Anda di halaman 1dari 28

34

BAB III

ENSAMBEL GENDANG MASYARAKAT KARO

3.1 Musik Gendang Karo

Dalam praktek kehidupan, suku Karo selalu memasukkan unsur


musik sebagai bagian dari kehidupan agraris itu sendiri, misalnya
nyanyian dalam memanggil angin ketika “Ngangin page” yaitu
memisahkan padi dari sisa batang ketika panen padi “Ngeria” yaitu,
proses untuk mendapatkan air manis atau Nira dari pohon (enau atau
aren) dan aktifitas lainnya.

Selain kegiatan tersebut, dalam upacara adat musik adalah unsur


yang memiliki peranan penting dalam suku Karo. Seperti dalam upacara
pesta adat pernikahan maupun kematian, musik dan tarian adalah dua
unsur yang sangat dominan dalam kegiatan adat. Dalam aktivitas budaya
Karo, tarian adalah sarana untuk mengekspresikan sebuah kondisi yang
bersifat sukacita atau suasana dukacita. Dalam perayaan-perayaan
upacara tersebut akan selalu terlihat unsur tari dan musik yang
ditampilkan dalam acara tersebut.

Membahas musik Karo dalam tulisan ini, penulis terlebih dahulu


akan membagi dalam dua kelompok, musik Tadisi Karo dan musik
Populer Karo (modern). Musik tradisi adalah ensambel musik yang
menggunakan seperangkat alat musik tradisi yang terdiri dari Gendang
Indung dan Anak, Gong besar, Gong kecil (penganak), satu buah Sarune,
dan satu buah Kulcapi (Lute Kordofon). Ensambel ini disebut “Gendang
Lima Sedalanen”.
35

3.2 Gendang Lima Sedalanen

Secara terminologi Karo, ensambel ini disebut “Gendang Telu


Sedalanen Lima Sada Perarih”, ada yang menyebut Gendang “Sarune”.
Ensambel musik ini merupakan ensambel yang memiliki peranan penting
dalam setiap kegiatan upacara yang kontekstual dalam masyarakat Karo.
Pengertian gendang memiliki multi makna, seperti dapat diartikan alat
musik, musik itu sendiri, dan dapat berarti lagu (nyanyian). Dengan
demikian gendang Lima sedalanen mengandung pengertian lima buah
alat musik, yaitu; Sarune, gendang Singanaki, gendang Singindungi,
Penganak, dan Gung.

Masing-masing alat musik ini dimainkan seorang pemain, dengan


sebutan masing-masing pemain sesuai dengan nama alat musik yang
dimainkan, seperti; 1. Panarune untuk pemain Sarune, Penggual untuk
pemain gendang Singanaki, dan Singindungi. Terkadang ada juga
sebutan khusus untuk pemain gendang misalnya; Penggual Singanaki
dan Singindungi. Adakalanya istilah penggual disebut dengan istilah
“Simalu Penganak”, dan “Singindungi”. Pemain Gung disebut “Simalu
Gung”. Pada saat ini, alat musik “Penganak” dan Gung dimainkan oleh
satu orang pemain.

Dalam upacara adat Karo, para pemusik memiliki sebutan khusus


lagi, yaitu; “Si Erjabaten”, yang diartikan secara harfiah yaitu kelompok
yang memiliki “Jabatan”. Disatu sisi sebutan Penggual dan Panarune,
adalah gelar atau sebutan yang sudah melekat kepada pemusik tradisi
Karo, sepanjang mereka masih terus beraktivitas sebagai pemusik.
Sebutan “Si Erjabaten” hanya dipakai dalam konteks upacara adat Karo.
Selanjutnya penulis akan menjelaskan masing-masing alat musik yang
digunakan dalam ensambel Gendang Lima Sedalanen.
36

3.2.1. Sarune

Sarune adalah alat musik tiup yang memiliki lidah ganda (double
reed Aerophone), secara fisik bentuk alat musik sarune disebut konis,
memiliki ukuran panjang lebih kurang 30 cm. Memiliki lima lubang jari, dan
terdiri dari beberapa bagian yaitu; “Anak-anak Sarune”, Tongkeh,
Ampang-ampang, Batang sarune, dan Gundal. Pengertian dari masing-
masing bagian yaitu: “Anak-anak Sarune adalah (reeds) yang terbuat
terbuat dari dua helai (lapis) daun kelapa yang sudah kering. Daun kelapa
diikat pada katir (sejenis pipa kecil yang terbuat dari perak).

Tongkeh terbuat dari timah seperti pipa kecil untuk penghubung


anak-anak sarune dengan batang sarune. Sedangkan “Ampang-ampang”
adalah lempengan yang berbentuk bundar dari kulit binatang “Baning”
(Trenggiling) dipasang dibagian tengah tongkeh. Ampang-ampang
berfungsi untuk penahan bibir pada saat dimainkan. Batang (tabung)
sarune terbuat dari sejenis kayu yang disebut “Selantam” dalam bahasa
Karo.

Pada bagian batang terdapat lobang jari sebanyak delapan buah.


“Gundal” adalah kayu yang disambung pada bagian ujung batang sarune,
fungsinya untuk membantu memperbesar suara yang dikeluarkan, atau
istilah pemusik Karo disebut “Corong”. Secara lebih jelas bentuk alat
musik “Sarune” Karo dapat dilihat seperti contoh gambar di bawah ini.

Gambar : 3.1 Sarune

Sumber : www.karosiadi.com
37

3.2.2 Gendang Singindungi dan Singanaki

Alat musik Gendang Singindungi adalah alat musik Membranofon


(double head conical drums) yaitu alat musik perkusi yang dimainkan
dengan cara dipukul menggunakan dua buah stick. Bahan baku Gendang
terbuat dari kayu nangka. Diameter lingkar bagian atas 5 cm, dan
diameter lingkar bagian bawah 4 cm, dan memiliki ukuran panjang kurang
lebih 44 cm. Kedua sisi lubang ditutup biasanya dengan menggunakan
kulit binatang sejenis kucing hutan (harimau akar).

