Anda di halaman 1dari 15

1.

Gambang Kromong

Gambang kromong dikenal


sebagai musik tradisional
Betawi. Gambang kromong
sering ada dalam suatu pesta
perkawinan, untuk mengiringi
para tamu yang hendak ngibing
cokèk. Pertunjukan Lènong
bukannya Lènong kalau tidak
diiringi gambang kromong.
Gambang kromong selalu ditampilkan dalam berbagai acara budaya
Betawi dan sudah menjadi trade mark kota Jakarta.

Alat musik yang digunakan


pada gambang kromong yaitu
dua buah alat perkusi, yaitu
gambang dan kromong. Bilahan
Gambang yang berjumlah 18
buah, biasa terbuat dari kayu
suangking, huru batu atau kayu
jenis lain yang empuk bunyinya
bila dipukul. Kromong biasanya
dibuat dari perunggu atau besi,
berjumlah 10 buah (sepuluh pencon).

Nada dan Laras


Seperti halnya musik Tionghoa dan kebanyakan musik Timur
lainnya, gambang kromong hanya memakai lima nada (pentatonis)
yang semuanya mempunyai nama dalam bahasa Tionghoa: sol (liuh),
la (u), do (siang), re (che) dan mi (kong). Tidak ada nada fa dan si
seperti dalam musik diatonis, yakni musik Barat utamanya.

Larasnya adalah salèndro yang khas Tionghoa sehingga disebut


Salèndro Cina atau ada pula yang menyebutnya Salèndro
Mandalungan. Dengan demikian semua instrumen dalam orkestra
gambang kromong dilaras sesuai dengan laras musik Tionghoa,
mengikuti laras Salèndro Cina tadi.

Untuk memainkan lagu-lagu pobin utamanya, para pemusik (panjak)


gambang kromong pada awalnya harus mampu membaca noot-noot
yang ditulis dalam aksara Tionghoa tersebut, namun akhirnya
banyak panjak yang mahir memainkan lagu-lagu tersebut tanpa
melihat noot-nya lagi karena sudah hafal.

Lagu Pobin
Lagu-lagu yang dibawakan oleh orkestra gambang kromong pada
awalnya hanya lagu-lagu instrumentalia yang disebut lagu-lagu
pobin. Lagu-lagu pobin dapat ditelusuri kepada lagu-lagu
tradisional Tionghoa di bagian barat propinsi Hokkian (Fujian) di
Cina selatan. Lagu-lagu pobin inilah yang kini merupakan lagu
tertua dalam repertoar gambang kromong. Di antara lagu-lagu
pobin yang kini masih ada yang mampu memainkannya, meskipun
sudah sangat langka, adalah pobin Khong Ji Liok, Peh Pan Thau, Cu
Te Pan, Cai Cu Siu, Cai Cu Teng, Seng Kiok, serta beberapa pobin
lain yang khusus dimainkan untuk mengiringi berbagai upacara
dalam pernikahan dan kematian Tionghoa tradisional.

Lagu Dalem
Setelah lagu-lagu pobin, mulai diciptakan lagu-lagu yang
dinyanyikan. Lagu-lagu ini disebut lagu dalem. Lagu-lagu dalem ini
dinyanyikan dalam bentuk pantun-pantun dalam bahasa Melayu
Betawi. Di antara lagu-lagu dalem yang kini tinggal Masnah dan
Ating (sebagian) yang masih mampu menyanyikannya antara lain:
Poa Si Li Tan, Peca Piring, Semar Gunem, Mawar Tumpa, Mas Nona,
Gula Ganting, Tanjung Burung, Nori Kocok (Burung Nori), dan
Centé Manis Berdiri.

Lagu dalem berirama tenang dan jernih. Lagu dalem diciptakan


bukan untuk ngibing (Sunda, menari), tetapi untuk mengetahui
kualitas vokal seorang penyanyi. Dinyanyikan dalam suatu
perhelatan untuk menghibur tamu-tamu yang tengah menikmati
hidangan yang disuguhkan.

