu, pintu terbuka lebar lalu
aku jatuh ke depan. Travis memegangiku, dan aku berdiri.
―kau harus hentikan itu.‖ Aku berkata, menutup pintu di belakangku.
―Abs? (otot Perut) Memangnya kau video fitnes?‖ dia mengejek.
―Pigeon?‖ aku berkata dengan penghinaan yang sama. ―Burung yang
sangat mengganggu yang membuang kotoran di trotoar?‖
―kau seperti merpati,‖ dia berkata membela diri. ―Burung dara, wanita
yang menarik, kartu kemenangan dalam permainan poker, pilih saja
sendiri. kau adalah merpatiku.‖
Aku berpegangan pada tangannya saat melepas sepatuku, lalu
melangkah menuju kamarnya. Ketika aku ganti baju dan memakai
piyama, aku berusaha keras untuk tetap marah padanya.
Travis duduk di tempat tidur dan melipat tangannya di dada. ―Apa kau
bersenang-senang?‖
―Ya,‖ menghela nafas, ―Sangat bersenang-senang. Dia sangat...‖ aku
tidak bisa memikirkan kata yang tepat yang mampu menggambarkan
Parker, aku hanya bisa menggelengkan kepalaku.
―Dia menciummu?‖
Aku menggigit bibirku dan mengangguk. ―Dia memiliki bibir yang
sangat lembut.‖
Travis tersentak. ―Aku tidak peduli bibir dia seperti apa.‖
―Percayalah padaku, itu sangat penting. Aku merasa gugup pada ciuman
pertama, tapi ini tidak terlalu buruk.‖
―kau merasa gugup saat ciuman pertama?‖ dia bertanya, merasa geli.
―Hanya pada ciuman pertama. Aku tidak menyukainya.‖
―Aku tidak akan menyukainya juga kalau harus mencium Parker
Hayes.‖
Aku cekikikan dan meninggalkan kamar menuju kamar mandi untuk
membersihkan make-up dari wajahku. Travis mengikuti, bersandar pada
kusen pintu. ―Jadi kalian akan berkencan lagi?‖
―Yup. Dia akan meneleponku besok.‖ Aku mengeringkan wajahku dan
berlari menelusuri lorong, melompat ke tempat tidur.
Travis mebuka celananya sehingga hanya memakai celana boxer, lalu
menelungkup membelakangiku. Sedikit terkulai, terlihat sangat lelah.
Otot punggungnya menegang seperti wajahnya, dia melirik ke arahku
sekilas. ―Jika kalian bersenang-senang, mengapa kau pulang cepat?‖
―Dia ada ujian penting hari senin nanti.‖
Travis mengerutkan hidungnya. ―Siapa yang peduli?‖
―Dia berusaha masuk Harvard. Dia harus belajar.‖
Dia mendengus, menelungkup lagi. Aku melihatnya memasukan tangan
ke bawah bantalnya, tampak sedikit kesal. ―Ya, itu yang selalu dia pada
semua orang.‖
―Jangan jadi menyebalkan. Dia mempunyai prioritas...Kupikir itu
bertanggung jawab.‖
―Bukankah harusnya pacarnya menjadi prioritas utama?‖
―Aku bukan pacarnya. Kita baru berkencan satu kali, Trav,‖ aku
menggerutu.
―Jadi apa saja yang kalian lakukan?‖ Aku menatapnya dengan marah
dan dia tertawa. ―Apa? Aku ingin tahu!‖
Melihat dia sangat tulus, aku menceritakan semua, dari restoran,
makanannya hingga semua hal manis dan lucu yang Parker ceritakan.
Aku tahu aku membeku dengan senyuman bodoh di wajahku namun aku
tak dapat berhenti tersenyum ketika menceritakan malamku yang
sempurna.
Travis memandangku dengan senyuman senang ketika aku terus
mengoceh, bahkan dia menanyakan beberapa bertanyaan. Meskipun dia
terlihat frustrasi dengan situasi mengenai Parker, aku sangat yakin dia
senang melihatku bahagia.
Travis memperbaiki posisinya di sisi tempat tidurnya, dan menguap.
Kami saling memandang beberapa saat sebelum dia menghela nafas.
―Aku senang kau bahagia, Pidge. kau berhak untuk itu.‖
―Terima kasih,‖ aku menyeringai. Handphone-ku berbunyi dari atas
meja lampu tidur, dan aku tersentak ke atas untuk melihat layarnya.
―Halo?‖
―Ini sudah besok,‖ Parker berkata.
Aku melihat jam dan tertawa. Sekarang jam dua belas malam lewat satu
menit. ―Ya, benar.‖
―Jadi bagaimana kalau hari senin malam?‖ dia bertanya.
Aku menutup mulutku sebentar, lalu menarik nafas yang dalam. ―Ehm,
Ya. Senin malam terdengar bagus.‖
―Bagus. Kita bertemu hari Senin,‖ kata Parker. Aku dapat mendengar
senyuman di suaranya. Aku menutup telepon dan menatap Travis, yang
sedang memperhatikanku dengan sedikit kesal. Aku berbalik
membelakanginya dan meringkuk seperti bola, tegang karena terlalu
bahagia.
―kau seperti anak kecil,‖ Travis berkata, membalik tubuhnya
membelakangiku.
Aku memutar mataku lalu menghela nafas.
Dia berbalik lagi, menarikku ke arahnya. ―kau benar-benar menyukai
Parker?‖
―Jangan mengacaukannya, Travis!‖
Dia menatapku sebentar lalu menggelengkan kepalanya dan berbalik
lagi. ―Parker Hayes,‖ dia mendengus.
®LoveReads
Bab 6
Titik Balik (Turning Point)

Kencan pada Senin malam melebihi semua harapanku. Kami makan


makanan Cina sambil aku
cekikikan melihat keterampilan Parker memakai sumpit. Ketika dia
mengantarku pulang, Travis membuka pintu sebelum Parker
menciumku. Ketika kami pergi berkencan lagi pada Rabu malam, Parker
memastikan untuk menciumku di dalam mobil.
Hari Kamis saat makan siang, Parker menemuiku di kafetaria dan
mengejutkan semua orang ketika dia duduk di tempat duduk Travis.
Ketika Travis selesai merokok dan kembali ke dalam, dia melewati
Parker dengan rasa tidak peduli, kemudian duduk di kursi di ujung meja.
Megan mendekatinya, namun segera kecewa ketika Travis mengusirnya.
Semua orang yang duduk satu meja dengannya menjadi diam setelah itu,
dan aku merasa sangat sulit untuk fokus pada semua yang Parker
katakan.
―Aku anggap aku tidak diundang,‖ Parker berkata, mendapat
perhatianku.
―Apa?‖
―Aku dengar hari Minggu pesta ulang tahunmu. Aku tidak diundang?‖
America melirik pada Travis yang sedang menatap tajam ke arah Parker,
dia tampak seperti ingin memotong-motongnya.
―Itu seharusnya pesta kejutan, Parker.‖ kata America pelan.
―Oh,‖ kata Parker, meringis.
―Kau mengadakan pesta kejutan untukku?‖ aku bertanya pada America.
Dia mengangkat bahu. ―Itu idenya Travis. Di rumah Brazil hari minggu.
Jam enam.‖
Pipi Parker memerah. ―Aku rasa aku sekarang benar-benar tidak akan
diundang.‖
―Tidak! Tentu saja kau diundang!‖ aku menjawab, sambil memegang
tangannya di atas meja. Dua belas pasang mata mengarah ke tangan
kami. Aku dapat melihat Parker sama sepertiku merasa tidak nyaman
dengan perhatian itu, jadi aku melepaskan peganganku lalu menarik
tangan ke pangkuanku.
Parker berdiri. ―Aku punya beberapa urusan yang harus aku kerjakan
sebelum masuk kelas. Aku akan meneleponmu nanti.‖
―Baiklah,‖ kataku, memberinya senyuman minta maaf.
Parker mencondongkan tubuhnya di atas meja dan kemudian mencium
bibirku. Seluruh kafetaria terdiam, dan America menyikutku setelah
Parker pergi.
―Tidakkah menakutkan bagaimana cara semua orang menatapmu?‖ dia
berbisik. Dia melirik sekilas ke sekeliling ruangan sambil mengerutkan
dahinya. ―Apa?‖ America berteriak. ―Urus urusan kalian sendiri, dasar
mesum!‖ Satu per satu berpaling dan mereka saling berbisik.
Aku menutup mataku dengan tangan. ―kau tahu, sebelumnya aku sangat
menyedihkan dikira sebagai kekasih Travis yang terlalu polos. Sekarang
aku dikira jahat karena semua orang berpikir aku mempermainkan
Travis dan Parker seperti bola ping pong.‖ Ketika America tidak
berkomentar, aku melihat padanya. ―Apa? Jangan bilang kau juga
percaya gosip itu!‖
―Aku tidak mengatakan apa-apa!‖ dia berkata.
Aku menatapnya tidak percaya. ―Tapi itu yang kau pikirkan kan?‖
America menggelengkan kepalanya, tapi dia tidak berbicara. Tatapan
dingin dari mahasiswa lain tiba-tiba terasa sangat jelas lalu aku berdiri,
melangkah ke ujung meja.
―Kita harus bicara,‖ kataku, menepuk bahu Travis. Aku berusaha
terdengar sopan, tapi rasa marah bergejolak di dadaku. Semua
mahasiswa, termasuk sahabatku, berpikir aku telah mempermainkan dua
pria. Hanya ada satu solusi.
―Bicaralah,‖ Travis menjawab sambil memasukan sesuatu yang
dibungkus tepung dan di goreng ke dalam mulutnya.
Aku gelisah, merasakan tatapan penasaran semua orang yang berusaha
mendengarkan. Ketika Travis tetap tidak bergerak, aku meraih
tangannya dan menariknya dengan keras. Dia berdiri dan mengikutiku
keluar dengan seringai di wajahnya.
―Ada apa, Pidge?‖ dia bertanya, melihat ke arah tanganku yang
memegang tangannya lalu menatapku.
―Kau harus membebaskanku dari taruhan ini.‖ Aku memohon.
Wajahnya tampak kecewa. ―kau ingin pergi? Kenapa? Apa yang telah
aku lakukan?‖
―Kau tidak melakukan apapun, Trav. Tidakkah kau menyadari tatapan
semua orang? Aku menjadi sampah masyarakat di Universitas Eastern.‖
Travis menggelengkan kepalanya lalu menyalakan rokok. ―Bukan
masalahku.‖
―Itu masalahmu juga, Parker bilang semua orang berpikir dia punya
keinginan untuk mati karena kau jatuh cinta padaku.‖
Alis Travis terangkat dan dia tersedak asap rokok yang baru saja dia
hembuskan. ―Semua orang mengatakan itu?‖ dia bertanya sambil batuk.
Aku mengangguk. Dia berpaling dengan mata yang terbelalak,
menghisap rokoknya lagi.
―Travis! kau harus membebaskanku dari taruhan ini! Aku tidak bisa
berkencan dengan Parker dan tetap tinggal denganmu pada saat yang
sama. Itu terlihat mengerikan!‖
―Jadi, berhentilah berkencan dengan Parker.‖
Aku menatapnya. ―Bukan itu masalahnya, dan kau tahu itu.‖
―Apa hanya itu alasan kau ingin pergi? Karena apa yang semua orang
katakan?‖
―Setidaknya dulu aku dikira polos dan kau sebagai orang jahatnya,‖ aku
menggerutu.
―Jawab pertanyaanya, Pidge.‖
―Ya, hanya itu!‖
Travis memperhatikan semua mahasiswa yang masuk dan pergi dari
kafetaria. Dia sedang mempertimbangkan, dan aku sudah tidak sabar
ketika dia berlama-lama dalam mengambil keputusan.
Akhirnya, dia berdiri tegak, memutuskan. ―Tidak.‖
Aku menggelengkan kepalaku, yakin bahwa aku salah dengar. ―Maaf,
apa?‖
―Tidak mau. kau sendiri bilang taruhan adalah taruhan. Setelah satu
bulan habis, kau akan bersama Parker, dia akan menjadi dokter, kalian
akan menikah dan memiliki anak dan aku tidak akan pernah bertemu
denganmu lagi.‖ Dia meringis pada kata-katanya sendiri. ―Aku masih
punya tiga minggu.
Aku tidak akan menyerahkannya hanya karena gosip pada waktu makan
siang.‖
Aku memandang ke arah jendela kaca dan melihat semua orang di
kafetaria memperhatikan kami.
Perhatian yang tidak diinginkan membuat mataku berkaca-kaca. Aku
menabrak bahunya Travis sambil berjalan menuju kelasku berikutnya.
―Pigeon,‖ Travis memanggilku.
Aku tidak berpaling.
®LoveReads

Malam itu, America duduk di lantai kamar mandi, mengoceh tentang


Travis dan Shepley ketika aku sedang berdiri di depan cermin sambil
mengikat rambutku. Aku tidak terlalu mendengarkan, memikirkan
betapa telah sabarnya Travis—padahal Travis—mengetahui dia tidak
menyukai Parker yang selalu menjemputku dari apartmentnya setiap
malam.
Ekspresi wajahnya Travis terlintas di pikiranku ketika aku memintanya
untuk melepaskanku dari taruhan ini, lalu ketika aku bilang semua orang
berpikiran kalau dia jatuh cinta padaku. Aku tidak bisa berhenti berpikir
mengapa dia tidak membantahnya.
―Well, Shep berpikir kau terlalu keras pada Travis. Dia sebelumnya
tidak pernah punya seseorang yang sangat dia sayangi untuk—,‖
Kepala Travis muncul di pintu lalu tersenyum ketika melihatku kesulitan
mengatur rambutku. ―Mau makan malam?‖ dia bertanya.
America berdiri dan melihat dirinya di cermin, menyisirkan tangannya
pada rambut keemasannya.
―Shep ingin makan di restoran makanan Mexico baru di kota jika kalian
ingin pergi.‖
Travis menggelengkan kepalanya. ―Aku pikir aku dan Pidge akan pergi
berdua saja malam ini.‖
―Aku ada kencan dengan Parker.‖
―Lagi?‖ dia bertanya dengan kesal.
―Lagi,‖ jawabku dengan suara seperti sedang bernyanyi.
Bel pintu berbunyi, dan aku bergegas untuk membuka pintu melewati
Travis. Parker berdiri di depanku, rambut pirang berombaknya tertata
rapi diatas wajahnya yang tercukur bersih.
―Apa kau pernah kelihatan tidak cantik?‖ Parker bertanya.
―Berdasarkan penampilan dia waktu pertama kali datang kemari, aku
akan bilang pernah,‖ Travis menjawab dari belakang.
Aku memutar mataku dan tersenyum, mengangkat jariku untuk memberi
signal pada Parker agar menunggu sebentar. Aku berbalik dan memeluk
Travis. Dia membeku karena terkejut lalu kembali tenang, menarikku ke
arahnya dan memeluku dengan erat.
Aku menatap matanya dan tersenyum. ―Terima kasih sudah
mempersiapkan pesta ulang tahun untukku. Bisakah kita atur ulang
jadwal untuk pergi makan malamnya?‖
Berbagai emosi terlihat di wajahnya, lalu dia tersenyum. ―Besok?‖
Aku memeluknya erat dan tersenyum. ―Boleh.‖ Aku melambaikan
tanganku padanya saat Parker memegang tanganku.
―Tentang apa itu?‖ Parker bertanya.
―Belakangan ini kami tidak akur. Jadi itu adalah caraku untuk
berdamai.‖
―Haruskah aku khawatir?‖ dia bertanya sambil membuka pintu mobil
untukku.
―Tidak.‖ Aku tersenyum, mencium pipinya.
®LoveReads
Saat makan malam, Parker membicarakan tentang Harvard, The House,
dan rencananya untuk mencari apartment. Alisnya di tarik. ―Apakah
Travis akan pergi bersamamu ke pesta ulang tahunmu?‖
―Aku tak tahu. Dia belum mengatakan apa-apa tentang itu.‖
―Jika dia tidak keberatan, aku ingin menjemputmu.‖ Dia mengambil
tanganku dan mencium jari-jariku.
―Aku akan bertanya padanya. Pesta itu kan idenya, jadi…‖
―Aku mengerti. Jika tidak bisa, kita akan bertemu di sana saja.‖ Dia
tersenyum.
Parker mengantarku ke apartment, memperlambat mobilnya untuk
berhenti di tempat parkir. Ketika dia memberiku ciuman perpisahan,
bibirnya berlama-lama menciumku. Dia menarik rem tangan ketika
bibirnya menelusuri rahangku menuju telingaku, dan setengah kebawah
leherku. Itu membuatku lengah dan aku membiarkan desahan lembut
keluar dari mulutku.
―kau sangat cantik,‖ dia berbisik. ―Aku sudah tidak bisa berkonsentrasi
sepanjang malam, karena rambutmu yang diikat memperlihatkan
lehermu.‖ Dia menghujani leherku dengan ciuman dan aku menarik
nafas, erangan keluar bersamaan dengan nafasku.
―Apa yang membuatmu begitu lama?‖ aku tersenyum, mengangkat
daguku untuk lebih memberinya jalan agar bisa menciumku.
Parker fokus pada bibirku. Dia memegang kedua sisi wajahku,
menciumku lebih kuat daripada biasanya. Kita tidak memiliki banyak
ruang di dalam mobil, tapi kita berhasil membuat sedikit ruang yang ada
menjadi keuntungan untuk kita. Dia bersandar padaku, aku menekuk
lututku ketika jatuh ke arah jendela. Lidahnya menyusup ke dalam
mulutku, dan tangannya memegang mata kakiku lalu menarik keatas
kaki dan pahaku. Jendela menjadi beruap dalam beberapa menit karena
nafas hangat kami yang terengah-engah, menempel di jendela yang
dingin. Bibirnya menelusuri tulang leherku, lalu tersentak ketika kaca
bergetar karena beberapa pukulan keras.
Parker kemudian duduk dan aku memperbaiki posisiku dan merapikan
bajuku. Aku terloncat ketika pintu terbuka. Travis dan America berdiri
di samping mobil. America mengernyit simpatik, dan Travis tampak
seperti terbang ke dalam kemarahan yang sangat besar.
―Apa yang kau lakukan, Travis?‖ Parker membentak.
Situasi tiba-tiba terasa sangat berbahaya. Aku belum pernah mendengar
Parker meninggikan suaranya, ibu jari Travis menjadi putih pucat karena
dia mengepalkan tinju di samping tubuhnya—dan aku menghalanginya.
Tangan America terlihat sangat kecil ketika menyentuh tangan Travis
yang besar, menggelengkan kepalanya untuk memberi signal pada
Parker agar diam.
―Ayo, Abby. Aku perlu bicara denganmu,‖ America berkata.
―Tentang apa?‖
―Ayo, ikut saja!‖ dia membentak.
Aku menatap Parker, melihat rasa kesal di matanya. ―Maafkan aku, tapi
aku harus pergi.‖
―Tidak apa-apa, silahkan pergi.‖
Travis membantuku keluar dari mobil, lalu menendang pintu hingga
tertutup. Aku berputar dan berdiri diantara mobil dan Travis, mendorong
bahunya. ―Ada apa denganmu? Hentikan!‖
America tampak gugup. Tidak butuh lama untuk mengerti mengapa dia
merasa gugup. Travis berbau whiskey; dia telah memaksa untuk
menemani Travis atau Travis yang meminta America untuk
menemaninya. Bagaimanapun itu dia menjadi pencegah terjadinya
kekerasan.
Suara ban mobil Porsche Parker yang mengkilap berdecit ketika keluar
dari tempat parkir, lalu Travis menyalakan rokok. ―kau boleh pergi
sekarang, Mare.‖
America menarik rokku. ―Ayo, Abby.‖
―kau di sini saja, Abs,‖ dia mendesis marah.
Aku mengangguk pada America agar dia masuk duluan dan dengan
enggan dia menurut. Aku melipat tanganku siap untuk pertengkaran,
siap untuk mencaci makinya setelah pelajarannya yang tak terelakkan.
Travis menghisap rokoknya beberapa kali, dan ketika terlihat jelas dia
tidak akan menjelaskan, kesabaranku habis.
―Kenapa kau melakukan itu?‖ aku bertanya.
―Kenapa? Karena dia melecehkanmu di depan apartemenku!‖ dia
berteriak. Matanya tidak fokus dan aku dapat melihat dia tidak mampu
melakukan percakapan yang rasional.
Aku menahan suaraku agar tetap tenang. ―Aku memang tinggal
denganmu, tapi apa yang aku lakukan dan dengan siapa aku
melakukannya adalah urusanku.‖
Dia membuang rokoknya ke tanah. ―kau lebih baik dari itu, Pidge.
Jangan biarkan dia menidurimu di mobil seperti kencan pesta dansa
murahan.‖
―Aku memang tidak akan berhubungan seks dengannya!‖
Dia menunjuk ke arah tempat parkir kosong tempat mobil Parker parkir
tadi. ―Kalau begitu apa yang kau lakukan tadi?‖
―Apakah kau tidak pernah bercumbu dengan seseorang, Travis? Tidak
pernahkah kau melakukannya tanpa membiarkannya terlalu jauh.‖
Dia mengererutkan dahi dan menggelengkan kepalanya seolah-olah aku
bicara dengan bahasa yang tak di mengerti. ―Apa enaknya melakukan
itu?‖
―Konsep itu ada untuk semua orang…terutama mereka yang berkencan.‖
―Jendela menjadi beruap, mobil bergerak naik turun...bagaimana
mungkin aku tahu?‖ dia berkata, melambaikan tangannya ketempat
parkir yang telah kosong.
―Mungkin seharusnya kau tidak memata-mataiku!‖
Dia mengusap wajahnya dan menggelengkan kepalanya lagi. ―Aku tidak
tahan lagi, Pigeon. Aku rasa aku akan menjadi gila.‖
Aku memukul pahaku. ―kau tidak tahan apa?‖
―Jika kau tidur dengannya, aku tidak ingin tahu tentang itu. Aku akan
masuk penjara sangat lama kalau aku tahu…pokoknya jangan beritahu
aku.‖
―Travis,‖ aku mendesis marah. ―Aku tidak percaya kau bicara seperti
itu! Itu adalah langkah yang sangat besar untukku!‖
―Itu yang semua wanita katakan!‖
―Maksudku bukan semua pelacur yang berhubungan denganmu! Tapi
aku!‖ aku berkata sambil menunjuk dadaku.
―Aku belum pernah...aahh! Lupakan.‖ Aku melangkah pergi darinya,
tapi dia menarik tanganku, memutarku sehingga berhadapan dengannya.
―Kau belum pernah apa?‖ dia bertanya. Aku tidak menjawab—aku tidak
harus menjawab. Aku dapat melihat penghargaan menyala di wajahnya
lalu dia tertawa sekali. ―kau masih perawan?‖
―Lalu kenapa kalau aku masih perawan?‖ kataku, darah terbakar di
pipiku.
Matanya terhanyut dari mataku, tidak fokus seakan berpikir melalui
whiskeynya.
―Jadi itu yang membuat America yakin tidak akan terjadi apa-apa.‖
―Aku punya satu orang pacar yang sama selama empat tahun di SMA.
Dia calon pendeta pembaptisan remaja! Itu tidak pernah terpikirkan!‖
Kemarahan Travis lenyap, digantikan oleh perasaan lega di matanya.
―Calon Pendeta? Apa yang terjadi setelah semua pantangan itu?‖
―Dia ingin menikah dan menetap di Kansas. Aku tidak mau itu.‖ Aku
sangat ingin mengganti topik pembicaraan. Rasa senang di mata Travis
sudah cukup memalukan. Aku tidak ingin dia menggali terlalu jauh masa
laluku.
Dia mengambil satu langkah ke hadapanku dan memegang kedua sisi
wajahku. ―Perawan,‖ dia berkata, menggelengkan kepalanya. ―Aku tidak
akan pernah mengira mengingat caramu berdansa di The Red.‖
―Sangat lucu,‖ aku berkata, menginjak tangga.
Travis bermaksud mengikutiku, namun dia terpeleset dan jatuh,
terguling lalu tertawa histeris.
―Apa yang kau lakukan? Berdiri!‖ kataku, membantunya berdiri.
Dia mengaitkan tangannya di leherku, dan aku membantunya naik ke
atas. Shepley dan America sudah tertidur, jadi dengan tidak adanya
bantuan lain, aku menendang sepatu hak tinggiku untuk menghindari
mematahkan pergelangan kakiku ketika menuntun Travis ke tempat
tidur. Dia jatuh telentang ke tempat tidur, menarikku jatuh bersamanya.
Ketika kita mendarat di tempat tidur, wajahku hanya berjarak beberapa
inchi dari wajahnya. Ekspresinya tiba-tiba menjadi serius. Dia mendekat,
hampir menciumku, namun aku mendorongnya. Alis Travis mengkerut.
―Hentikan, Trav,‖ kataku.
Dia memelukku dengan erat sampai aku berhenti meronta, lalu dia
melepaskan tali gaunku, sehingga menggantung lepas di bahuku. ―Sejak
kata perawan keluar dari bibir indahmu…aku tiba-tiba punya dorongan
kuat untuk menolongmu membuka gaun itu.‖
―Well, sayang sekali. kau siap membunuh Parker karena hal yang sama
dua puluh menit yang lalu, jadi jangan munafik.‖
―Persetan dengan Parker. Dia tidak mengenalmu seperti aku.‖
―Ayolah, Trav. Kita buka bajumu lalu pergi tidur.‖
―Itu yang aku pikirkan.‖ Dia tergelak.
―Berapa banyak yang kau minum?‖ aku bertanya, menempatkan kakiku
di antara kakinya.
―Cukup,‖ dia tersenyum sambil menarik-narik ujung gaunku.
―Kau mungkin telah melewati kata cukup satu gallon yang lalu,‖ kataku,
menepiskan tangannya.
Aku berlutut di tempat tidur di sampingnya, lalu menarik lepas kaosnya
dari atas kepalanya. Dia meraihku lagi dan aku memegang pergelangan
tangannnya, mencium bau tajam di udara. ―Ya Tuhan, Trav, kau bau
Jack Daniels.‖
―Jim Beam,‖ dia mengoreksi sambil mengangguk mabuk.
―Baunya seperti kayu terbakar dan bahan kimia.‖
―Rasanya juga seperti itu,‖ dia tertawa. Aku membuka dan menarik ikat
pinggangnya hingga lepas.
Dia tertawa sambil bangun lalu mengangkat kepalanya ke arahku.
―Sebaiknya jaga keperawananmu, Pidge. kau tahu aku suka yang kasar.‖
―Diamlah,‖ kataku, membuka kancing celana jinsnya, membukanya
melewati pinggangnya lalu melepaskannya dari kakinya. Aku melempar
celana jinsnya ke lantai lalu berdiri dengan tangan di pinggang,
terengah-engah. Kakinya menggantung di ujung tempat tidur, matanya
tertutup, dan dia bernafas dalam dan berat. Dia telah pingsan. Aku
menarik nafas panjang lalu melangkah menuju lemari, menggoyangkan
kepalaku saat menggeledah baju kami. Aku membuka ritsleting gaunku,
mendorongnya turun dari pinggangku, membiarkannya jatuh di kakiku.
Menendangnya ke pojok, aku menarik lepas ikat rambutku, dan
mengibaskan rambutku.
Lemarinya penuh oleh bajuku dan baju Travis, aku menghembuskan
nafas, meniup rambut dari wajahku saat mencari kaosku di antara barang
yang berantakan di dalam lemari. Saat aku menarik satu kaos lepas dari
gantungannya, Travis menabrakku dari belakang, memeluk pinggangku.
―kau membuatku sangat terkejut!‖ aku mengeluh.
Dia menulusuri kulitku dengan jarinya. Aku merasa itu sangat berbeda;
pelan dan sangat hati-hati.
Aku menutup mataku ketika dia menarikku ke arahnya dan
memendamkan wajahnya di rambutku, mengendus leherku. Merasakan
kulitnya yang telanjang di kulitku, itu membutuhkan beberapa saat untuk
protes. ―Travis...‖
Dia menarik rambutku ke satu sisi dan menyeret bibirnya di punggungku
dari satu bahuku ke bahu lainnya, melepas ikatan bra ku. Dia mencium
kulit telanjang di bawah leherku dan aku memejamkan mataku,
kehangatan lembut mulutnya terasa begitu nikmat untuk membuatnya
berhenti. Erangan lembut keluar dari tenggorokannya ketika dia
menekan tulang pinggulnya padaku, dan aku bisa merasakan betapa dia
sangat menginginkanku melalui celana boxernya. Aku menahan nafasku,
mengetahui satu-satunya yang menghalangi kita dari langkah besar yang
aku tolak beberapa waktu sebelumnya adalah dua potong kain tipis.
Travis memutarku menghadapnya, dan menekan tubuhku,
menyandarkanku di dinding. Mata kita saling memandang, dan aku bisa
melihat rasa sakit di wajahnya saat dia mengamati kulit telanjangku.
Aku telah melihat dia mendekati wanita sebelumnya, namun ini berbeda.
Dia tidak ingin menaklukkanku; dia hanya ingin aku berkata ya.
Dia mendekat untuk menciumku, berhenti ketika berjarak beberapa
inchi. Aku dapat merasakan panas kulitnya memancar di bibirku, dan
aku harus menghentikan diriku untuk tidak menariknya selama ini
berlangsung. Dia tidak tergesa-gesa saat menyentuh kulitku lebih dalam,
lalu tangannya melucur dari punggung ke lipatan celana dalamku. Jari
telunjuknya turun ke pinggangku, masuk diantara kulit dan celana
rendaku, pada saat yang sama ketika dia akan memasukan telapak
tangannya yang halus diantara kakiku, dia menjadi ragu-ragu. Ketika
aku hampir membuka mulutku untuk berkata ya, dia menutup matanya.
―Bukan seperti ini,‖ dia berbisik, mengusapkan bibirnya di bibirku.
―Aku menginginkanmu, tapi tidak seperti ini.‖ Dia mundur ke belakang,
jatuh terlentang di tempat tidur, dan aku hanya berdiri untuk beberapa
saat dengan tangan di silangkan di atas perutku. Ketika nafasnya
menjadi teratur, aku mendorong masuk lenganku ke dalam kaos yang
selama ini ada di tanganku, dan menarik masuk melewati kepalaku.
Travis tidak bergerak dan aku menghembuskan nafasku pelan-pelan ke
udara, mengetahui aku tidak akan bisa mengendalikan kita berdua
apabila aku tidur di tempat tidur dan dia akan terbangun dengan
pandangan yang kurang hormat.
Aku bergegas menuju kursi dan roboh di atasnya, menutup wajahku
dengan tangan. Aku merasakan perasaan frustrasi yang berlapis-lapis
menari dan saling menghancurkan di dalam diriku. Parker pergi merasa
di remehkan, Travis menunggu hingga aku bertemu dengan seseorang–
seseorang yang bener-benar aku sukai—untuk menunjukan rasa
ketertarikannya padaku, dan sepertinya hanya aku yang tidak dia ajak
tidur, meskipun sedang mabuk.
®LoveReads

Keesokan paginya, aku menuangkan jus jeruk kedalam gelas besar, lalu
meminumnya satu teguk sambil mengayunkan kepalaku mengikuti
alunan musik dari IPod-ku. Aku terbangun sebelum matahari terbit dan
menggeliat di kursi hingga jam menunjukan angka delapan. Setelah itu
aku memutuskan membersihkan dapur untuk menghabiskan waktu
hingga teman sekamarku yang kurang ambisius terbangun. Aku
memasukan piring kotor ke dalam dishwasher lalu mengelap dan
mengepel, lalu mengelap meja. Ketika dapur sudah bersih, aku
mengambil sekeranjang baju bersih lalu duduk di sofa, melipatnya
hingga ada beberapa lusin lebih tumpukan mengelilingiku.
Terdengar suara bisikan dari arah kamar Shepley. America cekikikan
lalu hening beberapa saat, diikuti suara yang membuatku merasa sedikit
tidak nyaman saat sedang duduk sendirian di ruang tamu.
Aku menyusun tumpukan baju yang telah dilipat ke dalam keranjang
lalu membawanya ke kamar Travis, tersenyum ketika aku melihat bahwa
dia tidak bergerak dari posisi ketika jatuh tadi malam.
Aku menurunkan keranjang ke bawah dan menarik selimut
menutupinya, menahan tawa ketika dia berbalik.
―Pemandangan, Pigeon,‖ dia berkata, menggumamkan sesuatu yang
tidak terdengar sebelum nafasnya kembali pelan dan dalam.
Aku tidak bisa menahannya untuk memperhatikan dia tidur; mengetahui
dia memimpikan diriku mengirimkan getaran ke pembuluh darahku
yang tidak dapat aku jelaskan. Travis terbaring diam, maka aku mandi,
berharap suara orang yang sudah bangun dan ada di sekitarnya dapat
menghentikan suara erangan Shepley dan America serta suara berderit
dan benturan tempat tidur pada dinding. Ketika aku mematikan pancuran
air, aku menyadari mereka tidak peduli siapa yang mendengar.
Aku menyisir rambutku, memutar mataku saat America memekik
dengan suara keras, yang lebih mirip suara anjing pudel daripada bintang
film porno. Bel pintu berbunyi lalu aku mengambil jubah handuk biruku
dan mengikatkan talinya, berlari kecil melintasi lantai ruang tamu. Suara
dari arah kamar Shepley langsung berhenti lalu aku membuka pintu dan
melihat wajah Parker yang tersenyum. ―Selamat pagi,‖ dia berkata.
Aku menyisir rambut basahku dengan jari. ―Apa yang kau lakukan
disini?‖
―Aku tidak menyukai cara kita mengucapkan selamat tinggal tadi
malam. Aku pergi keluar tadi pagi untuk membeli hadiah ulang tahun
untukmu, dan aku tidak sabar untuk memberikannya padamu. Jadi…,‖
dia berkata sambil mengeluarkan kotak mengkilap dari saku jaketnya,
―Selamat ulang tahun, Abs.‖
Dia meletakan kotak perak di tanganku dan aku mendekat untuk
mencium pipinya. ―Terimakasih.‖
―Ayo, aku ingin melihat wajahmu saat kau membukanya.‖
Aku memasukan jariku ke bawah selotip di bawah kotaknya, lalu
menarik lepas bungkus kertasnya, memberikannya pada Parker. Sebuah
untaian berlian yang berkilauan menghiasi gelang emas putih.
―Parker,‖ aku berbisik.
Dia berseri-seri. ―kau menyukainya?‖
―Ya, aku menyukainya,‖ jawabku memegangnya di depan wajahku
dengan kagum, ―Tapi ini berlebihan. Aku tidak dapat menerimanya
meskipun kita telah berkencan selama satu tahun, apalagi baru
seminggu.‖
Parker menyeringai. ―Aku tahu kau pasti berpikir begitu. Aku sudah
kemana-mana sepanjang pagi ini untuk mencari hadiah ulang tahun yang
sempurna, dan ketika aku melihat ini, aku tahu hanya ada satu tempat
yang tepat untuknya,‖ dia berkata, mengambilnya dari jariku dan
memasangkannya di pergelangan tanganku. ―Dan aku benar. Itu terlihat
sangat indah dipakai olehmu.‖
Aku mengangkat pergelangan tanganku lalu menggelengkan kepala,
terhipnotis oleh kecemerlangan warnanya yang bereaksi terhadap sinar
matahari. ―Ini adalah benda yang paling indah yang pernah aku lihat.
Tidak pernah seorangpun memberiku sesuatu yang sangat..,‖ kata mahal
terlintas di pikiranku, tapi aku tidak mengatakannya, ―rumit. Aku tidak
tahu harus berkata apa.‖
Parker tertawa lalu mencium pipiku. ―Katakan kau akan memakainya
besok.‖
Aku tersenyum lebar. ―Aku akan memakainya besok,‖ aku berkata
sambil memandangi pergelangan tanganku.
―Aku senang kau menyukainya. Ekspresi wajahmu sebanding dengan
tujuh toko yang aku datangi.‖
Aku menghela nafas. ―kau mendatangi tujuh toko?‖ Dia mengangguk,
dan aku memegang wajahnya.
―Terima kasih. Ini sempurna,‖ aku berkata sambil menciumnya.
Dia memelukku dengan erat. ―Aku harus pergi. Aku akan makan siang
dengan orangtuaku, tapi aku akan meneleponmu nanti, ok?‖
―Ok. Terimakasih!‖ aku berteriak ke arahnya, memperhatikan dia yang
berlari kecil menuruni tangga.
Aku langsung masuk ke dalam, tidak bisa berhenti memandangi
pergelangan tanganku.
―Ya ampun, Abby!‖ America berkata, memegang tanganku. ―Dari mana
kau mendapatkan ini?‖
―Parker yang membelinya. Ini adalah hadiah ulang tahunku dari Parker!‖
America ternganga, lalu melihat ke arah gelang. ―Dia membelikanmu
berlian sebesar bola tenis? Setelah seminggu? Jika aku tidak
mengenalmu lebih baik, aku akan mengira kau mempunyai
selangkangan ajaib!‖
Aku tertawa keras, memulai festival cekikikan konyol di ruang tamu.
Shepley keluar dari kamarnya, kelihatan lelah tapi puas. ―Apa yang
kalian tertawakan di sini?‖
America mengangkat pergelangan tanganku.
―Lihat! Hadiah ulang tahunnya dari Parker!‖
Shepley memicingkan matanya lalu matanya terbuka lebar. ―Wow.‖
―Hebat, kan?‖ America berkata sambil mengangguk.
Travis terhuyung keluar dari kamarnya, terlihat sedikit lelah. ―Kalian
sangat berisik,‖ dia mengeluh, mengancingkan celana jinsnya.
―Maaf,‖ kataku, menarik tanganku dari genggaman America. ‗Moment-
hampir‘ kita menyelinap di pikiranku, dan aku tidak mampu menatap
matanya.
Dia meminum habis sisa jus jerukku, lalu mengelap mulutnya. ―Siapa
yang membiarkanku minum sangat banyak tadi malam?‖
America menyeringai, ―kau. kau pergi keluar dan membeli lima botol
setelah Abby pergi dengan Parker, dan sudah menghabiskannya saat dia
pulang.‖
―Sialan,‖ dia berkata, menggelengkan kepalanya. ―Apa kau bersenang-
senang?‖ dia bertanya, melihat ke arahku.
―Apakah kau serius?‖ aku bertanya, memperlihatkan kemarahanku
sebelum berpikir.
―Kenapa?‖
America tertawa. ―kau menariknya keluar dari mobil Parker, terlihat
memerah saat kau mengetahui mereka bercumbu seperti anak sekolah
yang mabuk. Mereka membuat jendela beruap dan semuanya!‖
Mata Travis tidak fokus, memindai ingatannya tentang yang terjadi tadi
malam. Aku berusaha menahan amarahku. Jika dia tidak ingat
menarikku keluar dari mobil, dia tidak akan ingat aku hampir
menyerahkan keperawananku padanya di atas piring perak.
―Seberapa kesalnya dirimu?‖ dia bertanya sambil meringis.
―Sangat kesal.‖ Aku lebih marah karena perasaanku tidak ada
hubungannya dengan Parker. Aku mengikat tali jubahku lebih erat dan
berjalan menelusuri lorong. Langkah Travis berada di belakangku.
―Pidge,‖ dia memanggilku, menangkap pintu ketika aku menutupnya di
depan wajahnya. Dia perlahan mendorong pintu terbuka dan berdiri di
depanku, menunggu untuk menerima kemarahanku.
―Apa kau mengingat semua yang kau katakan padaku tadi malam?‖ aku
bertanya.
―Tidak, kenapa? Apakah aku kasar padamu?‖ Matanya yang merah
terlihat berat karena khawatir, yang hanya memperkuat rasa marahku.
―Tidak, kau tidak kasar padaku! kau...kita...‖ aku mentup mataku dengan
tangan, lalu membeku ketika merasakan tangan Travis di pergelangan
tanganku.
―Dari mana ini?‖ dia bertanya, memandang ke arah gelang.
―Ini punyaku,‖ aku menjawab, menarik tanganku darinya.
Dia tidak melepaskan pandangannya dari pergelangan tanganku. ―Aku
tidak pernah melihatnya sebelumnya. Itu kelihatannya baru.‖
―Benar.‖
―Dari mana kau mendapatkannya?‖
―Parker memberikannya padaku sekitar lima belas menit yang lalu,‖ aku
berkata, melihat wajahnya berubah dari kebingungan menjadi marah.
―Apa yang dilakukan orang brengsek itu di sini? Apa dia menginap di
sini?‖ dia bertanya, suaranya semakin tinggi pada setiap pertanyaan.
Aku menyilangkan tanganku. ―Dia pergi belanja untuk mencari hadiah
ulang tahun untukku lalu membeli ini.‖
―Ini kan belum hari ulang tahunmu.‖
Wajahnya berubah menjadi merah saat dia berusaha mengontrol
emosinya.
―Dia tidak tahan menunggu,‖ aku berkata, mengangkat daguku dengan
rasa bangga.
―Tidak heran aku harus menyeretmu keluar dari mobilnya,
kedengarannya kalian sedang...‖ dia terhenti, menekan bibirnya.
Aku menyipitkan mataku. ―Apa? Kedengarannya aku sedang apa?‖
Rahangnya menjadi tegang dan dia menarik nafas panjang,
menghembuskannya melalui hidung.
―Tidak sedang apa-apa. Aku hanya kesal dan tadi aku akan mengatakan
hal yang buruk yang akan aku sesali.‖
―Itu tidak pernah menghentikanmu sebelumnya.‖
―Aku tahu. Aku sedang berusaha memperbaikinya,‖ dia berkata sambil
melangkah menuju pintu.
―Aku akan membiarkanmu berpakaian.‖
Ketika dia meraih pegangan pintu, dia berhenti, menggosok tangannya.
Ketika dia menyentuh luka lebam berwarna ungu di kulitnya, dia
mengangkat sikunya dan melihat lukanya. Dia memandanginya sesaat,
lalu berbalik ke arahku.
―Aku terjatuh di tangga tadi malam. Dan kau membantuku ke tempat
tidur…‖ dia berkata, menyaring semua gambaran yang samar di
pikirannya.
Jantungku berdebar, aku sulit untuk menelan saat aku melihat kesadaran
menyerangnya. Matanya menyipit. ―Kita,‖ dia memulai, mengambil satu
langkah ke arahku, melihat ke arah lemari lalu ke tempat tidur.
―Tidak, kita tidak melakukannya. Tidak ada yang terjadi,‖ kataku sambil
menggelengkan kepala.
Dia meringis, ingatannya jelas berputar ulang di pikirannya. ―kau
membuat jendela Parker beruap, aku menarikmu keluar dari mobil, lalu
aku mencoba untuk…‖ dia berkata, menggelengkan kepalanya. Dia
berbalik menuju pintu dan menarik pegangan pintu, telapak tangannya
menjadi putih. ―kau membuatku menjadi seperti orang gila sialan,
Pigeon,‖ dia menggerutu. ―Aku tidak berpikiran lurus ketika berada di
dekatmu.‖
―Jadi ini salahku?‖
Dia berbalik. Matanya menatapku lalu jubahku, pahaku kemudian
kakiku, kembali ke mataku. ―Aku tidak tahu, ingatanku sedikit
kabur...namun aku tidak ingat kau berkata tidak.‖
Aku melangkah maju, siap untuk mendebat fakta kecil yang tidak
relevan itu, tapi aku tidak bisa. Dia benar. ―Apa yang kau ingin aku
katakan, Travis?‖
Dia melihat ke arah gelang lalu menatapku dengan pandangan menuduh.
―kau berharap aku tidak akan mengingatnya?‖
―Tidak! Aku sangat kesal bahwa kau lupa!‖
Mata coklatnya menatap mataku. ―Mengapa?‖
―Karena jika aku telah...kita telah…dan kau tidak...aku tidak tahu
mengapa! Aku pokoknya kesal!‖
Dia bergegas menyeberangi ruangan, berhenti beberapa inchi dariku.
Tangannya menyentuh kedua sisi wajahku, dia bernafas cepat saat dia
mengamati wajahku. ―Apa yang sedang kita lakukan, Pidge?‖
Mataku mulai memandang ikat pinggangnya, naik ke atas ke arah otot
dan tato di perut dan dadanya, dan berakhir di mata coklatnya yang
hangat. ―kau yang beritahu aku.‖
®LoveReads
Bab 7

Sembilan Belas

―Abby,‖ Shepley memanggilku, mengetuk pintu. ―Mare akan pergi


mengurus sesuatu, dia ingin aku memberitahumu jika kau ingin ikut
pergi.‖
Travis tidak melepaskan pandangannya dariku. ―Pidge?‖
―Ya, aku akan ikut,‖ aku berkata pada Shepley. ―Aku punya beberapa
urusan yang harus aku selesaikan.‖
―Baiklah, dia siap pergi kalau kau sudah siap,‖ Shepley berkata, suara
langkahnya menghilang di lorong.
―Pidge?‖
Aku menarik beberapa barang dari dalam lemari dan berjalan melewati
Travis. ―Bisakah kita membicarakannya nanti? Aku punya banyak
pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini.‖
―Tentu,‖ dia berkata sambil tersenyum, senyum yang dibuat-buat.
Aku merasa lega saat masuk kamar mandi, langsung menutup pintu di
belakangku. Aku masih punya dua minggu lagi untuk tinggal di
apartemen ini, dan tidak mungkin menunda membahas permasalahan ini
selama itu. Sisi logis pikiranku bersikeras bahwa Parker adalah tipeku;
menarik, pintar dan tertarik padaku. Mengapa aku merasa peduli pada
Travis adalah sesuatu yang tidak akan pernah aku mengerti.
Apapun alasannya, itu membuat kita berdua menjadi gila. Aku terbagi
menjadi dua manusia yang berbeda; penurut, wanita yang sopan saat
bersama Parker, dan menjadi pemarah, bingung dan orang yang frustrasi
saat berada di dekat Travis. Seluruh kampus telah melihat Travis yang
tidak bisa ditebak menjadi hampir mendekati periang.
Aku berdandan dengan cepat, meninggalkan Travis dan Shepley untuk
pergi ke kota dengan America. Dia tertawa cekikikan saat menceritakan
tentang seks anehnya dengan Shepley tadi pagi, dan aku mendengarkan
sambil mengangguk pada setiap saat yang tepat. Sangat sulit untuk fokus
pada topik pembicaraan saat berlian di gelang tanganku menciptakan
titik-titik kecil cahaya di atap mobil, mengingatkanku akan pilihan yang
harus aku hadapi. Travis menginginkan jawaban, dan aku tidak memiliki
jawabannya.
―Ok, Abby. Apa yang sedang kau pikirkan? kau jadi pendiam.‖
―Masalahku dengan Travis…sangat kacau.‖
―Mengapa?‖ dia bertanya, kacamatanya terdorong ke atas saat dia
mengerutkan hidungnya.
―Dia bertanya padaku apa yang terjadi diantara kita.‖
―Ada apa diantara kalian berdua? Bukannya kau dengan Parker?‖
―Aku menyukainya tapi ini baru seminggu. Kita belum terlalu serius.‖
―kau menyukai Travis, ya kan?‖
Aku menggelengkan kepalaku. ―Aku tak tahu bagaimana perasaanku
padanya. Aku hanya tahu itu tidak akan terjadi, Mare. Dia punya terlalu
banyak hal yang buruk.‖
―Salah satu dari kalian harus ada yang mengutarakannya lebih dulu, itu
masalahnya. Kalian berdua sangat takut pada apa yang akan terjadi
sehingga kalian melawan perasaan itu mati-matian. Aku yakin kalau kau
melihat kedalam mata Travis dan mengatakan padanya kalau kau
menginginkannya, dia tidak akan pernah lagi melirik wanita lain.‖
―Apakah kau yakin?‖
―Ya. Aku punya sumber orang dalam, ingat?‖
Aku terdiam sambil berpikir beberapa saat. Travis telah memberitahu
Shepley tentang aku tapi Shepley tidak mendukung hubungan ini dengan
cara tidak memberitahu America. Dia tahu America akan
memberitahuku, menuntunku pada satu kesimpulan: America tidak
sengaja telah mendengar pembicaraan mereka. Aku ingin menanyakan
apa saja yang mereka katakan, tapi lebih baik tidak.
―Aku pasti akan patah hati,‖ aku berkata, menggelengkan kepalaku.
―Kupikir dia tak akan pernah bisa setia.‖
―Dia juga dulu tidak bisa memelihara suatu hubungan dengan seorang
wanita, tapi kalian berdua telah membuat seluruh Eastern terkejut.‖
Aku menyentuh gelang dengan jariku lalu menghela nafas. ―Aku tak
yakin. Aku tidak keberatan dengan keadaan seperti sekarang. Kita hanya
bisa berteman.‖
America menggelengkan kepalanya. ―Tapi kalian bukan hanya sekedar
teman,‖ dia menghela nafas.
―kau tahu, aku sudah muak membicarakan ini. Ayo kita menata rambut
kita dan berdandan. Aku akan membelikanmu pakaian baru untuk pesta
ulang tahun nanti.‖
―Kupikir itu memang yang aku butuhkan,‖ aku tersenyum.
®LoveReads

Setelah beberapa jam manikur, pedikur, di sikat, di wax dan dibedaki,


aku memakai sepatu hak tinggi kuningku yang mengkilap, dan
mengenakan gaun abu-abuku yang baru.
―Nah itu Abby yang aku tahu dan sayangi!‖ dia tertawa, menggelengkan
kepalanya melihat penampilanku.
―kau harus memakai baju itu ke pesta besok.‖
―Bukankah dari tadi memang itu rencananya?‖ kataku, menyeringai.
Teleponku berbunyi dari dalam tasku, lalu aku mengangkatnya ke
telingaku. ―Hallo?‖
―Waktunya makan malam! Kalian berdua pergi kemana?‖ Travis
berkata.
―Kami sedikit memanjakan diri. Kau dan Shep kan tahu bagaimana
caranya untuk makan sebelum bertemu dengan kami. Aku yakin kalian
bisa melakukannya.‖
―Well, yang benar saja. Kami menghawatirkan kalian tahu?‖
Aku melihat ke arah America lalu tersenyum. ―Kami baik-baik saja.‖
―Katakan padanya aku akan mengantarmu pulang sebentar lagi. Aku
akan ke rumah Brazil dulu sebentar untuk mengambil beberapa catatan
untuk Shep, lalu kita akan pulang.‖
―kau dengar itu?‖ aku bertanya.
―Ya. Sampai bertemu nanti, Pidge.‖
Kami menuju rumah Brazil dalam keheningan. America mematikan
mesin mobil, menatap ke arah gedung apartemen di depan. Aku heran
kenapa Shepley meminta America untuk mampir ke rumah Brazil,
padahal jaraknya hanya satu blok dari apartemen Shepley dan Travis.
―Kenapa, Mare?‖
―Brazil membuatku takut. Terakhir kali aku kemari dengan Shep, dia
merayuku.‖
―Well, aku akan masuk bersamamu. Jika dia terus mengedipkan matanya
padamu, aku akan menusuk matanya memakai sepatu hak tinggi baruku,
Ok?‖
America tersenyum dan memelukku. ―Terima kasih, Abby!‖
Kami berjalan ke belakang gedung, dan America menarik nafas panjang
sebelum mengetuk pintu.
Kami menunggu, namun tidak ada orang yang datang.
―Aku kira dia tidak ada di rumah?‖ aku bertanya.
―Dia ada di sini,‖ America berkata, sedikit kesal. Dia memukul pintu
kayu dengan kepalan tangannya dan pintupun terbuka.
―SELAMAT ULANG TAHUN!‖ teriak semua orang di dalam.
―Tapi ulang tahunku kan besok,‖ aku berkata. Masih terkejut, aku
mencoba tersenyum pada semua orang.
Travis mengangkat bahunya. ―Well, karena ada yang membocorkannya
padamu, kami harus membuat perubahan di menit-menit terakhir untuk
memberimu kejutan, terkejut?‖
―Sangat!‖ aku berkata saat Finch memelukku.
―Selamat ulang tahun, sayang!‖ Finch berkata sambil mencium bibirku.
America menyikutku dengan sikunya. ―Untung aku mengajakmu pergi
untuk menyelesaikan beberapa urusan hari ini atau kau akan datang
kemari dengan penampilan berantakan!‖
―kau kelihatan sangat cantik,‖ kata Travis, memperhatikan gaunku.
Brazil memelukku, menekan pipinya ke pipiku. ―Dan aku harap kau tahu
yang America katakan tentang Brazil membuatku takut adalah hanya
agar kau datang kemari.‖
Aku memandang America dan dia tertawa. ―Itu berhasil, ya kan?‖
Setelah semua orang bergantian memeluk dan mengucapkan selamat
ulang tahun padaku, aku mendekati America dan berbisik di telinganya.
―Di mana Parker?‖
―Dia akan datang nanti,‖ dia berbisik. ―Shepley tidak dapat meng-
hubunginya melalui telepon untuk memberitahunya hingga sore ini.‖
Brazil memutar volume di stereo menjadi lebih kencang, dan semua
orang berteriak. ―Ayo ke sini, Abby!‖ dia berkata, berjalan menuju
dapur. Dia menyusun gelas sepanjang meja dan mengeluarkan satu botol
tequila dari lemari. ―Ini hadiah ulang tahun dari tim football, sayang,‖
dia tersenyum, mengisi penuh semua sloki dengan tequila merk Petron.
―Ini cara kami merayakan ulang tahun: kau berumur sembilan belas
tahun, kau meminum sembilan belas sloki. kau dapat meminumnya atau
memberikannya pada orang lain, tapi semakin banyak kau minum,
semakin banyak kau mendapatkan ini,‖ dia berkata, mengipaskan
setumpuk uang duapuluh dolar.
―Ya Tuhan!‖ aku memekik.
―Minum saja semua, Pidge!‖ kata Travis.
Aku menatap Brazil, curiga. ―Aku mendapat dua puluh dolar setiap sloki
yang aku minum?‖
―Ya benar, enteng. Melihat ukuranmu, kupikir kami hanya akan
kehilangan enam puluh dolar sampai tengah malam nanti.‖
―Pikirkan lagi, Brazil,‖ kataku, mengambil sloki pertama, memutarnya
di bibirku, mendongakkan kepalaku ke belakang untuk mengosongkan
gelas lalu menelannya sampai habis dan menjatuhkan gelas ke tanganku
yang lainnya.
―Ya ampun!‖ Travis berseru.
―Ini akan sangat mudah, Brazil.‖ Kataku, mengelap sudut mulutku. Kau
menuangkan Cuervo bukan Petron.‖
Senyum sombong Brazil menghilang perlahan, dan dia menggelengkan
kepalanya lalu mengangkat bahu. ―Maka kau akan mendapatkannya
setelah ini. Aku punya semua dompet kedua belas pemain football yang
mengatakan kau tidak akan mencapai sepuluh sloki.‖
Aku memicingkan mataku. ―Gandakan atau tidak sama sekali apabila
aku bisa menghabiskan lima belas sloki.‖
―Nanti dulu!‖ Shepley berteriak. ―kau tidak boleh masuk rumah sakit
pada hari ulang tahunmu, Abby!‖
―Dia sanggup meminumnya,‖ kata America, menatap ke arah Brazil.
―Empat puluh dolar satu sloki?‖ kata Brazil, tak yakin.
―kau takut?‖ aku bertanya.
―Tentu saja tidak! Aku akan memberimu dua belas sloki, dan ketika kau
minum lima belas, aku akan menggandakan totalnya.‖
―Begitulah cara Kansas merayakan ulang tahun.‖ Kataku sambil
menenggak sloki berikutnya.
Satu jam dan tiga sloki berikutnya, aku berada di ruang tamu sedang
berdansa dengan Travis.
Diiringi lagu rock balada dan Travis mengatakan sesuatu tanpa suara
padaku saat kita berdansa. Dia memiringkanku ke belakang pada chorus
pertama, dan aku membiarkan tanganku jatuh di belakangku. Dia
menarikku lagi ke atas dan aku menghela nafas.
―kau tak boleh melakukan itu ketika aku sudah minum dua digit sloki,‖
aku tersenyum cekikikan.
―Apa aku sudah bilang kalau kau terlihat sangat cantik malam ini?‖
Aku menggelengkan kepalaku dan memeluknya, meletakan kepalaku di
bahunya. Dia mengeratkan pegangannya, dan memendamkan wajahnya
di leherku, membuatku lupa tentang keputusan atau gelang atau dua
kepribadianku yang berbeda; aku berada di tempat yang aku inginkan.
Ketika musik berganti menjadi lebih nge-beat, pintu terbuka.
―Parker!‖ kataku, berlari untuk memeluknya. ―kau datang juga!‖
―Maafkan aku terlambat, Abs,‖ dia berkata, mencium bibirku. ―Selamat
ulang tahun.‖
―Terima kasih,‖ kataku, melihat Travis yang sedang memandang ke arah
kami dari ujung mataku.
Parker mengangkat pergelangan tanganku. ―kau memakainya.‖
―Aku kan sudah bilang akan memakainya. Mau berdansa?‖
Dia menggelengkan kepalanya. ―Ehm...aku tidak berdansa.‖
―Oh. Well, kau ingin menyaksikanku meminum gelas yang ke enam
Pertron?‖ aku tersenyum, memperlihatkan lima lembar uang dua puluh
dolarku. ―Aku akan mendapatkan double jika aku meminum lima belas
sloki.‖
―Bukankah itu agak sedikit berbahaya?‖
Aku mendekat ke telinganya. ―Aku benar-benar memperdaya mereka.
Aku telah memainkan permainan ini sejak berumur enam belas tahun
bersama ayahku.‖
―Oh,‖ dia berkata, mengkerutkan dahinya karena tidak menyukainya.
―kau meminum tequila bersama ayahmu?‖
Aku mengangkat bahuku . ―Itu caranya untuk mempererat ikatan.‖
Parker tampak tidak terkesan saat matanya mengalihkan perhatiannya
dariku ke arah kerumunan orang. ―Aku tidak bisa lama. Aku akan pergi
berburu dengan ayahku besok pagi.‖
―Untung pestanya malam ini, kalau besok, kau pasti tidak bisa datang,‖
aku berkata, terkejut mendengar rencananya.
Dia tersenyum dan memegang tanganku. ―Aku akan mengusahakan
pulang pada waktunya.‖
Aku menariknya ke meja, mengangkat sloki berikutnya dan
meminumnya, membantingnya terbalik di atas meja seperti yang sudah
aku lakukan lima sloki sebelumnya. Brazil menyerahkan dua puluh dolar
lagi padaku, dan aku menari menuju ruang tamu. Travis menarikku, dan
kita berdansa dengan America dan Shepley.
Shepley memukul pantatku. ―Satu!‖
America menambahkan pukulan keras kedua di pantatku, lalu semua
orang bergabung kecuali Parker.
Pada hitungan ke sembilan belas, Travis menggosok-gosok tangannya.
―Giliranku!‖
Aku mengusap pantatku yang sakit. ―Pelan-pelan! Pantatku sakit!‖
Dengan seringai jahat, dia mengangkat tangannya jauh ke atas bahunya.
Aku menutup rapat mataku. Beberapa saat kemudian, aku membukanya
lagi sedikit. Tepat sebelum tangannya menyentuh pantatku, dia berhenti
dan memberiku pukulan pelan.
―Sembilan belas!‖ dia berseru.
Semua tamu bersorak, dan America mulai menyanyikan lagu Happy
Birthday sambil mabuk. Aku tertawa saat bagian menyebutkan namaku,
semua orang mengatakan ―Pigeon‖.
Lagu slow lainnya mengalun dari stereo, dan Parker menarikku ke lantai
dansa yang dibuat seadanya. Tidak membutuhkan waktu yang lama
untuk mengetahui alasan mengapa Parker tidak berdansa.
―Maaf,‖ dia berkata setelah menginjak kakiku untuk ketiga kalinya.
Aku meletakkan kepalaku di bahunya. ―Kau berdansa cukup bagus.‖
Aku berbohong.
Dia mencium pelipisku. ―Apa kau punya rencana Senin malam nanti?‖
―Pergi makan malam denganmu?‖
―Ya. Di apartemen baruku.‖
―kau sudah menemukannya!‖
Dia tertawa dan mengangguk. ―Tapi kita akan memesan makanan.
Masakanku tidak bisa di makan.‖
―Aku akan memakannya bagaimanapun juga,‖ aku tersenyum padanya.
Parker memandang sekilas ke sekeliling ruangan lalu menuntunku ke
lorong. Dia dengan lembut menekanku ke tembok, menciumku dengan
bibir lembutnya. Tangannya ke mana-mana. Awalnya aku mengikuti,
namun saat lidahnya menyusup ke dalam bibirku, aku dengan jelas
merasakan bahwa aku telah melakukan kesalahan.
―Ok, Parker,‖ kataku menghentikannya.
―Semuanya baik-baik saja?‖
―Kupikir tidak sopan jika aku bercumbu denganmu di pojokan yang
gelap sementara aku ada tamu di sana.‖
Dia tersenyum lalu menciumku lagi. ―kau benar, maafkan aku. Aku
hanya ingin memberikanmu ciuman ulang tahun yang tak akan
terlupakan sebelum aku pergi.‖
―kau akan pergi?‖
Dia menyentuh pipiku. ―Aku harus sudah bangun tidur dalam waktu
empat jam, Abs.‖
Aku merapatkan bibirku. ―Baiklah. Kita akan bertemu hari Senin?‖
―kau akan bertemu denganku besok. Aku akan mampir saat pulang
nanti.‖
Dia menuntunku ke pintu lalu mencium pipiku sebelum dia pergi. Aku
menyadari Shepley, America dan Travis sedang memandang ke arahku.
―Ayah sudah pergi!‖ Travis berteriak ketika pintu di tutup. ―Waktunya
pesta ini di mulai!‖
Semua orang bersorak, dan Travis menarikku ke tengah ruangan .
―Tunggu sebentar...aku punya jadwal,‖ kataku, menuntunnya ke meja.
Aku menghabiskan satu minuman lagi, dan tertawa ketika Travis juga
mengambil satu yang di ujung, menenggaknya hingga habis. Aku
mengambil satu lagi lalu meneguknya, dia juga melakukan hal yang
sama.
―Tujuh gelas lagi, Abby,‖ kata Brazil, menyerahkan lagi dua lembar
duapuluh dolar padaku.
Aku mengelap mulutku saat Travis menarikku kembali ke ruang tamu.
Aku berdansa dengan America, lalu Shepley, namun ketika Chris Jenks
dari tim football mencoba berdansa denganku, Travis menarik bajunya
ke belakang dan menggelengkan kepala. Chris mengangkat bahu dan
berbalik, berdansa dengan wanita pertama yang dia lihat.
Minuman yang ke sepuluh memukul dengan keras, dan aku merasa
sedikit pusing saat berdiri di atas sofanya Brazil bersama America,
berdansa seperti anak sekolahan yang ceroboh. Kita cekikikan tanpa
sebab, melambaikan tangan kita mengikuti alunan musik.
Aku terhuyung, hampir terjatuh ke belakang dari sofa, namun tangan
Travis selalu di pinggangku untuk memegangiku.
―kau sudah membuktikan maksudmu,‖ dia berkata. ―kau mabuk lebih
dari semua wanita yang pernah kita lihat. Aku akan menghentikannya.‖
―Persetan, kalau berani,‖ aku bicara dengan tidak jelas. ―Aku punya
enam ratus dolar yang menunggu di bawah sloki itu dan kau diantara
semua orang yang tidak boleh melarangku melakukan sesuatu yang
ekstrim untuk uang.‖
―Jika kau begitu kesulitan uang, Pidge…‖
―Aku tidak akan meminjam uang darimu,‖ aku menyeringai.
―Aku tadinya akan menyarankan untuk menggadaikan gelang itu,‖ dia
tersenyum.
Aku memukul tangannya saat America mulai berhitung mundur menuju
tengah malam. Ketika jarumnya menunjukan jam dua belas, kita semua
berpesta.
Aku sekarang sembilan belas tahun.
America dan Shepley masing-masing mencium satu pipiku, dan Travis
mengangkatku ke atas, lalu memutar-mutarku.
―Selamat ulang tahun, Pigeon,‖ dia berkata dengan ekspresi yang
lembut.
Aku menatap matanya yang coklat dan hangat untuk beberapa saat,
merasa tersesat di dalamnya.
Waktu seperti berhenti di ruangan ini saat kita saling menatap satu sama
lain, sangat dekat sehingga aku dapat merasakan nafasnya di kulitku.
―Minum!‖ kataku, terhuyung ke meja.
―kau terlihat sangat mabuk, Abby. Aku pikir sudah waktunya untuk
menghentikannya,‖ kata Brazil.
―Aku bukan orang yang mudah menyerah,‖ kataku. ―Aku ingin melihat
uangku.‖
Brazil meletakan uang dua puluh dolar di bawah dua sloki terakhir, dia
lalu berteriak pada teman satu timnya, ―Dia akan meminum semuanya!
Aku butuh seratus lima puluh dolar!‖
Mereka semua mengerang dan memutar mata mereka, mengeluarkan
dompetnya untuk menyusun setumpuk uang dua puluh dolar di belakang
sloki terakhir. Travis sudah menghabiskan empat sloki lainnya yang
tersisa di luar lima belas sloki minumanku.
―Aku tidak pernah percaya akan kalah lima puluh dolar saat taruhan
minum lima belas sloki dengan seorang wanita.‖ Chris mengeluh.
―Percayalah, Jenks.‖ Aku berkata, mengangkat dua gelas dengan kedua
tanganku. Aku menenggak masing-masing gelas dan menunggu agar
muntahanku yang naik ke tenggorokan untuk turun kembali.
―Pigeon?‖ Travis bertanya, mendekat satu langkah ke arahku.
Aku mengangkat jariku dan Brazil tersenyum. ―Dia akan
memuntahkannya,‖ Brazil berkata.
―Tidak, tidak akan,‖ America menggelengkan kepalanya. ―Tarik nafas
panjang, Abby.‖
Aku menutup mataku lalu menarik nafas, menghabiskan gelas
terakhirku.
―Sialan, Abby! kau akan mati karena keracunan alkohol!‖ Shepley
berteriak.
―Dia tidak akan apa-apa,‖ America meyakinkannya.
Aku mendongakkan kepalaku ke belakang dan membiarkan tequila
mengalir turun di tenggorokanku. Gigi dan mulutku sudah mati rasa
sejak sloki ke delapan, dan efek dari kadar alkohol 40 persen menendang
jauh sebelum itu kehilangan tepinya. Suasana pesta meledak menjadi
suara siulan dan teriakan saat Brazil menyerahkan setumpuk uang
padaku.
―Terima kasih,‖ kataku dengan bangga, menyelipkan uang ke dalam
braku.
―kau benar-benar sangat cantik sekarang,‖ Travis berkata di telingaku
saat kita berjalan ke ruang tamu. Kita berdansa sampai pagi dan tequila
yang mengalir di pembuluh darahku berkurang dan terlupakan.
®LoveReads
Bab 8

Gosip

Ketika mataku akhirnya terbuka, aku melihat bahwa aku tidur


beralaskan kaki yang memakai celana jins. Travis duduk bersandar pada
tub, dan kepalanya ke tembok, tidur kedinginan. Dia kelihatan sama
parahnya denganku. Aku melepas selimutku lalu berdiri, tersentak
melihat bayanganku yang menakutkan dalam cermin di atas wastafel.
Aku terlihat seperti mayat.
Maskara luntur, noda air mata hitam sepanjang pipiku, lipstik belepotan
dan ada rambutku diikat seperti buntut tikus di kedua sisinya.
Ada sprei, handuk dan selimut di sekeliling Travis. Dia membuat alas
empuk untuk tidur sementara aku memuntahkan lima belas sloki tequila
yang aku minum tadi malam. Travis memegangi rambutku menjauh dari
toilet dan duduk bersamaku sepanjang malam.
Aku menyalakan kran, menahan tanganku di bawah air hingga
temperaturnya sesuai dengan yang aku inginkan. Menggosok wajahku
yang berantakan, aku mendengar erangan dari lantai. Travis bangun,
menggosok matanya, menggeliat lalu melihat ke sampingnya, dia
tersentak panik.
―Aku di sini,‖ kataku. ―Kenapa kau tidak pergi ke kamar saja? Untuk
tidur lagi?‖
―kau baik-baik saja?‖ dia berkata, mengusap matanya sekali lagi.
―Ya, aku baik-baik saja. Well, sebaik yang aku bisa. Aku akan merasa
lebih baik setelah mandi nanti.‖
Dia berdiri. ―Kau sangat hebat tadi malam, asal kau tahu. Aku tak tahu
dari mana asalnya, tapi aku tidak ingin kau melakukannya lagi.‖
―Aku sudah terbiasa, Trav. Bukan masalah besar bagiku.‖
Dia memegang pipiku dengan tangannya lalu menghapus sisa maskara
luntur yang masih ada di bawah mataku dengan ibu jarinya. ―Itu masalah
besar bagiku.‖
―Baiklah, aku tidak akan mengulanginya lagi. Puas?‖
―Ya. Tapi, aku akan memberitahumu sesuatu, tapi janji kau tidak akan
panik.‖
―Oh, Tuhan, apa yang telah aku lakukan?‖
―kau tidak melakukan apa-apa, tapi kau harus menelepon America.‖
―Di mana dia?‖
―Di asrama. Dia bertengkar dengan Shep tadi malam.‖
Aku mandi dengan tergesa-gesa dan memakai baju yang telah Travis
siapkan untukku di atas wastafel. Ketika aku keluar dari kamar mandi,
Shepley dan Travis sedang duduk di ruang tamu.
―Apa yang telah kau lakukan padanya?‖ aku bertanya.
Wajah Shepley tampak sedih. ―Dia sangat marah padaku.‖
―Apa yang terjadi?‖
―Aku marah padanya karena mendorongmu untuk minum sebanyak itu.
Kupikir kita akan berakhir dengan membawamu ke rumah sakit. Satu hal
mengarah ke hal lainnya, dan selanjutnya yang aku tahu kita sedang
saling berteriak. Kita berdua mabuk, Abby. Aku mengatakan sesuatu
yang tidak bisa aku tarik kembali,‖ dia menggelengkan kepalanya,
menunduk.
―Seperti apa?‖ tanyaku, marah.
―Aku menyebutnya sesuatu yang tidak aku banggakan lalu menyuruhnya
pergi.‖
―Kau membiarkannya pergi dari sini dalam keadaan mabuk? Apakah
kau idiot?‖ kataku, lalu mengambil tasku.
―Tenang, Pidge. Dia sudah cukup merasa bersalah,‖ kata Travis.
Aku mengeluarkan ponselku dari tas, menghubungi nomor America.
―Hallo?‖ dia menjawab. Dia terdengar sangat kacau.
―Aku baru saja mendengarnya,‖ aku menghela nafas. ―Apa kau baik-
baik saja?‖ aku berjalan ke luar untuk mendapatkan privasi, dan sekali
lagi melihat ke arah Shepley dengan tatapan marah.
―Aku baik-baik saja. Dia brengsek.‖ Kata-katanya kasar tapi aku bisa
mendengar rasa sakit dalam suaranya. America ahli dalam
menyembunyikan emosinya, dan dia dapat menyembunyikannya dari
semua orang kecuali aku.
―Maafkan aku tidak pergi bersamamu.‖
―kau sedang tidak bisa, Abby,‖ dia berkata dengan acuh.
―Kenapa kau tidak menjemputku sekarang? Kita bicarakan masalah ini.‖
Dia bernafas ke arah telepon. ―Aku tidak mau. Aku sedang tidak ingin
bertemu dengannya.‖
―Aku akan menyuruhnya agar tetap di dalam kalau begitu.‖
Dia terdiam cukup lama, lalu aku mendengar suara kunci di telepon.
―Baiklah. Aku akan tiba dalam sepuluh menit.‖
Aku masuk ke ruang tamu, mengaitkan tas di bahuku. Mereka
mengamatiku membuka pintu untuk menunggu America, dan Shepley
bergeser ke depan di atas sofa.
―Dia akan datang kemari?‖
―Dia tidak ingin bertemu denganmu, Shep. Aku bilang padanya kalau
kau akan tetap di dalam.‖
Dia menghela nafas, dan menjatuhkan diri ke kursi. ―Dia membenciku.‖
―Aku akan bicara dengannya. Tapi sebaiknya kau punya cara yang hebat
untuk minta maaf.‖
Sepuluh menit kemudian, klakson berbunyi dua kali di luar, dan aku
menutup pintu di belakangku.
Ketika aku tiba di dasar tangga, Shepley melewatiku dengan cepat
menuju mobil Honda merah America, dan membungkuk untuk melihat
ke dalam jendela mobil. Aku berhenti, melihat America mengumpat
pada Shepley sambil melihat lurus ke depan. Dia menurunkan
jendelanya, dan Shepley kelihatannya sedang menjelaskan, lalu mereka
mulai berdebat. Aku masuk ke dalam untuk memberi mereka privasi.
―Pigeon?‖ Travis memanggil, berlari kecil menuruni tangga.
―Kelihatannya buruk.‖
―Biarkan mereka menyelesaikannya. Ayo kita masuk,‖ dia berkata,
jarinya meraih jariku dan menuntunku ke atas.
―Apakah seburuk itu?‖ aku bertanya.
Dia mengangguk. ―Lumayan buruk. Mereka baru saja keluar dari masa
bulan madu. Mereka akan menyelesaikannya.‖
―Buat seseorang yang tidak pernah punya kekasih, kau tampak seperti
tahu banyak tentang suatu hubungan.‖
―Aku punya empat saudara laki-laki dan teman yang banyak,‖ dia
berkata, menyeringai pada dirinya sendiri.
Shepley masuk ke dalam apartemen lalu membanting pintu di
belakangnya. ―Dia sangat tidak masuk di akal!‖
Aku mencium Travis di pipi. ―Itu tandaku.‖
―Semoga berhasil,‖ Travis tersenyum.
Aku meluncur duduk di samping America, dan dia mendengus. ―Dia
sangat tidak masuk di akal!‖
Aku tertawa, namun dia melotot ke arahku. ―Maaf,‖ kataku, memaksa
senyumku agar hilang.
Kami bersiap-siap untuk pergi dan America berteriak, menangis dan
berteriak lagi. Kadang dia mengeluarkan kata-kata kasar yang ditujukan
pada Shepley, seolah dia duduk di tempatku. Aku duduk dengan tenang,
membiarkan dia mengatasinya dengan caranya sendiri.
―Dia menyebutku tidak bertanggung jawab! Padaku! Seperti aku tidak
mengenalmu! Seperti aku tak pernah melihatmu merampok minuman
keras milik ayahmu berharga ratusan dolar yang jumlahnya dua kali
lipat. Dia tak tahu apa yang dia bicarakan! Dia tak tahu bagaimana
kehidupanmu dulu! Dia tak tahu apa yang aku tahu, dan dia
memperlakukanku seperti aku adalah anaknya, bukan kekasihnya!‖ Aku
memegang tangannya namun dia menariknya menjauh. ―Dia pikir kau
yang akan menjadi alasan hubungan kami tidak akan berjalan dengan
baik, tapi justru dia yang melakukannya sendiri. Dan berbicara tentang
dirimu, apa yang kau pikirkan tadi malam bersama Parker?‖
Pergantian topik pembicaraan yang tiba-tiba ini membuatku terkejut.
―Apa maksudmu?‖
―Travis mengadakan pesta untukmu, Abby, tapi kau malah pergi dan
bercumbu dengan Parker. Dan kau heran kenapa orang lain
membicarakan dirimu!‖
―Tunggu sebentar! Aku memberitahu Parker bahwa kita tidak
seharusnya di belakang sana. Apa masalahnya kalau Travis mengadakan
pesta itu untuk aku atau bukan? Aku kan tidak berpacaran dengannya!‖
America menatap lurus ke depan, menghembuskan udara dari
hidungnya.
―Baiklah, Mare. Ada apa? kau marah padaku, sekarang?‖
―Aku tidak marah padamu. Aku hanya tidak gaul dengan orang yang
benar-benar idiot.‖
Aku menggelengkan kepalaku, lalu melihat keluar jendela sebelum aku
mengatakan sesuatu yang akan aku sesali...America selalu bisa
membuatku merasa buruk saat dia menginginkannya.
―Apa kau benar-benar melihat apa yang terjadi?‖ tanyanya. ―Travis
berhenti bertarung. Dia tidak membawa wanita pulang sejak perek
kembar dulu...belum membunuh Parker, dan kau mengkhawatirkan
tentang apa yang dibicarakan orang lain. Kau tahu kenapa itu, Abby?
Karena itu adalah kebenaran!‖
Aku berpaling, menjulurkan leherku dengan pelan ke arahnya, mencoba
untuk memberikan tatapan paling marah yang aku tahu padanya. ―Ada
apa denganmu?‖
―kau berkencan dengan Parker, sekarang, dan kau sangat bahagia,‖ dia
berkata dengan nada menghina. ―Tapi kenapa kau tidak pulang ke
asrama?‖
―Karena aku kalah taruhan, kau tahu itu!‖
―Yang benar saja, Abby! kau bicara tentang betapa sempurnanya Parker,
kencanmu dengannya selalu sempurna, bicara dengannya berjam-jam di
telepon, lalu kau tidur di samping Travis tiap malam. Kau melihat apa
yang salah dengan situasi ini? Jika kau benar-benar menyukai Parker,
semua barangmu sudah akan berada di asrama sekarang.‖
Gigiku terkatup dengan rapat. ―Kau tahu aku tidak pernah lari saat kalah
taruhan, Mare.‖
―Itu yang pikirkan,‖ dia berkata, memutar tangannya dia atas kemudi.
―Travis adalah orang yang kau inginkan, sedangkan Parker hanyalah
yang kau pikir kau butuhkan.‖
―Aku tahu kelihatannya seperti itu, tapi—,‖
―Kelihatan seperti itu oleh semua orang. Jadi jika kau tak suka dengan
cara orang lain membicarakan dirimu—rubahlah. Ini bukan kesalahan
Travis. Dia berubah 180 derajat untukmu.
Kau yang dapat hadiah tapi Parker yang mendapatkan keuntungannya.‖
―Seminggu yang lalu kau ingin membawaku pergi dan tidak akan pernah
membiarkan Travis mendekatiku lagi! Sekarang kau membelanya?‖
―Abigail! Aku tidak membelanya, bodoh! Aku justru menjagamu!
Kalian berdua tergila-gila satu sama lain! Lakukan sesuatu tentang itu!‖
―Bagaimana bisa kau berpikir aku harus bersamanya?‖ aku meratap.
―Kau seharusnya menjauhkanku dari orang seperti dia!‖
Dia menutup bibirnya rapat, jelas kehilangan kesabarannya. ―Kau telah
bersusah payah untuk menjauh dari ayahmu. Itu adalah satu-satunya
alasan kau mempertimbangkan Parker! Dia bertolak belakang dengan
Mick. Dan kau pikir Travis akan membawamu kembali ke tempat kau
dulu berada. Dia bukan ayahmu, Abby.‖
―Aku tidak bilang dia seperti ayahku, tapi itu membuatku dalam posisi
harus menuruti segala kemauannya.‖
―Travis tidak akan melakukan itu padamu. Kupikir kau meremehkan
betapa berartinya dirimu untuknya. Jika saja kau memberitahunya—,‖
―Tidak. Kita meninggalkan semua di belakang agar semua orang di sini
tidak melihatku seperti mereka yang di Wichita. Kita fokus pada
masalah yang ada saja dulu. Shep menunggumu.‖
―Aku tidak ingin membicarakan Shep,‖ dia berkata, melaju pelan untuk
berhenti di lampu merah.
―Dia menderita, Mare. Dia mencintaimu.‖
Matanya penuh dengan air mata dan bibir bawahnya bergetar. ―Aku
tidak peduli.‖
―Kau peduli.‖
―Aku tahu,‖ dia berbisik, menyenderkan kepalanya ke bahuku.
Dia menangis sampai lampu berubah, lalu aku mencium kepalanya.
―Lampu hijau.‖
Dia duduk, mengelap hidungnya. ―Aku sangat jahat padanya tadi.
Kupikir dia tidak akan mau bicara padaku sekarang.‖
―Dia akan bicara padamu. Dia tahu kau sedang kesal tadi.‖
America mengusap wajahnya, lalu berputar arah pelan-pelan. Aku
tadinya khawatir harus terus membujuknya dulu agar dia mau pulang
bersamaku, dan Shepley sudah berlari di tangga sebelum America
mematikan mesin mobilnya.
Dia menarik untuk membuka pintu mobil America lalu membantunya
berdiri. ―Maafkan aku, sayang. Aku harusnya mengurus urusanku
sendiri, aku...aku mohon jangan pergi. Aku tidak tahu harus bagaimana
tanpa dirimu.‖
America memegang wajah Shepley lalu tersenyum. ―Kau adalah seorang
bajingan sombong, tapi aku tetap mencintaimu.‖
Shepley menciumnya berkali-kali seolah sudah tidak bertemu dengannya
selama berbulan-bulan, dan aku tersenyum karena berhasil melakukan
tugasku. Travis berdiri di pintu masuk, menyeringai saat aku masuk
apartemen. ―Dan mereka hidup bahagia selamanya,‖ dia berkata, sambil
menutup pintu di belakangku. Aku menjatuhkan diri ke sofa, dan dia
duduk di sampingku, menarik kakiku ke atas pangkuannya.
―Apa yang ingin kau lakukan hari ini, Pidge?‖
―Tidur. Atau istirahat...atau tidur.‖
―Sebelumnya, bolehkah aku memberikan hadiah untukmu sekarang?‖
Aku mendorong bahunya. ―Astaga, kau memberikan aku hadiah?‖
Mulutnya membentuk satu senyuman gugup. ―Ini bukan gelang berlian,
tapi kupikir kau akan menyukainya.‖
―Aku akan sangat menyukainya, meskipun belum melihatnya.‖
Dia menurunkan kakiku dari pangkuannya, lalu dia menghilang ke
kamar Shepley. Aku mengangkat satu alisku saat aku mendengar dia
bergumam, lalu dia keluar sambil memegang kotak.
Dia menaruhnya di bawah di dekat kakiku, lalu berjongkok di
belakangnya. ―Cepatlah, aku ingin melihatmu terkejut,‖ dia tersenyum.
―Cepat?‖ aku bertanya, membuka tutupnya.
Mulutku menganga, saat sepasang mata hitam besar melihat ke arahku.
―Anak anjing?‖ aku menjerit, mengeluarkannya dari kotak. Aku
mengangkat mahluk kecil berbulu hitam tebal di depan wajahku, lalu dia
menciumku dengan hangat dan basah di mulutku.
Travis berseri-seri, gembira. ―Kau menyukainya?‖
―Menyukainya? Aku sangat menyukainya! kau memberiku seekor anak
anjing!‖
―Itu anjing jenis Cairn Terrier. Aku harus menempuh perjalanan selama
tiga jam untuk mengambilnya hari Kamis kemarin sepulang kuliah.‖
―Jadi waktu kau bilang akan pergi bersama Shepley untuk membawa
mobilnya ke bengkel…‖
―Kami pergi mengambil hadiahmu,‖ dia mengangguk.
―Dia menggoyangkan ekornya.‖ Aku tertawa.
―Setiap wanita dari Kansas membutuhkan seekor Toto (Jenis anjing dari
Kansas),‖ kata Travis, dia membantukku memegangi bola halus dan
menaruhnya di atas pangkuanku.
―Dia memang mirip Toto! Aku akan memanggilnya Toto,‖ aku berkata
sambil mengerutkan hidungku pada anak anjing yang sedang
menggeliat.
―Kau bisa menyimpannya di sini. Aku akan merawatnya untukmu saat
kau kembali ke asrama,‖ bibirnya membentuk senyuman yang
dipaksakan, ―Dan ini akan menjadi jaminanku agar kau datang
berkunjung ketika satu bulan ini berakhir.‖
Aku menutup rapat bibirku. ―Bagaimanapun aku akan tetap berkunjung,
Trav.‖
―Aku akan melakukan apapun untuk melihat senyuman di wajahmu itu
saat ini.‖
―kupikir kau butuh tidur siang, Toto. Ya, kau butuh,‖ aku mengelus
Toto.
Travis mengangguk, menarikku ke atas pangkuannya lalu berdiri. ―Ayo,
kita tidur siang kalau begitu.‖
Dia menggendongku ke kamar, menarik selimut lalu menurunkanku di
tempat tidur. Merangkak di atasku, dia meraih untuk menutup tirai lalu
tidur di bantalnya.
―Terima kasih untuk tetap bersamaku tadi malam,‖ kataku, membelai
bulu halus Toto. ―kau tidak perlu tidur di lantai kamar mandi.‖
―Tadi malam adalah malam terbaik dalam hidupku.‖
Aku berpaling untuk melihat ekspresinya. Dan ketika aku melihat bahwa
dia serius, aku memandangnya dengan tatapan meragukan.
―Tidur di antara toilet dan tub diatas lantai yang dingin dengan seorang
idiot yang terus muntah adalah salah satu malam terbaik dalam
hidupmu? Itu menyedihkan, Trav.‖
―Tidak, tinggal bersamamu saat kau mual lalu kau tertidur di atas
pangkuanku adalah malam terbaikku. Memang tidak nyaman, aku tidak
bisa tidur nyenyak, tapi aku merayakan ulang tahun kesembilan belasmu
bersamamu, dan kau lumayan manis saat mabuk.‖
―Aku yakin diantara saat aku muntah dan kau membersihkannya aku
sangat menawan.‖
Dia menarikku mendekat, membelai Toto yang berbaring di atas
leherku. ―kau satu-satunya wanita yang aku tahu yang tetap kelihatan
cantik meskipun kepalamu di atas toilet. Itu berarti sesuatu.‖
―Terima kasih, Trav. Aku tidak akan menyusahkanmu lagi.‖
Dia berbaring di atas bantalnya. ―Terserah. Tidak ada yang bisa
memegangi rambutmu ke belakang sebaik aku.‖
Aku cekikikan lalu menutup mataku, membiarkanku tenggelam dalam
kegelapan.
®LoveReads

―Bangun, Abby!‖ America berteriak, membangunkanku.