Gendang Singindungi dapat menghasikan karakter bunyi yang


berbeda pada saat dimainkan, sedangkan gendang Singanaki tidak dapat.
Dalam teknik memainkan masing-masing gendang menggunakan dua
pemukul (stick). Yang berukuran sepanjang sepanjang 14 cm. Untuk lebih
jelas secara visual dapat dilihat seperti gambar di bawah ini.

Gambar : 3.2 Gendang Singindungi

Sumber : www.karosiadi.com
38

Gambar : 3.3 Gendang Singanaki

Sumber : www.karosiadi.com

3.2.3 Gung Dan Penganak

Alat musik Gung dan Penganak adalah jenis jenis alat musik
suspended idiophone/gong berpencu yang memiliki persamaan secara
bentuk, seperti gong pada umumnya yang terdapat dalam kebudayaan
musik nusantara. Perbedaan Penganak dan Gung, yang terlihat secara
jelas adalah lingkar diameternya. Gung memiliki ukuran lingkar diameter
68,5 cm, sedangkan Penganak memiliki ukuran lingkar diameter 16 cm.
Bahan baku sama-sama terbuat dari kuningan, Palu-palu (stick
pemukulnya) terbuat dari kayu yang biasanya dibungkus dengan benda
lunak, seperti karet atau kulit. Untuk lebih jelas secara bentuk dari kedua
alat musik dimaksud, dapat dilihat seperti gambar di bawah ini.

Gambar : 3.4 Penganak dan Palu-Palu

Sumber : www.karosiadi.com
39

Gambar : 3.5 Gung dan Palu-Palu

Sumber : www.karosiadi.com

3.2.4 Fungsi instrumen dalam Ensambel

Dalam tradisi budaya masyarakat Karo, ensambel Gendang


Lima Sendalanen salah-satu yang memiliki peranan penting dalam
upacara adat. Secara ensambel musik, biasanya komposisi alat musik
yang digunakan terdiri dari lima alat musik, dimana masing-masing alat
musik memiliki karakter bunyi yang spesifik dan khas, demikian juga
dengan teknik dalam memainkan. Seperti; alat musik Sarune dimainkan
dengan cara meniup, alat musik ini berperan sebagai pembawa melodi
lagu.

Gambar : 3.6 Panarune Sedang Memainkan Sarune

Sumber : www.karosiadi.com
40

Cara memainkan gendang Singanaki dan gendang Singindungi


dimainkan dengan cara memukul pada bagian “Babah” gendang (head
membrane) atau permukaan kulitnya, dengan menggunakan dua buah
stick pemukul (palu-palu gendang). Gendang Singanaki memainkan pola
ritem yang berulang-ulang (repetitif), sedangkan gendang Singindungi
hanya memainkan pola ritem yang variabel, berbeda dengan pola ritem
yang dimainkan gendang singanaki.

Gambar : 3.7 Penggual Singanaki

Sumber : www.karosiadi.com

Gambar : 3.8 Penggual Singindungi

Sumber : www.karosiadi.com
41

Penganak dan Gung dimainkan dengan cara memukul pada


bagian pencu dari alat musik Penganak demikian juga dengan alat musik
Gung, dengan menggunakan satu alat pemukul mengikuti siklus melodi
lagu yang dimainkan.

Gambar : 3.9 Simalu Gung Sedang Memainkan Penganak Dan Gung

Sumber : www.karosiadi.com

3.2.5 Bentuk Pertunjukan Gendang Lima Sendalanen

Secara umum ensambel Gendang Lima Sedalanen dalam


pertunjukannya posisi duduk di lantai (lesehan). Posisi duduk biasanya
untuk pemain Penarune dan Penggual, dan merupakan bentuk posisi
baku dalam pertunjukan musik tradisi Karo, hal ini sangat berkaitan
dengan dua hal, yaitu :

• Seorang pemain alat musik Sarune Karo untuk menghasilkan nada-nada


tertentu, sipemain Sarune harus menutup bagian ujung Sarune-nya
dalam istilah pemusik Karo disebut (tonggum) Dimana sipenarune
menutup bagian ujung alat musiknya ke bagian betis kakinya sendiri, hal
ini untuk mengubah warna bunyi yang dimainkan.
42

• Sedangkan penggual selalu mengaitkan alat musik gendang Singanaki


atau gendang Singindungi, diselipkan diantara kedua kakinya dengan
posisi duduk bersila, sehingga posisi alat musik gendang berada dalam
posisi diagonal, dengan mengarah ke sebelah kanan penggual.

• Simalu Gung dan Penganak dalam posisi duduk menghadapi kedua alat
musiknya, bisanya dengan posisi digantung dengan menggunakan stand
kayu dengan dua buah kaki penyanggah seperti di bawah ini.

Gambar : 3.10 Posisi pemain musik Gendang Lima Sendalanen dalam pertunjukan adat

Sumber : www.karosiadi.com

3.3 Ensambel Gendang Telu Sedalanen

Secara harfiah pengertian “Gendang Telu Sedalanen” memiliki


pengertian tiga alat musik yang dimainkan secara bersama-sama (sama
dengan pengertian Gendang Lima Sedalanen). Ketiga alat musik yang
biasa digunakan dalam ensambel Telu Sedalanen, adalah terdidri dari alat
musik Kulcapi, Balobat, Keteng-keteng, dan ditambah sebuah mangkok
(cawan). Dalam ensambel ini ada dua alat musik yang berfungsi sebagai
pembawa melodi, yaitu: Kulcapi dan Balobat. Penggunaan Kulcapi dan
Balobat dalam memainkan melodi dilihat secara kontekstual upacara
yang dilaksanakan. Alat musik Keteng-keteng dan mangkok adalah alat
43

musik pengiring yang berfungsi sebagai ketukan, dengan permainan pola


ritem yang konstan (sebagai penjaga tempo).

