Anda di halaman 1dari 16

BAB 5

HAMILTONAN

Penurunan persamaan Lagrange yang sudah dijelaskan pada bab sebelum-


nya, diawali dari tinjauan keadaan sistem pada saat tertentu dan pergeseran
semu terhadap keadaan tersebut, yaitu dari ”Prinsip Diferensial” seperti
Prinsip D’Alembert. Namun, dimungkinkan juga untuk mendapatkan per-
samaan Lagrange dari suatu prinsip yang meninjau seluruh gerak sistem
antara waktu t1 dan t2 , dan variasi semu yang kecil dari gerak tersebut.
Prinsip ini dikenal sebagai ”Prinsip Integral”.

5.1 Prinsip Hamilton


Konfigurasi sistem pada saat tertentu dijelaskan oleh nilai n buah koordinat
umum q1 , ..., qn , dan terkait dengan titik tertentu pada Koordinat Kartesian,
dengan q membentuk n buah sumbu koordinat. Ruang berdimensi n ini dise-
but sebagai Ruang Konfigurasi. Ruang ini tidak mempunyai hubungan yang
sesuai dengan ruang fisis 3 dimensi, sebagaimana koordinat umum tidak se-
lalu terhubung dengan koordinat posisi. Lintasan dalam ruang konfigurasi
tidak mempunyai kemiripan dengan lintasan sembarang partikel pada ruang
fisis. Setiap titik pada lintasan ini mewakili konfigurasi sistem keseluruhan
pada beberapa waktu tertentu.
Prinsip Integral Hamilton menjelaskan gerak sistem mekanik semacam
ini untuk semua gaya (kecuali gaya kendala), yaitu diturunkan dari sebuah
potensial skalar umum yang mungkin berupa fungsi koordinat, kecepatan,
dan waktu. Sistem-sistem semacam ini disebut sebagai sistem monogenik.
Jika potensial berupa sebuah fungsi yang hanya merupakan fungsi posisi
saja, maka sistem monogenik ini merupakan fungsi yang konservatif. Untuk
sistem monogenik, Prinsip Hamilton dinyatakan sebagai:

51
52 BAB 5. HAMILTONAN

Gambar 5.1: Lintasan Sistem Titik dalam Ruang Konsfigurasi

”Gerakan suatu sistem dari waktu t1 ke t2 sedemikian rupa sehingga


merupakan integral garis (disebut sebagai aksi atau integral aksi),
Z t2
I= Ldt, (5.1)
t1

dengan L = T − V bernilai konstan untuk lintasan yang sebenarnya.”

Hal ini berarti bahwa, semua lintasan yang mungkin suatu sistem titik
berpindah dari posisi awal saat t1 ke posisi berikutnya saat t2 , sesungguhnya
ia berpindah sepanjang lintasan sedemikian rupa sehingga nilai integral pada
persamaan (5.1) bernilai tetap (stasioner). Integral sepanjang lintasan yang
diberikan mempunyai nilai yang sama dengan semua lintasan di sekitarnya,
perhatikan Gambar 5.1.
Dengan kata lain, Prinsip Hamilton dapat dinyatakan sebagai Gerak
yang sedemikian rupa sehingga variasi integral garis I dari t1 ke t2 bernilai
0. Z t2
δI = δ L(q1 , ..., qn , q̇1 , ..., q̇n , t)dt = 0 (5.2)
t1
Ketika kendala sistem berupa kendala yang holonomik, Prinsip Hamilton
(5.2) sesuai dan memenuhi syarat untuk Persamaan Lagrange (4.19) atau
(4.45). Jadi, telah ditunjukkan bahwa Prinsip Hamilton didapatkan secara
langsung dari Persamaan Lagrange. Namun, pada bahasan lain akan ditun-
jukkan sebaliknya: Persamaan Lagrange didapat dari prinsip Hamilton.
5.2. PENURUNAN PERSAMAAN LAGRANGE DARI PRINSIP HAMILTON53