Toto menjilati pipiku. ―Aku bangun! Aku bangun!‖
―Kita ada kuliah setengah jam lagi!‖
Aku melompat dari tempat tidur. ―Aku sudah tidur selama...empat belas
jam? Ya ampun?‖
―Cepat mandi! Jika kau belum siap dalam sepuluh menit, aku akan
meninggalkanmu!‖
―Aku tidak punya waktu untuk mandi!‖ aku berkata sambil mengganti
baju yang telah aku pakai tidur.
Travis menyangga kepalanya dengan tangan lalu tergelak. ―Kalian
menggelikan, dunia tidak akan kiamat kalau kalian terlambat masuk satu
kelas.‖
―Akan kiamat jika kau adalah America. Dia tidak pernah terlambat dan
dia benci kalau harus terlambat.‖ Kataku sambil mengenakan kaos dan
celana jinsku.
―Biarkan Mare pergi duluan, aku akan mengantarmu.‖
Aku memasukan satu kakiku lalu kaki satu lagi, memakai sepatu bootku.
―Tasku ada di mobilnya, Trav.‖
―Terserah,‖ dia mengangkat bahu, ―Asal jangan sampai terluka saat kau
terburu-buru masuk kelas.‖
Dia mengangkat Toto, menggendongnya dengan satu tangan seperti
membawa bola kecil, lalu membawanya keluar.
America mendorongku keluar pintu dan masuk ke mobil. ―Aku tidak
percaya dia memberimu anak anjing,‖ dia berkata sambil melihat ke
belakang saat mundur keluar dari tempat parkir.
Travis berdiri di bawah sinar matahari pagi, hanya memakai celana
boxer dan bertelanjang kaki, tangannya memeluk tubuhnya sendiri
karena kedinginan. Dia memperhatikan Toto yang sedang mengendus
rumput, membujuknya seperti seorang ayah yang bangga.
―Aku belum pernah memiliki anjing sebelumnya,‖ aku berkata. ―Ini
akan menyenangkan.‖
America memandang Travis sebelum memasukan persneling mobilnya.
―Lihat dia,‖ kata America sambil menggelengkan kepalanya. ―Travis
Maddox; Bapak rumah tangga.‖
―Toto sangat lucu. Bahkan kau akan takluk di bawah tangannya.‖
―kau tidak bisa membawanya ke asrama nanti, kau tahu. Kupikir Travis
tidak memikirkan tentang itu.‖
―Travis bilang dia akan memeliharanya di apartemen.‖
Dia menarik ke atas satu alisnya.
―Tentu saja. Travis selalu berpikir ke depan, aku salut padanya,‖
America berkata, sambil menggelengkan kepalanya lalu menginjak gas.
®LoveReads

Aku terengah-engah, meluncur ke atas kursiku dengan sisa satu menit


sebelum kuliah di mulai.
Setelah adrenalin menghilang dari tubuhku, rasa berat dari koma pasca
ulang tahun mengambil alih.
America menyikutku ketika kelas bubar, dan aku mengikutinya ke
kafetaria.
Shepley menunggu kami di pintu, dan aku langsung menyadari ada yang
tidak beres.
―Mare,‖ Shepley berkata, memegang tangan America.
Travis berlari ke arah kami, memegang pinggangnya, dia mengambil
nafas hingga agak tenang.
―Apa ada segerombolan wanita marah yang mengejarmu?‖ aku
menggodanya.
Dia menggeleng. ―Aku mencoba mengejarmu...sebelum kau…masuk,‖
dia menarik nafas.
―Apa yang terjadi?‖ America bertanya pada Shepley.
―Ada gosip,‖ Shepley mulai bercerita. ―Semua orang mengatakan bahwa
Travis membawa Abby pulang dan...detilnya berbeda-beda, tapi cukup
buruk.‖
―Apa? Serius?‖ aku berteriak.
America memutar matanya. ―Siapa yang peduli, Abby? Semua orang
sudah berspekulasi tentangmu dan Trav selama beberapa minggu ini. Ini
bukan pertama kalinya seseorang menuduh kalian berdua telah tidur
bersama.‖
Travis dan Shepley saling pandang.
―Ada apa?‖ kataku. ―Ada sesuatu yang lainnya, kan?‖
Shepley mengernyit. ―Mereka bilang kau tidur dengan Parker di rumah
Brazil, lalu kau membiarkan Travis...membawamu pulang, jika kau
mengerti maksudku.‖
Mulutku menganga. ―Bagus! Jadi aku ayam kampus sekarang?‖
Mata Travis menjadi gelap dan mulutnya tegang. ―Ini semua salahku.
Jika itu orang lain, mereka tidak akan mengatakan hal itu tentangmu.‖
Dia melangkah masuk ke dalam kafetaria, tangannya mengepal.
America dan Shepley mengikutinya di belakang. ―Semoga tidak ada
orang yang cukup bodoh dan mengatakan sesuatu pada Travis.‖ America
berkata.
―Atau pada Abby,‖ Shepley menambahkan.
Travis duduk jauh beberapa kursi di seberang tempat dudukku, melamun
sambil menatap roti lapisnya. Aku menunggunya melihat ke arahku,
ingin memberikan senyuman yang menenangkannya. Travis memiliki
reputasi, dan aku membiarkan Parker membawaku ke lorong.
Shepley menyikutku saat aku memandangi sepupunya. ―Dia hanya
merasa tidak enak. Mungkin dia mencoba untuk meredakan gosip itu.‖
―kau tidak harus duduk jauh di sana, Trav. Ayo, duduk di sini,‖ aku
berkata, menepuk tempat kosong di depanku.
―Aku dengar pesta ulang tahunmu sangat berkesan, Abby,‖ kata Chris
Jenks sambil melemparkan sepotong daun selada ke dalam piring Travis.
―Jangan macam-macam dengannya, Jenks,‖ Travis memperingatkan,
menatapnya tajam.
Chris tersenyum, mengangkat tulang pipinya, pipinya yang berwarna
pink. ―Aku dengar Parker sangat marah. Dia bilang dia mampir ke
apartemenmu kemarin, lalu melihatmu dan Travis masih berada di
tempat tidur.‖
―Mereka sedang tidur siang, Chris,‖ America menyeringai.
Mataku langsung menatap Travis. ―Parker mampir?‖
Dia bergerak dengan tidak nyaman di kursinya. ―Aku tadi akan
memberitahumu.‖
―Kapan?‖ aku membentak.
America berbisik di telingaku. ―Parker mendengar gosip itu, lalu datang
untuk menanyakannya secara langsung padamu. Aku mencoba untuk
menghentikannya, tapi dia menerobos masuk
lalu...benar-benar salah paham.‖
Aku meletakan sikuku si atas meja, sambil menutupi wajahku. ―Ini
semua semakin memburuk.‖
―Jadi kalian tidak melakukan hal itu?‖ Chris bertanya. ―Sialan, itu
menyebalkan. Padahal aku sudah berpikir Abby sangat cocok untukmu
setelah semua itu, Trav.‖
―Sebaiknya kau berhenti, sekarang, Chris,‖ Shepley memperingatkan.
―Jika kau tidar tidur dengannya, keberatan jika aku yang mencobanya?‖
kata Chris, cekikikan bersama teman satu timnya.
Wajahku memerah karena malu, namun lalu America berteriak di dekat
telingaku karena melihat reaksi Travis melompat dari tempat duduknya.
Dia meraih dari atas meja, memegang leher Chris dengan satu tangan,
dan tangan satu memegang bajunya. Si pemain gelandang di tim football
itu terjatuh dari tempat duduknya, terdengar banyak suara kaki kursi
yang bergesekan dengan lantai saat semua orang berdiri untuk melihat.
Travis menonjok wajahnya berkali-kali, sikunya diangkat tinggi di udara
sebelum dia mendaratkan setiap tinjunya. Hanya satu yang bisa Chris
dapat lakukan yaitu melindungi wajahnya dengan tangan.
Tidak ada seorangpun yang menyentuh Travis. Dia sudah di luar
kendali, dan reputasinya membuat semua orang takut untuk
menghalanginya. Para pemain football hanya menunduk dan meringis
saat mereka menyaksikan temannya diserang tanpa ampun di lantai.
―Travis!‖ Aku berteriak, berlari mengitari meja.
Ketika akan memukul lagi, Travis menahan tinjunya lalu melepaskan
bajunya Chris, membiarkannya jatuh ke lantai. Travis terengah-engah
saat melihat ke arahku; aku belum pernah melihatnya begitu
menakutkan. Aku menelan ludah dan mundur selangkah ketika Travis
menabrakku di bahu saat dia melewatiku.
Aku melangkah untuk mengikutinya, tapi America mencegahnya dengan
memegang tanganku.
Shepley mencium America lalu mengikuti sepupunya keluar.
―Ya Tuhan,‖ America berbisik.
Kami berpaling dan melihat semua temannya Chris mengangkatnya dari
lantai, dan aku meringis saat melihat wajahnya yang merah dan
bengkak. Darah keluar dari hidungnya, dan Brazil memberinya tisu yang
ada di atas meja.
―Dasar orang sinting gila!‖ Chris mengerang, duduk di atas kursi sambil
memegang wajahnya. Dia menatapku, lalu. ―Maafkan aku, Abby. Aku
hanya bercanda.‖
Aku tidak menjawabnya. Aku tidak dapat menjelaskan apa yang baru
saja terjadi.
―Dia tidak tidur dengan salah satu dari mereka,‖ America berkata.
―kau tidak pernah tahu kapan harus menutup mulut, Jenks,‖ kata Brazil
dengan kesal.
America menarik tanganku. ―Ayo kita pergi.‖
Dia terburu-buru sambil menarikku ke dalam mobil. Ketika dia
memasukan persneling, aku memegang pinggangnya. ―Tunggu! Kita
akan kemana?‖
―Kita akan ke apartemen Shepley. Aku tidak ingin meninggalkannya
berdua dengan Travis. kau tadi lihat dia, kan? Dia benar-benar lepas
kendali!‖
―Well, aku tidak ingin berada di dekatnya juga!‖
America memandangku tidak percaya. ―Sangat terlihat jelas ada sesuatu
yang mengganggunya. kau tidak ingin mengetahuinya apa itu?‖
―Rasa untuk menjaga diriku lebih besar dari rasa penasaranku saat ini,
Mare!‖
―Satu-satunya yang membuatnya berhenti hanyalah suaramu, Abby. Dia
akan mendengarkanmu. kau harus bicara dengannya.‖
Aku menghela nafas dan melepaskan pinggangnya, duduk di kursiku.
―Baiklah, ayo kita pergi.‖
®LoveReads

Kita masuk ke tempat parkir, America melaju dengan pelan dan berhenti
diantara mobil Shepley dan motor Travis. Dia berjalan menuju tangga,
meletakkan tangan di pinggangnya dengan cara yang dramatis.
―Cepat, Abby!‖ America memanggil, membuatku bergerak
mengikutinya.
Dengan ragu, aku mengikutinya, langkahku terhenti saat melihat
Shepley menuruni tangga untuk berbicara dengan pelan di telinga
America. Dia menatapku, menggelengkan kepalanya lalu berbisik di
telinga America lagi.
―Ada apa?‖ aku bertanya.
―Shep pikir...,‖ America gelisah, ―Shep pikir bukan ide yang bagus kalau
kita masuk sekarang. Travis masih sangat marah.‖
―Maksudmu dia pikir aku tidak seharusnya masuk.‖ Aku berkata.
America mengangkat bahu dengan malu, lalu memandang Shepley.
Shepley menyentuh bahuku. ―Kau tidak melakukan kesalahan, Abby.
Dia hanya...dia hanya tidak ingin bertemu denganmu saat ini.‖
―Jika aku tidak melakukan kesalahan, lalu mengapa dia tidak ingin
bertemu denganku?‖
―Aku tak tahu kenapa; dia tidak memberitahuku. Kupikir dia merasa
malu karena lepas kendali di depanmu.‖
―Dia lepas kendali di depan semua orang di kafetaria! Apa hubungannya
denganku?‖
―Lebih dari yang kau pikir,‖ Shepley berkata, menghindari tatapan
mataku.
Aku memandang mereka beberapa saat, lalu mendorong mereka untuk
lewat, berlari menaiki tangga. Aku langsung melewati pintu dan melihat
ruang tamu yang kosong. Pintu kamar Travis tertutup rapat, maka aku
mengetuk pintu.
―Travis? Ini aku, buka pintunya.‖
―Pergilah, Pidge,‖ dia bicara dari balik pintu.
Aku mengintip ke dalam dan melihat dia sedang duduk di ujung tempat
tidur, menghadap ke jendela. Toto menggaruk punggungnya, tidak
merasa senang karena di abaikan.
―Apa yang terjadi pada dirimu, Trav?‖ aku bertanya. Dia tidak
menjawab, maka aku berdiri di sampingnya, melipat tangan di dadaku.
Wajahnya tegang, tapi ekspresinya sudah tidak semenakutkan seperti
tadi di kafetaria. Dia kelihatan sedih. Sangat putus asa. ―kau tidak akan
membicarakan ini denganku?‖
Aku menunggu, namun dia tetap diam. Aku berbalik menuju pintu dan
akhirnya dia menghela nafas. ―Kau ingat kemarin saat Brazil bicara yang
tidak-tidak tentangku dan kau langsung membelaku? Well...ini
kejadiannya seperti itu. Namun aku sedikit keterlaluan.‖
―Kau sudah marah sebelum Chris mengatakan sesuatu,‖ aku berkata,
kembali duduk di sampingnya di atas tempat tidur.
Dia kembali menatap jendela. ―Aku serius dengan yang aku katakan
tadi. kau harus pergi, Pidge. Tuhan tahu aku tidak bisa pergi darimu.‖
Aku menyentuh lengannya. ―Kau tidak serius ingin aku pergi.‖
Wajah Travis kembali tegang, lalu memelukku. Dia terdiam beberapa
saat lalu mencium keningku, menekan pipinya ke pelipisku. ―Tidak
peduli seberapa kerasnya aku berusaha. kau akan membenciku setelah
aku memberitahumu.‖
Aku memeluknya. ―Kita harus bersahabat. Aku tak akan menerima kata
tidak sebagai jawaban.‖
Alisnya naik lalu dia memelukku lagi dengan kedua tangannya, sambil
tetap melihat ke jendela.
―Aku memandangimu saat kau tidur. Kau selalu terlihat sangat damai.
Aku tak pernah merasa damai seperti itu. Aku selalu merasa marah dan
kesal yang bergejolak di dalam diriku—kecuali saat aku melihatmu yang
sedang tertidur. Itu yang sedang aku lakukan saat Parker masuk,‖ dia
melanjutkan. ―Aku sudah bangun dan dia masuk, namun hanya berdiri di
pintu dengan ekspresi terkejut di wajahnya. Aku tahu apa yang dia
pikirkan, tapi aku tidak meluruskannya. Aku tidak menjelaskan karena
aku ingin dia berpikir telah terjadi sesuatu di antara kita. Sekarang
seluruh kampus berpikir kau melakukannya dengan kami berdua dalam
satu malam yang sama.‖
Toto menyeruduk ke pangkuanku, dan aku mengusap telinganya. Travis
meraih untuk membelainya sekali, lalu memegang tanganku. ―Maafkan
aku.‖
Aku mengangkat bahu. ―Jika dia percaya gosip itu, itu salahnya sendiri.‖
―Sulit untuk berpikir hal lain saat dia melihat kita di atas tempat tidur.‖
―Dia tahu aku tinggal bersamamu. Lagi pula aku masih berpakaian
lengkap.‖
Travis menghela nafas. ―Dia mungkin sudah terlalu kesal untuk
menyadarinya. Aku tahu kau sangat menyukainya, Pidge. Aku
seharusnya menjelaskan padanya. Aku berhutang begitu banyak
padamu.‖
―Itu bukan masalah.‖
―kau tidak marah?‖ dia bertanya, terkejut.
―Itukah yang tadi membuatmu kesal? kau berpikir aku akan marah
padamu setelah kau memberitahuku yang sebenarnya?‖
―Seharusnya kau marah. Jika ada seseorang yang menjatuhkan
reputasiku, aku akan sangat marah.‖
―Kau tidak peduli tentang reputasi. Apa yang terjadi dengan Travis yang
tidak peduli dengan apa yang orang lain pikirkan?‖ aku meledek sambil
menyikutnya.
―Itu sebelum aku melihat ekspresi wajahmu saat mendengar apa yang
dibicarakan semua orang. Aku tak ingin kau tersakiti karena aku.‖
―kau tidak akan pernah melakukan sesuatu yang akan menyakitiku.‖
―Aku lebih baik memotong tanganku daripada melakukannya.‖ Dia
menghela nafas. Dia meletakan pipinya di rambutku. Aku tidak
menjawab, dan Travis sepertinya sudah mengatakan semua yang ingin
dia katakan, jadi kita hanya duduk dan terdiam. Sesekali Travis
memelukku dengan erat di sampingnya. Aku berpegangan pada kaosnya,
tak tahu harus bagaimana lagi untuk membuatnya merasa lebih baik
selain hanya membiarkannya memelukku.
Ketika matahari tenggelam, aku mendengar ketukan di pintu. ―Abby?‖
suara America terdengar pelan di balik pintu.
―Masuklah, Mare,‖ Travis menjawab.
America masuk bersama dengan Shepley, dan dia tersenyum melihat
kami yang berpegangan tangan. ―Kita akan pergi makan. Kalian mau
makan di Pei Wei?‖
―Aahh…makanan Asia lagi, Mare? Serius?‖ Travis bertanya.
Aku tersenyum. Dia sudah terdengar seperti dirinya lagi.
America menyadarinya juga. ―Ya, serius. Kalian ikut atau tidak?‖
―Aku sangat lapar.‖ kataku.
―Tentu saja kau lapar, kau tidak sempat makan siang,‖ Travis berkata
sambil merengut. Dia berdiri, mengajakku bersamanya. ―Ayo kita pergi
cari makan untukmu.‖
Dia terus memelukku dan tidak melepaskannya hingga kita tiba di Pei
Wei.
Sesaat setelah Travis pergi ke kamar mandi, America mendekat. ―Jadi?
Apa yang dia katakan?‖
―Tidak mengatakan apa-apa.‖ aku mengangkat bahu.
Dia mengangkat alisnya. ―kau berada di kamarnya selama dua jam. Dia
tidak mengatakan apapun?‖
―Dia biasanya begitu kalau sedang marah.‖ Shepley berkata.
―Dia pasti mengatakan sesuatu.‖ America mendesak.
―Dia bilang dia agak kelewat batas dalam membelaku, dan bahwa dia
tidak memberitahu Parker yang sebenarnya ketika dia melihat kami.
Hanya itu,‖ kataku sambil merapikan botol garam dan merica.
Shepley menggelengkan kepala dan menutup matanya.
―Kenapa, sayang?‖ America berkata, duduk dengan tegak.
―Travis..,‖ dia menghela nafas, memutar matanya. ―Lupakan saja.‖
Ekspresi America keras kepala. ―Oh tidak, kau tidak bisa—,‖
Dia berhenti saat Travis duduk dan mengayunkan tangannya di
belakangku. ―Sialan! Makanannya belum datang juga?‖
®LoveReads

Kami tertawa dan bercanda hingga restoran tutup, lalu kita masuk ke
dalam mobil untuk pulang.
Shepley menggendong America ke atas di atas punggungnya, namun
Travis tetap diam di belakang, menarikku agar aku tidak mengikuti
mereka ke atas. Dia melihat ke atas memperhatikan mereka hingga
mereka menghilang di belakang pintu, lalu memberiku senyuman
menyesal. ―Aku berhutang permintaan maaf hari ini, jadi maafkan aku.‖
―kau sudah meminta maaf. Itu tidak apa-apa.‖
―Belum, tadi aku meminta maaf karena Parker. Aku tidak ingin kau
berpikir aku adalah orang gila yang suka menyerang orang lain hanya
karena masalah kecil,‖ dia berkata, ―tapi aku berhutang permintaan maaf
karena aku tidak membelamu untuk alasan yang tepat.‖
―Dan itu adalah…‖ aku mendesak.
―Aku menyerangnya karena dia bilang dia ingin menjadi yang
berikutnya, bukan karena dia mengganggumu.‖
―Menyindir itu ada batasnya, banyak alasan untukmu untuk
membelaku.‖
―Itu maksudku. Aku kesal karena aku menganggap dia ingin tidur
denganmu.‖
Setelah memproses apa yang Travis maksudkan, aku menarik ujung
kaosnya lalu meletakan kepalaku di dadanya. ―kau tahu? Aku tak
peduli,‖ kataku, menatap wajahnya. ―Aku tak peduli apa yang orang lain
katakan, atau saat kau kehilangan kendali, atau mengapa kau merusak
wajah Chris.
Hal yang tak ingin aku miliki adalah reputasi yang buruk, namun aku
lelah harus menjelaskan hubungan persahabatan kita pada semua orang.
Persetan dengan mereka.‖
Mata Travis melembut, dan ujung bibirnya terangkat ke atas.
―Persahabatan kita? Kadang aku bertanya kapan kau benar-benar mau
mendengarkanku.‖
―Apa maksudmu?‖
―Ayo kita masuk. Aku lelah.‖
Aku mengangguk. Dan dia memelukku di sampingnya sampai kita
masuk ke apartemen. America dan Shepley sudah masuk ke dalam
kamar tidur mereka, lalu aku mandi. Travis dan Toto menunggu di luar
saat aku mengenakan piyamaku, dalam waktu setengah jam, kami
berdua sudah berada di tempat tidur.
Aku membaringkan kepala di atas tanganku, menghembuskan nafas
panjang, mengeluarkan hembusan udara keluar. ―Hanya tinggal dua
minggu. Apa yang akan kau lakukan untuk drama ketika aku pindah
kembali ke asrama?‖
―Aku tak tahu,‖ dia berkata. Aku bisa melihat garis tersiksa di wajahnya,
meskipun di dalam kegelapan.
―Hey,‖ aku menyentuh tangannya. ―Aku hanya becanda.‖
Aku menatapnya lama, bernafas, berkedip dan berusaha untuk tenang.
Dia sedikit gelisah lalu melihat ke arahku. ―Kau percaya padaku,
Pidge?‖
―Ya, kenapa?‖
―Kemarilah,‖ dia berkata, menarikku mendekat ke arahnya. Aku menjadi
tegang beberapa saat sebelum membaringkan kepalaku di atas dadanya.
Apapun yang terjadi padanya, dia membutuhkanku di dekatnya, dan aku
merasa tidak keberatan walaupun aku menginginkannya.
Terasa sangat tepat berbaring di sampingnya.
®LoveReads
Bab 9

Janji

Finch menggelengkan kepalanya. ―Jadi, kau bersama Parker atau


Travis? Aku bingung.‖
―Parker tidak mau bicara denganku, jadi seperti mengambang di udara
saat ini,‖ aku berkata sambil memantulkan tubuhku untuk membetulkan
posisi tas ranselku.
Dia menghembuskan asap rokok, lalu mengeluarkan sepotong kecil
tembakau dari yang menempel di lidahnya. ―Jadi kau bersama Travis?‖
―Kami hanya teman, Finch.‖
―kau sadar kan semua orang berpikir bahwa kalian berdua mempunyai
semacam hubungan teman-tapi-mesra yang tidak kau akui?‖
―Aku tidak peduli. Mereka bisa berpikir apa saja yang mereka mau.‖
―Sejak kapan? Apa yang terjadi dengan Abby yang gugup, misterius,
dan selalu berhati-hati yang aku tahu dan sayangi?‖
―Dia telah mati akibat stress karena semua gosip dan asumsi yang ada.‖
―Sayang sekali. Aku akan merindukan menertawakan dirinya.‖
Aku memukul lengan Finch, dan dia pun tertawa. ―Bagus. Sudah
waktunya kau berhenti berpura-pura.‖ dia berkata.
―Maksudmu apa?‖
―Sayang, kau sedang bicara dengan orang yang hampir seumur hidupnya
berpura-pura. Aku dapat mengenalimu dari jauh.‖
―Apa yang kau maksud, Finch? Bahwa aku diam-diam menyukai sesama
jenis?‖
―Bukan, bahwa kau menyembunyikan sesuatu. Wanita yang memakai
cardigan, pendiam, dan pergi ke restoran mewah saat bersama Parker
Hayes…itu bukan dirimu. Entah itu kau penari telanjang dari kota kecil
atau kau pernah masuk klinik rehab. Tebakanku sih yang terakhir.‖
Aku tertawa terbahak-bahak. ―Kau adalah seorang tukang tebak yang
payah.‖
―Jadi, apa rahasiamu?‖
―Kalau aku memberitahumu, namanya bukan rahasia, ya kan?‖
Wajahnya dipertajam oleh seringai nakalnya. ―Aku sudah
memberitahumu rahasiaku, sekarang beritahu aku rahasiamu.‖
―Aku tidak suka menjadi orang yang membawa kabar buruk, namun
orientasi seksualmu bukanlah merupakan sebuah rahasia, Finch.‖
―Sial! Padahal kupikir aku memiliki daya tarik seksual pada diriku,‖ dia
berkata sambil menghisap rokoknya lagi.
Aku meringis sebelum aku bicara. ―Apakah kau mempunyai kehidupan
yang bahagia di rumah, Finch?‖
―Ibuku orang yang hebat…Aku dan ayahku mempunyai banyak masalah
untuk di selesaikan, tapi kami baik-baik saja saat ini.‖
―Aku mempunyai Mick Abernathy sebagai ayah.‖
―Siapa itu?‖
Aku cekikikan. ―Lihat? Itu bukan masalah besar jika kau tak tahu siapa
dia.‖
―Siapa dia?‖
―Sebuah masalah. Suka judi, minum, dan pemarah. .Itu sudah menjadi
keturunan di keluargaku. Aku dan America datang kemari agar aku
dapat memulai hidup baru, tanpa membawa stigma anak dari seorang
pemabuk seperti dulu.‖
―Seorang mantan penjudi dari Wichita?‖
―Aku lahir di Nevada. Pada saat itu, semua yang Mick sentuh selalu
berubah menjadi emas. Ketika aku berumur tiga belas tahun,
keberuntungannya berubah.‖
―Dan dia menyalahkanmu.‖
―America mengorbankan banyak hal untuk datang kemari bersamaku
agar aku dapat melarikan diri, namun saat aku tiba di sini aku bertemu
dengan Travis.‖
―Dan saat kau melihat Travis…‖
―Semua sangat familiar.‖
Finch mengangguk, membuang rokoknya ke tanah. ―Sial, Abby. Itu
menyebalkan.‖
Aku menyipitkan mataku. ―Jika kau memberitahu orang lain apa yang
aku katakan padamu, aku akan memanggil mafia. Aku kenal beberapa
dari mereka, kau tahu.‖
―Omong kosong.‖
Aku mengangkat bahu. ―Percayalah semaumu.‖
Finch memandangku curiga lalu tersenyum. ―kau adalah orang yang
paling keren yang aku kenal.‖
―Itu sangat menyedihkan, Finch. kau harus keluar lebih sering,‖ kataku,
sambil berhenti di depan pintu masuk kafetaria.
Dia mengangkat daguku ke atas. ―Semua akan berjalan dengan baik.
Aku adalah orang yang sangat percaya pada pepatah ‗semua terjadi
karena suatu alasannya‘. kau datang kemari, America bertemu dengan
Shep, kau tahu tentang The Circle, sesuatu tentangmu membuat dunia
Travis jungkir balik. Pikirkanlah,‖
Katanya sambil mendaratkan ciuman singkat di bibirku.
―Hey!‖ kata Travis. Dia memegang pinggangku, mengangkatku ke atas,
lalu menurunkanku di belakangnya.
―kau adalah orang terakhir yang aku khawatirkan akan melakukan hal
itu, Finch! Yang benar saja!‖ dia menggodanya.
Finch mendekat ke samping Travis lalu berkedip. ―Sampai nanti,
Cookie.‖
Ketika Travis melihat ke arahku, senyumnya menghilang. ―Kenapa
merengut?‖
Aku menggeleng, membiarkan adrenalin mengalir. ―Aku hanya tidak
suka dipanggil dengan sebutan itu.
Punya kenangan buruk pada nama itu.‖
―Panggilan sayang dari pendeta muda-mu?‖
―Bukan,‖ aku menggerutu.
Travis mengepalkan tinjunya. ―kau ingin aku memukuli Finch?
Memberikan pelajaran padanya? Aku akan mengalahkannya.‖
Aku tidak bisa menahan senyum. ―Jika aku ingin mengalahkan dia, aku
hanya tinggal bilang kalau Prada bangkrut, dan dia akan menyelesaikan
sendiri sisanya.‖
Travis tertawa, mendorong pintu agar terbuka. ―Ayo! Aku menjadi
kurus, di sini!‖
®LoveReads
Kami duduk di meja yang sama, saling mengejek satu sama lain, saling
cubit, menyikut tulang rusuk. Mood Travis optimis seperti saat aku
kalah taruhan. Semua orang di meja kami menyadarinya, dan saat Travis
memulai perang makanan denganku, hal itu menarik perhatian semua
orang di sekitar meja kami.
Aku memutar mataku. ―Aku merasa seperti hewan di kebun binatang.‖
Travis memandangku sebentar, menyadari semua tatapan itu, lalu
berdiri. ―I CAN‘T!‖ dia berteriak. Aku menatapnya terpesona saat
seluruh ruangan tersentak melihat ke arahnya. Travis mengayunkan
kepalanya beberapa kali mengikuti ketukan lagu di kepalanya.
Shepley menutup matanya. ―Oh, tidak.‖
Travis tersenyum. ―get no. sa..tis..faction,‖ dia bernyanyi. ―I can‘t get
no. sat-is-fac-tion. ‗Cuz I‘ve tried. .and I‘ve tried…I‘ve tried…I‘ve
tried…,‖ dia naik ke atas meja saat semua orang menatap. ―I CAN‘T
GET NO!‖
Dia menunjuk ke arah pemain football yang berada di ujung meja dan
mereka tersenyum, ―I CAN‘T GET NO!‖ mereka berteriak bersamaan.
Lalu, semua orang bertepuk tangan mengiringi.
Travis bernyanyi menaruh tangan didepannya, seolah-olah itu itu adalah
mikrofon, ―When I‘m drivin‘ in my car, and a man comes on the. ra-di-
o…he‘s tel in‘ me more and more…about some useless in-for-ma-tion!
Supposed to fire my im-agin-a-tion! I CAN‘T GET NO! Uh no, no, no!‖
dia menari melewatiku, bernyanyi ke arah mikrofon khayalannya.
Semua orang bernyanyi dalam harmoni, ―HEY, HEY, HEY!‖
―That‘s what I‘ll say!‖ Travis bernyanyi.
Travis menghentakkan pinggulnya, lalu suara siulan dan jeritan dari
beberapa para cewek di dalam ruangan terdengar. Dia berjalan
melewatiku lagi, menyanyikan chorus lagunya di bagian belakang
ruangan, para pemain football menjadi pengiringnya.
―Aku akan membantumu!‖ seorang wanita berteriak dari belakang.
―…‘cuz I tried, and I tried, and I tried…‖ dia bernyanyi.
―I CAN‘T GET NO! I CAN‘T GET NO!‖ penyanyi latarnya bernyanyi.
Travis berhenti di hadapanku dan membungkuk ke bawah. ―When I‘m
watchin‘ my tv…and a….man comes on and tel s me…how white my
shirt can be! Wel he can‘t be a man, ‗cause he doesn‘t smoke…the same
cigarettes as me! I can‘t…get no! Uh no, no, no!‖
Semua orang bertepuk tangan mengiringi dan para pemain football
bernyanyi, ―HEY, HEY, HEY!‖
―That‘s what I‘ll say!‖ Travis bernyanyi, menunjuk ke arah penontonnya
yang bertepuk tangan. Beberapa orang berdiri dan menari bersamanya,
tapi kebanyakan hanya melihat dengan terpesona dan merasa terhibur.
Dia melompat ke meja sebelah dan America menjerit dan bertepuk
tangan, menyikutku. Aku menggelengkan kepalaku; aku seperti mati dan
terbangun di High School Musical.
Para pemain football menyenandungkan nada dasar, ―Na, na, nanana!
Na, na, na! Na, na, nanana!‖
Travis mengangkat tinggi mikrofon khayalannya, ―When I‘m…ridin‘
‗round the world…and I‘m doin‘ this…and I‘m signin‘ that!‖
Dia melompat turun, lalu mendekati wajahku melewati meja, ―And I‘m
tryin‘ to make some girl…tel me, uh baby better come back, maybe next
week, ‗cuz you see I‘m. On. A losin‘ streak! I CAN‘T GET NO! Uh no,
no, no!‖
Seluruh ruangan bertepuk tangan mengikuti ketukan, para pemain
football meneriakkan bagiannya, ―HEY, HEY, HEY!‖
―I can‘t get no! I can‘t get no! Satis-faction!‖ dia bersenandung ke
arahku, tersenyum dan terengah.
Satu ruangan bertepuk tangan, dan bahkan ada beberapa orang yang
bersiul. Aku menggeleng setelah dia mencium dahiku, lalu dia berdiri
dan membungkuk memberi hormat.
Ketika dia kembali ke tempat duduknya di depanku, dia cekikikan.
―Mereka sekarang tidak lagi menatapmu, ya kan?‖ dia terengah-engah.
―Terima kasih. kau seharusnya tidak perlu melakukan itu,‖ aku
tersenyum.
―Abs?‖
Aku melihat ke atas dan melihat Parker berdiri di ujung meja. Semua
mata menatap ke arahku sekali lagi.
―Kita harus bicara,‖ Parker berkata, terlihat gugup. Aku melihat ke arah
America, Travis, lalu kembali ke arah Parker. ―Aku mohon?‖ dia
berkata, memasukkan tangannya ke dalam sakunya.
Aku mengangguk, mengikutinya ke luar. Dia berjalan melewati jendela
untuk mendapat privasi di samping gedung. ―Aku tidak bermaksud
untuk menarik perhatian kembali padamu. Aku tahu betapa kau
membencinya.‖
―Maka seharusnya kau menelepon saja jika kau ingin bicara,‖ aku
berkata.
Dia mengangguk, lalu melihat ke bawah. ―Aku tidak sengaja melihatmu
di kafetaria. Aku menyaksikan kegaduhan tadi, lalu melihatmu dan aku
langsung masuk. Maafkan aku.‖
Aku menunggu, lalu dia bicara lagi, ―Aku tak tahu apa yang terjadi
antara kau dan Travis. Itu bukan urusanku…Kita baru berkencan
beberapa kali. Awalnya aku sempat merasa kesal namun aku kemudian
menyadari bahwa itu tidak akan menggangguku jika aku tidak
menyukaimu.‖
―Aku tidak tidur dengannya, Parker. Dia memegangi rambutku saat aku
memuntahkan segelas Petron di toiletnya. Hanya seromantis itu.‖
Dia tertawa sekali. ―Aku pikir kita tidak mendapat kesempatan yang
adil…tidak saat kau tinggal bersama Travis. Sebenarnya, Abby, aku
menyukaimu. Aku tak tahu mengapa tapi aku tidak bisa berhenti
memikirkan dirimu.‖ Aku tersenyum dan dia memegang tanganku,
menyentuh gelangku dengan jarinya. ―Aku mungkin menakutimu
dengan hadiah bodoh ini, tapi aku belum pernah berada dalam situasi
seperti ini sebelumnya.
Aku merasa aku selalu harus bersaing dengan Travis untuk menarik
perhatianmu.‖
―Kau tidak menakutiku dengan gelang ini.‖
Dia menutup rapat bibirnya. ―Aku ingin mengajakmu berkencan lagi dua
minggu dari sekarang, setelah taruhanmu dengan Travis berakhir. Pada
saat itu kita bisa berkonstrasi untuk saling mengenal satu sama lain tanpa
gangguan.‖
―Cukup adil.‖
Dia mendekat dan menutup matanya, lalu mencium bibirku. ―Aku akan
meneleponmu secepatnya.‖
Aku melambaikan tangan saat berpisah dengannya, lalu kembali ke
kafetaria, melewati Travis.
Dia memegangku, menarikku ke pangkuannya. ―Putus cinta itu sulit
ya?‖
―Dia ingin mencoba lagi kalau aku sudah kembali ke asrama.‖
―Sialan, aku harus mulai memikirkan taruhan lainnya,‖ dia berkata,
menarik piringku ke hadapanku.
®LoveReads
Dua minggu berikutnya berlalu dengan cepat. Selain untuk kuliah, aku
menghabiskan semua waktuku bersama Travis, dan kebanyakan kami
habiskan berdua. Dia membawaku pergi makan malam, minum, dan
berdansa di The Red, bowling, dan dia dipanggil untuk bertarung dua
kali. Saat kami tidak sedang menertawakan kebodohan kami sendiri,
Kami bermain gulat, atau meringkuk di sofa bersama Toto, menonton
film. Dia membuktikan maksudnya untuk mengacuhkan semua wanita
yang menggodanya, dan semua orang membicarakan Travis yang baru.
Malam terakhirku di apartemen, America dan Shepley entah mengapa
tidak ada, dan Travis berusaha mengadakan makan malam terakhir yang
spesial. Dia membeli wine, menyusun serbet di meja, dan bahkan
membeli peralatan makan perak yang baru untuk acara ini. Dia menaruh
piring kami di meja tempat kami sarapan dan menarik bangkunya ke sisi
lainnya dari meja agar duduk berhadapan denganku. Untuk pertama
kalinya, aku mendapat firasat kuat kalau kami sedang berkencan.
―Ini sangat enak, Trav. kau tidak memberitahu sebelumnya kalau kau
pandai memasak,‖ aku berkata sambil mengunyah Cajun Chicken Pasta
yang dia masak.
Dia memaksakan satu senyuman, dan aku dapat melihat bahwa dia
berusaha untuk membuat percakapan tetap santai. ―Jika aku
memberitahumu sebelumnya, kau akan mengharapkan ini setiap
malam.‖
Senyumnya menghilang dan matanya menatap meja.
Aku memutar-mutar makanan dalam piringku. ―Aku akan
merindukanmu, juga, Trav.‖
―kau akan tetap datang berkunjung, kan?‖
―kau tahu aku akan datang berkunjung. Dan kau akan ke asrama untuk
membantuku belajar seperti sebelumnya.‖
―Tapi itu tidak akan sama,‖ dia menghela nafas. ―kau akan berkencan
dengan Parker, kita akan sibuk…berjalan ke arah yang berbeda.‖
―Tidak akan berubah sebanyak itu.‖
Dia berhasil tersenyum. ―Siapa yang akan mengira pada saat kita
bertemu pertama kali bahwa kita akan duduk di sini? kau seharusnya
memberitahuku tiga bulan yang lalu bahwa aku akan menderita seperti
ini karena mengucapkan selamat tinggal pada seorang gadis.‖
Perutku merosot. ―Aku tidak ingin kau menderita.‖
―Maka, jangan pergi,‖ dia berkata. Ekspresinya sangat putus asa
mengakibatkan rasa bersalah membentuk gumpalan di tenggorokanku.
―Aku tidak bisa pindah ke sini, Travis. Itu gila.‖
―Kata siapa? Aku baru saja merasakan dua minggu terindah dalam
hidupku.‖
―Aku juga.‖
―Lalu mengapa aku merasa seperti tidak akan pernah melihatmu lagi?‖
Aku tidak mempunyai jawaban. Wajahnya tegang, namun dia tidak
marah. Dorongan untuk meghampirinya sangat kuat, maka aku berdiri
dan berjalan mengitari meja, duduk di pangkuannya. Dia tidak
menatapku, maka aku memeluk lehernya, menempelkan pipiku ke
pipinya.
―kau akan menyadari betapa menyebalkannya aku, lalu kau akan
melupakan semua tentang merindukan diriku,‖ kataku di telingannya.
Dia menghembuskan nafasnya ke udara saat mengusap punggungku.
―Janji?‖
Aku bersandar dan menatap matanya, menyentuh wajahnya dengan
tanganku. Aku membelai rahangnya dengan ibu jariku; ekspresinya
sangat menghancurkan hati. Aku menutup mataku dan mendekat untuk
mencium ujung bibirnya, namun dia berpaling sehingga aku mencium
bibirnya lebih dari yang dimaksud.
Meskipun ciuman ini membuatku terkejut, aku tidak langsung mundur.
Travis membiarkan bibirnya di atas bibirku, namun dia tidak bertindak
lebih jauh.
Aku akhirnya menjauh, lalu tersenyum. ―Besok hari yang besar untukku.
Aku akan membereskan dapur lalu pergi tidur.‖
―Aku akan membantumu,‖ dia berkata.
®LoveReads

Kami mencuci piring bersama sambil terdiam membisu, dan Toto


tertidur di bawah kaki kami. Dia mengeringkan piring terakhir dan
menaruhnya di rak, lalu menuntunku menelusuri lorong, memegang
tanganku sedikit terlalu erat. Jarak antara ujung lorong dengan kamarnya
tampak dua kali lebih jauh. Kami berdua tahu bahwa perpisahan hanya
tinggal beberapa jam lagi.
Dia bahkan tidak berusaha berpura-pura tidak melihat saat aku
mengganti pakaianku ke dalam salah satu kaos tidurnya. Dia membuka
pakaiannya sehingga tinggal memakai celana boxernya, lalu masuk ke
bawah selimut, menungguku bergabung dengannya.
Setelah aku naik, Travis mematikan lampu, dan menarikku mendekat
padanya tanpa meminta izin atau permintaan maaf. Dia menegangkan
tangannya dan menghela nafas, dan aku meletakkan wajahku di
lehernya. Aku menutup mataku rapat, berusaha untuk menikmati saat
ini. Aku tahu aku akan mengharapkan momen ini terulang lagi setiap
hari selama hidupku, maka aku menjalaninya dengan semua yang aku
punya.
Dia menatap keluar jendela. Pepohonan membuat bayangan di
wajahnya. Travis menutup rapat matanya, dan perasaan tenggelam
menetap di diriku. Sangat menyakitkan melihatnya menderita,
mengetahui bukan hanya aku yang mengakibatkannya…aku juga satu-
satunya yang dapat menghilangkannya.
―Trav? Apa kau baik-baik saja?‖ aku bertanya.
Ada jeda yang cukup lama sebelum akhirnya dia berbicara. ―Aku tidak
pernah merasa kurang baik dari ini selama hidupku.‖
Aku menekan dahiku pada lehernya, dan dia memelukku lebih erat. ―Ini
sangat konyol,‖ kataku.
―Kita tetap akan bertemu setiap hari.‖
―kau tahu itu tidak benar.‖
Besarnya rasa duka yang kami berdua rasakan telah menghancurkan
kami, dan kebutuhan tak tertahankan untuk menyelamatkan kami berdua
muncul di dalam diriku.
Aku mengangkat dahuku, namun ragu; apa yang akan aku lakukan akan
merubah segalanya. Aku beralasan bahwa Travis menganggap hubungan
intim bukan apa-apa selain hanya untuk menghabiskan waktu, lalu aku
menutup mataku lagi dan menelan rasa takutku. Aku harus melakukan
sesuatu, mengetahui kami berdua masih terbangun, takut pada setiap
menit yang berlalu hingga pagi.
Hatiku berdebar kencang saat aku menyentuh lehernya dengan bibirku,
lalu merasakan kulitnya dalam ciuman pelan dan lembut. Dia melihat ke
bawah dengan rasa terkejut, lalu matanya melembut saat menyadari apa
yang aku inginkan.
Dia mendekat, menekan bibirnya di bibirku dengan rasa manis yang
lembut. Kehangatan dari bibirnya mengalir sampai kakiku, dan aku
menariknya lebih dekat.
Sekarang setelah kami mengambil langkah pertama, aku tidak punya
keinginan untuk menghentikannya.
Aku membuka bibirku, membiarkan lidah Travis masuk. ―Aku
menginginkanmu,‖ aku berkata.
Tiba-tiba, ciumannya menjadi pelan, dan dia berusaha menjauh.
Bertekad untuk menyelesaikan apa yang aku mulai, mulutku
menciumnya lebih gugup lagi. Akibatnya, Travis mundur hingga dia
berlutut. Aku bangkit mengikutinya, menjaga agar mulut kami tetap
menyatu.
Dia mencengkeram ke dua bahuku untuk menahanku. ―Tunggu
sebentar,‖ dia berbisik dengan senyuman senang di wajahnya, terengah-
engah. ―kau tidak harus melakukan ini, Pidge. Ini bukan maksud dari
malam ini.‖
Dia menahan, namun aku dapat melihat di matanya bahwa pengendalian
dirinya tidak akan bertahan lama.
Aku mendekat lagi, dan kali ini tangannya memberi jalan untuk bibirku
menyentuh bibirnya. ―Jangan membuatku memohon.‖ Aku berbisik di
mulutnya.
Dengan empat kata itu, keberatannya hilang. Dia menciumku, dengan
keras dan bersemangat. Jariku menelusuri punggungnya dan berhenti di
atas karet celana boxernya, dengan gugup menelusuri celana boxernya.
Bibirnya menjadi tidak sabar, lalu, aku terjatuh di tempat tidur saat dia
menindihku. Lidahnya menemukan jalannya untuk masuk sekali lagi,
dan ketika aku mendapat keberanian untuk memasukan tanganku di
antara kulit dan celana boxernya, dia mengerang.
Travis menarik lepas kaos dari atas kepalaku, lalu tangannya dengan
tidak sabar bergerak ke bagian bawahku, memegang celana dalamku dan
melepasnya dari kakiku dengan satu tangan. Bibirnya kembali ke bibirku
saat tangannya meluncur ke dalam pahaku, dan aku mengeluarkan nafas
panjang yang terengah saat jarinya mengembara di tempat di mana tidak
ada seorang priapun yang pernah menyentuhnya sebelumnya. Lututku
terangkat dan mengejang pada setiap gerakan tangannya, dan saat aku
mencengkeram kulitnya, dia memposisikan dirinya di atasku.
―Pidgeon.‖ Dia berkata, terengah, ―Ini tidak harus malam ini. Aku akan
menunggu hingga kau siap.‖
Aku melihat ke atas kepalaku dan meraih laci teratas di meja lampu
tidurnya, menariknya hingga terbuka.
Merasakan plastik di antara jariku, aku meletakkan ujungnya di bibirku,
merobek bungkusnya terbuka menggunakan gigiku. Tangannya yang
bebas meninggalkan punggungku, dan dia menurunkan celana boxernya,
menendangnya lepas seolah dia tidak tahan itu berada di antara kami.
Bungkusnya bergemericik di ujung jarinya, dan setelah beberapa saat,
aku merasakannya di antara pahaku.
Aku menutup mataku.
―Tataplah aku, Pigeon.‖
Aku menatapnya, matanya tajam dan lembut pada saat yang sama. Dia
memiringkan kepalanya, berbaring mendekat untuk menciumku dengan
lembut, lalu tubuhnya menjadi tegang, mendorong dirinya ke dalam
diriku dengan gerakan kecil dan pelan. Ketika dia menarik kembali, aku
menggigit bibirku karena merasa tidak nyaman; saat dia bergoyang ke
dalam tubuhku lagi, aku menutup rapat mataku karena kesakitan.
Pahaku menjadi tegang di sekeliling pinggangnya, dan dia menciumku
lagi.
―Tataplah aku,‖ dia berbisik.
Ketika aku membuka mataku, dia menekan ke dalam lagi, dan aku
menjerit karena itu mengakibatkan rasa terbakar yang nikmat. Setelah
aku tenang, gerakan tubuhnya dan tubuhku menjadi lebih berirama.
Rasa gugup yang awalnya aku rasakan telah hilang, dan Travis
mencengkeram kulitku seolah dia tidak pernah merasa cukup. Aku
menariknya masuk kedalam diriku, dan dia mengerang ketika itu terasa
semakin nikmat.
―Aku menginginkanmu sudah sangat lama, Abby. Hanya kau yang aku
inginkan,‖ dia bernafas di mulutku.
Dia memegang pahaku dengan satu tangan dan menyangga tubuhnya
dengan sikunya, hanya beberapa inchi di atasku. Keringat tipis mulai
menetes di atas kulit kami, dan aku mengangkat punggungku saat
bibirnya menelusuri wajahku lalu ke leherku.
―Travis,‖ aku mendesah.
Saat aku menyebut namanya, dia menekan pipinya di pipiku, dan
gerakannya menjadi semakin keras. Suara dari tenggorokannya semakin
kencang, dan dia akhirnya menekan di dalam diriku sekali lagi,
mengerang, dan bergetar di atas tubuhku.
Setelah beberapa saat, dia menjadi tenang dan membuat nafasnya
teratur.
―Tadi itu adalah ciuman pertama yang hebat,‖ aku berkata dengan
sedikit lelah, dengan ekspresi rasa puas.
Dia mengamati wajahku dan tersenyum. ―Ciuman pertama terakhirmu.‖
Aku terlalu terkejut untuk menjawab.
Dia ambruk telungkup di sampingku, membentangkan tangannya di atas
pinggangku, meletakkan dahinya di dekat pipiku. Jariku bergerak
menelusuri kulit punggung telanjangnya hingga aku mendengar
nafasnya semakin pelan.
Aku tetap terjaga selama beberapa jam, mendengarkan nafas Travis
yang dalam dan angin menggerakkan pepohonan di luar. America dan
Shepley masuk lewat pintu depan dengan pelan, lalu aku mendengar
langkah jinjit mereka di sepanjang lorong, bergumam satu sama lain.
Kami sudah mengepak barang-barangku tadi, aku meringis
membayangkan akan merasa tidak nyaman nanti pagi. Kupikir setelah
Travis tidur denganku, rasa penasarannya akan terpuaskan, namun dia
justru membicarakan tentang selamanya. Mataku langsung tertutup
karena memikirkan ekspresinya saat mengetahui apa yang telah terjadi
di antara kami bukan merupakan suatu permulaan, namun penutupan.
Aku tidak bisa menjalani hubungan itu dan dia akan membenciku saat
aku memberitahunya.
Aku bergerak keluar dari bawah tangannya lalu berpakaian, membawa
sepatuku keluar menuju kamar Shepley. America sedang duduk di
tempat tidur dan Shepley sedang membuka kaosnya di depan lemari.
―Semua baik-baik saja, Abby?‖ Shepley bertanya.
―Mare?‖ aku berkata, memberinya tanda untuk mengikutiku ke lorong.
Dia mengangguk, melihatku dengan tatapan curiga. ―Apa yang terjadi?‖
―Aku ingin kau mengantarku ke asrama sekarang. Aku tidak bisa
menunggu sampai besok.‖
Satu sudut wajahnya terangkat karena senyuman. ―kau tidak pernah bisa
menangani perpisahan.‖
Shepley dan America membantuku membawa tasku, dan aku
memandang keluar jendela mobil America dalam perjalananku menuju
asrama. Saat kami menurunkan tas terakhir di kamarku, America
memegangku.
―Akan terasa sangat berbeda sekarang di apartemen.‖
―Terima kasih sudah mengantarku pulang. Matahari akan terbit beberapa
jam lagi. Sebaiknya kau pergi,‖ aku berkata sambil meremas tangannya
sekali lagi sebelum melepaskannya.
America tidak melihat ke belakang lagi saat dia meninggalkan kamar,
dan aku menggigit bibirku dengan gugup, menyadari akan sangat
marahnya dia saat dia menyadari apa yang telah aku lakukan.
Kaosku mengeluarkan suara seperti sobek saat aku menariknya dari atas
kepalaku, listrik statis di udara telah meningkat karena musim dingin
yang semakin dekat. Merasa sedikit tersesat, aku meringkuk di bawah
selimut tebalku, dan menarik nafas melalui hidungku; aroma wangi
tubuh Travis masih terasa di kulitku.
Tempat tidur terasa dingin dan asing, sangat kontras dengan kehangatan
tempat tidurnya Travis. Aku telah menghabiskan tiga puluh hari di
apartemen sempit dengan lelaki brengsek yang paling terkenal di
Eastern, meskipun dengan semua pertengkaran dan ‗tamu tengah
malam‘, di sanalah satu-satunya tempat di mana aku ingin berada.
®LoveReads

Telepon berbunyi mulai dari jam delapan pagi, lalu menjadi setiap lima
menit sekali selama satu jam.
―Abby!‖ Kara mengeluh. ―Angkat telepon bodohmu!‖
Aku meraih teleponku dan mematikannya. Sesaat setelah aku mematikan
teleponku aku mendengar ada yang menggedor pintu dan aku menyadari
aku tidak akan bisa menghabiskan hariku di atas tempat tidur seperti
yang sudah aku rencanakan.
Kara membuka pintu. ―Apa?‖
America mendorongnya lalu masuk melewatinya, dan berdiri di samping
tempat tidurku. ―Sialan, apa sih yang terjadi?‖ dia membentak. Matanya
merah dan bengkak, dan dia masih memakai piyamanya.
Aku bangun. ―Kenapa, Mare?‖
―Travis mengamuk! Dia tidak mau memberitahu kami, dia
menghancurkan apartemen, melempar stereo ke seberang ruangan. .Shep
tidak bisa membujuknya!‖
Aku menggosok mata dengan telapak tanganku, lalu berkedip. ―Aku
tidak tahu.‖
―Omong kosong! kau akan memberitahuku apa yang telah terjadi, dan
kau akan memberitahukannya sekarang!‖
Kara mengambil peralatan mandinya lalu pergi. Dia membanting pintu
di belakangnya, dan aku merengut, khawatir dia akan memberitahu
penasehat mahasiswa, atau lebih parah lagi, memberitahu Dekan
mahasiswa.
―Pelankan suaramu, America, ya Tuhan,‖ aku berbisik.
Dia menutup rapat bibirnya. ―Apa yang telah kau lakukan?‖
Kupikir dia hanya akan marah padaku; aku tak tahu dia akan mengamuk.
―Aku…tidak tahu,‖ aku menelan ludah.
―Dia melayangkan tinjunya ke arah Shepley ketika dia tahu kami
membantumu pergi. Abby! Kumohon beritahu aku!‖ Matanya berkaca-
kaca. ―Itu menakutiku.‖
Rasa ngeri di matanya membuatku memberitahukan hanya sebagian dari
yang terjadi sebenarnya. ―Aku hanya tidak dapat mengucapkan selamat
tinggal. kau tahu itu berat untukku.‖
―Bukan itu, pasti ada yang lain, Abby. Dia menjadi gila! Aku
mendengarnya memanggil namamu, lalu dia berlari ke seluruh sudut
apartemen mencari dirimu. Dia menerobos masuk ke kamar Shepley,
memaksa ingin mengetahui keberadaanmu. Lalu dia mencoba
meneleponmu. Lagi, dan lagi dan lagi,‖ dia menghela nafas.
―Wajahnya sangat. ya Tuhan, Abby. Aku belum pernah melihatnya
seperti itu.
Dia merobek sprei tempat tidurnya, lalu melemparnya, melempar
bantalnya, menghancurkan cerminnya dengan tinjunya, menendang
pintu…melepasnya dari engsel! Itu adalah kejadian yang paling
menakutkan dalam hidupku!‖
Aku menutup mataku, sehingga air mata di ujung mataku turun ke
pipiku.
America memberikan teleponnya padaku. ―kau harus meneleponnya.
kau setidaknya harus memberitahunya bahwa kau baik-baik saja.‖
―Ok, aku akan meneponnya.‖
Dia menyodorkan teleponnya lagi padaku. ―Tidak, kau harus
meneleponnya, sekarang.‖
Aku mengambil teleponnya dan menekan tombolnya, berusaha
memikirkan apa yang bisa aku katakan padanya. Dia merebut
teleponnya dari tanganku, menekan nomor lalu menyerahkannya
padaku. Aku memegang telepon di telingaku, dan mengambil nafas
panjang.
―Mare?‖ Travis menjawab teleponnya, suaranya sangat cemas.
―Ini aku.‖
Teleponnya hening sesaat sebelum akhirnya dia mulai bicara. ―Apa yang
terjadi padamu tadi malam? Aku terbangun pagi ini, kau tidak ada dan
kau…pergi begitu saja tanpa mengucapkan selamat tinggal?
Mengapa?‖
―Maafkan aku. Aku—,‖
―kau minta maaf? Aku menjadi gila! kau tidak menjawab teleponmu,
menyelinap pergi dan, apa—kenapa?
Kupikir kita akhirnya menyadari semuanya!‖
―Aku hanya membutuhkan waktu untuk berpikir.‖
―Berpikir tentang apa?‖ dia terhenti. ―Apa aku telah menyakitimu?‖
―Tidak! Bukan itu! Aku benar-benar..benar-benar minta maaf. Aku
yakin America telah memberitahumu. Aku tidak mampu mengucapkan
selamat tinggal.‖
―Aku harus bertemu denganmu,‖ dia berkata, suaranya terdengar putus
asa.
Aku menghela nafas. ―Banyak yang harus aku kerjakan hari ini. Aku
harus membongkar barangku dan aku punya setumpuk baju yang harus
di cuci.‖
―kau menyesalinya,‖ dia berkata, suaranya terdengar hancur.
―Bukan…bukan karena itu. Kita berteman. Dan itu tidak akan berubah.‖
―Berteman? Lalu kau pikir tadi malam itu apa?‖ dia berkata, kemarahan
terdengar dalam suaranya.
Aku menutup rapat mataku. ―Aku tahu apa yang kau inginkan. Aku
hanya tidak bisa….melakukannya saat ini.‖
―Jadi kau hanya membutuhkan waktu?‖ dia bertanya dengan suara yang
lebih tenang. ―Kau seharusnya memberitahuku. kau tidak perlu lari
dariku.‖
―Itu adalah cara yang paling mudah.‖
―Paling mudah untuk siapa?‖
―Aku tidak bisa tidur. Aku terus berpikir tentang bagaimana rasanya
nanti pagi, saat memasukkan tasku ke dalam mobil America dan…aku
tidak bisa melakukannya, Trav,‖ Kataku.
―Itu sudah cukup buruk bahwa kau tidak akan berada di sini lagi. kau
tidak bisa langsung menghilang dari hidupku.‖
Aku memaksakan diri untuk tersenyum. ―Kita akan bertemu besok. Aku
tidak ingin semua jadi aneh, OK? Aku hanya ingin memikirkan beberapa
masalah dulu. Hanya itu.‖
―OK,‖ dia berkata.‖Aku bisa melakukan itu.‖
Aku menutup telepon, dan America membelalak ke arahku. ―kau
TIDUR dengannya? Sialan kau! kau bahkan tidak akan
memberitahuku?‖
Aku memutar mataku dan ambruk di atas bantal. ―Ini bukan tentang
dirimu, Mare. Ini menjadi satu masalah sulit dan rumit.‖
―Apanya yang sulit tentang itu? Kalian berdua seharusnya sangat
bahagia, bukannya merusak pintu atau bersembunyi di kamarmu!‖
―Aku tidak boleh bersamanya,‖ aku berbisik, terus memandangi langit-
langit.
Tangannya memegang tanganku, dia bicara dengan lembut. ―Bersama
Travis memang butuh banyak usaha.
Percayalah padaku, aku mengerti pada semua rasa ragumu padanya, tapi
lihat bagaimana dia telah berubah begitu banyak untukmu. Pikirkan
tentang dua minggu yang lalu, Abby. Dia tidak seperti Mick.‖
―Aku yang seperti Mick! Aku terlibat dengan Travis dan semua yang
telah kami lakukan…lenyap!‖ aku menjentikkan jariku. ―Begitu saja!‖
―Travis tidak akan membiarkan itu terjadi.‖
―Itu bukan tergantung padanya sekarang, ya kan?‖
―kau akan menghancurkan hatinya, Abby. kau akan menghancurkan
hatinya! Satu-satunya wanita yang dia percaya untuk dicintai, dan kau
akan sangat menyakitinya!‖
Aku berpaling darinya, tidak mampu melihat ekspresinya yang datang
bersamaan dengan nada pembelaan di suaranya.
―Aku ingin akhir yang bahagia. Itu alasan kita datang kemari.‖
―kau tidak harus melakukan ini. Semua akan berjalan lancar.‖
―Hingga keberuntunganku habis.‖
America mengangkat tangannya ke atas, dan menjatuhkannya di
pangkuannya. ―Ya Tuhan, Abby, jangan bicara tentang omong kosong
itu lagi. Kita sudah membahasnya tentang ini.‖
Teleponku berbunyi, dan aku melihat nama di layarnya. ―Itu Parker.‖
Dia menggelengkan kepalanya. ―Kita masih belum selesai bicara.‖
―Halo?‖ aku menjawab, menghindari tatapan America.
―Abs! Ini hari pertama dari kebebasanmu! Bagaimana rasanya?‖ dia
berkata.
―Itu terasa…bebas,‖ aku berkata, tidak bisa mengeluarkan sedikit pun
nada antusias.
―Makan malam besok malam? Aku merindukanmu.‖
―Ya,‖ aku mengelap hidungku dengan tangan bajuku. ―Besok
kedengaran sempurna.‖
Setelah aku menutup telepon, America merengut. ― Travis akan bertanya
padaku saat aku pulang,‖ dia berkata. ―Dia akan bertanya apa saja yang
kita bicarakan. Apa yang harus aku katakan padanya?‖
―Katakan padanya bahwa aku menepati janjiku. Saat besok tiba, dia
tidak akan merindukanku.‖
®LoveReads
Bab 10

Wajah Tanpa Ekspresi

Dua meja di depan, satu meja di belakang. America dan Shepley hampir
tidak terlihat dari tempat aku duduk, dan aku membungkuk, melihat
Travis menatap kursi kosong tempat aku biasa duduk sebelum dia duduk
di ujung meja. Aku merasa konyol karena bersembunyi, tapi aku merasa
belum siap untuk duduk di hadapannya selama satu jam penuh. Ketika
aku telah menghabiskan makananku, aku mengambil nafas panjang dan
melangkah keluar ke arah Travis yang sedang menghabiskan rokoknya.
Aku telah menghabiskan sepanjang malam berusaha untuk membuat
satu rencana yang akan membawa kami pada keadaan sebelumnya. Jika
aku menganggap pertemuan kami seperti dia menganggap seks adalah
hal yang biasa, aku akan mempunyai kesempatan yang lebih baik.
Semua rencanaku beresiko akan kehilangan dia, tapi aku harap ego
lelakinya yang besar akan memaksanya untuk menerima itu seperti hal
yang biasa juga.
―Hai,‖ aku tersenyum.
Dia menyeringai. ―Hai. Kupikir kau sedang makan siang.‖
―Aku buru-buru, harus belajar,‖ aku mengangkat bahu, berusaha sebaik
mungkin terlihat biasa.
―Butuh bantuan?‖
―Itu mata kuliah Kalkulus. Kupikir aku bisa mengatasinya.‖
―Aku bisa datang hanya untuk memberikan bantuan moral.‖ dia
tersenyum, memasukan tangannya ke dalam saku. Ototnya yang kekar di
tangannya menjadi tegang karena melakukan itu, dan memikirkannya
meregang ketika dia mendorong dirinya masuk kedalam diriku berputar
kembali dengan jelas di dalam kepalaku.
―Ehm..apa?‖ aku bertanya, bingung karena pikiran erotis yang tiba-tiba
terlintas di pikiranku.
―Apakah kita harus berpura-pura yang terjadi kemarin malam tidak
pernah terjadi?‖
―Tidak, kenapa?‖ aku pura-pura bingung dan dia menghela nafas,
frustrasi karena kelakuanku.
―Aku tak tahu…karena aku mengambil keperawananmu?‖ dia mendekat
ke arahku, mengatakan kata itu dengan suara berbisik.
Aku memutar mataku. ―Aku yakin itu bukan pertama kalinya kau
mengambil keperawanan seorang cewek, Trav.‖
―Seperti yang aku takutkan, sikapku yang seperti tidak terjadi apapun
telah membuatnya marah.‖
―Sebenarnya, itu adalah yang pertama.‖
―Ayolah…aku sudah bilang aku tidak ingin kita jadi canggung.‖
Travis mengambil satu lagi hisapan terakhir rokoknya lalu
membuangnya ke bawah. ―Well, jika aku telah belajar sesuatu beberapa
hari terakhir ini, itu adalah bahwa kita tidak selalu mendapat apa yang
kita inginkan.‖
―Hai, Abs,‖ Parker berkata sambil mencium pipiku.
Travis melotot ke arah Parker dengan ekspresi kejam.
―Aku akan menjemputmu sekitar jam enam?‖ kata Parker.
Aku mengangguk. ―Jam enam.‖
―Sampai bertemu sebentar lagi,‖ dia berkata, berjalan menuju kelasnya.
Aku memperhatikan dia pergi, takut pada konsekuensi yang akan di
dapat karena sepuluh detik terakhir tadi.
―Kau akan pergi kencan bersamanya malam ini?‖
Travis mendesis marah. Mulutnya tertutup rapat, dan aku dapat melihat
dia menggertakkan gigi di bawah kulitnya.
―Aku sudah bilang padamu dia akan mengajakku kencan lagi setelah aku
kembali ke asrama. Dia meneleponku kemarin.‖
―Apakah kau tidak berpikir semua sedikit berubah setelah pembicaraan
itu?‖
―kenapa?‖
Dia pergi menjauhiku, dan aku menelan ludah, berusaha menahan air
mata yang akan menetes.
Travis berhenti dan kembali, mendekat pada wajahku. ―Itu sebabnya kau
berkata aku tidak akan merindukanmu lagi setelah hari ini! Kau tahu
bahwa aku akan mengetahui tentang kau dan Parker, dan kau pikir aku
akan…apa? Melupakanmu? kau tidak percaya padaku, atau karena aku
kurang pantas untukmu? Beritahu aku, sialan! Beritahu apa yang telah
aku lakukan padamu yang membuatmu melakukan ini padaku!‖
Aku berdiri tegak, menatap langsung ke matanya. ―Kau tidak melakukan
apapun padaku. Sejak kapan seks menjadi masalah hidup dan mati
untukmu?‖
―Sejak itu bersamamu!‖
Aku melihat sekeliling, menyadari kalau kami menarik perhatian orang
lain. Orang-orang berjalan pelan, menatap dan berbisik satu sama lain.
Aku rasa telingaku menjadi merah, dan menyebar ke wajahku, membuat
mataku berair.
Dia menutup matanya, berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum
mulai bicara lagi. ―Apa memang begitu? Kau pikir itu tidak berarti
apapun bagiku?‖
―Kau adalah Travis Maddox.‖
Dia menggelengkan kepalanya, merasa jijik.
―Kalau aku tidak tahu lebih baik, aku akan berpikir kau sedang
mengingatkan aku akan masa laluku.‖
―Kupikir empat minggu yang lalu bukan merupakan masa lalu.‖
Wajahnya mengernyit dan aku tertawa. ―Aku bercanda! Travis, semua
baik-baik saja. Aku baik-baik saja, kau baik-baik saja. Tidak perlu
terlalu membesar-besarkan masalah ini.‖
Semua amarah hilang dari wajahnya lalu dia mengambil nafas panjang
dari hidungnya. ―Aku tahu apa yang sedang kau lakukan.‖ Matanya
menerawang sesaat, terhanyut dalam pikirannya sendiri.
―Aku harus membuktikannya padamu kalau begitu.‖ Matanya tajam saat
melihat ke dalam mataku, bertekad seperti saat sebelum dia bertarung.
―Jika kau pikir aku akan langsung kembali berhubungan seks dengan
semua orang, kau salah. Aku tidak menginginkan orang lain. Kau ingin
kita hanya berteman? Baiklah, kita berteman. Tapi kau dan aku tahu apa
yang telah terjadi bukan hanya sekedar seks.‖
Dia bergegas pergi melewatiku dan aku menutup mataku,
menghembuskan nafas yang tanpa aku sadari telah aku tahan. Travis
memandang kembali ke arahku, lalu melanjutkan langkahnya menuju
kelas selanjutnya. Air mata yang tidak dapat aku tahan turun di pipiku
dan aku langsung menghapusnya. Pandangan ingin tahu dari teman
sekelasku menusuk tajam di punggungku saat aku bersusah payah masuk
kelas.
Parker ada di barisan kedua dan aku langsung duduk di sampingnya.
Senyuman terlihat di wajahnya. ―Aku tidak sabar menunggu nanti
malam.‖
Aku menarik nafas lalu tersenyum, berusaha merubah moodku setelah
berbicara dengan Travis tadi.
―Apa rencananya?‖
―Well, aku telah selesai membereskan apartemenku. Aku ingin kita
makan malam di sana.‖
―Aku juga sudah tidak sabar menunggu nanti malam.‖ Aku berkata,
berusaha meyakinkan diriku sendiri.
®LoveReads

