Anda di halaman 1dari 7

JHE 2 (2) (2017)

Jurnal of Health Education


http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jhealthedu/

KARAKTERISTIK DAN KONDISI LINGKUNGAN RUMAH PENDERITA


LEPTOSPIROSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PEGANDAN

Teguh Prihantoro , Arum Siwiendrayanti

Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang,
Indonesia

Info Artikel Abstrak


________________ ___________________________________________________________________
Sejarah Artikel: Latar Belakang: Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri patogen yang
Diterima disebut Leptospira dan ditularkan dari hewan kepada manusia (zoonosis). Jawa Tengah terjadi
Disetujui kenaikan jumlah kasus selama 5 tahun terakhir dengan tingkat kejadian tertinggi di Kota
Dipublikasikan Semarang dengan 56 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan kondisi
________________ lingkungan rumah penderita leptospirosis di wilayah kerja Puskesmas Pegandan.
Keywords: Metode: Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dengan rancangan studi
Leptosprosis, rats, flood kasus. Populasi dalam penelitian ini adalah semua warga penderita leptospirosis dan terlaporkan di
____________________ Puskesmas Pegandan Kota Semarang. Data diperoleh dari observasi dan wawancara dengan
masyarakat kemudian dianalisis univariat.
Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita laki-laki (80%), berusia
>40 tahun (70%), berpendidikan rendah (60%), dan memiliki pekerjaan tidak berisiko (100%).
Kondisi lingkungan rumah penderita yang tidak mengalami banjir ±3 minggu sebelum sakit (60%),
selokan buruk (100%), terdapat tikus (100%), rumah berjarak ≤ 500 m terhadap TPS (90%).
Simpulan: Sebagian besar penderita laki-laki, berusia >40 tahun, berpendidikan rendah, memiliki
pekerjaan tidak berisiko. Gambaran lingkungan sebagian besar tidak mengalami banjir ±3 minggu
sebelum sakit, memiliki selokan buruk, terdapat tikus, berjarak <500 meter terhadap TPS.

Abstract
___________________________________________________________________
Background: Leptospirosis is a disease caused by a pathogenic bacterial infection called leptospira and
transmitted from animals to humans. Central Java had increased number of cases during the last 5 years with
the highest incidence rate in Semarang with 56 cases. This study aimed to determine the characteristics and
home environment conditions of leptospirosis patients in the work area Pegandan Public Health Center.
Methods: The type of research used was descriptive quantitative with case study design. The population in this
study were all leptospirosis patients and reported in Pegandan Public Health Center Semarang. Data obtained
from observation and interview with patients then analyzed with univariate.
Results: Most of the patients were male (80%), aged >40 years (70%), low-educated (60%), had a not-at-risk
job (100%). While the home environment of most patients did not experience flood ± 3 weeks before the illness
(60%), had a bad sewer (100%), had rats (100%), had <500 meter distance from the dumpster (90%).
Conclusion: Most of the patients were male, aged >40 years, low-educated, had a not-at-risk job. While the
home environment of most patients did not experience flood ± 3 weeks before the illness, had a bad sewer, had
rats, had <500 meter distance from the dumpster.
© 2017 Universitas Negeri Semarang

Alamat korespondensi: ISSN 2527-4252
Gedung F5 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
E-mail: teguh_prihantoro1993@outlook.co.id