5.2 Penurunan Persamaan Lagrange dari Prinsip


Hamilton
Masalah mendasar dalam kalkulus variasi adalah membawa kasus fungsi f
sebagai fungsi yang tak bergantung pada variabel yi dan turunannya ẏi .
Tentu saja semua kuantitas tersebut ditinjau sebagai fungsi x.
Variasi integral J dinyatakan sebagai
Z 2
δJ = δ f (y1 (x), y2 (x), ..., ẏ1 (x), ẏ1 (x), ..., x)dx (5.3)
1

Seperti sebelumnya, persamaan ini diperoleh dengan meninjau J sebagai


fungsi dengan parameter α yang melabeli himpunan kurva yang mungkin
y1 (x, α). Didapatkan

y1 (x, α) = y1 (x, 0) + αη1 (x),


y2 (x, α) = y2 (x, 0) + αη2 (x),
. .
. .
. .

dengan y1 (x, 0), y2 (x, 0), dan seterusnya adalah solusi masalah ekstrimum,
dan η1 , η2 dan seterusnya adalah fungsi yang tak bergantung x, yang lenyap
di titik-titik ujung dan kontinyu pada turunan kedua. Selain itu, semuanya
sembarang.
Variasi J diberikan dalam bentuk
Z 2X 
∂J ∂f ∂yi ∂f ∂ ẏi
dα = dα + dα dx (5.4)
∂α 1 ∂yi ∂α ∂ ẏi ∂α
i

Kemudian kita integralkan per-bagian suku kedua persamaan (5.4)


2 2
∂f ∂ 2 yi
Z Z  
∂f ∂yi 2 ∂yi d ∂f
dx = − dx (5.5)
1 ∂ ẏi ∂α∂x ∂ ẏi ∂α 1 1 ∂α dx ∂ ẏi

dengan suku pertama lenyap, karena semua kurva melalui titik ujung yang
tetap. Substitusi persamaan (5.5) pada persamaan (5.4), δJ menjadi
Z 2X 
∂f d ∂f
δJ = − δyi dx, (5.6)
1 ∂yi dx ∂ ẏi
i
54 BAB 5. HAMILTONAN

dengan variasi δyi adalah


 
∂yi
δyi = dα. (5.7)
∂α

Karena yi adalah variabel yang independen, variasi δyi juga independen


(yakni, fungsi ηi (x) akan independen satu dengan yang lain). Oleh karena
itu, syarat δJ bernilai 0 adalah koefisien δyi lenyap secara terpisah

∂f d ∂f
− = 0, i = 1, 2, ..., n. (5.8)
∂yi dx ∂ ẏi

Persamaan (5.8) mewakili perumuman yang bersesuaian persamaan (5.8)


untuk beberapa variabel, dan dikenal sebagai Persamaan Diferensial Euler-
Lagrange. Solusi persamaan ini merepresentasikan kurva-kurva sedemikian
rupa sehingga integral pada persamaan (5.3) menghasilkan variasi sama de-
ngan 0.
Integral dalam Prinsip Hamilton
Z 2
I= L(qi , q̇i , t)dt, (5.9)
1

mempunyai bentuk seperti (5.3) dengan transformasi

x → t
y i → qi
f (yi , ẏi , x) → L(qi , q̇i , t)

Dalam menjabarkan persamaan (5.8), kita mengasumsikan variabel yi adalah


independen. Syarat terkait yang berhubungan dengan prinsip Hamilton
adalah koordinat umum qi bersifat independen, mengharuskan kendala bersi-
fat holonomik. Persamaan Euler-Lagrange yang berhubungan dengan inte-
gral I kemudian menjadi Persamaan Lagrange

d ∂L ∂L
− = 0, i = 1, 2, ..., n. (5.10)
dt ∂ q̇i ∂qi

Jadi, persamaan Lagrange dapat diturunkan dari Prinsip Hamilton untuk


sistem monogenik dengan kendala holonomik.
5.3. FUNGSI HAMILTON 55

5.3 Fungsi Hamilton


Tinjau fungsi H sebagai berikut
3N
X ∂L
H(q, q̇, t) ≡ q̇k −L (5.11)
∂ q̇k
k=1
3N
X
H(q, q̇, t) = q̇k pk − L (5.12)
k=1