Karena America menolak untuk membantu, Kara dengan enggan


menjadi asisten yang membantuku memilih gaun untuk kencanku
dengan Parker. Setelah aku memakainya, aku langsung melepaskannya
lagi dan malah memakai celana jins saja. Setelah merenungi tentang
rencanaku yang gagal sepanjang sore, aku tidak bisa menyuruh diriku
untuk berdandan. Mengingat udara yang dingin, aku mengenakan
sweater kasmir tipis berwarna gading di atas tank top coklatku, lalu
menunggu di pintu. Ketika mobil porsche Parker yang mengkilap
berhenti di depan asrama, aku langsung keluar sebelum dia sempat
berjalan menghampiriku.
―Aku tadi akan menghampirimu,‖ dia berkata, merasa kecewa saat dia
membukakan pintu mobil untukku.
―kau kan jadi tidak perlu berjalan,‖ aku berkata sambil memakai sabuk
pengamanku.
Dia duduk di sampingku dan mendekat, memegang kedua sisi wajahku,
menciumku dengan bibir lembutnya. ―Wow,‖ dia menarik nafas, ―Aku
merindukan bibirmu.‖
Nafasnya beraroma mint, colognenya sangat wangi, tangannya hangat
dan lembut dan dia terlihat tampan memakai celana jins dengan kemeja
hijaunya, tapi aku tidak dapat menghilangkan perasaanku yang merasa
ada sesuatu yang hilang. Kegembiraan yang aku rasakan dulu telah
hilang, dan aku diam-diam mengutuk Travis karena telah
menghilangkan perasaan itu.
Aku memaksakan satu senyuman. ―Aku anggap itu sebagai pujian.‖
Apartemennya sama seperti yang telah aku bayangkan: Rapi, bersih,
dengan barang-barang elektronik yang mahal di setiap sudut, yang
sepertinya di dekorasi oleh ibunya.
―Jadi? Bagaimana menurutmu?‖ dia berkata, tersenyum seperti anak
kecil yang sedang memamerkan mainan barunya.
―Sangat indah,‖ aku mengangguk.
Ekspresinya berubah dari bermain-main menjadi intim, dan dia
menarikku ke dalam pelukannya, mencium leherku. Semua otot dalam
tubuhku menjadi tegang.
Aku ingin berada di tempat lain selain di apartemen ini.
Teleponku berbunyi, dan aku memberinya senyuman minta maaf
sebelum menjawab teleponku.
―Bagaimana kencanmu, Pidge?‖
Aku membalikkan tubuhku dari Parker dan berbisik ke arah telepon.
―Apa yang kau butuhkan, Travis?‖ aku mencoba agar suaraku terdengar
tegas, tapi itu malah menjadi lembut karena lega mendengar suaranya.
―Aku akan pergi bowling besok. Aku membutuhkan partner.‖
―Bowling? kau tidak bisa meneleponku nanti?‖ aku merasa seperti orang
munafik karena
mengatakan hal itu, mengetahui aku mengharapkan alasan untuk
membuat bibir Parker jauh dariku.
―Bagaimana aku tahu kalau kau telah selesai? Oh. Itu tidak terdengar
tepat…‖ dia berhenti, terdengar kagum pada dirinya sendiri.
―Aku akan meneleponmu besok lalu kita akan membicarakan ini nanti,
OK?‖
―Tidak, itu tidak OK. kau bilang ingin kita bersahabat, tapi kita tidak
bisa hang out?‖ aku memutar mataku dan Travis menghela nafas.
―Jangan memutar matamu padaku. Kau ikut apa tidak?‖
―Bagaimana kau tahu aku memutar mataku? Apa kau membuntutiku?‖
aku bertanya, melihat ke arah tirai.
―kau selalu memutar matamu. Ikut? Tidak? kau membuang waktu
berkencanmu yang berharga.‖
Dia sangat mengenalku. Aku melawan keinginan untuk memintanya
menjemputku nanti. Aku tidak dapat menahan senyumku karena berpikir
seperti itu.
―Ya!‖ aku berkata dengan suara berbisik, berusaha untuk tidak tertawa.
―Aku akan ikut.‖
―Aku akan menjemput jam tujuh.‖
Aku berbalik ke arah Parker, tersenyum seperti kucing Cheshire.
―Travis?‖ dia bertanya dengan ekspresi ingin tahu.
―Ya,‖ aku merengut, tertangkap basah.
―Kalian masih hanya bersahabat?‖
―Masih hanya bersahabat,‖ aku mengangguk sekali.
Kami duduk di meja, memakan masakan cina yang tadi di beli. Aku
menjadi lebih hangat padanya setelah beberapa saat, dan dia
mengingatkanku betapa menawannya dia. Aku merasa lebih ringan,
hampir cekikikan, berubah dari sebelumnya. Sekuat apapun aku
mendorong pikiran itu keluar dari kepalaku, aku tidak bisa menyangkal
bahwa rencanaku dengan Travislah yang membuat moodku lebih baik.
Setelah makan malam, kami duduk di sofa menonton film, namun
sebelum daftar pemain selesai, Parker membaringkanku di sofa. Aku
lega aku memilih memakai celana jins; aku tidak akan mampu
menangkisnya kalau memakai gaun. Bibirnya turun menelusuri tulang
leherku, dan tangannya berada di atas ikat pinggangku. Dengan kikuk
dia berusaha menarik lepas ikat pinggang itu, dan setelah lepas, aku
meluncur keluar dari bawahnya lalu berdiri.
―OK! Kurasa base pertama adalah satu-satunya yang kau dapat malam
ini,‖ aku berkata sambil memasang kembali ikat pinggangku.
―Apa?‖
―Base pertama…base kedua? Lupakanlah. Ini sudah malam, aku
sebaiknya pergi.‖
Dia terduduk bangun dan memegang kakiku. ―Jangan pergi, Abs. Aku
tak ingin kau berpikir ini alasan aku membawamu kemari.‖
―Bukankah itu alasannya?‖
―Tentu bukan,‖ dia berkata, menarikku ke pangkuannya. ―Hanya kau
yang aku pikirkan selama dua minggu ini. Maaafkan aku karena menjadi
tidak sabar.‖
Dia mencium pipiku, dan aku bersandar di dadanya, tersenyum saat
nafasnya menggelitik leherku.
Aku berpaling ke arahnya dan menekan bibirku di bibirnya, berusaha
sekuat tenaga untuk merasakan sesuatu — tapi aku tidak merasakannya.
Aku menjauh darinya dan menghela nafas.
Parker mengernyitkan alisnya. ―Aku sudah bilang aku menyesal.‖
―Aku bilang ini sudah larut.‖
®LoveReads

Kami naik mobil ke asrama, dan Parker meremas tanganku setelah


menciumku. ―Mari kita mencoba lagi. Ke Biasetti besok?‖
Aku menutup rapat bibirku. ―Aku akan pergi bowling dengan Travis
besok.‖
―Rabu kalau begitu?‖
―Rabu boleh,‖ aku berkata, memberinya senyuman yang di buat-buat.
Parker bergeser di tempat duduknya. Dia mengusahakan sesuatu.
―Abby? Ada pesta kencan di The House dua minggu dari sekarang…‖
Dalam hati aku meringis, takut akan diskusi yang mau tak mau akan
kami lakukan.
―Ada apa?‖ dia bertanya, tertawa gugup.
―Aku tidak bisa pergi denganmu,‖ aku berkata, sambil keluar dari mobil.
Dia mengikuti hingga pintu masuk asrama. ―Kau sudah punya rencana?‖
Aku meringis. ―Aku punya rencana…Travis sudah mengajakku pergi ke
sana,‖
―Travis mengajakmu ke mana?‖
―Ke pesta kencan,‖ aku menjelaskan, sedikit frustrasi.
Wajah Parker memerah, dan dia menggeser tubuhnya. ―Kau akan pergi
ke pesta kencan dengan Travis? Dia tidak pernah datang ke acara seperti
itu. Dan kalian hanya berteman. Sangat tidak masuk akal kalau kau pergi
bersamanya.‖
―America tidak mau pergi bersama Shepley, kecuali aku ikut.‖
Dia sedikit tenang. ―Kalau begitu pergilah denganku,‖ dia tersenyum
sambil memegang tanganku.
Aku meringis akan keputusannya. ―Aku tidak bisa membatalkan pergi
dengan Travis lalu pergi bersamamu.‖
―Aku tidak melihat masalahnya,‖ dia mengangkat bahunya. ―kau bisa
berada di sana untuk America, Travis bisa lepas dari kewajibannya
untuk pergi kesana. Dia sama sekali tidak pernah datang ke acara pesta
kencan. Menurutnya itu hanya salah satu cara untuk para wanita
memaksa kami agar mengumumkan hubungan kami.‖
―Aku yang tidak ingin pergi. Dia memaksaku untuk ikut.‖
―Sekarang kau punya alasan,‖ dia mengangkat bahu. Dia jadi
menjengkelkan karena merasa yakin kalau aku akan merubah pikiranku.
―Aku tidak ingin pergi sama sekali.‖
Kesabaran Parker sudah habis. ―Aku hanya ingin menjelaskan; kau tidak
ingin pergi ke pesta kencan. Travis ingin pergi, dia mengajakmu, dan
kau tidak ingin membatalkan pergi dengannya untuk pergi denganku,
meskipun kau pada awalnya tidak ingin pergi?‖
Aku kesulitan menatap balik matanya. ―Aku tidak bisa melakukan itu
kepadanya, Parker, maafkan aku.‖
―Apakah kau tahu pesta kencan itu apa? Seharusnya kau pergi kesana
bersama kekasihmu.‖
Nada suaranya yang merendahkan membuat empati yang aku rasakan
padanya telah hilang. ―Well, aku tidak punya kekasih, jadi secara teknis
aku tidak harus pergi sama sekali.‖
―Kupikir kita akan mencoba lagi. Aku pikir kita memiliki sesuatu.‖
―Aku sedang mencoba.‖
―Apa yang kau harap aku lakukan? Duduk di rumah sendirian sementara
kau pergi ke pesta kencan yang diadakan perkumpulan persaudaraanku
bersama orang lain? Apa aku harus mengajak wanita lain?‖
―Aku tidak melarangmu pergi ke pestamu sendiri. Kita akan bertemu di
sana.‖
―kau ingin aku mengajak wanita lain? Dan kau pergi bersama Travis.
Apa kau tidak lihat betapa anehnya itu?‖
Aku menyilangkan tanganku, siap untuk pertengkaran. ―Aku bilang
padanya aku akan pergi dengannya sebelum kita berkencan, Parker. Aku
tidak bisa membatalkannya.‖
―kau tidak bisa, atau tidak mau?‖
―Perbedaan yang sama. Aku menyesal kau tidak mengerti.‖ Aku
mendorong pintu asrama hingga terbuka, dan Parker menahanku.
―Baiklah,‖ dia menarik nafas menyerah. ―Ini jelas adalah satu masalah
yang harus aku mengerti.
Travis adalah salah satu sahabatmu, aku sangat mengerti itu. Aku tidak
ingin ini mempengaruhi hubungan kita. OK?‖
―OK,‖ kataku sambil mengangguk.
Dia membukakan pintu dan menyuruhku masuk, mencium leherku
sebelum aku berjalan masuk.
―Sampai bertemu hari Rabu jam enam?‖
―Jam enam.‖ aku tersenyum, melambai ke arahnya saat aku menaiki
tangga.
®LoveReads

America sedang berjalan keluar dari kamar mandi ketika aku berbelok,
matanya bersinar ketika dia melihatku. ―Hai, chickie! Bagaimana
kencanmu?‖
―Biasa saja,‖ kataku datar.
―Uh oh.‖
―Jangan beritahu Travis, OK?‖
Dia mendengus. ―Tidak akan, apa yang terjadi?‖
―Parker mengajakku ke pesta kencan.‖
America mengencangkan handuknya. ―Kau tidak akan membatalkan
pergi dengan Trav kan?‖
―Tidak, dan Parker tidak senang karena itu.‖
―Bisa dipahami,‖ dia berkata, mengangguk. ―Itu juga sangat buruk.‖
America menarik rambutnya yang panjang dan basah ke sisi salah satu
bahunya, dan butiran air menetes di kulit telanjangnya. Dia
kontradiksiku yang berjalan. Dia melamar masuk Eastern agar kami bisa
tinggal bersama. Dia adalah suara hatiku, akan turun tangan saat aku
menyerah pada kecenderunganku yang tertanam untuk pergi keluar jalur.
Semua berlawanan dengan yang telah kam bicarakan tentang aku
berhubungan dengan Travis, dan dia telah menjadi penyemangat Travis
yang terlalu antusias.
Aku bersandar ke dinding. ―Apa kau akan marah kalau aku tidak jadi
pergi?‖
―Tidak, aku akan sangat kesal hingga tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata. Di sana akan banyak terjadi perkelahian antar wanita, Abby.‖
―Kalau begitu aku akan pergi,‖ aku berkata, memasukkan kunciku ke
pintu. Teleponku berbunyi, dan terlihat foto Travis yang sedang
membuat wajah yang lucu di layar.
―Halo?‖
―kau sudah di rumah, belum?‖
―Ya, dia mengantarku pulang lima menit yang lalu.‖
―Aku akan tiba di sana lima menit lagi.
―Tunggu! Travis?‖ aku berkata saat dia menutup telepon.
America tertawa. ―kau baru pulang dari kencan yang mengecewakan
dengan Parker, tapi kau tersenyum saat Travis menelepon. Apakah kau
begitu bodoh?‖
―Aku tidak tersenyum,‖ protesku. ―Dia akan kemari. Maukah kau
menemuinya di luar dan bilang padanya kalau aku sudah tidur?‖
―Kau tadi tersenyum, dan tidak mau…bilang saja sendiri.‖
―Ya, Mare, seperti akan berhasil baik kalau aku bilang sendiri bahwa
aku sudah tidur.‖ Dia meninggalkanku, berjalan ke kamarnya. Aku
mengangkat tanganku dan memukul pahaku. ―Mare! Ku mohon?‖
―Selamat bersenang-senang, Abby,‖ dia tersenyum, menghilang ke
dalam kamarnya.
Aku menuruni tangga dan melihat Travis di atas motornya, sedang
parkir di depan tangga masuk.
Dia memakai kaos putih dengan gambar berwarna hitam, membuat tatoo
di tangannya semakin kelihatan.
―Apakah kau tidak kedinginan?‖ aku bertanya, menarik jaketku lebih
kencang.
―kau kelihatan cantik. Apakah kau bersenang-senang?‖
―Uh…ya, terima kasih,‖ aku berkata, salah tingkah. ―Apa yang kau
lakukan di sini?‖
Dia menstarter motornya, dan mesinnya hidup. ―Aku akan berkeliling
naik motor untuk menjernihkan pikiranku. Aku ingin kau ikut
denganku.‖
―Tapi dingin, Trav.‖
―kau mau aku meminjam mobilnya Shepley?‖
―Kita akan pergi bowling besok. Tidak bisakah kau menunggu hingga
besok?‖
―Aku dari yang bertemu denganmu setiap detik sepanjang hari menjadi
hanya bertemu denganmu selama sepuluh menit, itu juga kalau aku
beruntung.‖
Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. ―Ini baru dua hari, Trav.‖
―Aku merindukanmu. Ayo cepat naik dan kita pergi.‖
Aku tidak bisa membantah. Aku juga merindukannya. Lebih dari yang
akan aku akui padanya. Aku menyeletingkan jaketku dan naik ke
belakangnya, memasukkan jariku ke tempat ikat pinggang celana
jinsnya. Dia menarik pergelangan tanganku ke dadanya dan melipatnya
satu di atas yang lain. Setelah dia merasa puas karena aku telah
memeluknya erat, dia melaju pergi, melaju cepat di jalan.
Aku menyandarkan pipiku di punggungnya dan menutup mataku,
menghirup aroma wangi tubuhnya. Itu mengingatkanku pada
apartemennya, sprei dan wangi tubuhnya saat dia berjalan dengan hanya
memakai handuk di pinggangnya. Pemandangan kota kelihatan tidak
jelas saat kami lewat, dan aku tidak peduli seberapa cepat dia menyetir,
atau seberapa dingin angin saat menyentuh kulitku; aku bahkan tidak
memperhatikan ke mana kami pergi. Yang aku pikirkan hanya tubuhnya
menempel ditubuhku. Kami tidak memiliki tujuan ataupun jangka
waktu, dan kami berkeliling hingga tidak ada orang lagi di jalan selain
kami.
Travis berhenti di pom bensin lalu parkir. ―kau menginginkan sesuatu?‖
dia bertanya.
Aku menggelengkan kepala, turun dari motor untuk meluruskan kakiku.
Dia memperhatikanku yang sedang menyisirkan jari di rambutku, dan
tersenyum.
―Hentikan itu. Kau sudah terlihat sangat cantik.‖
―Tunjukan saja padaku video musik rock tahun delapan puluhan yang
terdekat,‖ aku berkata.
Dia tertawa, lalu menguap sambil mengusir ngengat yang berdengung di
sekitarnya. Mulut pipa bensin berbunyi, terdengar lebih keras dari
seharusnya di malam yang hening. Kami tampaknya menjadi satu-
satunya orang di dunia.
Aku mengeluarkan teleponku untuk melihat jam. ―Ya Tuhan, Trav. Ini
sudah jam tiga pagi.‖
―kau ingin pulang?‖ dia bertanya, wajahnya tampak kecewa.
Aku menutup rapat bibirku. ―Sebaiknya kita pulang.‖
―Kita masih akan pergi bowling malam ini?‖
―Aku sudah bilang aku akan ikut.‖
―Dan kau tetap akan pergi ke Sig Tau bersamaku kan dua minggu lagi?‖
―Apa kau menyindirku bahwa aku tidak akan menepati janjiku? Aku
merasa sedikit tersinggung.‖
Dia menarik keluar mulut pipa bensin dari tankinya dan menggantung di
tempatnya. ―Aku hanya tidak tahu lagi apa yang akan kau lakukan.‖
Dia duduk di atas motornya dan membantuku naik di belakangnya. Aku
mengaitkan jariku di tempat ikat pinggangnya namun aku pikir lebih
baik aku melingkarkan tanganku di tubuhnya.
Dia menghela nafas dan menegakkan motornya, dengan berat hati
menyalakan mesinnya. Telapak tangannya menjadi putih saat dia
memegang stang motor. Dia mengambil nafas, dan mulai berbicara lalu
menggelengkan kepalanya.
―Kau sangat berarti untukku, kau tahu,‖ aku berkata, memeluknya lebih
erat.
―Aku tidak mengerti dirimu, Pigeon. Ku pikir aku mengenal wanita, tapi
dirimu benar-benar sangat membuat bingung hingga aku tak tahu harus
bagaimana.‖
―Aku juga tidak mengerti dirimu. Kau seharusnya menjadi kekasih
semua wanita di Eastern. Aku belum mendapat semua pengalaman
seorang mahasiswa baru yang mereka tawarkan di brosur,‖ aku
menggodanya.
―Well, itu yang pertama. Aku belum pernah bertemu wanita yang mau
tidur denganku hanya agar aku tidak mengganggunya lagi,‖ dia berkata,
tetap membelakangiku.
―Bukan itu maksudnya, Travis,‖ aku berbohong, merasa malu karena dia
dapat menebak maksudku tanpa menyadari seberapa benarnya dia.
Dia menggelengkan kepalanya lalu menyalakan mesin motornya, melaju
ke jalan. Dia menjalankan motornya dengan pelan tidak seperti biasa,
berhenti di setiap lampu kuning, mengambil jalan yang terjauh menuju
kampus.
Kami berhenti di depan pintu masuk asrama, kesedihan yang sama yang
aku rasakan di malam aku pergi meninggalkan apartemen menelanku.
Mengetahui itu tampak konyol untuk merasa begitu emosional, namun
setiap kali aku melakukan sesuatu untuk mendorongnya pergi, aku
sangat takut itu akan benar-benar membuatnya pergi.
Dia mengantarku ke pintu, aku mengeluarkan kunciku, menghindari
tatapannya. Saat aku merogoh kunci, tangannya tiba-tiba ada di daguku,
ibu jarinya menyentuh bibirku dengan lembut.
―Apakah dia menciummu?‖ dia bertanya.
Aku mundur menjauh, terkejut karena jarinya mengakibatkan rasa
terbakar yang membakar semua saraf dari mulut hingga ujung kakiku.
―Kau benar-benar tahu bagaimana caranya mengacaukan malam yang
sempurna, ya?‖
―Kau berpikir malam ini sempurna, ya? Apa itu berarti kau merasa
senang?‖
―Aku selalu merasa senang saat bersamamu.‖
Dia melihat ke bawah dan alisnya mengernyit. ―Apakah tadi dia
menciummu?‖
―Ya,‖ aku menghela nafas, merasa terganggu.
Matanya tertutup. ―Apakah hanya itu?‖
―Itu sama sekali bukan urusanmu!‖ aku berkata sambil menarik pintu
hingga terbuka.
Travis mendorongnya hingga tertutup dan menghalangi jalan masukku,
ekspresinya seperti meminta maaf. ―Aku harus tahu.‖
―Tidak, kau tidak harus tahu! Minggir, Travis!‖
―Pigeon…,‖
―Kau pikir karena aku bukan lagi perawan, aku akan tidur dengan semua
orang yang ada? Terima kasih!‖ aku berkata sambil mendorongnya.
―Aku tidak mengatakan itu, sialan! Apakah itu terlalu berlebihan untuk
ditanyakan agar pikiranku tenang?‖
―Mengapa itu akan membuat pikiranmu tenang jika mengetahui apa aku
tidur dengan Parker?‖
―Bagaimana kau tidak tahu? Itu terlihat sangat jelas untuk semua orang
kecuali dirimu!‖ dia berkata, putus asa.
―Kalau begitu mungkin hanya karena aku adalah orang yang tolol. kau
mabuk malam ini, Trav,‖ aku berkata sambil meraih pegangan pintu.
Dia menahan bahuku. ―Perasaan aku padamu…sangat membuatku gila.‖
―Bagian gila itu memang benar,‖ aku membentak, melepaskan diri
darinya.
―Aku sudah melatih ini di pikiranku sepanjang waktu kita di motor tadi,
jadi dengarkanlah aku,‖ dia berkata.
―Travis—,‖
―Aku tahu kita sangat kacau, kan? Aku impulsif, cepat marah, dan aku
selalu memikirkan dirimu. kau bersikap seperti membenciku menit ini,
lalu menit berikutnya kau membutuhkanku. Aku tak pernah melakukan
hal yang benar, dan aku tidak pantas untukmu… tapi aku benar-benar
mencintaimu, Abby. Aku mencintaimu lebih dari aku mencintai
seseorang atau sesuatu, sebelumnya. Saat kau ada di sisiku, aku tidak
membutuhkan minuman keras, uang, pertarungan, atau hubungan seks
satu malam…yang aku butuhkan hanya dirimu. Hanya kau yang aku
pikirkan. Hanya kau yang aku mimpikan. Hanya kau yang aku
inginkan.‖
Rencanaku untuk bersikap seolah tidak peduli gagal total. Aku tidak bisa
berpura-pura tidak terpengaruh saat dia mengungkapkan semua
perasaannya. Saat kami bertemu pertama kali, sesuatu di dalam diri kami
berubah, dan apapun itu, membuat kami saling membutuhkan. Untuk
alasan yang tidak aku ketahui, aku adalah pengecualiannya, dan sekuat
apapun aku mencoba melawan perasaanku, dia adalah pengecualianku.
Dia menggelengkan kepalanya, memegang kedua sisi wajahku, dan
menatap langsung ke mataku.
―Apakah kau tidur dengannya?‖
Air mata yang hangat memenuhi mataku saat aku menggelengkan
kepalaku. Dia langsung menciumku, dan lidahnya masuk ke dalam
mulutku tanpa rasa ragu. Tidak dapat mengontrol diriku sendiri, aku
mencengkram kaosnya di dalam kepalan tanganku, dan menariknya ke
arahku. Dia mendesah karena rasa takjubnya, suara yang berat, dan
mencengkeramku sangat erat hingga membuat sulit untuk bernafas.
Dia mundur, terengah. ―Telepon Parker. Katakan padanya kau tidak
ingin berkencan dengannya lagi. Katakan padanya kau bersamaku
sekarang.‖
Aku menutup mataku. ―Aku tidak bisa bersamamu, Travis.‖
―Kenapa tidak bisa?‖ dia berkata, melepaskan tangannya.
Aku menggelengkan kepalaku, takut pada reaksinya saat mengetahui
yang sebenarnya.
Dia tertawa sekali. ―Tak bisa dipercaya. Satu-satunya gadis yang aku
inginkan, tapi dia tidak menginginkan aku.‖
Aku menelan ludah, mengetahui aku harus lebih banyak
mengungkapkan kebenaran daripada yang seharusnya selama bulan-
bulan terakhir ini.
―Ketika aku dan America pindah kemari, itu dengan pengertian hidupku
akan berjalan sesuai rencanaku. Atau tidak akan berjalan di luar
rencanaku. Pertarungan, perjudian, minuman…itu semua yang aku
tinggalkan. Ketika aku berada di dekatmu…itu semua terbungkus dalam
satu paket tatoo yang tidak bisa aku tolak. Aku tidak pindah ratusan
kilometer hanya untuk menjalaninya sekali lagi.‖
Dia mengangkat daguku sehingga aku bisa melihat wajahnya. ―Aku tahu
kau berhak mendapatkan yang lebih baik daripada aku. kau pikir aku tak
tahu itu? Tapi jika ada satu wanita yang tercipta untukku…wanita itu
adalah dirimu. Aku akan melakukan apapun yang harus aku lakukan,
Pidge. kau dengar aku? Aku akan melakukan apapun.‖
Aku berbalik dari cengkramannya, merasa malu karena tidak bisa
mengatakan yang sebenarnya.
Akulah yang tidak pantas untuknya. Aku akan menjadi orang yang
menghancurkan semuanya; menghancurkan dia. Dia akan membenciku
suatu hari nanti, dan aku tidak akan bisa melihat ke dalam matanya saat
dia pada akhirnya menyadari itu.
Dia menahan pintu tertutup dengan tangannya . ―Aku akan berhenti
bertarung setelah aku lulus. Aku tidak akan minum minuman keras satu
tetes pun lagi. Aku akan memberimu akhir yang bahagia selamanya,
Pigeon. Jika kau mempercayaiku, aku akan dapat melakukannya.‖
―Aku tidak ingin kau berubah.‖
―Lalu katakan aku harus melakukan apa. Katakan padaku dan aku akan
melakukannya,‖ dia memohon.
Semua pikiran untuk bersama Parker telah lama hilang, dan aku tahu
sebabnya karena perasaanku pada Travis. Aku membayangkan tentang
jalan berbeda yang aku akan ambil sejak saat itu —mempercayai Travis
dengan sebuah lompatan keyakinan dan mengambil resiko untuk yang
tidak pasti, atau mendorongnya menjauh dan mengetahui dengan pasti
aku akan berakhir di mana, yang termasuk hidup tanpa dirinya — kedua
keputusan itu membuatku sangat takut.
―Boleh aku meminjam teleponmu?‖ aku bertanya.
Travis mengeryit, bingung. ―Tentu,‖ dia berkata, mengeluarkan telepon
dari dalam sakunya, memberikannya padaku.
Aku menekan nomor, lalu menutup mata saat itu berdering di telingaku.
―Travis? Ada apa? kau tahu jam berapa ini?‖ Parker menjawab.
Suaranya dalam dan serak, dan aku langsung merasa hatiku bergetar di
dadaku. Tidak terpikir olehku bahwa dia akan mengetahui aku
menelepon dari teleponnya Travis.
Kata berikutnya akhirnya menemukan cara untuk keluar dari bibirku
yang gemetar. ―Maafkan aku meneleponmu malam-malam, tapi ini tidak
bisa menunggu. Aku….tidak bisa pergi makan malam denganmu hari
Rabu nanti.‖
―Ini sudah hampir jam empat pagi, Abby. Apa yang terjadi?‖
―Aku tidak bisa pergi lagi denganmu, sebenarnya.‖
―Abs…‖
―Aku…sangat yakin aku jatuh cinta pada Travis, ― aku berkata, bersiap
untuk reaksinya.
Setelah beberapa saat hening, dia menutup telepon di telingaku.
Mataku masih fokus melihat trotoar, aku menyerahkan kembali telepon
pada Travis, lalu dengan enggan menatap wajahnya. Kombinasi antara
bingung, kaget, dan rasa kagum terlihat di wajahnya.
―Dia menutup teleponnya.‖ Aku menyeringai.
Dia menatap wajahku dengan harapan yang hati-hati di matanya. ―kau
mencintaiku?‖
―Itu karena tatoonya,‖ aku mengangkat bahuku.
Senyuman lebar terlihat di wajahnya, membuat lesung pipinya menjadi
jelas terlihat. ―Mari pulang bersamaku,‖ dia berkata, mendekapku di
tangannya.
Alisku naik. ―Kau mengatakan semua itu untuk membawaku ke tempat
tidur? Aku pasti telah membuat kesan yang hebat.‖
―Satu-satunya yang aku pikirkan sekarang adalah memelukmu sepanjang
malam.‖
―Mari kita pergi.‖ Aku tersenyum.
®LoveReads

Walaupun sudah melaju dengan kecepatan yang maksimal dan jalan


pintas, perjalanan menuju apartemen seperti tak berujung. Ketika
akhirnya kami tiba, Travis menggendongku ke atas. Aku cekikikan
sambil menciumnya saat dia meraba-raba untuk membuka pintu. Ketika
dia menurunkanku dan menutup pintu di belakang kami, dia
menghembuskan nafas lega yang panjang. ―Ini tidak seperti rumah lagi
setelah kau pergi,‖ dia berkata, mencium bibirku.
Toto berlari menelusuri lorong dan menggoyangkan ekornya, mengais-
ngais kakiku. Aku mengelusnya saat mengangkatnya dari lantai.
Tempat tidur Shepley berderit, dan terdengar suara kakinya terhuyung di
lantai. Pintunya terbuka saat dia memicingkan matanya karena sinar
lampu. ―Sialan jangan, Trav, kau tidak boleh melakukan ini! Karena kau
jatuh cinta pada Ab...,‖ matanya menjadi fokus dan dia menyadari
kesalahannya, ―…by. Hai, Abby.‖
―Hai, Shep,‖ aku tersenyum sambil menurunkan Toto ke lantai.
Travis menarikku melewati sepupunya yang masih terkejut, dan
menendang pintu tertutup di belakang kami, menarikku ke pelukannya,
dan menciumku tanpa pikir dua kali, seolah kami sudah melakukannya
sejuta kali sebelumnya. Aku melepas kaosnya, dan dia mencopot jaket
dari bahuku.
Aku berhenti menciumnya cukup lama untuk melepas sweater dan tank
topku, lalu menciumnya lagi. Kami saling melepas baju satu sama lain,
dan dalam hitungan detik dia membaringkanku di tempat tidur. Aku
meraih ke atas kepalaku untuk membuka laci dan memasukan tanganku
ke dalam, mencari sesuatu yang bergemericik.
―Sialan,‖ dia berkata, terengah dan frustrasi. ―Aku membuangnya
semua.‖
―Apa? Semua?‖ aku menarik nafas.
―Aku pikir kau tidak…jika aku tidak bersamamu, aku tidak akan
membutuhkannya.‖
―kau bercanda!‖ aku berkata, menjatuhkan kepalaku di atas kepala
tempat tidur.
Dahinya terkulai di dadaku. ―Mengingat dirimu adalah kebalikan dari
satu kepastian.‖
Aku tersenyum, dan menciumnya. ―kau belum pernah melakukannya
dengan seseorang tanpa memakainya?‖
Dia menggelengkan kepalanya. ―Tidak pernah.‖ Aku melihat sekeliling
sesaat, hanyut dalam pikiran. Dia tersenyum sekali melihat ekspresiku.
―Apa yang sedang kau lakukan?‖
―Ssstt, aku sedang berhitung.‖ Travis memperhatikanku sebentar, lalu
mendekat untuk mencium leherku. ―Aku tidak bisa konsentrasi kalau
kau melakukan it…,‖ aku mendesah, ―hari ke dua puluh lima dan dua
hari…,‖ aku menarik nafas.
Travis terkekeh. ―Apa yang kau katakan?‖
―Kita akan baik-baik saja,‖ aku berkata, bergeser turun sehingga aku
berada tepat di bawahnya.
Dia menekan dadanya di dadaku, dan menciumku dengan lembut.
―Apakah kau yakin?‖
Aku membiarkan tanganku meluncur dari bahu ke pantatnya dan
menekannya ke tubuhku. Dia menutup matanya, dan mengeluarkan
erangan panjang yang berat.
―Ya Tuhan, Abby,‖ dia menarik nafas. Dia bergoyang untuk masuk ke
dalam diriku lagi, dan satu erangan lagi keluar dari tenggorokannya. ―Ya
ampun, kau terasa sangat menakjubkan.‖
―Apakah terasa berbeda?‖
Dia menatap mataku. ―Terasa berbeda bersamamu, bagaimanapun juga,
tetapi,‖ dia mengambil nafas panjang dan menegang lagi, menutup
matanya untuk sesaat, ―Aku tak akan pernah sama lagi setelah ini.‖
Bibirnya mencium setiap inci leherku, dan ketika dia menemukan
jalannya kembali ke dalam mulutku, aku mencengkeram otot bahunya
dengan semua ujung jariku, aku terhanyut dalam intensitas ciuman itu.
Travis membawa tanganku ke atas kepalaku dan memegang jariku
dengan jarinya, meremas tanganku pada setiap dorongan. Gerakannya
menjadi sedikit lebih kasar, dan aku menancapkan kukuku di tangannya,
bagian dalam tubuhku menegang bersamaan dengan dorongan yang
kuat.
Aku berteriak, menggigit bibirku dan menutup rapat mata.
―Abby,‖ dia berbisik, terdengar ragu, ―Aku mau..aku akan…,‖
―Jangan berhenti,‖ aku memohon.
Dia bergoyang ke dalam tubuhku lagi, mengerang sangat kencang
hingga aku menutup mulutnya.
Setelah beberapa nafas yang sesak, dia menatap mataku lalu menciumku
lagi dan lagi. Tangannya memegang kedua sisi wajahku lalu menciumku
lagi dengan lebih pelan, lebih lembut. Dia menyentuhkan bibirnya ke
bibirku, lalu ke leher, kening, hidung lalu terakhir kembali ke bibirku.
Aku tersenyum dan mendesah, rasa lelah mulai terasa. Travis menarik
tubuhku ke sampingnya, membetulkan selimut di atas kami. Aku
mengistirahatkan pipiku di dadanya, dan dia mencium keningku sekali
lagi, mengunci jarinya di belakang punggungku.
―Kali ini jangan pergi, OK? Aku ingin terbangun seperti ini nanti pagi.‖
Aku mencium dadanya, merasa bersalah karena membuat dia harus
meminta. ―Aku tidak akan pergi kemana-mana.‖
®LoveReads
Bab 11

Rasa Cemburu

Aku terbangun dengan posisi telungkup, telanjang, dan terbungkus


seprainya Travis. Aku tetap menutup mataku, merasakan jarinya
membelai lengan dan punggungku.
Dia menarik nafas panjang, dengan sedikit desahan lalu berbisik. ―Aku
mencintaimu, Abby. Aku akan membuatmu bahagia, aku bersumpah.‖
Tempat tidur bergerak saat dia bergeser, lalu bibirnya mencium
punggungku dengan perlahan. Aku tetap diam tidak bergerak, dan
setelah dia mencium kulit di belakang telingaku, dia pergi keluar kamar.
Langkah kakinya santai menelusuri lorong, lalu terdengar suara pipa saat
terkena tekanan air pancuran.
Aku membuka mata lalu duduk, menggeliat. Setiap otot tubuhku sakit,
otot yang aku tidak pernah tahu ada sebelumnya. Aku menahan seprai di
dadaku, melihat keluar jendela, memperhatikan daun yang berwarna
merah kekuningan jatuh dari dahannya ke tanah.
Telepon Travis bergetar di suatu tempat, dan setelah mencari dengan
asal di atas baju kusut di lantai, aku menemukannya di dalam saku
celana jinsnya. Layarnya menyala hanya menampilkan nomor, tidak ada
nama.
―Halo?‖
―Apa ehm...Apa Travis ada?‖ seorang wanita bertanya.
―Dia sedang mandi, ada pesan?‖
―Tentu saja dia sedang mandi. Katakan padanya kalau Megan
menelepon, mau kan?‖
Travis melangkah masuk, mengencangkan handuk di pinggangnya yang
basah, tersenyum saat aku menyerahkan telepon padanya.
―Ini untukmu,‖ aku berkata.
Dia menciumku sebelum melihat ke arah layar, lalu menggelengkan
kepalanya. ―Yeah? Itu tadi adalah kekasihku, apa yang kau butuhkan,
Megan?‖ dia mendengarkan sesaat lalu tersenyum,
―Well, Pigeon spesial, apa yang bisa aku katakan?‖ Setelah diam
beberapa saat, dia memutar matanya. Aku hanya bisa membayangkan
apa yang sedang Megan katakan. ―Jangan jadi menyebalkan, Megan.
Dengar, kau tidak boleh meneleponku lagi…Well, cinta akan
melakukannya padamu,‖ dia berkata, menatap ke arahku dengan
ekspresi lembut. ―Ya, dengan Abby. Aku serius, Meg, jangan menelepon
lagi…sudah dulu ya.‖
Dia melempar teleponnya ke atas tempat tidur, lalu duduk di sampingku.
―Dia sedikit menyebalkan. Apakah dia mengatakan sesuatu padamu?‖
―Tidak, dia hanya menanyakan dirimu.‖
―Aku menghapus beberapa nomor di teleponku, tapi aku kira itu tidak
menghentikan mereka meneleponku. Jika mereka tidak menyadarinya
sendiri, aku akan memberitahu mereka.‖
Dia menatapku dengan penuh harap, dan aku tidak bisa menahan
senyumku. Aku belum pernah melihat sisi Travis yang ini.
―Aku mempercayaimu, kau tahu.‖
Dia menutup rapat mulutnya. ―Aku tidak akan menyalahkanmu jika kau
mengharapkanku untuk berusaha untuk mendapatkan kepercayaan itu.‖
―Aku harus segera mandi. Aku sudah bolos satu mata kuliah hari ini.‖
―Lihat? Aku sudah menjadi pengaruh yang baik.‖
Aku berdiri dan dia menarik seprai. ―Megan bilang akan ada pesta
Halloween minggu ini di The Red Door. Aku pergi bersamanya tahun
lalu, lumayan menyenangkan.‖
―Aku yakin begitu,‖ aku berkata sambil mengangkat alisku.
―Maksudku banyak orang yang datang. Mereka mengadakan
pertandingan billiar dan menyediakan bir murah…mau pergi kesana?
―Tidak terlalu…aku tidak berdandan untuk Halloween. Tidak pernah.‖
―Aku juga tidak, aku hanya datang,‖ dia mengangkat bahunya.
―Apakah kita tetap akan pergi bowling nanti malam?‖ tanyaku, ingin
tahu apakah ajakan yang hanya untuk mendapat waktu berduaan
denganku sudah tidak dia butuhkan lagi.
―Well, tentu saja! Aku juga akan mengalahkanmu!‖
Aku memicingkan mataku. ―Kali ini aku tidak akan kalah. Aku punya
kekuatan super.‖
Dia tertawa. ―Dan apakah itu? Kata-kata kasar?‖
Aku mendekat ke arahnya untuk mencium lehernya, lalu menjilatkan
lidahku ke telinganya, mencium daun telinganya. Dia langsung
membeku.
―Pengalih perhatian.‖ aku bernafas di telinganya.
Dia menarik lenganku dan membalik tubuhku hingga telentang. ―kau
akan bolos satu mata kuliah lagi.‖
®LoveReads

Akhirnya setelah membujuk Travis cukup lama untuk pergi keluar dari
apartemen untuk menghadiri kelas Sejarah, kami dengan cepat pergi ke
kampus, duduk di kursi tepat sebelum Prof. Cheney mulai mengajar.
Travis membalik topi baseball merahnya agar dapat mencium bibirku, di
depan mata semua orang yang berada di kelas.
Dalam perjalanan kami menuju kafetaria, dia memegang tanganku,
menggenggam erat jariku saat kami berjalan. Dia kelihatan sangat
bangga karena dapat memegang tanganku, mengumumkan pada seluruh
dunia bahwa akhirnya kami bersama. Finch menyadarinya, melihat ke
arah tangan kami, lalu menatap ke arahku dengan senyuman bodoh.
Bukan hanya dia, pertunjukan sederhana kasih sayang kami membuat
semua orang yang kami temui menatap atau berbisik-bisik.
Di pintu kafetaria, Travis menghembuskan asap terakhir rokoknya,
menatapku yang sedang merasa ragu. America dan Shepley sudah ada di
dalam, dan Finch menyalakan rokok lagi, sehingga aku masuk kafetaria
hanya dengan Travis berdua. Aku yakin gosip telah menyebar setelah
Travis menciumku di depan semua orang di dalam kelas Sejarah tadi,
dan aku merasa takut melangkah ke atas panggung di dalam kafetaria.
―Ada apa, Pigeon?‖ dia berkata, menarik tanganku.
―Semua orang memperhatikan kita.‖
Dia menarik tanganku lalu menciumnya, ―Mereka akan melupakannya.
Itu hanya karena mereka terkejut. Ingat saat kita pertama kali hang out?
Rasa ingin tahu mereka hilang setelah beberapa saat dan mereka menjadi
terbiasa melihat kita bersama. Ayolah,‖ dia berkata sambil menarikku ke
pintu.
Salah satu alasan aku memilih Universitas Eastern karena orang-
orangnya yang sopan, tapi rasa tertarik yang berlebihan terhadap skandal
yang ada sangat melelahkan. Itu adalah lelucon; semua orang tahu
betapa bodohnya tukang gosip itu namun mereka tetap saja tanpa rasa
malu ikut bergosip.
Kami duduk di tempat biasa kami membawa makanan kami. America
tersenyum dengan ekspresi sudah tahu. Dia mengobrol seperti semua
biasa saja, namun para pemain football yang berada di ujung meja
menatapku seolah aku sedang terbakar.
Travis menepuk apelku dengan garpunya. ―Apakah kau akan
memakannya, Pidge?‖
―Tidak, kau boleh memakannya, sayang.‖
Telingaku memerah saat America tersentak kaget dan menatapku.
―Itu hanya spontan keluar,‖ aku berkata, menggelengkan kepalaku. Aku
melirik ke arah Travis, yang ekspresinya campur aduk antara merasa geli
dan kagum.
Kami saling memanggil dengan sebutan itu beberapa kali tadi pagi, dan
tidak terpikir olehku kalau itu merupakan hal baru untuk semua orang
hingga sesaat setelah itu keluar dari mulutku.
―Kalian berdua dalam tahap mengganggu yang lucu.‖ America
menyeringai.
Shepley menepuk bahuku. ―kau akan menginap malam ini?‖ dia
bertanya, kata-katanya terdengar tidak jelas karena dia sambil
mengunyah roti di mulutnya. ―Aku janji tidak akan keluar dari kamarku
lalu memakimu lagi.‖
―kau sedang membela kehormatanku, Shep. kau dimaafkan,‖ aku
berkata.
Travis menggigit sepotong apel lalu mengunyahnya, terlihat sangat
bahagia, aku tidak pernah melihatnya seperti itu. Rasa damai di matanya
telah kembali terlihat, bahkan saat semua orang memperhatikan setiap
gerakan kami, semua terasa begitu…benar.
Aku memikirkan tentang selama ini aku selalu bersikeras bahwa
berhubungan dengan Travis adalah keputusan yang buruk, dan berapa
waktu yang terbuang percuma untuk melawan perasaanku terhadapnya.
Melihat ke seberang meja ke arah matanya yang lembut berwarna coklat,
dan lesung pipi yang bergerak-gerak saat dia mengunyah, aku tidak bisa
mengingat apa yang membuat aku sangat khawatir.
―Dia terlihat sangat bahagia. Apa kau akhirnya tidur dengannya, Abby?‖
Chris berkata sambil menyikut temannya.
―kau tidak terlalu pintar ya, Jenks?‖ Shepley berkata, mengernyit.
Darah langsung naik ke pipiku, lalu aku melihat Travis yang di matanya
ada rasa ingin membunuh.
Rasa marah Travis melebihi rasa maluku, dan aku menggelengkan
kepalaku tanda tidak setuju.
―Abaikan dia.‖
Setelah beberapa saat yang menegangkan, bahunya menjadi sedikit lebih
santai, dan dia mengangguk sekali, lalu mengambil nafas panjang.
Setelah beberapa detik, dia mengedipkan sebelah matanya padaku.
Aku meraih ke seberang meja, menyelipkan jariku di jarinya. ―kau serius
dengan yang kau katakan tadi malam, kan?‖
Dia mulai bicara, namun suara tawa Chris terdengar ke seluruh kafetaria.
―Ya Tuhan, Travis Maddox menjadi penurut?‖
―Apakah kau serius dengan ucapanmu waktu bilang kau tidak ingin aku
berubah?‖ dia bertanya, meremas tanganku.
Aku melihat ke arah Chris yang sedang tertawa bersama teman satu
timnya, lalu kembali melihat ke arah Travis. ―Tentu saja. Beri orang
brengsek itu pelajaran.‖
Seringai nakal terlihat di wajahnya, lalu dia berjalan ke meja tempat
Chris duduk. Ruangan langsung hening, dan Chris berhenti tertawa.
―Hey, aku hanya bercanda, Travis,‖ dia berkata, melihat ke arah Travis.
―Minta maaflah pada Pidge,‖ Travis berkata, menatap tajam ke arahnya.
Chris melihat ke arahku sambil tersenyum gugup. ―Aku…aku hanya
bercanda, Abby. Maafkan aku.‖
Aku melotot ke arahnya saat dia melihat ke arah Travis untuk meminta
persetujuan. Ketika Travis melangkah pergi, Chris mencibir, dan dia
membisikkan sesuatu pada Brazil. Hatiku mulai berdegup kencang
ketika aku melihat Travis berhenti melangkah dan tangannya mengepal
di samping tubuhnya.
Brazil menggelengkan kepalanya dan mendengus dengan jengkel. ―Ingat
saat kau sadar nanti…kau sendiri yang menyebabkannya.‖
Travis mengangkat nampan Finch dari meja dan mengayunkannya ke
wajah Chris, membuat Chris terjatuh dari kursi. Chris berusaha masuk
ke bawah meja namun Travis menarik kakinya lalu mulai memakinya.
Chris meringkuk seperti bola, lalu Travis menendang punggungnya.
Chris melengkung dan berbalik, mengangkat tangannya di luar,
membuat Travis mampu untuk mendaratkan beberapa pukulan di
wajahnya. Darah mulai mengalir, dan Travis pun berdiri, kehabisan
nafas.
―Jika kau bahkan hanya melihat ke arah Abby, dasar brengsek, aku akan
mematahkan rahangmu.‖
Wanita yang bekerja di kafetaria berlari keluar, terkejut melihat darah
berceceran di lantai.
―Maaf,‖ Travis berkata, mengelap darah Chris dari pipinya.
Beberapa mahasiswa berdiri agar dapat melihat dengan lebih jelas; yang
lainnya tetap duduk, melihat dengan biasa saja. Tim football hanya
memandangi tubuh Chris yang terkulai lemas di lantai, sambil
menggelengkan kepala mereka.
Travis berbalik, dan Shepley berdiri, lalu memegang tanganku dan
America, menarik kami keluar pintu dan berjalan di belakang
sepupunya. Kami mengambil jalan pintas menuju aula, aku dan America
duduk di tangga masuk, memperhatikan Travis yang sedang berjalan
mondar-mandir.
―kau baik-baik saja, Trav?‖ tanya Shepley.
―Beri aku…beberapa menit,‖ dia berkata, meletakkan tangannya di
pinggang saat berjalan mondar-mandir.
Shepley memasukan tangannya ke dalam saku. ―Aku terkejut kau bisa
berhenti memukul.‖
―Pidge hanya bilang untuk memberinya pelajaran, Shep, bukan
membunuhnya. Aku berusaha sekuat tenaga untuk berhenti tadi.‖
America memakai kacamata kotak besarnya saat melihat pada Travis.
―Apa yang telah Chris katakan sehingga membuatmu marah?‖
―Sesuatu yang tidak akan dia katakan lagi,‖ Travis mendengus marah.
America menatap Shepley yang mengangkat bahunya. ―Aku tidak
mendengarnya.‖
Tangan Travis mengepal lagi. ―Aku akan kembali ke dalam.‖
Shepley menyentuh bahu Travis. ―Kekasihmu ada di sini. kau tidak
perlu kembali ke sana.‖
Travis menatapku, memaksa dirinya untuk tenang. ―Chris
berkata…semua orang pikir Pidge memiliki…ya Tuhan, aku tidak bisa
mengatakannya.‖
―Katakan saja,‖ America bergumam, sambil menggigit kukunya.
Finch berjalan dari arah belakang Travis, sangat jelas merasa senang
karena kejadian tadi. ―Semua lelaki normal di Eastern ingin merasakan
tidur dengan Abby karena dia berhasil menaklukan Travis Maddox,‖ dia
mengangkat bahu. ― Setidaknya itu yang mereka bicarakan di sana
sekarang.‖
Travis menabrak bahu Finch saat melewatinya, berjalan menuju
kafetaria. Shepley berlari mengejarnya, memegangi tangannya. Aku
menutup mulutku dengan tangan saat Travis mengayunkan tinjunya,
namun Shepley menghindar. Aku memandang ke arah America yang
tampaknya tidak bereaksi, karena sudah terbiasa dengan kejadian seperti
itu.
Aku hanya bisa memikirkan satu cara untuk menghentikan Travis. Aku
berlari dari tangga ke arah Travis, mengitarinya. Aku melompat ke
arahnya, meletakan kakiku di pinggangnya, dan dia memegang pahaku
saat aku memegang kedua sisi wajahnya, lalu menciumnya bibirnya.
Aku dapat merasakan kemarahannya mulai hilang saat dia membalas
ciumanku, lalu aku melepaskannya, aku tahu aku telah menang.
―Kita tidak peduli dengan apa yang mereka pikirkan, ingat? kau jangan
mulai peduli sekarang,‖ aku berkata sambil tersenyum untuk
meyakinkan. Ternyata aku dapat mempengaruhi dia lebih dari yang aku
sadari.
―Aku tidak bisa membiarkan mereka membicarakanmu seperti itu,
Pigeon,‖ dia berkata dengan wajah frustrasi, sambil menurunkanku.
Aku memasukan tanganku di bawah tangannya, mengunci tanganku di
punggungnya. ―Seperti apa? Mereka pikir aku punya sesuatu yang
spesial karena kau belum pernah berpacaran sebelumnya. Apa kau tidak
setuju?‖
―Tentu saja aku setuju, aku hanya tidak tahan memikirkan bahwa semua
pria di kampus ingin tidur denganmu karena itu.‖ Dia menekan dahinya
di dahiku. ―Ini akan membuatku gila. Aku tahu itu.‖
―Jangan biarkan mereka mengganggumu, Travis,‖ Shepley berkata. ―kau
tidak bisa melawan semua orang.‖
Travis menghela nafas. ―Semua orang. Bagaimana perasaanmu kalau
semua orang memikirkan tentang America seperti itu?‖
―Siapa bilang mereka tidak memikirkan hal itu?‖ America berkata,
sedikit tersinggung. Kami semua tertawa, dan America cemberut. ―Aku
tidak bercanda.‖
Shepley membantunya berdiri lalu mencium pipinya. ―Kami tahu,
sayang. Aku sudah berhenti merasa cemburu sejak lama. Karena aku
tidak akan sempat melakukan apapun kalau aku terus merasa cemburu.‖
America tersenyum karena senang, lalu memeluknya. Shepley punya
bakat yang luar biasa untuk membuat semua orang di sekitarnya merasa
nyaman, tidak diragukan mungkin itu karena harus tumbuh bersama
Travis dan semua kakaknya. Itu bisa menjadi satu alat untuk membela
diri lebih dari apapun.
Travis menciumi telingaku, dan aku cekikikan lalu aku melihat Parker
datang mendekat. Perasaan mendesak seperti yang aku rasakan saat
Travis ingin kembali ke kafetaria datang lagi, aku langsung melepaskan
Travis dan langsung berjalan sejauh sepuluh kaki atau lebih untuk
mencegat Parker.
―Aku harus bicara denganmu,‖ dia berkata.
Aku melirik ke belakang, dan menggelengkan kepalaku sebagai
peringatan. ―Sekarang bukan waktu yang tepat, Parker. Ini adalah waktu
yang sangat…sangat tidak tepat sebenarnya. Travis dan Chris baru saja
berkelahi tadi saat makan siang, dan dia masih sedikit kesal. kau harus
pergi.‖
Parker menatap Travis, lalu kembali mengalihkan perhatiannya
kepadaku, bertekad. ―Aku baru saja mendengar apa yang terjadi di
kafetaria. Aku pikir kau tidak menyadari kau terlibat dengan apa.
Travis itu adalah berita buruk, Abby. Semua orang tahu itu. Tidak ada
yang membicarakan betapa hebatnya dirimu yang telah
merubahnya…mereka semua hanya menunggunya melakukan apa yang
paling bisa dia lakukan dengan baik. Aku tidak tahu apa yang dia
katakan padamu, tapi kau tidak tahu orang macam apa dia.‖
Aku merasakan tangan Travis di bahuku. ―Mengapa tidak kau beritahu
dia kalau begitu?‖
Parker bergerak dengan gugup. ―kau tahu berapa banyak wanita yang
sudah merasa dipermalukan yang harus aku antar pulang dari sebuah
pesta setelah mereka menghabiskan beberapa jam berdua di dalam
kamar bersama dengan Travis? Dia akan menyakitimu.‖
Jari Travis semakin menegang mendengarnya, dan aku menyentuh
tangannya hingga dia kembali tenang. ―kau harus pergi, Parker.‖
―Kau harus mendengar apa yang akan aku katakan, Abs.‖
―Jangan panggil dia dengan nama itu,‖ Travis geram.
Parker tidak melepaskan pandangannya dariku. ―Aku mengkhawatirkan
dirimu.‖
―Aku hargai itu, tapi itu tidak perlu.‖
Parker menggelengkan kepalanya. ―Dia melihatmu hanya sebagai
tantangan jangka panjang, Abby. Dia harus membuatmu berpikir bahwa
kau berbeda dari wanita lain agar dia bisa menidurimu. Dia akan bosan
padamu. Dia punya rentang perhatian seperti anak kecil.‖
Travis berjalan mengitariku, berdiri sangat dengan Parker sehingga
hidung mereka hampir bersentuhan. ―Aku sudah membiarkanmu
mengatakan apa yang ingin kau katakan. Kesabaranku sudah habis.‖
Parker berusaha memandangku, namun Travis menghalanginya. ―Jangan
berani-berani kau memandangnya. Lihat aku, dasar kau orang hina yang
manja.‖ Parker menatap ke arah mata Travis lalu menunggu. ―Meskipun
kau hanya bernafas ke arahnya, aku akan memastikan kau akan pincang
selama kuliah kedokteran.‖
Parker mundur beberapa langkah sehingga aku terlihat olehnya. ―Aku
pikir kau lebih pintar dari ini,‖ dia berkata sambil menggelengkan
kepalanya sebelum berbalik pergi.
Travis memperhatikan dia pergi, lalu berbalik, menatapku. ―kau tahu
kan kalau itu hanya omong kosong? Itu tidak benar.‖
―Aku yakin itu yang semua orang pikirkan,‖ aku menggerutu,
mengetahui semua itu akan berlalu.
―Aku akan membuktikan mereka salah.‖
®LoveReads

Seminggu berlalu, Travis membuktikan janjinya dengan serius. Dia


tidak lagi bercanda dengan wanita yang menghentikannya saat menuju
kelas atau keluar kelas, kadang malah dia kasar pada mereka. Saat kami
berjalan masuk ke The Red pada pesta Halloween, aku sedikit gugup
tentang bagaimana dia berencana untuk membuat mahasiswi yang
mabuk agar tidak mengganggunya.
Aku, America, dan Finch sedang duduk di meja yang terdekat sambil
memperhatikan Shepley dan Travis bermain billiar melawan dua orang
temannya dari Sig Tau.
―Ayo, sayang!‖ America berteriak, berdiri di atas tangga bangkunya.
Shepley mengedipkan satu matanya pada America, lalu gilirannya
memasukan bola, memasukkannya ke dalam lubang kanan yang cukup
jauh. ―Horeeee!‖ dia menjerit.
Tiga orang wanita berdandan sebagai Charlie‘s Angels datang
mendekati Travis saat dia sedang menunggu gilirannya, dan aku
tersenyum ketika dia berusaha sebisa mungkin untuk mengabaikan
mereka. Ketika salah satu dari mereka menyentuh salah satu tato di
lengannya, Travis menarik lengannya. Travis mengusirnya agar menjauh
sehingga dia dapat memasukan bola, wanita itu merajuk pada temannya.
―Bisakah kau percaya bagaimana bodohnya mereka? Wanita di sini pada
tidak tahu malu.‖ America berkata.
Finch menggelengkan kepalanya karena kagum. ―Penyebabnya adalah
Travis. Aku pikir karena image bad-boy nya. Mereka ingin
menyelamatkannya atau mereka pikir mereka kebal terhadap kelakuan
nakalnya. Aku tidak yakin yang mana.‖
―Mungkin karena keduanya,‖ aku tertawa, cekikikan melihat pada
semua wanita yang menunggu Travis untuk memperhatikan mereka.
―Bisa kau bayangkan bagaimana mereka berharap akan menjadi orang
yang Travis pilih? Mengetahui bahwa kau akan diperalat hanya untuk
seks?‖
―Karena kurang kasih sayang dari seorang ayah,‖ America berkata
sambil meneguk minumannya.
Finch mematikan rokoknya, lalu menarik baju kami. ―Ayo, girls! The
Finch ingin berdansa!‖
―Hanya jika kau berjanji tidak akan memanggil dirimu The Finch lagi
selamanya,‖ kata America.
Finch cemberut, dan America tertawa. ―Ayo, Abby. kau tidak ingin
membuat Finch menangis, kan?‖
Kami bergabung dengan orang yang berdandan seperti polisi dan vampir
di lantai dansa, dan Finch mengeluarkan jurus seperti Justin Timberlake-
nya. Aku melihat sekilas ke arah Travis dan menangkap basah dirinya
yang sedang memperhatikanku dari sudut matanya, berpura-pura
memperhatikan Shepley yang sedang memasukan bola delapannya dan
memenangkan permainan.
Shepley mengumpulkan uang hasil kemenangan mereka, dan Travis
berjalan ke meja yang panjang tapi rendah yang membatasi lantai dansa,
sambil membawa minuman. Finch menghentak lantai dansa, akhirnya
dia berdansa di tengah di antara aku dan America. Travis memutar
matanya, tertawa sambil berjalan kembali menuju meja kami bersama
dengan Shepley.
―Aku akan mengambil minum lagi, ada yang mau sesuatu?‖ America
berteriak di antara musik.
―Aku akan pergi denganmu,‖ kataku, melihat ke arah Finch sambil
menunjuk ke arah bar.
Finch menggelengkan kepalanya sambil terus berdansa. Aku dan
America melewati kerumunan banyak orang saat menuju ke bar.
Bartendernya kewalahan, maka kami menunggu agak lama.
―Travis dan Shepley mendapat banyak uang malam ini,‖ America
berkata.
Aku mendekat ke telinganya. ―Kenapa ada orang yang mau bertaruh
melawan Shepley, aku tidak akan pernah mengerti.‖
―Dengan alasan yang sama mereka bertaruh melawan Travis. Mereka
adalah orang-orang yang tolol,‖ dia tersenyum.
Seorang pria yang memakai baju toga bersandar di meja bar di samping
America dan tersenyum.
―Apa yang kalian minum malam ini?‖
―Kami membeli minuman kami sendiri, thanks,‖ America berkata
sambil tetap menatap ke depan.
―Aku Mike,‖ dia berkata, lalu menunjuk ke arah temannya, ―Ini Logan.‖
Aku tersenyum agar terlihat sopan, melihat ke arah America yang
ekspresinya terlihat seolah ingin mengusir mereka untuk pergi.
Bartender melayani kami lalu mengangguk, berbalik ke belakang untuk
membuat minum pesanan America. Dia kembali sambil membawa gelas
kotak berisi penuh cairan berbusa berwarna pink dan tiga botol bir. Mike
memberinya uang dan dia mengangguk.
―Itu minuman yang tidak biasa,‖ Mike berkata sambil mengamati
kerumunan.
―Yah,‖ America berkata, merasa terganggu.
―Aku melihatmu berdansa tadi,‖ Logan bicara padaku, menunjuk dengan
kepalanya ke arah lantai dansa. ―kau terlihat cantik.‖
―Hm...terima kasih,‖ aku berkata, berusaha untuk tetap sopan, tetap
waspada mengetahui bahwa Travis berada tidak jauh.
―kau mau berdansa?‖ dia bertanya.
Aku menggelengkan kepala. ―Tidak, terima kasih. Aku di sini
bersama—,‖
―Kekasihnya,‖ Travis berkata, muncul tiba-tiba. Dia menatap tajam ke
arah pria yang berdiri di hadapan kami, lalu mereka mundur sedikit,
merasa terintimidasi.
America tidak dapat menahan senyumnya saat Shepley memeluknya.
Travis menunjuk keluar dengan kepalanya. ―Pergilah, sekarang.‖
Kedua pria itu menatap aku dan America, lalu melangkah mundur
sebelum menghilang di kerumunan.
Shepley mencium America. ―Aku tidak bisa membawamu ke mana-
mana!‖ America cekikikan, dan aku tersenyum pada Travis, yang
melotot ke arahku.
―Apa?‖
―Kenapa kau membiarkan mereka membelikanmu minuman?‖
America melepaskan Shepley, mengetahui mood Travis. ―Kami tidak
mengizinkannya, Travis. Aku sudah bilang jangan pada mereka.‖
Travis mengambil salah satu botol dari tanganku. ―Lalu ini apa?‖
―Apakah kau serius?‖ tanyaku.
―Ya, aku benar-benar serius,‖ dia berkata, menuang isi botol bir ke
tempat sampah. ―Aku sudah memberitahumu ratusan kali…kau tidak
boleh menerima minuman dari sembarang orang. Bagaimana kalau dia
menaruh sesuatu dalam minuman itu?‖
America mengangkat gelasnya. ―Semua minumannya tidak pernah lepas
dari pengawasan kami, Trav. kau terlalu berlebihan.‖
―Aku tidak bicara denganmu,‖ Travis berkata, matanya menatap tajam
ke arahku.
―Heh!‖ kataku, langsung marah. ―Jangan bicara seperti itu padanya.‖
―Travis,‖ Shepley memperingatkan, ―Sudahlah.‖
―Aku tidak suka kalau kau membiarkan pria lain membelikanmu
minuman,‖ Travis berkata.
Aku mengangkat alisku. ―Apa kau mencoba untuk memulai
pertengkaran?‖
―Apakah tidak mengganggumu saat kau pergi ke bar dan melihatku
sedang berbagi minuman dengan wanita lain?‖
Aku mengangguk sekali. ―Baiklah. kau mengabaikan semua wanita lain.
Aku mengerti. Aku juga harus melakukan hal yang sama.‖
―Itu akan lebih baik.‖ Sangat jelas dia berusaha menahan amarahnya,
dan itu sedikit menakutkan untuk berada di sisi lain dan melawan
kemarahannya. Matanya masih menyala karena marah, masih ingin
mengungkapkan kemarahannya.
―Kau harus meredam rasa cemburumu, Travis. Aku tidak melakukan
kesalahan.‖
Travis menatapku dengan tidak percaya. ―Aku berjalan kemari dan ada
pria lain sedang membelikanmu minuman!‖
―Jangan berteriak padanya!‖ America berkata.
Shepley memegang bahu Travis. ―Kita semua sudah terlalu banyak
minum. Mari kita pergi dari sini.‖ Efek menenangkan Shepley tidak
berpengaruh pada Travis, dan aku merasa terganggu karena amukannya
mengakhiri acara kita malam ini.
―Aku harus memberitahu Finch bahwa kita akan pergi,‖ aku
menggerutu, menabrak bahu Travis saat berjalan menuju lantai dansa.
Tangan yang hangat memeluk pinggangku. Aku berbalik, dan melihat
jari Travis terkunci di pinggangku tanpa rasa menyesal. ―Aku akan pergi
bersamamu.‖
Aku melepaskan tanganku dari genggamannya. ―Aku bisa berjalan
beberapa kaki sendiri, Travis. Ada apa denganmu?‖
Aku melihat Finch berada di tengah lantai dansa, dan aku melepaskan
diri saat berjalan ke arahnya.
―Kami akan pergi!‖
―Mengapa?‖
―Travis sedang dalam mood kesal! Kami akan pergi!‖
Finch memutar matanya dan menggelengkan kepala, dan aku melambai
saat meninggalkan lantai dansa. Saat aku melihat America dan Shepley,
aku ditarik ke belakang oleh pria yang memakai kostum bajak laut.
―Mau pergi kemana?‖ dia tersenyum, menabrakku.
Aku tertawa dan menggelangkan kepalaku karena wajahnya yang
tampak lucu. Saat aku berbalik pergi, dia memegang tanganku. Tidak
butuh waktu yang lama untuk menyadari bahwa dia bukan memegang
tanganku tapi memegangi tanganku — agar aku tidak jatuh.
―Awas!‖ dia berteriak, melihat ke belakangku dengan mata terbelalak.
Travis bergegas menuju lantai dansa, dan menjatuhkan tinjunya tepat ke
wajah bajak laut, kekuatannya menjatuhkan kami berdua ke lantai.
Dengan telapak tanganku mendarat di lantai kayu, aku mengejapkan
mataku terpana tidak percaya. Merasakan sesuatu yang hangat dan basah
di tanganku, aku membalik tanganku dan merasa takut. Tanganku
berlumuran darah dari hidung pria itu. Tangannya menutup wajahnya,
namun cairan merah terang mengalir ke tangannya saat dia menggeliat
di lantai.
Travis langsung mengangkatku, sama terkejutnya denganku. ―Ya Tuhan,
kau tidak apa-apa, Pidge?‖
Ketika aku sudah berdiri, aku menepiskan tanganku dari genggamannya.
―Apakah kau sinting?‖
America memegang pinggangku dan menarik tubuhku melewati
kerumunan menuju tempat parkir.
Shepley membuka kunci mobil dan setelah aku duduk di kursiku, Travis
melihat ke belakang ke arahku.
―Maafkan aku, Pigeon, aku tidak tahu dia sedang memegangimu.‖
―Tinjumu hanya berjarak dua inchi dari wajahku!‖ aku berkata sambil
menangkap handuk untuk mengelap oli yang dilemparkan oleh Shepley
padaku. Aku mengelap darah dari tanganku, merasa jijik.
Seriusnya situasi ini membuat wajahnya lebih gelap dan dia meringis.
―Aku tidak akan memukul kalau aku tahu itu akan memukulmu juga.
kau tahu itu kan?‖
―Diamlah, Travis. Diam,‖ aku berkata sambil menatap bagian belakang
kepala Shepley.
―Pidge…,‖ Travis mulai bicara lagi.
®LoveReads

Shepley memukul kemudi mobil dengan ujung telapak tangannya.