Jika alat musik Kulcapi sebagai pembawa melodi, Keteng-keteng,


mangkok tetap berfungsi sebagai alat pengiring tempo dalam permainan
gendang Telu Sedalanen, oleh sebab itu istilah Gendang Telu Sedalanen
disebut juga seabagai “Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi”, dan jika
alat musik Balobat sebagai pembawa melodi, maka istilahnya menjadi
ensambel Gendang Balobat.

Gambar : 3.11 Gendang Telu

Sumber : www.karosiadi.com

Gambar : 3.12 Gendang Balobat

Sumber : www.karosaidi.com
44

3.3.1 Alat musik Kulcapi

Kulcapi adalah alat musik petik jenis Lute yang memiliki dua buah
senar (Two-Strenged fretted-necked Lute). Pada awalnya, alat musik ini
senarnya terbuat serat pohon aren (enau). Seiring perkembangan jaman,
Kulcapi Karo saat ini sudah menggunakan senar yang terbuat dari bahan
metal. Langkup Kulcapi bagian depan resonator (Langkup Kulcapi) tidak
diberi lubang resonator, namun terletak dibagian belakang Kulcapi.

Lobang resonator (babah) Kulcapi Karo juga berfungsi sebagai


pengubah warna bunyi (efek bunyi), sama seperti dalam permainan alat
musik Sarune dengan teknik Tonggum, yakni; suatu teknik permainan
Kulcapi dengan cara mendekapkan bagian babah Kulcapi ke badan
sipemain, maka efek bunyi yang dihasilkan menyerupai efek “Echo” (suara
yang terkesan bergelombang (bergema).

3.3.2 Alat musik Balobat

Balobat adalah alat musik Aerofone yang terbuat dari bambu (Block
flute). Alat musik menyerupai recorder. Balobat memiliki enam buah
lobang nada. Secara fungsi dalam ensambel gendang “Telu Sedalanen”,
tidak terlalu penting, karena dalam ensambel Gendang Telu Sedalanen
Kulcapi sebagai alat pembawa melodi utama.

3.3.3 Alat musik Keteng-Keteng

Keteng-keteng merupakan alat musik yang terbuat dari bambu.


Bunyi Keteng-keteng dihasilkan dari dua buah “senar” dari badan kulit
bambu itu sendiri, secara organologi disebut; Bamboo Idiochord. Pada
bagian ujung ruas bambu terdapat lubang resonator, biasanya pada
45

salah-satu sernar ditempel lempengan bambu dengan cara menyelipkan


yang berfungsi sebagai bunyi “Gung”.

Permainan alat musik “Keteng-keteng” adalah bentuk permainan


ensambel musik yang menyerupai permainan dalam ensambel Gendang
Lima Sendalanen, (kecuali alat musik sarune) karena permainan pola
ritem yang dimainkan oleh Gendang Singanaki, Singindungi, Penganak
dan Gung sudah digabung dalam permainan alat musik Keteng-keteng.

3.3.4 Media Mangkok Sebagai Alat Musik

Mangkok dalam hal ini bukan termasuk kategori alat musik, namun
dipakai sebagai media yang berfungsi sebagai alat musik pembawa ritmis
konstan. Ketika mangkok digunakan sebagai alat musik biasanya diisi air,
untuk menghasilkan bunyi yang lebih nyaring.

3.4 Bentuk Pertunjukan Gendang Telu Sedalanen

Secara umum pertunjukan ensambel Gendang Telu Sedalanen


disajikan dalam posisi duduk, dimana pemain Kulcapi dengan posisi
duduk memangku alat musik dan memainkan alat musik Kulcapi dengan
alat pemetik yang disebut “Kuis-kuis” (plectrum) yang terbuat dari kayu
atau tanduk binatang. Alat musik Kulcapi berfugsi memainkan melodi,
dan Keteng-keteng dimainkan sebagai pengiring dan mangkok atau
cawan sebagai pengontrol ritme permainan.
46

3.5 Fungsi Musik Dalam Kehidupan Masyarakat Karo

Dengan perkembangan teknologi dan kemajuan pola pikir manusia


secara global, hal tersebut membawa pengaruh perubahan baik secara
langsung atau tidak terhadap fungsi dan keberadaan budaya musik
masyarakat Karo. Musik sebagai media ekspresi untuk mewujudkan
sebuah karya dalam sebuah komposisi, bentuk inovasi yang dilakukan
secara sadar dan didukung dengan kemampuan serta media dalam
menghasilkan karya, adalah sebuah tuntutan logis secara pendekatan dan
pemahaman akademis, Namun sebuah budaya tradisi yang memiliki nilai-
nilai luhur dalam sebuah masyarakat akan mengalami perubahan dan
pergeseran nilai dengan sebuah tujuan kemajuan atau mengikuti sebuah
perkembangan.

Beragamnya fungsi musik tradisi daerah dalam setiap aspek


kehidupan sosial suatu bangsa, baik secara sadar atau tidak telah
mengalami perubahan secara nilai dan makna yang seharusnya perlu
untuk disikapi secara bijak agar tidak tergerus oleh tujuan komersil.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk melawan arus kemajuan dan
perkembangan yang sedang berlangsung secara terus menerus, namun
setidaknya dapat memberikan sebuah pemahaman sikap, bagaimana kita
menerima dan menempatkan seni tradisi yang sudah menjadi identitas
masyarakat dan bangsa, sehingga musik daerah dapat dilestarikan untuk
menjaga rasa kebersamaan nasional.

Fungsi musik sendiri pada masyarakat Karo tidak berbeda dengan


suku lainnya yang ada di berbagai daerah nusantara, karena tiap-tiap
suku pasti memiliki musik tradisi mereka sendiri, yang di gunakan sesuai
menurut fungsi dan penggunaannya, fungsi musik tradisi itu sendiri ialah
sebagai :
47

1. Sarana Upacara

Musik di berbagai daerah Nusantara berkaitan erat dengan


upacara-upacara adat seperti upacara kematian, perkawinan, kelahiran,
serta upacara keagamaan dan kenegaraan. Bunyi-bunyian dan nada-nada
yang dihasilkan sangat mendukung upacara tersebut. Bunyi yang
dihasilkan oleh instrumen atau alat tertentu diyakini memiliki kekuatan
magis sehingga instrumen alat musik tersebut digunakan sebagai sarana
kegiatan adat masyarakat. Musik sebagai media untuk mendukung
kegiatan upacara.