Jika H diturunkan terhadap waktu (t)


dH X ∂L d ∂L dL
= q̈k + q̇k −
dt ∂ q̇k dt ∂ q̇k dt
d ∂L ∂L
Dari Lagrange: dt ∂ q̇k = ∂qk

dL ∂L ∂L dq ∂L dq̇
L(q, q̇, t) → = + +
dt ∂t ∂q dt ∂ q̇ dt
Maka
dH X  ∂L d ∂L
 
∂L dqk ∂L dq̇k

∂L
= q̈k + q̇k − + −
dt ∂ q̇k dt ∂ q̇k ∂qk dt ∂ q̇k dt ∂t
X  ∂L d ∂L
 
∂L ∂L

∂L
= q̈k + q̇k − q̇k + q̈k −
∂ q̇k dt ∂ q̇k ∂qk ∂ q̇k ∂t
dH ∂L
= − (5.13)
dt ∂t
Jika L tidak bergantung pada waktu secara eksplisit L = L(q, q̇) maka
dH
dt = 0 → H = konstan; H merupakan suatu konstanta.
Andaikan q̇k adalah sistem koordinat
P yang ortogonal
P yang berakibat T bersi-
1 2 ∂L
fat kuadratik terhadap q̇k → T ≈ 2 Ak q̇k dan q̇k ∂ q̇k = 2T .
3N
X ∂L
H = q̇k −L
∂ q̇k
k=1
= 2T − L ;L = T − V
= 2T − T + V
H = T +V (5.14)
Jadi H mempunyai arti fisis sebagai energi mekanik sistem apabila sistem ko-
ordinat yang dipakai adalah sistem koordinat ortogonal. Jika kita menggu-
nakan sistem koordinat ortogonal dimana fungsi L tidak bergantung waktu
56 BAB 5. HAMILTONAN

secara eksplisit maka fungsi Hamilton H merupakan energi mekanik yang


bersifat kekal.

Contoh:

1. Kasus osilator harmonik satu dimensi


Energi Kinetik T = 21 mẋ2
Energi Potensial V = 12 kx2
Lagrangan diperoleh sebagai

L=T −V
1 1
L = mẋ2 − kx2
2 2
Persamaan geraknya:

d ∂L ∂L
− =0
dt ∂ ẋ ∂x
mẍ + kx = 0

Persamaan Hamilton
X ∂L
H = q̇k −L
∂ q̇k
 
∂L 1 2 1 2
= ẋ − mẋ − kx
∂ q̇k 2 2
1 1
= ẋ(mẋ) − mẋ2 + kx2
2 2
1 2 1 2
H = mẋ + kx
2 2

2. Gerak benda dalam sebuah bidang karena gaya sentral (gaya rotasi)

L = T −V
1
= mv 2 − V (r)
2
1
= m(ṙ2 + r2 θ2 ) − V (r)
2
Persamaan Gerak
d ∂L ∂L
− =0
dt ∂ q̇k ∂qk
5.4. PERSAMAAN HAMILTON 57

Persamaan gerak terhadap r

d ∂L ∂L
− = 0
 dt ∂ ṙ ∂r
d ∂V
mṙ − mrθ̇2 − = 0
dt ∂r
dV
mr̈ − mrθ̇2 + = 0
dr
dV
mr̈ = mrθ̇2 −
dr
2
mr̈ = mrθ̇ − f (r)

5.4 Persamaan Hamilton


Telah didefinisikan fungsi Hamilton yang bergantung pada fungsi Lagrange.
Dengan demikian dapat dituliskan persamaan gerak dalam bentuk fungsi
Hamilton

3N
X ∂L
H(q, q̇, t) = q̇k − L(q, q̇, t) (5.15)
∂ q̇k
k=1
3N
X
H(q, q̇, t) = q̇k pk − L(q, q̇, t) (5.16)
k=1

Sebelum dituliskan H sebagai fungsi (q, q̇, t). Namun karena q̇ dan p saling
terkait, maka H dapat dituliskan sebagai fungsi q, p, t. Dengan menganggap
q, p, t saling bebas, maka variasi H(q, p, t) .