―Diamlah, Travis! kau sudah bilang kau menyesal, sekarang tutup
mulutmu!‖
Perjalanan ke rumah sangat hening. Shepley menarik kursinya ke depan
untuk membiarkanku keluar dari mobil, dan aku memandang ke arah
America yang menggangguk mengerti.
Dia mencium kekasihnya. ―Sampai bertemu besok, sayang.‖
Shepley mengangguk pasrah lalu menciumnya. ―Aku mencintaimu.‖
Aku berjalan melewati Travis menuju mobil America, dan dia berlari
mengikutiku. ―Ayolah. Jangan pergi saat sedang marah.‖
―Oh. Aku bukan pergi karena marah. Aku sangat marah.‖
―Dia membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, Travis,‖ America
memperingatkan, membuka kunci mobilnya.
Ketika kunci pintu penumpang terbuka, Travis menahan pintu dengan
tangannya. ―Jangan pergi, Pigeon. Aku sudah keterlaluan. Maafkan
aku.‖
Aku mengangkat tanganku, memperlihatkan sisa darah kering di telapak
tanganku padanya.
―Hubungi aku saat kau sudah dewasa.‖
Dia menyandarkan tubuhnya di pintu mobil. ―kau tidak boleh pergi.‖
Aku mengangkat alisku, dan Shepley berlari mengitari mobil dan berdiri
di samping kami. ―Travis, kau mabuk. kau akan melakukan kesalahan
besar. Biarkan dia pulang untuk menenangkan diri…kalian berdua bisa
bicara lagi besok saat kau sudah sadar.‖
Ekspresi Travis menjadi putus asa. ―Dia tidak boleh pergi,‖ dia berkata,
menatap mataku.
―Itu tidak akan berhasil, Travis,‖ aku berkata, sambil menarik pintu.
―Minggir!‖
―Apa maksudmu tidak akan berhasil?‖ Travis bertanya, sambil
memegang tanganku.
―Maksudku wajah memelasmu. Aku tidak akan merasa kasihan,‖ aku
berkata, menjauh darinya.
Shepley memperhatikan Travis sebentar, lalu berbalik menatapku.
―Abby…ini adalah momen yang aku bicarakan. Mungkin kau harus…,‖
―Jangan ikut campur, Shep,‖ America membentak, menyalakan mesin
mobil.
―Aku akan mengacau. Aku akan sering mengacau, Pidge, tapi kau harus
memaafkanku.‖
―Aku akan memiliki memar yang besar di pantatku nanti pagi! kau
memukul pria itu karena kau kesal padaku! Itu memberitahuku apa? Itu
memberiku peringatan kalau bahaya akan selalu ada!‖
―Aku tidak pernah memukul seorang wanita selama hidupku,‖ dia
berkata, terkejut karena kata-kataku.
―Dan aku tidak ingin menjadi yang pertama!‖ aku berkata, menarik pintu
mobil agar terbuka.
―Minggir, sialan!‖
Travis mengangguk, lalu mundur selangkah. Aku duduk di samping
America, membanting pintu.
Dia memundurkan mobil, dan Travis membungkuk untuk melihatku dari
jendela.
―kau akan meneleponku besok, kan?‖ dia berkata sambil memegang
kaca depan mobil.
―Ayo cepat maju, Mare,‖ aku berkata, menghindari tatapan mata Travis.
®LoveReads

Malam terasa sangat panjang. Aku terus melihat jam, dan meringis
setiap aku melihat satu jam lagi telah berlalu. Aku tidak bisa berhenti
memikirkan Travis dan apakah aku harus meneleponnya atau tidak,
ingin tahu apakah dia masih belum tidur juga. Akhirnya terpaksa aku
memasang earphone Ipod di telingaku dan mendengarkan semua lagu
berirama kencang yang ada di playlistku.
Terakhir aku melihat jam, jam menunjukan jam empat lewat. Beberapa
burung sudah mulai berkicau di luar jendelaku, dan aku tersenyum saat
mataku mulai terasa berat. Seperti baru beberapa menit aku tertidur saat
aku mendengar ada yang mengetuk pintu, dan America menerobos
masuk.
Dia menarik earphone dari telingaku lalu duduk di kursi meja belajarku.
―Selamat pagi, sayang. kau tampak berantakan,‖ dia berkata sambil
meniup gelembung pink dari mulutnya lalu membiarkannya meletus
dengan suara yang keras.
―Diamlah, America!‖ Kara berkata dari bawah selimutnya.
―kau sadar kan orang sepertimu dan Travis akan bertengkar?‖ America
berkata, mengikir kukunya sambil mengunyah permen karet di
mulutnya.
Aku berbalik di tempat tidur. ―kau resmi dipecat. kau seharusnya
membelaku.‖
Dia tertawa. ―Aku sangat mengenalmu. Jika aku memberimu kunci
mobilku sekarang, kau akan langsung pergi menuju rumah Travis.‖
―Tidak, tidak akan!‖
―Terserah saja,‖ dia terlihat senang.
―Ini baru jam delapan pagi, Mare. Mereka mungkin masih tertidur
pulas.‖
Beberapa saat kemudian, aku mendengar ketukan pelan di pintu. Lengan
Kara keluar dari selimut dan memutar pegangan pintu. Pintu dengan
pelan terbuka, memperlihatkan Travis yang sedang berdiri di depan
pintu.
―Bolehkah aku masuk?‖ dia bertanya dengan suara pelan dan serak.
Bulatan ungu di bawah matanya memberitahu kurang tidurnya dia, jika
memang dia sempat tidur.
Aku duduk di tempat tidur, terkejut oleh penampilannya yang
berantakan. ―kau tidak apa-apa?‖
Dia melangkah masuk dan berlutut di hadapanku. ―Aku sangat
menyesal, Abby. Maafkan aku.‖ Dia berkata, memeluk pinggangku dan
menenggelamkan kepalanya di pangkuanku.
Aku memeluk kepalanya dan melihat ke arah America.
―Aku ehm...aku akan pergi,‖ dia berkata, meraba-raba mencari pegangan
pintu dengan canggung.
Kara menggosok matanya lalu menghela nafas, kemudian mengambil tas
peralatan mandinya. ―Aku selalu sangat bersih kalau kau ada di sini,
Abby,‖ dia menggerutu, membanting pintu di belakangnya.
Travis melihat ke atas ke arahku. ―Aku tahu aku menjadi gila kalau itu
tentangmu, tapi Tuhan tahu aku berusaha, Pidge. Aku tidak mau
mengacaukan ini.‖
―Kalau begitu jangan.‖
―Ini sangat sulit untukku, kau tahu. Aku merasa setiap saat kau akan
menyadari betapa tidak berharganya aku lalu meninggalkanku. Ketika
kau berdansa tadi malam, aku melihat banyak pria berbeda yang
memperhatikanmu. kau pergi ke bar, dan aku melihat kau berterimakasih
pada pria itu untuk minumanmu. Lalu orang brengsek yang di lantai
dansa itu memegangmu.‖
―kau tidak melihatku memukuli setiap wanita yang berbicara denganmu.
Aku tidak bisa selalu diam di apartemen sepanjang waktu. kau harus
bisa untuk dapat mengontrol emosimu.‖
―Aku akan bisa mengontrolnya. Aku tidak pernah ingin punya kekasih
sebelumnya, Pigeon. Aku tidak terbiasa merasa seperti ini tentang
seseorang…tentang siapapun. Jika kau mau bersabar terhadapku, aku
bersumpah akan mengatasinya.‖
―Mari kita luruskan beberapa hal; kau bukan orang yang tidak berguna,
kau adalah orang yang sangat mengagumkan. Tidak peduli siapa yang
membelikanku minuman, atau yang mengajakku berdansa, atau yang
mencoba merayuku. Aku akan pulang bersamamu. kau minta aku untuk
mempercayaimu, tapi kau tampak tidak percaya padaku.‖
Dia cemberut. ―Itu tidak benar.‖
―Jika kau pikir aku akan meninggalkanmu untuk pria yang datang
padaku berikutnya, itu berati kau tidak mempercayaiku.‖
Dia mempererat pegangannya. ―Aku tidak cukup baik untukmu, Pidge.
Itu bukan berarti aku tidak percaya padamu, aku hanya bersiap untuk hal
yang sudah pasti akan terjadi.‖
―Jangan berkata seperti itu. Saat kita berdua, kau sangat sempurna. Kita
sangat sempurna. Tapi kau membiarkan orang lain menghancurkannya.
Aku tidak mengharapkan kau berubah seratus delapan puluh derajat, tapi
kau harus memilih mana hal yang lebih penting. kau tidak bisa selalu
memukul setiap orang yang melihatku.‖
Dia mengangguk. ―Aku akan melakukan apapun maumu. Tapi…katakan
bahwa kau mencintaiku.‖
―Kau tahu itu.‖
―Aku ingin mendengar kau mengatakannya,‖ dia berkata, alisnya
terangkat.
―Aku mencintaimu,‖ aku berkata sambil menciumnya. ―Sekarang
berhentilah berkelakuan seperti anak kecil.‖
Dia tertawa, merangkak naik ke tempat tidurku. Kami menghabiskan
waktu selama satu jam di tempat yang sama di bawah selimut, cekikikan
dan berciuman, hampir tidak menyadari saat Kara kembali dari kamar
mandi.
―Bisakah kau keluar? Aku harus berpakaian,‖ Kara berkata pada Travis,
mengencangkan jubah mandinya.
Travis mencium pipiku, lalu melangkah keluar kamar. ―Sampai bertemu
sebentar lagi.‖
Aku menjatuhkan kepalaku ke atas bantal saat Kara menggeledah
lemarinya. ―Kenapa kau kelihatan sangat senang, Abby? Kekasihmu
adalah contoh utama, yang menakutkan mengingat dia dari yang tidak
pernah menghormati wanita sama sekali menjadi yang berpikir bahwa
dia membutuhkanmu untuk bernafas.‖
―Mungkin dia memang begitu.‖ aku berkata, tidak akan membiarkan dia
merusak moodku.
―Apa kau tidak ingin tahu mengapa bisa seperti itu? Maksudku….dia
pernah tidur dengan sebagian dari wanita yang ada di kampus ini.
Kenapa kau yang dia pilih?‖
―Dia bilang aku berbeda.‖
―Tentu saja saja dia bilang begitu. Tapi kenapa?‖
―Kenapa kau peduli?‖ aku membentak.
―Sangat berbahaya untuk membutuhkan seseorang sebegitu besarnya.
kau berusaha untuk menolongnya dan dia berharap kau dapat
menolongnya. Kalian berdua adalah musibah.‖
Aku tersenyum sambil melihat langit-langit. ―Tidak penting apa atau
mengapa begitu. Ketika itu berjalan dengan baik, Kara…itu sangat
indah.‖
Dia memutar matanya. ―kau memang tidak ada harapan.‖
Travis mengetuk pintu, dan Kara membiarkan dia masuk.
―Aku akan ke ruang makan untuk belajar. Semoga beruntung,‖ dia
berkata dengan suara paling tulus yang dia bisa kerahkan.
―Semoga beruntung untuk apa?‖ Travis bertanya.
―Dia bilang kita berdua adalah musibah.‖
―Beritahu aku sesuatu yang tidak aku ketahui,‖ dia tersenyum. Matanya
tiba-tiba menjadi fokus, dan dia mencium bagian belakang telingaku.
―Kenapa kau tidak pulang bersamaku?‖
Aku menaruh tanganku di belakang lehernya dan mendesah karena
bibirnya yang lembut di kulitku.
―Aku pikir aku akan tinggal di sini. Aku selalu berada di apartemenmu.‖
Kepalanya terangkat. ―Terus kenapa? kau tidak suka berada di sana?‖
Aku menyentuh pipinya lalu menghela nafas. Dia sangat cepat cemas.
―Tentu saja aku senang berada di sana, tapi aku tidak tinggal di sana.‖
Dia mengusapkan ujung hidungnya di leherku. ―Aku ingin kau berada di
sana. Aku menginginkanmu di sana setiap malam.‖
―Aku tidak akan tinggal bersamamu,‖ aku berkata sambil
menggelengkan kepala.
―Aku tidak memintamu untuk tinggal bersamaku. Aku hanya bilang aku
ingin kau ada di sana.‖
―Sama saja!‖ aku tertawa.
Travis cemberut. ―Kau serius tidak akan menginap bersamaku malam
ini?‖
Aku menggelengkan kepala, dan matanya bergerak menatap dinding
kamarku lalu ke langit-langit.
Aku hampir dapat melihat roda yang berputar di dalam kepalanya. ―Kau
sedang memikirkan apa?‖ aku bertanya, memicingkan mataku.
―Aku berusaha memikirkan tentang membuat taruhan baru.‖
®LoveReads
Bab 12

Serasi

Aku memasukan satu pil kecil ke dalam mulutku dan menelannya


bersama dengan satu gelas besar air. Aku berdiri di tengah kamar Travis
dengan hanya memakai bra dan celana dalam, bersiap untuk memakai
piyamaku.
―Apa itu?‖ Travis bertanya dari atas tempat tidur.
―Ehm…pil ku?‖
Dia merengut. ―Pil apa?‖
―Pil, Travis. kau belum mengisi kembali laci atasmu dan hal terakhir
yang aku butuhkan adalah khawatir tentang apakah aku akan mendapat
menstruasiku atau tidak.‖
―Oh.‖
―Salah satu dari kita harus bertanggung jawab,‖ aku berkata sambil
mengangkat alisku.
―Ya Tuhan, kau sangat seksi,‖ Travis berkata, menahan kepala di atas
tangannya. ―Wanita tercantik di Eastern adalah kekasihku. Itu gila.‖
Aku memutar mataku dan memasukkan baju sutra ke kepalaku,
merangkak naik ke sampingnya di atas tempat tidur. Aku duduk di atas
pangkuannya dan mencium lehernya, cekikikan saat dia menyandarkan
kepalanya di kepala tempat tidur. ―Lagi? kau akan membunuhku, Pidge‖
―kau tidak akan mati,‖ aku berkata sambil menciumi wajahnya. ―kau
terlalu berharga.‖
―Bukan, aku tidak bisa mati karena terlalu banyak orang brengsek yang
berusaha untuk merebut posisiku! Aku harus hidup selamanya untuk
membuat mereka iri.‖ Aku cekikikan di mulutnya dan dia membalik
tubuhku sehingga aku terbaring di atas tempat tidur.
Tangannya meluncur ke bawah tali ungu lembut yang terikat di atas
bahuku dan melepasnya dari tanganku, lalu menciumi bahuku.
―Mengapa aku, Trav?‖
Dia terduduk, menatap mataku. ―Apa maksudmu?‖
―Kau telah bersama banyak wanita, tidak mau berpacaran, bahkan
menolak saat di beri nomor telepon…jadi mengapa aku yang kau pilih?‖
―Kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal ini?‖ dia bertanya, ibu jarinya
membelai pipiku.
Aku mengangkat bahu. ―Aku hanya ingin tahu.‖
―Mengapa aku? Ada separuh dari pria di Eastern yang sedang
menungguku melakukan kesalahan.‖
Aku mengerutkan hidungku. ―Itu tidak benar. Jangan mengalihkan
pembicaraan.‖
―Itu benar. Jika aku tidak mengejarmu dari awal kuliah, kau akan
bersama Parker Hayes yang mengikutimu kemana-mana. Dia terlalu
mementingkan diri sendiri untuk merasa takut padaku.‖
―Kau menghindari pertanyaanku!‖
―Baiklah. Mengapa dirimu?‖ Senyuman lebar terukir di wajahnya lalu
dia mendekat dan mencium bibirku. ―Aku merasakan sesuatu padamu
sejak kau menonton pertarungan malam itu.‖
―Apa?‖ aku berkata dengan ekspresi meragukan.
―Ya, benar. Kau memakai cardigan dengan noda percikan darah di
seluruh tubuhmu? kau terlihat sangat menggelikan.‖ Dia tertawa kecil.
―Terima kasih.‖
Senyumnya menghilang. ―Pada saat kau melihat ke arahku. Pada saat
itulah. Mata lebar, wajah yang polos…tidak berpura-pura. kau tidak
melihatku sebagai Travis Maddox,‖ dia berkata, memutar matanya pada
kata-katanya sendiri, ―kau melihatku sebagai…aku tak tahu, sebagai
seorang manusia mungkin.‖
―Sekilas info, Trav. Kau memang seorang manusia.‖
Dia mengusap poni dari wajahku. ―Bukan, sebelum kau ada, Shepley
satu-satunya orang yang memperlakukanku tidak seperti orang lain
memperlakukanku. kau tidak canggung, menggoda, atau memainkan
rambutmu. kau benar-benar melihat aku.‖
―Aku sudah benar-benar jahat padamu, Travis.‖
Dia mencium leherku. ―Itu yang membuatku menyukaimu.‖
Tanganku membelai punggungnya lalu masuk ke dalam celana
boxernya. ―Aku harap ini menjadi masalah lama. Aku tidak akan pernah
merasa bosan padamu.‖
―Janji?‖ dia bertanya sambil tersenyum.
Telepon Travis bergetar di atas meja lampu tempat tidur dan dia
tersenyum, mengangkatnya ke telinga. ―Yah?...Oh, tentu saja tidak, aku
bersama Pidge di sini. Kami baru akan tidur…Tutup mulutmu, Trent, itu
tidak lucu…Serius? Apa yang dia lakukan di sini?‖ Dia melihat ke
arahku lalu menghela nafas. ―Baiklah. Kami akan tiba dalam setengah
jam…kau dengar aku, sialan. Karena aku tak akan pergi kemana pun
tanpa dia, itu alasannya. Kau ingin aku menghantamkan wajahmu saat
aku tiba di sana?‖ Travis menutup telepon dan menggelengkan kepala.
Aku mengangkat alisku. ―Itu adalah percakapan yang paling aneh yang
pernah aku dengar.‖
―Itu adalah Trent. Thomas sedang berada di sini dan sekarang adalah
malam Poker di rumah ayahku.‖
―Malam Poker?‖ aku menelan ludah.
―Ya, mereka biasanya memenangkan semua uangku. Dasar bajingan
curang.‖
―Aku akan bertemu keluargamu dalam tiga puluh menit?‖
Dia melihat jam tangannya. ―Dua puluh tujuh menit lagi tepatnya.‖
―Ya Tuhan, Travis!‖ aku meratap, melompat dari tempat tidur.
―Apa yang kau lakukan?‖ dia menghela nafas.
Aku menggeledah lemari dan mengenakan celana jeans, melompat
berkali-kali untuk menariknya ke atas, lalu melepas baju tidurku,
melemparnya ke wajah Travis. ―Aku tidak percaya kau memberitahuku
hanya dua puluh lima menit sebelum aku bertemu keluargamu! Aku
ingin membunuhmu sekarang!‖
Dia menyingkirkan baju tidurku dari matanya lalu tertawa karena
melihat usaha putus asaku untuk terlihat rapi. Aku mengambil kaos v-
neck lalu memakainya, kemudian lari menuju kamar mandi, menggosok
gigiku, dan menyisir rambutku. Travis berjalan di belakangku, sudah
mengganti pakaiannya dan siap untuk pergi, lalu memeluk pinggangku.
―Aku terlihat berantakan!‖ kataku, mengernyit di depan cermin.
―Apa kau tidak sadar betapa cantiknya dirimu?‖ dia bertanya, mencium
leherku.
Aku mendengus, berlari ke kamar Travis untuk mencari sepatu hak
tinggi lalu memakainya, kemudian memegang tangan Travis saat dia
menuntunku ke luar pintu. Aku berhenti berjalan, menarik ritsleting
jaket kulitku lalu mengikat rambutku bersiap untuk perjalanan yang akan
berangin kencang menuju rumah ayahnya Travis.
―Tenanglah, Pigeon. Di sana hanya akan ada beberapa pria yang duduk
mengelilingi meja.‖
―Ini pertama kalinya aku bertemu Ayah dan seluruh kakakmu…semua
dalam waktu yang bersamaan…dan kau memintaku agar tenang?‖ aku
berkata sambil naik ke atas motor.
Dia memiringkan lehernya, menyentuh pipiku saat dia menciumku.
―Mereka akan mencintaimu, seperti aku.‖
®LoveReads

Ketika kami tiba, aku mengurai rambutku dan menyisirnya


menggunakan jariku beberapa kali sebelum Travis menuntunku ke pintu.
―Ya Tuhan! Itu si bodoh!‖ satu dari mereka berteriak.
Travis mengangguk sekali. Dia berusaha untuk terlihat kesal, namun aku
bisa melihat dia senang bertemu dengan semua saudaranya. Rumahnya
usang, dengan wallpaper kusam berwarna kuning dan coklat dan karpet
berbulu kasar berwarna coklat bergradasi. Kami berjalan menelusuri
lorong yang menuju langsung ke sebuah ruangan dengan pintu yang
terbuka lebar. Bau rokok tercium di lorong, Ayah dan kakak Travis
sedang duduk mengelilingi meja kayu bundar di atas kursi yang tidak
serasi.
―Heh, heh….jaga bahasamu di depan seorang wanita,‖ Ayah Travis
berkata, cerutu bergerak naik turun di mulutnya saat dia berbicara.
―Pidge, ini ayahku, Jim Maddox. Ayah, ini Pigeon.‖
―Pigeon?‖ Jim bertanya, ekspresi kagum di wajahnya.
―Abby,‖ aku tersenyum, menjabat tangannya.
Travis menunjuk ke arah saudaranya. ―Itu Trenton, Taylor, Tyler, dan
Thomas.‖
Semua mengangguk, semua kecuali Thomas yang terlihat seperti Travis
namun lebih tua; rambut cepak, mata coklat, kaos mereka kelihatan ketat
diatas otot mereka yang menonjol dan penuh tatoo. Thomas memakai
kemeja dan dasi yang di longgarkan, matanya hijau kecoklatan, dan
rambutnya yang pirang gelap lebih panjang satu inchi dari Travis dan
Thomas.
―Apa Abby mempunyai nama belakang?‖ Jim bertanya.
―Abernathy,‖ aku mengangguk.
―Senang bertemu denganmu, Abby,‖ Thomas berkata sambil tersenyum.
―Sangat senang,‖ Trent berkata sambil menatap nakal. Lalu Jim
memukul belakang kepalanya dan dia berteriak. ―Memang aku ngomong
apa?‖ dia berkata sambil mengusap-usap belakang kepalanya.
―Silahkan duduk, Abby. Perhatikan kami mengambil uang Travis.‖ kata
salah satu dari si kembar. Aku tidak bisa membedakan; mereka sangat
mirip satu sama lain, bahkan tatoo mereka sama.
Di ruangan itu terpajang foto-foto pertandingan poker lama, foto legenda
poker yang berpose bersama Jim dengan seseorang yang aku perkirakan
adalah kakek Travis, dan kartu antik di sepanjang lemari.
―Anda mengenal Stu Unger?‖ aku berkata sambil menunjuk ke arah foto
yang berdebu.
Mata sipitnya Jim berbinar. ―kau tahu siapa Stu Unger?
Aku mengangguk. ―Ayahku juga penggemarnya.‖
Jim berdiri, menunjuk ke arah foto berikutnya. ―Dan di sana itu adalah
Doyle Brunson.‖
Aku tersenyum. ―Ayahku pernah melihat pertandingannya, sekali. Dia
sangat luar biasa.‖
―Kakeknya Travis adalah pemain poker professional…kami bermain
poker dengan serius di sini,‖ Jim tersenyum.
Aku duduk di antara Travis dan salah satu dari si kembar sementara
Trenton mengocok setumpuk kartu dengan cukup lihai. Mereka menaruh
uang mereka dan Jim membagikan chip.
Trenton menarik salah satu alisnya. ―kau ingin ikut bermain, Abby?‖
Aku tersenyum sopan dan menggelengkan kepala. ―Kupikir seharusnya
tidak.‖
―kau tak tahu cara mainnya?‖ Jim bertanya.
Aku tidak bisa menahan senyum. Jim tampak serius, nyaris kebapakan.
Aku tahu jawaban apa yang dia harapkan, dan aku tidak mau
mengecewakannya.
Travis mencium keningku. ―Ikut bermain saja…aku akan mengajarimu.‖
―Sekarang kau akan mengucapkan selamat tinggal pada uangmu, Abby,‖
Thomas tertawa.
Aku menutup rapat bibirku dan meraih ke dalam tas, mengeluarkan dua
lembar uang lima puluh dolar. Aku menyerahkannya pada Jim dan
menunggu dengan sabar saat dia menukarnya dengan kepingan chip.
Bibir Trenton tersenyum dengan sombong, namun aku mengacuh-
kannya. ―Aku percaya pada keahlian mengajar Travis.‖ Kataku.
Salah satu dari si kembar bertepuk tangan. ―Hore! Aku akan bertambah
kaya malam ini!‖
―Kali ini mulai dengan taruhan kecil,‖ Jim berkata sambil melempar
chip lima dollar.
Trenton membagikan kartu, dan Travis membuka lebar tanganku.
―Apakah kau pernah bermain kartu sebelumnya?‖
―Sudah lama tidak.‖ Aku mengangguk.
―Cangkulan tidak di hitung,‖ Kata Trenton sambil melihat kartunya.
―Tutup mulutmu, Trent,‖ kata Travis, melirik ke arah kakaknya sebelum
melihat kembali ke arah tanganku. ―Kau mengharapkan kartu dengan
angka yang lebih besar, berurutan, dan jika kau benar-benar beruntung,
memperoleh daun yang sama.‖
Putaran pertama, Travis melihat kartuku dan aku melihat kartunya. Aku
sebagian besar hanya mengangguk dan tersenyum, bermain saat disuruh.
Aku dan Travis kalah, kepingan chipku sudah berkurang saat putaran
pertama berakhir.
Setelah Thomas membagikan kartu untuk putaran kedua, aku tidak
membiarkan Travis melihat kartuku. ―Kurasa aku sudah mengerti
sekarang.‖ Kataku.
―kau yakin?‖ dia bertanya.
―Aku yakin, sayang.‖ Aku tersenyum.
Pada tiga putaran berikutnya, aku telah memenangkan kembali semua
chipku dan mengambil tumpukan chip yang lain dengan sepasang As,
straight (seri), dan kartu yang angkanya tinggi.
―Sialan!‖ Trenton merengek. ―Keberuntungan pemula menyebalkan.‖
―kau punya murid yang cepat mengerti, Trav,‖ Jim berkata sambil
menggigit cerutu di mulutnya.
Travis meminum birnya. ―kau membuatku bangga, Pigeon!‖ matanya
bersinar karena merasa senang, dan senyumnya berbeda dari yang
pernah aku lihat sebelumnya.
―Terima kasih,‖ aku tersenyum.
―Orang yang tidak bisa main poker tapi mengajari orang lain.‖ Thomas
berkata sambil menyeringai.
―Sangat lucu, brengsek,‖ Travis menggerutu.
Empat putaran berikutnya, aku meminum bir terakhirku dan
memicingkan mataku ke arah satu-satunya pria di meja yang belum
menyerah. ―Kau tinggal memilih, Taylor. kau akan menjadi seperti anak
kecil atau akan menambah taruhanmu seperti seorang pria?‖
―Terserah,‖ dia berkata sambil melempar chip terakhirnya.
Travis menatapku, matanya terlihat bersemangat. Itu mengingatkanku
pada ekspresi semua orang saat melihat dia bertarung. ―Apa yang kau
punya, Pigeon?‖
―Taylor?‖ aku mendorongnya.
Senyuman lebar terukir di wajahnya. ―Flush!‖ dia tersenyum, membuka
kartunya di atas meja.
Lima pasang mata menatapku. Aku melihat ke arah meja lalu
membanting kartuku. ―Lihat dan menangislah, boys! 3 As dan 2
delapan!‖ kataku sambil tertawa cekikikan.
―Full house? Kok bisa?‖ Trent berteriak.
―Maafkan. Aku selalu ingin mengatakan itu,‖ aku berkata sambil
menarik semua chipku.
Mata Thomas memicing. ―Ini bukan keberuntungan pemula. Dia
memang bisa main.‖
Travis menatap Thomas beberapa saat lalu melihat ke arahku. ―Apa kau
pernah main sebelumnya, Pidge?‖
Aku mengatupkan mulutku lalu mengangkat bahu, memberikan
senyuman tanpa dosa terbaikku.
Kepala Travis terkulai ke belakang, tertawa terbahak-bahak. Dia
mencoba berbicara tapi dia tidak bisa, lalu memukul meja dengan
tangannya.
―Kekasihmu menipu kita!‖ kata Taylor sambil menunjuk ke arahku.
―TIDAK MUNGKIN!‖ Trenton mengeluh lalu berdiri.
―Rencana yang bagus, Travis. Membawa pemain poker ahli ke malam
poker,‖ kata Jim, sambil mengedipkan sebelah matanya padaku.
―Aku tidak tahu!‖ katanya, menggelengkan kepala.
―Omong kosong,‖ kata Thomas, menatapku.
―Aku benar-benar tidak tahu!‖ dia bicara di sela tawanya.
―Aku tidak suka mengatakannya, Bro. Tapi aku pikir aku jatuh cinta
pada kekasihmu,‖ kata Tyler.
―Heh, enak saja,‖ kata Travis, senyumnya langsung hilang jadi meringis.
―Cukup. Aku tadi bersikap lunak padamu, Abby, tapi aku akan
memenangkan semua uangku kembali sekarang,‖ Trentron
memperingatkan.
Travis tidak ikut bermain di beberapa putaran terakhir, memperhatikan
semua kakaknya melakukan yang terbaik untuk mengambil kembali
uang mereka. Putaran ke putaran berikutnya, aku memenangkan chip
mereka, putaran ke putaran berikutnya, Thomas memperhatikanku lebih
teliti.
Setiap kali aku membuka kartuku Jim dan Travis tertawa, Taylor
memaki, Tyler mengungkapkan cinta matinya padaku, dan Trent
mengamuk.
Aku menukar semua chipku dan memberi mereka tiap orang seratus
dollar ketika kami semua duduk di ruang tamu. Jim menolaknya
sedangkan yang lain menerimanya dengan senang. Travis menarik
lenganku dan kami berjalan ke pintu. Aku dapat melihat dia tidak
senang, maka aku meremas jarinya.
―Ada apa, sayang?‖
―kau baru saja memberikan empat ratus dolar, Pidge!‖ Travis merengut.
―Kalau ini malam poker di Sig Tau, aku akan menyimpannya. Aku tidak
bisa mengambil uang saudaramu di hari pertama aku bertemu mereka.‖
―Mereka akan mengambil uangmu!‖ Travis berkata.
―Dan aku juga tidak akan mengalah lagi nanti,‖ Tyler tertawa.
Thomas menatapku dengan diam dari pojok ruangan.
―Mengapa kau terus memandangi kekasihku, Tommy?‖
―Apa tadi kau bilang nama belakangmu?‖ Thomas bertanya.
Aku bergerak dengan gugup. Travis menyadari ketidaknyamananku,
berpaling ke arah saudaranya lalu memeluk pinggangku. Aku merasa
tidak yakin dia melakukannya karena ingin melindungiku atau karena
bersiap-siap untuk mendengar apa yang saudaranya akan katakan.
―Abernathy, memang kenapa?‖
―Aku mengerti mengapa kau tidak mengatakannya sampai sekarang,
Trav, tapi sekarang kau tidak bisa mengelak.‖ Thomas berkata, puas
pada diri sendiri.
―Apa yang kau bicarakan?‖ tanya Travis.
―Apa kau ada hubungannya dengan Mick Abernathy?‖ tanya Thomas.
Semua kepala berpaling padaku dan aku dengan gugup mengaruk
kepalaku. ―Bagaimana kau mengenal Mick?‖
Travis memiringkan kepalanya untuk melihat mataku. ―Dia satu-satunya
pemain poker terbaik yang pernah ada. kau mengenalnya?‖
Aku meringis, mengetahui akhirnya aku di pojokan untuk memberitahu
yang sebenarnya. ―Dia adalah ayahku.‖
Satu ruangan meledak. ―TIDAK MUNGKIN!‖
―AKU SUDAH MENGIRA!‖
―KITA SUDAH DIPERMAINKAN OLEH ANAKNYA MICK
ABERNATHY!‖
―MICK ABERNATHY? YA TUHAN!‖
Hanya Thomas, Jim, dan Travis yang tidak berteriak. ―Aku tadi kan
sudah bilang aku tidak harus ikut bermain,‖ kataku.
―Jika tadi kau mengatakan kalau kau anaknya Mick Abernathy, kupikir
kita akan lebih serius melawanmu.‖ kata Thomas.
Aku melirik Travis, yang menatapku dengan kagum. ―kau adalah si
Lucky Thirteen?‖ tanyanya, matanya sedikit kabur.
Trenton berdiri dan menunjuk ke arahku, mulutnya terbuka lebar.
―Lucky Thirteen ada di rumah kita! Tidak mungkin! Aku tak bisa
mempercayainya!‖
―Itu julukan yang Koran berikan padaku. Dan ceritanya tidaklah begitu
akurat,‖ kataku, gelisah.
―Aku harus membawa Abby pulang, guys,‖ kata Travis, masih
menatapku.
Jim menatapku dari kacamatanya. ―Kenapa tidak akurat?‖
―Aki tidak mengambil keberuntungan ayahku. Maksudku, itu sangat
konyol,‖ aku tertawa kecil, memainkan rambut dengan jariku.
Thomas menggelengkan kepalanya. ―Tidak, Mick pernah di wawancara.
Dia bilang saat tengah malam pada ulang tahunmu yang ke tiga belas
keberuntungannya hilang.‖
―Dan keberuntunganmu bertambah,‖ Travis menambahkan.
―Kau dibesarkan oleh anggota mafia!‖ kata Trent, tersenyum dengan
senang.
―Ehm..tidak,‖ Aku tertawa sekali. ―Mereka tidak membesarkanku,
mereka hanya… sering ada bersamaku.‖
―Sangat di sayangkan, Mick menjelekkan namamu di semua koran
seperti itu. kau masih anak-anak waktu itu,‖ kata Jim, menggelengkan
kepalanya.
―Mungkin tadi itu hanya keberuntungan pemula,‖ kataku, dengan putus
asa berusaha menyembunyikan rasa maluku.
―Kau diajari oleh Mick Abernathy,‖ kata Jim, menggelengkan kepalanya
dengan kagum. ―Kau bermain secara professional, dan menang, pada
umur tiga belas tahun demi Tuhan.‖ Dia melihat ke arah Travis lalu
tersenyum. ―Jangan bertaruh melawannya, nak. Dia tidak pernah kalah.‖
Travis menatapku, saat itu, ekspresinya masih terkejut dan bingung.
―Ehm…kami harus pergi, ayah. Selamat tinggal, guys.‖
®LoveReads

Keriuhan ocehan keluarga Travis menghilang saat dia menarikku keluar


pintu menuju motornya. Aku mengikat rambutku dan menaikan
ritsleting jaketku, menunggunya bicara. Dia naik ke motornya tanpa
sepatah katapun, aku duduk di belakangnya.
Aku yakin dia merasa aku tidak jujur padanya, dan dia mungkin merasa
malu karena mengetahui tentang bagian penting dari hidupku di saat
yang sama dengan keluarganya. Aku menanti perdebatan yang hebat
saat kami tiba di apartemen, dan aku sudah memikirkan beberapa cara
yang berbeda untuk meminta maaf di kepalaku sebelum kami tiba di
pintu depan.
Dia menuntun tanganku menelusuri lorong, membantuku membuka
jaket. Aku menarik tali rambut coklat dari atas kepalaku, dan rambutku
terurai di atas bahuku. ―Aku tahu kau marah,‖ kataku, tidak sanggup
menatap matanya. ―Maafkan aku tidak memberitahumu, tapi itu bukan
topik yang ingin aku bicarakan.‖
―Marah padamu?‖ Travis berkata. ―Aku sangat terangsang hingga aku
tidak bisa melihat dengan lurus. kau baru saja merampok semua
saudaraku yang brengsek tanpa harus menggodanya, kau mendapatkan
status legenda dari ayahku dan aku tahu kebenarannya bahwa kau
dengan sengaja kalah dalam taruhan yang kita buat sebelum
pertarunganku.‖
―Aku tidak akan menyebutnya seperti itu….‖
Dia mengangkat dagunya. ―Apa kau pikir kau akan menang?‖
―Well…tidak, tidak begitu yakin,‖ kataku, melepas sepatuku.
Travis tersenyum. ―Jadi kau memang ingin bersamaku di sini. Kurasa
aku baru saja jatuh cinta padamu sekali lagi.‖
―Kenapa kau tidak marah?‖ aku bertanya, melempar sepatuku ke dalam
lemari.
Dia menghela nafas dan mengangguk. ―Itu hal yang penting, Pidge. kau
seharusnya memberitahuku. Tapi aku mengerti kenapa kau tidak
memberitahuku. Kau datang kemari untuk menghindari semua itu. Ini
seperti langit yang terbuka….semua masuk akal sekarang.‖
―Well, itu membuatku lega.‖
―Lucky Thirteen,‖ dia berkata, menggelengkan kepalanya dan melepas
kaosku.
―Jangan panggil aku itu, Travis. Itu bukan hal yang bagus.‖
―kau sangat terkenal, Pigeon!‖ dia berkata, terkejut pada kata-kataku.
Dia melepas kancing celana jeansku dan menariknya ke bawah mata
kaki, lalu membantuku melangkah keluarnya.
―Ayahku membenciku karena itu. Dia masih menyalahkanku atas semua
masalahnya.‖
Travis melepas kaosnya lalu memelukku. ―Aku masih tidak percaya
anaknya Mick Abernathy berdiri di hadapanku, dan aku bersamanya
selama ini tanpa menyadarinya.‖
Aku mendorongnya menjauh. ―Aku bukan anaknya Mick Abernathy,
Travis! Itu yang aku tinggalkan di belakang. Aku adalah Abby. Hanya
Abby!‖ aku berkata sambil berjalan menuju lemari. Aku menarik kaos
dari gantungan baju dan memgenakannya.
Dia menghela nafas. ―Maafkan aku. Aku hanya sedikit terpukau oleh
seorang bintang.‖
―Ini cuma aku!‖ aku meletakan tanganku di dadaku, putus asa
membuatnya agar mengerti.
―Ya, tapi…‖
―Tidak ada tapi. Caramu melihatku sekarang? Inilah alasan yang
membuatku tida memberitahumu.‖ Aku menutup mataku. ―Aku tak mau
hidup seperti itu lagi, Trav. Meskipun bersamamu.‖
―Wow! Tenanglah, Pigeon. Jangan terlalu jauh.‖ Matanya fokus
menatapku dan dia berjalan ke arahku lalu memelukku. ―Aku tidak
peduli siapa kau dulu. Aku hanya menginginkan dirimu.‖
―Kalau begitu kita menginginkan hal yang sama.‖
Dia menuntunku ke tempat tidur, tersenyum ke arahku. ―Hanya kau dan
aku melawan dunia, Pidge.‖
Aku meringkuk di sampingnya. Aku tidak merencanakan siapapun untuk
mengetahui tentang Mick selain aku dan America, dan aku tak pernah
mengira kekasihku berasal dari keluarga penggemar poker. Aku
menghembuskan nafas panjang, menekan pipiku di dadanya.
―Ada apa?‖ dia bertanya.
―Aku tidak ingin siapapun tahu tentang ini, Trav. Aku bahkan tidak
ingin kau mengetahuinya.‖
―Aku mencintaimu, Abby. Aku tidak akan menyebutkan hal itu lagi,
OK? Rahasiamu aman bersamaku,‖ dia berkata sambil mencium
keningku.
®LoveReads

―Mr. Maddox, bisakah kau berhenti sebentar hingga kelas usai?‖ kata
Prof. Chaney, bereaksi karena mendengarku cekikikan saat Travis
menciumi leherku.
Aku berdehem, merasa malu.
―Saya rasa tidak akan bisa, Dr. Chaney. Apakah anda sudah melihat
dengan baik wajah kekasihku?‖ kata Travis sambil menunjuk padaku.
Suara tawa bergema di seluruh ruangan dan wajahku merah padam.
Prof. Chaney melihat sekilas ke arahku dengan sedikit tersenyum,
dengan sedikit canggung dia menggelengkan kepalanya pada Travis.
―Lakukan sebisa mungkin,‖ kata Chaney.
Seluruh kelas tertawa lagi, dan aku merosot di kursiku. Travis
meletakkan tangannya di atas sandaran kursiku, dan pelajaran pun di
lanjutkan. Setelah kelas selesai, Travis mengantarku ke kelas berikutnya.
―Maaf kalau aku sudah membuatmu malu. Aku tidak bisa menahan
diriku.‖
―Berusahalah.‖
Parker berjalan melewati kami, lalu ketika aku membalas anggukannya
dengan senyuman, matanya jadi bersinar. ―Hai, Abby. Sampai bertemu
di dalam.‖ Dia masuk ke dalam kelas, Travis menatap tajam ke arahnya
untuk beberapa saat yang menegangkan.
―Hey,‖ aku menarik tangan Travis hingga dia melihat ke arahku.
―Lupakan dia.‖
―Dia cerita pada semua orang di The House kalau kau masih
menelponnya.‖
―Itu tidak benar,‖ kataku, tidak terpengaruh.
―Aku tahu itu, tapi mereka tidak. Dia bilang dia hanya menunggu
waktunya. Dia mengatakan pada Brad kalau kau menunggu waktu yang
tepat untuk mencampakkan aku, dan bagaimana kau meneleponnya
untuk bilang betapa kau tidak bahagia. Dia mulai membuatku kesal.‖
―Dia benar-benar punya imajinasi.‖ Aku menatap Parker dan ketika
mata kami bertemu dan dia tersenyum, aku melotot ke arahnya.
―Apakah kau akan marah kalau aku membuatmu malu sekali lagi?‖
Aku mengangkat bahuku dan tanpa membuang waktu Travis
menuntunku ke dalam kelas. Dia berhenti di tempat dudukku, lalu
menaruh tasku di lantai. Dia melihat ke arah Parker lalu menarikku ke
pelukannya, satu tangannya di leherku, dan tangan satunya di
punggungku lalu menciumku, dalam dan bertekad. Dia menciumku
seperti saat kami sedang berada di kamarnya, dan aku tidak bisa
menahannya selain menarik kaosnya dengan kedua tanganku.
Suara bisikan dan cekikikan semakin terdengar keras saat Travis dengan
jelas tidak akan melepaskanku dalam waktu dekat.
―Aku rasa dia baru saja membuatnya hamil!‖ kata seseorang di belakang
kelas, tertawa.
Aku menjauh dari Travis dengan mata tertutup, berusaha untuk tenang
kembali. Saat aku melihat Travis, dia sedang menatapku mencoba untuk
menahan dirinya juga.
―Aku hanya ingin menekankan maksudku,‖ dia berbisik.
―Bagus,‖ aku mengangguk.
Travis tersenyum, mencium pipiku lalu melihat ke arah Parker yang
terlihat sangat marah di kursinya.
―Sampai bertemu nanti saat makan siang,‖ Travis mengedipkan sebelah
matanya padaku.
Aku duduk di kursiku lalu menghela nafas, berusaha untuk
menghilangkan rasa menggelitik di antara pahaku.
Aku berusaha konsentrasi pada pelajaran Kalkulus, dan ketika kelas usai
aku menyadari Parker berdiri di tembok dekat pintu.
―Parker,‖ aku mengangguk, bertekad untuk tidak memberinya reaksi
yang dia harapkan.
―Aku tahu kau berpacaran dengannya. Dia tidak harus melecehkanmu
seperti itu di depan seluruh kelas hanya untuk memberitahuku.‖
Aku berhenti berjalan dan siap untuk menyerang. ―Mungkin seharusnya
kau berhenti untuk mengatakan pada semua temanmu kalau aku
meneleponmu. kau akan mendorongnya terlalu jauh dan aku tidak akan
mengasihanimu kalau sampai dia menendangmu.‖
Dia mengerutkan hidungnya. ―Dengarkan dirimu. kau terlalu sering
bersama Travis.‖
―Tidak, inilah aku. Ini hanya bagian dari aku yang kau tidak tahu sama
sekali.‖
―kau tidak memberiku kesempatan, kan?‖
Aku menghela nafas. ―Aku tidak ingin bedebat denganmu, Parker.
Hanya saja itu tidak akan berjalan dengan baik, OK?‖
―Tidak, itu tidak baik. kau pikir aku menikmati ditertawakan oleh
seluruh Eastern? Travis Maddox adalah seseorang yang kami hargai
karena membuat kami terlihat baik. Dia memperalat wanita, lalu
mencampakkannya, dan bahkan orang paling brengsek di seluruh
Eastern pun tampak seperti Pangeran Tampan di samping Travis.‖
―Kapan kau akan membuka matamu dan menyadari kalau dia berbeda
sekarang?‖
―Dia tidak mencintaimu, Abby. kau hanya mainan baru baginya. Bahkan
setelah kejadian tadi di kelas, aku beranggapan kau bukan lagi mainan
barunya.‖
Aku menampar wajahnya diikuti suara keras sebelum aku menyadari apa
yang telah aku lakukan. ―Jika kau menunggu beberapa saat, aku akan
melakukannya untukmu, Pidge,‖ kata Travis sambil menarikku ke
belakangnya.
Aku menarik lengannya. ―Travis, jangan.‖
Parker terlihat sedikit gugup saat garis merah bekas telapak tanganku
muncul di wajahnya.
―Aku sudah memperingatkanmu,‖ kata Travis, mendorong Parker
dengan kasar ke tembok.
Rahang Parker menjadi tegang lalu dia melihat ke arahku. ―Anggap ini
sebagai penutupan, Travis. Aku tahu sekarang kalau kalian berdua
memang serasi satu sama lain.‖
―Terima kasih.‖ kata Travis, meletakkan tangannya memeluk bahuku.
Parker menjauh dari tembok lalu dengan cepat berbelok ke pojok untuk
menuruni tangga, memastikan Travis tidak mengikuti dengan melihat
sekilas ke belakang.
―kau tidak apa-apa?‖ tanya Travis.
―Tanganku sakit.‖
Dia tersenyum. ―Itu tadi hebat, Pidge. Aku terkesan.‖
―Dia mungkin akan menuntutku dan aku akan berakhir membiayai
kuliahnya di Harvard. Apa yang kau lalukan di sini? Kupikir kita akan
bertemu di kafetaria?‖
Bibirnya tersenyum nakal. ―Aku tidak bisa berkonsentrasi di kelas tadi.
Aku masih merasakan ciuman tadi.‖
Aku melihat ke sekeliling lorong lalu menatapnya. ―Ayo, ikut aku.‖
Alisnya terangkat karena tersenyum. ―Apa?‖
Aku berjalan mundur, menariknya bersamaku hingga aku merasakan
pegangan pintu ruangan laboratorium Fisika. Pintunya terbuka, dan aku
melihat ke belakang, melihat ruangan yang kosong dan gelap. Aku
menarik lengannya, cekikikan karena ekspresi bingungnya, lalu
mengunci pintu dan mendorongnya ke pintu.
Aku menciumnya dan dia tertawa pelan. ―Apa yang kau lakukan?‖
―Aku tidak ingin kau sulit berkonsentrasi di kelas,‖ jawabku, sambil
menciuminya lagi. Dia mengangkatku dan menaruh kakiku di sekeliling
tubuhnya.
―Aku tidak yakin apa yang akan aku lakukan tanpamu,‖ dia berkata
sambil memelukku dengan satu tangannya dan membuka ikat
pinggangnya dengan tangan satunya lagi, ―tapi aku tak pernah ingin
mengetahuinya. Kau adalah segalanya yang aku inginkan, Pigeon.‖
―Ingat itu saat aku mengambil semua uangmu saat malam poker
berikutnya,‖ aku berkata sambil membuka kaosku.
®LoveReads

________________
Karena disebut seorang Lucky Thirteen, Abby benci angka tiga belas.
Jadi dalam novel ini tak ada Bab 13. Setelah Bab 12 lompat ke Bab 14
Bab 14

Full House

Aku berputar-putar, meneliti bayanganku di cermin dengan pandangan


ragu. Warnanya putih dan backless, sangat pendek, dan bagian badannya
di tahan oleh untaian pendek berlian imitasi yang membentuk tali di
leherku.
―Wow! Travis akan kencing di celana kalau dia melihat kau memakai
itu!‖ kata America.
Aku memutar mataku. ―Sangat romantis.‖
―kau harus membeli itu. Tidak usah mencoba yang lain, itu yang
terbaik,‖ dia berkata sambil bertepuk tangan dengan gembira.
―kau tidak berpikir ini terlalu pendek? Mariah Carey saja memakai yang
lebih panjang dari ini.‖
America menggelengkan kepalanya. ―Aku memaksa.‖
Aku gantian duduk di bangku saat America mencoba beberapa gaun,
lebih sulit saat harus memilih untuk diri sendiri. Dia memilih gaun yang
sangat pendek, ketat, sewarna dengan kulitnya dan salah satu bahunya
tidak tertutup.
Kami mengendarai mobil Hondanya America ke apartemen dan
mengetahui mobil Shepley tidak ada dan Toto di tinggal sendiri.
America mengeluarkan teleponnya lalu menelepon, tersenyum saat
Shepley menjawab teleponnya.
―Kau pergi kemana, sayang?‖ dia mengangguk lalu melihat ke arahku.
―Kenapa aku akan marah?
Kejutan apa?‖ dia bertanya, hati-hati. Dia melihat ke arahku lagi lalu
masuk ke kamar Shepley, menutup pintunya.
Aku mengusap telinga Toto yang berwarna hitam saat America bisik-
bisik di kamar. Saat dia keluar, dia berusaha menahan senyum di
wajahnya.
―Apa yang mereka lakukan sekarang?‖ tanyaku.
―Mereka dalam perjalanan pulang. Aku akan membiarkan Travis yang
memberitahumu,‖ dia
berkata sambil tersenyum lebar.
―Ya Tuhan…apa?‖ tanyaku.
―Aku tidak bisa memberitahumu. Ini kejutan.‖
Aku memainkan rambutku dengan gelisah dan mengikir kukuku, tidak
bisa duduk diam saat menunggu Travis mengungkapkan kejutannya.
Pesta ulang tahun, anak anjing—aku tidak bisa membayangkan apa lagi.
Suara keras mesin mobil Shepley memberitahu kalau mereka telah tiba,
mereka tertawa saat berjalan naik di tangga.
―Mereka sedang dalam mood yang bagus.‖ kataku. ―Pertanda baik.‖
Shepley masuk lebih dulu. ―Aku hanya tidak ingin kau berpikir kenapa
dia melakukannya sedangkan aku tidak.‖
America berdiri menyambut kekasihnya, lalu memeluknya. ―Jangan
konyol, Shep. Aku tidak akan marah karena hal itu.‖ ―Jika aku ingin
kekasih yang sinting aku akan berpacaran dengan Travis,‖ kata America,
tersenyum saat memiringkan kepalanya untuk mencium Shepley.
―Itu tidak ada hubungannya dengan perasaanku padamu,‖ Shepley
menambahkan.
Travis melangkah masuk dengan perban kain kasa kotak di pergelangan
tangannya. Dia tersenyum padaku lalu berbaring di sofa, meletakkan
kepalanya di pangkuanku.
Aku tidak dapat mengalihkan pandanganku dari perban itu. ―Ok…apa
yang telah kau lakukan?‖
Travis tersenyum dan menarikku ke bawah untuk menciumnya. Aku
dapat merasakan rasa gugup memancar darinya. Di luar dia tersenyum,
namun aku dapat merasakan dia merasa tidak yakin dengan bagaimana
reaksiku nanti terhadap apa yang telah dia lakukan.
―Aku membeli beberapa barang hari ini.‖
―Barang apa?‖ tanyaku, curiga.
Travis tertawa. ―Tenanglah, Pidge. Itu bukan sesuatu yang buruk.‖
―Apa yang terjadi dengan pergelangan tanganmu?‖ aku berkata, sambil
menarik tangannya.
Suara menggelegar mesin diesel terdengar di luar dan Travis melompat
dari sofa, untuk membuka pintu. ―Sudah waktunya mereka datang! Aku
sudah di rumah setidaknya lima menit!‖ dia berkata sambil tersenyum.
Seorang pria berjalan mundur, menggotong sofa berwarna abu-abu yang
di tutupi plastik, diikuti seorang pria lagi yang memegang bagian
belakangnya. Shepley dan Travis memindahkan sofa—dengan aku dan
Toto masih terduduk di atasnya—ke depan, lalu sofa baru diletakkan di
tempat sofa lama sebelumnya berada. Travis menarik plastiknya dan
menggendongku di tangannya, lalu mendudukanku di sofa baru yang
lembut.
―kau membeli yang baru?‖ kataku, tersenyum lebar.
―Ya, dan beberapa barang lainnya juga. Terima kasih, guys,‖ dia berkata
saat pria yang mengangkut sofa tadi mengangkat sofa lama lalu pergi.
―Hilanglah semua kenangan,‖ aku menyeringai.
―Itu semua bukan kenangan yang ingin aku ingat.‖ Dia duduk di
sampingku sambil menghela nafas, memperhatikanku beberapa saat
sebelum dia menarik lepas plester yang menahan kain kasa di
pergelangan tangannya. ―Jangan panik.‖
Pikiranku terus memikirkan apa yang ada di bawah perban itu. Aku
membayangkan luka bakar, luka yang dijahit atau sesuatu yang sama
mengerikannya.
Dia menarik perban dan aku terkesiap saat melihat tatoo tulisan
sederhana di bagian bawah pergelangan tangannya, kulit di sekitarnya
merah dan mengkilap karena antibiotik yang dia oleskan.
Aku menggelengkan kepalaku tidak percaya saat membaca tulisannya.

Pigeon
―kau menyukainya?‖ tanyanya.
―kau membuat tatoo namaku di pergelangan tanganmu?‖ aku
mengatakan itu tapi tidak terdengar seperti suaraku. Pikiranku tidak bisa
fokus, tapi aku berusaha tetap bicara dengan suara tenang.
―Ya,‖ dia berkata sambil mencium pipiku saat aku menatap tidak
percaya pada tinta permanen di kulitnya.
―Aku berusaha melarangnya, Abby. Dia sudah beberapa lama tidak
melakukan sesuatu yang gila.
Aku pikir dia akan menjadi gila,‖ kata Shepley, menggelengkan
kepalanya.
―Bagaimana menurutmu?‖ Travis meminta jawaban.
―Aku tidak tahu harus bagaimana,‖ kataku.
―kau seharusnya meminta izin pada Abby sebelumnya, Trav,‖ kata
America, menggelengkan kepalanya dan menutup mulut dengan jarinya.
―Minta izin untuk apa? Untuk membuat tatoo?‖ dia mengernyit, melihat
padaku lagi. ―Aku mencintaimu. Aku ingin semua orang tahu bahwa aku
adalah milikmu.‖
Aku bergerak dengan gugup,‖Tapi itu permanen, Travis,‖
―Begitu juga dengan hubungan kita, permanen,‖ dia berkata sambil
menyentuh pipiku.
―Perlihatkan padanya yang satu lagi,‖ kata Shepley.
―Satu lagi?‖ aku berkata sambil melihat pergelangan tangannya yang
satu lagi.
Travis berdiri, mengangkat kaosnya. Perut six-pack nya terlihat
mengagumkan dan kencang saat dia bergerak. Travis berputar, dan di
sisi tubuhnya ada tatoo lain yang membentang sepanjang tulang
rusuknya.
―Apa itu?‖ aku berkata sambil memicingkan mataku pada simbol
vertikal di tubuhnya.
―Itu bahasa Ibrani,‖ Travis tersenyum.
―Apa artinya itu?‖
―Artinya, ‗ Aku milik kekasihku dan kekasihku adalah miliku‘.‖
Mataku menatap matanya. ―kau tidak puas dengan satu tatoo, jadi harus
membuat dua tatoo?‖
―Ini adalah sesuatu yang selalu aku katakan akan aku lakukan saat
menemukan orang yang tepat.
Aku bertemu denganmu…aku melakukannya dan membuat tatoo ini.‖
Senyumnya hilang saat dia melihat ekspresiku. ―kau marah?‖ dia berkata
sambil menurunkan kaosnya.
―Aku tidak marah. Aku hanya…bingung.‖
Shepley memeluk America dengan satu tangannya dengan erat. ―kau
harus mulai membiasakan diri dengan ini, Abby. Travis orangnya
impulsif dan bersungguh-sungguh terhadap apapun. Ini akan
membuatnya tenang hingga dia bisa menyematkan cincin di jarimu.‖
Alis America terangkat, melihat ke arahku lalu pada Shepley. ―Apa?
Mereka baru saja mulai berpacaran!‖
―Aku…pikir aku perlu minum,‖ kataku sambil melangkah ke dapur.
Travis tertawa geli, memperhatikanku menggeledah lemari. ―Dia
bercanda, Pidge.‖
―Apa aku bercanda?‖ tanya Shepley.
―Dia tidak bilang dalam waktu dekat,‖ Travis membela diri. Dia
berpaling pada Shepley sambil menggerutu, ―Terima kasih banyak,
brengsek.‖
―Mungkin sekarang kau akan berhenti membicarakan hal itu,‖ Shepley
menyeringai.
Aku menuangkan satu sloki tequila ke dalam gelas lalu menenggaknya,
dan menelannya sekaligus.
Aku menekan wajahku saat tequila membakar tenggorokanku.
Travis memeluk pinggangku dari belakang dengan lembut. ―Aku bukan
melamar, Pidge. Ini hanya tatoo.‖
―Aku tahu,‖ kataku, menganggukan kepalaku sambil menuang satu gelas
minuman lagi.
Travis mengambil botol dari tanganku lalu menutupnya, memasukannya
kembali ke lemari. Ketika aku tidak berbalik, dia memutar badanku
hingga berhadapan dengannya.
―Ok. Aku seharusnya membicarakan ini denganmu terlebih dahulu, tapi
aku memutuskan membeli sofa, lalu satu hal menuju hal lainnya. Aku
jadi bersemangat.‖
―Ini terlalu cepat untukku, Travis. kau sudah menyebutkan tentang
tinggal bersama, kau baru saja menandai dirimu dengan namaku, kau
memberitahuku bahwa kau mencintaiku…ini semua terlalu…cepat.‖
Travis cemberut. ―kau panik. Aku sudah bilang jangan panik.‖
―Sangat sulit untuk tidak panik! kau mengetahui tentang ayahku dan
semua yang kau rasakan sebelumnya tiba-tiba menjadi semakin kuat!‖
―Siapa ayahmu?‖ tanya Shepley, sangat jelas merasa tidak senang
karena tidak tahu apa-apa tentang itu. Ketika aku tidak menjawab
pertanyaannya, dia menghela nafas. ―Siapa ayahnya Abby?‖ dia
bertanya pada America. America mengelengkan kepala agar Shepley
diam.
Ekspresi Travis terlihat kesal. ―Perasaanku padamu tidak ada
hubungannya dengan ayahmu.‖
―Kita akan ke pesta kencan besok. Itu seharusnya menjadi hal yang
penting di mana kita mengumumkan hubungan kita, dan sekarang
namaku terukir di tanganmu dan semua pembicaraan tentang bagaimana
kita saling memiliki satu sama lain! Itu menakutkan, ok? Dan aku
panik!‖
Travis menarik wajahku lalu mencium bibirku, kemudian mengangkatku
dari lantai, mendudukanku di meja dapur. Lidahnya memohon untuk
masuk ke dalam mulutku, dan ketika aku mengizinkannya masuk, dia
mengerang.
Jarinya masuk ke pangkal pahaku, menarikku lebih dekat. ―kau sangat
seksi kalau sedang marah,‖ dia berkata sambil tetap menciumku.
―Ok,‖ aku menarik nafas, ―aku sudah tidak marah.‖
Dia tersenyum, merasa senang karena rencananya untuk mengalihkan
telah berhasil. ―Semua tetap sama, Pidge. Masih tetap hanya kau dan
aku.‖
―Kalian berdua memang sinting,‖ kata Shepley, menggelengkan
kepalanya.
America memukul pelan bahu Shepley. ―Abby juga membeli sesuatu
untuk Travis hari ini.‖
―America!‖ aku menegurnya.
―kau sudah menemukan gaun?‖ tanya Travis, tersenyum.
―Ya,‖ aku melingkarkan kaki dan tanganku di tubuhnya. ―Besok giliran
kau yang akan panik.‖
―Aku tidak sabar ingin melihatnya,‖ dia berkata sambil mengangkatku
dari atas meja dapur. Aku melambai pada America saat Travis
menggendongku menelusuri lorong.
®LoveReads

Hari Jumat setelah kelas usai, aku dan America menghabiskan sore di
pusat kota, memanjakan diri dan berdandan. Kuku kaki dan tangan di
kuteks, menghilangkan bulu yang tidak diinginkan, kulit diberi warna
coklat mengkilap, dan rambut di cat warna terang. Saat kami kembali ke
apartemen, semua permukaannya sudah tertutupi oleh beberapa
karangan bunga mawar. Berwarna merah, pink, kuning, dan putih—
tampak seperti toko bunga.
―Ya Tuhan!‖ jerit America saat dia berjalan masuk melewati pintu.
Shepley melihat ke sekelilingnya, berdiri dengan bangga. ―Kami pergi
untuk membeli dua bunga, tapi kami berdua berpikir satu karangan
bunga tidak akan cukup.‖
Aku memeluk Travis. ―Kalian sangat…mengagumkan. Terima kasih.‖
Travis memukul pantatku. ―Tiga puluh menit sebelum pesta di mulai,
Pidge.‖
Para pria berganti pakaian di kamar Travis sementara aku dan America
berdandan di kamar Shepley. Pada saat aku akan mengenakan sepatu
hak tinggiku yang berwarna silver, seseorang mengetuk pintu.
―Waktunya pergi, ladies,‖ kata Shepley.
America melangkah keluar, dan Shepley pun bersiul.
―Di mana dia?‖ tanya Travis.
―Abby mempunyai sedikit kesulitan mengenakan sepatunya. Dia akan
keluar sebentar lagi,‖
America menjelaskan.
―Rasa tegang ini membunuhku, Pidge.‖ teriak Travis.
Aku melangkah keluar, gelisah dengan gaunku sementara Travis berdiri
di hadapanku, tanpa ekspresi.
America menyikutnya dan dia pun berkedip. ―Ya ampun.‖
―Apakah kau siap untuk merasa panik?‖ tanya America.
―Aku tidak panik, dia terlihat sangat mengagumkan,‖ kata Travis.
Aku tersenyum lalu perlahan berputar untuk memperlihatkan padanya
model belakang gaunku yang backless.
―Ok, sekarang aku panik,‖ Travis berkata sambil berjalan ke arahku dan
memutarku.
―kau tidak menyukainya?‖ tanyaku.
―kau harus pakai jaket.‖ Dia berlari kecil ke rak baju lalu dengan
tergesa-gesa membungkus bahuku dengan jaketku.
―Dia tidak bisa memakai itu semalaman, Trav,‖ America tertawa geli.
―kau terlihat cantik, Abby,‖ kata Shepley sebagai permintaan maaf atas
kelakuan Travis.
Ekspresi Travis terluka saat dia bicara. ―Kau memang cantik. kau
terlihat luar biasa…tapi kau tidak bisa memakai itu. Rok mu..wow,
kakimu sangat…rok mu terlalu pendek dan itu hanya setengah gaun. Itu
bahkan tidak ada punggungnya!‖
Aku tidak dapat menahan senyumku. ―Modelnya memang seperti ini,
Travis.‖
―Apa kalian hidup untuk saling menyiksa satu sama lain?‖ Shepley
mengernyit.
―Apa kau punya gaun lain yang lebih panjang?‖ tanya Travis.
Aku melihat ke bawah. ―Sebenarnya bagian depan terlihat cukup
sederhana. Hanya bagian belakangnya saja yang terbuka dan
memperlihatkan punggungku.‖
―Pigeon,‖ Travis meringis pada saat mengatakan kata berikutnya, ―Aku
tidak ingin kau marah, tapi aku tidak bisa membawamu ke rumah
perkumpulanku seperti itu. Aku akan berkelahi pada lima menit pertama
kita tiba di sana, Sayang.‖
Aku mendekatinya lalu berjinjit kemudian mencium bibirnya. ―Aku
percaya kau tidak akan begitu.‖
―Malam ini akan menyebalkan.‖ gerutunya.
―Malam ini akan luar biasa,‖ kata America, merasa tersinggung.
―Pikirkan saja bagaimana mudahnya nanti melepas gaun ini,‖ kataku,
mencium lehernya.
―Itulah masalahnya. Semua pria lain di sana juga akan memikirkan hal
yang sama.‖
―Tapi hanya kau yang akan membuktikannya,‖ kataku riang. Dia tidak
menjawab, dan aku
mendekat lagi untuk menafsirkan ekspresinya. ―Apa kau benar-benar
ingin aku mengganti pakaianku?‖
Travis memperhatikan wajahku, gaunku, kakiku, lalu dia
menghembuskana nafasnya. ―Apapun yang kau pakai, kau tetap cantik.
Aku hanya harus terbiasa dengan itu, kan?‖ dia mengangkat bahunya
dan menggelengkan kepala. ―Baiklah, kita sudah terlambat. Mari kita
pergi.‖
Aku merapatkan tubuhku pada tubuh Travis agar merasa hangat saat
kami berjalan ke mobil Shepley menuju Sigma Tau.
®LoveReads

Udaranya penuh dengan asap, namun hangat. Musik menggelegar dari


ruang bawah tanah, dan kepala Travis bergerak mengikuti irama. Semua
orang langsung berpaling bersamaan. Aku tidak yakin mereka berpaling
karena Travis datang ke acara pesta kencan, karena dia memakai celana
panjang katun longgar, atau karena gaunku, tapi mereka semua menatap.
America mendekat dan berbisik di telingaku. ―Aku sangat senang kau
ada di sini, Abby. Aku merasa seperti masuk ke dalam filmnya Molly
Ringwald.
―Senang bisa membantu,‖ kataku, mengerutu.
Travis dan Shepley melepas jaket kami, lalu menuntun kami melewati
ruangan itu menuju dapur.
Shepley membawa empat botol bir dari kulkas dan menyerahkan satu
pada America lalu padaku.
Kami berdiri di dapur, mendengarkan saudara perkumpulan Travis
membicarakan pertarungan terakhirnya. Mahasiswi perkumpulan yang
menemani mereka kebetulan wanita yang sama yang diikuti Travis
masuk ke kafetaria saat pertama kali kami mengobrol, wanita yang
berdada besar dan pirang.
Lexie sangat mudah di kenali. Aku tidak dapat melupakan wajahnya saat
Travis mendorongnya jatuh dari pangkuannya karena menghina
America. Dia memandangiku penuh rasa ingin tahu, terlihat seperti
memperhatikan semua kata-kataku. Aku tahu dia merasa penasaran
mengapa Travis Maddox berpendapat bahwa aku menarik, dan aku
berusaha untuk menunjukan alasannya. Aku terus memegangi Travis,
mengatakan gurauan pintar pada saat yang tepat dalam percakapan, dan
bercanda dengan Travis tentang tatoo barunya.
―Dude, kau mengukir nama kekasihmu di pergelangan tanganmu? Apa
yang merasukimu hingga melakukan hal itu?‖ kata Brad.
Dengan bangga Travis membalik tangannya untuk memperlihatkan tatoo
namaku. ―Aku tergila-gila padanya,‖ Travis berkata sambil melihatku
dengan tatapan yang lembut.
―kau belum begitu mengenalnya,‖ Lexie mendengus.
Travis tidak melepaskan pandangannya dariku. ―Kami menghabiskan
tiap detik bersama. Aku mengenalnya.‖ Dia mengerutkan alisnya, ―Aku
pikir tadi tatoo ini membuatmu panik. Sekarang kau
membanggakannya?‖
Aku mendekat dan mencium pipinya sambil mengangkat bahuku. ―Lama
kelamaan aku jadi menyukainya.‖
Shepley dan America menuruni tangga dan kami mengikutinya, sambil
berpegangan tangan.
Semua kursi digeser ke tembok untuk membuat lantai dansa sementara,
dan pada saat kami sedang menuruni tangga, lagu berirama pelan
diputar.
Tanpa ragu Travis menarikku ke tengah lantai dansa, memelukku erat
dan meletakkan tanganku di dadanya. ―Aku bersyukur belum pernah
datang ke acara ini sebelumnya. Sehingga hanya kau yang pernah aku
ajak ke acara ini.‖
Aku tersenyum dan meletakkan pipiku di dadanya. Dia meletakkan
tangannya di bawah punggungku, terasa hangat dan lembut di
punggungku yang terbuka.
―Semua memandangmu karena memakai gaun ini,‖ kata Travis. Aku
melihat ke atas, mengira akan melihat ekspresi yang tegang, namun dia
sedang tersenyum. ―Aku rasa itu keren…berada bersama wanita yang
diinginkan semua orang.‖
Aku memutar mataku. ―Mereka tidak menginginkanku. Mereka hanya
penasaran kenapa kau menginginkanku. Dan lagi pula, aku merasa
kasihan pada siapapun yang berpikir mereka punya kesempatan. Aku
benar-benar dan sepenuhnya jatuh cinta padamu.‖
Wajahnya tampak sedih. ―kau tahu mengapa aku menginginkanmu? Aku
tidak tahu bahwa aku tersesat hingga kau menemukanku. Aku tidak tahu
rasanya kesepian hingga malam pertama yang aku lalui tanpa dirimu di
tempat tidurku. kau adalah satu-satunya yang aku rasa tepat dalam
hidupku. kau adalah yang selalu aku nantikan, Pidge.‖
Aku meraih ke atas untuk memegang wajahnya di tanganku dan dia
memelukku, mengangkatku dari lantai. Aku mencium bibirnya, dan dia
menciumku dengan emosi dari semua yang telah dia katakan tadi. Pada
saat itulah aku menyadari mengapa dia membuat tatoo itu, kenapa dia
memilihku dan mengapa aku berbeda. Itu bukan hanya karena diriku,
bukan juga hanya karena dirinya, itu karena bagaimana saat kami
bersama yang menjadi pengecualian.
Lagu berirama lebih cepat terdengar dari speaker, dan Travis
menurunkanku. ―Masih ingin berdansa?‖
America dan Shepley muncul di samping kami dan aku mengangkat
alisku. ―Jika kau pikir bisa mengimbangiku.‖
Travis menyeringai. ―Coba saja.‖
Aku menggerakkan pinggulku di pinggulnya dan tanganku bergerak
naik di atas kemejanya, membuka dua kancing teratasnya, Travis tertawa
kecil dan menggelengkan kepalanya, lalu aku berbalik, bergerak
menempel tubuhnya tapi membelakanginya mengikuti irama. Dia
menarik pinggulku dan aku meraih ke belakang, menarik pantatnya. Aku
condong ke depan dan dia meremas erat diriku. Ketika aku berdiri tegak,
dia menyentuh bibir lalu telingaku.
―Kalau terus seperti itu, maka kita akan pulang lebih awal.‖
Aku berbalik dan tersenyum, meletakan tanganku di lehernya. Dia
mendekatkan tubuhnya padaku dan aku mengangkat kemejanya,
memasukan tanganku ke atas di punggungnya, menekan jariku ke
ototnya yang ramping, lalu tersenyum karena suara yang dia keluarkan
saat aku merasakan lehernya.
―Ya Tuhan, Pigeon, kau membuatku tidak tahan,‖ katanya,
mencengkram rokku, mengangkatnya cukup untuk menyentuh pahaku
dengan ujung jarinya.
―Aku rasa kita tahu itu terlihat seperti apa,‖ Lexie mengejek dari
belakang kami.
America berputar, melangkah ke depan tepat di hadapannya. Shepley
menariknya tepat waktu.
―Katakan sekali lagi!‖ kata America. ―Ayo kalau berani, dasar pelacur!‖
Lexie bersembunyi ketakutan di belakang kekasihnya, terkejut karena
ancaman America.
―Sebaiknya kau membeli penutup mulut untuk teman kencanmu, Brad,‖
Travis memperingatkan.
Dua lagu kemudian, rambut di belakang leherku sudah berat dan basah.
Travis mencium di bawah telingaku. ―Ayo, Pidge. Aku ingin merokok.‖
Dia menuntunku menaiki tangga, lalu membawa jaketku sebelum naik
ke lantai dua. Kami berjalan keluar ke balkon dan menemukan Parker
dengan teman kencannya. Wanita itu lebih tinggi dariku, rambutnya
pendek dan lurus, berwarna hitam, diikat ke belakang dengan jepit
rambut. Aku melihat sepatu hak tingginya yang runcing, dengan kakinya
melingkar di pinggul Parker. Dia berdiri dengan punggungnya bersandar
di tembok, dan ketika Parker menyadari kami melangkah keluar, dia
menarik tangannya dari bawah rok wanita itu.
―Abby,‖ kata Parker, terkejut dan terengah.
―Hai, Parker,‖ kataku, menahan tawa.
―Bagaimana, eh…bagaimana kabarmu?‖
Aku tersenyum dengan sopan. ―Aku baik-baik saja, kau?‖
―Ehm,‖ dia melihat teman kencannya, ―Abby ini Amber.
Amber…Abby.‖
―Abby Abby?‖ tanyanya.
Parker mengangguk tidak nyaman dengan singkat. Amber menjabat
tanganku dengan ekspresi muak di wajahnya, lalu melihat pada Travis
seperti dia baru bertemu dengan musuhnya. ―Senang bertemu
denganmu...kurasa.‖
―Amber,‖ Parker memperingatkan.
Travis tertawa satu kali, lalu membukakan pintu agar mereka bisa lewat.
Parker menarik tangan Amber dan mundur masuk ke dalam.
―Itu tadi sangat…canggung,‖ kataku, menggelengkan kepala sambil
melipat tanganku di dada, bersandar pada pagar balkon. Saat itu dingin
dan hanya ada beberapa pasangan yang berada di luar.
Travis selalu tersenyum. Bahkan Parker tidak merusak mood nya.
―Setidaknya dia sudah tidak berusaha melakukan hal yang paling bodoh
untuk mendapatkanmu kembali.‖
―Aku rasa dia tidak berusaha untuk mendapatkanku kembali seperti dia
berusaha untuk menjauhkanku darimu.‖
Travis mengerutkan hidungnya. ―Dia mengantar satu wanita untukku
sekali. Sekarang dia bertingkah seperti itu adalah kebiasaannya untuk
menyelinap dan menyelamatkan semua mahasiswi baru yang aku tiduri.‖
Aku melihatnya dengan tatapan sinis dari ujung mataku. ―Bukankah aku
sudah pernah bilang aku membenci kata itu?‖
―Maaf,‖ Travis berkata sambil menarikku ke sampingnya. Dia
menyalakan rokoknya dan menarik nafas panjang. Asap yang dia
hembuskan lebih tebal dari biasanya, bercampur dengan udara musim
dingin. Dia membalikkan tangannya dan menatap lama pergelangan
tangannya. ―Aneh tidak apabila tatoo ini bukan hanya menjadi favorit
baruku, tapi ini juga membuatku nyaman mengetahui itu ada di
pergelangan tanganku?‖
―Sangat aneh.‖ Travis mengangkat alisnya dan aku tertawa. ―Aku hanya
bercanda. Aku tidak bisa bilang aku mengerti itu, tapi itu sangat
manis…menurut caranya Travis Maddox.‖
―Jika rasanya sesenang ini hanya karena membuat tatoo ini di tanganku,
aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya nanti saat
memasangkan cincin di jarimu.‖
―Travis….‖
―Dalam waktu empat, atau mungkin lima tahun lagi,‖ dia menambahkan.
Aku menarik nafas. ―Kita harus pelan-pelan. Sangat, sangat pelan.‖
―Jangan memulai, Pidge,‖
―Jika kita selalu secepat ini, aku akan bertelanjang kaki dan hamil
sebelum aku lulus kuliah. Aku belum siap untuk tinggal bersamamu, aku
belum siap untuk cincin, dan aku sama sekali belum siap untuk berumah
tangga.‖
Travis mencengkram bahuku dan memutarku agar berhadapan
dengannya. ―Ini bukan pidato ‗aku ingin berpacaran dengan orang lain
dulu‘, kan? Karena aku tidak akan membagi dirimu. Tidak akan
mungkin.‖
―Aku tidak ingin orang lain,‖ kataku, jengkel. Dia menjadi tenang dan
melepaskan bahuku, lalu memegang pagar balkon.
―Lalu apa maksudmu kalau begitu?‖ tanyanya, melihat ke angkasa.
―Maksudku kita harus melangkah perlahan. Hanya itu maksudku.‖ Dia
mengangguk, sangat jelas tampak tidak senang. Aku menyentuh
tangannya. ―Jangan marah.‖
―Kita seperti berjalan satu langkah ke depan tapi mundur dua langkah,
Pidge. Setiap kali aku pikir kita berada dalam satu halaman, kau
mendirikan dinding pembatas. Aku tidak mengerti…kebanyakan wanita
memaksa kekasih mereka untuk serius, agar membicarakan perasaan
mereka, memaksa untuk mengambil langkah selanjutnya…‖
―Aku pikir kita tahu aku tidak seperti wanita kebanyakan?‖
Dia menundukkan kepalanya, merasa frustrasi. ―Aku lelah harus terus
menebak. kau melihat hubungan ini mengarah kemana, Abby?‖
Aku mencium dadanya. ―Ketika aku memikirkan masa depanku, aku
melihat dirimu.‖
Travis menjadi tenang, mendekapku erat. Kami berdua memandangi
awan malam bergerak di langit. Lampu sekolah menerangi blok yang
gelap, dan orang yang datang ke pesta ini melipat tangannya di atas jaket
mereka yang tebal, bergegas masuk ke dalam rumah perkumpulan.
Aku melihat kedamaian yang sama di mata Travis yang pernah aku lihat
hanya beberapa kali, dan itu menyadarkanku seperti beberapa malam
yang lalu, bahwa ekspresinya begitu karena kepastian dariku.
Aku pernah merasa tidak aman, dan itu meninggalkan satu pukulan
ketidakberuntungan pada orang lain; orang yang takut pada
bayangannya sendiri. Sangat mudah untuk takut pada sisi gelap dari
Vegas, yang tidak pernah tersentuh oleh sisi terangnya. Namun Travis
tidak takut untuk berkelahi atau untuk membela seseorang yang dia
sayangi, atau untuk melihat ke dalam mata wanita hina yang merasa
dipermalukan dan marah. Dia dapat masuk ke dalam ruangan dan
memandang rendah orang yang berukuran dua kali lebih besar dari
tubuhnya, percaya bahwa tidak ada yang dapat menyentuhnya—bahwa
dia tidak dapat dikalahkan oleh apapun yang akan menjatuhkannya.
Dia tidak takut pada apapun. Hingga dia bertemu denganku.
Aku adalah bagian dari hidupnya yang tidak dia ketahui, kartu liarnya,
variable yang tidak dapat dia kontrol. Terlepas dari rasa damai yang aku
berikan padanya, pada momen lain di hari lain, kekacauan yang dia
rasakan saat aku tidak ada jadi sepuluh kali lebih buruk saat aku ada.
Rasa marah yang dulu mencengkramnya sekarang menjadi lebih sulit
untuk dia tangani. Menjadi pengecualian tidak lagi misterius, atau hal
yang spesial. Aku telah menjadi kelemahannya.
Sama seperti aku bagi ayahku.
―Abby! Disini rupanya kau! Aku sudah mencari kau ke mana-mana!‖
kata America, berteriak dari pintu. Dia mengangkat handphone nya.
―Aku baru di telepon ayahku. Mick menghubungi mereka tadi malam.‖
―Mick?‖ Wajahku kacau karena merasa jijik. ―Mengapa dia menelepon
mereka?‖
America mengangkat alisnya seolah aku mengetahui jawabannya.
―Ibumu selalu menutup telepon dari ayahmu.‖
―Apa yang dia inginkan?‖ kataku, merasa mual.
Dia menutup bibirnya rapat. ―Untuk menanyakan kau berada di mana.‖
―Mereka tidak memberitahunya kan?‖
Wajah America murung. ―Dia ayahmu, Abby. Ayahku pikir dia punya
hak untuk tahu.‖
―Dia akan datang kemari,‖ kataku, merasakan mataku mulai perih. ―Dia
akan datang kemari, Mare!‖
―Aku tahu! Maafkan aku!‖ kata Amerika, mencoba untuk memelukku.
Aku menjauh darinya dan menutup wajahku dengan tangan.
Sepasang tangan kuat, protektif yang aku kenal memegang bahuku. ―Dia
tidak akan menyakitimu, Pigeon,‖ kata Travis. ―Aku tidak akan
membiarkannya.‖
―Dia akan mencari cara untuk menyakitinya,‖ kata Amerika,
memandangku dengan mata berair.
―Dia selalu begitu.‖
―Aku harus pergi dari sini.‖ Aku menarik jaket dan memakainya lalu
menarik pegangan pintu. Aku terlalu kesal untuk bergerak perlahan
untuk dapat mengkoordinasikan agar tidak mendorong pegangan pintu
ke bawah sambil menarik pintu dalam waktu yang bersamaan.
Pada saat airmata frustrasi mengalir turun di pipiku yang beku, tangan
Travis berada di atas tanganku. Dia menekan ke bawah, membantuku
menekan pegangan pintu kebawah, lalu dengan tangan satunya lagi, dia
mendorong pintu agar terbuka. Aku memandangnya, sadar akan
kelakuan bodoh yang aku lakukan, menunggu untuk melihat ekspresi
yang bingung atau tidak setuju di wajahnya, namun dia melihat kebawah
ke arahku hanya dengan ekspresi pengertian.
®LoveReads
Travis memelukku dan kami menelusuri The House, menuruni tangga
dan menerobos sekumpulan orang menuju pintu depan. Mereka bertiga
berusaha mengimbangi langkahku saat aku bergegas menuju mobil.
Tangan America menunjuk ke depan dan menarik jaketku,
menghentikan langkahku.
―Abby!‖ dia berbisik sambil menunjuk ke arah sekumpulan kecil orang.
Mereka mengerumuni lelaki tua lusuh yang menunjuk dengan ketakutan
ke arah The House, sambil memegang sebuah foto. Pasangan itu
mengangguk, mendiskusikan foto itu bersama yang lain.
Aku melompat ke arah pria itu dan menarik foto itu dari tangannya.
―Apa yang kau lakukan disini?‖
Kerumunan orang itu pun bubar, melangkah masuk ke The House,
Shepley dan America berdiri di samping kanan dan kiriku. Travis
memegangi bahuku dari belakang.
Mick melihat ke arah gaunku dan mendecakkan lidahnya tanda tidak
setuju. ―Well, well, Cookie. kau memang tidak bisa lepas dari Vegas…‖
―Diam. Tutup mulutmu, Mick. Pergilah,‖ aku menunjuk ke belakang
Mick, ―dan kembalilah ke tempatmu berasal. Aku tidak ingin kau berada
di sini.‖
―Aku tidak bisa, Cookie. Aku butuh pertolonganmu.‖
―Selalu seperti itu, tidak ada yang lain?‖ America mencibir.
Mick memicingkan matanya ke arah America lalu melihat padaku lagi.
―kau terlihat sangat cantik. kau sudah tumbuh dewasa. Aku tidak akan
bisa mengenalimu kalau kita berpapasan di jalan.‖
Aku menghela nafas, tidak sabar dengan basa-basinya. ―Apa yang kau
inginkan?‖
Dia menahan tangannya dia atas dan mengangkat bahunya. ―Aku terlibat
satu masalah, kiddo. Ayahmu yang sudah tua ini membutuhkan uang.‖
Aku menutup mataku. ―Berapa banyak?‖
―Aku awalnya baik-baik saja, benar-benar baik. Aku hanya perlu
meminjam sedikit untuk meningkatkan taruhan dan…kau tahu.‖
―Aku tahu,‖ bentakku. ―Berapa banyak yang kau butuhkan?‖
―Dua puluh lima.‖
―Ya ampun, Mick, dua ribu lima ratus dolar? Jika kau berjanji akan
keluar dari sini..aku akan memberikannya padamu sekarang,‖ kata
Travis sambil mengeluarkan dompetnya.
―Maksud dia dua puluh lima ribu dollar,‖ aku melotot ke arah ayahku.
Mata Mick menatap Travis. ―Siapa badut ini?‖
Travis mengangkat pandangan dari dompetnya dan aku merasakan berat
badannya di punggungku saat dia menahan emosinya. ―Aku tahu
sekarang, mengapa orang yang pintar seperti dirimu menurun menjadi
orang yang meminjam uang pada anaknya yang masih remaja.‖
Sebelum Mick bicara, aku mengeluarkan handphone ku. ―kau berutang
pada siapa sekarang, Mick?‖
Mick menarik rambutnya yang berminyak dan beruban. ―Well, ceritanya
lucu, Cookie—,‖
―Siapa?‖ aku berteriak.
―Benny.‖
Mulutku menganga dan aku mundur satu langkah, menabrak Travis.
―Benny? kau berutang pada Benny? Kenapa juga kau…‖ aku menarik
nafas, merasa tidak ada gunanya bila di lanjutkan. ―Aku tidak punya
uang sebanyak itu, Mick.‖
Dia tersenyum. ―Sesuatu mengatakan kau memilikinya.‖
―Well, aku tidak punya! kau benar-benar dalam masalah kali ini, kan?
Aku tahu kau tidak akan berhenti sampai kau mati terbunuh!‖
Dia bergeser, seringai sombong di wajahnya menghilang. ―Berapa yang
kau punya?‖
Aku menutup rapat rahangku. ―Sebelas ribu dolar. Aku sedang
menabung untuk membeli mobil.‖
Mata America menusukku. ―kau dapat dari mana sebelas ribu dolar,
Abby?‖
―Dari pertarungan Travis,‖ kataku, menatap mata Mick.
Travis menarik bahuku dan menatap mataku. ―Kau dapat sebelas ribu
dari pertarunganku? Kapan kau bertaruhnya?‖
―Aku dan Adam saling mengerti,‖ kataku, tidak peduli dengan rasa
terkejut Travis.
Mata Mick tiba-tiba bersemangat. ―Kau dapat melipat gandakan itu pada
akhir pekan ini, Cookie. Dan kau akan mendapatkan untukku dua puluh
lima ribu pada hari minggu, sehingga Benny tidak akan mengirimkan
premannya padaku.‖
Tenggorokanku terasa kering dan sempit. ―Itu akan menghabiskan
semua uangku, Mick. Aku harus bayar kuliahku.‖
―Oh, kau akan mendapatkan uang lagi nanti,‖ katanya, melambaikan
tangannya tidak peduli.
―Kapan tenggat waktunya?‖ tanyaku.
―Senin pagi. Tengah malam,‖ dia berkata tanpa rasa menyesal.
―kau tak perlu memberinya sepeserpun, Pigeon,‖ kata Travis, menarik
lenganku.
Mick menarik pinggangku. ―Setidaknya itu yang bisa kau lakukan! Aku
tidak akan berada di sini kalau bukan karena dirimu!‖
America menepiskan tangan Mick lalu mendorongnya. ―Jangan berani-
beraninya kau mulai membicarakan omong kosong itu lagi, Mick! Dia
tidak memaksamu meminjam uang dari Benny!‖
Dia menatapku dengan rasa benci di matanya. ―Jika bukan karena dia,
aku akan memiliki uang sendiri. kau mengambil segalanya dariku,
Abby. Aku sekarang tidak memiliki apapun!‖
Aku pikir berada jauh dari Mick akan mengurangi rasa sakit yang aku
rasakan karena menjadi anaknya, namun airmata yang menetes dari
mataku mengatakan hal sebaliknya. ―Aku akan mengantar uangnya pada
Benny hari minggu. Dan pada saat itu, aku ingin kau meninggalkanku
sendiri. Aku tidak akan melakukannya lagi, Mick. Mulai dari sekarang,
kau sendirian, kau dengar aku? Pergi. Menjauh.‖
Dia menutup rapat mulutnya lalu mengangguk. ―Terserah kau saja,
Cookie.‖
Aku berbalik dan berjalan menuju mobil, mendengar America di
belakangku. ―Kemasi barang-barangmu, boys. Kita akan pergi ke
Vegas.‖
®LoveReads
Bab 15