2. Sarana Pertunjukan

Musik dan tarian masing-masing mempunyai pola dan ritme yang


saling berhubungan. Di berbagai daerah di Indonesia, bunyi-bunyian atau
musik diciptakan oleh masyarakat untuk mengiringi tarian- tarian daerah.
Oleh sebab itu, kebanyakan tarian daerah di Indonesia hanya bisa diiringi
oleh musik daerahnya sendiri. Irama musik dapat berpengaruh pada
perasaan seseorang untuk melakukan gerakan-gerakan indah dalam tari.

3. Media Komunikasi

Di beberapa tempat di Indonesia, bunyi-bunyi tertentu memiliki arti


tertentu bagi anggota kelompok masyarakatnya. Umumnya, bunyi-bunyian
itu memiliki pola ritme tertentu, dan menjadi tanda bagi anggota
masyarakatnya atas suatu peristiwa atau kegiatan. Alat yang umum
digunakan dalam masyarakat Indonesia adalah kentongan, bedug di
masjid, dan lonceng di gereja. Musik sejak dulu telah difungsikan manusia
sebagai media komunikasi, misalnya seperti berikut : Di suatu daerah jika
orang mendengar bunyi kentongan yang dipukul beberapa kali itu
48

merupakan pertanda adanya suatu kejadian, yang berguna untuk


memberitahukan pada penduduk.

4. Media Pendidikan dan Penerangan

Musik memiliki peranan penting dalam kegiatan pendidikan dan


penerangan. Dalam hal ini musik digunakan untuk menyampaikan norma-
norma atau aturan yang berlaku di masyarakat. Penerangan yang
dimaksud disini adalah penerangan dalam memahami peraturan maupun
anjuran dari pemerintah. Musik sebagai media pendidikan dan
penerangan sering kita temukan pada berikut : Lagu-lagu dalam iklan
layanan masyarakat, Musik dan lagu yang bernafaskan agama, sebagai
penerang kehidupan, Musik sebagai wahana pemahaman penerapan dan
pensosialisasian nilai-nilai religius, nilai estetis dan nilai sosial
kemasyarakatan.

5. Media Hiburan

Musik merupakan salah satu cara untuk menghilangkan kejenuhan


akibat rutinitas sehari-hari, serta sebagai sarana rekreasi dan ajang
pertemuan dengan warga lainnya. Jika ada pertunjukan musik di daerah
mereka, mereka akan berbondong-bondong mendatangi tempat
pertunjukan untuk menonton. Musik sebagai media hiburan dapat
ditemukan dalam musik berikut : Pelepas lelah, Sajian permainan, seperti
dalam mendukung kegiatan anak-anak, Mencari kesenangan lahir batin.

6. Komoditi dan Media Ekspresi

Bagi para musisi professional, musik merupakan sarana


penghidupan ekonomi mereka. Mereka dihargai lewat karya (lagu) yang
49

mereka buat dan yang mereka mainkan. Semakin bagus dan semakin
populernya suatu karya seni musik maka akan semakin tinggi
penghargaan yang diberikan baik penghargaan dalam bentuk materiil
maupun moral.

Bagi para seniman musik, musik merupakan media untuk


mengekspresikan diri mereka. Melalui musik, mereka mengaktualisasikan
potensi dirinya. Melalui musik pula, mereka mengungkapkan perasaan,
pikiran, gagasan, dan cita-cita tentang diri, masyarakat, Tuhan, dan dunia.
Musik sebagai komoditi dan media ekspresi diberlakukan pada saat
seperti : Ajang bisnis, Mengekspresikan/mengungkapkan perasaan, ide
dan gagasannya melalui media seni musik baik musik vokal instrument
atau pun campuran, Berkreasi, berolah musik.

Fungsi-fungsi musik yang disebutkan di atas juga dipakai dalam


masyarakat Karo. Seniman-seniman Karo yang ada di perkotaan
menjadikan musik sebagai salah satu mata pencaharian, terkhusus pada
upacara-upacara adat Karo yang membutuhkan pemain musik yang
paham dengan musik-musik tradisi Karo. Masyarakat Karo juga
menjadikan musik sebagai media hiburan yang bisa menemani di saat
aktivitas dan dimanapun berada.

Upacara-upacara adat yang ada dalam suku karo juga tidak lepas
dari unsur musik sebagai pengiringnya. Musik mempunyai peranan
penting dalam upacara-upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat Karo
dimanapun berada. Sebuah upacara adat yang di laksanakan tidak akan
berjalan dan sempurna tanpa pemain musik di dalamnya.

Sierjabaten begitulah sebutan Orang Karo kepada pemain musik


tradisional-nya, dimana mereka (Sierjabaten atau penggual) berfungsi
sebagai pengiring musik upacara adat Suku Karo, baik itu pernikahan,
pesta panen, kemalangan atau lainnya. Jadi dari hal tersebut maka
sebenarnya profesi ini bisa dibilang sudah cukup lama sekali ada dalam
50

perkembangan dan perjalanan hidup Suku Karo. Mengenai kepastian


mulai kapan julukan atau penamaan ini mulai dikenal dan di populerkan
penulis kurang tau pasti , yang jelas profesi ini berkaitan sekali dengan
kesenian tradisional Suku Karo. Jadi menurut penulis, mereka mulai
dikenal ketika masyarakat Karo menyadari kebutuhan akan hiburan dalam
setiap acara adat mereka.

Pada kenyataanya peran mereka sangatlah vital dalam setiap


acara pesta adat, sebab tanpa mereka sebuah acara adat tidak lengkap
dan sempurna, mereka adalah sekumpulan penghibur juga bisa dibilang
irama, nyawa dan tolak ukur kemeriahan sebuah acara adat. Semakin
hebat keahlian mereka dalam bermain musik maka makin tinggi pula
pamor mereka (Sierjabaten) dimata masayarakat Karo.