X ∂H X ∂H X ∂H
δH(q, q̇, t) = δqk + δpk + δt
∂qk ∂pk ∂t
P
Karena H = q̇k pk − L(q, q̇, t), maka
X X
δH = q̇k δpk + pk δ q̇k − δL(q, q̇, t)
hX X i X ∂L X ∂L X ∂L
= q̇k δpk + pk δ q̇k − δqk − δ q̇k − δt
∂qk ∂ q̇k ∂t
X X ∂L
δH = q̇k δpk − ṗk δqk − δt (5.17)
∂t
58 BAB 5. HAMILTONAN

Diperoleh persamaan Hamilton sebagai:


∂H
(1) δpk : q̇k = (5.18)
∂pk
∂H
(2) δqk : ṗk = − (5.19)
∂qk
∂L ∂H
(3) δt : =− (5.20)
∂t ∂t
Persamaan (5.18) menyatakan sebagai kombinasi momentum pk
Persamaan (5.19) menyatakan dinamika atau persamaan gerak partikel
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa persamaan Hamilton merupakan
alternatif lain untuk memecahkan persoalan gerak partikel.
BAB 6

TRANSFORMASI
KANONIK

6.1 Transformasi Kanonik


Jika fungsi Hamilton dinyatakan dalam sistem koordinat di mana salah satu
fungsi atau beberapa koordinatnya bersifat siklik, maka jumlah persamaan
gerak yang diperoleh akan berkurang sebanyak jumlah koordinat siklik yang
ada. Oleh karena itu, sebelum memecahkan persaman Hamilton sebaiknya
dituliskan fungsi Hamilton tidak sistem koordinat yang mengandung koor-
dinat siklik.
Misal: Sistem koordinat lama (2D) dinyatakan oleh (qk , pk ) ditransformasikan
dalam koordinat baru (Qk , Pk ). Maka transformasi koordinat diperoleh

(qk , pk ) → (Qk , Pk )

dengan

Qk = Qk (q, p, t) (6.1)
Pk = Pk (q, p, t) (6.2)

Contohnya (x, y) → (r, θ) Pada prinsipnya koordinat (Q, P ) dapat


dipilih sembarang. Andaikan (Q, P ) dipilih sedemikian rupa sehingga ter-
dapat suatu fungsi K(Q, P ) yang memenuhi persmanaan:
∂K
Q̇k = (6.3)
∂Pk
∂K
Ṗk = − (6.4)
∂Qk

59
60 BAB 6. TRANSFORMASI KANONIK

Maka transformasi (qk , pk ) → (Qk , Pk ) dinamakan transformasi kanonik.


Jelas bahwa fungsi K merupakan fungsi Hamilton didalam sistem koordinat
baru.
Newtonian → analisis gaya Lagrange → analisis energi Hamilton
→ analisis energi Persamaan gerak diperoleh dari persamaan Hamilton,
sebagai berikut:

∂H
q̇k = (6.5)
∂pk
∂H
ṗk = − (6.6)
∂qk

6.2 Fungsi Pembangkit


Persamaan Lagrange
d ∂L ∂L
− =0
dt ∂ q̇k ∂qk
Dapat diturunkan dari persamaan aksi I
Z t2
I= L(q, q̇, t)dt
t1