Sejenak Dalam Dosa

Travis meletakkan tas kami dan melihat ke sekeliling ruangan. ―Bagus,


kan?‖
Aku melotot padanya dan dia mengangkat alisnya. ―Apa?‖
Aku membuka ritsleting tas ku dan menggelengkan kepala. Pikiran
tentang beberapa strategi yang berbeda dan kurangnya waktu memenuhi
kepalaku. ―Ini bukan liburan. Kau seharusnya tidak berada di sini,
Travis.‖
Beberapa saat kemudian dia sudah berada di belakangku, memeluk
pinggangku. ―Aku pergi kemanapun kau pergi.‖
Aku menyandarkan kepalaku di dadanya lalu menghela nafas. ―Aku
harus langsung turun. kau bisa diam di sini atau menonton pertunjukan
penari telanjang. Aku akan menemuimu lagi nanti, ok?‖
―Aku akan pergi bersamamu.‖
―Aku tak ingin kau berada di sana, Trav.‖ Ekspresi terluka terlihat di
wajahnya dan aku menyentuh lengannya. ―Jika aku ingin memenangkan
empat belas ribu dolar dalam waktu singkat, aku harus berkonsentrasi.
Aku tidak menyukai siapa aku saat aku ada di meja judi, dan aku tak
ingin kau melihatku saat seperti itu, ok?‖
Dia mengusap rambut dari mataku lalu mencium pipiku. ―Baiklah,
Pidge.‖
Dia melambaikan tangan pada America saat dia meninggalkan kamar,
dan America mendekatiku, masih memakai baju yang sama dengan yang
dia pakai ke pesta kencan. Aku mengganti pakaianku dengan celana
pendek berwarna emas lalu memakai sepatu hak tinggi, meringis saat
melihat ke cermin. America mengikat rambutku ke belakang lalu
menyodorkan tabung hitam padaku.
―Kau membutuhkan sekitar lima lapis maskara lagi, dan mereka akan
langsung membuang KTP mu jika kau tidak memoles perona pipimu
lebih tebal lagi. Apa kau sudah lupa bagaimana memainkan permainan
ini?‖
Aku mengambil maskara dari tangannya dan menghabiskan sepuluh
menit lagi untuk memperbaiki make-up ku. Setelah aku selesai, mataku
mulai berkaca-kaca. ―Sialan, Abby, jangan menangis,‖
kataku, melihat ke atas dan menyeka bagian bawah mataku dengan tisu.
―kau tidak harus melakukan ini, Abby. kau tidak berhutang apapun pada
Mick,‖ kata America, memegang bahuku saat aku berdiri di depan
cermin untuk terakhir kalinya.
―Dia berhutang uang pada Benny, Mare. Jika aku tidak melakukan ini,
mereka akan membunuhnya.‖
Ada sedikit rasa kasihan di ekspresi wajahnya. Aku sudah sering melihat
dia menatapku seperti itu sebelumnya, namun kali ini dia putus asa. Dia
sudah melihat Mick menghancurkan hidupku lebih sering dari yang
kami berdua bisa hitung. ―Bagaimana berikutnya? Terus berikutnya? kau
tidak bisa terus melakukan ini.‖
―Dia berjanji untuk menjauh dariku. Mick Abernathy memang sudah
melakukan banyak hal, tapi dia selalu menepati janjinya.‖
®LoveReads

Kami berjalan menelusuri lorong dan melangkah masuk ke dalam lift


yang kosong. ―Kau sudah membawa semua yang kau butuhkan?‖
tanyaku, selalu mengingat ada kamera.
America mengetuk SIM palsunya dengan kuku lalu tersenyum.
―Namanya Candy. Candy Crawford,‖ dia berkata dengan aksen selatan
yang sempurna.
Aku mengulurkan tanganku. ―Jesica James. Senang bertemu denganmu,
Candy.‖
Kami berdua memakai kaca mata kami dan berdiri diam seperti batu saat
pintu lift terbuka, memperlihatkan cahaya lampu neon dan kesibukan di
dalam kasino. Orang-orang dari semua lapisan masyarakat berjalan ke
arah yang berbeda. Vegas merupakan surganya neraka, satu-satunya
tempat di mana kita dapat menemukan penari memakai pakaian bulu
yang mencolok warnanya dan make-up panggung, para pelacur yang
hampir tidak mengenakan pakaian namun dapat terima, para pengusaha
yang memakai jas mahal, dan sebuah keluarga dalam satu gedung. Kami
berjalan pelan di lorong yang di batasi oleh tali berwarna merah, dan
menyerahkan tanda pengenal kami pada pria yang memakai jaket merah.
Dia memandangku untuk beberapa saat dan aku menurunkan kaca
mataku.
―Bisakah sedikit agak cepat, itu akan sangat membantu,‖ kataku,
berusaha terlihat bosan.
Dia mengembalikan tanda pengenal kami lalu menyingkir ke samping,
membiarkan kami lewat.
Kami melewati beberapa lorong mesin slot, meja permainan black jack,
lalu berhenti di permainan roulette. Aku memandang ke sekeliling
ruangan memperhatikan beberapa meja poker, lalu memutuskan untuk
bermain di mana beberapa pria yang sudah tua sedang duduk.
―Meja yang itu.‖ kataku, mengangguk ke seberang ruangan.
―Mulai dengan agresif, Abby. Mereka tidak akan tahu apa yang akan
terjadi pada mereka.‖
―Tidak. Mereka sudah lama di Vegas. Aku harus bermain pintar kali
ini.‖
Aku berjalan menuju meja itu, memamerkan senyumanku yang paling
mempesona. Orang lokal dapat mencium seorang penipu dari jauh, tapi
aku punya dua hal yang membantuku yang akan menutupi aroma penipu
manapun: Muda…dan payudara.
―Selamat malam, Gentlemen. Keberatankah kalau aku bergabung
bersama kalian?‖
Mereka tidak melihat ke atas. ―Tentu, Sweet cheeks. Ambil kursi dan
tampil cantik. Hanya saja jangan bersuara.‖
―Aku ingin ikut bermain,‖ menyerahkan kacamataku pada America.
―Tidak banyak aksi di permainan black jack.
Salah satu dari mereka mengunyah cerutunya. ―Ini permainan poker,
Princess. Ambil lima kartu. Coba keberuntunganmu di mesin slot.‖
Aku duduk di atas satu-satunya kursi yang kosong, membuat
pertunjukan memperlihatkan kakiku.
―Aku selalu ingin bermain poker di Vegas. Dan aku masih memiliki
semua chip ini…,‖ aku berkata sambil menyusun chipku di atas meja,
―dan aku sangat bagus saat bermain online.‖
Kelima pria itu melihat chipku lalu melihat ke arahku. ―Ada minimal
taruhan, Sugar,‖ kata orang yang membagikan kartu.
―Berapa?‖
―Lima ratus, Peach. Dengar…aku tak ingin membuatmu menangis.
Bantulah dirimu sendiri dan pilihlah salah satu mesin slot.‖
Aku mendorong ke depan chip ku, mengangkat bahuku dengan cara
wanita ceroboh dan terlalu percaya diri sebelum menyadari dia telah
kehilangan uang kuliahnya. Mereka saling melihat satu sama lain. Orang
yang membagikan kartu mengangkat bahunya dan melemparkan chip
miliknya.
―Jimmy,‖ dia mengulurkan tangannya.
Ketika aku menjabat tangannya, dia menunjuk pada pria lainnya. ―Mel,
Pauly, Joe, dan itu Winks.‖ Aku melihat ke arah pria yang mengunyah
tusuk gigi, dan seperti yang telah aku kira, dia mengedipkan satu
matanya padaku.
Aku mengangguk dan menunggu dengan antisipasi palsu saat Jimmy
mengocok kartu putaran pertama. Aku sengaja kalah pada dua putaran
pertama, tapi pada putaran ke empat, aku sudah bangkit. Tidak
membutuhkan waktu yang lama untuk veteran Vegas mengetahui
rahasiaku sama seperti Thomas.
―kau bilang kau bermain secara online?‖ tanya Pauly.
―Ya, bersama ayahku.‖
―kau berasal dari Vegas?‖ tanya Jimmy.
―Dari Wichita,‖ aku tersenyum.
―Dia bukan pemain online, aku beritahu itu,‖ Mel menggerutu.
Satu jam berikutnya, aku telah mengambil dua ribu tujuh ratus dolar dari
lawanku, dan mereka mulai berkeringat.
―Menyerah,‖ kata Jimmy, melempar kartunya dengan muka masam.
―Jika aku tidak melihatnya sendiri, aku tidak akan pernah percaya,‖ aku
mendengar suara di belakangku.
Aku dan America berbalik bersamaan, dan aku tersenyum lebar. ―Jesse,‖
aku menggelengkan kepala. ―Apa yang kau lakukan di sini?‖
―Ini tempat milikku yang kau tipu, Cookie. Apa yang kau lakukan di
sini?‖
Aku memutar mataku dan melihat ke arah teman baruku yang
menatapku curiga. ―kau tahu aku membenci nama panggilan itu, Jess.‖
―Maafkan kami,‖ kata Jesse, menarik lenganku agar aku berdiri,
America memperhatikanku dengan waspada saat aku digiring pergi
beberapa kaki.
Ayah Jesse mengelola kasino ini, dan aku sangat terkejut dia mau
bergabung dalam bisnis keluarga.
Dulu kami saling kejar-kejaran sepanjang lorong hotel di lantai atas, dan
aku selalu mengalahkannya saat kami berlomba menuju lift. Dia sudah
tumbuh dewasa sejak terakhir kali aku melihatnya. Aku mengingat dia
sebagai remaja pra puber yang kurus; pria di hadapanku berpakaian
seperti pit boss (film seri Amerika), tidak lagi kurus dan sudah menjadi
pria dewasa. Dia masih memiliki kulit coklat yang halus dan mata hijau
yang aku ingat, namun yang lainnya benar-benar kejutan yang
menyenangkan.
Matanya yang hijau berkilau di bawah sinar lampu. ―Ini nyata. Aku tahu
itu kau ketika aku lewat tapi aku tidak dapat meyakinkan diriku sendiri
bahwa kau akan datang kemari lagi. Ketika aku melihat Tinkerbell ini
menyapu bersih meja poker, aku langsung tahu itu kau.‖
―Ini aku,‖ aku tersenyum.
―kau terlihat…beda.‖
―kau juga. Bagaimana ayahmu?‖
―Pensiun,‖ dia tersenyum. Berapa lama kau akan berada di sini?‖
―Hanya sampai hari Minggu. Aku harus kembali kuliah.‖
―Hai, Jess,‖ kata America, memegang tanganku.
―America,‖ dia tertawa geli. ―Aku seharusnya tahu. Kalian selalu
bersama-sama seperti bayangan.‖
―Jika orangtuanya tahu aku membawanya kemari, semua itu akan
berakhir dari dulu.‖
―Sangat senang bertemu denganmu, Abby. Kenapa kita tidak pergi
makan malam?‖ dia bertanya sambil memperhatikan pakaianku.
―Aku ingin sekali, tapi aku di sini bukan untuk bersenang-senang, Jess.‖
Dia mengangkat tangannya ke atas dan tersenyum. ―Begitu juga aku.
Serahkan tanda pengenalmu.‖
Kepalaku menunduk, mengetahui ada pertarungan di tanganku. Jesse
tidak akan terpengaruh oleh pesonaku dengan mudah. Aku tahu aku
harus mengatakan yang sebenarnya pada Jesse. ―Aku berada di sini
untuk Mick. Dia sedang dalam masalah.‖
Jesse bergeser. ―Masalah apa?‖
―Yang biasa.‖
―Aku harap aku bisa membantu. Mengingat masa lalu, dan kau tahu aku
menghormati ayahmu, tapi kau tahu aku tidak bisa membiarkanmu
tinggal.‖
Aku menarik lengannya dan meremasnya. ―Dia berhutang uang pada
Benny.‖
Jesse menutup matanya lalu menggelengkan kepalanya. ―Ya Tuhan.‖
―Aku punya waktu sampai besok. Anggap saja aku berhutang padamu,
Jesse. Tapi biarkan aku tinggal sampai besok.‖
Dia menyentuhkan telapak tangannya ke pipiku. ―Begini saja…jika kau
makan malam denganku besok, aku akan memberi kau waktu sampai
tengah malam nanti.‖
Aku melihat ke arah America lalu melihat pada Jesse. ―Aku kemari
bersama seseorang.‖
Dia mengangkat bahunya. ―Terima atau pergi, Abby. kau tahu
bagaimana di sini…kau tidak bisa mendapatkan apapun secara gratis.‖
Aku menghela nafas, merasa kalah. ―Baiklah. Aku akan menemuimu
besok malam di Ferraros jika kau memberiku waktu sampai tengah
malam.‖
Dia membungkuk ke bawah lalu mencium pipiku. ―Aku sangat senang
bertemu denganmu lagi. Sampai bertemu besok…jam lima, ok? Aku
kerja jam delapan.‖
Aku tersenyum saat dia melangkah pergi, tapi senyumku langsung
hilang saat aku melihat Travis menatapku dari meja Roulette.
―Oh sialan,‖ kata America, menarik lenganku.
Travis menatap tajam ke arah Jesse saat dia melewatinya, lalu berjalan
ke arahku. Dia memasukkan tangannya ke saku dan melihat sekilas ke
arah Jesse yang sedang memperhatikan kami dari ujung matanya.
―Siapa itu?‖
Aku mengangguk ke arah Jesse. ―Itu adalah Jesse Viveros. Aku
mengenalnya sejak lama.‖
―Berapa lama?‖
Aku melihat ke arah meja poker. ―Travis, aku tidak punya waktu untuk
ini.‖
―Aku rasa dia membuang cita-citanya untuk menjadi pendeta,‖ kata
America, mengirimkan seringai menggoda ke arah Jesse.
―Tadi itu adalah mantan pacarmu?‖ tanya Travis, seketika itu juga
marah. ―kau bilang dia dari Kansas?‖
Aku mendelik pada America lalu memegang dagu Travis dengan
tanganku, memaksanya untuk memperhatikan aku. ―Dia tahu aku belum
cukup umur untuk berada di sini, Trav. Dia memberiku waktu sampai
tengah malam. Aku akan menjelaskan semuanya nanti, sekarang aku
harus kembali bermain, ok?‖
Rahang Travis bergetar di bawah kulitnya, lalu dia menutup matanya,
menarik nafas panjang.
―Baiklah. Sampai bertemu tengah malam nanti.‖ Dia membungkuk lalu
menciumku, namun bibirnya terasa dingin dan menjaga jarak. ―Semoga
berhasil.‖
Aku tersenyum saat dia menghilang di keramaian, lalu mengalihkan
perhatianku kembali kepada semua pria di meja poker. ―Gentlemen?‖
―Silahkan duduk Sherly Temple,‖ kata Jimmy. ―Kami akan mengambil
uang kami kembali, sekarang. Kami tidak suka ditipu.‖
―Lakukan yang terbaik.‖ Aku tersenyum, mengocok kartu dengan mahir
lalu membagikannya pada semua pemain dengan teliti.
―Waktunya tinggal sepuluh menit,‖ bisik America.
―Aku tahu,‖ kataku.
Aku sudah memenangkan enam ribu dolar. Aku berusaha tidak
memikirkan waktu yang tersisa namun lutut America bergerak naik
turun dengan gugup di bawah meja. Tumpukan chip taruhan para
pemain sekarang lebih tinggi dari sebelumnya, taruhannya semua atau
tidak sama sekali.
―Aku belum pernah melihat pemain sepertimu, Nak. kau hampir selalu
memenangkan permainan.
Dan dia tidak menunjukkan satu gerakan apapun yang mengindikasikan
kartu yang dia tidak pegang, Winks. kau memperhatikan itu?‖ kata
Pauly.
Winks mengangguk, sikap riangnya sedikit berkurang pada setiap
putaran. ―Aku tahu. Tidak satu garukan ataupun senyuman, bahkan
pandangan matanya tetap sama. Itu tidak normal. Semua orang pasti
punya satu Tell*.‖
―Tidak semua orang,‖ kata America dengan sombong.
Aku merasakan sepasang tangan yang aku kenal menyentuh bahuku.
Aku tahu itu Travis tapi aku tidak berani melihat ke belakang, tidak
dengan tiga ribu dolar yang berada di tengah meja.
―Call (Ikut bertaruh),‖ kata Jimmy.
Mereka yang berkerumun di sekitar meja kami bertepuk tangan saat aku
meletakkan kartuku.
Jimmy adalah satu-satunya yang hampir mengalahkanku dengan three-
of-a-kind (kartu triple). Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan kartu
straight-ku (Kartu berurutan).
―Luar biasa!‖ kata Pauly, melempar dua kartu angka duanya ke atas
meja.
―Aku keluar,‖ Joe menggerutu, sambil berdiri lalu menghentakkan
kakinya melangkah menjauhi meja.
Jimmy sedikit lebih ramah. ―Aku boleh mati malam ini karena merasa
telah bermain melawan orang yang sepadan, nak. Sangat menyenangkan,
Abby.‖
Aku membeku. ―kau mengenalku?‖
Jimmy tersenyum, bertahun-tahun menghisap cerutu dan minum kopi
meninggalkan noda di giginya yang besar. ―Aku pernah melawanmu
sebelumnya. Enam tahun yang lalu. Aku sudah lama ingin bertanding
ulang.‖
Jimmy mengulurkan tangannya. ―Jaga dirimu baik-baik, nak. Sampaikan
salamku pada ayahmu.‖
America membantuku mengumpulkan chip yang aku menangkan, aku
berbalik ke belakang dan melihat Travis, melirik jam tanganku. ―Aku
membutuhkan sedikit waktu lagi.‖
―Ingin mencoba bermain black jack?‖
―Aku tidah boleh kehilangan uang, Trav.‖
Dia tersenyum. ―kau tidak akan pernah kalah, Pidge.‖
America menggelengkan kepalanya. ―Dia tidak terlalu bisa bermain
black jack.‖
Travis mengangguk. ―Aku menang sedikit. Aku mendapat enam ratus.
kau boleh mengambilnya.‖
Shepley menyerahkan chipnya padaku. ―Aku hanya mendapat tiga ratus.
Ini untukmu.‖
Aku menghela nafas. ―Terima kasih, guys, tapi masih kurang lima ribu.‖
Aku melirik jam tanganku lagi lalu melihat ke atas dan melihat Jesse
mendekat. ―Bagaimana?‖ dia bertanya sambil tersenyum.
―Masih kurang lima ribu, Jess. Aku membutuhkan waktu lagi.‖
―Aku sudah melakukan yang aku bisa, Abby.‖
Aku mengangguk, aku tahu aku sudah meminta terlalu banyak. ―Terima
kasih sudah mengizinkan aku tinggal.‖
―Mungkin aku bisa meminta ayahku untuk bicara kepada Benny
untukmu?‖
―Ini masalah Mick. Aku akan meminta pada Benny perpanjangan
waktu.‖
Jesse menggelengkan kepalanya. ―kau tahu itu tidak akan mungkin
terjadi, Cookie, tidak peduli berapa banyak yang kau bawa. Kalau
kurang dari yang dia pinjam, Benny akan mengirimkan seseorang. kau
harus menjauhinya sebisa mungkin.‖
Aku merasakan mataku menjadi perih. ―Aku harus mencoba.‖
Jesse mendekat satu langkah, membungkuk untuk berbisik. ―Naik
pesawat dan pulanglah, Abby. kau dengar aku?‖
―Aku mendengarmu,‖ bentakku.
Jesse menghela nafas dan ada rasa simpati di tatapan matanya. Dia
memelukku dan mencium rambutku. ―Maafkan aku. Jika bukan
pekerjaanku taruhannya, kau tahu aku akan memikirkan jalan lain.‖
Aku mengangguk, melepaskan diri darinya. ―Aku tahu. kau sudah
melakukan apa yang kau bisa.‖
Dia mengangkat daguku dengan jarinya. ―Sampai bertemu besok jam
lima.‖ Dia membungkuk untuk mencium ujung bibirku lalu berjalan
melewatiku tanpa berkata apapun lagi.
Aku melihat ke arah America, yang sedang memperhatikan Travis. Aku
tidak berani menatap mata Travis; aku tidak bisa membayangkan
bagaimana ekspresi wajah marahnya. ―Ada apa jam lima?‖ tanya Travis,
suaranya terhambat karena rasa emosi yang dia tahan.
―Dia setuju untuk makan malam dengan Jesse jika dia diizinkan tinggal.
Dia tidak punya pilihan, Trav,‖ kata America. Aku dapat mengira dari
nada hati-hati America kalau Travis sedang lebih dari marah.
Aku menatap tajam Travis, dan dia melotot ke arahku dengan ekspresi
yang sama dengan Mick saat dia menyadari aku mengambil
keberuntungannya, merasa dikhianati. ―kau punya pilihan.‖
―Apakah kau pernah berhubungan dengan mafia, Travis? Maafkan aku
jika perasaanmu tersakiti, tapi makan gratis dengan teman lama
bukanlah harga yang mahal untuk dibayar untuk membuat Mick tetap
hidup.‖
Aku dapat melihat bahwa Travis ingin menyerangku, namun tidak ada
yang dapat dia katakan.
―Ayolah, guys, kita harus mencari Benny,‖ kata America, menarik
lenganku.
®LoveReads
Travis dan Shepley mengikuti di belakang tanpa berkata apapun saat
kami melewati pertunjukan penari telanjang menuju gedung milik
Benny. Lalu lintas—baik mobil maupun orang di jalan yang ramai mulai
tumpah. Pada setiap langkah, aku merasa semakin mual, seperti ada
lubang di perutku, pikiranku berlomba untuk memikirkan argumen kuat
yang dapat membuat Benny mengerti alasannya. Pada saat kami
mengetuk pintu besar berwarna hijau yang sudah pernah aku lihat
beberapa kali sebelumnya, aku harus bicara sesedikit mungkin seperti
uang yang aku bawa.
Itu bukan suatu kejutan untuk melihat penjaga pintu yang bertubuh
sangat besar—hitam, menakutkan, berbadan lebar dan juga tinggi—
namun aku terkejut melihat Benny berdiri di sampingnya.
―Benny.‖ Aku menarik nafas.
―My, my…kau bukan Lucky Thirteen lagi, sekarang, ya kan? Mick
tidak mengatakan kalau kau tumbuh menjadi wanita yang cantik. Aku
sudah menunggumu, Cookie. Aku dengar kau membawa uang untuk
membayar hutang padaku.‖
Aku mengangguk dan Benny menunjuk ke arah teman-temanku. Aku
mengangkat daguku agar terlihat seolah aku percaya diri. ―Mereka
bersamaku.‖
―Aku rasa semua temanmu harus menunggu di luar,‖ kata si penjaga
pintu dengan suara bass yang abnormal.
Travis langsung memegang tanganku. ―Dia tidak akan masuk ke sana
sendirian. Aku akan ikut dengannya.‖
Benny memandang Travis dan aku menelan ludah. Ketika Benny
melihat ke arah penjaga pintu dan ujung bibirnya sedikit terangkat, aku
sedikit agak tenang.
―Cukup adil,‖ kata Benny. ―Mick akan senang mengetahui kau
mempunyai teman yang sangat baik bersamamu.‖
Aku mengikutinya masuk ke dalam, melihat ke belakang dan melihat
rasa khawatir di wajah America. Travis tetap memegang lenganku
dengan erat, dengan sengaja berdiri di antara aku dengan si penjaga
pintu. Kami mengikuti Benny masuk ke dalam lift, naik empat lantai
dalam keheningan, lalu pintu pun terbuka.
Terdapat meja mahoni yang besar di tengah ruangan yang luas. Benny
tertatih menuju kursi mewahnya lalu duduk, memberi isyarat pada kami
untuk duduk di dua kursi kosong yang berhadapan dengan mejanya.
Ketika aku duduk, bahan kulit kursinya terasa dingin di bawahku, dan
aku bertanya-tanya berapa banyak orang yang pernah duduk di kursi ini,
beberapa saat sebelum kematian mereka. Aku meraih untuk menarik
tangan Travis, dan dia meremas tanganku untuk menenangkanku.
―Mick berhutang padaku sebesar dua puluh lima ribu. Aku yakin kau
membawa uang sebesar itu,‖ kata Benny, menulis sesuatu di buku
catatannya.
―Sebenarnya,‖ aku terhenti, membersihkan tenggorokanku, ―Aku
kekurangan lima ribu, Benny. Tapi aku punya satu hari lagi besok untuk
mendapatkan sisanya. Dan lima ribu itu mudah, benar kan? kau tahu aku
pandai dalam hal itu.‖
―Abigail,‖ kata Benny, merengut, ―kau mengecewakanku. kau
mengetahui peraturanku lebih baik dari itu.‖
―A...aku mohon, Benny. Aku mintamu untuk menerima yang sembilan
puluh sembilan persennya, dan aku akan menyerahkan sisanya padamu
besok.‖
Mata bulatnya Benny menusukku lalu melihat ke arah Travis dan
kembali lagi padaku. Dan pada saat itulah aku mengetahui ada dua pria
melangkah ke depan, keluar dari sudut yang gelap di ruangan itu.
Pegangan Travis di tanganku semakin erat, dan aku menahan nafasku.
―kau tahu aku tidak akan menerima sedikitpun selain dari pembayaran
full. Fakta bahwa kau memberiku kurang dari itu memberitahuku
sesuatu. kau tahu itu memberitahuku apa? Bahwa kau tidak yakin akan
mendapatkan sisanya.‖
Kedua pria tadi mendekat satu langkah lagi ke depan.
―Aku akan mendapatkan uangmu, Benny,‖ aku tertawa dengan gugup.
―Aku memenangkan delapan ribu sembilan ratus dalam waktu enam
jam.‖
―Jadi apa kau mengatakan kalau kau akan membawa delapan ribu
sembilan ratus lagi untukku dalam waktu enam jam?‖ Benny
memberikan senyum jahatnya.
―Tenggat waktunya baru tengah malam besok,‖ kata Travis, melihat ke
belakang kami dan memperhatikan bayangan kedua pria itu mendekat.
―A…apa yang kau lakukan, Benny?‖ tanyaku, tubuhku kaku.
―Mick meneleponku tadi. Dia mengatakan bahwa kau akan mengambil
alih hutangnya.‖
―Aku hanya membantunya. Aku tidak berhutang padamu.‖ Aku berkata
dengan tegas, insting bertahanku muncul.
Benny meletakkan kedua sikunya yang berlemak, pendek, dan gemuk di
atas meja. ―Aku berpikir untuk memberi Mick sebuah pelajaran, dan aku
penasaran seberapa beruntungnya dirimu, nak.‖
Travis melonjak keluar dari kursinya, menarikku bersamanya. Dia
mendorongku ke belakangnya, berjalan mundur menuju pintu.
―Ada Josiah di luar pintu, anak muda. kau pikir kau akan kabur
kemana?‖
Aku sudah melakukan kesalahan. Ketika aku berpikir tentang membujuk
Benny untuk mengerti alasannya, aku seharusnya mengantisipasi
keinginan Mick untuk bertahan hidup, dan kegemaran Benny untuk
menghukum.
―Travis,‖ aku memperingatkan, melihat anak buahnya Benny mendekat.
Travis mendorongku menjauh darinya beberapa kaki di belakangnya dan
berdiri tegak. ―Aku harap kau tahu, Benny, bahwa ketika aku
mengalahkan anak buahmu, aku bukan bermaksud untuk tidak hormat.
Tapi aku sangat mencintai wanita ini, dan aku tidak akan
membiarkanmu menyakitinya.‖
Benny langsung tertawa terbahak-bahak. ―Aku serahkan padamu, nak.
kau mempunyai keberanian paling besar dari orang-orang yang melewati
pintu itu. Aku memperingatkanmu pada apa yang akan kau dapatkan.
Orang yang agak besar di samping kananmu adalah Davis, dan jika dia
tidak bisa mengalahkanmu dengan tinjunya, dia akan menggunakan
pisau yang tergantung di ikat pinggangnya. Orang yang di samping
kirimu adalah Dane, dan dia adalah petarung terbaikku. Dia akan
bertarung besok, dan sejujurnya dia tidak pernah kalah. Ingat untuk tidak
menyakiti tanganmu, Dane. Aku sudah mempertaruhkan banyak uang
untukmu.‖
Dane tersenyum liar pada Travis, matanya girang. ―Ya, tuan.‖
―Benny, hentikan! Aku akan mendapatkan uang itu!‖ teriakku.
―Oh tidak…ini akan menjadi lebih menarik dengan cepat,‖ Benny
terkekeh, bersandar di kursinya.
David berlari ke arah Travis dan tanganku menutup mulutku. Orang itu
kuat, tapi ceroboh dan lambat. Sebelum David memukul atau meraih
pisaunya, Travis melumpuhkannya, mendorong wajah David langsung
ke lututnya. Ketika Travis melayangkan tinjunya, dia tidak membuang
waktu, melayangkan semua kekuatannya ke wajah orang itu. Lalu dua
pukulan dan satu pukulan menggunakan sikunya, David terbaring di
lantai dalam genangan darah.
Kepala Benny bersandar ke belakang, tertawa histeris dan memukul-
mukul meja dengan senang seperti anak kecil yang sedang menonton
kartun pada Sabtu pagi. ―Well, lanjutkan, Dane. Dia tidak membuatmu
takut kan?‖
Dane mendekati Travis lebih hati-hati, dengan fokus dan perhitungan
seorang petarung profesional.
Tinjunya melayang ke wajah Travis dengan kecepatan yang luar biasa,
namun Travis dapat menghindar, menyeruduk Dane menggunakan
bahunya dengan kekuatan penuh. Mereka jatuh di atas meja Benny, lalu
Dane mencengkram Travis dengan kedua tangannya, melemparkannya
ke lantai. Mereka baku hantam di lantai beberapa saat, lalu Dane berdiri,
memposisikan dirinya untuk memukul Travis saat dia terjebak di antara
Dane dan lantai. Aku menutup wajahku, tidak sanggup melihat.
Aku mendengar erangan kesakitan, lalu aku mengangkat kepalaku dan
melihat Travis seperti melayang di atas Dane, menahannya dengan
mencengkeram rambut shaggynya, memukulkan beberapa tinjunya ke
samping kepala Dane. Setiap pukulan, membuat wajah Dane membentur
bagian depan meja Benny, lalu Dane bergegas berdiri, kehilangan arah
dan berdarah.
Travis memperhatikannya beberapa saat, lalu menyerang lagi,
mendengus setiap menyerang, sekali lagi menggunakan kekuatan penuh.
Dane menghindar sekali dan mendaratkan pukulannya di rahang Travis.
Travis tersenyum dan mengangkat satu jarinya. ―Itu adalah satu-satunya
kesempatanmu memukulku.‖
Aku tidak mempercayai pendengaranku. Travis sudah membiarkan anak
buahnya Benny memukulnya. Dia menikmatinya. Aku tidak pernah
melihat Travis bertarung tanpa batasan; itu sedikit menakutkan untuk
melihatnya melepaskan semua yang dia punya melawan pembunuh yang
terlatih dan punya keahlian ini. Sebelumnya, aku tidak menyadari apa
yang dapat Travis lakukan.
Dengan suara tawa Benny yang mengganggu di belakang, Travis
menghabisi Dane, mendaratkan sikunya di tengah-tengah wajahnya,
menjatuhkannya sebelum dia menyentuh lantai. Aku mengamati
tubuhnya saat memantul satu kali di atas karpet import milik Benny.
―Luar biasa, anak muda! Sangat menakjubkan!‖ kata Benny, bertepuk
tangan dengan senang.
Travis menarikku ke belakangnya saat Josiah muncul di ambang pintu
dengan tubuhnya yang besar.
―Haruskah aku mengurus yang satu ini, Tuan?‖
―Tidak…tidak…tidak…,‖ kata Benny, masih merasa limbung karena
pertunjukan spontan tadi.
―Siapa namamu?‖
Travis masih terengah-engah. ―Travis Maddox‖, jawab Travis, mengelap
darah Dane dan David di tangan ke celana jinsnya.
―Travis Maddox, aku yakin kau dapat menolong kekasih kecilmu.‖
―Bagaimana caranya?‖ Travis terengah.
―Dane seharusnya bertarung besok malam. Aku sudah bertaruh banyak
padanya, dan tampaknya Dane tidak akan cukup kuat untuk
memenangkan pertarungan dalam waktu dekat. Aku sarankan kau
menggantikannya, memenangkan uang untukku, dan aku akan
melupakan sisa hutang Mick yang lima ribu seratus itu.‖
―Travis berpaling padaku. ―Pigeon?‖
―kau baik-baik saja?‖ aku bertanya sambil mengelap darah dari
wajahnya. Aku menggigit bibirku, merasa wajahku kusut karena
gabungan antara rasa takut dan lega.
Travis tersenyum. ―Itu bukan darahku, sayang. Jangan menangis.‖
Benny berdiri. ―Aku orang yang sibuk, nak. Lewat atau main?‖
―Aku akan melakukannya,‖ kata Travis. ―Beritahu kapan dan di mana
aku akan berada di sana.‖
―kau akan melawan Brock McMann. Dia bukan orang biasa. Dia pernah
dilarang mengikuti UFC tahun lalu.‖
Travis tidak terpengaruh. ―Katakan saja di mana aku harus berada.‖
Seringai hiu Benny terukir di wajahnya. ―Aku menyukaimu, Travis. Aku
rasa kita akan menjadi teman baik.‖
―Aku rasa tidak akan,‖ Travis berkata sambil membuka pintu untukku
dan tetap dalam posisi melindungi hingga kami sampai di pintu depan.
®LoveReads

―Ya Tuhan!‖ America menjerit karena melihat cipratan darah di atas


baju Travis. ―Kalian baik-baik saja?‖ dia menarik bahuku dan
memeriksa wajahku.
―Aku baik-baik saja. Seperti hari biasa di kantor. Untuk kami berdua,‖
aku berkata sambil mengusap mataku.
Travis memegang tanganku dan kami bergegas menuju hotel bersama
Shepley dan America yang mengikuti di belakang. Tidak banyak yang
memperhatikan penampilan Travis. Dia berlumuran darah dan hanya
beberapa turis dari luar kota yang menyadarinya.
―Apa yang terjadi di dalam sana tadi?‖ akhirnya Shepley bertanya.
Travis membuka bajunya hingga tinggal pakaian dalamnya lalu
menghilang ke kamar mandi.
Pancuran air menyala dan America menyodorkan sekotak tisu padaku.
―Aku baik-baik saja, Mare.‖
Dia menghela nafas dan mendorong kotak itu padaku sekali lagi. ―kau
tidak baik-baik saja.‖
―Ini bukan rodeo pertamaku dengan Benny,‖ kataku, ototku terasa nyeri
karena rasa tegang yang aku rasakan dalam dua puluh empat jam
terakhir ini.
―Ini pertama kalinya kau melihat Travis benar-benar lepas kendali
terhadap seseorang,‖ kata Shepley. ―Aku pernah melihatnya satu kali,
dan itu bukan pemandangan yang bagus.‖
―Apa yang telah terjadi?‖ America memaksa.
―Mick menelepon Benny. Mengalihkan tanggung jawab hutangnya
padaku.‖
―Aku akan membunuhnya! Aku akan membunuh orang sialan yang
menyedihkan itu!‖ teriak America.
―Benny tidak menganggapku yang bertanggung jawab, tapi dia
bermaksud memberikan Mick
sebuah pelajaran karena mengirim anak perempuannya untuk membayar
hutangnya. Dia memanggil dua anjingnya dan Travis mengalahkan
mereka. Mereka berdua. Dalam waktu kurang dari lima menit.‖
―Jadi Benny melepaskanmu?‖ tanya America.
Travis keluar dari kamar mandi dengan handuk di pinggangnya, satu-
satunya bukti dari perkelahiannya adalah tanda merah kecil pada tulang
pipi di bawah mata kanannya. ―Salah satu dari mereka yang aku
kalahkan harus bertarung besok malam. Aku akan menggantikannya dan
sebagai imbalannya Benny akan melupakan lima ribu terakhir sisa dari
hutangnya Mick.‖
America berdiri. ―Ini sangat konyol! Kenapa kita membantu Mick,
Abby? Dia sudah melemparkanmu pada serigala! Aku akan
membunuhnya!‖
―Tidak jika aku membunuhnya lebih dulu,‖ Travis mendidih.
―Mengantrilah.‖ kataku.
―Jadi kau bertarung besok?‖ tanya Shepley.
―Di tempat yang bernama Zero‘s. Jam enam. Melawan Brock McMann,
Shep.‖
Shepley menggelengkan kepalanya. ―Tidak mungkin. Itu sangat tidak
mungkin, Trav. Orang itu sinting!‖
―Ya,‖ Travis tersenyum, ―tapi dia tidak bertarung untuk kekasihnya,
kan?‖ Travis memelukku di dalam lengannya, menciumi rambutku. ―kau
baik-baik saja, Pigeon?‖
―Ini adalah kesalahan. Ini salah dalam segala level. Aku tidak tahu mana
dulu yang harus di pikirkan masak-masak.‖
―Apa kau tidak melihat aku tadi? Aku akan baik-baik saja. Aku pernah
melihat Brock bertarung sebelumnya. Dia tangguh tapi bukan berarti
tidak bisa di kalahkan.‖
―Aku tidak ingin kau melakukan ini, Trav.‖
―Well, aku juga tidak ingin kau pergi makan malam bersama mantan
pacarmu besok. Aku rasa kita berdua harus melakukan sesuatu yang
tidak menyenangkan untuk menyelamatkan ayahmu yang tidak berguna
itu.‖
Aku sudah pernah melihat itu sebelumnya. Vegas merubah seseorang,
menciptakan banyak monster dan orang-orang bejat. Sangat mudah
untuk membiarkan cahaya lampu dan mimpi curian meresap ke dalam
darahmu. Aku pernah melihat semangat itu, rasa tidak akan terkalahkan
di wajah Travis semakin besar, dan satu-satunya obat untuk itu adalah
perjalanan pulang dengan pesawat.
®LoveReads
Aku melirik jam tanganku lagi.
―Kau harus pergi ke tempat lain, Cookie?‖ tanya Jesse, terlihat geli.
―Aku mohon berhentilah memanggilku Cookie, Jess. Aku tidak
menyukainya.‖
―Aku juga tidak suka kau pergi. Tapi itu tidak menghentikanmu.‖
―Ini percakapan yang basi dan melelahkan. Mari kita makan saja, ok?‖
―Baiklah, mari bicarakan tentang pacar barumu. Siapa namanya?
Travis?‖ Aku mengangguk dan dia tersenyum. ―Apa yang kau lakukan
bersama orang sakit jiwa yang bertatoo itu? Dia tampak seperti salah
satu anggota keluarga Manson (Penjahat di Amerika).‖
―Jaga sikapmu, Jesse, atau aku pergi dari sini.‖
―Aku tidak bisa melupakan betapa berbedanya penampilanmu. Aku juga
tidak akan melupakan bahwa kau duduk di depanku.‖
Aku memutar mataku. ―Lupakanlah.‖
―Itu dia,‖ kata Jesse. ―Wanita yang aku kenal.‖
Aku melihat jam tanganku. ―Pertarungan Travis dua puluh menit lagi.
Aku harus pergi.‖
―Kita masih harus makan makanan penutupnya.‖
―Aku tidak bisa, Jesse. Aku tidak ingin dia khawatir jika aku tidak
datang. Ini sangat penting.‖
Bahu Jesse turun. ―Aku tahu. Aku merindukan hari-hari saat aku penting
untukmu.‖
Aku memegang tangannya. ―Kita masih anak kecil waktu itu. Itu
beberapa tahun yang lalu.‖
―Kapan kita tumbuh dewasa? kau berada di sini adalah pertanda, Abby.
Aku pikir aku tidak akan pernah melihatmu lagi tapi sekarang kau duduk
di sini. Bersamaku.‖
Aku menggelengkan kepalaku perlahan, tidak ingin menyakiti perasaan
teman lamaku. ―Aku mencintainya, Jess.‖
Rasa kecewanya terlihat dari senyuman kecil di wajahnya. ―Kalau begitu
sebaiknya kau pergi.‖
Aku mencium pipinya lalu pergi dari restoran, memanggil taksi.
®LoveReads

―Tujuannya ke mana?‖ tanya supir taksi.


―Zero‘s.‖
Supir taksi melihat ke belakang ke arahku, bertanya sekali lagi. ―kau
yakin?‖
―Aku yakin! Ayo jalan!‖ kataku, melemparkan uang ke tempat
duduknya.
®LoveReads

_____________
*perubahan sikap atau perilaku seorang pemain poker yg
dipakai sebagai petunjuk pemain lain utk menilai kartunya.
Bab 16

Rumah

Akhirnya Travis menerobos kerumunan dengan tangan Benny di atas


bahunya, berbisik di telinganya. Travis mengangguk dan menjawabnya,
dan darahku menjadi dingin melihatnya sangat ramah pada pria yang
telah mengancam kami kurang dari dua puluh empat jam sebelumnya.
Travis merasa senang karena tepuk tangan dan ucapan selamat atas
kemenangannya saat semua orang bersorak. Dia berjalan lebih tegak,
senyumnya lebih lebar, dan ketika dia tiba di dekatku, dia mendaratkan
ciuman cepat di bibirku.
Aku dapat merasakan keringatnya yang asin bercampur dengan rasa
tembaga dari darah yang ada di bibirnya. Dia telah memenangkan
pertarungan, tapi dengan beberapa luka seperti habis perang di tubuhnya.
―Tentang apa semua itu?‖ tanyaku, memperhatikan Benny yang sedang
tertawa bersama para pengikutnya.
―Aku akan memberitahumu nanti. Kita punya banyak hal yang harus
dibicarakan,‖ dia berkata sambil tersenyum lebar.
Seorang pria menepuk punggung Travis.
―Terima kasih,‖ kata Travis, melihat ke arahnya dan menjabat tangan
yang diulurkannya.
―Aku menantikan untuk melihat pertarunganmu berikutnya, Nak,‖ kata
pria itu, menyerahkan sebotol bir pada Travis. ―Tadi itu luar biasa.‖
―Ayo, Pidge.‖ Dia meminum satu teguk birnya, berkumur lalu
memuntahkannya, cairan berwarna kuning di lantai bercampur dengan
darah. Dia berbelok-belok menerobos kerumunan, lalu menarik nafas
panjang ketika kami tiba di trotoar di luar. Dia menciumku sekali, lalu
menuntunku menelusuri tempat pertunjukan penari telanjang,
langkahnya cepat dan terarah.
®LoveReads

Di dalam lift hotel, dia mendorongku ke dinding cermin, menarik kakiku


lalu mengangkatnya dengan gerakan cepat ke atas pinggangnya.
Mulutnya melumat bibirku, dan aku merasakan tangannya di bawah
lututku meluncur ke atas ke pahaku dan mengangkat rokku.
―Travis, ada kamera di dalam sini,‖ aku berkata sambil mengelap
mulutku dan melihat ke bawah, ada goresan merah di tanganku.
―Ada apa denganmu, Pigeon? kau menang, aku menang, kita membayar
lunas hutang Mick dan aku baru saja mendapatkan tawaran sekali
seumur hidup.‖
Pintu lift terbuka dan aku berdiri diam di tempat saat Travis melangkah
keluar menuju lorong.
―Tawaran apa?‖ tanyaku.
Travis mengulurkan tangannya, tapi aku mengacuhkannya. Aku
memicingkan mataku, sudah tahu apa yang akan dia katakan.
Dia menghela nafas. ―Aku sudah mengatakannya padamu, kita akan
membicarakannya nanti.‖
―Mari kita bicarakan sekarang.‖
Dia mendekat lalu menarikku di pinggang menuju lorong, lalu
mengangkatku dari lantai ke dalam pelukannya.
―Aku akan menghasilkan uang yang cukup untuk menggantikan uang
yang Mick ambil darimu, untuk membayar sisa biaya kuliahmu,
melunasi motorku, dan membeli mobil baru untukmu,‖ katanya,
menggesekan kunci kartu di pintu. Dia mendorong pintu terbuka dan
menurunkanku. ―Dan itu baru awalnya saja!‖
―Dan bagaimana kau akan melakukan itu semua?‖ dadaku menegang
dan tanganku mulai gemetar.
Dia memegang wajahku di tangannya, merasa senang. ―Benny akan
mengizinkanku bertarung di Vegas. Enam digit satu kali pertarungan,
Pidge. Enam digit sekali bertarung!‖
Aku menutup mata dan menggelengkan kepalaku, menghalangi
kegembiraan di matanya. ―Apa yang kau katakan pada Benny?‖ Travis
mengangkat daguku lalu aku membuka mataku, takut kalau dia telah
menandatangani sebuah kontrak.
Dia tertawa geli. ―Aku bilang padanya kalau aku akan memikirkannya.‖
Aku menghembuskan nafas yang dari tadi aku tahan. ―Oh, untunglah.
Jangan menakutiku seperti itu, Trav. Aku pikir kau serius.‖
Travis menyeringai dan memantapkan dirinya sebelum bicara. ―Aku
memang serius, Pigeon. Aku mengatakan padanya bahwa aku harus
membicarakannya denganmu terlebih dahulu, tapi aku pikir kau akan
senang. Dia menjadwalkan satu pertarungan sebulan. kau tahu berapa
banyak uang itu? Tunai!‖
―Aku bisa berhitung, Travis. Aku juga bisa mempertahankan akal
sehatku ketika aku berada di Vegas, yang jelas-jelas kau tidak bisa. Aku
harus membawamu keluar dari sini sebelum kau melakukan hal yang
bodoh.‖ Aku berjalan menuju lemari dan melepaskan semua pakaian
kami dari gantungan baju, dengan marah memasukkannya ke dalam
koper.
Travis dengan lembut menarik lenganku lalu memutarku. ―Aku bisa
melakukannya. Aku bisa bertarung untuk Benny selama satu tahun maka
kita akan hidup mapan untuk waktu yang sangat lama.‖
―Apa yang akan kau lakukan? Keluar kuliah lalu pindah kemari?‖
―Benny akan memberiku tiket pesawat, bertarung berdasarkan
jadwalku.‖
Aku tertawa satu kali, meragukannya. ―Kau tidak mungkin selugu itu,
Travis. Saat kau digaji oleh Benny, kau tidak akan bertarung sebulan
sekali untuknya. Apa kau lupa tentang Dane? kau akan berakhir menjadi
salah satu premannya!‖
Dia menggelengkan kepalanya. ―Kami sudah mendiskusikan tentang itu,
Pidge. dia tidak ingin aku melakukan apapun selain bertarung.‖
―Dan kau mempercayainya? kau tahu di sini dia itu dijuluki Si Curang
Benny!‖
―Aku ingin membelikanmu mobil, Pigeon. Yang bagus. Uang kuliah kita
berdua akan dibayar lunas.‖
―Oh? Mafia itu sekarang memberikan beasiswa?‖
Rahang Travis terkatup rapat. Dia merasa kesal karena harus
meyakinkan aku. ―Ini bagus untuk kita berdua. Aku bisa menabung
sampai saatnya untuk kita membeli sebuah rumah. Aku tidak bisa
menghasilkan uang sebanyak ini di tempat lain.‖
―Bagaimana dengan gelar sarjana Hukum Pidanamu? kau akan sering
bertemu dengan teman-teman lamamu saat bekerja untuk Benny, aku
yakin itu.‖
―Sayang, aku mengerti keberatanmu, sungguh. Tapi ini hal yang bagus.
Aku akan melakukannya selama satu tahun, lalu kita berhenti dan
melakukan apapun yang kita inginkan.‖
―Kau tidak bisa berhenti begitu saja dengan Benny, Trav. Hanya dia
yang bisa memutuskan kapan kau berhenti. kau tak tahu sedang
berurusan dengan siapa! Aku tidak percaya kau akan
mempertimbangkan hal ini! Bekerja pada orang yang akan memukuli
kita berdua tadi malam jika kau tidak menghentikannya?‖
―Tepat sekali. Aku menghentikannya.‖
―kau menghentikan dua orang preman kelas ringannya, Travis. Apa yang
akan kau lakukan jika ada sebelas orang seperti mereka? Apa yang akan
kau lakukan jika mereka mengejarku pada saat kau sedang bertarung?‖
―Tidak masuk akal dia akan melakukan hal itu. Aku akan mendatangkan
banyak uang untuknya.‖
―Pada saat kau memutuskan berhenti, kau akan dihabisi. Itulah
bagaimana mereka bekerja.‖
Travis menjauhiku dan melihat keluar jendela, gemerlap lampu
menghiasi wajahnya yang bertentangan. Dia telah membuat keputusan
sebelum membicarakannya denganku.
―Semuanya akan baik-baik saja, Pigeon. Aku akan pastikan itu. Lalu kita
akan mapan.‖
Aku menggelengkan kepala dan berbalik, memasukkan pakaian kami ke
dalam koper. Ketika kami mendarat di aspal landasan saat sampai di
rumah, dia akan menjadi dirinya sendiri lagi. Vegas melakukan hal yang
aneh pada manusia, dan aku tidak bisa berargumen dengannya saat dia
masih mabuk oleh aliran uang yang banyak dan whiskey.
®LoveReads

Aku menolak untuk membahasnya lebih jauh hingga kami naik pesawat,
takut Travis akan membiarkanku pergi tanpa dirinya. Aku memakai
sabuk pengamanku dan gigiku terkatup rapat, memperhatikan dia yang
sedang menatap penuh kerinduan keluar jendela saat kami naik ke
angkasa malam. Dia sudah mulai merindukan kejahatan dan godaan tak
terbatas yang Vegas telah tawarkan.
―Itu uang yang banyak, Pidge.‖
―Tidak.‖
Dia mendekatkan kepalanya ke arahku. ―Ini keputusanku. Kupikir kau
tidak melihat gambaran besarnya.‖
―Kupikir kau sudah kehilangan akal sehatmu.‖
―Kau bahkan tidak akan mempertimbangkannya?‖
―Tidak, dan begitu juga denganmu. Kau tidak akan bekerja untuk
penjahat yang kejam di Las Vegas, Travis. Itu bener-benar bodoh jika
kau pikir aku akan mempertimbangkannya.‖
Travis menghela nafas dan melihat keluar jendela. ―Pertarungan
pertamaku tiga minggu lagi.‖
Mulutku menganga. ―Kau sudah menyetujuinya?‖
Dia mengedipkan satu matanya. ―Belum.‖
―Tapi kau akan menyetujuinya?‖
Dia tersenyum. ―Kau akan berhenti marah saat aku membelikanmu
mobil Lexus.‖
―Aku tidak ingin mobil Lexus.‖ aku mendesis marah.
―Kau bisa membeli apapun yang kau mau, sayang. Bayangkan
bagaimana rasanya mendatangi dealer manapun yang kau mau, dan yang
harus kau lakukan hanya tinggal memilih warna favoritmu.‖
―Kau tidak melakukan ini untukku. Berhentilah berpura-pura seolah kau
melakukan ini untukku.‖
Dia mendekatiku, mencium rambutku. ―Tidak, aku melakukan ini untuk
kita. kau hanya tidak melihat bagaimana hebatnya nanti.‖
Menggigil karena dingin terpancar dari dadaku, bergerak turun ke
punggung terus ke kakiku. Dia tidak akan melihat alasannya hingga
kami tiba di apartemen, dan aku takut kalau Benny sudah memberikan
tawaran yang tidak bisa dia tolak. Aku membuang semua rasa takutku;
aku harus percaya bahwa Travis sangat mencintaiku, cukup untuk
melupakan uang dan janji palsu yang sudah Benny berikan.
―Pidge? kau tahu cara memasak seekor kalkun?‖
―Kalkun? Kataku, tidak siap oleh perubahan topik pembicaraan yang
tiba-tiba.
Dia meremas tanganku. ―Well, liburan Thanksgiving akan segera tiba,
dan kau tahu kalau ayahku menyukaimu. Dia ingin kau datang saat
Thanksgiving, namun kami selalu berakhir dengan memesan pizza dan
menonton pertandingan. Kupikir mungkin aku dan kau akan mencoba
memasak kalkun bersama. Kau tahu, makan malam kalkun sungguhan
sekali ini di rumah keluarga Maddox.‖
Aku menutup rapat bibirku, berusaha agar tidak tertawa. ―Kau hanya
tinggal mencairkan kalkunnya dan menaruhnya di dalam panci lalu
memasaknya di oven seharian. Tidak banyak yang harus di lakukan.‖
―Jadi kau akan datang? kau akan membantuku?‖
Aku mengangkat bahuku. ―Tentu saja.‖
Perhatiannya teralihkan dari lampu di bawah yang memabukkan, dan
aku membiarkan diriku untuk berharap bahwa dia akan melihat betapa
salahnya dia tentang Benny.
®LoveReads

Travis meletakkan koper di atas tempat tidur lalu menjatuhkan tubuhnya


di samping koper. Dia belum mengungkit masalah Benny, dan aku harap
Vegas mulai tersaring keluar dari sistemnya. Aku memandikan Toto,
merasa jijik karena dia bau asap rokok dan kaus kaki kotor karena
berada di apartemen Brazil selama akhir pekan, lalu mengeringkannya
dengan handuk di dalam kamar.
―Oh! kau lebih wangi sekarang!‖ aku tertawa geli saat dia
menggoyangkan tubuhnya, mencipratkan tetesan air padaku. Dia berdiri
di atas kaki belakangnya, menciumiku dengan ciuman kecil anak anjing.
―Aku juga merindukanmu.‖
―Pigeon?‖ tanya Travis, meremas-remas jarinya dengan gugup.
―Ya?‖ jawabku, menggosok Toto dengan handuk lembut berwarna
kuning di tanganku.
―Aku ingin melakukannya. Aku ingn bertarung di Vegas.‖
―Tidak boleh,‖ aku berkata sambil tersenyum pada wajah senang Toto.
Dia menghela nafas. ―Kau tidak mendengarkan. Aku akan
melakukannya. Kau akan lihat dalam beberapa bulan bahwa itu adalah
keputusan yang tepat.‖
Aku menatapnya. ―Kau akan bekerja untuk Benny?‖
Dia mengangguk dengan gugup lalu tersenyum. ―Aku hanya ingin
memenuhi segala kebutuhanmu, Pidge.‖
Air mata mengaburkan pandanganku, mengetahui dia telah memutuskan.
―Aku tidak ingin apapun yang dibeli dengan uang itu, Travis. Aku tidak
ingin berhubungan dengan Benny atau Vegas atau apapun yang
berhubungan dengan itu semua.‖
―Kau tidak memiliki masalah dengan pemikiran untuk membeli mobil
menggunakan uang dari hasil pertarunganku di sini.‖
―Itu berbeda dan kau tahu itu.‖
Dia cemberut. ―Semua akan baik-baik saja, Pidge. Kau akan lihat.‖
Aku memandangnya untuk beberapa saat, berharap rasa senang di
matanya meredup sedikit, menunggunya mengatakan bahwa dia hanya
bercanda. Ketidakpastian dan keserakahan terlihat di matanya.
―Mengapa kau bertanya padaku kalau begitu, Travis? Kau akan bekerja
untuk Benny tidak peduli apapun yang aku katakan.‖
―Aku ingin kau mendukung ini, tapi ini uang yang terlalu banyak untuk
ditolak. Aku berarti gila jika menolaknya.‖
Aku duduk beberapa saat, terpana. Setelah semua tenggelam, aku
mengangguk. ―Baiklah. kau sudah membuat keputusan.‖
Travis berseri-seri. ―Kau akan lihat, Pigeon. Semua akan menjadi
menyenangkan.‖ Dia bangun dari tempat tidur, melangkah ke arahku
lalu mencium tanganku. ―Aku sangat lapar. Kau lapar?‖
Aku menggelengkan kepala dan dia mencium keningku sebelum
berjalan menuju dapur. Begitu langkah kakinya tidak terdengar lagi, aku
menarik semua bajuku dari gantungannya, bersyukur ada tempat kosong
di koperku untuk semua barang-barangku. Air mata marah mengalir
turun di pipiku.
Aku tahu lebih banyak untuk tidak membawa Travis ke tempat itu. Aku
sudah berjuang mati-matian untuk menjauhkannya dari jurang gelap
hidupku, dan pada saat kesempatan itu datang, aku menyeretnya ke
tengah semua yang aku benci tanpa harus berpikir dua kali.
Travis akan menjadi bagian dari semua itu, dan jika aku tidak bisa
menyelamatkannya, aku harus menyelamatkan diriku sendiri.
Kopernya sudah sangat penuh, dan aku menutup ritsletingnya melewati
isinya yang menggembung.
Aku mengangkatnya dari tempat tidur dan menelusuri lorong, melewati
dapur tanpa melirik ke arahnya. Aku bergegas menuruni tangga, merasa
lega melihat America dan Shepley masih berciuman dan tertawa di
tempat parkir, memindahkan barang America dari mobil Shepley ke
mobilnya.
―Pigeon?‖ Travis memanggil dari pintu apartemen.
Aku menyentuh pergelangan tangan America, ―Aku ingin kau
mengantarku ke asrama sekarang, Mare.‖
―Apa yang terjadi?‖ kata America, meyadari seriusnya situasi dari
ekspresiku.
Aku melihat ke belakang untuk melihat Travis yang sedang berlari
menuruni tangga dan menyebrangi rumput menuju tempat kami semua
berdiri.
―Apa yang kau lakukan?‖ kata Travis, menunjuk ke arah koperku.
Jika aku memberitahunya saat itu, semua harapan untuk menjauhkan
diriku dari Mick, Vegas, Benny dan semua yang tidak aku inginkan akan
hilang. Travis tidak akan membiarkanku pergi, dan nanti pagi aku akan
meyakinkan diriku sendiri untuk menerima keputusannya.
Aku menggaruk kepalaku lalu tersenyum, berusaha mengulur waktu
untuk memikirkan satu alasan.
―Pidge?‖
―Aku membawa barang-barangku ke asrama. Mereka memiliki mesin
cuci dan pengering dan aku punya beberapa pakaian yang harus di cuci.‖
Dia cemberut. ―Kau akan pergi tanpa memberitahuku?‖
Aku melihat ke arah America lalu kembali ke Travis, berusaha mencari
alasan bohong yang bisa di terima.
―Dia akan kembali lagi, Trav. kau sangat paranoid,‖ America berkata
sambil tersenyum acuh yang selalu dia gunakan untuk membohongi
orang tuanya beberapa kali.
―Oh,‖ katanya, merasa tidak yakin. ―Kau menginap di sini malam ini?‖
dia bertanya padaku sambil memainkan jaketku.
―Aku tidak tahu. Aku pikir itu tergantung kapan cucianku selesai.‖
Travis tersenyum, menarik tubuhku ke tubuhnya. ―Dalam tiga minggu
aku akan membayar seseorang untuk mencuci pakaianmu. Atau kau bisa
membuang baju kotormu lalu membeli yang baru.‖
―Kau bertarung untuk Benny lagi?‖ tanya America, terkejut.
―Dia memberiku tawaran yang tidak bisa aku tolak.‖
―Travis,‖ Shepley memulai.
―Kalian jangan mulai juga ya. Jika aku tidak mengubah keputusanku
demi Pidge, aku tak akan merubah pikiranku demi kalian.‖
America menatap mataku dengan pengertian, ―Well, kita sebaiknya
pergi, Abby. Cucian sebanyak itu akan membutuhkan waktu yang lama
untuk selesai.‖
Aku mengangguk dan Travis membungkuk untuk menciumku. Aku
menariknya lebih dekat, mengetahui ini akan menjadi terakhir kalinya
aku merasakan bibirnya di bibirku. ―Sampai bertemu nanti,‖ dia berkata.
―Aku mencintaimu.‖
Shepley mengangkat koperku ke dalam bagian belakang mobilnya
America, lalu America meluncur ke tempat duduknya di sampingku.
Travis melipat tangan di atas dadanya sambil mengobrol dengan Shepley
saat America menyalakan mesin.
―Kau tidak bisa tinggal di kamarmu malam ini, Abby. Dia akan langsung
menuju ke sana ketika dia menyadarinya,‖ kata America saat dia dengan
perlahan memundurkan keluar mobilnya dari tempat parkir.
Mataku penuh dengan airmata lalu tumpah, mengalir turun di pipiku.
―Aku tahu.‖
Ekspresi bahagia Travis berubah saat dia melihat wajahku. Dia langsung
berlari ke arah jendela mobil tempatku duduk. ―Ada apa, Pidge?‖
tanyanya, mengetuk di kaca.
―Jalan, Mare,‖ kataku, mengelap mataku. Aku menatap lurus ke jalan di
depan saat Travis berlari di samping mobil.
―Pigeon? America! Hentikan mobilnya!‖ teriaknya, memukulkan telapak
tangannya ke kaca.
―Abby, jangan lakukan ini!‖ dia berkata, kesadaran dan ketakutan
terlihat di wajahnya.
America berbelok ke jalan utama dan menginjak gas. ―Aku tidak ingin
mendengar bagaimana akhirnya ini—asal kau tahu saja.‖
―Aku sangat, sangat menyesal, Mare.‖
Dia melirik ke kaca spion dan mendorong kakinya ke lantai. ―Ya Tuhan,
Travis,‖ dia bergumam di antara nafasnya.
Aku melihat ke belakang dan melihatnya berlari dengan cepat di
belakang kami, menghilang dan kembali terlihat di antara lampu dan
bayangan lampu jalan. Setelah dia sampai di ujung blok, dia berbalik ke
arah yang berlawanan, berlari ke apartemen.
―Dia kembali untuk mengambil motornya. Dia akan mengikuti kita ke
asrama dan akan menarik banyak perhatian.‖
Aku menutup mataku. ―Cepatlah. Aku akan tidur di kamar asramamu
malam ini. Kau pikir Vannesa tidak akan keberatan?‖
―Dia tidak pernah ada di sana. Travis serius ingin bekerja untuk Benny?‖
Kata-kata tersangkut di tenggorokanku, jadi aku hanya mengangguk.
America menarik tanganku dan meremasnya. ―Kau membuat keputusan
yang tepat, Abby. Kau tidak boleh mengalaminya lagi. Jika dia tidak
mendengarkanmu, dia tidak akan mendengarkan orang lain.‖
Handphoneku berbunyi. Aku melihat wajah konyol Travis, lalu menekan
tombol ignore. Kurang dari lima detik berikutnya, itu berbunyi lagi. Aku
mematikannya dan memasukkannya ke dalam tas.
―Ini akan menjadi kekacauan yang sangat mengerikan,‖ kataku,
menggelengkan kepala dan mengelap mataku.
―Aku tidak menginginkan berada dalam posisimu untuk seminggu ke
depan atau lebih. Aku tidak bisa membayangkan putus dengan seseorang
yang menolak untuk menjauh. kau tahu nanti akan bagaimana, kan?‖
Kami berhenti di tempat parkir asrama, dan America menahan pintu
terbuka saat aku menyeret koperku masuk ke dalam. Kami bergegas
masuk ke kamarnya dan aku menghembuskan nafas, menunggunya
membuka kunci pintu. Dia menahannya terbuka lalu melemparkan
kuncinya padaku.
―Travis akan berakhir dengan di penjara atau lainnya.‖
®LoveReads

America berlari menelusuri lorong dan aku melihatnya berlari


menyeberangi tempat parkir dari balik jendela, masuk ke dalam
mobilnya saat Travis menghentikan motornya di samping mobilnya.
Dia berlari ke pintu penumpang lalu membuka pintunya, melihat ke
pintu asrama saat dia menyadari aku tidak ada di dalam mobil. America
memundurkan mobilnya saat Travis berlari ke dalam gedung, aku
berbalik dan menatap ke pintu.
Di lorong, Travis sedang menggedor pintu kamarku, memanggil-mangil
namaku. Aku tak tahu apakah Kara ada di sana, tapi jika dia ada di sana,
aku merasa kasihan atas apa yang akan dia tanggung beberepa menit ke
depan hingga Travis menerima bahwa aku tidak berada di kamarku.
―Pidge? Buka pintunya, sialan! Aku tidak akan pergi hingga kau bicara
padaku! Pigeon!‖ dia berteriak sambil memukul-mukul pintu dengan
sangat keras sehingga seluruh gedung dapat mendengarnya.
Aku merasa ngeri saat aku mendengar suara pemalu Kara.
―Apa?‖ geramnya.
Aku menekankan telingaku ke pintu, berusaha mendengar suara pelan
Travis. Aku tidak harus berusaha keras begitu lama.
―Aku tahu dia ada di dalam! Teriaknya. ―Pigeon?‖
―Dia tidak…Hey!‖ Kara memekik.
Pintu membentur dinding semen kamar kami dan aku tahu Travis
memaksa masuk. Setelah
beberapa menit hening, aku mendengar Travis berteriak di lorong.
―Pigeon! Di mana dia?‖
―Aku belum melihatnya!‖ teriak Kara, lebih marah daripada yang aku
pernah dengar sebelumnya.
Pintu di banting tertutup dan tiba-tiba rasa mual muncul saat aku
menunggu apa yang akan Travis lakukan berikutnya.
Setelah beberapa menit hening, aku membuka pintu sedikit, mengintip
ke lorong yang luas. Travis duduk bersandar ke dinding dengan tangan
menutupi wajahnya. Aku menutup pintu sepelan mungkin, khawatir
polisi kampus sudah di panggil. Setelah satu jam, aku melihat ke lorong
lagi.
Travis masih ada di situ, tidak bergerak.
Aku melihatnya dua kali lagi sepanjang malam itu, dan akhirnya tertidur
sekitar jam empat. Aku sengaja bangun siang, mengetahui aku akan
bolos kuliah hari itu. Aku menyalakan handphoneku untuk memeriksa
sms, melihat Travis sudah membanjiri kotak masukku. Teks panjang
yang dia kirimkan padaku sepanjang malam bermacam-macam dari
permintaan maaf hingga kata-kata kasar.
Aku menelepon America pada sore hari, berharap Travis tidak menyita
handphonenya. Ketika dia menjawab, aku merasa lega.
―Hai.‖
America menjaga agar suaranya tetap pelan. ―Aku belum memberitahu
Shepley di mana kau berada.
Aku tak ingin dia berada di tengah-tengah masalah ini. Travis sangat
kesal padaku saat ini. Aku mungkin akan tinggal di asrama malam ini.‖
―Jika Travis belum tenang…semoga berhasil untuk bisa tidur dengan
tenang di sini. Dia melakukan hal yang patut di beri penghargaan Oscar
di lorong tadi malam. Aku terkejut tidak ada satupun yang menelepon
keamanan.‖
―Dia di usir keluar dari kelas Sejarah hari ini. Ketika kau tidak datang,
dia menendang meja kalian.
Shep dengar dia menunggumu di setiap kelasmu. Dia lepas kendali,
Abby. Aku memberitahunya bahwa kau sudah merasa cukup pada saat
dia memutuskan untuk bekerja pada Benny. Aku tidak percaya dia
mengira bahwa kau akan dapat menerima hal itu.‖
―Kalau begitu sampai bertemu nanti di sini. Kupikir aku belum bisa
kembali ke kamarku saat ini.‖
®LoveReads

Aku dan America tinggal satu kamar selama seminggu lebih, dan dia
selalu memastikan Shepley tidak mengetahui aku berada di mana
sehingga dia tidak akan tergoda untuk memberitahu Travis tentang
keberadaanku. Ini menjadi pekerjaanku sepenuhnya untuk menghindari
bertemu dengannya.
Aku menghindari kafetaria, kuliah Sejarah, dan aku bermain aman
dengan meninggalkan semua kelas lebih awal. Aku tahu aku harus
bicara dengan Travis pada akhirnya, tapi aku tidak bisa melakukannya
sebelum dia cukup tenang untuk menerima keputusanku.
Aku duduk sendirian pada Jumat malam, berbaring di tempat tidur,
memegang telepon di telingaku.
Aku memutar mataku ketika perutku berbunyi.
―Aku bisa menjemputmu dan mengajakmu makan malam di satu
tempat,‖ kata America.
Aku membalik buku Sejarahku, melewati halaman di mana Travis
mencorat-coret dan menuliskan kata-kata cinta di marginnya. ―Tidak
usah, ini malam pertamamu bersama Shep dalam seminggu ini, Mare.
Aku akan mampir ke kafetaria saja.‖
―Kau yakin?‖
―Ya. Sampaikan salamku untuk Shep.‖
Aku berjalan perlahan ke kafetaria, tidak terburu-buru untuk mendapat
tatapan dari orang-orang yang duduk di kafetaria. Seluruh kampus
terkejut saat mendengar kabar kami putus, dan kelakuan kasar Travis
tidak membantu. Pada saat lampu kafetaria terlihat, aku melihat sosok
gelap mendekat.
―Pigeon?‖
Terkejut, aku tersentak berhenti. Travis melangkah ke dalam cahaya
lampu, tidak bercukur dan pucat. ―Ya Tuhan, Travis! kau menakutiku!‖
―Jika kau menjawab teleponmu ketika aku menelepon, aku tidak akan
mengendap-endap di kegelapan.‖
―kau terlihat seperti baru kembali dari neraka (berantakan),‖ kataku.
―Aku memang sepertinya pergi ke sana satu atau dua kali minggu ini.‖
Aku memeluk tubuhku lebih erat. ―Sebenarnya aku sedang mencari
sesuatu untuk dimakan. Aku akan meneleponmu nanti, ok?‖
―Tidak. Kita harus bicara.‖
―Trav…‖
―Aku sudah menolak Benny. Aku meneleponnya hari Rabu kemarin dan
mengatakan tidak padanya.‖ Ada secercah harapan di matanya, namun
langsung hilang saat dia menyadari ekspresiku.
―Aku tak tahu kau ingin aku mengatakan apa, Travis.‖
―Katakan kau memaafkan aku. Katakan kau akan menerimaku kembali.‖
Aku mengatupkan gigiku dengan rapat, melarang diriku sendiri untuk
menangis. ―Aku tidak bisa.‖
Wajah Travis kusut dan aku mengambil kesempatan untuk berjalan
mengitarinya, namun dia melangkah ke samping untuk menghalangi
jalanku. ―Aku tidak tidur, atau makan…aku tidak bisa konsentrasi. Aku
tahu kau mencintaiku. Semua akan kembali seperti semula jika kau
menerimaku kembali.‖
Aku menutup mataku. ―Kita berdua sama-sama disfungsional, Travis.
Kupikir kau hanya terobsesi dengan pemikiran untuk memilikiku lebih
dari apapun.‖
―Itu tidak benar. Aku mencintaimu lebih dari hidupku, Pigeon,‖ dia
berkata, merasa sakit.
―Itulah maksudku. Itu pembicaraan yang gila.‖
―Itu bukan gila. Itu yang sebenarnya.‖
―Baiklah…jadi apa urutan yang sebenarnya untukmu? Apakah uang,
aku, hidupmu…atau ada lagi sebelum uang?‖
―Aku menyadari yang telah aku lakukan, ok? Aku mengerti mengapa
kau berpikir begitu, tapi jika aku tahu kau akan meninggalkanku, aku tak
akan pernah…aku hanya ingin mengurus segala keperluanmu.‖
―Kau sudah pernah mengatakan itu.‖
―Aku mohon jangan lakukan ini. Aku tak tahan merasa seperti
ini…ini…ini membunuhku,‖ dia berkata sambil menarik nafas seolah
udara melumpuhkannya.
―Aku sudah merasa cukup, Travis.‖
Dia meringis. ―Jangan mengatakan itu.‖
―Semua sudah berakhir. Pulanglah ke rumah.‖
Alisnya ditarik masuk. ― Kau adalah rumahku.‖
Kata-katanya memotongku, dadaku menjadi sangat tegang hingga sangat
sulit untuk bernafas. ―Kau sudah menentukan pilihanmu, Trav. Aku
menentukan pilihanku,‖ aku berkata sambil memaki dalam hati karena
suaraku yang gemetar.
―Aku akan menjauhi Vegas, dan Benny…aku akan menyelesaikan
kuliahku. Tapi aku membutuhkanmu. Aku membutuhkan dirimu. Kau
adalah sahabatku.‖ Suaranya terdengar putus asa dan hancur, sama
dengan ekspresinya.
Di remang-remang cahaya aku dapat melihat air mata jatuh dari
matanya, dan dalam sekejap dia meraihku dan aku berada dalam
pelukannya, dia mencium bibirku. Dia memelukku dengan erat di
dadanya saat dia menciumku, lalu menahan wajahku dengan tangannya,
menekan bibirnya lebih keras di bibirku, memaksa untuk mendapatkan
reaksi dariku.
―Cium aku,‖ dia berbisik sambil menempelkan bibirnya di bibirku. Aku
tetap menutup mata dan bibirku, merasa tenang di dalam pelukannya.
Dengan sekuat tenaga aku bertahan untuk tidak membalas ciumannya,
karena telah merindukan bibirnya selama satu minggu ini. ―Cium aku,‖
dia memohon. ―Aku mohon, Pigeon! Aku sudah mengatakan tidak pada
Benny!‖
Ketika aku merasakan hangatnya air mata di wajahku yang dingin, aku
mendorongnya. ―Tinggalkan aku sendiri, Travis!‖
Aku baru berjalan beberapa langkah ketika dia menarik pergelangan
tanganku. Lenganku meregang, terentang di belakangku. Namun aku
tidak melihat ke belakang.
―Aku mohon padamu.‖ Lenganku merendah dan tertarik saat dia
berlutut. ―Aku mohon padamu, Abby. Jangan lakukan ini.‖
Aku berbalik dan melihat ekspresinya yang penuh penderitaan, lalu
pandanganku tertuju ke lenganku lalu ke arah lengannya Travis, melihat
namaku dalam huruf hitam tebal meregang di pergelangan tangannya.
Aku berpaling, ke arah kafetaria. Dia telah membuktikan padaku yang
aku takuti selama ini. Sebesar apapun dia mencintaiku, ketika
berhubungan dengan uang, aku akan menjadi urutan kedua. Sama seperti
aku dan Mick.
Jika aku menyerah, dia akan merubah pikirannya lagi tentang Benny,
atau dia akan membenciku setiap kali uang akan membuat hidupnya
lebih mudah. Aku membayangkan dia bekerja sebagai pegawai biasa,
pulang ke rumah dengan pandangan yang sama di matanya sama seperti
Mick saat dia pulang setelah malamnya yang tidak beruntung. Dia akan
menyalahkanku karena hidupnya tidak seperti yang dia inginkan, dan
aku tidak bisa membiarkan masa depanku terganggu oleh kepahitan dan
penyesalan yang aku dulu tinggalkan di belakang.
―Lepaskan aku, Travis.‖
Setelah beberapa saat akhirnya dia melepaskan lenganku. Aku berlari
menuju pintu kaca, mendorongnya terbuka tanpa melihat ke belakang.
Semua orang di ruangan itu menatapku saat aku berjalan ke meja
prasmanan, dan ketika aku mencapai tujuanku, aku memiringkan
kepalaku melihat ke luar jendela dimana Travis masih berlutut, telapak
tangan di atas jalan beraspal.
Melihat dia berlutut membuat air mata yang aku tahan dari tadi mengalir
deras di wajahku. Aku melewati tumpukan piring dan nampan, berlari di
lorong menuju kamar mandi. Sudah cukup buruk semua orang
menyaksikan adegan antara aku dan Travis. Aku tidak bisa membiarkan
mereka melihatku menangis.
®LoveReads

Aku meringkuk di dalam bilik kamar mandi selama satu jam, menangis
tak terkendali hingga aku mendengar ketukan pelan di pintu.
―Abby?‖
Aku terisak. ―Apa yang kau lakukan di sini, Finch? kau ada di kamar
mandi wanita.‖
―Kara melihatmu datang lalu dia menjemputku ke asrama. Biarkan aku
masuk,‖ dia berkata dengan suara yang lembut.
Aku menggelengkan kepala. Aku tahu dia tidak bisa melihatku, tapi aku
tidak dapat mengeluarkan satu patah katapun. Aku mendengar dia
menarik nafas lalu telapak tangannya menepuk lantai saat dia merangkak
di bawah bilik.
―Aku tidak percaya kau membuatku melakukan ini,‖ kata Finch,
menarik tubuhnya ke bawah dengan tangannya. ―Kau akan menyesal
tidak membukakan pintu, karena aku baru saja merangkak melewati
lantai yang berlumuran air kencing dan aku sekarang akan
memelukmu.‖
Aku tertawa satu kali, lalu wajahku seperti ditekan di sekitar bibirku saat
Finch menarikku ke dalam pelukannya. Aku berdiri, dan Finch
menurunkanku ke lantai, menarikku ke atas pangkuannya.
―Sssshh,‖ dia berkata sambil menggoyang-goyangkanku di pelukannya.
Dia menarik nafas dan menggelengkan kepala. ―Ya ampun, Girl. Apa
yang harus kulakukan padamu?‖
®LoveReads
Bab 17
Tidak, Terima Kasih