Demikian kaya dan unik dengan beragam istilah yang ada pada
masyarakat Karo, sehingga kata gendang bisa mempunyai arti
bermacam-macam. Berikut yang dapat diuraikan, ketika kata gendang
terdengar dan mereka sebutkan, merupakan :

1. Judul satu komposisi, misalnya gendang simalungen rayat, gendang


simalungen timur, gendang patam patam.

2. Ensambel, misalnya gendang lima sedalanen, gendang telu sedalanen.

3. Upacara yang disertai dengan musik tradisional, misalnya gendang


cawir metua, gendang Guro-guro aron

4. Repertoar (satu repertoar terdiri dari beberapa judul komposisilagu),


misalnya, “gendang lima puluh kurang dua”. Gendang lima puluh kurang
dua terdiri dari 48 (empat puluh delapan) judul gendang (komposisi).

5. Nama alat musik (instrumen) tradisional Karo secara khusus yaitu


gendang singanak dan gendang singindungi.
51

6. Repertoar dan sekaligus menjelaskan jenis upacara tertentu,yaitu


gendang erpangir ku lau. Erpangir ku lau adalah satu ritual kepercayaan
pada masyarakat Karo yang memiliki beberapa tujuan tertentu. Jika
disebutkan gendang erpangir kulau maka terdapat beberapa judul
komposisi (repertoar) yang harus dimainkan, yaitu:perang alep empat kah,
gendang peselukken, gendang pengindon guru, gendang adot, gendang
pendungi dan gendang adat . Dengan mengatakan gendang erpangir ku
lau telah menjelaskan dua hal yaitu repertoar tertentu serta jenis upacara
tertentu pula.

7. Satu bagian (sesi) dari sebuah upacara adat yang disertai gendang lima
sedalanen, misalnya gendang serayaan, gendang manganak karo.
Gendang serayaan merupakan suatu bagian dari upacara perkawinan
yang disertai dengan musik tradisional Karo.

Gendang Lima sendalanen biasa di mainkan dalam upacara


perkawinan ataupun kematian, namun karena kehadiran alat musik
keyboard dalam suku Karo, posisi gendang sindalanen bergeser. Hal ini
bisa dilihat pada setiap upacara apakah itu perkawinan ataupun kematian
semuanya sudah memakai keyboard, yang pada akhirnya mengaburkan
ciri antara upacara tersebut. Dan yang terjadi adalah begitu sulitnya
membedakan antara upacara kematian dan upacara perkawinan, karena
kedua upacara tersebut memakai alat musik yang sama yaitu keyboard.

3.6 Gendang Lima Sedalanen Dalam Upacara Adat Karo

Gendang lima sedalanen memiliki keterkaitan atau hubungan yang


penting dengan aktivitas masyarakat pendukungnya. Hubungan gendang
lima sedalanen dengan aktivitas masyarakat pendukungnya disebut
penting karena hampir semua kegiatan gendang lima sedalanen sangat
berhubungan dengan upacara adat pada masyarakat pendukungnya.,
demikian pula sebaliknya, berbagai aktivitas masyarakat Karo biasanya
52

melibatkan gendang lima sedalanen dalam pelaksanaan upacaranya.


Namun, perlu pula ditegaskan bahwa tidak setiap upacara atau
seremonial pada masyarakat Karo wajib menyertakan musik tradisional,
karena kehadiran gendang lima sedalanen dalam beberapa upacara
tradisional memiliki keterkaitan dengan tingkat dan bentuk suatu upacara
yang mengharuskan kehadiran gendang lima sedalanen. Upacara adat
dalam tingkat yang sederhana biasanya tidak menyertakan musik
tradisional, sebaliknya upacara yang besar dan melibatkan banyak
peserta biasanya mengharuskan kehadiran gendang lima sedalanen.

Gendang lima sedalanen, salah satu ensambel dalam ritual


gendang kematian. Didalamnya terdiri dari berbagai unsur (peristiwa)
yang merupakan satu kesatuan. Gendang kematian dalam hal ini terdiri
dari lima unsur (peristiwa) yang merupakan satu kesatuan yaitu: (1)
Gendang lima sedalanen (musik), (2) landek (tari), (3) ngerana (petuah),
(4) ngandung (tangisan), (5) rende (nyanyian/senandung). Salah satu
peranan gendang lima sedalanen sebagai iringan musik dan tari dalam
upacara kematian adalah “perekat” dari semua unsur upacara. Gendang
lima sedalanen digunakan sepanjang prosesi kematian, yang
mengandung berbagai pesan dan harapan bagi keluarga dan bagi orang
yang sudah meninggal dunia.

Secara simbolis Gendang lima sedalanen merepresentasikan


spiritualitas kehidupan masyarakat Karo melalui berbagai unsur-unsurnya,
seperti instrumen yang digunakan, para pemain termasuk juga prosesi
ritualnya. Gendang lima sedalanen bagi masyarakat Karo, merupakan
prosesi ritual yang berkaitan dengan sistem kepercayaan. Oleh karena itu
segala unsur gendang lima sedalanen dalam gendang kematian pada
masyarakat Karo mengandung simbol-simbol dan makna simbolik. Di
dalamnya juga mengandung berbagai pesan dan mitos yang disampaikan
secara lisan yang telah berlangsung berabad-abad.
53

3.7.3 Gendang Lima Sedalanen Dalam Kerja Nurun-Nurun

Nurun-nurun adalah ritual penguburan jenazah pada masyarakat


Karo. Setiap orang Karo yang meninggal dunia, tidak langsung
dikuburkan, tetapi akan dilakukan suatu upacara penguburan jenazah
yang dikenal dengan istilah nurun-nurun.

Upacara nurun-nurun yang disertai dengan gendang lima


sedalanen terdiri dari 3 (tiga) tingkatan atau kategori yaitu gendang
mentas, erkata gendang, dan nangkih gendang. Gendang mentas
merupakan ritual penguburan jenazah paling sederhana, yakni gendang
lima sedalanen hanya ditampilkan pada acara gendang adat di tempat
upacara. Ketika mengantarkan jenazah ke penguburan, gendang lima
sedalanen tidak lagi diikutsertakan. Erkata gendang, tidak jauh
perbedaannya dengan gendang mentas, hanya pada saat mengantarkan
jenazah serta proses penguburannya, gendang lima sedalanen masih
disertakan. Nangkih gendang merupakan penyertaan gendang lima
sedalanen lebih lama yakni dimulai pada malam hari dan disambung
keesokan harinya seperti erkata gendang. Gendang mentas dan erkata
gendang boleh ditampilkan dalam setiap penguburan jenazah orang Karo,
sedangkan nangkih gendang, secara adat hanya dilakukan dalam upacara
penguburan jenazah orang-orang Karo tertentu saja yaitu: cawir metua
(kematian orang yang telah berusia lanjut, atau semua anaknya telah
berumah tangga), pande rumah adat (orang yang ahli membangun rumah
adat Karo), dan guru mbelin (dukun terkenal).

Pada saat sekarang ini hanya ritual cawir metua yang masih
dilaksanakan dengan menyertakan gendang lima sedalanen. Pelaksanaan
musiknya juga lebih banyak hanya menampilkan gendang adat. Pada hal
gendang cawir metua secara adat memiliki beberapa komposisi serta
acara khusus selain gendang adat pada umumnya. Gendang cawir metua
54

dimulai pada waktu malam hari (setelah makan malam), yaitu gendang
lima sedalanen memainkan komposisi Perang-perang empat kali diulang-
ulang tanpa ada yang landek. Kemudian dilanjutkan dengan gendang adat
(perang-perang dan simalungen rayat sebanyak lima kali. Yang menari
adalah: sukut, senina, anak beru, senina sipemeren dan senina
siparinanen, dan kalimbubu. Pada gendang adat ini tidak ada yang
ngerana, namun hanya landek. Setiap kelompok kekerabatan yang
landek, secara pelan-pelan akan bergerak mendekati jenazah.

Setelah selesai gendang adat, acara kemudian diserahkan kepada


anak beru beserta singuda-nguda anak perana (pemuda dan pemudi).
Acara ini hanyalah acara hiburan bagi anak beru dan muda-mudi yang
bekerja di dapur agar tidak mengantuk. Kalau ada perende-ende (orang
yang pintar menyanyi) di desa itu, dia akan dipanggil untuk menyanyi
sambil menari. Biasanya keluarga yang berkemalangan juga ikut
menonton dalam beberapa penampilan. Di sini mungkin timbul suatu
pertanyaan bahwa mengapa justru timbul acara yang bersifat “hiburan” di
dalam upacara kemalangan. Menurut orang-orang tua, upacara cawir
metua adalah juga merupakan upacara kegembiraan karena orang
diupacarakan meninggal dalam usia yang lanjut dan semua anak-anaknya
telah dewasa.

Esoknya, setelah semua keluarga selesai ngukati (sarapan pagi),


upacara dimulai dari rumah tempat jenazah itu. Gendang lima sedalanen
mulai memainkan komposisi gendang pengangkat. Gendang pengangkat
mengandung pengertian sebagai komposisi untuk membawa jenazah dari
rumah menuju ke jambur, tempat upacara. Yang membawa jenazah
adalah anak beru yang diikuti oleh sukut, dan di belakang mereka
sierjabaten memainkan gendang lima sedalanen sambil berdiri/berjalan.
Sesampainya di jambur, gendang lima sedalanen berhenti sejenak, anak
beru mengatur tempat duduk seluruh pendukung upacara termasuk
tempat duduk sierjabaten.
55

Setelah semua kekerabatan lengkap berkumpul di jambur,


dimulailah acara dengan menampilkan “semacam hiburan” lagi, yakni
anak beru singerana memanggil cucu-cucu laki-laki dari yang meninggal
tersebut untuk disuruh menari bersama impal-nya. Cucu-cucu yang
menari tidak dibatasi umurnya, tidak hanya cucu yang telah anak perana
(perjaka) namun jika belum ada, cucu yang masih dalam usia sekolah
dasar juga disuruh. Komposisi yang ditampilkan juga biasanya terdiri dari
beberapa judul, diawali dengan gendang odak-odak. Jika ada cucu atau
pasangannya yang menyanyi, maka sukut dan beberapa kerabat lainnya
akan memberikan cokong-cokong (sumbangan) dalam bentuk uang.
Acara menari ini menarik perhatian dari seluruh peserta upacara sehingga
seolah-olah upacara kemalangan sejenak terlupakan.

Selanjutnya akan dilaksanakan gendang adat Pada gendang adat


inilah, setiap kelompok kekerabatan yang landek akan ngerana,
mengungkapkan isi hatinya berkaitan dengan kematian orang tersebut.
Ada yang mengisahkan kebaikan orang tersebut, ada yang memberikan
kata-kata penghiburan kepada keluaga yang ditinggalkan. Kebanyakan
yang ngerana tersebut berbicara sambil menangis, sehingga sukut
sebagai kelompok “Singalo-ngalo” biasanya akan ikut juga menangis.

Setelah upacara di “jambur” selesai dilakukan maka jenazah


dibawa ke tempat penguburan. Gendang Pengangkat kembali dimainkan
gendang lima sedalanen untuk mengiringi jenazah dibawa ke kuburan. Di
kuburan, gendang lima sedalanen memainkan gendang pendungi, yang
merupakan bagian terakhir dari penguburan jenazah tersebut.

Setelah makan malam, gendang lima sedalanen kembali


memainkan gendang simalungen rayat sebanyak empat kali. Esoknya,
yang merupakan acara terakhir dari gendang cawir metua ini adalah
gendang “pendudu tendi” (menenangkan jiwa) terhadap seluruh keluarga,
Seluruh keluarga menari bersama, tanpa ada lagi yang ngerana, atau
56

menangis. Makna dari gendang pendudu tendi ini adalah agar seluruh
keluarga damai sejahtera, walaupun seorang dari keluarga telah tiada.

Setelah perkolong-kolong selesai menyanyi, ada dua hal yang


dapat terjadi. Pertama, musik dan tari selesai (berakhir), aron dan
perkolongkolong kembali ketempat duduknya semula. Kedua, gendang
lima sedalanen menyambung komposisi berikutnya tanpa berhenti. Aron
yang landek tadi akan berhenti sejenak menari, untuk kemudian menari
kembali, sementara itu “Perkolong-kolong” mengundurkan diri dari
posisinya semula sebagai penari dan penyanyi untuk kembali duduk.

Apabila musik berubah (tidak berhenti) setelah perkolong-kolong


selesai menyanyi, inilah yang disebut dengan gendang salih. Kata salih
dalam pengertian sehari-hari bahasa Karo adalah “berubah”. Pengertian
berubah dalam hal ini adalah berubah wujud, berubah warna, berubah
bentuk dan lain sebagainya. Dalam konsep musik tradisional Karo, kata
salih mengandung pengertian perubahan judul komposisi sekaligus tempo
dari suatu lagu. Kata salih biasanya akan diucapkan protokol atau si
landek atau perkolong-kolong ketika satu komposisi lagu sedang
berlangsung. Ucapan kata salih ditujukan kepada sierjabaten agar segera
merubah atau mengganti komposisi yang sedang dimainkan pada saat itu.
Walaupun begiitu, tidak selamanya sierjabaten menunggu perintah kata
salih tersebut, karena siserjabaten senantiasa mengamati aron dan
perkolong-kolong yang sedang menari dan bernyanyi. Pengamatan
tersebut merupakan hasil pengalaman lama dan berulang-ulang, sehingga
sierjabaten mengerti kapan dilakukan salih.

Komposisi awal dari gendang salih adalah gendang Odak-odak,


dan dilanjutkan gendang “Patam-patam”. Dalam gendang odak-odak,
seluruh “aron” yang landek mulai melakukan gerakan secara bersama
berputar kekiri dan kekanan di tempat masing-masing. Durasi waktu untuk
57

gendang Odak-odak tidak begitu lama, biasanya sekitar satu sampai dua
menit dan langsung berubah menjadi gendang patam-patam.

Gendang patam-patam adalah satu repertoar yang diperuntuk-kan


bagi para penari untuk menunjukkan kebolehannya dalam menari secara
berpasang-pasangan (pria dan wanita). Pada gendang patam-patam ini,
aron sidilaki mulai bergerak mendekati aron sidiberu untuk menari secara
lebih dekat secara berpasangan. Pergerakan ini dapat dilakukan secara
bersama, namun ada kalanya masing-masing aron mengambil inisiatif
sendiri-sendiri, sehingga konfigurasi tarian yang sebelumnya sejajar dan
berhadap-hadapan menjadi berubah. Dalam tahap selanjutnya, setiap
pasang aron yang lanek berusaha menunjukkan kemahirannya dalam
menari. Durasi waktu gendang patam-patam dapat berlangsung sekitar
tiga sampai tujuh menit, atau tergantung juga pada kondisi para penari.

ciri khas, dimana pada bagian awal (lagu mengiringi tarian pertama
dan yang dinyanyikan perkolong-kolong) memiliki tempo sekitar 76 per
beat, pada gendang odak-odak tempo lagu berubah semakin cepat
menjadi sekitar 92 per beat, dan pada gendang patam-patam semakin
cepat lagi menjadi sekitar 100 per beat. Pada gendang patam-patam inilah
biasanya dimunculkan beberapa judul lagu Karo yang lain melalui sarune
sebagai pembawa melodinya. Perpindahan dari satu lagu ke lagu yang
lainnya dilakukan secara langsung (tanpa berhenti). Hal ini bisa terjadi
karena alat musik pengiring (gendang singidungi, gendang singanaki,
penganak, dan gung) tetap memainkan pola ritem yang sama, yaitu
gendang patam-patam. Oleh karena seringnya gendang patam-patam
dimainkan (dalam pengertian iramanya dapat digunakan untuk mengiringi
berbagai jenis lagu) maka sering pula gendang patam-patam ini disebut
sebagai Cak-cak patam-patam.
58

3.8 Gendang Keyboard / Gendang Kibot

Gendang Kibot adalah alat musik elektrik Keyboard. Alat musik ini
dapat diprogram sedemikian rupa untuk meniru bunyi yang hampir sama
dengan bunyi gendang lima sedalanen. Tidak semua Kibot dapat diterima,
hanya produksi dari perusahaan alat musik Jepang Technics dengan seri
KN-2000. Namun demikian masyarakat Karo di Jakarta menerima
kehadiran alat musik ini walaupun adanya perubahan-perubahan di dalam
bentuk penyajian. Kehadirannya hampir selalu ada dalam upacara-
upacara adat yang dilakukan baik yang bersifat kegembiraan dan
kesedihan. Gendang kibot tidak saja sebagai pelengkap upacara, tetapi
dia berubah hampir menjadi yang utama, karena orang cenderung
menghadiri sebuah kegiatan apabila alat musik ini ada. Dia menjadi
sebuah alat yang mempunyai makna yang sangat luas di dalam adaptasi
masyarakatnya yang membawa kepada sebuah manifestasi dalam pola-
pola hubungan sosial baik ke dalam maupun keluar demi kelangsungan
hidup masyarakatnya.