Wayang Cokèk
Penyanyi lagu-lagu dalem yang pada umumnya perempuan dikenal
dengan istilah wayang cokèk. Menurut etimologinya istilah wayang
singkatan dari istilah Melayu anak wayang, artinya ‘aktris,’
sedangkan cokèk berasal dari istilah Tionghoa dialek Hokkian
chioun-khek yang artinya ‘menyanyi’ (to sing a song). Jadi, wayang
cokèk mulanya hanya berprofesi sebagai penyanyi lagu-lagu dalem,
bukan penari. Istilah wayang cokèk ini hingga kini masih digunakan
di kalangan masyarakat pendukung kesenian gambang kromong di
kawasan Teluk Naga, Tangerang, dan sekitarnya. Tidak dikenal
istilah penari cokèk, sebab cokèk bukan tarian (nomina), tetapi
menyanyi (verba).

Kostum yang dikenakan wayang cokèk aslinya adalah baju kurung


yang panjangnya melampaui lutut, dengan bawahan celana panjang,
terbuat dari dari bahan satin berwarna-warni ceria: merah, hijau
dan lain-lain. Rambut mereka yang dikepang diikat dengan tali
merah, lalu dilibatkan di kepala. Baru kemudian (sekitar tahun
1960-an) mereka memakai kebaya dan kain batik. Rambut mereka
mulai dipotong pendek dan dikeriting.

Lagu Sayur
Setelah generasi lagu dalem yang kini telah menjadi lagu klasik
gambang kromong, generasi selanjutnya adalah lagu-lagu yang
disebut lagu sayur. Berbeda dengan lagu dalem, lagu sayur memang
diciptakan untuk ngibing. Saat itu wayang cokèk bukan lagi hanya
menyanyi menghibur para tamu, namun juga ngibing bersama tamu.
Fungsi wayang cokèk telah meluas dari sekadar penyanyi menjadi
penyanyi plus penari. Oleh sebab itu lagu sayur terdengar lebih
riuh ditingkah oleh hentakan-hentakan kendang.

Selain itu ada beberapa lagu Sunda yang dinyanyikan dalam


pertunjukan gambang kromong: Awi Ngarambat, Gaplèk, Kembang
Kacang, Kembang Beureum, Lampu Tèmpèl dan Wawayangan.

Liau Kulon dan Liau Wètan


Dalam perkembangan gambang kromong sekarang ini dikenal dua
liau (‘gaya’) dalam musik gambang kromong: Liau Kulon (Barat) dan
Liau Wètan (Timur). Sesuai namanya, Liau Kulon berkembang di
Jakarta Barat sampai Tangerang sedangkan Liau Wètan di
Jakarta Timur. Pada Liau Kulon masih lebih terasa pengaruh
Betawinya, sedangkan Liau Wètan banyak dipengaruhi oleh ragam
musik gamelan Sunda Gunung (Topèng) dan Tanjidor.

Perbedaan lain tampak dalam repertoar. Liau Kulon lebih sering


memainkan lagu-lagu Jali-jali, Stambul dan Centè Manis. Pada Liau
Wètan lagu-lagu seperti Kicir-kicir, Lènggang Kangkung dan Siri
Kuning-lah yang sangat populer.

Tari
Beberapa tari yang khas ibing cokèk. Tari-tarian ini sebenarnya
masih sangat potensial untuk digali menjadi tari-tarian Betawi
yang memang sudah sepantasnya diiringi gambang kromong,
ketimbang tari-tarian yang sudah ada. Maksud penulis, beberapa
tari Betawi yang sudah ada sekarang ini kelihatannya cenderung
diambil, misalnya, dari tari-tarian yang dibawakan oleh ronggèng
Topèng Betawi yang sebenarnya tak ada hubungannya dengan
gambang kromong.

Lagu-lagu sayur biasanya dibawakan untuk mengiringi orang


ngibing. Di antara lagu-lagu yang mempunyai tari (ibing) khusus
yang pernah penulis saksikan adalah Balo-balo, Ondé-ondé dan
Glatik Ngunguk. Dalam ibing Balo-balo, pada bagian tertentu lagu,
wayang cokèk dan pasangannya berdiri saling membelakangi (ngadu
pantat). Lagu Ondé-ondé diibingkan dengan saling bergantian
turun naik, sedangkan Glatik Ngunguk dengan meloncat-loncat
sambil berjongkok.