Aku mencorat-coret bagian depan buku catatanku, membuat kotak


dalam kotak, menghubungkan semuanya untuk membentuk kotak tiga
dimensi sederhana. Sepuluh menit sebelum kuliah dimulai, tapi ruangan
kelas masih kosong. Hidup sudah mulai dalam tahap normal, tapi aku
masih membutuhkan beberapa menit untuk terbiasa berada di dekat
orang lain selain Finch dan America.
―Hanya karena kita sudah tidak berkencan lagi, bukan berarti kau tidak
bisa memakai gelang yang aku berikan padamu,‖ Parker berkata sambil
duduk di kursi yang ada di sampingku.
―Aku bermaksud untuk bertanya padamu apakah kau menginginkan itu
dikembalikan.‖
Dia tersenyum, membungkuk ke atas meja untuk menambahkan gambar
pita kupu-kupu di atas salah satu gambar kotakku. ―Itu adalah hadiah,
Abs. Aku tidak memberikan hadiah dengan persyaratan.‖
Dr. Ballard menggelengkan kepalanya saat dia duduk di depan kelas,
membolak-balik kertas yang ada di atas mejanya yang berantakan.
Ruangan seketika gaduh karena suara orang-orang yang sedang
mengobrol, bergema karena memantul di jendela besar yang terciprat air
hujan.
―Aku dengar kau dan Travis putus beberapa minggu yang lalu.‖ Parker
mengangkat tangannya melihat ekspresiku yang tidak sabar. ―Itu sama
sekali bukan urusanku. Kau hanya terlihat sangat sedih, dan aku ingin
memberitahumu kalau aku ikut sedih.‖
―Terima kasih,‖ aku bergumam sambil membalik halaman buku
catatanku.
―Dan aku juga bermaksud untuk meminta maaf atas kelakuanku
sebelumnya. Yang aku katakan dulu sangat…kasar. Aku merasa marah
dan melampiaskannya padamu. Itu tidaklah adil dan aku minta maaf.‖
―Aku tidak tertarik untuk berkencan, Parker,‖ aku memperingatkannya.
Dia tertawa geli. ―Aku tidak berusaha untuk mengambil keuntungan.
Kita masih berteman dan aku ingin memastikan bahwa kau baik-baik
saja.‖
―Aku baik-baik saja.‖
―Apa kau akan pulang ke rumah saat libur Thanksgiving?‖
―Aku akan ke rumah America. Aku biasanya merayakan Thanksgiving
di rumahnya.‖
Parker mulai bicara lagi namun Dr. Ballard mulai mengajar. Topik
tentang Thanksgiving membuatku berpikir tentang rencanaku
sebelumnya untuk membantu Travis memasak kalkun. Aku
membayangkan bagaimana rasanya itu, dan aku menemukan diriku
merasa khawatir mereka akan memesan pizza lagi. Perasaan seperti
tenggelam mulai menghampiriku. Aku langsung mengeluarkannya dari
kepalaku, berusaha sebisa mungkin untuk berkonsentrasi pada semua
perkataan Dr. Ballard.
Setelah kelas bubar, wajahku merona saat melihat Travis berlari ke
arahku dari tempat parkir. Dia sudah bercukur bersih lagi, memakai
sweater lengan panjang yang ada penutup kepalanya dan topi baseball
merah favoritnya, menundukkan kepalanya menghindari air hujan.
―Sampai bertemu lagi setelah liburan usai, Abs,‖ kata Parker, menyentuh
punggungku.
Aku menunggu tatapan marah dari Travis, tapi tampaknya dia tidak
melihat Parker saat dia mendekat. ―Hai, Pidge.‖
Aku memberinya senyuman canggung, dan dia memasukan tangannya
ke dalam saku depan sweaternya. ―Kata Shepley kau akan pergi dia dan
America ke Wichita besok.‖
―Ya?‖
―Kau akan menghabiskan liburanmu di rumah America?‖
Aku mengangkat bahuku, berusaha terlihat biasa. ―Aku sangat dekat
dengan orangtuanya.‖
―Bagaimana dengan ibumu?‖
―Dia seorang pemabuk, Travis. Dia tidak akan menyadari kalau itu
Thanksgiving.‖
Dia tiba-tiba gugup, dan perutku terasa sakit karena kemungkinan untuk
putus di depan banyak orang untuk kedua kalinya. Petir bergulung di
atas kami dan Travis melihat ke atas, memicingkan matanya saat tetesan
air jatuh di wajahnya.
―Aku membutuhkan bantuanmu,‖ dia berkata. ―Kemarilah.‖ Dia
menarikku ke tempat berteduh yang terdekat dan aku mengikutinya,
berusaha untuk menghindari adegan lain yang akan menarik perhatian
banyak orang.
―Bantuan macam apa?‖ tanyaku, merasa curiga.
―Aku ehm…‖ dia bergeser. ―Ayah dan semua saudaraku masih
mengharapkan kau datang Kamis nanti.‖
―Travis!‖ aku merengek.
Dia menatap kakinya. ―Kau bilang kau akan datang.‖
―Aku tahu, tapi…itu sedikit tidak pantas sekarang, bukankah begitu?‖
Dia tampak tidak terpengaruh. ―Kau bilang kau akan datang.‖
―Kita masih berpacaran saat aku setuju untuk datang ke rumahmu. Kau
tahu aku tidak akan datang.‖
―Aku tak tahu, dan sekarang bagaimanapun sudah terlambat. Thomas
sudah naik pesawat kemari, dan Tyler sudah mengambil cuti. Semua
orang mengharapkan kau datang.‖
Aku meringis, memutar-mutar rambut basah di jariku. ―Mereka tetap
akan datang bagaimanapun juga, ya kan?‖
―Tidak semua orang. Kami sudah bertahun-tahun tidak kumpul semua
saat Thanksgiving. Mereka mengusahakan untuk datang karena aku
menjanjikan makanan sungguhan. Belum pernah ada wanita di dapur
kami sejak ibu meninggal dan…‖
―Itu bukan diskriminasi gender atau sejenispun.‖
Dia memiringkan kepalanya. ―Bukan itu maksudku, Pidge, yang benar
saja. Kami semua menginginkanmu datang. Hanya itu maksudku.‖
―Kau belum memberitahu mereka tentang kita…ya kan?‖ Aku berkata
dengan nada menuduh.
Dia gelisah beberapa saat, lalu menggelengkan kepalanya. ―Ayah akan
menanyakan alasannya, dan aku belum siap untuk membicarakan
masalah itu dengannya. Aku akan terus-menerus mendengarnya
mengatakan bagaimana bodohnya aku. Aku mohon datanglah, Pidge.‖
―Aku harus memasukan kalkun jam enam pagi. Kita harus pergi jam
lima...‖
―Atau kita bisa menginap di sana.‖
Alisku naik. ―Tidak! Sudah cukup buruk aku harus berbohong pada
keluargamu dan berpura-pura kita masih berpacaran.‖
―Kau bersikap seperti aku memintamu membakar dirimu dalam api.‖
―Kau seharusnya memberitahu mereka!‖
―Aku akan memberitahu mereka. Setelah Thanksgiving…aku akan
memberitahu mereka.‖
Aku menghela nafas, melihat ke arah lain. ―Jika kau berjanji bahwa ini
bukan satu aksi agar kita kembali bersama, aku akan melakukannya.‖
Dia mengangguk.‖Aku berjanji.‖
Meskipun dia berusaha untuk menyembunyikannya, aku dapat melihat
kilauan di matanya. Aku menutup bibirku rapat, berusaha untuk tidak
tersenyum. ―Sampai bertemu jam lima.‖
Travis membungkuk untuk mencium pipiku, bibirnya berlama-lama di
atas kulitku. ―Terima kasih, Pigeon.‖
America dan Shepley menungguku di pintu kafetaria lalu kami berjalan
masuk bersama. Aku menarik sendok dari tempatnya dengan kasar lalu
menjatuhkan piring di atas nampanku.
―Ada apa denganmu, Abby?‖ tanya America.
―Aku tidak akan pergi bersama kalian besok.‖
Mulut Shepley menganga. ―Kau akan pergi ke rumah keluarga
Maddox?‖
America menatap tajam ke arahku. ―Kau, apa?‖
Aku menghela nafas dan memberikan uang pada kasir. ―Aku berjanji
akan datang pada Travis saat di pesawat, dan dia memberitahu mereka
aku akan datang.‖
―Alasannya,‖ Shepley mulai bicara, ―Dia tidak berpikir kalian akan
benar-benar putus. Dia pikir kau akan kembali lagi. Dan sudah terlambat
saat dia menyadari bahwa kau serius.‖
―Itu omong kosong, Shep, dan kau tahu itu,‖ America mendesis marah.
―Kau tidak harus pergi jika kau tidak ingin pergi, Abby.‖
Dia benar. Itu bukan seperti aku tidak punya pilihan. Tapi aku tidak bisa
melakukannya pada Travis. Aku tidak akan melakukannya meskipun
aku membencinya. Dan aku tidak membencinya.
―Jika aku tidak pergi, dia harus menjelaskan pada mereka mengapa aku
tidak datang, dan aku tidak ingin menghancurkan acara
Thanksgivingnya. Mereka semua pulang karena mereka pikir aku akan
berada di sana.‖
Shepley tersenyum, ―Mereka semua menyukaimu, Abby. Jim baru-baru
ini ngobrol dengan ayahku membicarakan tentang dirimu.‖
―Bagus,‖ aku bergumam.
―Abby benar, sayang,‖ kata Shepley. ―Jika dia tidak pergi, Jim akan
menghabiskan waktunya untuk memarahi Trav. Tidak ada alasan untuk
mengancurkan acara mereka.‖
America menaruh tangannya di bahuku. ―Kau masih bisa ikut bersama
kami. Kau sudah tidak berpacaran lagi dengannya. Kau tidak harus
selalu menyelamatkannya.‖
―Aku tahu, Mare. Tapi ini hal yang tepat untuk dilakukan.‖
®LoveReads

Matahari menghilang di belakang gedung di luar jendela, dan aku berdiri


di depan cerminku, menyisir rambutku sambil berusaha memutuskan
bagaimana caranya untuk berpura-pura masih berpacaran dengan Travis.
―Ini hanya satu hari, Abby. Kau bisa mengatasi satu hari,‖ aku berbicara
pada cermin.
Berpura-pura bukanlah merupakan suatu masalah untukku. Saat Travis
mengantarku sesudah makan malam nanti, aku akan membuat
keputusan. Satu keputusan yang akan dipatahkan oleh rasa bahagia palsu
yang akan kami perlihatkan pada keluarganya.
Tok, tok. Aku berpaling, melihat ke pintu. Kara belum kembali ke kamar
dari tadi malam, dan aku tahu kalau America dan Shepley sudah berada
di jalan. Aku tidak bisa menebak siapa yang ada di pintu. Aku meletakan
sisirku di atas meja dan membuka pintu.
―Travis,‖ aku terkejut.
―Apakah kau sudah siap?‖
Aku mengangkat alisku. ―Siap untuk apa?‖
―Kau bilang jemput jam lima.‖
Aku melipat tangan di atas dadaku. ―Maksudku jam lima pagi.‖
―Oh,‖ kata Travis, terlihat kecewa. ―Aku rasa aku harus menelepon
ayahku dan memberitahunya kita tidak akan menginap.‖
―Travis,‖ aku meratap.
―Aku meminjam mobil Shepley sehingga kita tidak harus repot
membawa barang kita di atas motor. Ada kamar kosong untuk kau tidur.
Dan kita bisa nonton film atau—,‖
―Aku tidak akan menginap di rumah ayahmu!‖
Dia terlihat kecewa. ―Baiklah. Aku akan ehm…aku akan menemuimu
besok pagi.‖
Dia mundur satu langkah lalu aku menutup pintu, bersandar di pintu.
Semua emosi yang aku punya campur aduk dan keluar dari bagian dalam
diriku, dan aku menarik satu nafas kesal. Karena ekspesi kecewa Travis
terlintas di pikiranku, aku menarik pintu terbuka dan melangkah keluar,
melihat dia berjalan pelan di lorong sambil menekan nomor telepon.
―Travis, tunggu.‖ Dia berbalik dan harapan di matanya membuat dadaku
sakit. ―Berikan aku beberapa menit untuk mengemas beberapa barang.‖
Senyuman lega dan berterima kasih terukir di wajahnya dan dia
mengikutiku ke kamar, memperhatikan aku memasukkan beberapa
barang ke dalam tas yang ada di pintu masuk.
―Aku masih mencintaimu, Pidge.‖
Aku tidak melihat ke atas. ―Jangan. Aku melakukan ini bukan untukmu‖
Dia menarik nafas. ―Aku tahu.‖
Kami melaju dalam keheningan menuju rumah ayahnya. Mobil terasa
seperti diisi oleh energi gugup, dan sangat sulit untuk tetap duduk diam
di kursi kulit yang dingin. Saat kami tiba, Trenton dan Jim berjalan
keluar ke teras, semua tersenyum. Travis membawa tas kami dari mobil,
dan Jim menepuk punggungnya.
―Senang bertemu denganmu, Nak.‖ Senyumnya menjadi lebih lebar saat
melihatku. ―Abby Abernathy. Kami tak sabar untuk makan malam
besok. Sudah cukup lama sejak…Well. Sudah cukup lama.‖
Aku mengangguk dan mengikuti Travis masuk ke dalam rumah. Jim
meletakkan tangannya di atas perut besarnya dan tersenyum. ―Aku
menyiapkan kamar kalian di kamar tidur tamu, Trav. Aku pikir kau tidak
ingin berkelahi dengan si kembar di kamarmu.‖
Aku melihat ke arah Travis. Sangat berat untuk melihat Travis berusaha
untuk bicara. ―Abby ehm…dia akan ehm…tidur di kamar tamu. Aku
akan tidur di kamarku.‖
Wajah Trenton berubah. ―Kenapa? Dia selalu menginap di
apartemenmu, kan?‖
―Tidak akhir-akhir ini,‖ jawab Travis, berusaha sebisa mungkin
menghindari untuk mengatakan yang sebenarnya.
Jim dan Trenton saling berpandangan. ―Sudah satu tahun kamar Thomas
menjadi gudang, jadi aku membiarkannya tidur di kamarmu. Aku rasa
dia bisa tidur di sofa,‖ kata Jim, melihat ke arah sofa usang yang
warnanya sudah pudar di ruang tamu.
―Tidak usah khawatir tentang itu, Jim. Kami hanya berusaha untuk
menghormatimu,‖ aku tersenyum, menyentuh lengannya.
Suara tawanya terdengar ke seluruh ruangan, dan dia menepuk tanganku.
―Kau sudah bertemu dengan semua anakku, Abby. Kau seharusnya
sudah tahu bahwa hampir tidak mungkin untuk membuatku
tersinggung.‖
Travis menganggukkan kepala ke arah tangga, dan aku mengikutinya.
Dia mendorong pintu terbuka dengan kakinya dan meletakkan tas kami
di lantai, melihat ke arah tempat tidur lalu ke arahku.
Kamar itu dihiasi panel berwarna coklat, karpet coklat yang usang dan
sobek. Dindingnya putih kotor, catnya mengelupas di beberapa tempat.
Aku hanya melihat satu bingkai foto di dinding, memperlihatkan foto
ayah dan ibu Travis. Latar belakangnya adalah layar biru umum yang
ada di studio foto, rambut memakai jepit berbulu dan muda, wajah yang
tersenyum. Pasti foto itu diambil sebelum mereka punya anak, mereka
berdua tidak mungkin lebih tua dari dua puluh tahun.
―Maafkan aku, Pidge. Aku akan tidur di lantai.‖
―Tentu saja kau akan tidur di lantai,‖ kataku, mengikat rambutku. ―Aku
tak percaya aku membiarkanmu memaksaku melakukan ini.‖
Dia duduk di tempat tidur dan mengusap wajahnya dengan rasa frustrasi.
―Ini akan menjadi sangat kacau. Aku tak tahu apa yang aku pikirkan.‖
―Aku tahu pasti apa yang telah kau pikirkan. Aku tidak bodoh, Travis.‖
Dia menatapku dan tersenyum. ―Tapi kau tetap datang.‖
―Aku harus menyiapkan segala sesuatunya untuk besok,‖ kataku,
membuka pintu.
Travis berdiri. ―Aku akan membantumu.‖
®LoveReads
Kami mengupas setumpuk kentang, memotong sayuran, meletakkan
kalkun agar mencair, dan membuat pingggiran pie. Satu jam pertama
lebih dari tidak nyaman, namun ketika si kembar datang, semua
berkumpul di dapur. Jim menceritakan tentang semua anaknya, dan kami
tertawa pada cerita bencana Thanksgiving sebelumnya ketika mereka
berusaha untuk melakukan sesuatu selain memesan pizza.
―Diane sangat pandai memasak,‖ Jim merenung. ―Trav tidak
mengingatnya, tapi tidak ada artinya mencoba setelah dia meninggal.‖
―Tidak ada tekanan, Abby,‖ Trenton cekikikan, mengambil bir dari
kulkas. ―Mari kita keluarkan kartu. Aku ingin mencoba memenangkan
kembali uang yang telah Abby ambil.‖
Jim mengibaskan jarinya ke arah Trenton. ―Tidak ada poker minggu ini,
Trent. Aku membeli kartu domino, siapkan saja itu. Tidak ada taruhan,
dan aku serius.‖
Trenton menggelengkan kepala. ―Baiklah, ayah, baiklah.‖ Kakaknya
Travis berkelok-kelok keluar dari dapur, dan Trent mengikuti, melihat
ke belakang. ―Ayo, Trav.‖
―Aku sedang membantu Pidge.‖
―Sudah tidak banyak yang harus dikerjakan, sayang,‖ kataku.
―Pergilah.‖
Matanya menjadi lebih lembut karena kata-kataku, dan dia menyentuh
pinggangku. ―Kau yakin?‖
Aku mengangguk dan dia membungkuk untuk mencium pipiku,
meremas pinggangku dengan jarinya sebelum mengikuti Trenton ke
ruang permainan.
Jim memperhatikan anak-anaknya berjalan keluar pintu, menggelengkan
kepalanya dan tersenyum. ―Yang kau lakukan sangat luar biasa, Abby.
Aku pikir kau tidak menyadari betapa kami semua menghargainya.‖
―Ini idenya Travis. Aku senang aku bisa membantu.‖
Tubuhnya bersandar di meja dapur, menenggak birnya sambil
merenungkan kata berikutnya. ―Kau dan Travis tidak banyak bicara.
Kalian punya masalah?‖
Aku menuangkan sabun cuci piring ke dalam wastafel dan mengisinya
dengan air hangat, berusaha untuk memikirkan sesuatu untuk dikatakan
yang bukan kebohongan. ―Segalanya sedikit berbeda, aku rasa.‖
―Itu yang aku pikirkan. Kau harus sabar menghadapi Travis. Dia tidak
ingat banyak tentang itu, tapi dia sangat dekat dengan ibunya, dan
setelah kami kehilangan dirinya, Travis berubah. Aku pikir dia akan
tumbuh dengan kenangan itu, kau tahu, karena dia masih sangat kecil.
Sangat sulit bagi kami semua, tapi Trav…dia berhenti berusaha
mencintai seseorang setelah itu. Aku terkejut dia membawamu kemari.
Cara dia besikap di dekatmu, cara dia melihatmu; aku tahu kau sangat
spesial.‖
Aku tersenyum, tapi tetap melihat ke piring kotor yang sedang aku
gosok.
―Travis akan mengalami hari yang sulit. Dia akan membuat banyak
kesalahan. Dia tumbuh bersama sekumpulan pria tanpa ibu dan
kesepian, lelaki tua yang cepat marah sebagai ayahnya. Kami semua
sedikit tersesat setelah Diane meninggal, dan aku pikir aku tidak
membantu mereka mengatasinya seperti seharusnya.‖
―Aku tahu sangat sulit untuk tidak menyalahkannya, tapi kau harus
mencintainya, bagaimanapun, Abby. Kau adalah satu-satunya wanita
yang dia cintai selain ibunya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi
padanya kalau kau meninggalkan dia juga.‖
Aku menahan airmataku dan mengangguk, tidak mampu untuk
menjawab. Jim meletakkan tangannya di atas bahuku dan meremasnya.
―Aku belum pernah melihat dia tersenyum seperti saat dia sedang
bersamamu. Aku harap semua anak lelakiku menemukan ‗Abby-nya‘
suatu hari nanti.‖
Langkah kakinya menghilang di lorong dan aku berpegangan pada ujung
wastafel tempat cuci piring, berusaha untuk bernafas. Aku tahu
menghabiskan liburan bersama Travis dan keluarganya akan sesulit ini,
namun aku tidak berpikir aku akan patah hati untuk kedua kalinya. Para
pria bercanda dan tertawa di ruangan sebelah saat aku mencuci dan
mengeringkan piring, menyimpannya. Aku membersihkan dapur lalu
mencuci tanganku, berjalan menuju tangga untuk tidur.
Travis menarik tanganku. ―Ini belum terlalu terlalu malam, Pidge. Kau
tidak akan pergi tidur, kan?‖
―Ini hari yang panjang. Aku lelah.‖
―Kami sedang bersiap nonton film. Kenapa kau tidak turun dan
bergabung?‖
Aku melihat ke atas tangga dan melihat ke bawah ke arah senyum penuh
harapnya. ―Baiklah.‖
Dia menuntun tanganku ke sofa, lalu kami duduk bersama saat nama
para pemain berputar.
―Matikan lampunya, Taylor,‖ perintah Jim.
Travis meletakkan tangannya di atasku, di atas bagian belakang sofa.
Dia masih berpura-pura sambil tetap memenuhi keinginanku. Dia sangat
berhati-hati untuk tidak mengambil keuntungan dari situasi ini, dan aku
merasa bertentangan, antara bersyukur dan kecewa.
Duduk begitu dekat padanya, mencium wangi campuran tembakau dan
cologne nya, sangat sulit bagiku untuk menjaga jarak, baik itu secara
fisik maupun emosional. Seperti yang aku takutkan, keteguhan hatiku
mulai goyah dan aku berusaha untuk memblokir semua yang Jim
katakan tadi di dapur. Setelah film berjalan setengahnya, pintu depan
terbuka dan Thomas muncul di pojok, tas di tangannya.
―Happy Thanksgiving!‖ dia berkata sambil meletakan tasnya di lantai.
Jim berdiri dan memeluk anak tertuanya, dan semua kecuali Travis
berdiri untuk menyambutnya.
―Kau tidak akan menyapa Thomas?‖ bisikku.
Dia tidak melihat padaku ketika dia bicara, memperhatikan keluarganya
berpelukan dan tertawa.
―Aku punya satu malam bersamamu. Aku tidak akan menyia-nyiakan
satu detikpun.‖
―Hai, Abby. Sangat senang bertemu denganmu lagi,‖ Thomas
tersenyum.
Tangan Travis menyentuh lututku dan aku melihat ke bawah, lalu ke
arah Travis. Menyadari ekspresiku, Travis menarik tangannya dari
kakiku lalu meletakkannya di pangkuannya.
―Uh oh. Ada masalah di surga?‖ tanya Thomas.
―Tutup mulutmu, Tommy,‖ Travis menggerutu.
Mood di ruangan itu berubah, dan aku merasakan semua mata melihat
ke arahku, menunggu penjelasan. Aku tersenyum gugup dan memegang
tangan Travis dengan kedua tanganku.
―Kami hanya lelah. Kami mempersiapkan makanan sepanjang sore,‖
kataku, menyandarkan kepalaku di bahu Travis.
Travis melihat tangan kami di bawah lalu meremasnya, alisnya ditarik
sedikit.
―Bicara tentang lelah, aku kehabisan tenaga,‖ aku menarik nafas. ―Aku
akan tidur, Sayang.‖ Aku melihat ke semua orang. ―Selamat malam,
guys.‖
―Selamat malam, Sis,‖ kata Jim.
Semua kakaknya Travis mengucapkan selamat malam, dan aku berjalan
menuju tangga.
―Aku akan menyerah juga,‖ aku mendengar Travis bicara.
―Aku yakin kau begitu,‖ Trenton menggodanya.
―Bajingan yang sangat beruntung,‖ Tyler menggerutu.
―Heh. Kita tidak akan membicarakan saudara perempuanmu seperti itu,‖
Jim memperingatkan.
Perutku merosot. Satu-satunya keluarga yang aku punya selama
bertahun-tahun adalah orangtua America, dan meskipun Mark dan Pam
selalu merawatku dengan kebaikan yang tulus, mereka hanya pinjaman.
Enam pria yang sulit di atur, suka bicara kasar, namun mudah untuk
dicintai di bawah telah menerimaku dengan tangan terbuka, dan besok
aku akan mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya.
Travis menahan pintu kamar sebelum tertutup lalu terdiam. ―Apa kau
ingin aku menunggu di lorong saat kau berganti pakaian?‖
―Aku akan mandi dulu. Aku akan ganti baju di kamar mandinya saja.‖
Dia mengusap leher belakangnya. ―Baiklah. Aku akan menyiapkan alas
tidurku kalau begitu.‖
Aku mengangguk, berjalan menuju kamar mandi. Aku menggosok
tubuhku yang telanjang di bawah pancuran yang bobrok, fokus pada
noda air dan busa sabun untuk melawan rasa cemas berlebih yang aku
rasakan pada malam ini dan pagi hari nanti. Ketika aku kembali ke
kamar, Travis menjatuhkan bantal ke lantai ke atas alas tidurnya. Dia
memberi senyuman lemah sebelum meninggalkanku untuk mandi.
Aku naik ke tempat tidur, menarik selimut menutupi dadaku, berusaha
tidak peduli pada selimut yang ada di lantai. Ketika Travis kembali, dia
menatap alas tidurnya dengan tatapan sedih seperti aku tadi, lalu
mematikan lampu, membaringkan kepalanya di bantal.
Hening untuk beberapa saat, lalu aku mendengar Travis menarik nafas
sedih. ―Ini malam terakhir kita bersama, ya kan?‖
Aku menunggu sesaat, berusaha memikirkan kata yang tepat untuk
diucapkan. ―Aku tak ingin bertengkar, Trav. Tidurlah.‖
Mendengar dia bergeser, aku berbalik di tempat tidur agar bisa
melihatnya, menekan pipiku di atas bantal. Dia menahan kepala dengan
tangannya dan menatap mataku.
―Aku mencintaimu.‖
Aku menatapnya beberapa saat. ―Kau sudah berjanji.‖
―Aku berjanji ini bukan usaha agar kita kembali bersama. Ini bukan itu.‖
Dia mengangkat tangannya ke atas untuk menyentuh tanganku. ―Tapi
jika ini berarti bersama denganmu lagi, aku tidak bisa mengatakan aku
tidak akan memikirkannya.‖
―Aku peduli padamu. Aku tak ingin menyakitimu, tapi aku seharusnya
menuruti kata hatiku dari awal. Kalau ini tidak akan berhasil.‖
―Tapi kau mencintaiku, kan?‖
Aku menekan bibirku. ―Aku masih.‖
Matanya berkilau dan dia meremas tanganku. ―Bolehkah aku minta
sesuatu?‖
―Aku memang sedang melakukan hal terakhir yang kau minta aku
lakukan,‖ aku tersenyum.
Wajahnya sudah terlatih, tidak terpengaruh oleh ekspresiku. ―Jika ini
benar-benar itu…jika kau merasa cukup denganku…akankah kau
membiarkan aku memelukmu malam ini?‖
―Kurasa itu bukan ide yang bagus, Trav.‖
Tangannya mencengkram tanganku lebih erat.
―Aku mohon? Aku tidak bisa tidur mengetahui kau hanya beberapa kaki
jauhnya, dan aku tidak akan mendapatkan kesempatan ini lagi.‖
Aku menatap ke dalam matanya yang putus asa untuk beberapa saat lalu
merengut. ―Aku tidak akan berhubungan seks denganmu.‖
Dia menggelengkan kepala. ―Itu bukan yang aku minta.‖
Aku mencari cahaya remang di kamar dengan mataku, memikirkan
konsekuensinya, bagaimana jika aku tidak bisa berkata tidak ketika dia
berubah pikiran. Aku menutup mataku lalu bergeser dari ujung tempat
tidur, dan menurunkan selimut. Dia naik ke tempat tidur di sampingku,
dengan cepat menarikku erat di tangannya. Dada telanjangnya turun naik
karena nafasnya yang tidak teratur, dan aku memaki diriku karena
merasa sangat damai berdekatan dengan kulitnya.
―Aku akan merindukan ini,‖ kataku.
Dia mencium rambutku dan menarikku lebih dekat, tidak dapat lebih
dekat lagi padaku. Dia menenggelamkan kepalanya di dadaku dan aku
meletakan tanganku di punggungnya dengan nyaman, meskipun aku
patah hati seperti dirinya. Dia menarik nafas dari hidungnya, dan
menekan dahinya di leherku, menekankan jarinya ke dalam kulit
punggungku. Sama menderitanya seperti saat malam terakhir taruhan,
ini jauh…jauh lebih buruk.
―Aku…aku pikir aku tidak bisa melakukan ini, Travis.‖
Dia menarikku lebih dekat dan aku merasakan air mata pertama jatuh
dari mata ke pelipisku. ―Aku tidak bisa begini,‖ kataku, menutup rapat
mataku.
―Kalau begitu jangan,‖ dia berkata di dekat kulitku. ―Berikan aku satu
kesempatan lagi.‖
Aku mencoba menjauh darinya, tapi cengkeramannya sangat kuat untuk
mencegah aku melepaskan diri. Aku menutup wajah dengan dua
tanganku saat isakan pelanku mengguncang kami berdua.
Travis melihat ke atas ke arahku, matanya bengkak dan basah.
Dengan jarinya yang besar, dan lembut, dia menarik tanganku menjauh
dari mataku lalu mencium telapak tanganku.
Aku menarik nafas saat dia menatap bibirku lalu kembali menatap
mataku. ―Aku tidak pernah mencintai seseorang seperti aku
mencintaimu, Pigeon.‖
Aku bergeser dan menyentuh wajahnya. ―Aku tidak bisa.‖
―Aku tahu,‖ kata Travis, suaranya terbata. ―Aku tak pernah sekalipun
merasa yakin kalau aku cukup pantas untukmu.‖
Wajahku mengkerut dan aku menggelengkan kepala. ―Itu bukan hanya
karena dirimu, Trav. Kita tidak cocok satu sama lain.‖
Dia menggelengkan kepala, ingin mengatakan sesuatu, namun
memikirkannya lagi. Setelah menarik nafas dalam, dia mengistirahatkan
kepalanya di dadaku. Ketika angka berwarna hijau di jam menunjukan
jam sebelas, nafas Travis akhirnya menjadi pelan dan teratur. Mataku
menjadi berat, dan aku berkedip beberapa kali sebelum hilang
kesadaran.
®LoveReads

―Ow!‖ jeritku, menarik tanganku dari kompor dan secara otomatis aku
menghisap luka bakar dengan mulutku.
―Kau baik-baik saja, Pidge?‖ tanya Travis, berjinjit di lantai dan
memasukan kaos ke kepalanya.
―Sialan! Lantainya sangat dingin!‖ aku menahan senyum geliku saat aku
melihatnya melompat dengan satu kaki lalu kaki satu lagi hingga telapak
kakinya terbiasa dengan lantai yang dingin.
Matahari baru saja mengintip di tirai, dan Maddox yang lain masih
tertidur dengan nyenyak di kamar mereka. Aku mendorong panci timah
antik lebih jauh ke dalam oven lalu menutup pintunya, berbalik untuk
mendinginkan jariku di wastafel.
―Kau boleh kembali tidur. Aku hanya harus meletakkan kalkun ke dalam
oven.‖
―Apa kau akan ikut tidur?‖ dia bertanya, memeluk dadanya dengan
tangan untuk menangkal rasa dingin di udara.
―Ya.‖
―Silahkan duluan,‖ kata Travis, mengayunkan tangannya ke arah tangga.
Travis menarik lepas kaosnya saat kami berdua memasukan kaki di
bawah selimut, menariknya hingga leher. Dia mengencangkan
tangannya di sekelilingku saat kami berdua menggigil, menunggu panas
tubuh kami menghangatkan jarak kecil di antara kulit kami dan selimut.
Aku merasakan bibirnya di rambutku, lalu tenggorokannya bergerak saat
dia berbicara. ―Lihat, Pidge. Salju turun.‖ Aku memalingkan wajahku ke
jendela. Butiran putih hanya terlihat di bawah cahaya lampu jalan.
―Rasanya seperti Natal,‖ kataku, kulitku akhirnya menjadi hangat di
dekatnya.
Dia menghela nafas dan aku berpaling untuk melihat ekspresinya.
―Kenapa?‖
―Kau tidak akan di sini saat Natal.‖
―Aku di sini, sekarang.‖ Dia menarik ke atas satu sisi bibirnya lalu
mendekat untuk mencium bibirku. Aku menjauh ke belakang dan
menggelengkan kepala. ―Trav…‖
Cengkeramannya semakin erat dan dia merendahkan dagunya, matanya
yang coklat sudah bertekad.
―Aku punya kurang dari dua puluh empat jam bersamamu, Pidge. Aku
akan sering menciummu hari ini. Sepanjang hari. Setiap ada
kesempatan. Jika kau ingin aku berhenti, tinggal katakan saja, tapi
hingga kau mengatakannya, aku akan membuat setiap detik hari
terakhirku bersamamu berarti.‖
―Travis—,‖ aku memikirkannya beberapa saat, dan aku beralasan bahwa
dia sedang merasa kecewa tentang apa yang akan terjadi saat dia
mengantarku pulang. Aku harus datang ke sana berpura-pura, dan sesulit
apapun untuk kami berdua nantinya, aku tidak ingin mengatakan tidak
padanya.
Ketika dia menyadari aku menatap bibirnya, ujung bibirnya naik lagi,
dan dia mendekat untuk menekan bibir halusnya di bibirku. Awalnya
lembut dan murni, namun setelah bibirnya terbuka, aku membelai
lidahnya dengan lidahku. Tubuhnya langsung menegang, dan dia
menarik nafas dari hidungnya, mendekatkan tubuhnya padaku. Aku
membiarkan lututku jatuh ke samping dan dia berada di atasku, tidak
melepaskan bibirnya dari bibirku.
Dia tidak membuang waktu untuk membuka pakaianku, dan pada saat
tidak ada lagi kain di antara kami, dia mencengkeram ornamen
tumbuhan merambat yang terbuat dari besi di kepala tempat tidur
dengan kedua tangannya, dan dengan gerakan cepat, dia sudah berada di
dalam tubuhku. Aku menggigit bibirku dengan kuat, menahan jeritan
yang merangkak ke atas tenggorokanku. Travis mengerang di bibirku,
dan aku menekan kakiku ke tempat tidur, menahan tubuhku sehingga
aku dapat mengangkat pinggulku untuk bertemu pinggulnya.
Satu tangan di besi dan satu lagi di tengkukku, dia bergoyang di atasku
berkali-kali, dan kakiku bergetar karena gerakannya yang kuat dan
keras. Lidahnya mencari bibirku, dan aku bisa merasakan getaran
erangannya yang dalam di dadaku saat dia menepati janjinya untuk
membuat hari terakhir kami tidak akan terlupakan. Aku dapat
menghabiskan seribu tahun mencoba menghalangi momen itu dari
ingatanku, dan itu akan tetap membekas di pikiranku.
Satu jam telah berlalu saat aku menutup rapat mataku, setiap urat
sarafku fokus pada getaran di dalam tubuhku. Travis menahan nafasnya
saat dia mendorong ke dalam tubuhku untuk terakhir kalinya, aku
ambruk di atas tempat tidur, benar-benar kehabisan tenaga. Travis
mendesah dengan nafas yang dalam, terdiam dan berkeringat.
Aku dapat mendengar suara-suara di bawah dan aku menutup mulutku
dengan tangan, tertawa geli karena kelakuan nakal kami. Travis
menyamping, memeriksa wajahku dengan matanya yang berwarna
coklat dan lembut.
―Kau bilang hanya akan menciumku,‖ aku tersenyum.
Saat aku berbaring di dekat tubuhnya yang telanjang, melihat cinta yang
tulus di matanya, aku menghilangkan rasa kecewa, kemarahanku, dan
pendirianku yang keras kepala. Aku mencintainya, dan tak peduli
apapun alasanku untuk hidup tanpa dirinya, aku tahu bukan itu yang aku
mau.
Bahkan jika aku tidak berubah pikiran, sangat tidak mungkin bagi kami
untuk menjauhi satu sama lain.
―Kenapa kita tidak diam di tempat tidur saja seharian?‖ dia tersenyum.
―Aku datang kemari untuk memasak, ingat?‖
―Bukan, kau datang kemari untuk membantuku memasak, dan aku baru
akan mengerjakan tugasku delapan jam lagi.‖
Aku menyentuh wajahnya, dorongan untuk mengakhiri penderitaan
kami menjadi tidak tertahankan.
Saat aku mengatakan padanya aku merubah pikiranku dan keadaan itu
akan kembali normal, kami tidak harus menghabiskan hari dengan
berpura-pura. Sebaliknya kami dapat menghabiskannya dengan
merayakannya.
―Travis, aku pikir kita…‖
―Jangan katakan itu, ok? Aku tak ingin memikirkan tentang itu hingga
pada saatnya.‖ Dia berdiri dan mengenakan celana boxernya, berjalan
menuju tasku. Dia melemparkan pakaianku ke atas tempat tidur lalu
menarik masuk kaos ke kepalanya. ―Aku ingin mengingat ini sebagai
hari yang indah.‖
Aku memasak telur untuk sarapan dan sandwiches untuk makan siang,
dan ketika pertandingan dimulai, aku menyiapkan makan malam. Travis
berdiri di belakangku dalam setiap kesempatan, lengannya memeluk
pinggangku, bibirnya di leherku. Aku menangkap basah diriku melirik
jam, ingin sekali menemukan momen berdua dengannya untuk
memberitahunya keputusanku. Aku tidak sabar untuk melihat ekspresi
wajahnya dan untuk kembali ke keadaan semula.
Hari itu diisi dengan suara tawa, mengobrol, dan keluhan yang terus
menerus dari Tyler karena Travis yang terus menunjukan rasa
sayangnya.
―Carilah kamar kosong, Travis! Ya Tuhan!‖ Tyler mengeluh.
―Kau berubah jadi iri setengah mati,‖ Thomas menggodanya.
―Itu karena mereka membuat aku mual. Aku tidak iri, brengsek,‖ Tyler
mendesis marah.
―Biarkan mereka, Ty,‖ Jim memperingatkan.
Saat kita duduk untuk menikmati makan malam, Jim memaksa Travis
untuk memotong kalkunnya, dan aku tersenyum saat dia dengan bangga
berdiri dan mematuhinya. Aku sedikit cemas hingga pujian
menghilangkan rasa cemasku. Pada saat aku menghidangkan pie, tidak
ada sepotong makanan pun yang tersisa di meja.
―Apa aku cukup membuatnya? Aku tertawa.
Jim tersenyum, menarik garpu dari mulutnya untuk bersiap memakan
makanan penutup. ―Kau membuatnya cukup banyak, Abby. Kami hanya
memuaskan diri hingga tahun depan lagi…kecuali kau ingin melakukan
ini lagi saat Natal. Kau seorang Maddox sekarang. Aku mengharapkan
kedatanganmu setiap hari libur, dan bukan untuk memasak.‖
Aku melirik ke arah Travis yang senyumannya telah hilang, dan hatiku
tenggelam. Aku harus cepat memberitahunya. ―Terima kasih, Jim.‖
―Jangan bilang begitu padanya, Ayah,‖ kata Trenton. ―Dia harus masak.
Aku belum pernah makan seperti ini sejak aku berumur lima tahun!‖ Dia
memasukkan setengah potong pie kacang pikan ke dalam mulutnya,
bersenandung dengan penuh kenikmatan.
Aku merasa seperti di rumah, duduk di meja bersama sekumpulan pria
yang semuanya bersandar di kursi, mengusap perutnya yang penuh.
Emosi membanjiriku saat aku membayangkan Natal, dan Paskah, dan
semua hari libur yang akan aku habiskan di meja ini. Aku tidak
menginginkan lain selain ingin menjadi bagian dari keluarga kacau dan
berisik yang aku kagumi ini.
Ketika pie habis, saudaranya Travis membersihkan meja dan si kembar
bertugas mencuci piring.
―Aku yang akan mengerjakannya,‖ aku berkata sambil berdiri.
Jim mengelengkan kepala. ―Tidakk usah. Mereka akan mengerjakannya.
Kau ajak saja Travis ke sofa dan beristirahat. Kalian berdua sudah
bekerja keras, Sis.‖
Si kembar saling mencipratkan air cucian piring dan Trenton
mengumpat ketika dia tergelincir di atas genangan air dan menjatuhkan
satu piring. Thomas memarahi saudaranya, mengambil sapu dan pengki
untuk membersihkan pecahan kaca. Jim menepuk bahu anaknya, lalu
memelukku sebelum masuk ke kamarnya untuk tidur.
Travis menarik kakiku ke atas pangkuannya dan melepaskan sepatuku,
memijit telapak kakiku dengan ibu jarinya. Aku menyandarkan kepalaku
ke belakang dan menghela nafas.
―Ini adalah Thanksgiving terbaik kami setelah ibu meninggal.‖
Aku mengangkat kepalaku untuk melihat ekspresinya. Dia tersenyum,
namun diwarnai oleh kesedihan. ―Aku senang aku berada di sini untuk
melihatnya.‖
Ekspresi Travis berubah dan aku menyiapkan diriku pada apa yang akan
dia katakan. Jantungku berdebar di dadaku, berharap dia akan
memintaku kembali sehingga aku bisa mengatakan ya. Las Vegas
tampak seperti sudah sangat lama, duduk di rumah keluarga baruku.
―Aku berbeda. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku di Vegas. Itu
bukan diriku. Aku berpikir tentang segala sesuatu yang bisa kita beli
dengan uang itu, dan hanya itu yang aku pikirkan. Aku tidak melihat
betapa itu menyakitimu karena aku ingin mengajakmu kembali ke sana,
tapi di dalam hatiku, aku pikir aku tahu. Aku pantas untuk ditinggalkan
olehmu. Aku pantas menerima semua waktu tidurku yang hilang, dan
rasa sakit yang aku rasakan. Aku membutuhkannya untuk menyadari
betapa aku membutuhkanmu, dan apa yang akan aku lakukan untuk
membuatmu tetap berada dalam hidupku.‖
Aku menggigit bibirku, tidak sabar menunggu saat aku akan berkata ya.
Aku ingin dia membawaku kembali ke apartemennya dan menghabiskan
sisa malam ini dengan merayakannya. Aku tidak sabar untuk bersantai di
sofa barunya bersama Toto, menonton film dan tertawa seperti kita yang
dulu.
―Kau bilang kau sudah merasa cukup denganku, dan aku menerima itu.
Aku orang yang berbeda setelah bertemu denganmu. Aku
berubah…menjadi lebih baik. Tapi tidak peduli sekeras apapun aku
berusaha, aku sepertinya tidak dapat melakukan hal yang benar di
matamu. Kita berteman awalnya, dan aku tidak bisa kehilanganmu,
Pigeon. Aku akan selalu mencintaimu, tapi jika aku tidak bisa
membuatmu bahagia, tidak masuk akal untukku berusaha
mendapatkanmu kembali. Aku tidak bisa membayangkan untuk bersama
orang lain, tapi aku akan bahagia selama kita masih berteman.‖
―Kau ingin kita berteman?‖ tanyaku, kata itu membakar mulutku.
―Aku ingin kau bahagia. Apapun resikonya.‖
Bagian dalam diriku terluka karena kata-katanya, dan aku terkejut akan
rasa sakit yang sangat besar yang aku rasakan. Dia melepaskan diriku,
dan itu tepat pada saat aku tidak menginginkannya. Aku dapat
mengatakan padanya bahwa aku telah merubah pikiranku dan dia akan
menarik kembali semua yang telah dia katakan, tapi aku tahu kalau itu
tidak adil untuk kami berdua untuk bertahan pada saat dia telah
melepaskan.
Aku tersenyum untuk menahan air mata. ―Lima puluh dolar kau akan
berterima kasih padaku untuk ini pada saat kau bertemu calon istrimu
nanti.‖
Alis Travis menyatu saat wajahnya terlihat sedih. ―Itu taruhan yang
mudah. Satu-satunya wanita yang aku ingin nikahi baru saja
mematahkan hatiku.‖
Aku tidak dapat tersenyum setelah itu. Aku mengusap mataku lalu
berdiri. ―Aku pikir sudah waktunya kau mengantarku pulang.‖
―Ayolah, Pigeon. Aku minta maaf, itu tadi tidak lucu.‖
―Bukan karena itu, Trav. Aku hanya lelah, dan aku sudah siap untuk
pulang.‖
Dia menarik nafas dan mengangguk, berdiri. Aku memeluk saudaranya
untuk berpamitan, dan meminta Trenton untuk mengatakan selamat
tinggal pada Jim untukku. Travis berdiri di pintu dengan tas kami saat
mereka semua setuju untuk pulang saat Natal, dan aku menahan
senyumku cukup lama untuk keluar dari pintu.
Ketika Travis mengantarku ke asrama, wajahnya masih tetap terlihat
sedih, namun rasa tersiksanya sudah hilang. Akhir pekan ini bukan satu
usaha untuk mendapatkanku kembali. Melainkan penutupan. Dia
membungkuk untuk mencium pipiku dan menahan pintu terbuka
untukku, memperhatikan saat aku berjalan masuk. ―Terima kasih untuk
hari ini. Kau tak tahu betapa kau telah membuat keluargaku bahagia.‖
Aku berhenti di dasar tangga. ―Kau akan memberitahu mereka besok,
kan?‖
Dia melihat keluar ke tempat parkir lalu melihat ke arahku. ―Aku sangat
yakin mereka sudah mengetahuinya. Kau bukan satu-satunya yang bisa
poker face (wajah yang tak menunjukkan emosi), Pidge.‖
Aku menatapnya, terpana, dan untuk pertama kalinya sejak aku bertemu
dengannya, dia pergi meninggalkanku tanpa melihat ke belakang.
®LoveReads
Bab 18

Kotak

Ujian akhir semester adalah sebuah kutukan bagi semua orang, kecuali
diriku. Aku tetap sibuk, belajar bersama Kara dan America di kamarku
atau di perpustakaan. Ketika jadwal kuliah berubah saat ujian, aku
bertemu Travis hanya sambil lalu. Aku pulang bersama America saat
liburan musim semi, bersyukur karena Shepley tetap tinggal bersama
Travis sehingga aku tidak harus menderita karena melihat pertunjukan
kasih sayang mereka.
Empat hari sebelum liburan usai aku terkena flu, memberiku alasan
bagus untuk tetap di atas tempat tidur. Travis bilang dia ingin menjadi
teman, tapi dia belum menelepon. Sangat lega memiliki beberapa hari
untuk berkubang dalam perasaan kasihan pada diri sendiri. Aku ingin
mengeluarkan ini dari sistemku sebelum kembali kuliah.
Perjalanan kembali ke Eastern terasa sangat lama. Aku sudah tidak sabar
ingin memulai semester di musim semi ini, namun aku lebih tidak sabar
untuk bertemu dengan Travis lagi. Meskipun aku menyadari beberapa
kali bertemu dengannya dia tidak terpengaruh oleh beberapa wanita
yang mendekatinya setelah mendengar kabar tentang putusnya kami, dia
tampak puas dengan pertemanan baru kami. Kami menghabiskan waktu
satu bulan berjauhan, membuatku cemas dan tidak tahu bagaimana harus
bersikap di dekatnya.
Aku gelisah menunggu Travis saat makan siang, namun saat dia datang
dia hanya mengedipkan satu matanya padaku lalu duduk di ujung meja
bersama teman-teman perkumpulannya. Aku
berusaha untuk berkonsentrasi pada pembicaraan America dan Finch
tentang pertandingan football terakhir di musim ini, namun suara Travis
terus menarik perhatianku. Dia sedang menceritakan petualangan dan
gesekannya dengan hukum yang dia alami saat liburan, dan tentang
kekasih barunya Trenton, mereka bertemu suatu malam saat mereka
sedang berada di di The Red Door. Aku menguatkan diri untuk
mendengar nama seorang wanita yang dia bawa pulang atau temui, tapi
jika dia begitu, dia tidak menceritakan itu pada teman-temannya.
Bola berwarna merah dan emas metalik masih tergantung di langit-langit
kafetaria, tertiup oleh pemanas ruangan yang menyala. Aku menarik
cardiganku, dan Finch melihatnya, memelukku di dekatnya dan
menggosok-gosok lenganku. Aku tahu aku terlalu banyak melihat ke
arah Travis, menunggunya melihat ke arahku, tapi dia tampak sudah
lupa kalau aku duduk di meja ini.
Setelah dia menyelesaikan makan siangnya, hatiku bergetar saat dia
berjalan di belakangku dan meletakan tangannya di bahuku.
―Bagaimana pelajaranmu, Shep?‖ tanyanya.
Wajah Shepley seperti dicubit. ―Hari pertama sangat menyebalkan.
Berjam-jam kurikulum dan peraturan kelas. Aku bahkan tak tahu
mengapa aku kuliah pada minggu pertama. Bagaimana denganmu?‖
―Ehm…itu semua bagian dari permainan. Bagaimana denganmu,
Pidge?‖ tanyanya.
―Sama,‖ kataku, menjaga suaraku tetap kasual.
―Apakah liburanmu menyenangkan?‖ dia bertanya sambil
mengoyangkanku ke kanan dan ke kiri.
―Lumayan menyenangkan,‖ aku tersenyum.
―Baguslah. Aku ada kelas lain. Sampai nanti.‖
Aku melihatnya berlari menuju pintu, mendorong keduanya hingga
terbuka, lalu menyalakan rokok sambil jalan.
―Huh,‖ kata America dengan nada tinggi. Dia memperhatikan Travis
memotong jalan berumput melewati salju, lalu menggelengkan
kepalanya.
―Ada apa, Sayang?‖ tanya Shepley.
America meletakan dagunya di atas telapak tangannya, merasa
penasaran. ―Itu sangat aneh, kan?‖
―Kenapa?‖ Shepley bertanya sambil mengibaskan kepang pirang
America ke belakang agar dia bisa menyapukan bibirnya di leher
America.
America tersenyum dan lebih mendekat pada ciuman Shepley. ―Dia
kelihatan hampir normal…senormal yang Travis bisa. Ada apa
dengannya?‖
Shepley menggelengkan kepala dan mengangkat bahunya. ―Aku tak
tahu. Dia sudah seperti itu lumayan lama.‖
―Bagaimana bisa terbalik denganmu, Abby? Dia baik-baik saja,
sedangkan kau menderita,‖ kata America, tidak merasa khawatir akan
terdengar orang lain.
―Kau menderita?‖ tanya Shepley dengan ekspresi terkejut.
Mulutku menganga dan wajahku terbakar karena rasa malu. ―Aku tidak
menderita!‖
America memainkan salad di mangkuknya. ‗Well, dia hampir sangat
gembira.‖
―Sudahlah, Mare,‖ aku memperingatkan.
Dia mengangkat bahunya dan memakan saladnya lagi. ―Aku rasa dia
berpura-pura.‖
Shepley menyikut America. ―America? kau akan pergi ke pesta kencan
pada hari Valentine bersamaku atau tidak?‖
―Tidak bisakah kau bertanya padaku seperti seorang kekasih yang
normal? Dengan baik-baik?‖
―Aku sudah menanyakannya padamu…berkali-kali. kau terus
mengatakan padaku untuk bertanya lagi nanti.‖
America merosot di kursinya, cemberut. ―Aku tidak ingin pergi tanpa
Abby.‖
Wajah Shepley menjadi kacau karena frustrasi. ―Dia selalu bersama
Travis sepanjang waktu terakhir kali kita datang ke pesta itu.Kau hampir
tidak bertemu dengannya.‖
―Berhentilah bersikap seperti anak kecil, Mare,‖ kataku, melemparkan
sebatang seledri padanya.
Finch menyikutku. ―Aku ingin mengajakmu, Cupcake, tapi aku tidak
menyukai semua hal tentang kelompok persaudaraan mahasiswa, maaf.‖
―Itu merupakan ide yang sangat bagus,‖ kata Shepley, matanya berbinar.
Finch meringis pada pemikiran itu. ―Aku bukan Sig Tau, Shep. Aku
bukan apa pun. Kelompok persaudaraan bertentangan dengan agamaku.‖
―Aku mohon, Finch?‖ America meminta.
― Déjà vu,‖ gerutuku.
Finch melihatku dari ujung matanya lalu menghela nafas. ―Ini bukan
masalah pribadi, Abby. Aku tidak bisa mengatakan aku pernah pergi
berkencan…dengan seorang wanita.‖
―Aku tahu.‖ Aku menggelengkan kepala dengan acuh, menghilangkan
rasa maluku. ―Tidak apa-apa. Serius.‖
―Aku membutuhkanmu di sana,‖ kata America. ―Kita sudah bersumpah,
ingat? Tidak boleh datang ke pesta sendirian.‖
―Kau tidak benar-benar sendirian, Mare. Berhentilah menjadi terlalu
dramatis,‖ kataku, menjadi merasa tidak nyaman dengan pembicaraan
ini.
―Kau ingin yang dramatis? Aku membuang sampah dari tempat sampah
yang ada di samping tempat tidurmu, memegangi satu kotak tisu
untukmu semalaman, dan terbangun untuk mengambilkan obat batuk
untukmu dua kali waktu kau sakit saat liburan! kau berhutang padaku!‖
Aku merengut. ―Aku sangat sering memegangi rambutmu agar tidak
terkena muntahmu, America Mason!‖
―kau bersin di wajahku!‖ kata America, menunjuk ke hidungnya.
Aku meniup poni dari mataku. Aku tidak bisa berdebat dengannya
apabila dia sudah bertekad untuk mendapatkan keinginannya. ―Baiklah,‖
kataku sambil menutup rapat gigiku.
―Finch?‖ aku bertanya padanya dengan senyuman terbaikku yang di
paksakan. ―Maukah kau pergi ke pesta Valentine bodohnya Sig Tau
bersamaku?‖
Finch memelukku di sampingnya. ―Ya. Tapi hanya karena kau
menyebutnya pesta bodoh.‖
®LoveReads

Aku berjalan bersama Finch ke kelas setelah makan siang,


mendiskusikan tentang pesta kencan dan bagaimana kami berdua
mencemaskan itu. Kami memilih sepasang meja di kelas Fisiologi, dan
aku menggelengkan kepala saat Profesor memulai kurikulum keempatku
hari itu. Salju mulai turun lagi, melayang mengenai jendela, yang
dengan sopan memohon masuk lalu jatuh dengan rasa kecewa ke tanah.
Setelah kuliah usai, seorang pria yang aku temui hanya satu kali di Sig
Tau mengetuk mejaku saat dia berjalan melewatiku, mengedipkan satu
matanya padaku. Aku memberinya senyuman sopan lalu melihat ke arah
Finch. Dia melemparkan satu senyuman masam padaku, dan aku
membereskan buku dan laptopku, memasukkannya ke dalam tas
ranselku dengan sedikit usaha.
Aku menyeret tas di atas bahuku, berjalan dengan susah payah menuju
asrama di sepanjang jalan yang di beri garam (agar salju mencair).
Sekelompok kecil mahasiswa mulai saling melempar salju di atas
rumput, dan Finch bergidik karena penampilan mereka yang berlumuran
bubuk putih.
Lututku gemetar, saat menemani Finch menghisap rokoknya. America
bergegas ke samping kami, mengosok-gosokkan kedua telapak
tangannya yang memakai sarung tangan.
―Di mana Shep?‖ tanyaku.
―Dia pulang ke rumah. Travis membutuhkan bantuannya untuk sesuatu,
kurasa.‖
―kau tidak pergi bersamanya?‖
―Aku tidak tinggal di sana, Abby.‖
―Hanya dalam teori,‖ Finch mengedipkan sebelah matanya pada
America.
America memutar matanya. ―Aku senang menghabiskan waktu bersama
kekasihku, tuntut saja aku.‖
Finch membuang rokoknya ke salju. ―Aku akan pergi dulu, Ladies.
Sampai bertemu saat makan malam?‖
Aku dan America mengangguk, tersenyum saat Finch mencium pipiku
lalu pipi America. Dia berjalan di jalan yang basah, berhati-hati agar dia
tidak terpeleset dan menginjak salju.
America menggelengkan kepalanya saat melihat usahanya. ―Dia sangat
konyol.‖
―Dia orang Florida, Mare. Dia tidak terbiasa dengan salju.‖
Dia tertawa geli lalu menarikku ke pintu.
―Abby!‖
Aku melihat ke belakang dan melihat Parker berlari melewati Finch. Dia
berhenti, terengah berusaha mengatur nafasnya beberapa saat sebelum
mulai bicara. Jaket abu gembungnya bergerak naik turun pada setiap
tarikan nafasnya, dan aku tertawa geli melihat tatapan rasa ingin tahu
America saat dia memperhatikan Parker.
―Aku ingin… whew! Aku ingin bertanya apakah kau mau makan malam
bersamaku malam ini.‖
―Oh. Aku ehm…Aku sudah berjanji pada Finch untuk makan
bersamanya nanti malam.‖
―Baiklah, tidak masalah. Aku hanya ingin mencoba tempat burger baru
di pusat kota. Semua orang bilang sangat enak.‖
―Mungkin lain kali,‖ kataku, lalu menyadari kesalahanku. Aku harap dia
tidak akan menganggap jawabanku yang asal sebagai penangguhan. Dia
mengangguk dan memasukkan tangan ke sakunya, berjalan kembali ke
arah dia datang dengan cepat.
Kara sedang membaca buku barunya, meringis saat melihat aku dan
America melangkah masuk.
Sikapnya tidak berubah sejak kami kembali dari liburan.
Sebelumnya, aku menghabiskan sebagian besar waktuku di apartemen
Travis sehingga komentar dan sikap Kara yang ketus dapat ditoleransi.
Menghabiskan sore dan malam hari bersamanya selama dua minggu
sebelum semester berakhir, dan aku mulai menyesali keputusanku untuk
tidak satu kamar dengan America.
―Oh, Kara. Betapa aku merindukanmu,‖ kata America.
―Aku juga sama,‖ Kara bergumam, matanya tetap pada buku.
America membicarakan tentang hari dan rencananya dengan Shepley
untuk akhir pekan ini. Kami menjelajahi internet mencari video lucu,
tertawa sangat kencang hingga kami menghapus air mata di mata kami.
Kara mendengus beberapa kali karena kami mengganggunya, tapi kami
mengabaikannya.
Aku bersyukur atas kunjungan America. Beberapa jam berlalu dengan
cepat sehingga aku tidak menghabiskan waktu sedikit pun untuk
bertanya-tanya apakah Travis akan menelepon hingga America
memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
America menguap dan melihat jam tangannya. ―Aku akan pergi tidur,
Ab…aw, sialan!‖ katanya, menjentikkan jarinya. ―Aku meninggalkan
tempat make-up ku di apartemen Shepley.‖
―Itu bukan sebuah tragedi, Mare.‖ Aku berkata, masih tertawa geli
karena video terakhir yang kami tonton.
―Itu tidak akan menjadi tragedi jika aku tidak menyimpan pil KB-ku di
situ. Ayo. Aku harus mengambilnya.‖
―Tidak bisakah kau menyuruh Shepley mengantarnya kemari?‖
―Travis meminjam mobilnya. Travis sedang di The Red bersama Trent.‖
Aku merasa mual. ―Lagi? Kenapa dia sering hang out bersama Trent?‖
America mengangkat bahunya. ―Apakah itu penting? Ayolah!‖
―Aku tidak ingin bertemu Travis. Itu akan terasa aneh.‖
―Apakah kau pernah mendengarkan aku? Dia tidak ada di sana, dia
sedang berada di The Red.
Ayolah!‖ dia merengek, menarik-narik lenganku.
Aku berdiri dengan sedikit perlawanan saat dia menarikku keluar dari
kamar.
―Akhirnya,‖ kata Kara.
®LoveReads
Kami menepi di apartemen Travis, dan aku perhatikan motor Harley
terparkir di bawah tangga dan bahwa mobil Charger Shepley tidak ada.
Aku bernafas lega, dan mengikuti America naik ke tangga yang licin.
―Hati-hati,‖ dia memperingatkan.
Jika aku tahu betapa resahnya untuk kembali menginjakkan kaki di
apartemen lagi, aku tidak akan membiarkan America memaksaku datang
kemari. Toto berlari dari pojok dengan kecepatan penuh, menerjang
kakiku ketika cakar kecilnya tidak dapat berhenti di lantai pintu masuk.
Aku mengangkatnya, membiarkannya menciumku dengan ciuman kecil.
Setidaknya dia tidak melupakanku. Aku membawanya berkeliling
apartemen, menunggu saat America mencari tas itu.
―Aku tahu aku meninggalkannya di sini!‖ dia berkata dari kamar mandi,
berjalan ke lorong menuju kamar Shepley.
―Apa kau sudah mencari di lemari yang di bawah wastafel?‖ tanya
Shepley.
Aku melihat jam tanganku. ―Cepatlah, Mare. Kita harus pergi.‖
America menarik nafas frustrasi di kamar tidur.
Aku melihat jam tanganku lagi, lalu melompat kaget saat pintu depan
terbuka di belakangku. Travis melangkah masuk, tangannya memeluk
Megan, yang cekikikan di depan mulutnya. Kotak di tangan Megan
menarik perhatian mataku, dan aku merasa mual saat aku menyadari itu
apa: kondom.
Tangan satu laginya di belakang leher Travis, dan aku tidak dapat
membedakan lengan siapa menggantung pada siapa.
Travis terkejut saat dia melihatku berdiri sendirian di tengah ruang tamu,
dan ketika dia membeku, Megan melihat ke atas dengan senyuman yang
masih tersisa di wajahnya.
―Pigeon,‖ kata Travis, terpana.
―Aku menemukannya!‖ kata America, berlari dari kamar Shepley.
―Apa yang kau lakukan di sini?‖ tanya Travis. Bau whiskey tercium
bersamaan dengan salju yang tiba-tiba turun, dan rasa marahku yang
tidak terkontrol mengalahkan rasa tidak peduliku yang pura-pura.
―Senang melihatmu sudah merasa seperti dirimu yang dulu, Trav,‖
kataku. Rasa panas yang terpancar dari wajahku membakar mataku dan
mengaburkan penglihatanku.
―Kami baru saja akan pergi,‖ America menggeram, menarik tanganku
saat kami melangkah melewati Travis.
Kami berlari menuruni tangga menuju mobil, dan aku bersyukur karena
tinggal beberapa langkah lagi, air mata menggenang di mataku. Aku
hampir terjatuh terjengkang saat jaketku tersangkut di tengah tangga.
Tangan America terlepas dari tanganku dan dia berbalik ke belakang
bersamaan denganku.
Tangan Travis mencengkeram jaketku, dan telingaku terbakar, tersengat
udara malam yang dingin.
Di bibir dan tulang leher Travis terdapat bekas lipstick norak berwarna
merah tua.
―Kau mau kemana?‖ tanya Travis, matanya terlihat setengah mabuk, dan
setengah bingung.
―Pulang,‖ bentakku, merapikan jaketku saat dia melepaskanku.
―Apa yang kau lakukan di sini?‖
Aku dapat mendengar tumpukan salju yang hancur di bawah kaki
America saat dia melangkah di belakangku, dan Shepley berlari
menuruni tangga untuk berdiri di belakang Travis, mata waspadanya
melihat ke arah kekasihnya.
―Maafkan aku. Jika aku tahu kau akan berada di sini, aku tidak akan
datang.‖
Dia memasukkan tangan ke saku jaketnya. ―Kau boleh datang kemari
kapan saja kau mau, Pidge. Aku tidak pernah menginginkanmu
menjauh.‖
Aku tidak bisa mengendalikan keasaman dalam suaraku. ―Aku tidak
ingin mengganggu.‖ Aku melihat ke puncak tangga di mana Megan
berdiri dengan ekspresi sombong. ―Selamat menikmati malammu,‖ aku
berkata sambil berbalik ke belakang.
Dia mencengkeram tanganku. ―Tunggu. kau marah?‖
Aku menarik jaketku dari genggamannya. ―Kau tahu…aku bahkan tidak
tahu mengapa aku terkejut.‖
Alisnya ditarik masuk. ―Aku tidak bisa menang denganmu. Aku tidak
bisa menang denganmu! kau bilang kau sudah muak…aku sangat
menderita di sini! Aku harus menghancurkan teleponku menjadi
kepingan kecil agar tidak meneleponmu setiap menit setiap hari — aku
harus berpura-pura semuanya baik-baik saja di kampus agar kau
bahagia…dan kau marah padaku? kau menghancurkan hatiku!‖ kata
terakhirnya itu bergema di kegelapan malam.
―Travis, kau mabuk. Biarkan Abby pulang,‖ kata Shepley.
Travis mencengkram bahuku dan menarikku ke arahnya. ―Kau
menginginkan aku, atau tidak? kau tak bisa terus melakukan ini padaku,
Pidge!‖
―Aku tidak datang untuk menemuimu,‖ kataku, mendelik padanya.
―Aku tidak menginginkan Megan,‖ kata Travis, menatap bibirku. ―Aku
sangat tidak bahagia, Pigeon.‖ Pandangannya tidak peduli lalu dia
mendekat, memiringkan kepalanya untuk menciumku.
Aku memegang dagunya, menahannya. ―Ada bekas lipstiknya di
bibirmu, Travis,‖ kataku, merasa jijik.
Dia mundur satu langkah dan menarik kaosnya, mengelap bibirnya.
Dia menatap garis merah di kain putih lalu menggelengkan kepala. ―Aku
hanya ingin melupakannya. Hanya untuk satu malam.‖
Aku mengelap air mata yang lolos. ―Kalau begitu jangan biarkan aku
menghentikanmu.‖
Aku mencoba untuk mundur ke mobil, tapi Travis menarik tanganku
lagi. Pada saat berikutnya, America dengan keras memukulkan kepalan
tangannya ke lengan Travis. Travis melihat ke arah America,
mengedipkan matanya beberapa kali, tertegun tidak percaya. America
mengepalkan tangannya lalu memukulkannya ke dada Travis hingga dia
melepaskanku.
―Tinggalkan dia sendiri, brengsek!‖
Shepley menarik tangan Mare dan dia mendorongnya, berbalik untuk
menampar wajah Travis.
Suara tangannya di pipi Travis sangat cepat dan kencang, dan aku
tersentak mendengarnya. Semua orang membeku beberapa saat, terkejut
atas kemarahan America yang tiba-tiba. Travis meringis, namun dia
tidak membela dirinya sendiri. Shepley mencengkeram America lagi,
memegang pergelangan tangannya dan menariknya ke dalam mobil saat
America memaki-maki.
America melawan, rambut pirangnya bergerak-gerak karena usahanya
untuk melepaskan diri. Aku merasa takjub pada tekadnya untuk
memukul Travis. Rasa benci yang murni terpancar dari mata yang
biasanya manis dan riang.
―Teganya dirimu? Dia pantas mendapatkan yang lebih baik darimu,
Travis!‖
―America, STOP!‖ teriak Shepley, lebih kencang dari yang biasa aku
dengar.
Lengannya jatuh di samping tubuhnya saat dia menatap tidak percaya
pada Shepley. ―kau membelanya?‖
Walaupun dia terlihat gugup, dia berdiri tegak. ―Abby sudah putus
dengan dia. Dia hanya berusaha untuk melanjutkan hidupnya.‖
Mata America menyipit lalu menarik lengannya dari genggaman
Shepley. ―Kalau begitu kenapa kau tidak pergi mencari PELACUR
secara acak—,‖ dia melihat ke arah Megan, ―—di The Red lalu
membawanya pulang untuk ditiduri, lalu beritahu aku jika itu
membantumu melupakanku.‖
―Mare,‖ Shepley menariknya tapi America menghindarinya,
membanting pintu saat dia duduk di belakang kemudi. Aku duduk di
sampingnya, berusaha untuk tidak menatap Travis.
―Sayang, jangan pergi,‖ Shepley memohon sambil membungkuk di
jendela.
America menyalakan mobil. ―Ada pihak yang benar dan ada pihak yang
salah di sini, Shep. Dan kau berada di pihak yang salah.‖
―Aku berada di sisimu,‖ dia berkata, matanya terlihat putus asa.
―Sudah tidak lagi,‖ dia berkata sambil memundurkan mobil.
―America? America!‖ Shepley memanggilnya saat dia melaju dengan
cepat, meninggalkan Shepley di belakang.
Aku menarik nafas. ―Mare, kau tidak bisa putus dengannya karena hal
ini. Dia benar.‖
America menyentuh tanganku dan meremasnya. ―Tidak, dia salah. Tidak
ada satu pun hal yang benar dari apa yang terjadi tadi.‖
®LoveReads

Saat kami menepi di tempat parkir samping asrama, telepon America


berbunyi. Dia memutar mata saat menjawabnya. ―Aku tidak ingin kau
meneleponku lagi. Aku serius, Shep,‖ kata America.
―Tidak kau tidak akan…karena aku tidak ingin kau melakukannya, itu
alasannya. Kau tidak bisa membela apa yang telah dia lakukan, kau tidak
bisa membenarkannya menyakiti Abby seperti itu dan tetap
bersamaku…itulah yang aku maksud, Shepley! Itu bukan alasan! kau
tidak melihat Abby meniduri pria pertama yang dia lihat! Bukan Travis
yang jadi masalahnya, Shepley. Dia tidak memintamu untuk
membelanya! Ah…aku muak membicarakan ini. Jangan menelepon aku
lagi. Selamat tinggal.‖
Dia mendorong dirinya keluar dari mobil dan melompat ke jalan lalu
menaiki tangga, aku mencoba untuk mengikuti langkahnya, menunggu
untuk mendengar sisi lain pembicaraan.
Ketika teleponnya berbunyi lagi, dia mematikannya. ―Travis meminta
Shepley untuk mengantar Morgan pulang. Dia ingin mampir saat dia
menuju pulang.‖
―kau harus mengizinkannya, Mare.‖
―Tidak. kau sahabatku. Aku tidak bisa menerima apa yang telah aku
lihat malam ini, dan aku tidak bisa bersama seseorang yang
membelanya. Akhir dari pembicaraan, Abby, aku serius.‖
Aku mengangguk dan dia memeluk bahuku, menarikku ke sampingnya
saat kami berjalan menaiki tangga menuju kamar kami. Kara sudah
tidur, dan aku tidak mandi, naik ke tempat tidur dengan masih memakai
pakaian lengkap, jaket dan semuanya. Aku tidak bisa berhenti
memikirkan saat Travis melangkah masuk bersama Megan, atau bekas
lipstik di wajahnya. Aku mencoba untuk memblokir bayangan
menjijikkan tentang apa yang akan terjadi jika aku tidak berada di sana,
dan aku melintasi beberapa emosi, menetap di keputusasaan.
Shepley benar. Aku tidak berhak untuk marah, namun itu tidak
membantu untuk mengabaikan rasa sakitnya.
®LoveReads
Finch menggelengkan kepalanya ketika aku duduk di sampingnya. Aku
tahu aku terlihat berantakan; aku hampir tidak mempunyai energi untuk
berganti pakaian atau menggosok gigi. Aku hanya tidur selama satu jam
tadi malam, tidak mampu menghilangkan pemandangan lipstik merah di
bibir Travis dan rasa bersalah karena mengakibatkan America dan
Shepley putus.
America memilih untuk tetap berada di atas tempat tidur, menyadari
setelah rasa marahnya hilang, rasa sedih akan muncul. Dia mencintai
Shepley, dan meskipun dia bertekad untuk mengakhirinya karena
Shepley telah memilih pihak yang salah, dia telah siap untuk merasakan
reaksi dari keputusannya.
Setelah kelas usai, Finch berjalan bersamaku menuju kafetaria. Seperti
yang aku takutkan, Shepley sedang menunggu America di pintu. Ketika
dia melihatku, dia tidak sungkan.
―Di mana Mare?‖
―Dia tidak kuliah pagi ini.‖
―Dia di kamarnya?‖ dia berkata sambil berjalan ke asrama.
―Maafkan aku, Shepley,‖ aku memanggilnya.
Dia berhenti dan berbalik arah, dengan wajah orang yang sudah
mencapai batasnya. ―Aku harap kau dan Travis akan menyelesaikan
masalah kalian! kau seperti tornado yang menyebalkan! Saat kau
bahagia, penuh cinta, kedamaian, dan kupu-kupu. Saat kau marah, kau
membawa seluruh dunia menderita bersamamu!‖
Dia berderap pergi dan aku menghembuskan nafas yang telah aku tahan
dari tadi. ―Itu berjalan dengan lancar.‖
Finch menarikku ke dalam kafetaria. ―Seluruh dunia. Wow. kau pikir
kau bisa membuat voodoomu bekerja sebelum ujian hari Jumat?‖
―Aku akan lihat apa yang bisa aku lakukan.‖
Finch memilih meja yang berbeda, dan aku merasa lebih dari senang
mengikutinya ke sana. Travis duduk bersama teman perkumpulannya,
namun dia tidak membawa nampan dan dia tidak tinggal lama. Dia
melihatku hanya pada saat dia akan pergi, namun dia tidak berhenti.
―Jadi America dan Shepley putus juga, huh?‖ tanya Finch sambil
mengunyah.
―Kami ke rumah Shep tadi malam dan Travis pulang bersama Megan
dan…semua menjadi kacau.
Mereka masing-masing berpihak.
―Aw.‖
―Tepat sekali. Aku merasa sangat tidak enak.‖
Finch menepuk punggungku. ―kau tidak bisa mengontrol keputusan
yang mereka buat, Abby. Jadi aku rasa ini berarti kita tidak akan datang
ke acara Valentine di Sig Tau?‖
―Sepertinya begitu.‖
Finch tersenyum. ―Aku tetap akan mengajakmu keluar. Aku akan
mengajak kalian berdua, kau dan America keluar. Itu akan
menyenangkan.‖
Aku bersandar di bahunya. ―kau memang yang terbaik, Finch.‖
Aku tidak peduli tentang Valentine, tapi aku senang aku punya rencana.
Aku tidak dapat membayangkan bagaimana menderitanya perasaan yang
akan aku rasakan apabila harus melewatinya hanya berdua dengan
America, mendengar ocehannya tentang Shepley dan Travis sepanjang
malam. Dia masih akan melakukannya—dia bukan America kalau tidak
melakukannya—setidaknya itu akan sedikit berkurang apabila kita
berada di tempat umum.
®LoveReads
Minggu demi minggu telah berlalu di bulan Januari, dan setelah usaha
Shepley yang patut diacungi jempol namun gagal untuk mendapatkan
America kembali, aku menjadi lebih jarang bertemu mereka berdua,
Shepley dan Travis. Pada bulan Februari, mereka berdua tidak pernah
datang lagi ke kafetaria, dan aku hanya melihat Travis beberapa kali saat
aku akan masuk kelas.
Seminggu sebelum hari Valentine, America dan Finch memaksaku pergi
ke The Red, dan kami semua naik mobil ke sana, aku sangat takut akan
bertemu dengan Travis di sana. Kami melangkah masuk, dan aku
bernafas lega ketika melihat tidak ada tanda-tanda Travis berada di sana.
―Putaran pertama aku yang traktir,‖ kata Finch, menunjuk sebuah meja
lalu berjalan menerobos kerumunan menuju bar.
Kami duduk dan memperhatikan lantai dansa yang awalnya kosong
menjadi sangat penuh oleh mahasiswa/i yang mabuk. Setelah putaran
kelima kami, Finch menarik kami ke lantai dansa, dan aku akhirnya
merasa cukup santai untuk menikmatinya. Kami tertawa-tawa dan
membentur satu sama lain, tertawa histeris ketika seorang pria
mengayunkan pasangan dansanya dan dia terlepas dari tangan pria itu,
sehingga jatuh dan meluncur di lantai dalam posisi menyamping.
America mengangkat tangan di atas kepalanya, menggoyangkan rambut
keritingnya mengikuti musik. Aku tertawa karena dansa ciri khasnya itu,
lalu langsung berhenti ketika aku melihat Shepley berjalan di belakang
America. Shepley membisikkan sesuatu di telinganya dan America pun
melihat ke belakang. Mereka berdebat lalu America menarik tanganku,
menuntunku ke meja kami.
―Tentu saja. Malam pertama kita pergi keluar, dan dia muncul,‖
gerutunya.
Finch membawakan kami dua minuman lagi, dan juga tiga sloki
minuman untuk kita bertiga. ―Aku pikir kalian membutuhkannya.‖
―Kau benar.‖ America menenggak minumannya sebelum kami sempat
bersulang dan aku menggelengkan kepala, mendentingkan gelasku pada
gelas Finch. Aku berusaha untuk tetap menatap wajah teman-temanku,
khawatir apabila Shepley berada di sini, Travis tidak akan berada jauh di
belakangnya.
Lagu berikutnya terdengar dari speaker dan America berdiri. ―Masa
bodoh. Aku tidak akan duduk di sini sepanjang malam.
―Bagus, girl!‖ Finch tersenyum, mengikutinya ke lantai dansa.
Aku mengikuti mereka, melihat sekeliling mencari Shepley. Dia telah
menghilang, dan aku santai kembali, berusaha menghilangkan perasaan
kalau Travis akan muncul di lantai dansa bersama Megan. Seorang pria
yang biasa aku lihat di sekitar kampus berdansa di belakang America,
dan dia tersenyum, menyambut pengalihan perhatian itu. Aku curiga dia
berusaha untuk memperlihatkan bahwa dia menikmatinya, dengan
harapan Shepley akan melihatnya. Aku berpaling sebentar, dan saat aku
melihat kembali ke arah America, pasangan dansanya telah menghilang.
Dia mengangkat bahunya, terus menggoyangkan pinggulnya mengikuti
irama.
Lagu berikutnya diputar dan pria berbeda muncul di belakang America,
temannya berdansa di sampingku. Setelah beberapa saat, pasangan
dansaku bermanuver di belakangku, dan aku merasa sedikit tidak
nyaman saat aku merasakan tangannya di pinggulku. Seperti dia
membaca pikiranku, tangannya melepaskan pinggangku. Aku melihat ke
belakang, dan dia sudah menghilang. Aku melihat ke arah America, dan
pria di belakang America juga menghilang.
Finch tampak sedikit gugup, namun saat America menarik naik alisnya
karena ekspresinya, Finch menggelengkan kepalanya dan melanjutkan
berdansa.
Ketika lagu ketiga, aku sudah berkeringat dan lelah. Aku kembali ke
meja kami, meletakkan kepalaku yang terasa berat di atas tanganku, dan
tertawa saat aku melihat pria penuh harap lain lagi mengajak America
berdansa. America mengedipkan satu matanya padaku dari lantai dansa,
dan aku terdiam membeku saat pria itu ada yang menarik ke belakang
dan menghilang di kerumunan.
Aku berdiri dan berjalan mengelilingi lantai dansa, mataku tetap
menatap ke arah lubang tempat pria itu ditarik, dan merasakan
andrenalin terbakar bercampur dengan alkohol di pembuluh darahku saat
melihat Shepley memegang leher pria yang tampak terkejut itu. Travis
berada di belakangnya, tertawa histeris hingga dia melihat ke atas dan
melihatku memperhatikan mereka. Dia memukul lengan Shepley, dan
ketika Shepley melihat ke arahku, dia mendorong korbannya ke lantai.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengerti apa yang sedang
terjadi: mereka telah menarik semua pria yang berdansa bersama kami
keluar dari lantai dansa dan mengancam mereka agar menjauh dari kami.
Aku memicingkan mataku pada mereka berdua lalu berjalan ke arah
America. Kerumunan orang sangat banyak, dan aku harus mendorong
beberapa orang agar tidak menghalangi jalanku. Shepley menarik
tanganku sebelum aku tiba di lantai dansa.
―Jangan beritahu dia!‖ kata Shepley, mencoba menahan senyumnya.
―Apa sebenarnya yang kau pikir kau lakukan, Shep?‖
Dia mengangkat bahunya, masih merasa bangga pada dirinya sendiri.
―Aku mencintainya. Aku tidak bisa membiarkan pria lain berdansa
dengannya.‖
―Lalu apa alasanmu untuk menarik pria yang berdansa denganku?‖
tanyaku, menyilangkan lengan di dadaku.
―Itu bukan aku,‖ kata Shepley, dengan cepat melirik ke arah Travis.
―Maaf, Abby. Kami hanya bersenang-senang.‖
―Tidak lucu.‖
―Apa yang tidak lucu?‖ tanya America, mendelik ke arah Shepley.
Dia menelan ludah, memberi pandangan memohon padaku. Aku
berhutang budi padanya, maka aku menutup mulutku.
Dia menarik nafas lega ketika menyadari aku tidak akan
mengadukannya, lalu dia melihat ke arah America dengan tatapan
kagum yang manis. ―Mau berdansa?‖
―Tidak, aku tidak mau berdansa,‖ jawabnya, berjalan kembali ke meja
kami. Dia mengikutinya, meninggalkan aku dan Travis berdiri bersama.
Travis mengangkat bahunya. ―Mau berdansa?‖
―Apa? Megan tidak ada di sini?‖
Dia menggelengkan kepala. ―Kau dulu manis kalau sedang mabuk.‖
―Senang rasanya telah mengecewakanmu,‖ kataku, melangkah ke arah
bar.
Dia mengikuti, menarik dua pria dari tempat duduknya. Aku menatap
tajam ke arahnya beberapa saat, namun dia mengabaikanku, duduk lalu
memperhatikanku dengan ekspresi penuh harap.
―Apa kau tidak akan duduk? Aku akan membelikanmu bir.‖
―Kupikir kau tidak pernah membelikan minuman untuk wanita yang
berada di bar.‖
Dia memiringkan kepalanya ke arahku dan merengut tidak sabar. ―Kau
berbeda.‖
―Itu yang selalu kau katakan padaku.‖
―Ayolah, Pidge. Katanya kita akan berteman?‖
―Kita tidak bisa berteman, Travis. Sangat jelas.‖
―Kenapa tidak?‖
―Karena aku tidak ingin melihatmu melecehkan wanita yang berbeda
setiap malam, dan kau tidak membiarkan seorangpun berdansa
denganku.‖
Dia tersenyum. ―Aku mencintaimu. Aku tidak bisa membiarkan pria lain
berdansa denganmu.‖
―Oh ya? Seberapa besar kau mencintaiku saat membeli sekotak kondom
itu?‖
Dia meringis dan aku berdiri, berjalan ke meja. Shepley dan America
sedang berpelukan erat, dan menarik perhatian saat mereka berciuman
dengan penuh gairah.
―Aku rasa kita akan tetap pergi ke pesta kencan Valentine Sig Tau,‖ kata
Finch sambil mengernyit.
Aku menghela nafas. ―Sialan.‖
®LoveReads
Bab 19

Hellerton

America belum kembali lagi ke asrama sejak reuninya dengan Shepley.