Pertengahan tahun 1980-an, alat musik keyboard mulai mewarnai


musik tradisionil Karo (non band atau diluar studio rekaman). Adalah
Djasa Tarigan sebagai salah seorang pelopor keyboard Karo. Awal
dipakainya instrumen keyboard dalam seni pertunjukan Karo merupakan
perpaduan atau kolaborasi dengan gendang lima sendalanen. Keyboard
dalam hal ini adalah instrumen musik elektrik yang memiliki tuts bunyi
yang dihasilkannya berasal dari speaker. Sedang gendang lima
sendalanen adalah ensambel yang terdiri sarune sebagai pembawa
melodi, sedang alat pembawa ritem adalah gendang singanaki, gendang
singindungi, penganak, dan gung.

Musik kolaborasi itu awalnya hanya dipergunakan dalam konteks


seni pertunjukan tradisional gendang guro-guro aron. Saat ini musik
kolaborasi ini hanya didapati dibeberapa tempat saja meskipun untuk
59

dapat melihat langsung acara ini hanya berlangsung setahun sekali


dibeberapa desa.

Pada awal kemunculannya, kehadiran musik Keyboard mendapat


sikap prokontra di antara masyarakat dan para pemerhati kebudayaan
Karo sendiri. Hal ini diakibatkan karena dengan masuknya musik
keyboard dapat berdampak buruk terhadap keberadaan gendang lima
sendalanen.

Gambar : 3.13 Gendang Kibot Karo

Sumber : www.google.com

3.8.1 Gendang Keyboard Dalam Masyarakat Karo

Seperti yang sudah penulis uraikan diatas, pada awal mula


kemunculannnya gendang kibot mendapat sikap pro kontra di antara
masyarakat Karo. Namun seiring berjalannya waktu akhirnya gendang
kibot mendapatkan pengakuan di kalangan masyarakat Karo. Bahkan
kedudukannya menggeser peran gendang lima sedalanen yang jelas-jelas
gendang sedalanen seharusnya menjadi perhatian yang utama.

Pada awalnya, alat musik keyboard ini dimainkan secara bersama-


sama (berkolaborasi) dengan ensambel musik tradisi gendang Karo yang
disebut gendang lima sedalanen. Kolaborasi dilakukan dalam konteks seni
pertunjukan Gendang Guro-guro aron. Dengan adanya kolaborasi alat
musik tersebut, gendang Guro-guro aron menjadi semakin sering
60

dilaksanakan, baik oleh masyarakat Karo yang tinggal di wilayah


pedesaan kabupaten Karo, maupun oleh masyarakat Karo yang tinggal di
perkotaan, seperti di kota Medan dan di kota-kota lainnya di berbagai
wilayah provinsi.

Secara berangsur-angsur, peranan keyboard dalam gabungannya


dengan gendang lima sedalanen semakin lama semakin menonjol atau
dominan. Jika pada awalnya keyboard hanya dimainkan sebagai alat
musik pengiring pada setiap bagian akhir (bergabung dengan gendang
lima sedalanen yang mengiringi dari awal sampai akhir) suatu komposisi
musik untuk mengiringi tarian, belakangan keyboard mulai digunakan dari
awal komposisi, baik sebagai pengiring, maupun sekaligus sebagai
pembawa melodi lagu. Dengan demikian peranan sarune—sebagai
pembawa melodi dalam gendang lima sedalanen—mulai berkurang
karena sebagian sudah digantikan keyboard. Melalui keyboard sebagai
pembawa melodi, lagu-lagu di luar daerah Karo (seperti lagu-lagu Melayu,
lagu-lagu dangdut Indonesia) mulai dimainkan dalam mengiringi tarian
Karo, bahkan tidak jarang sekaligus juga dinyanyikan dengan lirik aslinya.

Dalam perkembangan berikutnya, pola-pola ritem/irama gendang


karo (“irama musik Karo”) mulai diprogram di dalam keyboard sehingga
melalui keyboard dapat dimainkan musik ‘menyerupai’ musik Karo (imitasi
musik Karo). Pemain keyboard memanfaatkan/mengedit bunyi-bunyi nada
yang terdapat dalam keyboard sehingga menjadi “mirip” dengan karakter
bunyi gendang lima sedalanen. Dengan hasil program “musik Karo
imitasi”, maka alat musik tersebut sudah dapat mengiringi suatu tarian
maupun nyanyian tradisional Karo tanpa disertai gendang lima sedalanen.
Penggunaan “musik Karo imitasi” melalui keyboard untuk mengiringi tari-
tarian dan nyanyian Karo dalam konteks gendang “Guro-guro aron” tanpa
disertai dengan gendang “Lima Sedalanen” sering disebut orang Karo
dengan istilah gendang Kibod.
61

Pemakaian gendang Kibod dalam konteks tersebut disambut


dengan antusias oleh mayoritas masyarakat Karo. Untuk saat sekarang
ini, setiap mengadakan upacara perkawinan adat Karo, hampir dapat
dipastikan selalu menyertakan minimal keyboard dengan genre musik
gendang Kibod atau kadang-kadang juga digabungkan dengan gendang
lima sedalanen.

Proses adaptasi alat musik keyboard ke dalam kesenian tradisional


masyarakat Karo, terutama pada awal dipergunakannya alat musik
tersebut pada konteks upacara adat, banyak memunculkan sikap yang
berbeda di antara kelompok masyarakat Karo sendiri. Reaksi dan
komentar dari kalangan pemerhati kesenian Karo sebagian besar
menghawatirkan kehadiran keyboard itu dapat menimbulkan dampak
negatif bagi kesenian tradisi dan juga budaya tradisi masyarakat Karo.

Akibat peranan alat musik keyboard yang sudah sangat


memonopoli di dalam seni pertunjukan tradisional Karo, akhirnya
pemakaian gendang lima sedalanen menjadi sangat berkurang. Walaupun
demikian, setidaknya sampai saat penelitian ini dilaksanakan, gendang
lima sedalanen masih dipergunakan pada ritual tradisional Karo tertentu,
seperti pada ritual penguburan jenazah orang Karo. Beberapa seniman
tradisional Karo tetap mempertahankan profesinya sebagai pemain
gendang lima sedalanen karena mereka juga masih dibutuhkan,
khususnya di dalam konteks upacara-upacara adat tertentu.

Anda mungkin juga menyukai