Persamaan Lagrange akan diperoleh apabila variasi dari fungsi aksi tersebut
= 0.
d ∂L ∂L
δI = 0 → − =0
dt ∂ q̇k ∂qk
Dari definisi fungsi Hamilton diperoleh
Z t2
δ Ldt = 0 (6.7)
t1
Z t2 hX i
δ pi q̇i − H(q, q̇, t) dt = 0 (6.8)
t1

Dalam prinsip variasi dipersyaratkan bahwa variasi di dua titik awal dan
akhir sama dengan NOL. Oleh karena itu persamaan diatas harus berbeda
menurut:
X X dF
pi q̇i − H(q, q̇, t) = Q̇i Pi − K(Q, P, t) +
dt
6.3. KURUNG POISSON 61

Dengan F sembarang fungsi


Z t2 hX Z t2 Z t2
i hX i dF
pi q̇i − H(q, q̇, t) dt = Q̇i Pi − K(Q, P, t) dt + dt
t1 t1 t1 dt
(6.9)
Z t2 hX i
= Q̇i Pi − K(Q, P, t) dt + (F (t2 ) − F (t1 ))
t1
(6.10)
Fungsi F tersebut sering dinamakan fungsi Pembangkit dari transformasi
kanonik. Agar F berpengaruh terhadap transformasi kanonik, maka F
haruslah merupakan fungsi dari ke-2 sistem koordinat → F (q, p, Q, P, t).
Pada umumnya F merupakan fungsi dari koordinat dan momentum dari
F (q, p, t), namum transformasi kanonik membuat sebagian dari koordinat
saling bergantung.
Dalam bentuk praktis
F = F (q, Q, t) (6.11)
F = F (q, P, t) (6.12)
F = F (p, Q, t) (6.13)
F = F (p, P, t) (6.14)

6.3 Kurung Poisson


Kurung Poisson dua buah fungsi u, v terhadap variabel kanonik q, p didefin-
isikan sebagai
∂u ∂v ∂u ∂v
[u, v]q,p = − (6.15)
∂qi ∂pi ∂pi ∂qi
Dari definisi tersebut, didapatkan kurung Poisson memenuhi
[qj , qk ]q,p = 0 = [pj , pk ]q,p (6.16)
dan
[qj , pk ]q,p = δjk = −[pj , qk ]q,p (6.17)
Jadi, beberapa hubungan yang dipenuhi dalam kurung Poisson di antaranya:
[u, u] = 0, (6.18)
[u, v] = −[v, u], sifat antisimetri (6.19)
[uv, w] = [u, w]v + u[v, w], (6.20)
[au + bv, w] = a[u, w] + b[v, w], sifat linear (6.21)
62 BAB 6. TRANSFORMASI KANONIK

dengan a dan b adalah konstanta.


Sifat selanjutnya,

[u, [v, w]] + [v, [w, u]] + [w, [u, v]] = 0 (6.22)

Persamaan (6.22) penting untuk mendefinisikan asal kurung Poisson. Bi-


asanya dinyatakan dalam bentuk identitas Jacobi, yang menyatakan bahwa
jika u, v, dan w adalah tiga buah fungsi yang kontinyu pada turunan ke-
dua, maka jumlah permutasi siklik kurung Poisson dobel dari ketiga fungsi
bernilai nol.

6.4 Teori Hamilton-Jacobi


Pada bahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa transformasi kanonik da-
pat digunakan sebagai prosedur umum untuk memecahkan masalah mekanika.
Telah dijelaskan dua cara. Jika Hamiltonan bersifat lestari (conserved),
maka solusi dapat diperoleh dengan mentrasformasi ke dalam koordinat
kanonik baru yang semuanya bersifat siklik, yaitu mendapatkan persamaan
baru dengan solusi yang mudah. Alternatif lain adalah mencari suatu trans-
formasi kanonik dari koordinat dan momentum (q, p) saat t ke dalam suatu
himpunan kuantitas konstan yang baru, yang mungkin menjadi 2n buah
nilai awal (q0 , p0 ) saat t = 0. Dengan transformasi semacam itu, persamaan
transformasi yang menghubungkan variabel kanonik lama dan baru meru-
pakan solusi masalah mekanika yang diharapkan

q = q(q0 , p0 , t)
p = p(q0 , p0 , t)

Persamaan ini memberikan koordinat dan momentum sebagai fungsi nilai


awal koordinat dan momentum, serta waktu. Prosedur yang kedua bersifat
lebih umum, khususnya sebagaimana ia applicable, tidak terikat prinsip,
bahkan ketika Hamiltonan mengandung waktu.
Ditinjau variabel baru bersifat konstan terhadap waktu untuk memenuhi
Hamiltonan yang ditransformasi bernilai 0. Persamaan geraknya

∂K
= Q̇i = 0,
∂Pi
∂K
= Ṗi = 0. (6.23)
∂Qi
6.4. TEORI HAMILTON-JACOBI 63

Sebagaimana telah diketahui, Hamiltonian baru K harus terhubung de-


ngan Hamiltonian yang lama H dan fungsi pembangkit F , oleh persamaan
∂F
K=H+ , (6.24)
∂t
dan akan bernilai 0 jika fungsi pembangkit memenuhi
∂F
H(q, p, t) + = 0. (6.25)
∂t
Adalah tepat untuk membuat F sebagai fungsi koordinat lama qi , mo-
mentum konstan yang baru Pj , dan waktu (dalam bahasan sebelumnya,
hal ini dinyatakan sebagai F2 (q, P, t)). Untuk menuliskan dalam persamaan
(6.25) sebagaimana fungsi dengan variabel yang sama, kita gunakan per-
samaan
∂F2
pi = (6.26)
∂qi
sehingga persamaan (6.25) menjadi
 
∂F2 ∂F2 ∂F2
H q1 , ..., qn , , ..., + = 0. (6.27)
∂qi ∂qn ∂t

Persamaan (6.27) dikenal sebagai Persamaan Hamilton-Jacobi, meru-


pakan persamaan diferensial parsial dalam (n + 1) variabel (q1 , ..., qn , t) un-
tuk fungsi pembangkit yang diharapkan. Kita gunakan S untuk solusi F2 ,
dan S dikenal sebagai Fungsi Prinsip Hamilton.
Andaikan terdapat solusi persamaan (6.27) dalam bentuk

F2 ≡ S = S(q1 , ..., qn , α1 , ..., αn+1 , t), (6.28)

dengan kuantitas α1 , ..., αn+1 merupakan (n + 1) konstanta integrasi yang


saling bebas satu sama lain. Solusi semacam ini dikenal sebagai solusi
lengkap persamaan diferensial orde pertama. Salah satu konstanta inte-
grasi pasti bukan merupakan solusi, untuk itu S tidak akan muncul dalam
persamaan (6.27), hanya turunan parsialnya terhadap q atau t yang ter-
masuk. Oleh karena itu, jika S merupakan salah satu dari beberapa solusi
persamaan diferensial, maka S+α juga merupakan solusi, dengan α sebarang
konstanta.
Salah satu dari (n + 1) konstanta integrasi dalam persamaan (6.28)
hanya muncul sebagai konstanta tambahan pada S. Konstanta tambahan
ini tidak mempunyai arti pada fungsi pembangkit, karena hanya turunan
parsial fungsi pembangkit yang muncul pada persamaan transformasi.
64 BAB 6. TRANSFORMASI KANONIK

Oleh karena itu, solusi lengkap persamaan (6.27) dapat dituliskan dalam
bentuk
S = S(q1 , ..., qn , α1 , ..., αn , t), (6.29)
dan tidak ada n buah konstanta integrasi independen yang semata-mata
tambahan.
Persamaan (6.29) menyatakan S sebagai fungsi N koordinat, waktu t,
dan n buah kuantitas independen αi . Kita mendapatkan n buah konstanta
integrasi menjadi momentum konstan yang baru

Pi = αi (6.30)

Pilihan seperti ini tidak berlawanan dengan pernyataan awal bahwa momen-
tum yang baru terhubung dengan nilai awal q dan p saat t = 0. Persamaan
transformasi n dinyatakan sebagai

∂S(q, α, t)
pi = , (6.31)
∂qi

dengan q, α ada untuk melengkapi kuantitas. Saat t = 0, hal itu meru-


pakan n persamaan menghubungkan n buah α dengan nilai awal q dan p,
kemudian memudahkan kita menghitung konstanta integrasi. Separo per-
samaan transformasi yang lain, yang mengandung koordinat konstan yang
baru, muncul dalam bentuk

∂S(q, α, t)
Qi = βi = . (6.32)
∂αi
Konstanta β dapat diperoleh dari syarat awal, hanya dengan menghitung
nilai pada ruas kanan persamaan (6.32) saat t = 0 dengan nilai awal qi yang
diketahui. Persamaan (6.32) dapat diganti untuk melengkapi qj sebagai
fungsi α, β, t
qj = qj (α, β, t), (6.33)
yang akan menyelesaikan masalah koordinat sebagai fungsi waktu dan syarat
awal.
Setelah mendiferensiasi persamaan (6.31), persamaan (6.33) dapat dis-
ubstitusi ke dalam q, sehingga didapatkan momentum pi sebagai fungsi
α, β, t
pi = pi (α, β, t). (6.34)
Persamaan (6.33) dan persamaan (6.34) merupakan solusi lengkap persamaan
gerak Hamilton.
6.4. TEORI HAMILTON-JACOBI 65

Fungsi Prinsip Hamilton kemudian menjadi pembangkit transformasi


kanonik ke dalam koordinat dan momentum konstan; ketika menyelesaikan
persamaan Hamilton-Jacobi, kita bersamaan dalam mendapatkan suatu so-
lusi masalah mekanika. Dalam bahasa matematis, kita telah membuat kese-
taraan antara 2n persamaan gerak kanonik, yang berupa persamaan difer-
ensial orde pertama, dengan persamaan Hamilton-Jacobi, yang berupa per-
samaan diferensial parsial orde pertama.
Bahasan lebih lanjut dalam kasus fisis dari fungsi prinsip Hamilton S
dilengkapi oleh pengujian turunan total terhadap waktu, yang dapat dihi-
tung dalam bentuk
dS ∂S ∂S
= q̇i + , (6.35)
dt ∂qi ∂t
karena Pi konstan terhadap waktu. Dengan menggunakan persamaan (6.31)
dan (6.27), hubungan ini dapat ditulis ulang sebagai

dS
= pi q̇i − H = L, (6.36)
dt
sedemikian rupa sehingga fungsi prinsip Hamilton berbeda dari integral
waktu tak-tentu Lagrangan hanya oleh konstanta
Z
S = Ldt + konstanta. (6.37)

Sekarang, prinsip Hamilton merupakan sebuah pernyataan tentang inte-


gral L. Dari sini kita mendapatkan penyelesaian masalah melalui persamaan
Lagrange.
Ketika Hamiltonan secara secara eksplisit tidak bergantung pada waktu,
fungsi prinsip Hamilton dapat ditulis dalam bentuk

S(q, α, t) = W (q, α) − at, (6.38)

dengan W (q, α) disebut sebagai fungsi karakteristik Hamilton.


Arti fisis W dapat dipahami dengan menuliskannya dalam turunan total
dW ∂W
= q̇i . (6.39)
dt ∂qi

Bandingkan persamaan (6.39) ini dengan hasil substitusi persamaan (6.38)


dalam persamaan (6.31), diperoleh

∂W
pi = , (6.40)
∂qi
66 BAB 6. TRANSFORMASI KANONIK

oleh karena itu


dW
= pi q̇i . (6.41)
dt
Jika diintegralkan akan diperoleh
Z Z
W = pi q̇i dt = pi dqi . (6.42)

Anda mungkin juga menyukai