Dia sering tidak datang saat makan siang, dan jarang menelepon. Aku
tidak keberatan mereka menghabiskan waktu untuk menebus waktu
yang mereka habiskan saat putus. Sejujurnya, aku senang America
terlalu sibuk untuk meneleponku dari apartemen Shepley dan Travis.
Terasa canggung bila mendengar suara Travis di belakang, dan aku
merasa sedikit iri bahwa dia menghabiskan waktu bersama Travis
sedangkan aku tidak.
Aku dan Finch semakin sering bertemu, dan dengan egois bersyukur
bahwa dia juga tidak punya kekasih seperti aku. Kami masuk kelas,
makan, dan belajar bersama, bahkan Kara mulai terbiasa melihatnya.
Jari-jariku mulai mati rasa karena udara dingin saat aku berdiri di luar
gedung asrama sementara Finch merokok.
―Maukah kau mempertimbangkan untuk berhenti merokok sebelum aku
terkena hipotermia karena berdiri di sini untuk memberimu dukungan
moral?‖ tanyaku.
Finch tertawa. ―Aku mencintaimu, Abby. Sangat mencintaimu, tapi
tidak. Aku tidak akan berhenti.‖
―Abby?‖
Aku berpaling dan melihat Parker berjalan di trotoar dengan tangan di
dalam sakunya. Bibirnya yang penuh terlihat kering di bawah hidungnya
yang merah, aku tertawa ketika dia seolah meletakan rokok khayalan di
mulutnya dan menghembuskan kepulan udara yang berkabut.
―Kau akan menghemat banyak uang bila seperti ini, Finch,‖ dia
tersenyum.
―Kenapa hari ini semua orang mengejek kebiasaan merokokku?‖ dia
bertanya, merasa terganggu.
―Ada apa, Parker?‖ tanyaku.
Dia mengeluarkan dua tiket dari sakunya. ―Film Vietnam baru itu sudah
keluar. Tempo hari kau bilang ingin menontonnya, jadi kupikir aku akan
membeli tiket untuk kita malam ini.‖
―Tidak ada tekanan,‖ kata Finch.
―Aku bisa pergi bersama Brad jika kau sudah punya rencana,‖ dia
berkata sambil mengangkat bahu.
―Jadi ini bukan kencan?‖ tanyaku.
―Bukan, hanya teman.‖
―Dan kita lihat bagaimana ini berhasil untuk kalian.‖ Ledek Finch.
―Tutup mulutmu!‖ aku tertawa cekikikan. ―Itu kedengarannya
menyenangkan, Parker, terima kasih.‖
Matanya berbinar. ―Apa kau ingin makan pizza atau sesuatu
sebelumnya? Aku tidak terlalu suka makanan di bioskop.‖
―Pizza boleh,‖ aku mengangguk.
―Itu uh…itu bagus, kalau begitu. Filmnya mulai jam sembilan, jadi aku
akan menjemputmu sekitar jam enam tiga puluh?‖
Aku mengangguk lagi dan Parker melambaikan tangan selamat tinggal.
―Ya Tuhan,‖ kata Finch. ―Kau wanita yang rakus, Abby. Kau tahu itu
tidak akan berjalan dengan baik saat Travis mendengarnya.‖
―Kau dengar Parker bilang tadi. Itu bukan kencan. Dan aku tidak bisa
membuat rencana berdasarkan apa yang bisa Travis terima atau tidak.
Dia juga tidak meminta izinku dulu saat dia membawa Megan pulang.‖
―Kau tidak akan pernah melupakannya, ya?‖
―Kemungkinannya tidak, tidak akan.‖
®LoveReads

Kami duduk di pojok, dan aku menggosok-gosok tanganku yang


memakai sarung tangan, agar hangat. Aku tidak bisa menahan karena
mengetahui kami duduk di tempat yang sama dengan aku dan Travis
saat kami pertama bertemu, lalu tersenyum karena teringat hari itu.
―Apa yang lucu?‖ tanya Parker.
―Aku menyukai tempat ini. Saat yang menyenangkan.‖
―Aku lihat gelangnya di pakai,‖ kata Parker
Aku melihat ke bawah pada berlian yang mengkilap di pergelangan
tanganku. ―Sudah kubilang padamu aku menyukainya.‖
Pelayan menyerahkan pada kami daftar menunya dan mengambil
pesanan minuman kami. Parker memberitahuku tentang jadwal musim
Seminya, dan membicarakan tentang perkembangan
pelajarannya untuk MCAT (Ujian MAsuk Fakultas Kedokteran). Pada
saat pelayan menyajikan bir pesanan kami, Parker masih terus bicara.
Dia terlihat gugup, dan aku bertanya-tanya apakah menurut Parker kami
sedang berkencan, mengingat apa yang telah dia katakan.
Dia berdehem. ―Maafkan aku. Aku rasa aku memonopoli pembicaraan
terlalu lama.‖ Dia meminum birnya dan menggelengkan kepala. ―Hanya
saja aku sudah lama tidak mengobrol denganmu, sehingga banyak yang
ingin aku bicarakan.‖
―Tidak apa-apa. Memang sudah sangat lama kita tidak mengobrol.‖
Tak lama kemudian, pintu berdenting. Aku berpaling lalu melihat Travis
dan Shepley masuk. Hanya membutuhkan satu detik bagi Travis untuk
balik menatapku, namun dia tidak terlihat terkejut.
―Ya Tuhan,‖ aku bergumam.
―Kenapa?‖ tanya Parker, berpaling ke belakang dan melihat mereka
duduk di seberang kami.
―Ada tempat makan burger di seberang jalan yang bisa kita datangi,‖
kata Parker dengan suara berbisik. Dia masih segugup sebelumnya, itu
telah membawanya ke level baru.
―Kurasa itu akan semakin canggung apabila kita pergi sekarang,‖
gumamku.
Wajahnya terlihat sedih, merasa kalah. ―Kau mungkin benar.‖
Kami mencoba melanjutkan pembicaraan kami, tapi terasa seperti
dipaksakan dan menjadi tidak nyaman.
Pelayan menghabiskan waktu lebih lama di meja Travis, menyisirkan
jari ke rambutnya dan bergeser dari satu kaki ke kaki satu lagi. Dia
akhirnya ingat untuk mengambil pesanan kami saat Travis menerima
telepon.
―Aku pesan tortellini,‖ kata Parker, melihat ke arahku.
―Dan aku memesan…‖ aku berhenti bicara. Teralihkan saat Travis dan
Shepley berdiri.
Travis mengikuti Shepley ke pintu, namun dia ragu-ragu, berhenti, dan
berbalik. Ketika dia melihatku memperhatikannya, dia berjalan lurus
menelusuri ruangan. Pelayan itu tersenyum penuh harap, sepertinya dia
berpikir Travis mendekat untuk mengucapkan selamat tinggal padanya.
Dia langsung kecewa saat Travis berdiri di sampingku tanpa sedikitpun
melihat ke arahnya.
―Aku ada pertarungan dalam empat puluh lima menit, Pidge. Aku ingin
kau berada di sana,‖
―Trav…‖
Wajahnya sangat pandai mengendalikan emosinya, namun aku dapat
melihat rasa tegang di sekitar matanya. Aku tak yakin apa dia tidak ingin
meninggalkan makan malamku dengan Parker berlanjut, atau dia benar-
benar menginginkanku berada di sana bersamanya, tapi aku sudah
membuat keputusan sesaat setelah dia meminta.
―Aku membutuhkanmu untuk berada di sana. Ini pertarungan ulang
dengan Bradly Peterson, anak dari State. Penonton akan penuh, banyak
uang yang beredar…dan Adam bilang Bradly sudah berlatih.‖
―Kau sudah pernah melawannya sebelumnya, Travis, kau tahu akan
menang dengan mudah.‖
―Abby,‖ kata Parker pelan.
―Aku membutuhkanmu di sana,‖ kata Travis, rasa percaya dirinya
menghilang.
Aku melihat Parker dengan senyuman menyesal. ―Maafkan aku.‖
―Apakah kau serius?‖ tanyanya, alisnya naik ke atas. ―Kau akan pergi di
tengah-tengah makan malam?‖
―Kau masih bisa menelepon Brad, kan?‖ tanyaku sambil berdiri.
Ujung bibir Travis naik saat dia melemparkan uang dua puluh dolar ke
atas meja.
―Ini akan mengganti kerugianmu.‖
―Aku tidak peduli dengan uangnya…Abby…‖
Aku mengangkat bahuku. ―Dia sahabat baikku, Parker. Jika dia
membutuhkanku di sana, aku harus pergi.‖
Aku merasakan tangan Travis membungkus tanganku saat dia
menuntunku. Parker memperhatikan dengan pandangan terpana di
wajahnya. Shepley sudah menghubungi orang-orang dari dalam
mobilnya, menyebarkan berita. Travis duduk di belakang bersamaku,
tetap memegang tanganku dengan erat.
―Aku baru menutup telepon dari Adam, Trav. Dia bilang anak-anak
State datang dalam keadaan mabuk dan membawa banyak uang. Mereka
sudah mulai kesal, jadi mungkin kau ingin menjauhkan Abby dari
mereka.‖
Travis mengangguk. ―Kau dapat menjaganya.‖
―America di mana?‖ tanyaku.
―Dia sedang belajar untuk ujian Fisika.‖
―Lab nya sangat bagus,‖ kata Travis. Aku tertawa satu kali lalu melihat
ke arah Travis yang sedang tersenyum kecil.
―Kapan kau melihat lab nya? kau tidak mengambil mata kuliah Fisika,‖
tanya Shepley.
Travis tertawa geli dan aku menyikutnya. Dia menutup rapat bibirnya
hingga keinginan tertawanya hilang lalu mengedipkan satu matanya
padaku, meremas tanganku sekali lagi. Jari-jarinya terjalin dengan
jariku, dan aku mendengar desahan pelan dari bibirnya. Aku tahu apa
yang dia pikirkan karena aku merasakan hal yang sama. Dalam sepotong
waktu itu, seperti tidak ada yang berubah.
Kami menepi di tempat yang gelap di tempat parkir, dan Travis menolak
untuk melepaskan tanganku hingga kita merangkak ke dalam jendela
bawah tanah di Gedung Sains Hellerton. Gedung itu di bangun setahun
yang lalu, sehingga udara belum lembab dan berdebu seperti ruang
bawah tanah lainnya yang telah kami masuki.
Saat kita memasuki lorong, gemuruh penonton terdengar di telinga kami.
Aku mengintipkan kepalaku keluar untuk melihat lautan manusia,
banyak dari mereka yang tidak kukenal. Semua orang memegang satu
botol bir di tangannya, namun mahasiswa State sangat mudah di
bedakan dalam kerumunan. Mereka yang berjalan terhuyung dengan
mata sedikit tertutup.
―Tetap berada di dekat Shepley, Pigeon. Akan menjadi sedikit gila di
sini,‖ dia berkata dari belakangku. Dia memeriksa kerumunan,
menggelengkan kepala karena penonton yang banyak.
Bawah tanah Hellerton adalah tempat yang paling luas di kampus,
sehingga Adam sering menjadwalkan pertarungan di sini saat dia
menginginkan penonton yang banyak. Bahkan dengan ruang tambahan,
orang-orang masih terhimpit diantara tembok dan harus mendorong
orang lain untuk mendapat tempat yang bagus.
Adam muncul di pojok dan tidak berusaha untuk menyembunyikan rasa
tidak sukanya saat melihat aku berada di situ. ―Kupikir aku sudah bilang
padamu bahwa kau tidak bisa membawa kekasihmu ke pertarungan lagi,
Travis.‖
Travis mengangkat bahunya. ―Dia bukan lagi kekasihku.‖
Aku menjaga penampilanku tetap tenang, namun dia telah mengatakan
itu dengan blak-blakan, itu mengakibatkan rasa terusuk di dadaku.
Adam melihat ke arah jari kami yang terjalin lalu menatap Travis. ―Aku
tak akan pernah mengerti kalian berdua.‖ Dia menggelengkan kepala
lalu melihat ke arah kerumunan. Orang-orang masih berdatangan dari
arah tangga, dan mereka yang di bawah sudah penuh sesak. ―Kita
melawan penghisap ganja gila malam ini, jadi jangan macam-macam,
ok?‖
―Aku akan memastikan mereka terhibur, Adam.‖
―Bukan itu yang aku khawatirkan. Brady sudah berlatih.‖
―Begitu juga aku.‖
―Omong kosong,‖ Shepley tertawa.
Travis mengangkat bahunya. ―Aku berkelahi dengan Trent minggu
kemarin. Bajingan itu sangat cepat.‖
Aku tertawa geli dan Adam menatap tajam ke arahku. ―Kau sebaiknya
menganggap ini serius, Travis,‖ dia berkata sambil menatap mata Travis.
―Aku bertaruh banyak pada pertarungan ini.‖
―Dan aku tidak?‖ kata Travis, merasa kesal karena ceramah Adam.
Adam berbalik, memegang pengeras suara di mulutnya saat dia berdiri
di atas kursi di atas banyaknya penonton yang mabuk. Travis menarikku
ke sampingnya saat Adam menyapa penonton lalu membacakan
peraturannya.
―Semoga berhasil,‖ kataku, menyentuh dadanya. Aku tak pernah merasa
cemas melihat pertarungannya sejak pertarungannya dengan Brady dulu,
namun aku tidak bisa menghilangkan perasaan tidak enak yang aku
rasakan sejak kami menginjakan kaki di Hellerton. Ada sesuatu yang
salah, dan Travis merasakannya juga.
Travis menarik bahuku dan mendaratkan sebuah ciuman di bibirku. Dia
menjauh dengan cepat, mengangguk satu kali. ―Hanya itu
keberuntungan yang aku butuhkan.‖
Aku masih terpana pada hangat bibirnya Travis saat Shepley menarik
lenganku ke dinding di belakang Adam. Aku ditabrak dan disikut,
mengingatkanku pada malam pertama aku menonton pertarungan
Travis, namun kerumunan mulai tidak sabar, dan beberapa mahasiswa
State mulai berkelahi. Mahasiswa Eastern bersorak dan bersiul pada
Travis saat dia menerobos masuk The Circle, sedangkan mahasiswa
State antara mencemooh Travis dan bersorak pada Brady.
Aku berada di posisi terbaik untuk melihat Brady yang lebih tinggi dari
Travis, berkedut tidak sabar untuk mendengar pengeras suara berbunyi.
Seperti biasa, ada seringai kecil di wajah Travis, tidak terpengaruh oleh
kegilaan di sekitarnya. Ketika Adam memulai pertarungan, Travis
dengan sengaja membiarkan pukulan pertama Brady masuk. Aku
terkejut ketika wajahnya tersentak dengan keras ke samping karenanya.
Brady telah berlatih.
Travis tersenyum, giginya merah terang, lalu dia fokus mengikuti setiap
pukulan yang Brady ayunkan.
―Mengapa dia membiarkan Brady memukulnya beberapa kali?‖ tanyaku
pada Shepley.
―Aku rasa dia bukan membiarkannya lagi,‖ kata Shepley,
menggelengkan kepalanya. ―Jangan khawatir, Abby. Dia sedang
bersiap-siap untuk menyamakan kedudukan.‖
Setelah sepuluh menit Brady sudah kehabisan nafas, namun dia masih
tetap dapat mendaratkan pukulan keras pada Travis. Travis memegang
sepatu Brady saat dia mencoba menendangnya, dan menahan kakinya
lebih tinggi dengan satu tangan, mengakibatkan dia kehilangan
keseimbangan.
Penonton meledak saat Brady jatuh, namun dia tidak lama berada di
bawah. Dia berdiri, dengan dua garis merah tua mengalir dari
hidungnya. Beberapa saat berikutnya, dia mendaratkan dua pukulan lagi
di wajah Travis. Darah keluar dari luka di alis Travis dan menetes di
pipinya. Aku menutup mataku lalu berpaling berharap Travis akan
mengakhiri pertarungan dengan cepat.
Gerakan kecil tubuhku membuatku berada di antara penonton, dan
sebelum aku dapat memperbaiki posisiku, aku sudah beberapa kaki
jauhnya dari Shepley yang tengah asyik menonton pertarungan.
Aku berusaha menerobos kerumunan dengan sia-sia, hingga aku dapat
merasakan dinding di belakangku.
Seorang pria kehilangan keseimbangannya dan menggunakan bajuku
untuk membantunya berdiri, menumpahkan bir di tubuhku. Aku basah
kuyup dari leher ke pinggang, berbau pahit dan amis bir murah. Pria itu
masih memegang bajuku tergenggam di tangannya saat dia berusaha
menarik dirinya dari lantai, dan aku melepaskan dua jarinya sekaligus
hingga dia melepaskanku. Dia tidak melihat dua kali ke arahku,
mendorong dirinya ke depan menuju kerumunan.
―Hey! Aku mengenal dirimu!‖ teriak seseorang di telingaku.
Aku menjauh, langsung mengenalinya. Itu adalah Ethan, pria yang
Travis ancam di bar—pria yang entah bagaimana caranya lolos dari
tuntutan pelecehan seksual.
―Ya,‖ kataku, mencari celah di antara kerumunan saat aku merapikan
bajuku.
―Itu gelang yang bagus,‖ dia berkata, jarinya menelusuri lenganku dan
menarik pinggangku.
―Heh,‖ aku memperingatkan, menarik lenganku menjauh.
Dia mengusap lenganku, terhuyung dan menyeringai. ―Kita dihentikan
dengan tidak sopan terakhir kali aku mencoba bicara denganmu.‖
Aku berjinjit, melihat Travis mendaratkan dua pukulan di wajah Brady,
sambil memeriksa kerumunan di sela-selanya. Dia mencariku bukannya
fokus pada pertarungan. Aku harus kembali ke tempatku sebelum dia
terlalu teralihkan perhatiannya.
Aku hampir berhasil berjalan menuju kerumunan saat jari Ethan masuk
ke bagian belakang celana jinsku. Punggungku menabrak dinding sekali
lagi.
―Aku belum selesai bicara denganmu,‖ kata Ethan, menatap baju
basahku dengan niat cabul.
Aku menarik tangannya dari belakang jinsku, menancapkan kukuku.
―Lepaskan!‖ aku berteriak ketika dia menolak.
Dia tertawa, dan aku mencari wajah yang aku kenal di kerumunan saat
dia menarik ku ke arahnya. ―Aku tidak akan melepaskanmu.‖
Aku mencoba mendorong Ethan, namun lengannya sangat berat dan
genggamannya sangat erat.
Karena panik, aku tidak dapat membedakan mana mahasiswa Eastern
mana mahasiswa State. Tidak ada yang menyadari pergumulanku
dengan Ethan, dan karena sangat berisik, tidak ada seorangpun yang
dapat mendengar protesku juga. Dia mendekat, tangannya meraih bagian
belakangku dan meremasnya.
―Aku selalu berpikir pantatmu sangat indah.‖ Dia berkata sambil
menghembuskan bau bir basi di wajahku.
―LEPASKAN!‖ aku berteriak, mendorongnya.
Aku melihat ke arah Shepley, dan melihat Travis akhirnya melihatku di
kerumunan. Dia langsung mendorong beberapa orang di sekitarnya.
―Travis!‖ aku berteriak, namun teredam oleh suara yang bersorak. Aku
mendorong Ethan dengan satu tangan dan berusaha meraih Travis
dengan tangan lain.
Travis membuat sedikit kemajuan sebelum di dorong kembali ke dalam
The Circle. Brady mengambil keuntungan dari perhatian Travis yang
teralihkan dan menghunjamkan sikunya ke samping kepala Travis.
Penonton lebih tenang sedikit saat Travis menonjok seseorang di
kerumunan, mencoba satu kali lagi mendekat ke arahku.
―Pergi menjauh darinya!‖ teriak Travis.
Di antara jarak aku dengan usaha putus asa Travis untuk menggapaiku,
beberapa kepala berpaling melihat ke arahku. Ethan tidak menyadarinya,
tetap berusaha menahanku cukup lama untuk menciumku. Dia
mengusapkan hidungnya di sepanjang tulang pipiku lalu menuju
leherku. ―Kau sangat wangi,‖ dia melantur.
Aku mendorong wajahnya agar menjauh, namun dia mencengkram
pergelangan tanganku, tidak terpengaruh.
Dengan mata terbuka lebar, aku mencari Travis lagi. Dia berusaha keras
mengarahkan Shepley padaku. ―Bawa dia! Shep! Bawa Abby!‖ dia
berkata, masih berusaha menerobos kerumunan.
Bradly menariknya kembali ke The Circle dan menonjoknya lagi.
―Kau sangat seksi, kau tahu itu?‖ kata Ethan.
Aku menutup mataku saat aku merasakan bibirnya di leherku. Rasa
marah muncul di dalam diriku dan aku mendorongnya lagi. ―Aku bilang
LEPASKAN!‖ teriakku, menghunjamkan lututku ke selangkangannya.
Dia membungkuk, satu tangan dengan otomatis melayang ke sumber
rasa sakit, tangan satunya lagi tetap mencengkram bajuku, menolak
untuk melepaskan.
―Sialan kau!‖ teriaknya.
Beberapa saat berikutnya, aku sudah terlepas. Mata Shepley tampak liar,
menatap Ethan saat dia mencengkram lehernya bajunnya. Dia menahan
Ethan di dinding dan meninju wajahnya beberapa kali, berhenti hanya
pada saat darah mengalir dari mulut dan hidung Ethan.
Sheple menarikku ke tangga, mendorong siapapun yang
menghalanginya. Dia membantuku naik ke jendela yang terbuka, lalu
menuruni tangga darurat, menangkapku saat aku melompat beberapa
kaki ke tanah.
―Kau baik-baik saja, Abby? Apa dia menyakitimu?‖ tanya Shepley.
Satu lengan sweater putihku sobek dan hanya tergantung pada seutas
benang, selain itu aku tidak terluka. Aku mengelengkan kepala, masih
terguncang.
Shepley memegang pipiku dengan lembut, menatap ke dalam mataku.
―Abby, jawab aku. Apa kau baik-baik saja?‖
Aku mengangguk. Saat andrenalin meresap ke aliran darahku, air mata
mulai mengalir. ―Aku baik-baik saja.‖
Dia memelukku, menekan pipinya di dahiku, lalu menegang. ―Sebelah
sini, Trav!‖
Travis berlari dengan kecepatan penuh, berhenti hanya pada saat dia
mendekapku di pelukannya.
Dia berlumuran darah, yang menetes dari matanya dan ada noda darah di
bibirnya. ―Ya Tuhan… apa dia terluka?‖ tanyanya.
Tangan Shepley masih di atas punggungku. ―Dia bilang dia baik-baik
saja.‖
Travis berhadapan denganku sambil memegang bahuku dan
mengerutkan dahinya. ―Apa kau terluka, Pidge?‖
Pada saat aku menggelengkan kepala, aku melihat gerombolan pertama
dari bawah tanah muncul dari tangga darurat. Travis tetap memelukku
dengan erat, dengan diam memperhatikan wajah mereka. Seorang pria
yang gemuk dan pendek melompat dari tangga dan terdiam membeku
saat dia menyadari kami berdiri di trotoar.
―Kau,‖ kata Travis, geram.
Dia melepaskanku, berlari menyebrangi rumput, menjatuhkan pria itu ke
tanah.
Aku melihat ke arah Shepley, merasa bingung dan ngeri.
―Itu pria yang terus mendorong Travis kembali masuk ke The Circle,‖
kata Shepley.
Kerumunan kecil berkumpul di sekitar mereka saat mereka baku hantam
di tanah. Travis memukul wajah orang itu terus-menerus. Shepley
menarikku ke dadanya, masih terengah-engah. Pria itu berhenti
melawan, dan Travis meninggalkannya di tanah dalam genangan darah.
Mereka yang berkerumun di sekitarnya bubar, memberi Travis jalan,
melihat kemarahan di matanya.
―Travis!‖ teriak Shepley, menunjuk ke arah lain gedung.
Ethan tertatih-tatih di tempat gelap, menggunakan dinding bata gedung
Hellerton untuk menahannya tetap berdiri. Saat dia mendengar Shepley
berteriak pada Travis, dia berbalik tepat pada saat penyerangnya
menyerang. Dia terkulai di halaman, melempar botol bir di tangannya ke
bawah dan bergerak secepat kaki bisa membawanya ke jalan. Saat dia
tiba di mobilnya, Travis menangkap dan membantingnya ke mobil.
Ethan memohon pada Travis, bahkan ketika Travis mencengkram
bajunya dan menghantamkan kepalanya ke pintu mobil. Dia berhenti
memohon ketika suara bergedebuk yang keras dari kepalanya yang
mendarat di jendela depan mobil, lalu Travis menariknya ke depan
mobil dan menghancurkan lampu depan mobil dengan wajahnya Ethan.
Travis meluncurkan Ethan di atas kap mobil, menekan wajah Ethan ke
bemper sambil memaki-makinya.
―Sialan,‖ kata Shepley. Aku berpaling dan melihat Hillerton berkilau
berwarna merah dan biru berasal dari lampu mobil patroli polisi yang
dengan cepat mendekat. Semua berbondong-bondong melompat dari
puncak tangga, seperti air terjun orang-orang menuruni tangga darurat,
dan mahasiswa yang kebingungan berlari ke segala arah.
―Travis!‖ aku berteriak.
Travis meninggalkan tubuh Ethan yang terkulai di kap mobil dan berlari
ke arah kami. Shepley menarikku ke tempat parkir, membuka pintu
mobilnya. Aku melompat ke kursi belakang, tidak sabar menunggu
mereka berdua masuk ke dalam mobil. Mobil seperti terbang dari tempat
parkir ke jalan, berdecit saat berhenti karena mobil polisi kedua
memblokir jalan.
Travis dan Shepley duduk di kursi mereka, dan Shepley memaki saat dia
melihat mobil yang terjebak mundur dari satu-satunya jalan keluar. Dia
menginjak gas, dan mobil Charger Shepley naik turun saat melewati
trotoar. Dia berputar di atas rumput, dan melaju diantara dua gedung,
mobilnya memantul lagi saat dia mencapai jalan di belakang kampus.
Ban bedecit dan mesin mobil meraung saat Shepley menginjakan
kakinya di atas pedal gas. Aku meluncur dari kursi ke badan mobil
ketika kita berbelok, sikuku yang sudah bengkak terbentur.
Lampu jalan terlihat seperti coretan karena kita melaju dengan cepat ke
apartemen, tampak seperti satu jam telah berlalu pada saat kita menepi
ke tempat parkir. Shepley memarkirkan mobilnya lalu mematikan mesin.
Mereka membuka pintu mobil dalam keheningan, dan Travis meraih ke
kursi belakang, mengangkat tubuhku.
®LoveReads

―Apa yang terjadi? Ya ampun, Trav, apa yang terjadi pada wajahmu?‖
tanya America, berlari menuruni tangga.
―Aku akan menceritakannya di dalam,‖ kata Shepley, menuntunnya ke
pintu.
Travis mengangkatku ke atas, melewati ruang tamu dan menelusuri
lorong tanpa sepatah katapun, menidurkanku di tempat tidur. Toto
mencakar-cakar kakiku, melompat ke tempat tidur untuk menjilat
wajahku.
―Jangan sekarang, buddy,‖ kata Travis dengan suara pelan,
membawanya ke luar lalu menutup pintu.
Dia berlutut di hadapanku, menyentuh lengan bajuku yang sobek.
Matanya mulai dalam tahap memar, merah dan bengkak. Kulit marah di
atasnya sobek dan basah karena darah. Bibirnya berlumuran darah, dan
beberapa ruas jarinya sobek. Kaosnya yang berwarna putih sekarang
kotor karena campuran darah, rumput dan tanah.
Aku menyentuh matanya dan dia meringis, menjauh dari tanganku.
―Maafkan aku, Pigeon. Aku mencoba untuk meraihmu. Aku
mencoba…‖ dia mendehem karena rasa marah dan cemas yang
mencekiknya.
―Aku tidak bisa meraihmu.‖
―Maukah kau meminta America mengantarku ke asrama?‖ tanyaku.
―kau tidak bisa kembali kesana malam ini. Tempat itu di kelilingi
banyak polisi. Tingalah di sini. Aku akan tidur di sofa.‖
Aku menarik nafas bimbang, berusaha menahan air mata. Dia sudah
cukup merasa buruk. Travis berdiri dan membuka pintu.
―Kau mau kemana?‖ tanyaku.
―Aku mau mandi. Aku akan segera kembali.‖
America menerobos masuk melewati Travis, duduk di sampingku di atas
tempat tidur, menarikku ke dadanya. ―Maafkan aku karena tidak ada di
sana!‖ dia menangis.
―Aku baik-baik saja,‖ kataku, menghapus noda air mata di wajahku.
Shepley mengetuk pintu saat dia masuk, membawakanku gelas kecil
yang setengahnya terisi whiskey.
―Ini,‖ dia berkata sambil menyerahkannya pada America. Dia meletakan
tanganku di gelas dan membangkitkanku.
Aku menenggak minumanku, membiarkan cairan itu mengalir di
tenggorrokanku. Wajahku
berkerut saat whiskey membakar jalannya menuju perutku. ―Terima
kasih,‖ kataku, menyerahkan gelas kembali pada Shepley.
―Aku seharusnya mendapatkan dia lebih cepat. Aku tidak menyadari kau
tidak ada. Maafkan aku, Abby. Aku seharusnya…‖
―Itu bukan kesalahanmu, Shep. Itu bukan kesalahan siapapun.‖
―Itu kesalahan Ethan,‖ geramnya. ―Bajingan itu menghimpitnya di
dinding.‖
―Sayang!‖ kata America, menarikku ke sampingnya.
―Aku ingin minuman lagi,‖ kataku, mendorong gelas kosongku pada
Shepley.
―Aku juga,‖ kata Shepley, kembali ke dapur.
Travis masuk ke kamar memakai handuk di pinggangnya, memegang bir
dingin yang di letakan di atas matanya. America keluar kamar tanpa
mengatakan satu patah katapun lalu Travis memakai celana boxernya,
kemudian dia menarik bantalnya. Shepley membawa empat gelas kali
ini, semua penuh hingga meluap terisi cairan berwarna kuning tua. Kami
semua meminumnya tanpa ragu.
―Sampai bertemu besok pagi,‖ kata America, mencium pipiku.
Travis mengambil gelasku, menaruhnya di meja lampu tidur. Dia
memperhatikanku beberapa saat lalu berjalan menuju lemarinya,
menarik kaos dari gantungan baju dan melemparnya ke tempat tidur.
―Maafkan aku mengacaukan semuanya,‖ dia berkata, memegang bir di
matanya.
―kau terlihat berantakan. kau akan merasa sangat sakit besok.‖
Dia menggelengkan kepala, merasa jijik. ―Abby, kau dilecehkan malam
ini. Jangan khawatirkan aku.‖
―Sangat sulit kalau matamu sangat bengkak,‖ kataku, meletakan kaosnya
di pangkuanku.
Rahangnya tegang. ―Ini semua tidak akan terjadi kalau aku
meninggalkanmu bersama Parker. Tapi aku tahu jika aku mengajakmu,
kau akan ikut. Aku ingin membuktikan padanya kalau kau masih
milikku, tapi kau jadi terluka.‖
Aku tidak siap untuk mendengar kata itu, seolah aku salah mendengar.
―Itu alasanmu mengajakku datang malam ini? Untuk membuktikan
sesuatu pada Parker?‖
―Itu sebagian alasanku mengapa mengajakmu,‖ dia berkata dengan
sedikit malu.
Darah terkuras dari wajahku. Untuk pertama kalinya sejak kita bertemu,
dia membodohiku. Aku pergi ke Hellerton bersamanya berpikir kalau
dia membutuhkanku, berpikir terlepas dari semuanya, kita kembali pada
keadaan kita sebelumnya. Aku hanya seperti hydrant air; dia sedang
menandai wilayahnya, dan aku membiarkannya melakukan itu.
Mataku berkaca-kaca. ―Keluar!‖
―Pigeon,‖ dia berkata sambil maju satu langkah ke arahku.
―KELUAR!‖ kataku, mengambil gelas dari meja dan melemparkannya
ke arah Travis. Dia menghindar, dan gelasnya hancur terkena dinding
menjadi ratusan serpihan kecil. ― Aku benci kau!‖
Dia menghela nafas seolah udara melumpuhkannya, dan dengan ekspresi
terluka, dia meninggalkanku sendiri.
Aku melepas pakaianku dan memakai kaos tadi. Suara yang meledak
keluar dari tenggorokanku mengejutkanku. Sudah lama sejak terakhir
aku menangis terisak tidak terkendali. Tidak lama kemudian, America
berlari masuk ke dalam kamar. Dia naik ke atas tempat tidur dan
melingkarkan tangannya di sekelilingku. Dia tidak bertanya ada apa atau
mencoba menghiburku, dia hanya memelukku saat aku membiarkan air
mata membuat sarung bantal basah kuyup.
®LoveReads
Bab 20

Dansa Terakhir

Sesaat sebelum matahari menembus cakrawala, aku dan America diam-


diam meninggalkan apartemen. Kami tidak bicara selama perjalanan ke
asrama, dan aku merasa bersyukur karena keheningan itu. Aku tak ingin
bicara, ataupun berpikir, aku hanya ingin memblokir dua belas jam
terakhir ini. Badanku terasa berat dan pegal, seolah aku telah mengalami
kecelakaan mobil. Saat kami masuk ke kamarku, aku melihat tempat
tidur Kara sudah rapi.
―Bolehkan aku meminjam catokanmu?‖ tanya America.
―Mare, aku baik-baik saja. Pergilah kuliah.‖
―Kau tidak baik-baik saja. Aku tidak ingin meninggalkanmu sendirian
saat ini.‖
―Hanya itu yang aku inginkan saat ini.‖
Dia membuka mulutnya untuk berdebat, namun dia menghela nafas.
Tidak akan ada yang dapat mengubah pikiranku. ―Aku akan kembali
untuk memeriksamu sepulang kuliah. Beristirahatlah.‖
Aku mengangguk, mengunci pintu di belakangnya. Tempat tidur
berderak di bawahku saat aku menjatuhkan diri di atas tempat tidur
dengan gusar. Selama ini aku percaya bahwa aku penting untuk Travis;
bahwa dia membutuhkanku. Namun saat ini, aku merasa seperti mainan
baru Travis seperti yang pernah Parker katakan. Dia ingin membuktikan
pada Parker bahwa aku masih miliknya. Miliknya.
―Aku bukan milik siapapun,‖ aku berkata pada kamar yang kosong.
Saat kata-kata itu meresap, aku diliputi kesedihan yang kurasakan dari
malam sebelumnya. Aku bukan milik siapa-siapa.
Aku tidak pernah merasa kesepian seperti ini selama hidupku.
®LoveReads

Finch meletakan botol berwarna coklat di hadapanku. Kita berdua


merasa tidak ingin merayakannya, namun setidaknya aku terhibur
dengan fakta bahwa, menurut America, Travis akan menghindari pesta
kencan ini apapun yang terjadi. Kertas kraf berwarna merah dan pink
membungkus kaleng bir kosong yang tergantung di langit-langit, dan
gaun berwana merah dalam berbagai model berlalu-lalang. Semua meja
di taburi kertas foil kecil berbentuk hati, dan Finch memutar matanya
karena dekorasi yang konyol ini.
―Hari Valentine di rumah perkumpulan mahasiswa. Romantis,‖ dia
berkata sambil memperhatikan sepasang kekasih yang melintas.
Shepley dan America sudah berada di lantai bawah berdansa dari
semenjak kami tiba, aku dan Finch memprotes kehadiran kami dengan
cemberut di dapur. Aku meminum isi botol dengan cepat, bertekad
untuk mengaburkan ingatan pesta kencan terakhir yang aku datangi.
Finch membuka tutup botol lain dan memberiku satu botol lagi,
menyadari kebutuhanku untuk melupakan. ―Aku akan mengambil lagi,‖
kata Finch, kembali menuju kulkas.
―Bir yang di dalam tong yang untuk tamu, yang di botol untuk anggota
Sig Tau,‖ kata seorang wanita ketus di sampingku.
Aku melihat ke arah gelas merah di tangannya. ―Atau mungkin
kekasihmu memberitahumu itu hanya karena ingin kencan yang murah.‖
Dia memicingkan matanya dan pergi menjauh dari meja dapur,
membawa gelasnya ke tempat lain.
―Siapa itu?‖ tanya Finch, meletakkan empat botol lagi.
―Hanya salah seorang gadis dari perkumpulan mahasiswi murahan,‖
kataku, memperhatikan wanita itu menjauh.
Pada saat Shepley dan America bergabung bersama kami, sudah ada
enam botol kosong di meja di sampingku. Gigiku mati rasa, dan terasa
lebih mudah untuk tersenyum. Aku sudah lebih merasa lebih nyaman,
bersandar ke meja dapur. Travis sudah membuktikan tidak akan muncul,
sehingga aku bisa menjalani sisa waktu pesta dengan tenang.
―Apa kalian akan berdansa atau tidak?‖ tanya America.
Aku melihat ke arah Finch. ―Apakah kau mau berdansa denganku,
Finch?‖
―Apa kau akan mampu berdansa?‖ dia bertanya, mengangkat alisnya.
―Hanya ada satu cara untuk mencari tahu,‖ kataku, mendorongnya
menuruni tangga.
Kami melompat dan bergoyang hingga keringat terbentuk di bawah
gaunku. Pada saat aku pikir paru-paruku akan meledak, lagu berirama
pelan terdengar dari speaker. Finch menatap tidak nyaman ke sekeliling
kami, melirik setiap pasangan saling mendekat.
―Kau akan memaksaku berdansa diiringi lagu ini, kan?‖ tanyanya.
―Ini hari Valentine, Finch. Anggap saja aku seorang pria.‖
Dia tertawa, menarikku ke pelukannya. ―Sangat sulit melakukannya saat
kau mengenakan gaun pendek berwarna pink.‖
―Terserah saja. Seperti kau tidak pernah melihat seorang pria memakai
gaun saja.‖
Dia mengangkat bahunya. ―Benar juga.‖
Aku tertawa geli, menyandarkan kepalaku di bahunya. Alkohol
membuat tubuhku terasa berat dan lesu saat aku mencoba bergerak
diiringi tempo yang lambat.
―Keberatan jika aku menyela, Finch?‖
Travis berdiri di samping kami, setengah senang dan setengah bersiap
menunggu reaksiku. Darah di pipiku langsung terbakar.
Finch melihat ke arahku, lalu pada Travis. ―Tidak.‖
―Finch,‖ aku mendesis saat dia berjalan menjauh. Travis menarikku
mendekat padanya dan aku berusaha menjaga jarak sebisa mungkin.
―Kupikir kau tak akan datang.‖
―Tadinya aku tidak akan datang, tapi aku tahu kau akan berada di sini.
Aku harus datang.‖
Aku melihat sekeliling ruangan, menghindari matanya. Setiap
gerakannya, membuatku selalu waspada. Tekanan jari-jarinya berubah
saat dia menyentuhku, kakinya bergerak di samping kakiku, lengannya
bergerak, mengusap gaunku. Terasa sangat konyol untuk berpura-pura
tidak merasakannya. Matanya sudah sembuh, memarnya sudah hampir
hilang, bercak merah di wajahnya sudah tidak ada seolah aku hanya
mengada-ada. Semua bukti dari malam yang mengerikan itu telah
hilang, hanya meninggalkan kenangan yang menyakitkan.
Dia memperhatikan setiap tarikan nafasku, dan saat lagu hampir
berakhir, dia menghela nafas. ―Kau terlihat sangat cantik, Pidge.‖
―Jangan.‖
―Jangan apa? Jangan mengatakan kalau kau cantik?‖
―Pokoknya...jangan.‖
―Aku tidak sungguh-sungguh.‖
Aku menarik nafas frustrasi. ―Terima kasih.‖
―Tidak…kau terlihat cantik. Aku sungguh-sungguh. Aku membicarakan
tentang yang aku katakan di kamar. Aku tak akan bohong. Aku
menikmati menarikmu dari kencanmu bersama Parker…‖
―Itu bukan kencan, Travis. Kami hanya makan. Dia tidak mau berbicara
denganku sekarang, berkat dirimu.‖
―Aku sudah dengar. Aku menyesal.‖
―Tidak, kau tidak menyesal.‖
―Kau...kau benar,‖ kata Travis, tergagap saat melihat ekspresi tidak
sabarku. ―Tapi aku…itu bukan satu-satunya alasanku membawamu ke
pertarungan. Aku menginginkanmu untuk berada di sana bersamaku,
Pidge. Kau adalah jimat keberuntunganku.‖
―Aku bukan apa-apamu,‖ bentakku, melotot ke arahnya.
Alisnya ditarik ke bawah dan dia berhenti berdansa. ― Kau adalah
segalanya untukku.‖
Aku menutup rapat bibirku, berusaha untuk tetap memperlihatkan rasa
marahku, namun sangat sulit untuk tetap marah padanya saat dia
menatapku seperti itu.
―Kau tidak sunguh-sungguh membenciku, kan?‖ dia bertanya.
Aku berpaling darinya, membuat jarak yang lebih jauh di antara kita.
―Kadang aku berharap aku membencimu. Itu akan membuat semuanya
lebih mudah.‖
Senyum hati-hati terukir di bibirnya, membentuk garis halus. ―Jadi apa
yang membuatmu lebih kesal? Apa yang telah aku lakukan hingga
membuatmu ingin membenciku? Atau mengetahui kau tidak bisa
membenciku?‖
Rasa marahku kembali. Aku mendorongnya lalu melewatinya, berlari ke
atas menuju dapur.
Mataku mulai berkaca-kaca tapi aku tidak ingin terlihat berantakan
karena menangis terisak di pesta kencan. Finch sedang berdiri di
samping meja dan aku menghela nafas lega saat dia memberiku bir lagi.
Satu jam berikutnya, aku melihat Travis menolak semua wanita yang
mendekat sambil meminum whiskey di ruang tamu. Setiap kali dia
melihat ke arahku, aku berpaling, bertekad untuk melewati malam ini
tanpa kejadian yang akan menarik perhatian orang banyak.
―Kalian berdua terlihat menderita.‖ kata Shepley.
―Mereka tidak akan terlihat sebosan itu apabila mereka melakukan ini
dengan sengaja,‖ gerutu America.
―Jangan lupa...kami berdua tidak ingin datang,‖ Finch mengingatkan
mereka.
America memperlihatkan wajah terkenalnya yang membuatku terkenal
karena menurutinya. ―Kau bisa berpura-pura menikmatinya, Abby.
Demi aku.‖
Pada saat aku akan membuka mulutku untuk memberinya jawaban yang
pedas, Finch menyentuh lenganku. ―Kurasa kita sudah cukup
menjalankan tugas kita. Kau siap untuk pergi, Abby?‖
Aku meminum sisa birku dengan ayunan cepat lalu memegang tangan
Finch. Secepat apapun aku ingin pergi, kakiku membeku saat lagu yang
sama dengan lagu saat aku dan Travis berdansa di pesta ulang tahunku
terdengar ke atas. Aku mengambil botol Finch dan meminumnya,
berusaha untuk memblokir ingatan yang datang bersama lagu itu.
Brad bersandar di meja dapur di sampingku. ―Ingin berdansa?‖
Aku tersenyum padanya, menggelengkan kepala. Dia akan mulai bicara
lagi, namun ada yang memotongnya.
―Dansa denganku.‖ Travis berdiri beberapa kaki dariku, tangannya
meraih tanganku.
America, Shepley, dan Finch mereka semua menatapku, menunggu
jawabanku dengan cemas sama seperti Travis.
―Tinggalkan aku sendiri, Travis,‖ kataku, menyilangkan tanganku.
―Ini lagu kita, Pidge.‖
―Kita tidak punya lagu.‖
―Pigeon…‖
―Tidak.‖
Aku melihat pada Brad dan memaksakan sebuah senyuman. ―Aku ingin
sekali berdansa, Brad.‖
Bintik-bintik di wajah Brad meregang di pipinya saat dia tersenyum,
menunjuk agar aku berjalan duluan ke tangga.
Travis mundur, ekspresi terluka Travis sangat jelas terlihat di matanya.
―Bersulang!‖ teriaknya.
Aku terlonjak, menoleh tepat pada saat dia duduk di atas kursi, merebut
bir dari salah satu anggota Sig Tau yang terkejut yang berada di
dekatnya. Aku melirik America, yang memperhatikan Travis dengan
ekspresi sedih.
―Untuk orang bodoh!‖ dia berkata sambil menunjuk pada Brad. ―Dan
untuk wanita yang telah menghancurkan hatimu,‖ dia menundukkan
kepalanya padaku. Matanya hilang fokus. ―Dan untuk ketakutan absolut
kehilangan teman baikmu karena kau cukup bodoh untuk jatuh cinta
padanya.‖
Dia meminum lagi birnya, menghabiskan sisanya, lalu membuang
botolnya ke lantai. Ruangan itu hening, hanya terdengar suara musik
dari lantai bawah, dan semua orang menatap Travis dengan bingung.
Merasa dipermalukan, aku menarik tangan Brad dan menuntunnya ke
bawah ke lantai dansa.
Beberapa pasangan mengikuti kami, memperhatikanku untuk melihat air
mata atau reaksi apapun terhadap ocehan Travis. Aku menenangkan
ekspresiku, menolak untuk memberikan apa yang mereka inginkan.
Kami berdansa beberapa langkah kaku dan Brad menghela nafas. ―Itu
tadi sedikit agak…aneh.‖
―Selamat datang dalam hidupku.‖
Travis mendorong pasangan yang ada di lantai dansa untuk memberinya
jalan, lalu berhenti di sampingku. Membutuhkan beberapa waktu
baginya untuk berdiri tegak. ―Aku akan menyela.‖
―Tidak, ya Tuhan!‖ kataku, menolak melihat ke arahnya.
Setelah beberapa saat yang tegang aku melihat ke atas, melihat mata
Travis yang menatap tajam mata Brad. ―Jika kau tidak menjauh dari
kekasihku, aku akan menyobek tenggorokanmu. Di sini, di lantai dansa
ini.‖
Brad tampak kebingungan, matanya dengan gugup melihat ke arahku
lalu pada Travis. ―Maaf, Abby,‖ dia berkata sambil perlahan menarik
lengannya menjauh dariku. Dia mundur ke tangga dan aku berdiri
sendirian, merasa di permalukan.
―Bagaimana perasaanku sekarang padamu, Travis...hampir sama dengan
benci.‖
―Berdansalah denganku,‖ dia memohon, sambil berayun untuk menjaga
keseimbangannya.
Lagunya berakhir dan aku menghela nafas lega. ―Pergi minum sebotol
whiskey lagi sana, Trav.‖
Aku berbalik untuk berdansa dengan satu-satunya pria yang berdansa
sendiri di lantai dansa.
Iramanya sedikit lebih cepat, dan aku tersenyum pada pasangan baruku
yang terkejut, berusaha mengabaikan fakta bahwa Travis berada
beberapa kaki di belakangku. Anggota lain Sig Tau berdansa di
belakangku, memegang pinggulku. Aku meraih ke belakang,
menariknya lebih dekat.
Itu mengingatkanku pada bagaimana Travis berdansa dengan Megan di
The Red malam itu, dan aku berusaha sebisa mungkin menciptakan
kembali pemandangan yang aku harap dalam berbagai keadaan aku
dapat melupakannya. Dua pasang tangan berada dekat pada setiap
bagian tubuhku, dan sangat mudah untuk mengabaikan sisi pendiamku
dengan jumlah alkohol di dalam tubuhku.
Tiba-tiba, aku berada di udara. Travis melemparku ke atas bahunya,
pada saat yang sama mendorong teman perkumpulannya dengan keras,
menjatuhkannya ke lantai.
―Turunkan aku!‖ aku berkata sambil memukul-mukul punggungnya.
―Aku tidak akan membiarkanmu mempermalukan dirimu sendiri karena
aku,‖ dia menggeram, melompati dua tangga sekaligus.
Setiap pasang mata yang kami temui melihatku menendang dan
berteriak saat Travis membawaku melintasi ruangan. ―Kau pikir,‖ aku
berkata sambil memberontak, ―Ini tidak memalukan? Travis!‖
―Shepley! Apakah Donnie di luar?‖ tanya Travis, menghindar dari
tanganku yang memukul-mukul.
―Uh...ya?‖ kata Shepley.
―Turunkan dia!‖ kata America, maju satu langkah ke arah kami.
―America,‖ aku menggeliat, ―Jangan hanya berdiri di situ! Tolong aku!‖
Bibirnya naik dan dia tertawa satu kali. ―Kalian berdua terlihat konyol.‖
Alisku tertarik ke dalam karena kata-katanya, antara terkejut dan marah
karena dia menganggap situasi ini lucu.
Travis berjalan menuju pintu dan aku melotot ke arah America. ―Terima
kasih banyak, teman!‖
Udara dingin menyerang bagian kulitku yang terbuka, dan aku protes
lebih kencang. ―Turunkan aku, sialan!‖
Travis membuka pintu mobil dan melemparku ke kursi belakang, duduk
di sampingku. ―Donnie, kau yang mengantar orang-orang yang mabuk
malam ini?‖
―Ya,‖ jawabnya, gugup melihatku yang berusaha untuk kabur.
―Aku ingin kau mengantar kami ke apartemenku.‖
―Travis...kupikir...‖
Suara Travis tenang, tapi menakutkan. ―Lakukan, Donnie, atau aku akan
memukulkan tinjuku ke belakang kepalamu, aku bersumpah demi
Tuhan.‖
Donnie menjauh dari kekangan Travis dan aku menerjang pegangan
pintu. ―Aku tak akan pergi ke apartemenmu!‖
Travis memegang satu pergelangan tanganku lalu yang satunya lagi.
Aku membungkuk untuk menggigit lengannya. Dia menutup matanya,
lalu suara mengaduh pelan keluar dari rahangnya yang tertutup rapat
saat gigiku menancap di kulitnya.
―Melawanlah sesukamu, Pidge. Aku sudah bosan dengan omong
kosongmu.‖
Aku melepaskan gigitanku dan menarik paksa lenganku, lepas dari
genggamannya. ―Omong kosongku? Biarkan aku keluar dari mobil ini!‖
Dia menarik pergelangan tanganku dekat ke wajahnya. ―Aku
mencintaimu, sialan! Kau tak akan pergi kemana-mana hingga kau tidak
mabuk lalu kita akan coba memahaminya.‖
―Kau satu-satunya yang belum memahami ini, Travis!‖ kataku. Dia
melepaskan pergelangan tanganku dan aku menyilangkan tanganku di
dada, cemberut sepanjang sisa perjalanan ke apartemen.
Ketika mobil berjalan pelan untuk berhenti, aku condong ke depan.
―Bisakah kau mengantarku pulang, Donnie?‖
Travis menarik tanganku agar keluar dari mobil lalu dia mengayunku ke
atas bahunya lagi, membawaku ke atas. ―Selamat malam, Donnie.‖
―Aku akan mengadukan ini pada ayahmu!‖ teriakku.
Travis tertawa terbahak-bahak. ―Dan dia mungkin akan menepuk
bahuku dan mengatakan padaku bahwa sudah waktunya aku melakukan
ini.‖
Dia berusaha untuk membuka kunci pintu saat aku menendang dan
menggerak-gerakkan tanganku, berusaha untuk lepas.
―Hentikan, Pidge, atau kita berdua akan jatuh ke bawah!‖ Setelah dia
membuka pintu, dia berjalan ke kamar Shepley.
―Turunkan. Aku. Ke bawah!‖ teriakku.
―Baiklah,‖ dia berkata sambil menjatuhkanku di atas tempat tidur
Shepley. ―Tidurlah. Kita akan bicara nanti pagi.‖
Kamarnya gelap; satu-satunya lampu berasal dari lampu persegi panjang
yang menyorot pintu masuk kamar dari lorong. Aku berusaha untuk
fokus dalam kegelapan, bir, dan kemarahan, lalu saat dia menyalakan
lampu, itu menerangi senyuman puasnya.
Aku memukul tempat tidur dengan kepalan tanganku. ―Kau tidak bisa
lagi memberitahuku apa yang harus aku lakukan, Travis! Aku bukan
milikmu!‖
Dalam sekejap itu membuatnya berbalik dan berhadapan denganku,
ekspresinya berubah menjadi kemarahan. Dia berjalan ke arahku,
meletakkan tangan di atas tempat tidur dan mendekat ke wajahku.
―WELL, AKU MILIKMU!‖ Urat di lehernya menonjol saat dia
berteriak, dan aku menatap balik matanya, tidak bergeming. Dia
menatap bibirku, terengah-engah. ―Aku milikmu,‖ dia berbisik,
kemarahannya hilang saat dia menyadari betapa dekatnya kami.
Sebelum aku dapat memikirkan satu alasan untuk tidak melakukannya,
aku memegang wajahnya, dan mencium bibirnya. Tanpa ragu, Travis
mengangkatku ke dalam pelukannya. Dengan beberapa langkah panjang,
dia membawaku ke kamarnya, kami berdua jatuh di atas tempat tidur.
Aku menarik lepas bajunya, meraba-raba dalam kegelapan membuka
ikat pinggangnya. Dia
menyentaknya terbuka, melepasnya dan melemparnya ke lantai. Dia
mengangkatku dari tempat tidur dengan satu tangan, dan membuka
ritsleting gaunku dengan tangan satunya lagi. Aku menariknya dari atas
kepalaku, melemparnya ke tempat yang gelap, lalu Travis menciumku,
mengerang di bibirku. Dengan beberapa gerakan cepat, celana boxernya
pun terlepas dan dia menekan dadanya di dadaku. Aku mencengkeram
bagian belakangnya, namun dia menahannya ketika aku berusaha
menariknya agar memasukiku.
―Kita berdua sedang mabuk,‖ dia berkata sambil terengah-engah.
―Aku mohon.‖ Aku menekan kakiku di pinggulnya, tidak sabar ingin
menghilangkan rasa terbakar yang terasa di antara kedua pahaku. Travis
mengatakan kita kembali bersama, dan aku tidak ada keinginan untuk
melawan yang tidak terelakkan, maka aku lebih dari siap untuk
menghabiskan malam ini terbalut seprai tempat tidurnya.
―Tidak boleh terjadi seperti ini,‖ kata Travis.
Dia berada di atasku, menekan dahinya di atas dahiku. Aku harap ini
hanya protes setengah hati, dan entah bagaimana aku akan bisa
meyakinkannya bahwa dia salah. Melihat bagaimana kita tidak bisa
saling menjauhi satu sama lain tidak dapat dijelaskan, namun aku tidak
membutuhkan satu penjelasan lagi. Aku bahkan tidak membutuhkan
alasan. Saat ini, aku hanya membutuhkannya.
―Aku menginginkanmu.‖
―Aku ingin kau mengatakannya,‖ kata Travis.
Bagian dalam dari diriku berteriak membutuhkannya, dan aku tak dapat
menahannya lebih lama lagi. ―Aku akan mengatakan apapun yang kau
mau.‖
―Kalau begitu katakan kau milikku. Katakan bahwa kau menerimaku
kembali. Aku tidak akan melakukan ini kecuali kita bersama lagi.‖
―Kita tidak pernah benar-benar berpisah, kan?‖ tanyaku, berharap itu
cukup.
Dia menggelengkan kepala, bibirnya menyapu bibirku dengan lembut.
―Aku ingin mendengar kau mengatakannya. Aku ingin tahu bahwa kau
benar-benar milikku.‖
―Aku telah menjadi milikmu dari detik pertama kita bertemu.‖
Suaraku bernada memohon. Pada waktu lain aku mungkin akan merasa
malu, namun aku sedang merasa lebih dari menyesal. Aku telah
melawan perasaanku, menjaganya, dan menutupnya rapat.
Aku telah mengalami momen yang paling menyenangkan dalam
hidupku selama di Eastern, semuanya bersama Travis. Bertengkar,
tertawa, mencintai dan menangis, jika itu bersamanya, aku berada di
tempat yang aku inginkan.
Satu sisi bibirnya tertarik ke atas saat dia menyentuh wajahku, lalu
bibirnya menyentuh bibirku dengan ciuman lembut. Saat aku menarik
tubuhnya padaku, dia tidak melawan. Ototnya menegang, dan dia
menahan nafasnya saat dia mendorong ke dalam tubuhku.
―Katakan sekali lagi,‖ dia berkata.
― Aku milikmu,‖ aku terengah. Setiap sarafku, di dalam dan di luar terasa
sakit karena menginginkan lebih. ―Aku tidak ingin berpisah lagi
darimu.‖
―Berjanjilah padaku,‖ dia berkata, sambil mengerang saat mendorong
lagi.
―Aku mencintaimu. Aku akan mencintaimu selamanya.‖ Kata-kata itu
lebih terdengar seperti desahan, namun aku menatap matanya ketika aku
mengatakannya. Aku dapat melihat ketidakpastian di matanya
menghilang, dan meskipun dalam cahaya redup, wajahnya terlihat
bersinar.
Akhirnya merasa puas, dia mencium bibirku.
®LoveReads

Travis membangunkanku dengan ciuman. Kepalaku terasa berat dan


berkabut karena beberapa minuman yang aku minum tadi malam, namun
satu jam sebelum aku jatuh tertidur berputar kembali di pikiranku
dengan detil yang sangat jelas. Ciuman lembut menghujani setiap inchi
tangan, lengan, dan leherku, lalu dia mencium bibirku, aku tersenyum.
―Selamat pagi,‖ aku berkata sambil menciumnya.
Dia tidak menjawab; bibirnya terus menciumi bibirku. Tangannya yang
kekar membungkusku, lalu dia membenamkan wajahnya di leherku.
―Kau pendiam pagi ini,‖ aku berkata, sambil membelaikan tanganku di
kulit punggungnya yang telanjang. Aku terus membelainya hingga
bagian belakangnya, lalu aku mengaitkan kakiku di atas pinggulnya,
mencium lehernya.
Dia menggelengkan kepalanya. ―Aku hanya ingin seperti ini,‖ dia
berbisik.
Aku mengerutkan dahi. ―Apakah aku melewatkan sesuatu?‖
―Aku tidak bermaksud untuk membangunkanmu. Kenapa kau tidak
kembali tidur?‖
Aku bersandar ke belakang ke atas bantal, mengangkat dagunya.
Matanya merah, kulit di sekelilingnya merah dan bernoda.
―Apa yang terjadi padamu?‖ tanyaku, waspada.
Dia meletakkan tanganku di atas tangannya lalu menciumnya, menekan
dahinya ke leherku.
―Kembalilah tidur, Pidge. Aku mohon?‖
―Apakah terjadi sesuatu? Apakah America?‖ pada pertanyaan terakhir,
aku terduduk. Meskipun melihat ketakutan dalam mataku, ekspresinya
tidak berubah. Dia hanya menghela nafas dan duduk bersamaku, melihat
pada tanganku yang ada di tangannya.
―Tidak...America baik-baik saja. Mereka pulang ke rumah sekitar pukul
empat pagi ini. Mereka masih tidur. Ini masih terlalu pagi, kembalilah
tidur.‖
Merasakan jantungku berdebar di dadaku, aku tahu tidak akan mungkin
kembali tidur. Travis menaruh tangannya di kedua sisi wajahku dan
menciumku. Bibirnya bergerak dengan berbeda, seolah dia menciumku
untuk terakhir kalinya. Dia menurunkanku di bantal, menciumku sekali
lagi, lalu menyandarkan kepalanya di dadaku, memelukku erat dengan
kedua lengannya.
Semua kemungkinan yang membuat Travis bersikap seperti ini terlintas
di pikiranku seperti channel televisi. Aku memeluknya erat, merasa takut
untuk bertanya. ―Apakah kau tidak tidur?‖
―Aku...tidak bisa. Dan aku tidak ingin...‖ suaranya melemah.
Aku mencium keningnya. ―Apapun itu, kita akan melaluinya, ok?
Kenapa kau tidak tidur sebentar? Kita akan membicarakannya setelah
kau bangun.‖
Kepalanya terangkat dan dia memeriksa wajahku. Aku melihat
ketidakpercayaan dan harapan di matanya.
―Apa maksudmu kita akan melaluinya?‖
Alisku ditarik masuk, merasa bingung. Aku tidak dapat membayangkan
apa yang telah terjadi pada saat aku tidur yang membuatnya sangat
menderita seperti ini. ―Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi aku ada di
sini.‖
―Kau ada di sini? Seperti kau tinggal? Bersamaku?‖
Aku tahu bahwa ekspresiku pasti terlihat konyol, namun kepalaku
berputar karena alkohol dan pertanyaan Travis yang aneh. ―Ya. kupikir
kita sudah membicarakannya tadi malam?‖
―Kita sudah membicarakannya,‖ dia mengangguk.
Aku melihat sekeliling kamar, berpikir. Dindingnya tidak lagi polos
seperti dulu saat kami pertama bertemu. Sekarang dindingnya dihiasi
pernak-pernik dari tempat kami menghabiskan waktu bersama, dan cat
putihnya terganggu oleh bingkai hitam yang memajang fotoku, kami,
Toto, dan semua teman kami. Bingkai lebih besar yang memasang foto
kami berdua saat ulang tahunku menggantikan topi sombrero yang dulu
tergantung dengan paku di atas ujung kepala tempat tidur.
Aku memicingkan mataku padanya. ―Kau pikir aku akan terbangun dan
merasa kesal padamu, ya kan? Kau pikir aku akan pergi?‖
Dia mengangkat bahunya, melakukan sedikit usaha untuk terlihat tidak
peduli yang biasanya sangat mudah untuknya. ―Kau terkenal begitu.‖
―Itukah yang membuatmu kesal? Kau terjaga semalaman
mengkhawatirkan apa yang akan terjadi saat aku terbangun?‖
Dia bergeser seolah kata berikutnya begitu sulit. ―Aku tidak bermaksud
tadi malam terjadi seperti itu. Aku sedikit mabuk, dan aku mengikutimu
seperti penguntit, lalu aku menyeretmu keluar dari sana, di luar
keinginanmu…lalu kita…,‖ dia menggelengkan kepala, sangat jelas
merasa jijik saat kejadian itu berputar di pikirannya.
―Merasakan seks terbaik dalam hidupku?‖ aku tersenyum, meremas
tangannya.
Travis tertawa satu kali, ketegangan di sekitar matanya perlahan
menghilang. ―Jadi kita baik-baik saja?‖
Aku menciumnya, menyentuh satu sisi wajahnya dengan lembut. ―Ya,
bodoh. Aku sudah berjanji, bukan begitu? Aku mengatakan padamu
semua yang ingin kau dengar, kita kembali bersama, dan kau masih
belum merasa senang?‖
Wajahnya ditahan di sekitar senyumnya.
―Sayang, hentikan. Aku mencintaimu,‖ aku berkata, melembutkan garis-
garis khawatir di sekitar matanya. ―Pertengkaran menggelikan ini
seharusnya dapat berakhir pada hari Thanksgiving, tapi…‖
―Tunggu...apa?‖ dia memotong, bersandar ke belakang.
―Aku sudah siap untuk menyerah saat Thanksgiving, tapi kau bilang kau
sudah cukup berusaha untuk membuatku bahagia, dan aku terlalu gengsi
untuk mengatakan padamu bahwa aku
menginginkanmu kembali.‖
―Apakah kau bercanda? Aku hanya mencoba untuk membuat segalanya
lebih mudah untukmu! Kau tahu bagaimana telah menderitanya aku?‖
Dahiku berkerut. ―Kau terlihat baik-baik saja setelah liburan.‖
―Itu demi kau! Aku takut aku akan kehilanganmu kalau aku tidak
berpura-pura menerima bahwa kita hanya teman.‖
―Aku...‖ Aku tidak bisa membantahnya; dia benar. Aku telah membuat
kami berdua menderita, dan aku tidak bisa menyangkalnya. ―Aku
menyesal, maafkan aku.‖
―Kau menyesal? Aku nyaris membuatku mati karena mabuk, aku hampir
tidak bisa turun dari tempat tidur, aku menghancurkan teleponku
menjadi jutaan serpihan kecil pada Malam Tahun Baru agar tidak
meneleponmu…dan kau menyesal?‖
Aku menggigit bibirku dan mengangguk, merasa malu. Aku tidak
pernah tahu apa yang telah dia lalui, dan mendengar dia mengatakan itu
membuat rasa sakit seperti tertusuk benda tajam di dadaku.
―Aku benar-benar…minta maaf.‖
―Kau dimaafkan.‖ Dia berkata sambil tersenyum. ―Jangan pernah
lakukan itu lagi.‖
―Tidak akan. Aku berjanji.‖
Dia memperlihatkan lesung pipinya sambil menggelengkan kepala.
―Aku benar-benar mencintaimu.‖
®LoveReads
Bab 21

Asap

Beberapa minggu telah berlalu, dan aku terkejut bagaimana cepatnya


Liburan Musim Semi sudah hampir tiba. Aliran gosip dan tatapan yang
telah kami perkirakan sudah mulai hilang, dan kehidupan sudah kembali
ke normal. Ruang bawah tanah Eastern tidak mengadakan pertarungan
sudah berminggu-minggu. Adam menegaskan untuk tetap low profile
setelah insiden penangkapan yang menimbulkan pertanyaan apa
sebenarnya yang telah terjadi pada malam itu, dan Travis menjadi
mudah marah karena menunggu telepon yang akan memanggilnya untuk
melakukan pertarungan terakhir tahun ini; pertarungan yang membayar
hampir semua tagihannya selama musim panas, dan untuk hidup enak
selama musim gugur.
Salju masih tebal di atas tanah, dan pada hari Jumat sebelum libur,
pertarungan bola salju terakhir terjadi di halaman yang tertutupi es
seperti kristal. Aku dan Travis menghindari salju yang berterbangan saat
berjalan ke kafetaria, dan aku berpegangan erat pada lengan Travis,
berusaha menghindari salju dan agar tidak terjatuh ke tanah.
―Mereka tidak akan melemparnya padamu, Pidge. Mereka tahu itu,‖ kata
Travis, menempelkan hidung merah dan dinginnya di pipiku.
―Arah lemparan mereka tidak sama dengan rasa takut mereka terhadap
kemarahanmu, Trav.‖
Dia memelukku erat di sampingnya, menggosok-gosok lengan jaketku
dengan tangannya saat dia menuntunku melewati kekacauan itu. Kami
tiba-tiba berhenti berjalan saat beberapa wanita yang melintas berteriak
karena dilempari bola salju tanpa ampun oleh tim baseball. Setelah
mereka pergi, Travis membawaku dengan aman ke pintu.
―Lihat kan? Aku sudah bilang kita akan berhasil,‖ dia berkata sambil
tersenyum.
Rasa girangnya menghilang saat bola salju padat mengenai pintu, tepat
di antara wajah kami. Mata Travis menatap memeriksa halaman, ada
beberapa mahasiswa menatap ke arah lain karena takut pada keinginan
Travis untuk membalas dendam.
Dia menarik pintu terbuka, memperhatikan salju yang mencair meluncur
ke bawah pintu besi yang di cat ke tanah. ―Ayo kita masuk.‖
―Ide yang bagus,‖ aku mengangguk.
Dia menuntun tanganku ke jalur prasmanan, menempatkan berbagai
macam makanan kukus dalam satu nampan. Kasir sudah menghentikan
ekspresi tercengangnya yang sudah diperkirakan oleh kami dari
beberapa minggu yang lalu, karena sudah terbiasa dengan kebiasaan
kami.
―Abby.‖ Brazil mengangguk padaku lalu mengedipkan sebelah matanya
pada Travis. ―Kalian berdua sudah punya rencana minggu depan?‖
―Kami akan tinggal di sini. Kakak-kakakku akan datang kemari,‖ kata
Travis, mengalihkan perhatiannya saat dia mengatur makan siang kami,
membagi dua piring styrofoam kecil di hadapan kami di atas meja.
―Aku akan membunuh Davis Lapinski!‖ America mengumumkan,
membersihkan salju dari rambutnya saat dia mendekat.
―Tepat sasaran!‖ Shepley tertawa. America memandangnya dengan
tatapan peringatan dan tawanya berubah menjadi cekikikan gugup.
―Maksudku…dasar brengsek dia.‖
Kami tertawa melihat ekspresi menyesalnya saat dia memperhatikan
America melangkah menuju jalur prasmanan, Shepley langsung
mengikutinya.
―Dia benar-benar takut pada America,‖ kata Brazil dengan ekspresi
sebal di wajahnya.
―America sedikit tegang,‖ Travis menjelaskan. ―Dia akan bertemu
orangtua Shepley minggu ini.‖
Brazil mengangguk, alisnya terangkat ke atas. ―Jadi mereka akan…‖
―Menuju ke sana,‖ kataku, mengangguk bersamanya.‖Ini permanen.‖
―Wow,‖ kata Brazil. Keterkejutan tidak hilang dari wajahnya saat dia
menyuapkan makanan, dan aku dapat melihat rasa bingung di
sekitarnya. Kami semua masih muda, dan Brazil tidak mengerti
komitmen Shepley.
―Ketika kau merasakannya, Brazil…kau akan mengerti rasanya,‖ kata
Travis sambil tersenyum padaku.
Kafetaria bising oleh kegembiraan, karena pertarungan bola salju di luar
dan beberapa jam terakhir menuju liburan yang berlalu dengan cepat.
Saat tempat duduk penuh, suara mengobrol yang mengalir dengan stabil
berubah menjadi suara keras yang bergema, volume meningkat saat
semua orang mulai berbicara melawan kebisingan.
Pada saat Shepley dan America kembali sambil membawa nampan,
mereka telah berbaikan.
Dengan senang dia duduk di sampingku, berceloteh tentang momen
bertemu-orangtua mendatangnya. Mereka akan pergi sore ini untuk
bertemu orangtua Shepley, alasan sempurna untuk menjadi salah satu
krisis America yang terkenal.
Aku memperhatikannya memilih roti saat dia mencemaskan apa yang
harus dikemas dan berapa banyak tas yang bisa dia bawa tanpa kelihatan
berlebihan, namun dia terlihat berusaha menahannya.
―Aku sudah mengatakannya padamu, sayang. Mereka akan
mencintaimu. Mencintaimu seperti aku mencintaimu, aku mencintaimu,‖
kata Shepley, menyelipkan rambut America ke belakang telinganya.
America menarik nafas dan ujung bibirnya tertarik ke atas seperti
biasanya setelah Shepley membuatnya lebih tenang.
Telepon Travis bergetar, menyebabkannya meluncur beberapa inchi di
atas meja. Dia mengabaikannya, terus membicarakan dengan antusias
tentang permainan poker pertama kami dengan semua kakaknya Travis
kepada Brazil. Aku melirik sekilas pada layar, menepuk bahu Travis saat
aku membaca nama di layar.
―Sayang?‖
Tanpa permisi pada Brazil, dia berpaling dari Brazil lalu memberiku
perhatian penuhnya. ―Ya, Pigeon?‖
―Kau mungkin ingin menjawabnya.‖
Dia melihat ke bawah pada handphone-nya dan menghela nafas, ―Atau
tidak.‖
―Itu mungkin penting.‖
Dia mengerutkan bibirnya sebelum mengangkat telepon ke telinganya.
―Ada apa, Adam?‖ Matanya melihat ke sekeliling ruangan sambil
mendengarkan, mengangguk sesekali. ―Ini pertarungan terakhirku,
Adam. Aku masih belum yakin. Aku tidak akan pergi tanpanya dan
Shepley akan pergi ke luar kota. Aku tahu…aku mendengarmu.
Hmmm…itu sebenarnya bukan ide yang buruk.‖
Alisku ditarik masuk, melihat matanya bersinar karena apa pun ide
Adam telah membuatnya ceria.
Ketika Travis menutup telepon, aku menatapnya penuh harap. ―Itu akan
cukup untuk membayar uang sewa selama delapan bulan ke depan.
Adam mendapatkan John Savage. Dia sedang berusaha untuk menjadi
petarung profesional.‖
―Aku belum pernah melihat dia bertarung, apakah kau sudah pernah?‖
tanya Shepley, bersandar ke depan.
Travis mengangguk. ―Pernah satu kali di Springfield. Dia bagus.‖
―Tidak cukup bagus,‖ kataku. Travis mendekat dan mencium lembut
keningku dengan apresiasi.
―Aku bisa tinggal di rumah, Trav.‖
―Tidak,‖ dia berkata sambil menggelengkan kepala.
―Aku tidak ingin kau terkena pukulan seperti waktu itu karena kau
mengkhawatirkan aku.‖
―Tidak, Pidge.‖
―Aku akan menunggumu,‖ aku tersenyum, berusaha terlihat lebih
bahagia pada ide itu dari yang sebenarnya aku rasakan.
―Aku akan meminta Trent untuk datang. Dia satu-satunya orang yang
aku percaya sehingga aku bisa berkonsentrasi pada pertarungan.‖
―Terima kasih banyak, bajingan,‖ Shepley menggerutu.
―Hey, kau sudah mendapatkan kesempatanmu,‖ kata Travis, hanya
setengah meledeknya.
Bibir Shepley ditarik ke samping karena menyesal. Dia masih merasa
bersalah karena kejadian malam itu di Hellerton. Dia meminta maaf
padaku setiap hari selama seminggu, akhirnya rasa bersalahnya bisa
dikendalikan menjadi hanya menderita dalam diam. Aku dan America
berusaha meyakinkannya bahwa dia tidak bersalah, namun Travis selalu
menganggap bahwa Shepley-lah yang bertanggung jawab.
―Shepley, itu bukan salahmu. Kau menariknya menjauh dariku, ingat?‖
kataku, meraih ke belakang America untuk menepuk lengan Shepley.
Lalu aku melihat pada Travis, ―Kapan pertarungannya?‖
―Minggu depan,‖ dia mengangkat bahunya. ―Aku ingin kau ada di sana.
Aku membutuhkanmu untuk berada di sana.‖
Aku tersenyum, meletakkan daguku di bahunya. ―Kalau begitu aku akan
berada di sana.‖
Travis mengantarku ke kelas, genggamannya menjadi lebih erat
beberapa kali setiap kali aku tergelicir di atas salju. ―Kau harus lebih
berhati-hati,‖ ledeknya.
―Aku melakukannya dengan sengaja, bodoh.‖
―Jika kau ingin aku memelukmu, kau hanya tinggal bilang,‖ Travis
berkata sambil menarikku ke pelukannya.
Kami tidak mempedulikan mahasiswa yang melintas dan bola salju yang
melayang di atas kepala kami saat dia mencium bibirku. Kakiku
terangkat dari tanah dan dia terus menciumku,
mengangkatku dengan mudah melintasi kampus. Saat dia menurunkanku
di depan pintu kelas, dia menggelengkan kepalanya.
―Nanti saat kita mengatur jadwal kita semester depan, akan lebih bagus
kalau kita mengambil lebih banyak mata kuliah yang sama.‖
―Aku setuju,‖ jawabku, memberinya sebuah ciuman lagi sebelum
menuju tempat dudukku.
Aku melihat ke atas, dan Travis memberiku satu senyuman lagi sebelum
berjalan menuju kelasnya di gedung sebelah. Orang-orang di sekitarku
sudah terbiasa melihat pertunjukan kasih-sayang kami yang tidak tahu
malu seperti teman sekelas Travis yang sudah terbiasa melihatnya
terlambat masuk kelas beberapa menit.
Aku terkejut waktu berlalu dengan cepat. Aku menyerahkan jawaban
ujian terakhirku hari ini dan berjalan menuju aula asrama. Kara sedang
duduk di tempat biasanya di atas tempat tidur, membaca, saat aku
menggeledah laciku mencari beberapa barang yang aku butuhkan.
―Kau akan pergi ke luar kota?‖ tanya Kara.
―Tidak, aku hanya membutuhkan beberapa barang. Aku akan ke gedung
Sains untuk menjemput Travis, lalu aku akan berada di apartemennya
selama seminggu.‖
―Aku sudah menduganya,‖ dia berkata, masih tetap melihat ke halaman
bukunya.
―Semoga liburanmu menyenangkan, Kara.‖
―Mmmmm.‖
Kampus hampir kosong, masih ada beberapa orang yang keluyuran. Saat
aku berbelok, aku melihat Travis berdiri di luar, menghabiskan
rokoknya. Dia memakai topi rajutan di atas kepala yang rambutnya telah
di cukur habis dan satu tangannya masuk ke dalam saku jaket kulit
berwarna coklat tua yang dipakainya. Asap keluar dari lubang
hidungnya saat dia melihat ke bawah, tenggelam dalam pikirannya
sendiri. Hingga tinggal beberapa kaki aku darinya, baru aku menyadari
betapa kacau pikirannya.
―Apa yang sedang kau pikirkan, sayang?‖ tanyaku. Dia tidak
mengangkat kepalanya ke atas.
―Travis?‖
Matanya berkedip beberapa kali ketika suaraku terdengar olehnya dan
ekspresi sedihnya berganti menjadi sebuah senyuman yang dipaksakan.
―Hai, Pigeon.‖
―Semuanya baik-baik saja?‖
―Semua baik-baik saja sekarang,‖ jawab Travis, menarikku ke
pelukannya.
―Baiklah. Ada apa?‖ aku berkata sambil cemberut dan mengangkat
alisku, memperlihatkan rasa raguku.
―Hanya sedang memikirkan banyak hal,‖ dia menghela nafas. Ketika
aku menunggu dengan harap, dia melanjutkan. ―Tentang minggu ini,
pertarungan, dan tentang kau akan berada di sana nanti…‖
―Aku sudah bilang kalau aku akan tinggal di rumah saja.‖
―Aku membutuhkanmu di sana, Pidge.‖ dia berkata sambil membuang
rokok ke bawah. Dia memperhatikannya menghilang ke dalam jejak
kaki di salju lalu memegang tanganku, menarikku ke tempat parkir.
―Apakah kau sudah bicara dengan Trent?‖ tanyaku.
Dia menggelengkan kepalanya. ―Aku sedang menunggu dia menelepon
balik.‖
America menurunkan jendela mobilnya dan menjulurkan kepalanya
keluar dari mobilnya Shepley.
―Cepatlah! Di sini sangat dingin!‖
Travis tersenyum dan mempercepat langkahnya, membukakan pintu
mobil untukku. Shepley dan America mengulangi pembicaraan yang
sama yang telah mereka bicarakan beberapa kali sejak America
mengetahui akan bertemu dengan orangtua Shepley sementara aku
memperhatikan Travis yang sedang memandang keluar jendela. Pada
saat kami berhenti di tempat parkir apartemen, telepon Travis berbunyi.
―Apa yang terjadi, Trent?‖ dia berkata saat menjawab teleponnya. ―Aku
meneleponmu empat jam yang lalu, seperti orang sibuk saja.
Terserahlah. Dengar, aku membutuhkan bantuanmu. Aku akan bertarung
minggu depan. Aku ingin kau datang. Aku belum tahu kapan waktunya,
tapi saat aku meneleponmu nanti, aku ingin kau datang dalam waktu
satu jam. Bisakah kau melakukannya untukku? Bisa apa tidak, bodoh?
Karena aku ingin kau menjaga Pigeon. Ada orang brengsek yang
menyentuhnya terakhir kali dan…ya.‖ Nada suaranya menjadi
menakutkan. ―Aku sudah membereskannya. Jadi kalau aku
menelepon…? Thank‘s Trent.‖
Travis menutup telepon dan menyandarkan kepalanya di kursi mobil.
―Sudah merasa lebih tenang?‖ tanya Shepley, melihat Travis dari kaca
spion.
―Yap. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan kalau dia tidak
datang.‖
―Aku sudah mengatakannya padamu.‖ Aku memulai.
―Pidge, berapa kali aku harus mengatakannya padamu?‖ dia merengut.
Aku menggelengkan kepala karena nada kesalnya. ―Aku tidak mengerti.
Kau tidak membutuhkanku di sana dulu.‖
Jarinya dengan lembut memegang pipiku. ―Karena aku belum
mengenalmu dulu. Kalau kau tidak berada di sana aku tidak bisa
berkonsentrasi. Aku bertanya-tanya kau ada di mana, apa yang sedang
kau lakukan…jika kau di sana dan aku bisa melihatmu, aku bisa fokus.
Aku tahu ini gila, tapi itu yang terjadi.‖
―Dan gila seperti itulah yang aku sukai,‖ aku tersenyum, mendekat
untuk mencium bibirnya.
―Tentu saja,‖ America bergumam pelan.
®LoveReads