185
Teguh Prihantoro dan Arum Siwiendrayanti / Journal of Health 2 (2) (2017)

PENDAHULUAN Tingkat kejadian leptospirosis tertinggi di Kota


Semarang berada di wilayah kerja Puskesmas
Menurut Setiawan (2008), leptospirosis Pegandan. (DKK Semarang, 2016).
adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Penularan leptospirosis terjadi akibat
bakteri patogen yang disebut Leptospira dan buruknya kondisi lingkungan di pemukiman
ditularkan dari hewan kepada manusia penduduk. Lingkungan yang buruk dapat
(zoonosis). Penularan bisa terjadi secara meningkatkan ketersediaan makanan, tempat
langsung akibat terjadi kontak langsung antara berlindung, bersarang dan berkembang biak
manusia (sebagai host) dengan urin atau tikus sebagai reservoir leptospirosis. Selain itu
jaringan binatang yang terinfeksi dan secara lingkungan yang buruk dapat menyebabkan
tidak langsung akibat terjadi kontak antara banjir yang bisa meningkatkan risiko terjadinya
manusia dengan air, tanah atau tanaman yang penyakit leptospirosis. (Riyaningsih, 2012).
terkontaminasi urin dari binatang yang Karakteristik individu seperti jenis
terinfeksi leptospira. Jalan masuk yang biasa pekerjaan dan kebiasaan mencuci atau mandi di
pada manusia adalah kulit yang terluka, sungai juga dapat meningkatkan risiko
terutama sekitar kaki, dan atau selaput mukosa terjadinya penyakit leptospirosis. Individu yang
di kelopak mata, hidung, dan selaput lendir. bekerja di sawah lebih berisiko terjangkit
(Ramadhani, 2012). leptospirosis daripada yang bekerja di kantor
Penyakit ini merupakan masalah (Anies, 2009).
kesehatan masyarakat di seluruh dunia, Informasi karakteristik dan kondisi
khususnya negara-negara yang beriklim tropis lingkungan rumah penderita penyakit
dan sub tropis yang memiliki curah hujan tinggi. leptospirosis dibutuhkan sebagai bahan materi
Hal ini ditambah dengan kondisi lingkungan edukasi masyarakat terkait dengan pencegahan
buruk merupakan lahan yang baik bagi leptospirosis serta sebagai bahan pertimbangan
kelangsungan hidup bakteri patogen sehingga bagi Dinas Kesehatan untuk melaksanakan
memungkinkan lingkungan tersebut menjadi program pencegahan dan bila perlu melakukan
tempat yang cocok untuk hidup dan kerja sama lintas sektoral dengan Dinas lain
berkembangbiaknya bakteri Leptospira (Okatini, terutama terkait masalah banjir, keberadaan
2007; Ramadhani, 2010). tikus dan penyakit leptospirosis pada hewan
Di Indonesia sendiri terdapat empat ternak.
provinsi yang melaporkan adanya kasus Berdasarkan uraian di atas, tujuan
leptospirosis tahun 2014 yaitu DKI Jakarta, penelitian ini adalah untuk mengetahui lebih
Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. lanjut tentang karakteristik dan kondisi
Dibandingkan tahun 2013, terdapat penurunan lingkungan rumah penderita leptospirosis di
jumlah kasus dari 640 kasus menjadi 519 kasus wilayah kerja Puskesmas Pegandan Kota
pada tahun 2014. Penurunan kasus leptospirosis Semarang.
secara signifikan terjadi di Jawa Timur dengan
penurunan sekitar dua pertiga dibandingkan METODE
tahun sebelumnya. Namun di DKI Jakarta dan
Jawa Tengah terjadi kenaikan kasus bahkan Penelitian ini bertujuan untuk
merupakan kasus tertinggi di kedua provinis mengetahui karakteristik penderita berdasarkan
tersebut dalam 5 tahun terakhir. (DKK umur, jenis peerjaan, pendidikan, dan jenis
Semarang, 2016). kelamin serta kondisi lingkungan rumah
Sedangkan di Kota Semarang dari tahun penderita leptospirosis yang meliputi riwayat
ke tahun sering menjadi peringkat pertama banjir, sumber air, kondisi selokan, jarak rumah
kasus leptospirosis di Jawa Tengah. Pada tahun dengan TPS, keberadaan tikus, keberadaan
2015 di Kota Semarang terdapat 56 kasus hewan ternak, keberadaan hewan peliharaan di
leptospirosis dan 8 diantaranya meninggal. wilayah kerja Puskesmas Pegandan.

186
Teguh Prihantoro dan Arum Siwiendrayanti / Journal of Health 2 (2) (2017)

Jenis penelitian yang digunakan adalah oleh peneliti secara manual sebelum diolah
deskriptif kuantitatif dengan rancangan studi dengan komputer), (3) Entry data (Data yang
kasus. Dengan menggunakan metode ini telah terkumpul dan dikoreksi kemudian
diharapkan kasus ini dapat diteliti lebih dimasukkan data-data tersebut ke dalam
mendalam, meliputi berbagai aspek yang luas. program komputer), (4) Cleaning data (Periksa
Populasi dalam penelitian ini adalah semua semua data yang telah dimasukkan ke dalam
warga penderita leptospirosis dan terlaporkan di computer guna menghindari terjadinya
Puskesmas Pegandan Kota Semarang. Pada kesalahan dalam pemasukan data), (5)
penelitian ini semua populasi diteliti sehingga Tabulating (Setelah data tersebut masuk
populasi sekaligus menjadi sampel yaitu kemudian direkap dan disusun dalam tabel agar
sebanyak 10 orang. dapat dibaca dengan mudah).
Variabel bebas dalam penelitian ini Setelah diolah data tersebut dianalisis.
adalah jenis pekerjaan, pendidikan, frekuensi Teknik analisis data pada peneilitian ini
banjir, lama surutnya banjir, status rumah menggunakan analisis univariat untuk
terhadap banjir, sumber air, kondisi selokan, mengetahui distribusi dan presentasi dari tiap
jarak rumah dengan TPS, keberadaan tikus, variabel. Untuk variabel dengan skala rasio
keberadaan hewan peliharaan. Sedangkan (umur dan jarak rumah dengan TPS) maka
variable terikat dalam penelitian ini adalah dilihat nilai mean (rata-rata), median dan nilai
kejadian leptospirosis. maximal dan minimal. Sedangkan untuk
Data primer penelitian ini didapat dari variabel dengan skala ordinal dan nominal (jenis
hasil observasi, dokumentasi dan wawancara kelamin, pendidikan, jenis pekerjaan, riwayat
langsung dengan masyarakat. Sedangkan data banjir, sumber air, kondisi selokan, keberadaan
sekunder penelitian ini didapatkan dari Dinas tikus, hewan peliharaan dan ternak) akan dilihat
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Dinas nilai frekuensi atau presentasinya (%). Data
Kesehatan Kota Semarang dan Puskesmas akan disajikan dalam bentuk tabel.
Pegandan berupa data laporan penemuan
penderita leptospirosis. HASIL DAN PEMBAHASAN
Instrumen penelitian ini adalah
wawancara, yang dilakukan dengan Berdasarkan hasil penelitian, dapat
menggunakan kuisioner tersetruktur disertai diketahui bahwa distribusi penderita
dengan wawancara mendalam untuk berdasarkan umur dikategorikan menjadi < 20
mengetahui info lebih lanjut dari permasalahan tahun, 20 – 40 tahun, dan > 40 tahun. Hasil dari
yang ada. Observasi, yang dilakukan oleh distribusi umur responden dapat dilihat pada
peneliti untuk mengetahui gambaran lebih tabel 1.
lanjut tentang kondisi lingkungan responden Centers for Disease Control (CDC)
dan juga untuk cross check jawaban yang menyatakan bahwa manusia dengan segala
diberikan responden. Pengukuran jarak rumah umur rentan dengan infeksi leptospira (DKK
penderita leptospirosis dengan Tempat Semarang, 2016). Hasil penelitian menunjukkan
Pembuangan Sampah (TPS) menggunakan bahwa penderita terbanyak berada di umur lebih
meteran. dari 40 tahun sebanyak 70 %.
Teknik pengolahan data penelitian ini Hasil penelitian ini sejalan dengan
adalah (1) Editing Data (Melakukan pengecekan penelitian Ramadhani (2010) yang juga
data yang telah terkumpul, bila terdapat penderita terbanyak ada di umur 40 tahun ke
kesalahan dan kekeliruan dalam pengumpulan atas. Dari beberapa hasil penelitian dapat
data diperbaiki dan dilakukan pendataan ulang disimpulkan segala umur rentan dengan infeksi
terhadap responden), (2) Coding (Data yang leptospira. Sehingga semua umur harus
telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan mengantisipasi agar tidak terkena kontak
kelengkapannya kemudian diberi kode (coding) dengan tikus atau urinnya atau dengan hewan

187
Teguh Prihantoro dan Arum Siwiendrayanti / Journal of Health 2 (2) (2017)

Tabel 1. Distribusi penderita berdasarkan umur


Variabel Umur Mean Median Min-Max Kejadian Leptospirosis
n %
< 20 0 0%
20 – 40 46,6 47,5 28 – 62 3 30 %
> 40 7 70 %

Tabel 2. Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan


Variabel Kategori Kejadian Leptospirosis
n %
Jenis Kelamin Laki-laki 8 80 %
Perempuan 2 20 %
Pendidikan SD – SMP 6 60 %
SMA 3 30 %
Perguruan Tinggi 1 10 %
Pekerjaan Berisiko 0 0%
Tidak Berisiko 10 100 %

lain yang dapat menularkan leptospirosis. terhadap berbagai risiko paparan penyakit yang
Dengan cara melakukan pola Perilaku Hidup ada di sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan
Bersih dan Sehat, serta menggunakan alat masyarakat, akan membawa dampak yang
pelindung diri ketika akan kontak dengan cukup signifikan dalam proses pemotongan jalur
hewan terinfeksi dan genangan banjir. transmisi penyakit leptospirosis.
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui
bahwa 80 % penderita leptospirosis adalah laki- bahwa distribusi penderita berdasarkan jenis
laki. Hasil ini sama dengan penelitian pekerjaan dikategorikan menjadi pekerjaan yang
Riyaningsih (2012), yang menjelaskan bahwa berisiko dan pekerjaan yang tidak berisiko. Hasil
sebenarnya laki-laki dan perempuan memiliki penelitian ini menemukan bahwa semua
risiko tertular leptospirosis yang sama. Akan responden memiliki pekerjaan yang tidak
tetapi laki-laki cenderung kurang peduli apabila berisiko leptospirosis, yaitu: Dosen, Swasta,
terjadi luka yang bisa menjadi tempat masuk Sopir, Ibu Rumah Tangga, Dinas Pemakaman
bakteri leptospirosis. dan Pensiunan PNS. Berdasarkan hasil
Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui wawancara dengan responden dapat diketahui
bahwa distribusi penderita berdasarkan bahwa walaupun responden memiliki pekerjaan
pendidikan terakhir dikategorikan menjadi SD- yang tidak berisiko, namun tidak menutup
SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Hasil kemungkinan responden tetap berisiko terkena
penelitian ini menunjukan bahwa sebagian besar leptospirosis karena terkena kontak dengan
penderita sebanyak 60 % memiliki pendidikan tikus. Hal ini disebabkan karena pada saat
terakhir yaitu SD-SMP. Hasil ini sama dengan penelitian didapati adanya tikus di tempat kerja.
penelitian Riyaningsih (2012). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Selanjutnya menurut Supraptono (2011), Ana Erviana (2014) yang memperoleh hasil 72
pendidikan akan mempengaruhi daya terima % pekerjaan yang tidak berisiko.
saat pendidikan, penyuluhan dan sosialisasi Berdasarkan kondisi lingkungan rumah
pencegahan dan penanggulangan leptospirosis. penderita leptospirosis dapat dilihat dari faktor
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang riwayat banjir ± 3 minggu sebelum sakit,
cukup penting dalam penularan penyakit kondisi selokan, sumber air bersih, keberadaan
khususnya leptospirosis. Pendidikan masyarakat hewan ternak atau peliharaan, keberadaan tikus
yang rendah akan membawa ketidaksadaran dan jarak rumah dengan TPS.

188
Teguh Prihantoro dan Arum Siwiendrayanti / Journal of Health 2 (2) (2017)

Tabel 3. Distribusi penderita berdasarkan kondisi lingkungan rumah


Variabel Kategori Jumlah %
Riwayat Banjir ± 3 minggu Banjir 4 40 %
sebelum sakit Tidak Banjir 6 60%
Kondisi Selokan Buruk 10 100 %
Baik 0 0%
Sumber air bersih Air Permukaan 3 30 %
Air PDAM 3 30 %
Air Permukaan dan 4 40 %
PDAM
Keberadaan hewan peliharaan / Ada 5 50 %
ternak Tidak Ada 5 50 %
Keberadaan tikus Ada 10 100 %
Tidak Ada 0 0%
Jarak rumah dengan TPS ≤ 500 meter 9 90 %
> 500 meter 1 10 %

Dalam penelitian ini hanya 40 % yang termasuk dalam kategori buruk. Hal ini
lingkungannya terjadi banjir ± 3 minggu dikarenakan kondisi selokan yang tersumbat,
sebelum sakit dan sebanyak 60 % yang banyak sampah dan membuat banyak air yang
lingkungannya tidak terjadi banjir ± 3 minggu tergenang atau aliran air tidak lancar. Apabila
sebelum sakit. Dari hasil wawancara lebih jauh aliran air lancar maka risiko banjir pun
dengan responden banjir tersebut seringkali menurun. Selain itu apabila ada sampah pada
disebabkan oleh kondisi selokan yang buruk. selokan selain dapat menyumpal selokan dan
Berdasarkan hasil wawancara lebih jauh dengan membuat selokan tergenang juga dapat
responden yang tidak mengalami banjir ± 3 mengundang tikus. Pada penelitian ini semua
minggu sebelum sakit berkata bahwa daerah responden mempunyai selokan yang buruk.
tersebut tidak bebas banjir dalam beberapa Dari hasil wawancara lebih lanjur responden
tahun terakhir. mengaku sering melihat tikus di selokan.
Selain itu apabila mengenakan alat Menurut Rejeki (2013), kondisi selokan
pelindung seperti sepatu boot untuk melindungi yang buruk merupakan faktor penting penularan
kaki dari kontak air banjir, maka risiko leptospirosis. Hal ini dapat terjadi pada saat
penularan leptospirosis dapat dikurangi. kerja bakti membersihkan selokan atau kondisi
Sedangkan wawancara dengan responden yang selokan di sekitar rumah yang memang buruk.
mengalami banjir mengaku tidak mengenakan Hal ini didukung dengan hasil penelitian
sepatu boot saat banjir. Dengan alasan tidak Febrian (2011), yang menyebutkan bahwa
punya dan malas memakai. Menurut kejadian leptospirosis dapat juga terjadi di lokasi
Ramadhani (2010) urin hewan yang terinfeksi yang terdapat keberadaan parit atau selokan
kuman leptospirosis akan terbawa oleh atau jarak rumah dan selokan yang dekat.
genangan air dan mencemari lingkungan sekitar Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui
rumah pada tempat-tempat yang becek, berair distribusi penderita berdasarkan sumber air
sehingga akan mudah masuk ke dalam tubuh bersih dibagi menjadi air permukaan, air
manusia melalui pori-pori kulit. PDAM dan menggunakan air permukaan dan
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui PDAM. Hasil penelitian menunjukkan
kondisi selokan ini berpengaruh pada kejadian sebanyak 30% dari responden menggunakan
banjir. Berdasarkan hasil penelitian diketahui sumber air bersih berupa air permukaan,
bahwa kondisi di sekitar responden 100% sebanyak 30% menggunakan air PDAM, dan

189
Teguh Prihantoro dan Arum Siwiendrayanti / Journal of Health 2 (2) (2017)

sebanyak 40% responden menggunakan air Hasil penelitian ini sejalan dengan
permukaan dan PDAM. penelitian Rejeki (2013) yang menujukkan
Penelitian Erviana (2014) yang bahwa keberadaan hewan lain sebagai hospes
menyatakan sumber air untuk rumah tangga perantara leptospirosis tidak berpengaruh
yang berasal dari sumur gali mempunyai risiko terhadap kejadian leptospirosis. Hasil penelitian
1,9 kali lebih tinggi terkena leptospirosis ini berlawanan dengan Riyaningsih (2009) yang
(OR=1,9; 95% C.I: 1,1-3,5) dan sumber air menunjukkan bahwa analisis spasial terhadap
untuk rumah tangga yang berasal dari sungai faktor risiko lingkungan menunjukkan sebagian
mempunyai risiko 1,4 kali lebih tinggi terkena besar kejadian leptospirosis terjadi di lokasi
leptospirosis (OR=1,4; 95% C.I: 1,1-1,9). dengan kepemilikan hewan peliharaan, seperti
Dalam penelitian ini responden yang anjing, kerbau, dan sapi. Selanjutnya,
menggunakan Air PDAM dan air sumur Ramadhani (2010) menyebutkan bahwa selain
berjumlah sama. Hal ini sejalan dengan tikus, bakteri leptospira juga dapat hidup pada
penelitian Supraptono (2011) yang menyatakan binatang peliharaan seperti anjing, babi, lembu,
bahwa sumber air bersih tidak berpengaruh kerbau maupun binatang liar seperti musang,
terhadap leptospirosis. Dari hasil wawancara tupai, dan sebagainya.
lebih jauh dengan responden, pengguna air Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui
PDAM mengeluh karena airnya kadang keruh bahwa distribusi penderita berdasarkan
atau bahkan tidak mengalir sama sekali. keberadaan tikus dibagi menjadi ada keberadaan
Sehingga terpaksa menggunakan air sumur. tikus dan tidak ada keberadaan tikus. Hasil dari
Hasil penelitian Rejeki (2013) di distribusi keberadaan tikus di lingkungan
Semarang menunjukkan bahwa faktor responden menunjukkan 100% responden
lingkungan sangat berpengaruh terhadap mengaku di sekitarnya terdapat tikus.
kejadian leptospirosis berat yaitu curah hujan Penularan leptospirosis ke manusia
yang tinggi yang dapat mengakibatkan banjir. melalui tikus lebih besar kemungkinannya
Faktor risiko lingkungan fisik terkait sebaran terkait beberapa jenis tikus yang habitatnya
leptospirosis antara lain pemukiman, area berada di sekitar tempat tinggal manusia. Dari
luasan banjir, ketinggian tempat, curah hujan, hasil penelitian menunjukkan bahwa
tekstur tanah, indeks kerapatan vegetasi serta keberadaan tikus berhubungan dengan kejadian
temperature, dan kelembapan. leptospirosis. Seperti penelitian Rejeki (2013)
Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui yang menunjukkan bahwa faktor perilaku yang
bahwa distribusi penderita berdasarkan terbukti berhubungan dengan kejadian
keberadaan hewan peliharaan atau ternak dibagi leptospirosis antara lain riwayat kontak dengan
menjadi ada hewan peliharaan atau ternak dan tikus.
tidak ada hewan peliharaan atau ternak. Hasil Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa
penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 50% distribusi penderita berdasarkan jarak rumah
menunjukkan ada hewan peliharaan atau ternak dengan TPS dibagi menjadi ≤ 500 meter dan >
dan sebanyak 50% tidak ada hewan peliharaan 500 meter. Hasil dari distribusi jarak rumah
atau ternak di sekitar lingkungan responden. dengan TPS di lingkungan responden
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa menunjukkan sebanyak 90% responden
responden yang memiliki hewan ternak atau memiliki rumah berjarak ≤ 500 meter, dan
peliharaan sama dengan persentase responden sebanyak 10% responden memiliki rumah
yang tidak memiliki hewan ternak. berjarak > 500 meter. Dari hasil observasi
Dari semua responden yang memiliki peneliti hanya satu tempat sampah yang tidak
hewan peliharaan / ternak dari hasil wawancara memiliki tutup dan terletak di tepi sungai.
lebih jauh menunjukkan bahwa hanya ada satu Hasil penelitian Rejeki (2013) di
responden yang mengaku memvaksin hewan Semarang menunjukkan bahwa faktor
ternaknya dengan vaksin leptospirosis. lingkungan sangat berpengaruh terhadap

190
Teguh Prihantoro dan Arum Siwiendrayanti / Journal of Health 2 (2) (2017)

kejadian leptospirosis berat yaitu adanya Erviana, A. (2014). Studi Epidemiologi Kejadian
sampah di dalam rumah. Adanya kumpulan Leptospirosis Pada Saat Banjir di Kecamatan
sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi Cengkareng Periode Januari-Februari 2014.
Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri
tempat yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi
Syarif Hidayatullah
yang jelek seperti adanya kumpulan sampah dan
Febrian, F., Solikhah. 2011. Analisis Spasial
kehadiran tikus merupakan variabel determinan Kejadian Leptospirosis di Kabupaten Sleman
kasus leptospirosis. Adanya kumpulan sampah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun
dijadikan indikator dari kehadiran tikus. 2011. Kesmas Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, 7(1): 7-14
PENUTUP Dinas Kesehatan Kota Semarang. (2016). Profil
Kesehatan Kota Semarang Tahun 2015.
Semarang: Dinas Kesehatan Kota Semarang
Hasil dari penelitian ini menunjukkan
Okatini, M., Purwana, R., Djaja, I.M. (2007).
bahwa sebagian besar penderita laki-laki yaitu
Hubungan Faktor Lingkungan dan
sebanyak 80%, berusia >40 tahun sebanyak
Karakteristik Individu terhadap Kejadian
70%, berpendidikan rendah setara SD – SMP Penyakit Leptospirosis di Jakarta 2003-2005.
yaitu 60%, seluruh responden memiliki Makara Kesehatan, 11(1): 17-24
pekerjaan tidak berisiko. Sedangkan lingkungan Ramadhani, T., Yunianto, B. (2012). Reservoir dan
rumah penderita sebagian besar tidak Kasus Leptospirosis di Wilayah Kejadian
mengalami banjir ±3 minggu sebelum sakit Luar Biasa. Kesmas Jurnal Kesehatan
sebanyak 60 %, seluruh responden memiliki Masyarakat Nasional, 7(4): 162-168
Ramadhani, T., Yunianto, B. (2010). Kondisi
selokan yang tergolong buruk, di lingkungan
Lingkungan Pemukiman yang Tidak Sehat
seluruh responden terdapat tikus, rumah
Berisiko terhadap Kejadian Leptospirosis
responden berjarak ≤ 500 meter terhadap TPS (Studi Kasus di Kota Semarang). Suplemen
sebanyak 90%. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
20(1): 46-54
UCAPAN TERIMA KASIH Rejeki, D.S.S., Nurlaela, S., Octaviana, D. (2013).
Pemetaan dan Analisis Faktor Risiko
Ucapan terima kasih kami sampaikan Leptospirosis. Kesmas Jurnal Kesehatan
kepada dosen pembimbing skripsi Ibu Arum Masyarakat Nasional, 8(4): 179-186
Riyaningsih, Hadisaputro, S., Suhartono. (2012).
Siwiendrayanti, S.KM., M.Kes. Kepala
Faktor Risiko Lingkungan Kejadian
Puskesmas Pegandan atas ijin penelitian yang
Leptospirosis di Jawa Tengah (Studi Kasus di
telah diberikan, serta para responden yang telah Kota Semarang, Kabupaten Demak, dan
meluangkan waktunya untuk wawancara. Pati). Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia,
11(1): 87-94
DAFTAR PUSTAKA Setiawan, I.M. (2008). Pemeriksaan Laboratorium untuk
Mendiagnosis Penyakit Leptospirosis. Media
Anies, Hadisaputro, S., Sakundarno, M., Suhartono. Litbang Kesehatan, 18 (1): 44-52
(2009). Lingkungan dan Perilaku pada Supraptono, B., Sumiarto, B., Pramono, D. (2011).
Kejadian Leptospirosis. Media Medika Interaksi 13 Faktor Risiko Leptospirosis.
Indonesia, 43(6): 306-311 Berita Kedokteran Masyarakat, 27(2): 55-65

191

Anda mungkin juga menyukai