Maka tak ada salahnya apabila tari-tarian tersebut dijadikan


sumber yang sudah selayaknya digali kembali untuk menambah
keragaman tari Betawi. Untuk itu beberapa (mantan) wayang cokèk
senior yang masih mampu ngibing dengan baik dapat dihubungi,
sebelum tari-tarian tersebut punah dari muka bumi untuk selama-
lamanya .

Asal-usul
Gambang Kromong tercipta ketika orang-orang Tionghoa
peranakan sudah semakin banyak di kota ini. Di waktu senggang
mereka memainkan lagu-lagu Tionghoa dari kampung halaman
moyang mereka di Cina dengan instrumen gesek Tionghoa su-kong,
the-hian, dan kong-a-hian, bangsing (suling), kecrèk, dan ningning,
dipadukan dengan gambang. Gambang diambil dari khazanah
instrumen Indonesia digunakan menggantikan fungsi iang-khim,
yakni semacam kecapi Tionghoa, tetapi dimainkan dengan semacam
alat pengetuk yang dibuat dari bambu pipih.

Pada perkembangan selanjutnya, sekitar tahun 1880-an barulah


orkestra gambang ditambah dengan kromong, kendang, kempul,
goong, kecrèk. Dengan demikian terciptalah gambang kromong.

Dari pusat kota Batavia ketika itu, musik gambang kromong


kemudian tersebar ke seluruh penjuru kota, hingga ia tidak hanya
dikenal di Jakarta, tetapi juga sampai ke bagian utara Bogor,
Tangerang dan Bekasi (Jabotabek) sekarang ini. Kawasan-kawasan
tersebut memang merupakan area budaya Betawi.

2.Marawis

Marawis adalah salah satu jenis "band


tepuk" dengan perkusi sebagai alat musik
utamanya. Musik ini merupakan kolaborasi
antara kesenian Timur Tengah dan
Betawi, dan memiliki unsur keagamaan
yang kental. Itu tercermin dari berbagai
lirik lagu yang dibawakan yang merupakan pujian dan kecintaan
kepada Sang Pencipta.Marawis termasuk seni islami. Seni Islami
ini dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dan ulama yang berasal
dari Yaman beberapa abad yang lalu. disebut marawis karena
menggunakan alat musik khas yang disebut marawis.

Diameternya sekitar 20 Cm dan tinggi 19


Cm. Selain menggunakan marawis, alat
musik tetabuhan lainnya yang digunakan
adalah hajir atau gendang besar. Hajir
ini memiliki diameter sekitar 45 Cm dan
tinggi 60-70 Cm.Kesenian ini juga
menggunakan dumbuk, sej Marawis adalah alat musik mirip
kendang. enis gendang yang berbentuk seperti dandang, tamborin
dan ditambah lagi dua potong kayu bulat berdiameter 10 Cm.
Dulu, saat Wali Songo menyebarkan agama Islam di Pulau
Jawa, alat musik marawis digunakan sebagai alat bantu syiar
agama. 'Marawis tak bisa lepas dari nilai-nilai religius.
Awalnya musik ini dimainkan saat merayakan hari-hari besar
keislaman, terutama Maulid Nabi.Namun kini marawis tidak
hanya dimainkan saat Maulid Nabi saja. Kini, acara hajatan
pernikahan, peresmian gedung, hingga di pusat perbelanjaan,
marawis sering dimainkan. Marawis yang ada di setiap daerah
memiliki kekhasan tersendiri. Perbedaan marawis itu terletak
pada cara memukul dan tari-tarian. Marawis betawi dapat
diketahui dengan gerakan gerakan silat yang terdapat di tarian
tariannya

Sembilan tahun silam, seni marawis belum populer seperti saat ini.
Di tanah Betawi, seni marawis awalnya hanya dimainkan oleh
orang-orang keturunan Arab. Bahkan, ada semacam anggapan
bahwa marawis hanya dimainkan mereka yang masih keturunan
Nabi SAW. Marawis dimainkan orang-orang keturunan Arab untuk
memeriahkan acara Maulid Nabi SAW. Selain itu, juga
berkembang untuk meramaikan arak-arakan pengantin.

Pusat kesenian marawis itu berada di Pasar Minggu, Jakarta


Selatan. Di kecamatan ini, terdapat sebuah daerah bernama
Kampung Arab. Dari sinilah awal mula marawis berkembang pesat
di wilayah DKI Jakarta. Di Kampung Arab itu, dari mulai kakek,
cucu, anak semua main marawis

Satu grup marawis terdiri dari 10 orang. Setiap orang menabuh


alat musik. Ada yang menabuh marawis, menabuh hajir, tamborin
dan dumbuk. Seni marawis ini ternyata tidak selalu diisi dengan
tarian. tari-tarian dilakukan jika ada acara-acara khusus. Misalnya,
kalau ada panggung baru.

Dalam seni marawis terdapat tiga nada yang berbeda, antara lain,
zafin, sarah dan zaife. Zafin merupakan nada yang sering
digunakan untuk lagu-lagu pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Tempo nada yang satu ini lebih lambat dan tidak terlalu
menghentak.Kini, zafin tak hanya digunakan untuk mengiringi lagu-
lagu pujian, tapi juga digunakan untuk mendendangkan lagu-lagu
Melayu. Sedangkan, nada sarah dan zaife digunakan untuk irama
yang menghentak dan membangkitkan semangat.

Agar penonton tidak bosan, upaya pun dilakukan. Maka


ditambahlah alat musik gambus atau organ. Biasanya, grup marawis
akan berkembang menjadi grup gambus. Berbagai kreasi pun
ditambahkan pada musik marawis ini

Saat ini, marawis memang masih menghadapi tantangan. Karena,


baru bisa diterima masyarakat dari kalangan menengah ke bawah.
Hal itu akibat sumber daya manusia (SDM) pemain marawis yang
memang masih rendah. Ia mencontohkan, nasyid bisa diterima
hingga kalangan atas. Itu karena para pemainnya berasal dari
komunitas kampus. Meski begitu, marawis tidak kehilangan
penggemar. Saat ini, permintaan dan undangan untuk tampil terus
mengalir deras. Para pegiat marawis pun berharap agar televisi
kembali mau menayangkan marawis seperti dulu. Marawis sebagai
sebuah seni Islami tentu harus terus dikembangkan, agar tak
punah dimakan zaman.
3.Tanjidor
Tanjidor adalah Salah satu
kekayaan Budaya Indonesia
yang dimiliki secara khusus
orang suku Betawi yang masih
bernuansa Belanda. Namun
ada pula pendapat yang
mengatakan bahwa Kesenian
Portugal adalah yang melatar belakangi munculnya Tanjidor.
Kesenian Tanjidor lahir sebelum perbudakan dihapuskan sekitar
akhir abad 18. Tanjidor awalnya dimainkan oleh Budak-budak
Belanda. Ketika Belanda berkuasa, para pejabatnya memiliki rumah
yang tersebar di sekitar Batavia. Maka para budak juga turut di
tugaskan di sana. Dalam waktu senggang nya, para budak tersebut
sering memainkan sebuah music di dalam sebuah kelompok.

Tanjidor adalah kesenian musik yang dimainkan oleh sekelompok


orang. Maka sering disebut Orkes Tanjidor. Orkes Tanjidor
berkembang sejak abad ke-19 di dalam setelah munculnya
Perkoempolan Kaoen Betawi.

Tanjidor terdiri dari piston, trombon, tenor, klarinet, bas, dan


tambur. Piston, tombon, tenor, klarinet dan bas adalah alat musik
tiup, sendangkan tambur adalah alar musik pukul. Bila kita
berkunjung ke Jakarta, khusus nya di daerah pemukiman suku
Betawi, kita akan mendapati upacara perkawinan Betawi yang
diiringi dengan Orkes Tanjidor.
Orkes tanjdor sering memainkan lagu-lagu rakyat seperti jali-jali.
Selain perkawinan, beberapa acara yang umumnya dimeriahan oleh
Orkes Tanjidor adalah khitanan, acara umum seperti
memperingati kemerekaan Indonesia dan Tahun baru baik Masehi
maupun Imlek. Pada acara tersebut Orkes tanjidor umumnya
berkeliling sambil bermain musik yang sering disebut ngamen.
Ngamen dilakukan dengan berjalan kaki tanpa alas kaki.

Alat musik tanjidor

Alat alat musik tanjidor antara lain


adalah alat musik tiup terdiri dari
klarinet, trombon dan piston, alat musik
pukul terdiri dari rebana, gendang,
tamburin, bas drum, tenor drum, dan
snar drum dan alat musik gesek yaitu
tehyan.

Lagu lagu tanjidor


Lagu-lagu yang dibawakan antara lain : Batalion, Kramton,
Banamas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, Cakranegara. Judul lagi
tersebut berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi. Lagu-lagu
Tanjidor bertambah dengan membawakan lagu Betawi. Dapat
dimainkan lagu-lagu gambang kromong, seperti Jali-jali, Surilang
Siring Kuning, Kincir-kincir, Cente Manis, Stambul dan Persi.

Perkembangan tanjidor
Tanjidor berkembang didaerah pinggiran Jakarta, Depok,
Cibinong, Citeureup, Celeungsi, Jonggol, Parung, Bogor, Bekasi dan
Tanggerang. Di daerah-daerah itu dahulu banyak terdapat
perkebunan dan villa milik orang Belanda.

4.Orkes Gambus
Gambus adalah alat musik petik seperti
mandolin yang berasal dari Timur tengah.
Paling sedikit gambus dipasangi 3 senar
sampai paling banyak 12 senar. Gambus
dimainkan sambil diiringi gendang.
Sebuah orkes memakai alat musik utama
berupa gambus dinamakan orkes gambus
atau disebut gambus saja. Di TURI dan
RRI, orkes gambus pernah membawakan acara irama padang pasir.

Orkes gambus mengiringi tari Zapin yang seluruhnya dibawakan


pria untuk tari pergaulan. Lagu yang dibawakan berirama Timur
Tengah. Sedangkan tema liriknya adalah keagamaan. Alat musiknya
terdiri dari biola, gendang, tabla dan seruling. Kini, orkes gambus
menjadi milik orang Betawi dan banyak diundang di pesta sunatan
dan terk perkawinan. Lirik lagunya berbahasa Arab, isinya bisa doa
atau shalawat. Perintis orkes gambus adalah Syech Albar,
bapaknya Ahmad Albar, dan yang enal orkes gambus El-Surayya
dari kota Medan pimpinan Ahmad Baqi.

5.Rebana
Rebana adalah salah satu kesenian betawi yang mulai jarang
dijumpai. Jenis Rebana bervariasi. Ada Rebana Biang, Rebana
Burdah, Rebana Maukhid, Rebana
Kasidah, Rebana Dor, Rebana Hadroh,
Rebana Maulid, Rebana Ketimpring, dll.
Disebut Rebana Biang, karena
bentuknya yang besar.
Jenis musik perkusi dan bermembran ini biasa dimainkan di
kampung-kampung, di Masjid, Surau dan tempat-tempat lainnya
yang memungkinkan bisa diakses untuk menghibur. Mengiringi
berbagai permainan dengan nyanyian dan gerak tari. Di Betawi,
permainan rebana biasanya dilakukan dengan menyanyikan lagu-
lagu kasidah dan seringkali dalam berbagai keriyaan yang bertalian
dengan budaya Islam, seperti Mauludan, Lebaran, Khitanan,
Pernikahan, dan lain-lain. Ada perndapat yang mengatakan Rebana
berasal dari kata Robbana yang berarti Tuhan kami. Karena di
Betawi tempo dulu, Rebana ditabuh dalam kaitannya dengan Islam.
Diluar Betawi, Rebana juga berkembang luas dan disebut Terbang.

Selain Rebana Biang yang berukuran besar bergaris tengah


mencapai 20 s/d 25 Cm, juga masih ada Rebana Ketimpring
berukuran sedang dan pinggirannya terdapat ombyokan logam
berbentuk bulat tipis. Kalau ditabuh, ombyokan logam bulat tipis
itu menimbulkan suara cring….cring…..cring…. Selain itu ada jenis
rebana lainnya seperti Rebana Jati, Rebana Rakep, Rebana
Gedak, dan banyak lagi nama Rebana-rebana lainnya menurut
istilah dan fungsinya bagi masyarakat Betawi tempo dulu
menjadi kegembiraan dan kebanggaan. Rebana Jati – untuk
upacara-upacara, Rebana Rakep – untuk mengarak/mengiringi
pengantin, Rebana Gedak – mempergunakan pantun Indonesia.

Diluar Betawi pun didapati Rebana. Perkembang pesat di


pesisir pantai Utara. Semisal di kawasan Sunan Gunungjati
Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal
hingga Semarang. Di kota-kota tersebut dijumpai ragam
Rebana yang disebut Terbang Kentrung karena bila ditabuh
menimbulkan bunyi : drung dung drung…. Drung dung drung……
di tindih nyanyian puji-pujian terhadap Nabi Muhamad, dan
jelas bernuansa Islami. Juga Terbang Kenjring yang bunyinya
tong tang tong jring, tong jring tong jring …… Biasanya adat
menabuh terbang kendrung mau pun Genjring di kawasan pantai
Utara untuk menyemarakkan hajatan, mengarak pengantin dan
acara khitanan atau keramaian lainnya pada upacara Mauludan.

Musik Rebana juga


berkembang jauh diluar
Jawa, diseantero
Nusantara. Antara lain di
Jambi, Palembang, Riau,
Sumatera Barat, dll.
Agaknya Rebana atau
apapun nama dan istilahnya
banyak dijumpai di tengah
komunitas masyarakat pemeluk Islam. Konon dalam sejarah
pengembangnnya, musik Rebana berasal dari Timur Tengah atau
jazirah padang pasir Arabia. Di Mesir dan Iran, Rebana berbentuk
gendang dan seruling untuk mengiringi tari perut. Seni musik
Rebana masuk kawasan nusantara dibawa atau diperkenalkan oleh
para pedagang Arab yang tinggal di sepanjang pesisir pantai
Indonesia. Dari sanalah Rebana berkembang hingga ke betawi.

Asal-usul
Rebana memang masih simpang-siur karena disana-disi masih saja
muncul perbedaan pendapat di kalangan pakar kesenian Betawi.
Tetapi dalam alam demokrasi kita pun harus menghargai pendapat
yang berbeda. Karena tidak selalu pendapat berbeda itu negatif
bahkan saling mewarnai ibarat warna pelangi yang beraneka ragam
yang tampak indah.

Banyak diantara pakar dan seniman Betawi yang menghendaki agar


kesenian Betawi salah satunya seni musik Rebana Biang
dikembangkan dan dilestarikan agar tak lenyap dari permukaan
kota Jakarta. Tetapi zaman terus berubah dan bergeser sekian
derajat. Sehingga apa yang diharapkan meleset adanya. Gerak
Rebana Biang di kota yang dulu kencang disebut Betawi kian ciut
dan terpinggirkan. Pusat-pusat kegiatan berseni musik Rebana
Biang di Ciganjur, Cijantung, Cakung, Cise’eng, Parung, Pondok
Rajeg, Bojong Gede, Citayam, Condet, Lubang Buaya, Sugih Tamu,
Pondok Cina, Bintaro, dan Curug dekat Depok, ternyata sudah
banyak yang sirna.

Umumnya grup-grup Rebana Biang, yang dekat di lingkungan


perkotaan, seperti Rebana Biang Ciganjur, lebih banyak memiliki
perbendaharaan lagu-lagu dzikir berbahasa Arab atau lagu-lagu
yang linknya berbahasa Betawi, atau bahasa Sunda, yang bagi
senimannya sendiri kurang dipahami artinya. Tetapi makin
terpinggirnya musik Rebana Biang dari kehiruk-pikukan
Megapolitan Jakarta, bukan berarti habis sudah. Karena jenis
musik tersebut masih bisa didengar sekali-sekali ketika orang
merayakan HUT Jakarta.
Macam-Macam Musik Betawi

Nama : Annisa Ayuningtyas


Kelas : VIII-4
No.Absen: 5

Anda mungkin juga menyukai