Di bawah bayangan gedung aula Keaton, Travis memelukku erat di


sampingnya. Uap dari nafasku bersatu dengan uap nafasnya di udara
malam yang dingin, dan aku dapat mendengar percakapan pelan
terdengar dari pintu samping yang hanya berjarak beberapa kaki, tidak
menyadari kehadiran kami.
Keaton adalah gedung tertua di Eastern, dan meskipun The Circle
pernah diadakan di sana sebelumnya, ada perasaan tidak enak mengenai
tempatnya. Adam mengharapkan penonton yang banyak, dan ruang
bawah tanah Keaton bukanlah ruang bawah tanah yang paling luas di
kampus.
Beberapa balok disusun menjadi kotak sepanjang dinding bata tua,
sebagai tanda gedung ini sedang di renovasi.
―Tempat ini adalah ide terburuk Adam,‖ Travis menggerutu.
―Sudah terlambat untuk mengubahnya sekarang.‖ Aku berkata sambil
memandangi perancah.
Telepon Travis menyala dan dia melihat pada layar. Wajahnya menjadi
berwarna biru karena lampu dari layar, dan aku dapat melihat dua garis
khawatir di antara alisnya yang aku sudah tahu ada di sana. Dia memijit
tombol dan menutup teleponnya, memelukku lebih erat.
―Kau tampak gugup malam ini,‖ bisikku.
―Aku akan merasa lebih tenang kalau si bodoh Trent sudah ada di sini.‖
―Aku di sini, dasar kau gadis kecil cengeng,‖ kata Trent, dengan suara
pelan. Aku hampir tidak dapat melihatnya di kegelapan, namun
senyumnya bersinar di bawah sinar bulan.
―Bagaimana kabarmu, Sis?‖ kata Trent. Dia memelukku dengan satu
tangan, dan mendorong Travis dengan tangan satunya.
―Aku baik-baik saja, Trent.‖
Travis langsung terlihat tenang, lalu dia menuntun tanganku ke belakang
gedung.
―Jika ada polisi dan kita terpisah, kita bertemu di asrama , ok?‖ kata
Travis pada kakaknya. Kami berhenti di depan jendela yang terbuka
yang menuju ruang bawah tanah, tanda bahwa Adam sudah berada di
dalam dan sedang menunggu.
―Kau serius?‖ kata Trent, menatap jendela. ―Abby saja tidak akan muat
ke jendela itu.‖
―Kau akan muat,‖ Travis meyakinkannya, merangkak ke bawah masuk
ke dalam kegelapan. Seperti sebelumnya, aku membungkuk dan
mendorong mundur tubuhku, tahu Travis akan menangkapku.
Kami menunggu beberapa saat, lalu mendengar Trent menggerutu saat
melewati jendela kecil itu dan mendarat di lantai, hampir kehilangan
keseimbangan saat kakinya mendarat di lantai semen.
―Kau beruntung aku mencintai Abby. Aku tidak akan melakukan ini
untuk orang lain,‖ Trent menggerutu, membersihkan baju dengan
tangannya.
Travis melompat ke atas, dengan gerakan cepat dia menarik jendela
hingga tertutup. ―Lewat sini,‖
kata Travis, mengarahkan kami di kegelapan.
Dari lorong ke lorong, aku berpegangan dengan erat pada lengan Travis,
merasakan Trent berpegangan pada ujung bajuku. Aku dapat mendengar
kerikil semen yang terinjak di lantai.
Mataku terbuka lebih lebar, berusaha untuk menyesuaikannya dengan
kegelapan ruang bawah tanah, namun tidak ada sedikitpun cahaya yang
dapat membuat kami fokus.
Trent menghela nafas saat kami berbelok untuk ketiga kalinya. ―Kita
tidak akan menemukan jalan keluar dari sini.‖
―Ikuti aku saja nanti. Semua akan baik-baik saja,‖ kata Travis, merasa
terganggu karena keluhan Trent.
Ketika lorong menjadi sedikit terang, aku tahu kami sudah semakin
dekat. Saat gemuruh pelan penonton terdengar menjadi teriakan gelisah
yang meneriakan nama dan angka, aku tahu kami sudah sampai. Di
ruangan tempat Travis menunggu dipanggil biasanya hanya terdapat satu
lentera dan satu kursi, namun karena sedang renovasi, ruangan ini
dipenuhi oleh meja, kursi dan beberapa peralatan yang ditutupi kain
putih.
Travis dan Trent sedang mengatur strategi untuk pertarungan saat aku
mengintip keluar. Di luar sama penuh dan kacaunya seperti pada saat
pertarungan terakhir waktu itu, tapi dengan ruangan yang lebih kecil.
Perabotan ditutupi kain berdebu berderet di dekat dinding, yang
disingkirkan untuk memberi ruang untuk para penonton.
Ruangan itu lebih gelap dari pada biasanya, dan aku rasa Adam hanya
ingin berhati-hati untuk tidak menarik perhatian pada apa yang sedang
kami lakukan. Lentera digantung di langit-langit, menciptakan efek
terlihat lebih kumal pada uang yang diangkat ke atas saat taruhan masih
dibuka.
―Pigeon, kau mendengar apa yang aku katakan?‖ tanya Travis,
menyentuh lenganku.
―Apa?‖ aku bertanya sambil berkedip.
―Aku ingin kau berdiri di dekat pintu ini, ok? Berpegangan pada lengan
Trent sepanjang waktu.‖
―Aku tidak akan bergerak. Aku janji.
Travis tersenyum, lesung pipi sempurnanya terlihat di pipinya.
―Sekarang kau yang terlihat gugup.‖
Aku melirik ke arah pintu lalu kembali menatap Travis. ―Perasaanku
tidak enak, Trav. Bukan karena pertarungannya, tapi karena…sesuatu.
Tempat ini membuatku takut.‖
―Kita tidak akan lama di sini.‖ Kata Travis berusaha menenangkanku.
Suara Adam terdengar dari pengeras suara, lalu sepasang tangan hangat
yang aku kenal memegang kedua sisi wajahku. ―Aku mencintaimu,‖
kata Travis sambil mengangkatku dari lantai, memelukku erat saat dia
menciumku.
Dia menurunkanku ke lantai lalu meletakkan tanganku di lengan Trent.
―Jangan lepaskan pandanganmu darinya,‖ kata Travis pada kakaknya.
―Walaupun hanya satu detik, tempat ini akan menjadi kacau setelah
pertarungan dimulai.‖
―…mari kita sambut penantang kita malam ini…JOHN SAVAGE!‖
―Aku akan menjaganya dengan hidupku, adikku,‖ kata Trent sambil
menarik-narik lenganku.
―Sekarang pergi kalahkan orang itu agar kita bisa cepat pergi dari sini.‖
―…TRAVIS ‗MAD DOG‘ MADDOX!‖ Adam berteriak di pengeras
suara.
Suara di ruangan itu memekakkan telinga saat Travis berjalan
menerobos kerumunan. Aku melihat ke arah Trent, ada senyuman kecil
di wajahnya. Orang lain mumgkin tidak akan melihatnya, tapi aku dapat
melihat rasa bangga di matanya.
Saat Travis masuk ke tengah The Circle, aku menelan ludah. Tubuh
John tidak lebih besar dari Travis, namun dia terlihat berbeda dari orang
yang pernah Travis lawan sebelumnya, bahkan dari pria yang Travis
lawan di Vegas. Dia tidak berusaha mengintimidasi Travis dengan
tatapan menakutkan seperti yang lain; dia sedang mempelajari gerakan
Travis, mempersiapkan cara untuk bertarung melawan Travis di dalam
pikirannya. Matanya selain terlihat sedang menganalisa, itu juga terlihat
kosong. Aku tahu sebelum pertarungan dimulai bahwa Travis tidak
hanya akan sekedar bertarung, dia sedang berdiri berhadapan dengan
iblis.
Travis tampaknya menyadari perbedaannya juga. Seringai yang biasanya
ada sekarang tidak ada, digantikan dengan tatapan intens. Saat tanda
pertarungan dimulai, John menyerang.
―Ya Tuhan,‖ aku berkata sambil mencengkeram kuat lengan Trent.
Trent bergerak seperti Travis, seolah mereka adalah orang yang sama.
Aku semakin tegang setiap John mengayunkan pukulannya, melawan
dorongan untuk menutup mataku. Tidak ada gerakan yang sia-sia; John
sangat lihai dan penuh perhitungan. Kalau dibandingkan, lawan Travis
yang lain terlihat sangat ceroboh. Kekuatan yang belum terlatih di balik
setiap pukulan pria itu saja sudah membuat kagum, seolah semuanya
telah diatur dan dilatih agar sempurna.
Udara di ruangan itu menjadi berat dan pengap; debu dari kain penutup
beterbangan dan masuk ke tenggorokanku setiap kali aku menarik nafas.
Semakin lama pertarungan berlangsung, semakin tidak enak perasaanku.
Aku tidak bisa menghilangkannya, namun aku memaksa diriku untuk
tetap diam di tempatku agar Travis dapat berkonsentrasi.
Pada satu waktu, aku terhipnotis oleh pemandangan di tengah ruang
bawah tanah, saat berikutnya, aku didorong dari belakang. Kepalaku
tersentak karenanya, namun aku mencengkram lebih erat, menolak
untuk bergerak dari tempat yang sudah aku janjikan. Trent melihat ke
belakang dan menarik baju dua orang pria di belakang kami lalu
mendorongnya ke lantai seolah mereka hanyalah boneka kain.
―Mundur atau aku akan membunuhmu!‖ dia berteriak pada mereka yang
menatap dua pria yang jatuh itu. Aku mencengkram lengannya lebih erat
dan dia menepuk tanganku. ―Aku akan melindungimu, Abby. Tonton
saja pertarungannya.‖
Travis melakukannya dengan baik, dan aku menarik nafas saat dia
melukai pria itu. Penonton semakin histeris, namun peringatan Trent
membuat orang-orang di sekitar kami menjaga jarak aman. Travis
mendaratkan pukulan kuat lalu melirik padaku, langsung
mengembalikan perhatiannya pada John. Gerakannya gesit, hampir
penuh perhitungan, terlihat seperti dapat meramalkan serangan John,
bahkan sebelum John melakukannya.
Karena John sudah tidak sabar, dia melilitkan tangannya ke tubuh
Travis, menariknya ke bawah.
Seperti satu kesatuan, kerumunan yang mengelilingi ring buatan menjadi
semakin berdesakan, semua ingin melihat ke dalam ring saat
pertarungan terjadi di lantai.
―Aku tidak bisa melihatnya, Trent!‖ aku berteriak sambil berjinjit.
Trent melihat sekeliling, menemukan kursi kayu Adam. Dengan gerakan
seperti sedang berdansa, dia memindahkanku dari tangan satu ke tangan
yang satunya, membantuku naik kursi sehingga aku sekarang berada di
atas penonton. ―Bisakah kau melihatnya?‖
―Ya!‖ aku berkata sambil memegang tangan Trent agar tidak jatuh. ―Dia
berada di atas John, tapi kakinya John melilit leher Travis!‖
Tubuh Trent miring ke depan sambil berjinjit, meletakkan tangannya
yang bebas di sekitar mulutnya, ―BANTING PANTATNYA, TRAVIS!‖
Aku melirik sekilas pada Trent di bawah lalu memiringkan tubuhku ke
depan agar dapat melihat lebih jelas pada ke dua pria yang berada di
lantai. Tiba-tiba Travis berdiri, kaki John masih berada di lehernya.
Travis kemudian terjatuh di atas lututnya, membanting punggung dan
kepala John ke lantai semen dengan keras. Kaki John terkulai,
melepaskan leher Travis, lalu Travis memundurkan sikunya, memukuli
John terus menerus dengan kepalan tangannya yang dikepalkan dengan
rapat hingga Adam menariknya menjauh dari John, melemparkan kain
merah kotak ke arah tubuh John yang terkulai.
Kegembiraan meledak di ruangan itu saat Adam mengangkat tangan
Travis ke udara. Trent memeluk kakiku, sambil berteriak mengucapkan
selamat atas kemenangannya pada adiknya. Travis melihat ke atas ke
arahku sambil tersenyum lebar dan berdarah; mata kanannya mulai
bengkak.
Saat uang berpindah tangan dan kerumunan mulai berpencar dan bersiap
untuk keluar, mataku melihat ke arah lentera yang berkelap-kelip dan
bergoyang ke depan dan ke belakang tak terkendali di ujung ruangan di
belakang Travis. Cairan menetes dari dasarnya, membasahi kain penutup
di bawahnya. Perutku langsung mual.
―Trent?‖
Setelah mendapat perhatiannya, aku menunjuk ke ujung ruangan. Pada
saat itu juga, lentera jatuh dari gantungannya, ke atas kain penutup di
bawahnya, langsung meledak menjadi kobaran api.
―Ya Tuhan!‖ Trent berkata sambil memegang kakiku.
Beberapa pria yang ada di sekitar api langsung loncat menjauh, melihat
terpana pada api saat merembet pada kain di dekatnya. Asap hitam
keluar dari pojok, dan dengan bersamaan, semua orang di ruangan ini
menjadi panik, saling mendorong untuk keluar.
Aku menatap mata Travis, dan pandangan ketakutan terlihat di
wajahnya.
―Abby!‖ dia berteriak, mendorong lautan manusia yang ada diantara
kami.
―Ayo!‖ Trent berteriak sambil menarikku dari kursi ke sampingnya.
Ruangan menjadi gelap, dan suara keras seperti ada yang meledak
terdengar dari sisi lain ruangan.
Lentera lain memicu dan membuat api semakin besar dengan ledakan
kecil. Trent menarik lenganku, menarikku di belakangnya saat dia
berusaha menerobos orang-orang untuk keluar.
―Kita tidak bisa keluar lewat situ! Kita harus kembali ke jalan tempat
kita masuk tadi!‖ aku berteriak, memberontak.
Trent melihat ke sekeliling, membuat rencana untuk keluar di tengah-
tengah kebingungan. Aku melihat pada Travis lagi, melihatnya berusaha
melintasi ruangan. Saat orang-orang semakin banyak, Travis terdorong
semakin jauh. Teriakan gembira sebelumnya berganti menjadi jeritan
ketakutan dan keputusasaan saat semua orang berusaha untuk keluar.
Trent menarikku ke pintu, dan aku melihat ke belakang, ―Travis!‖ aku
berteriak, mencoba meraihnya.
Dia terbatuk, menggerak-gerakkan tangannya agar asap menjauhinya.
―Ke arah sini, Trav!‖ Trent memanggilnya.
―Bawa saja dia keluar dari sini, Trent! Bawa Pigeon keluar!‖ dia berkata
sambil terbatuk-batuk.
Merasa ragu, Trent melihat ke arahku. Aku dapat melihat rasa takut di
matanya. ―Aku tidak tahu jalan keluar!‖
Aku melihat ke arah Travis sekali lagi, dia berada di dekat api yang
sudah menyebar kemana-mana.
―Travis!‖
―Cepat pergi! Kita akan bertemu di luar!‖ suaranya tenggelam di antara
kekacauan yang ada di sekitar kami, dan aku menarik lengan baju Trent.
―Lewat sini, Trent!‖ kataku, merasakan airmata dan asap membakar
mataku. Banyak orang yang panik di antara Travis dengan satu-satunya
pintu untuk dia keluar.
Aku menarik tangan Trent, mendorong semua orang yang
menghalangiku. Kami tiba di pintu keluar, lalu aku melihat ke depan dan
ke belakang. Dua lorong gelap menjadi remang-remang diterangi api
yang ada di belakang kami.
―Lewat sini!‖ Kataku, menarik tangannya lagi.
―Kau yakin?‖ tanya Trent, suaranya terdengar sangat ragu dan
ketakutan.
―Ayo!‖ kataku menarik tangannya sekali lagi.
Semakin jauh kami berlari, lorong menjadi semakin gelap. Setelah
beberapa saat, aku benafas semakin mudah karena asap berada jauh di
belakang, namun suara jeritan tidak berkurang, malah semakin kencang
dan panik dari sebelumnya. Suara mengerikan di belakang kami
menguatkan tekadku, membuat langkahku semakin cepat tapi terarah.
Pada belokan ke dua, kami berjalan tanpa bisa melihat apa pun dalam
kegelapan. Aku meletakkan tangan di depanku, merasakan dinding
sepanjang jalan dengan tanganku yang bebas, mencengkeram tangan
Trent dengan tangan yang lain.
―Apa kau pikir dia berhasil keluar?‖ tanya Trent.
Pertanyaannya merusak konsentrasiku, dan aku berusaha mendorong
keluar jawabannya dari pikiranku. ―Terus berjalan,‖ kataku, tercekat.
Trent berhenti sebentar, namun saat aku menariknya lagi, ada cahaya
remang-remang. Dia memegang pemantik api, memicingkan mata untuk
mencari jalan keluar. Aku mengikuti cahaya saat dia menggerakkannya
mengelilingi lorong, dan aku terkesiap saat pintu keluar terlihat.
―Lewat sini!‖ aku berkata sambil menariknya lagi.
Saat aku bergegas melintasi ruangan berikutnya, segerombolan orang
menabrakku, membuatku terjatuh ke lantai. Tiga wanita dan dua pria,
semua wajahnya kotor dan mata yang lebar dan ketakutan menatapku.
Salah satu pria menarikku untuk membantuku berdiri. ―Ada beberapa
jendela di sana yang bisa kita lalui untuk keluar.‖ dia berkata.
―Kami baru saja datang dari arah sana, tidak ada apa-apa di sana,‖ aku
berkata sambil menggelengkan kepala.
―Kau pasti tadi tidak melihatnya. Aku tahu itu ada di sana!‖
Trent menarik tanganku. ―Ayo, Abby, mereka tahu jalan keluar!‖
Aku menggelengkan kepala. ―Kita masuk dari sini bersama Travis. Aku
tahu itu.‖
Trent memegangku lebih erat. ―Aku sudah berjanji pada Travis untuk
selalu bersamamu. Kita akan pergi bersama mereka.‖
―Trent, kita tadi dari sana…tidak ada jendela di sana!‖
―Ayo kita pergi, Jason!‖ teriak salah satu wanita.
―Kami akan pergi,‖ kata Jason, melihat ke arah Trent.
Trent menarik tanganku lagi dan aku melepaskannya. ―Trent, aku
mohon! Lewat sini, aku yakin!‖
―Aku akan pergi bersama mereka,‖ kata Trent, ―Aku mohon ikutlah
bersamaku.‖
Aku menggelengkan kepala, air mata jatuh di pipiku. ―Aku sudah pernah
kemari sebelumnya. Itu bukan jalan untuk keluar!‖
―Kau harus ikut bersamaku!‖ dia membentak sambil menarik lenganku.
―Trent, hentikan! Kita pergi ke arah yang salah!‖ aku menangis.
Kakiku terseret di atas lantai semen saat dia menarikku bersamanya. Dan
ketika bau asap semakin kuat, aku menarik lepas tanganku, berlari ke
arah yang berlawanan.
―ABBY! ABBY!‖ Trent memanggilku.
Aku terus berlari, sambil meletakkan tangan di depanku, agar tidak
menabrak dinding.
―Ayo pergi! Dia akan membuatmu terbunuh!‖ teriak seorang wanita.
Bahuku menabrak dinding dan aku berputar, terjatuh ke lantai. Aku
merangkak di atas lantai, sambil tetap meletakkan tangan di depanku.
Ketika jariku menyentuh eternit, aku menelusurinya lalu berdiri. Ujung
pintu terasa di bawah sentuhanku dan aku mengikutinya ke ruangan
sebelah.
Kegelapan tiada akhir, namun aku berusaha menghilangkan rasa
panikku, dengan hati-hati menjaga agar langkahku tetap lurus, mengapai
dinding berikutnya. Beberapa menit berlalu, dan aku merasakan
ketakutan yang mucul di dalam diriku saat suara ratapan terdengar.
―Aku mohon,‖ aku berbisik di dalam kegelapan, ―Jadikan ini jalan
keluar.‖
Aku merasakan ujung pintu lain, dan saat aku masuk, seberkas cahaya
berwarna perak bersinar di hadapanku. Cahaya bulan masuk menerobos
kaca jendela, dan isak tangis keluar dari tenggorokanku.
―T-TRENT! Ada di sini!‖ aku memanggil ke belakangku. ―TRENT!‖
Aku memicingkan mataku, melihat gerakan kecil di kejauhan. ―Trent?‖
panggilku, jantungku berdegup kencang di dadaku. Dalam sekejap,
sebuah bayangan menari di dinding, dan mataku terbelalak ngeri ketika
aku menyadari bahwa apa yang tadi aku kira adalah bayangan seseorang
ternyata adalah kobaran api.
―Ya Tuhan,‖ aku berkata sambil melihat ke arah jendela. Travis tadi
menutupnya, dan itu terlalu tinggi untuk bisa aku raih.
Aku melihat sekeliling mencari sesuatu untuk dinaiki. Ruangan itu
penuh dengan perabotan kayu yang ditutupi kain putih. Kain yang sama
yang akan dilahap api hingga ruangan ini menjadi seperti neraka.
Aku menarik sepotong kain putih, melepasnya dari sebuah meja. Debu
beterbangan di sekitarku saat kain itu dilempar ke bawah lalu menyeret
kayu berukuran besar itu melintasi ruangan ke bawah jendela. Aku
mendorongnya menempel ke dinding dan aku menaikinya, terbatuk
karena asap yang perlahan menyusup ke dalam ruangan. Jendela itu
masih beberapa kaki di atasku.
Aku mendengus setiap kali mencoba untuk mendorongnya terbuka,
dengan asal memutar kunci ke depan dan ke belakang sambil
mendorong. Jendela itu sama sekali tidak bergeming.
―Ayolah, sialan!‖ aku berteriak, bersandar di lenganku.
Aku miring ke belakang, menggunakan seluruh berat badanku dengan
sedikit kekuatan yang dapat aku usahakan untuk memaksanya terbuka.
Ketika itu tidak berhasil, aku memasukan kukuku ke dalam celah
jendela, mencongkel dan menariknya hingga aku rasa kukuku terangkat
dari kulitku.
Cahaya berkelebat di ujung mataku, dan aku berteriak ketika aku melihat
api merembet ke kain putih sepanjang lorong yang aku lalui tadi.
Aku melihat ke jendela, sekali lagi menancapkan kukuku ke ujung
jendela. Darah menetes dari ujung jariku, ujung jendela yang terbuat dari
besi menyayat kulitku. Instingku muncul mengalahkan semua akal
sehatku, dan aku mengepalkan tanganku, memukul-mukul kaca. Kaca
jendelanya sedikit retak, diikuti percikan darahku setiap kali memukul.
Aku memukul kacanya sekali lagi dengan kepalan tanganku, lalu
melepas sepatuku, membantingnya ke jendela dengan kekuatan penuh.
Suara sirene terdengar di kejauhan dan aku terisak menangis, memukul-
mukulkan telapak tanganku ke jendela. Sisa hidupku hanya berjarak
beberapa inchi, di balik jendela. Aku mencongkel jendela sekali lagi,
lalu mulai memukul kaca dengan kedua tanganku.
―TOLONG AKU!‖ aku berteriak, melihat api yang sudah semakin
mendekat. ―SIAPAPUN, TOLONG AKU!
Suara batuk samar-samar terdengar di belakangku. ―Pigeon?‖
Aku langsung berputar karena mendengar suara yang aku kenal. Travis
muncul dari pintu di belakangku, wajah dan bajunya penuh dengan abu.
―TRAVIS!‖ aku menangis. Aku bergegas turun dari meja dan berlari
menuju tempat dia berdiri, kehabisan tenaga dan kotor.
Aku berlari ke arahnya, dan dia memelukku, terbatuk saat dia menarik
nafas. Tangannya memegang kedua pipiku.
―Di mana Trent?‖ tanyanya, suaranya serak dan lemah.
―Dia mengikuti mereka!‖ aku menjawab sambil menangis, air mata
mengalir di wajahku. ―Aku sudah mencoba membujuknya untuk ikut
denganku, tapi dia tidak mau!‖
Travis melihat ke bawah ke arah api yang semakin mendekat. Aku
menarik nafas, terbatuk ketika asap memenuhi paru-paruku. Dia melihat
ke arahku, matanya berkaca-kaca. ―Aku akan mengeluarkan kita dari
sini, Pidge.‖ Dia menciumku dengan gerakan cepat dan kuat, lalu dia
naik ke atas tangga buatanku.
Dia mendorong jendela, dan memutar kuncinya, semua ototnya bergetar
saat dia mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendorong kaca.
―Mundur, Abby! Aku akan memecahkan kacanya!‖
Takut untuk bergerak, aku hanya bisa menjauh satu langkah dari satu-
satunya jalan kami untuk keluar. Sikunya Travis ditekuk saat dia
mengangkat kepalan tangannya ke belakang, berteriak saat dia
memukulkannya ke jendela. Aku berpaling, menutup wajah dengan
tanganku yang berdarah saat kaca pecah di atasku.
―Ayo!‖ dia berteriak, mengulurkan tangannya padaku. Panas api
memenuhi ruangan, dan aku melayang di udara saat dia mengangkatku
dari lantai dan mendorongku keluar.
Aku menunggu sambil berlutut saat Travis memanjat keluar, lalu
membantunya berdiri. Suara sirene menggelegar dari belakang gedung,
dan cahaya merah biru dari lampu mobil pemadam kebakaran dan polisi
menari di dinding bata gedung sebelah.
Kami berlari menuju kerumunan orang yang berdiri di depan gedung,
mencari wajah kotor Trent.
Travis meneriakkan nama kakaknya, suaranya semakin terdengar putus
asa pada setiap panggilan.
Dia mengeluarkan handphonenya untuk memeriksa apakah ada missed
call lalu menutupnya, menutup mulut dengan tangannya yang hitam.
―TRENT!‖ Travis berteriak, memanjangkan lehernya saat dia
mencarinya di kerumunan.
Mereka yang telah berhasil keluar berpelukan dan merintih di belakang
mobil ambulans, menatap ngeri saat mobil pemadam kebakaran
menyemprotkan air melalui jendela dan para pemadam kebakaran berlari
ke dalam, menarik selang di belakang mereka.
Travis mengacak-acak rambut pendek di atas kepalanya, menggelengkan
kepalanya. ―Dia tidak berhasil keluar,‖ dia berkata dengan suara pelan.
―Dia tidak berhasil keluar, Pidge.‖
Nafasku tercekat saat aku melihat abu di pipinya tercoreng oleh air mata.
Dia jatuh berlutut dan aku mengikutinya.
―Trent pintar, Trav. Dia pasti berhasil. Dia pasti menemukan jalan keluar
lain,‖ aku berkata, mencoba meyakinkan diriku juga.
Travis roboh di pangkuanku, mencengkeram bajuku dengan kedua
tangannya. Aku memeluknya.
Aku tidak tahu apalagi yang harus aku lakukan.
Satu jam telah berlalu. Kami memandang dengan harapan yang semakin
menipis saat pemadam kebakaran membawa keluar dua orang, masuk
lalu keluar lagi tanpa membawa apapun. Ketika paramedis mengobati
orang yang terluka dan ambulans melaju di kegelapan malam membawa
korban yang terbakar, kami menunggu. Setengah jam kemudian,
pemadam kebakaran membawa keluar mayat-mayat orang yang tidak
terselamatkan. Korban tewas dijajarkan di atas tanah, jumlahnya
melebihi jumlah orang yang selamat. Travis tetap menatap ke arah pintu,
menunggu mereka mengeluarkan kakaknya dari abu.
―Travis?‖
Kami menoleh bersamaan dan melihat Adam berdiri di samping kami.
Travis berdiri, menarikku bersamanya.
―Aku senang melihat kalian berhasil keluar,‖ kata Adam, terlihat terpana
dan kebingungan.
―Di mana Trent?‖
Travis tidak menjawab.
Pandangan kami kembali ke arah aula Keaton yang hangus terbakar,
asap tebal masih membumbung dari jendela. Aku memendamkan
kepalaku di dada Travis, menutup rapat mataku, berharap aku akan
segera terbangun dari mimpi.
―Aku harus uh…aku harus menelepon ayahku,‖ kata Travis, alisnya
menyatu saat dia membuka handphonenya.
Aku mengambil nafas, berharap suaraku terdengar lebih kuat dari yang
aku rasakan. ―Mungkin kau harus menunggu, Travis. Kita belum
mengetahui apapun.‖
Matanya tidak berpaling dari tombol angka, dan bibirnya gemetar. ―Ini
tidak mungkin terjadi. Dia seharusnya tidak berada di sana.‖
―Itu kecelakaan, Travis. Kau tidak bisa mengetahui hal seperti ini akan
terjadi,‖ aku berkata sambil menyentuh pipinya.
Wajahnya ditahan, matanya tertutup rapat. Dia menarik nafas panjang
dan mulai menghubungi nomor telepon ayahnya.
®LoveReads
Bab 22

Pesawat Jet

Nomor di layar berganti menjadi sebuah nama ketika telepon berdering,


dan mata Travis terbelalak saat dia membacanya. Telepon berada di atas
telinganya dengan gerakan cepat.
―Trent?‖ suara tawa tidak percaya keluar dari bibirnya, dan sebuah
senyuman terlihat di wajahnya saat dia melihat ke arahku, ―Ini Trent!‖
Aku menarik nafas dan meremas lengannya ketika dia berbicara. ―Di
mana kau? Apa maksudmu kau di asrama? Aku akan ke sana sekarang,
jangan kemana-mana!‖
Aku tersentak ke depan, mencoba mengikuti langkah Travis saat dia
berlari dengan cepat melintasi kampus, menyeretku di belakangnya.
Ketika kami tiba di asrama, paru-paruku berteriak menginginkan udara.
Trent berlari menuruni tangga, menabrak kami berdua.
―Ya Tuhan, bro! Kupikir kau sudah terbakar!‖ Trent berkata sambil
memeluk kami berdua dengan erat hingga aku kesulitan untuk bernafas.
―SIALAN kau!‖ Travis berteriak sambil mendorong kakaknya menjauh.
―Aku pikir kau sudah mati!
Aku menunggu pemadam kebakaran membawa tubuhmu yang hangus
terbakar keluar dari Keaton!‖
Travis mengerutkan dahinya pada Trent untuk beberapa saat, lalu
menarik dan memeluknya. Tangannya menjulur keluar, meraba-raba
hingga dia merasakan bajuku, lalu menarikku juga ke pelukannya.
Setelah beberapa saat, Travis melepaskan Trent, namun tetap
menggandengku di sampingnya.
Trent melihatku dengan tatapan meminta maaf. ―Maafkan aku, Abby.
Aku panik.‖
Aku menggelengkan kepalaku. ―Aku senang kau tidak apa-apa.‖
―Aku? Aku akan lebih memilih mati jika Travis melihatku keluar dari
gedung itu tanpa dirimu. Aku berusaha menemukanmu setelah kau lari,
tapi aku tersesat dan harus mencari jalan lain. Aku berjalan menelusuri
gedung mencari jendela itu, tapi aku bertemu dengan beberapa orang
polisi dan mereka memaksaku keluar. Aku diangkut keluar dari sana!‖
kata Trent, mengacak-acak rambut pendeknya.
Travis mengelap pipiku dengan jempolnya, lalu menarik kaosnya,
menggunakannya untuk membersihkan abu dari wajahnya. ―Ayo kita
pergi dari sini. Sebentar lagi akan banyak polisi berkeliaran di tempat
ini.‖
Setelah memeluk kakaknya sekali lagi, kami berjalan menuju mobil
Honda milik America. Travis memperhatikanku memasang sabuk
pengaman lalu mengerutkan dahinya saat aku terbatuk.
―Mungkin aku harus membawamu ke rumah sakit. Untuk
memeriksamu.‖
―Aku baik-baik saja,‖ jawabku, menggenggam jarinya di jariku. Aku
melihat ke bawah, ada luka yang dalam di ruas jarinya. ―Itu akibat
pertarungan atau jendela?‖
―Jendela,‖ jawabnya, merengut saat melihat kukuku yang berdarah.
―Kau menyelamatkan hidupku, kau tahu.‖
Dia merengut. ―Aku tidak akan keluar tanpa dirimu.‖
―Aku tahu kau akan datang,‖ aku tersenyum, meremas jarinya.
®LoveReads

Kami tetap berpegangan tangan hingga kami tiba di apartemen. Aku


tidak tahu darah siapa saat aku membersihkan noda merah dan abu dari
tubuhku di bawah pancuran. Menjatuhkan diri ke atas tempat tidur
Travis, aku masih dapat mencium bau asap dan kulit yang terbakar.
―Nih,‖ kata Travis, menyodorkan gelas pendek yang terisi cairan
berwarna kuning tua, ―Ini akan membuatmu tenang.‖
―Aku tidak lelah.‖
Dia menyodorkan gelas itu lagi. Matanya tampak lelah, merah, dan
berat. ―Cobalah untuk beristirahat, Pidge.‖
―Aku merasa takut untuk menutup mataku,‖ aku berkata sambil
mengambil gelas itu dan meminumnya.
Dia mengambil gelas yang sudah kosong dan meletakkannya di meja,
duduk di sampingku. Kami duduk terdiam, membiarkan beberapa jam
yang lalu tercerna. Aku menutup rapat mataku saat teringat jerit
ketakutan dari mereka yang terjebak di bawah tanah memenuhi
pikiranku. Aku tak yakin berapa lama bagiku untuk bisa melupakannya,
atau aku mungkin tak akan pernah melupakannya.
Tangan hangat Travis di lututku menarikku dari mimpi burukku.
―Banyak orang yang meninggal malam ini.‖
―Aku tahu.‖
―Besok baru kita akan tahu jumlahnya berapa banyak.‖
―Aku dan Trent berpapasan dengan sekelompok orang saat akan keluar.
Aku penasaran apa mereka berhasil keluar. Mereka tampak sangat
ketakutan…‖
Aku merasakan air mata memenuhi mataku, namun sebelum mereka
turun di pipiku, tangan kekar Travis memelukku. Aku langsung merasa
terlindungi, berdekatan dengan tubuhnya. Merasa seperti di rumah saat
berada dalam pelukannya yang dulu membuatku takut. Namun saat ini,
aku bersyukur aku bisa merasa aman setelah mengalami kejadian yang
sangat menyeramkan. Hanya ada satu alasan mengapa aku merasa
seperti itu.
Aku miliknya.
Saat itulah aku tahu. Tanpa keraguan di pikiranku, tanpa merasa
khawatir akan apa yang akan dipikirkan orang lain, dan tidak merasa
takut salah atau menerima konsekuensinya, aku tersenyum pada apa
yang akan aku katakan.
―Travis?‖ aku berkata di dadanya.
―Apa, sayang?‖ jawabnya pelan.
Telepon kami berbunyi bersamaan, dan aku menyerahkan telepon Travis
padanya saat aku
mengangkat teleponku. ―Halo?‖
―ABBY?‖ America memekik.
―Aku baik-baik saja, Mare. Kami baik-baik saja.‖
―Kami baru mendengarnya! Ada di semua berita!‖
Aku dapat mendengar Travis yang sedang menjelaskan bagaimana
kejadiannya pada Shepley di sampingku, dan aku berusaha sebaik
mungkin untuk menenangkan America. Menjawab semua
pertanyaannya, berusaha menjaga suaraku tetap tenang saat
menceritakan kembali kejadian yang paling menakutkan dalam hidupku,
aku merasa tenang sesaat setelah Travis memegang tanganku.
Aku seperti sedang menceritakan pengalaman orang lain, duduk dengan
nyaman di apartemen Travis, berada jauh dari mimpi buruk yang bisa
saja membuat kami berdua kehilangan nyawa.
America menangis ketika aku selesai, menyadari bagaimana nyarisnya
kami kehilangan nyawa kami.
―Aku akan mulai berkemas sekarang. Kami akan pulang besok pagi,‖
America terisak.
―Mare, tidak perlu pulang cepat. Kami baik-baik saja.‖
―Aku harus melihatmu. Aku harus memelukmu sehingga aku yakin kau
tidak apa-apa,‖ dia menangis.
―Kami baik-baik saja. Kau bisa memelukku hari Jumat.‖
Dia terisak lagi. ―Aku menyayangimu.‖
―Aku juga menyayangimu. Selamat bersenang-senang.‖
Travis melihat ke arahku lalu menekan teleponnya dengan kuat di
telinganya, ―Sebaiknya kau memeluk kekasihmu, Shep. Dia terdengar
sedih. Aku tahu, man…aku juga. Sampai bertemu nanti.‖
Aku menutup telepon beberapa detik sebelum Travis, dan kami duduk
terdiam beberapa saat, masih memproses apa yang telah terjadi. Setelah
beberapa lama, Travis bersandar ke bantal, lalu menarikku ke atas
dadanya.
―America baik-baik saja?‖ dia bertanya sambil memandangi langit-
langit.
―Dia sangat sedih. Tapi dia akan baik-baik saja.‖
―Aku sangat lega mereka tak ada di sini.‖
Aku menutup rapat gigiku. Aku bahkan tidak memikirkan apa yang akan
terjadi seandainya mereka tidak sedang berada di rumah orang tua
Shepley. Pikiranku kembali pada ekspresi ketakutan para wanita yang
ada di ruang bawah tanah, melawan para pria untuk keluar. Mata
ketakutan America menggantikan wanita tanpa nama di ruangan itu.
Aku merasa mual memikirkan rambut pirangnya yang indah menjadi
kotor dan hangus bersama dengan mayat-mayat yang tergeletak di
halaman.
―Aku juga.‖ Aku berkata sambil gemetar.
―Kau sudah melalui banyak hal malam ini. Aku seharusnya tidak
menambah bebanmu.‖
―Kau juga berada di sana, Trav.‖
Dia terdiam beberapa saat, dan pada saat aku membuka mulutku lagi
untuk bicara, dia menarik nafas.
―Aku jarang merasa takut,‖ dia akhirnya bicara. ―Aku takut pada saat
pertama kali aku terbangun di pagi hari dan kau tidak ada di sini. Aku
takut ketika kau meninggalkanku sepulang dari Las Vegas.
Aku takut saat aku pikir aku harus memberitahu ayahku bahwa Trent
meninggal di dalam gedung itu. Tapi pada saat aku melihatmu melewati
api di ruang bawah tanah…aku merasa sangat ketakutan. Aku berhasil
mendekati pintu, beberapa kaki dari pintu keluar, dan aku tidak bisa
melangkah keluar.‖
―Apa maksudmu? Apa kau gila?‖ kataku, kepalaku tersentak ke atas
untuk menatap matanya.
―Aku tak pernah merasa seyakin ini tentang apapun dalam hidupku. Aku
berbalik, berjalan menuju ruangan tempat kau berada. Aku tidak
mempedulikan yang lain. Aku bahkan tak tahu apakah kita akan selamat
atau tidak, aku hanya ingin bersamamu, apa pun artinya itu. Satu-
satunya yang aku takutkan adalah untuk hidup tanpamu, Pidge.‖
Aku mendekat, mencium bibirnya dengan lembut. Saat bibir kami
terpisah, aku tersenyum. ―Kalau begitu tidak ada yang perlu kau takuti
lagi. Kita untuk selamanya.‖
Dia menghela nafas. ―Aku akan melakukannya lagi, kau tahu. Aku tidak
akan menukar satu detik pun jika itu artinya kita akan berada di sini, saat
ini.‖
Mataku terasa berat, dan aku menarik nafas dalam. Paru-paruku
memprotes, masih merasa terbakar karena asap. Aku terbatuk sedikit,
lalu merasa tenang, merasakan bibir hangat Travis di keningku.
Tangannya di atas rambutku yang basah, dan aku dapat mendengar detak
jantungnya yang teratur di dadanya.
―Ini dia‖ dia berkata sambil menghela nafas.
―Apa?‖
―Momen ini. Ketika aku memandangimu yang sedang tidur…kedamaian
di wajahmu? Ini dia. Aku tidak pernah merasakannya setelah ibuku
meninggal, tapi aku dapat merasakannya lagi.‖ Dia kembali menarik
nafas dalam dan menarikku lebih dekat. ―Aku langsung tahu begitu
melihatmu ada sesuatu tentangmu yang aku butuhkan. Ternyata sama
sekali bukan sesuatu tentangmu. Tapi dirimu.‖
Ujung bibirku terangkat ke atas saat aku menyembunyikan wajahku di
dadanya. ―Itulah kita, Trav. Tidak ada yang masuk akal, kecuali kita
bersama. Apakah kau menyadari itu?‖
―Menyadari? Aku telah mengatakannya padamu sepanjang tahun!‖ dia
meledek. ―Sudah resmi. Wanita murahan, pertarungan, perpisahan,
Parker, Vegas…bahkan api…hubungan kita dapat menghadapi apapun.‖
Aku mengangkat kepalaku lagi, melihat kepuasan di matanya saat dia
menatapku. Itu sama dengan kedamaian yang aku pernah lihat di
wajahnya sesaat setelah aku kalah taruhan dan harus tinggal bersamanya
di apartemen, setelah aku mengatakan padanya kalau aku mencintainya
untuk pertama kali, dan pada pagi hari setelah acara Valentine. Itu
semua mirip, tapi berbeda. Yang ini mutlak—permanen. Harapan hati-
hatinya telah menghilang dari matanya, kepercayaan tanpa syarat
menggantikannya.
Aku mengenali itu karena matanya mencerminkan apa yang aku
rasakan. ―Vegas?‖ tanyaku.
Alisnya mengernyit, tidak yakin apa maksudku. ―Ya?‖
―Apakah kau pernah berpikir untuk kembali ke sana?‖
Alisnya mengernyit lagi. ―Kupikir itu bukan ide yang bagus untukku.‖
―Bagaimana kalau kita pergi kesana hanya untuk satu malam?‖
Dia melihat ke sekeliling ruangan yang gelap, merasa bingung. ―Satu
malam?‖
―Menikahlah denganku,‖ aku mengatakannya tanpa ragu. Aku terkejut
karena betapa cepat dan mudahnya kata-kata itu keluar.
Bibirnya terbuka menjadi sebuah senyuman lebar. ―Kapan?‖
Aku mengangkat bahuku. ―Kita dapat memesan tiket pesawat untuk
besok. Sekarang sedang Libur Musim Semi. Tidak ada yang harus aku
lakukan besok, apakah ada yang harus kau lakukan besok?‖
―Aku akan menerima gertakanmu,‖ dia berkata sambil mengangkat
telepon. ―American Airlines,‖ dia berkata sambil memperhatikan
reaksiku dengan teliti saat panggilannya tersambung. ―Aku
membutuhkan dua tiket ke Vegas. Besok. Hmmmmm…,‖ dia melihat ke
arahku, menungguku berubah pikiran. ―Dua hari, pulang-pergi. Apapun
yang anda punya.‖
Aku meletakkan daguku di dadanya, menunggunya memesan tiket.
Semakin lama aku membiarkannya menelepon, semakin lebar juga
senyumannya.
―Ya…uh, tunggu sebentar,‖ dia berkata sambil menunjuk ke dompetnya.
―Tolong ambil kartu kreditku, Pidge?‖ dia menunggu reaksiku lagi.
Dengan senang aku mengambilnya keluar dari dompet dan
menyerahkannya pada Travis.
Travis menyebutkan nomornya pada agen, melihat ke arahku setiap dia
menyebutkan satu angka.
Saat dia menyebutkan tanggal berlaku kartu dan melihat aku tidak
memprotesnya, dia menutup bibirnya rapat. ―Ehm, ya. Kami akan
mengambilnya ke sana. Terima kasih.‖
Dia menyerahkan teleponnya padaku dan aku meletakkannya di atas
meja, menunggunya berbicara.
―Kau baru saja memintaku untuk menikahimu,‖ dia berkata, masih
menungguku untuk mengakui kalau itu adalah tipuan.
―Aku tahu.‖
―Itu tadi serius, kau tahu. Aku baru saja memesan dua tiket ke Vegas
untuk besok sore. Itu artinya kita akan menikah besok malam.‖
―Terima kasih.‖
Dia memicingkan matanya. ―Kau akan menjadi Mrs. Maddox ketika kau
mulai kuliah hari senin.‖
―Oh,‖ aku berkata sambil melihat sekeliling.
Alis Travis naik. ―Berubah pikiran?‖
―Aku akan mengurus perubahan dokumen penting minggu depan.‖
Dia mengangguk pelan, dengan hati-hati berharap. ―Kau akan
menikahiku besok?‖
Aku tersenyum. ―Ah ha.‖
―Kau serius?‖
―Yap.‖
―Aku sangat mencintaimu!‖ dia menarik kedua sisi wajahku,
menciumku dengan keras. ―Aku sangat mencintaimu, Pigeon,‖ dia
berkata sambil terus menerus menciumiku.
―Ingat selalu itu selama lima puluh tahun mendatang saat aku masih
mengalahkanmu dalam permainan poker,‖ aku tersenyum geli.
Dia tersenyum, penuh kemenangan. ―Jika itu berarti enam atau tujuh
puluh tahun bersamamu, Sayang…kau mendapat izinku untuk
melakukan sebisamu.‖
Aku menaikkan satu alisku, ―Kau akan menyesali itu.‖
―Kau mau taruhan?‖
Aku tersenyum sejahat mungkin yang aku bisa. ―Apa kau cukup yakin
untuk mempertaruhkan motor mengkilap yang di luar itu?‖
Dia menggelengkan kepalanya, ekspresi serius mengantikan senyum
menggodanya yang dia berikan beberapa detik yang lalu. ―Aku akan
mempertaruhkan semua yang aku punya. Aku tak menyesali satu detik
pun saat bersamamu, Pidge, dan aku tak akan pernah.‖
Dia memegang tanganku dan menariknya tanpa ragu,
menggoyangkannya sekali, lalu mendekatkannya ke mulutnya, menekan
bibirnya dengan lembut di tanganku. Kamar menjadi hening, bibirnya
meninggalkan kulitku dan satu-satunya suara yang terdengar adalah
suara udara yang meninggalkan paru-parunya.
―Abby Maddox…,‖ kata Travis, senyumnya berkilau di bawah sinar
bulan.
Aku menekan pipiku ke dadanya yang telanjang. ―Travis dan Abby
Maddox. Harus punya cincin yang bagus untuk itu.‖
―Cincin?‖ kata Travis, merengut.
―Kita akan pikirkan tentang cincin nanti, Sayang. Aku hanya asal
bicara.‖
―Ehm…‖ dia terdiam, memperhatikanku menunggu reaksiku.
―Apa?‖ aku bertanya, merasa tegang.
―Jangan panik ya,‖ dia berkata saat dia bergeser dengan gugup.
Pegangannya padaku menjadi lebih erat. ―Sepertinya…aku sudah
menangani masalah itu.‖
―Masalah apa?‖ tanyaku, aku memanjangkan leherku untuk melihat
wajahnya.
Dia menatap langit-langit lalu menghela nafas. ―Kau pasti akan panik.‖
―Travis…‖
Aku cemberut saat dia melepaskan satu tangannya dariku, meraih laci di
meja lampu tidurnya. Dia meraba-raba beberapa saat dan aku meniup
poni basah dari mataku.
―Apa? Kau membeli kondom?‖
Dia tertawa satu kali, ―Bukan, sayang.‖ Alisnya bersatu saat dia terus
mencari, meraih lebih jauh ke dalam laci. Setelah dia menemukan apa
yang dia cari, perhatiannya beralih, dan dia menatapku saat menarik satu
kotak kecil dari tempat persembunyiannya.
Aku melihat ke bawah saat dia meletakkan kotak beludru di atas
dadanya, lalu meletakkan tangan di belakang kepalanya.
―Apa itu?‖ tanyaku.
―Kelihatannya apa?‖
―Ok. Aku akan mengulang pertanyaanku…kapan kau membelinya?‖
Travis menarik nafas, dan saat dia melakukan itu, kotak itu naik
bersamaan dengan dadanya, dan turun saat dia mengeluarkan udara dari
paru-parunya. ―Beberapa saat yang lalu.‖
―Trav…,‖
―Aku hanya kebetulan melihatnya pada suatu hari…dan aku langsung
tahu ada satu tempat di mana seharusnya itu berada…di jari kecilmu
yang indah.‖
―Suatu hari kapan?‖
―Apakah itu penting?‖ bantahnya. Dia meringis sedikit, dan aku tidak
dapat menahan tawaku.
―Bolehkah aku melihatnya?‖ aku tersenyum, tiba-tiba merasa pening.
Dia juga tersenyum, dan melihat ke arah kotak. ―Bukalah.‖
Aku menyentuhnya dengan satu jari, merasakan beludru tebal di bawah
ujung jariku. Aku menggenggam kotak berwarna emas itu dengan kedua
tanganku, perlahan membuka tutupnya. Aku melihat cahaya kelap-kelip
di dalamnya dan aku langsung menutupnya lagi.
―TRAVIS!‖ aku menjerit.
―Aku tahu kau akan panik!‖ Travis berkata sambil terduduk dan
memegang tanganku.
Aku dapat merasakan kotak itu di dalam genggaman tanganku, seperti
sebuah granat berduri yang dapat meledak kapan saja. Aku menutup
mata dan menggelengkan kepalaku. ―Apakah kau gila?‖
―Aku tahu. Aku tahu apa yang kau pikirkan, tapi aku harus membelinya.
Itu adalah cincin yang paling tepat. Dan aku benar. Aku bahkan belum
pernah menemukan yang sesempurna ini lagi.‖
Aku membuka mataku dan bukannya sepasang mata coklat cemas yang
aku lihat, matanya justru berkilau karena bangga. Dengan perlahan dia
melepas genggaman tanganku dari kotak lalu membuka tutupnya,
menarik cincin dari celah kecil yang menahannya. Berlian bulat besar
berkilau meskipun dalam cahaya yang redup, setiap fasetnya menangkap
sinar bulan.
―Itu…ya Tuhan, sangat menakjubkan,‖ aku berbisik saat dia mengambil
tanganku.
―Bolehkah aku menyematkannya di jarimu?‖ dia bertanya, melihat ke
arahku. Ketika aku mengangguk, dia menutup rapat bibirnya,
memasukkan lingkaran berwarna perak ke jariku, menahannya untuk
beberapa saat sebelum melepaskannya. ―Sekarang baru menakjubkan.‖
Kami berdua memandangi tanganku untuk beberapa saat, sama-sama
terkejut karena betapa kontrasnya berlian yang besar berada di atas
jariku yang kecil. Lingkaran itu membentang di bagian bawah jariku,
terbagi menjadi dua lingkaran yang menyatu di ujung tempat berlian
besar itu berada, berlian yang lebih kecil berjajar di setiap lingkaran
yang terbuat dari emas putih.
―Kau bisa membayar uang muka untuk sebuah mobil dengan ini,‖
kataku, berbisik, tidak mampu lagi menambah kekuatan pada suaraku.
Mataku mengikuti tanganku yang Travis dekatkan ke bibirnya. ―Aku
telah membayangkan seperti apa jadinya saat ini berada di jarimu jutaan
kali. Sekarang cincin ini sudah di situ…‖
―Kenapa?‖ aku tersenyum, melihatnya menatap tanganku dengan
senyuman emosional.
Dia menatapku. ―Kupikir aku harus berusaha selama lima tahun sebelum
aku dapat merasakan hal ini.‖
―Aku sangat menginginkan ini sama sepertimu. Hanya saja aku memiliki
poker face,‖ aku tersenyum lalu menciumnya.
®LoveReads
Epilog

Travis meremas tanganku saat aku menahan nafasku. Aku berusaha


menjaga agar wajahku tetap terlihat tenang, namun ketika aku meringis,
genggaman tangannya semakin erat. Langit-langit putih ternoda oleh
bekas bocor di beberapa tempat. Selain dari itu, ruangan ini sempurna.
Tidak ada kekacauan, atau peralatan yang berserakan. Semua berada di
tempatnya, membuatku cukup nyaman tentang situasi ini. Aku telah
membuat keputusan. Aku akan melakukannya.
―Sayang…,‖ Travis berkata sambil meringis.
―Aku bisa melakukannya,‖ kataku, melihat pada noda di langit-langit.
Aku terlonjak saat ujung jari menyentuh kulitku, namun aku berusaha
untuk tidak tegang. Aku dapat melihat rasa cemas di mata Travis saat
suara berdengung terdengar.
―Pigeon?‖ kata Travis mulai bicara lagi, namun aku menggelengkan
kepala untuk membuatnya diam.
―Baiklah. Aku siap.‖ Aku menjauhkan telepon dari telingaku, meringis
karena sakit dan karena ceramah yang tidak bisa dihindari.
―Aku akan membunuhmu, Abby Abernathy!‖ jerit America.
―Membunuhmu!‖
―Secara teknis, aku Abby Maddox sekarang,‖ aku berkata sambil melirik
pada suami baruku.
―Itu tidak adil!‖ dia merengek, sudah tidak terdengar marah lagi. ―Aku
kan seharusnya menjadi pendamping pengantin wanitamu! Aku
seharusnya berbelanja baju bersamamu, mengadakan pesta lajang dan
memegangi karangan bungamu!‖
―Aku tahu,‖ kataku, melihat senyum Travis menghilang saat aku
meringis lagi.
―Kau tidak harus melakukan ini, kau tahu,‖ dia berkata sambil menarik
alisnya menjadi satu.
Aku meremas jarinya dengan tanganku yang bebas. ―Aku tahu.‖
―Kau sudah mengatakan itu tadi!‖ America membentak.
―Aku tidak sedang bicara padamu.‖
―Oh, kau sedang bicara denganku,‖ dia mulai marah lagi. ―Kau sangat
sedang bicara denganku. Kau tidak akan pernah mendengar akhir dari
ini, kau dengar aku? Aku selamanya tidak akan pernah memaafkanmu!‖
―Kau pasti akan memaafkanku.‖
―Kau! Kau adalah seorang…! Kau sangat jahat, Abby! Kau adalah
sahabat yang buruk!‖
Aku tertawa, membuat pria yang duduk di sampingku tersentak. ―Jangan
bergerak, Mrs. Maddox.‖
―Maaf,‖ kataku.
―Siapa itu?‖ bentak America.
―Itu Griffin.‖
―Siapa Griffin? Biar aku tebak, kau mengundang orang asing ke
pernikahanmu bukannya sahabatmu?‖ nada suaranya semakin tinggi
pada setiap pertanyaan.
―Tidak. Dia tidak datang ke pernikahan,‖ kataku, menarik nafas.
Travis menghela nafas dan bergeser dengan gugup di atas kursinya,
meremas tanganku.
―Aku yang seharusnya melakukan itu, ingat?‖ aku berkata sambil
tersenyum padanya dalam kesakitan.
―Maaf. Kupikir aku tidak bisa menahannya,‖ kata Travis, suaranya
terdengar penuh dengan penderitaan. Dia melonggarkan
cengkeramannya lalu melihat ke arah Griffin. ―Cepatlah sedikit,‖
Griffin menggelengkan kepalanya. ―Penuh dengan tatoo, tapi tidak tahan
ketika melihat kekasihmu membuat tatoo berupa tulisan yang sederhana.
Aku akan selesai sebentar lagi, Mate.‖
Travis merengut. ―Istri. Dia istriku.‖
America menarik nafas saat pembicaraan itu terproses di pikirannya.
―Kau membuat sebuah tatoo? Ada apa denganmu, Abby? Apakah kau
menghirup asap beracun di kebakaran itu?‖
Aku melihat perutku, ke arah lumuran tinta hitam berantakan di atas
tulang pinggul bawahku kemudian tersenyum. ―Trav punya tatoo
namaku di pergelangan tangannya,‖ aku menarik nafas lagi ketika suara
berdengung berlanjut. Griffin mengelap kelebihan tinta dari kulitku dan
mulai lagi.
Aku berbicara sambil menutup rapat gigiku, ―Kami sudah menikah. Aku
ingin melakukannya juga.‖
Travis menggelengkan kepala. ―Kau tidak harus melakukannya.‖
Aku memicingkan mataku. ―Jangan mulai lagi. Kita sudah membahas
masalah ini.‖
America tertawa satu kali. ―Kau sudah gila. Aku akan memasukkanmu
ke rumah sakit jiwa saat kau pulang nanti.‖ Suaranya tetap terdengar
tajam dan jengkel.
―Itu bukan gila. Kami saling mencintai. Kami sudah seperti tinggal
bersama hampir sepanjang tahun. Jadi kenapa tidak?‖
―Karena kau baru sembilan belas tahun, idiot! Karena kau kabur dan
tidak memberitahu siapapun, dan karena aku tidak ada di sana!‖
teriaknya.
―Maafkan aku, Mare, aku harus pergi. Sampai bertemu besok, ok?‖
―Aku tidak tahu apa aku ingin bertemu denganmu besok! Aku rasa aku
tidak ingin bertemu Travis lagi selamanya!‖ Dia mencibir.
―Aku akan menemuimu besok, Mare. Kau pasti ingin melihat cincinku.‖
―Dan tatoomu,‖ kata America, terdengar ada sebuah senyuman dalam
suaranya.
Aku menutup telepon, menyerahkannya pada Travis. Suara berdengung
terdengar lagi, dan perhatianku fokus pada rasa seperti terbakar yang
diikuti perasaan lega yang manis saat Griffin mengelap sisa tinta. Travis
memasukan teleponku ke dalam sakunya, memegang tanganku dengan
kedua tangannya, bersandar mendekat ke arahku lalu menempelkan
dahinya di dahiku.
―Apakah kau merasa ketakutan seperti ini saat kau membuat tatoo mu?‖
aku bertanya padanya, tersenyum melihat ekspresi cemas di wajahnya.
Dia bergeser, terlihat seperti merasakan rasa sakitku seribu kali lebih
besar. ―Uh…tidak. Ini berbeda. Ini lebih, lebih parah.‖
―Selesai!‖ kata Griffin, suaranya sama leganya dengan ekspresi Travis.
Aku menjatuhkan kepalaku ke sandaran kursi. ―Terima kasih Tuhan!‖
―Terima kasih Tuhan!‖ Travis menghela nafas, menepuk tanganku.
Aku melihat ke bawah ke arah garis hitam indah di atas kulitku yang
merah:

Mrs. Maddox
―Wow,‖ kataku, mengangkat kedua sikuku untuk dapat melihat dengan
lebih baik.
Kerutan dahi Travis berubah menjadi senyum penuh kemenangan. ―Itu
sangat indah.‖
Griffin menggelengkan kepalanya. ―Jika aku mendapat satu dolar setiap
istri yang di bawa suami barunya kemari untuk di tatoo dan merasa lebih
takut dari istrinya…well. Aku tidak perlu mentatoo siapapun lagi
selamanya.‖
―Katakan saja berapa harus aku bayar, bodoh,‖ Travis menggerutu.
―Bonnya ada di meja kasir,‖ kata Griffin, merasa geli mendengar
jawaban Travis.
Aku melihat ke sekeliling ruangan lalu pandanganku tertuju pada krom
mengkilap dan poster contoh tatoo di tembok, lalu kembali melihat
perutku. Nama terakhir baruku bersinar dalam bentuk huruf hitam tebal.
Travis melihatku dengan bangga, lalu memandang ke bawah ke arah
cincin kawinnya yang terbuat dari titanium.
―Kita berhasil, Sayang,‖ dia berkata dengan suara berbisik. ―Aku masih
tidak percaya kau sekarang adalah istriku.‖
―Percayalah,‖ aku berkata sambil tersenyum.
Dia membantuku bangkit dari kursi dan aku berhati-hati dengan bagian
kanan tubuhku, menyadari semua gerakan yang aku lakukan membuat
celana jinsku bergesekan dengan kulitku yang lecet.
Travis mengeluarkan dompetnya, menandatangani bon dengan cepat
sebelum menuntun tanganku menuju taksi yang sudah menunggu di luar.
Handphoneku berbunyi lagi, dan ketika aku mengetahui bahwa itu
America, aku tidak mengangkatnya.
―Dia akan membuat kita merasa sangat bersalah karena ini, ya kan?‖
Travis berkata sambil mengernyit.
―Dia akan cemberut selama dua puluh empat jam setelah dia melihat
semua foto ini, tapi dia akan melupakannya.‖
Travis memberiku seringai nakal. ―Apakah kau yakin, Mrs. Maddox?‖
―Apakah kau akan pernah berhenti memanggilku seperti itu? Kau telah
mengatakannya ratusan kali sejak kita meninggalkan chapel.‖
Dia menggelengkan kepalanya saat dia menahan pintu taksi terbuka
untukku. ―Aku akan berhenti memanggilmu itu saat aku benar-benar
yakin kalau ini semua adalah nyata.‖
―Oh, ini memang nyata,‖ kataku, meluncur ke tengah tempat duduk
untuk memberi tempat untuk Travis. ―Aku punya kenangan tentang
malam pernikahan kita untuk membuktikannya.‖
Dia bersandar padaku, menelusuri kulit leherku yang sensitif hingga
telingaku dengan hidungnya.
―Aku yakin kita punya.‖
―Aw…,‖ aku meringis saat dia tidak sengaja menekan perbanku.
―Oh, sial, maafkan aku, Pidge.‖
―Kau dimaafkan,‖ aku tersenyum.
®LoveReads

Kami melaju menuju bandara sambil berpegangan tangan, dan aku


tertawa geli saat melihat Travis terus memandangi cincin kawinnya.
Matanya memancarkan perasaan yang damai dan sekarang aku sudah
terbiasa melihatnya.
―Saat kita tiba di apartemen, akhirnya aku akan tersadar, dan aku akan
berhenti menjadi orang yang menyebalkan.‖
―Janji?‖ aku tersenyum.
Dia mencium tanganku, lalu meletakkannya di atas pangkuannya sambil
tetap memegangnya.
―Tidak.‖
Aku tertawa, menyandarkan kepalaku di bahunya hingga taksi melaju
perlahan untuk berhenti di depan bandara. Handphoneku berbunyi lagi,
memperlihatkan nama America lagi.
―Dia tidak kenal lelah. Biar aku bicara dengannya,‖ kata Travis,
mengambil teleponku.
―Halo?‖ kata Travis, menunggu suara melengking America. Dia
tersenyum, ―Karena aku suaminya.
Aku boleh menjawab teleponnya sekarang.‖ Dia melirik ke arahku, lalu
mendorong pintu taksi terbuka, mengulurkan tangannya. ―Kami sedang
di bandara, America. Kenapa kau dan Shep tidak menjemput kami saja
dan kau bisa memarahi kami berdua dalam perjalanan ke rumah? Ya,
selama perjalanan ke rumah. Kami tiba sekitar jam tiga. Baiklah, Mare.
Sampai bertemu nanti.‖ Dia meringis karena kata-kata tajam America
lalu menyerahkan kembali teleponku padaku. ―Kau tidak bercanda. Dia
benar-benar kesal.‖
Dia membayar supir taksinya lalu mengangkat tas ke bahunya, menarik
pegangan tasku yang ada rodanya ke atas agar bisa menariknya. Tatoo di
tangannya meregang saat dia menarik tasku, tangannya yang bebas
meraih untuk memegang tanganku.
―Aku tidak percaya kau akan mengizinkan dia memarahi kita selama
satu jam penuh,‖ aku berkata sambil mengikutinya menuju pintu putar.
―Kau tidak benar-benar percaya aku akan membiarkannya memarahi
istriku, kan?‖
―Kau sangat menikmati itu.‖
―Aku pikir sudah waktunya aku mengakuinya. Aku tahu kau akan
menjadi istriku sesaat setelah aku melihatmu pertama kali. Aku tidak
akan berbohong dan berkata aku tidak menunggu hari di mana aku dapat
mengatakan itu…maka aku akan terus-menerus memanggilmu dengan
sebutan itu. Kau seharusnya sudah terbiasa dengan itu sekarang.‖ Dia
mengatakan hal itu seperti sedang berlatih pidato.
Aku tertawa, meremas tangannya. ―Aku tidak keberatan.‖
Dari sudut matanya dia melihat ke arahku. ―Kau tidak keberatan?‖ Aku
menggelengkan kepala dan dia menarikku lebih dekat ke sampingnya,
mencium pipiku. ―Bagus. Kau akan merasa muak pada hal itu dalam
beberapa bulan lagi, tapi maklumi aku ya?‖
Aku mengikutinya ke lorong, naik eskalator, dan mengantri di
keamanan. Saat Travis berjalan melewati metal detektor, alarm berbunyi
dengan keras. Ketika keamanan bandara meminta Travis untuk melepas
cincin kawinnya, wajahnya menjadi keras.
―Aku akan memeganginya, sir.‖ Kata petugas keamanan.. ―Hanya untuk
beberapa saat.‖
―Aku sudah berjanji pada istriku tidak akan melepaskannya,‖ Travis
berkata sambil menutup rapat giginya.
Petugas keamanan itu mengulurkan telapak tangannya, kerutan tipis
sabar dan perasaan geli terlihat di sekitar matanya.
Travis dengan berat hati melepas cincinnya, menaruhnya dengan kasar
di tangan petugas keamanan, lalu menghela nafas ketika dia berjalan
melewati metal detektor, kali ini tanpa membuat alarm menyala lagi.
Aku melewatinya tanpa ada insiden, menyerahkan cincinku juga pada
petugas keamanan. Ekspresi Travis masih tegang, namun saat kami
diperbolehkan masuk, bahunya sedikit santai.
―Tidak apa-apa, sayang. Itu sudah ada di jarimu lagi,‖ kataku, tertawa
geli karena reaksi Travis yang berlebihan.
Dia mencium keningku, menarikku ke sampingnya saat kami berjalan
menuju terminal. Ketika aku bertatapan dengan orang yang berpapasan
dengan kami, aku bertanya-tanya apakah terlihat jelas kalau kami adalah
pengantin baru, atau mereka hanya melihat seringai konyol di wajah
Travis, yang sangat kontras dengan rambutnya yang dicukur habis,
tangan bertatoo dan ototnya yang kekar.
Bandara bising dengan suara turis yang bersemangat, bunyi bip, dan
suara dering mesin slot, dan orang-orang berlalu-lalang ke semua arah.
Aku tersenyum pada pasangan muda yang sedang berpegangan tangan,
terlihat sesenang dan segugup aku dan Travis saat kami baru tiba. Aku
yakin mereka akan pulang dengan perasaan lega bercampur bingung
seperti yang kami rasakan, setelah menyelesaikan apa yang menjadi
tujuan kami datang kemari.
Di terminal, aku membolak-balik majalah, dan dengan lembut
menyentuh lutut Travis yang bergerak naik turun. Kakinya berhenti
bergerak dan aku tersenyum, kembali menatap gambar selebriti di
majalah. Dia gugup tentang sesuatu, tapi aku menunggunya
memberitahuku, mengetahui dia sedang mencoba mengatasinya sendiri.
Setelah beberapa menit, lututnya bergerak lagi, namun kali ini dia
berhenti sendiri, kemudian dengan perlahan merosot ke bawah di
kursinya.
―Pigeon?‖
―Ya?‖
Beberapa saat berlalu, lalu dia menghela nafas. ―Tidak apa-apa.‖
Waktu berlalu terlalu cepat, dan kami seperti baru saja duduk saat nomor
penerbangan kami terdengar. Satu barisan terbentuk, dan kami berdiri,
menunggu giliran kami untuk memperlihatkan tiket dan berjalan
menelusuri lorong menuju pesawat yang akan membawa kami pulang.
Travis ragu-ragu. ―Aku tidak bisa menghilangkan perasaan ini,‖ dia
berkata sambil berbisik.
―Apa maksudmu? Perasaan tidak enak?‖ aku bertanya, tiba-tiba menjadi
cemas.
Dia melihat ke arahku dengan perasaan khawatir di matanya, ―Aku
punya perasaan yang gila bahwa setelah kita tiba di rumah, aku akan
terbangun dari mimpi ini. Seolah ini semua tidak nyata.‖
Aku memeluk pinggangnya, membelai otot punggungnya. ―Apakah itu
yang membuatmu khawatir?‖
Dia menatap pergelangan tangannya, lalu melihat pada cincin berwarna
perak tebal di jari kirinya. ―Aku tidak bisa menghilangkan perasaan
bahwa gelembung ini akan meletus, dan aku akan terbaring di tempat
tidurku seorang diri, berharap kau ada di sana bersamaku.‖
―Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan padamu, Trav! Aku telah
mencampakkan seseorang untukmu—dua kali—aku telah pergi ke
Vegas bersamamu—dua kali—aku secara harfiah telah masuk neraka
dan kembali lagi, menikahimu dan menandai tubuhku dengan namamu.
Aku kehabisan ide untuk membuktikan bahwa aku adalah milikmu.‖
Sebuah senyuman terukir di wajahnya. ―Aku sangat suka ketika kau
mengatakan itu.‖
―Bahwa aku milikmu?‖ tanyaku. Aku berjinjit lalu mencium bibirnya.
―Aku. Adalah. Milikmu. Mrs. Maddox, selalu dan selamanya.‖
Senyuman kecil di wajahnya menghilang saat dia melihat boarding gate
lalu melihat ke arahku. ―Aku pasti akan mengacaukannya, Pigeon. Kau
akan muak dengan kelakuanku.‖
Aku tertawa. ―Aku muak sama kelakuanmu saat ini. Tapi kita masih
tetap bersama.‖
―Aku pikir setelah kita menikah, aku akan merasa lebih yakin tidak akan
pernah kehilanganmu. Tapi aku merasa kalau kita naik ke dalam pesawat
ini…‖
―Travis? Aku mencintaimu. Ayo kita pulang.‖
Alisnya mengernyit. ―Kau tidak akan meninggalkanku, kan? Meskipun
aku menyebalkan?‖
―Aku sudah bersumpah di hadapan Tuhan…dan Elvis…bahwa aku tidak
akan meninggalkanmu, kan?‖
Dia sudah tidak terlalu cemberut. ―Ini untuk selamanya?‖
Satu ujung bibirku terangkat ke atas. ―Apakah kau akan merasa lebih
baik kalau kita taruhan?‖
Penumpang lain mulai melewati kami, namun dengan perlahan,
memperhatikan dan mendengarkan pembicaraan konyol kami. Seperti
beberapa waktu lalu, aku mendelik menyadari tatapan mata orang lain,
namun kali ini berbeda. Satu-satunya yang aku pikirkan adalah
bagaimana caranya mengembalikan kedamaian di mata Travis.
―Suami macam apa aku jika bertaruh melawan pernikahannya sendiri?‖
Aku tersenyum. ―Suami yang bodoh. Apakah kau tidak mendengarkan
ayahmu saat dia bilang padamu untuk tidak bertaruh melawanku?‖
Dia mengangkat satu alisnya. ―Jadi kau seyakin itu, hah? Kau akan
bertaruh untuk itu?‖
Aku memeluk lehernya dan tersenyum sambil mencium bibirnya. ―Aku
bertaruh demi kelahiran pertamaku. Seyakin itulah aku.‖
Lalu kedamaian kembali.
―Kau tidak mungkin seyakin itu,‖ kata Travis, rasa cemasnya hilang dari
suaranya.
―Aku mengangkat satu alisku, sambil menyeringai. ―Mau taruhan?‖
-END-

eBook by

Ratu-buku.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai