Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

MANAJEMEN KONFLIK

Disusun Oleh Kelompok :


1. Dilinte Baye

(1914314201039)
2. Maulida Nafatin

(1914314201053)
3. Yumi Oktavias
(1914314201072)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


MAHARANI MALANG
S1 KEPERAWATAN
2020/2021

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan
syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-nya, sehingga Karya Tulis dengan judul “Manajemen Konflik”
ini dapat diselesaikan dengan baik. Karya Tulis ini kami buat dengan tujuan untuk
memberikan gambaran mengenai manajemen konflik dalam suatu organisasi.

Hal ini sangat bermanfaat untuk melengkapi pengetahuan mahasiswa agar


mampu mengatasi konflik yang mungkin terjadi, baik konflik secara personal atau
interpersonal dalam dunia kerja. Meskipun upaya semaksimal sudah dilakukan dalam
penyusunan karya tulis ini, namun kami menyadari masih banyak kekurangan dan
keterbatasan yang ditemukan. Oleh karena itu, kami mohon adanya kritik dan saran
yang bersifat membangun guna melengkapi karya tulis ini.

Malang, 02 April 2020

iii
Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................2
1.3 Tujuan...................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................3
2.1 Kepemimpinan......................................................................................3
2.2 Konflik..................................................................................................8
2.3 Pengaruh Kepemimpinan......................................................................16
BAB III PEMBAHASAN...............................................................................18
3.1 Contoh Kasus........................................................................................18
3.2 Analisa Kasus.......................................................................................18
BAB IV PENUTUP.........................................................................................26
4.1 Kesimpulan...........................................................................................26
4.2 Saran ....................................................................................................26

iv
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................27

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perawat adalah salah satu profesi yang menyediakan pelayanan jasa
keperawatan dan langsung berinteraksi dengan banyak orang dalam hal ini adalah
klien. Profesi perawat juga menjalin hubungan kolaboratif antar tim kesehatan,
baik itu dengan dokter, laboran, ahli gizi, apoteker, dan semua yang terlibat dalam
pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan pekerjaannya, perawat akan saling
berinteraksi dengan tim kesehatan tersebut dan ketika tim ini memandang suatu
masalah atau situasi dari sudut pandang yang berbeda maka dapat terjadi sebuah
konflik (CNO, 2009). Perawat seringkali mengambil tindakan menghindar dalam
menyelesaikan permasalahan atau konflik yang terjadi dengan tujuan
mempertahankan status nyaman dan mencegah perpecahan dalam kelompok
(Hudson, 2005). Ironisnya, strategi tersebut memberikan dampak destruktif
terhadap perkembangan individu dan organisasi.
Perawat sebagai pengelola, dalam hal ini sebagai manajer, memegang peranan
penting dalam menentukan strategi penyelesaian konflik antar anggotanya.
Seorang pemimpin yang dianggap berkompeten dalam menyelesaikan konflik (a
conflict-competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika
terjadinya suatu konflik, memahami reaksi yang ditimbulkan dari suatu konflik,
mendorong respon konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang mampu
menangani konflik secara efektif (a conflict-competent organization) (Runde and
Flanagan, 2007).
Penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami mungkin dengan tujuan
meningkatkan proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam
menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan datang (Shetach, 2012).
Menurut Rahim (2002), gaya kepemimpinan (demokratis, autokratis, dan Laissez
5 faire) sangat mempengaruhi pemilihan strategi penyelesaian konflik (integrating

1
(problem solving), obliging, compromising, dominating (forcing), avoiding),
dimana setiap strategi tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-
masing tergantung pada batasan dan sumber konflik, serta tujuan yang ingin
dicapai apakah berorientasi pada hubungan antar anggota (concern for others)
atau berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Oleh karena itu seorang
pemimpin perlu memiliki pemahaman yang cukup tentang pengaruh gaya
kepemimpinan terhadap penyelesaian konflik individu ataupun organisasi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu kepemimpinan?
2. Apa saja peran pemimpin?
3. Apa itu konflik?
4. Bagaimana sumber konflik?
5. Apa saja jenis-jenis konflik?
6. Apa itu manajemen konflik?
7. Bagaimana proses manajemen konflik?
8. Bagaimana pengaruh kepeimpinan dalam manajemen konflik?
1.3 Tujuan
1. Untuk memahami definisi dari kepemimpinan.
2. Untuk mengetahui apa peran dari kepemimpinan.
3. Untuk memahami pengertian dari konflik.
4. Untuk memahami sumber konflik.
5. Untuk mengetahui jenis-jenis konflik.
6. Untuk memahami manajemen konflik.
7. Untuk memahami proses manajemen konflik.
8. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kepemimpinan dalam manajemen
konflik.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepemimpinan
2.1.1 Definisi
Kepemimpinan adalah suatu seni untuk memotivasi sekelompok orang
untuk bertindak dalam mencapai tujuan bersama (Marquis & Huston, 2012).
2.1.2 Teori Kepemimpinan
Ada beberapa macam teori kepemimpinan yaitu:
a. The Great Man Theory
The Great Man Theory menyimpulkan bahwa pemimpin sejati
sudah mempunyai bakat sejak lahir. Menurut teori ini, seorang
pemimpin harus memiliki karisma, kecerdasan, dan kebijaksanaan
(Russel, 2011).
b. Trait Theories
Trait Theories merupakan cabang dari Great Man Theory.
Teori ini menyimpulkan bahwa sifat-sifat tertentu dari seorang
individu memberikan kecenderungan yang lebih baik untuk menjadi
pemimpin. Teori ini menekankan bahwa para pemimpin mempunyai
ciri-ciri umum dan karakteristik yang membuat mereka sukses (Russel,
2011).
c. Contingency Theories
Contingency Theories menyimpulkan bahwa seorang
pemimpin menjadi besar karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang
lain seperti situasi, kualitas para pengikut atau sejumlah variabel
lainnya. Dalam teori ini tidak ada satu cara yang tepat untuk
memimpin karena faktor internal dan eksternal dari lingkungan
memerlukan pemimpin untuk beradaptasi dengan situasi tertentu
(Fiedler, 1967 cit Waworuntu, 2003).

3
d. Situasional Theories
Teori Situasional sangat mirip dengan teori contingency. Teori
ini menyimpulkan bahwa kinerja yang baik ditentukan oleh gaya
kepemimpinan yang baik. Kepemimpinan yang efektif ditentukan oleh
pemimpin, kelompok yang dipimpin dan kinerja yang baik (Russel,
2011) .
e. Behavioral Theories
Teori ini bertolak belakang dengan Great Man Theory,
Behavioral Theories menyimpulkan bahwa seorang pemimpin menjadi
besar karena dibuat, tidak dilahirkan. Teori ini berfokus pada tindakan
atau ciri-ciri prilaku para pemimpin. Pemimpin dapat menjadi seorang
pemimpin yang efektif melalui pengamatan, pengalaman dan
pembelajaran (Waworuntu, 2003).
f. Participative Theories
Teori Partisipatif menyimpulkan bahwa pemimpin yang baik
mempertimbangkan apa yang orang lain miliki sebagai masukan. Jenis
kepemimpinan pada teori ini memberikan kepercayaan terhadap
bawahan dengan maksud untuk mengumpulkan partisipasi kolaboratif
aktif dalam organisasi. Dengan membiarkan bawahan untuk terlibat
dalam suatu pekerjaan, maka akan meningkatkan pengetahuan mereka
tentang cara kerja dalam organisasi dan membantu mereka untuk
memahami bagaimana proses pengambilan keputusan oleh pemimpin.
Jenis kepemimpinan ini dapat mengakibatkan konsekuensi negatif jika
pemimpin sering meminta pendapat kepada bawahan kemudian
mengabaikan masukan dari bawahan (Russel, 2011).
g. Management Theories
Teori Manajemen (sering disebut Teori Transaksional)
menyimpulkan bahwa kinerja yang optimal dapat dicapai melalui
pemberian reward 8 and punisment. Teori-teori ini sering digunakan

4
dalam manajemen perusahaan atau institusi di mana karyawan
diberikan reward berupa bonus/insentif dan cuti ketika kinerja mereka
dianggap baik oleh atasan dan diberi punishment berupa teguran,
penggantian jam kerja/lembur ketika kinerja mereka sangat di bawah
ekspektasi (Zagorsek at all, 2009).
h. Relationship Theories
Teori Hubungan (Teori Transformasional) menyimpulkan
bahwa pemimpin harus membuat perubahan positif kepada bawahan
sehingga dapat meningkatkan motivasi dan kinerja bawahan (Konorti,
2008). Pemimpin harus memotivasi dan menginspirasi bawahan
dengan membantu mereka untuk memahami pentingnya tugas atau
tujuan yang akan dicapai. Pemimpin dalam model teoritis ini biasanya
memiliki standar etika dan moral yang tinggi dan berusaha untuk
memastikan organisasi, kelompok dan keberhasilan individu (Buckley
& Brown, 2005).
2.1.3 Gaya Kepemimpinan
Beberapa gaya kepemimpinan menurut beberapa para ahli adalah:
a. Autocratic leadership
Kepemimpinan otokratis adalah bentuk paling ekstrim dari
kepemimpinan transaksional. Pemimpin memiliki kontrol mutlak dan
tidak membiarkan bawahan untuk memberikan masukan. Namun, jenis
kepemimpinan ini dapat menjadi efektif bila tenaga kerja tidak
terampil atau dalam situasi stres yang tinggi dan perlu dilakukan
tindakan cepat. Beberapa karakteristik autocratic leadership, yaitu: 1)
Atasan memiliki kontrol mutlak 2) Bawahan bekerja karena adanya
paksaan 3) Bawahan bekerja harus sesuai perintah atasan 9 4)
Komunikasi dari atas ke bawah 5) Pengambilan keputusan tidak
melibatkan bawahan 6) Penekanan pada perbedaan status “saya” dan
“kamu” 7) Kritik bersifat destruktif.

5
b. Democratic/participative leadership
Kepemimpinan demokratis atau partisipatif adalah
pemimpin mendorong partisipasi bawahan untuk berkontribusi
pada proses pengambilan keputusan. Kepemimpinan jenis ini
memotivasi bawahan untuk bekerja lebih keras agar mereka benar-
benar merasa memiliki. Pemimpin masih membuat keputusan
akhir tapi semua orang terlibat dalam brainstorming dan diskusi.
Jenis kepemimpinan bekerja sangat baik ketika fokusnya adalah
kualitas, bukan kuantitas atau kecepatan. Bawahan harus mampu
mengkomunikasikan ide-ide atau pendapat mereka secara efektif
sehingga pemimpin memahami dan dapat menggunakan input
bawahan untuk membantu menyelesaikan tugas. Beberapa
karakteristik democratic leadership, yaitu:
1. Kontrol kurang dipertahankan
2. Reward diberikan untuk memotivasi bawahan
3. Atasan hanya memberikan arahan dan petunjuk
4. Komunikasi ke atas dan ke bawah
5. Pengambilan keputusan merupakan kesepakatan bersama
6. Penekanan pada “kami” bukan “saya” dan “kamu”
7. Kritik bersifat konstruktif
c. Laissez faire leadership
Kepemimpinan Laissez-faire menjelaskan bahwa semua
tanggung jawab untuk pengambilan keputusan diserahkan kepada
bawahan. Atasan memberikan bimbingan, melakukan monitoring
dan memberikan bahan kepada bawahan untuk dapat
mengembangkan 10 program dan akhirnya membuat keputusan.
Jenis kepemimpinan ini dapat diterapkan dengan efektif jika
bawahan mempunyai pengetahuan dan pengalaman. Beberapa
karakteristik laissez-faire leadership:

6
1. Permisif, dengan sedikit atau tanpa ada kontrol
2. Motivasi yang diberikan hanya ketika ada permintaan dari
kelompok atau individu
3. Memberikan sedikit atau tanpa arahan
4. Menggunakan komunikasi dari atas ke bawah antar anggota
kelompok
5. Pengambilan keputusan diserahkan kepada kelompok
6. Penekanan pada kelompok
7. Tidak ada kritik
2.1.4 Peran Kepemimpinan
Menurut Mulyadi, dkk (2013) ada beberapa peran dari kepemimpinan yaitu:
a. Peran Interpersonal (The Interpersonal Roles)
Peran interpersonal terbagi menjadi 3, yaitu :
1. Simbol Organisasi (Figurehead). Kegiatan yang dilakukan biasanya
bersifat resmi, seperti menjamu makan siang pelanggan.
2. Pemimpin (Leader). Seorang pemimpin menggunakan pengaruhnya
untuk memotivasi dan mendorong karyawannya untuk mencapai
tujuan organisasi.
3. Penghubung (Liaison). Seorang pemimpin berperan sebagai
penghubung dengan orang diluar organisasinya dan penghubung
antara manajer dalam berbagai level dengan bawahannya.
b. Peran Informasional (The Informational Roles)
Peran informasional terbagi menjadi 3, yaitu:
1. Pengawas (Monitor) Pemimpin harus melakukan pengamatan dan
pemeriksaan secara kontinyu terhadap lingkungannya untuk
mendapatkan informasi yang valid, yakni terhadap bawahan, atasan,
dan selalu menjalin hubungan dengan pihak luar.
2. Penyebar (Disseminator) Pemimpin juga harus mampu menyebarkan
informasi kepada pihak-pihak yang memerlukannya.

7
3. Juru Bicara (Spokesperson) Pemimpin berperan untuk menyediakan
informasi bagi pihak luar.
c. Peran Pembuat Keputusan (The Decisional Roles)
1. Pengusaha (Entrepreneurial) Pemimpin harus memiliki sikap pro aktif
dalam mengembangkan suatu proyek dan menyusun sumberdaya yang
dibutuhkan.
2. Penghalau Gangguan (Disturbance Handler) Pemimpin harus bersikap
reaktif terhadap masalah dan tekanan situasi.
3. Pembagi Sumber Dana (Resource Allocator) Pemimpin harus dapat
mendistribusikan sumber dana ke bagianbagian dari organisasinya
yang aling membutuhkan baik berupa uang, waktu, perbekalan, tenaga
kerja dan reputasi.
4. Pelaku Negosiasi (Negotiator) Pemimpin harus mampu melakukan
negosiasi pada setiap tingkatan, baik dengan bawahan, atasan maupun
pihak luar.
2.2 Konflik
2.2.1 Definisi Konflik
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan
ide, nilai-nilai, dan perasaan antara dua orang atau lebih (Marquis & Huston,
1996 dalam Hendel dkk, 2005). Menurut Kazimoto (2013), konflik adalah
adanya perselisihan yang terjadi ketika tujuan, keinginan, dan nilai
bertentangan terhadap individu atau kelompok.
2.2.2 Sumber Konflik
Shetach (2012) menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan karena:
1. perbedaan interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis kelamin, ras,
pandangan, perasaan, pendidikan, pengalaman, tingkah laku, pendapat,
budaya, kebangsaan, keyakinan, dll.
2. perbedaan kepentingan dalam hubungan antar manusia karena
perbedaan budaya, posisi, peran, status, dan tingkat hirarki. Menurut
Robbins (2008), konflik muncul karena ada kondisi yang

8
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang
disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga
ketegori, yaitu : komunikasi, struktur, dan variabel pribadi.
a. Komunikasi Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang
menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat
menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa
kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan
dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi
dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
b. Struktur Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang
mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada
anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara
tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem
imbalan, 13 dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian
menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan
variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan
makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan
terjadinya konflik.
c. Variabel Pribadi Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor
pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu,
karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan
(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang
sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan
sumber konflik yang potensial.

9
2.2.3 Jenis-jenis Konflik
Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik
intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan konflik
antar kelompok.
a. Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi pada individu
sendiri. Keadaan ini merupakan masalah internal untuk
mengklasifikasinilai dan keinginan dari konflik yang terjadi. Hal ini sering
dimanifestasikan sebagai akibat dari kompetisi peran. Misalnya seorang
manajer mungkin merasa konflik intrapersonal dengan loyalitas terhadap
profesi keperawatan, loyalitas terhadap pekerjaan, dan loyalitas kepada
pasien.
b. Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih, dimana nilai,
tujuan, dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena seseorang
secara konstan berinteraksi dengan orang lain sehingga ditemukan
perbedaan-perbedaan. Sebagai contoh seorang manajer sering mengalami
konflik dengan teman sesame manajer, atasan, dan bawahannya.
c. Konflik Intra kelompok
Konflik ini terjadi ketika seseorang didalam kelompok melakukan
kerja berbeda dari tujuan, dengan contoh seorang perawat tidak
mendokumentasikan rencana tindakan perawatan pasien sehingga akan
mempengaruhi kinerja perawat lainnya dalam satu tim untuk mencapai
tujuan perawatan di ruangan tersebut.
d. Konflik Antar Kelompok
Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja
untuk mencapai tujuan kelompoknya. Sumber konflik jenis ini adalah
hambatan dalam mencapai kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan),
keterbatasan prasarana.

10
2.2.4 Manajemen Konflik
a. Definisi Manajemen Konflik
Manajeman konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para
pelaku atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan ke arah
penyelesaian yang konstruktif atau destruktif (Ross, 1993).
b. Gaya Penyelesaian Konflik
Terdapat 2 hal yang memegang peranan penting dalam keberhasilan
penyelesaian konflik, yaitu menentukan besarnya konflik dan gaya
penanganan konflik (Rahim, 2002). Yang dimaksud dengan besarnya
konflik terkait dengan jumlah individu yang terlibat, apakah konflik
mengarah pada intrapersonal, interpersonal, intra kelompok, atau antar
kelompok. Kreitner dan Kinicki (2005) mengungkapkan lima gaya
penanganan konflik (Five Conflict Handling Styles). Model ini ditujukan
untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi.
Menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang 15
lain (concern for others) dan pemecahan masalah yang berorientasi pada
diri sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua variabel ini
menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu:
integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising.
1. Integrating (Problem Solving)
Proses integrasi berkaitan dengan mekanisme pemecahan
masalah (problem solving), seperti dalam menentukan diagnosis dan
intervensi yang tepat dalam suatu masalah. Dalam gaya ini pihakpihak
yang berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasikan
masalah yang dihadapi, bertukar informasi, kemudian mencari,
mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah.
Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan
oleh salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk
memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda.

11
Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam
penyelesaian masalah (Rahim, 2002). Langkah-langkah untuk
mencapai solusi ini antara lain adalah mulai dengan berdiskusi, dengan
waktu dan tempat yang kondusif, menghargai perbedaan individu,
bersikap empati dengan semua pihak, menggunakan komunikasi
asertif dengan mamaparkan isu dan fakta dengan jelas, membedakan
sudut pandang, meyakinkan bahwa tiap individu dapat menyampaikan
idenya masing-masing, membuat kerangka isu utama berdasarkan
prinsip yang umum, menjadi pendengar yang baik. Setuju terhadap
solusi yang menyeimbangkan kekuatan dan memuaskan semua pihak
sehingga dicapai “win-win solution”.
2. Obliging (Smoothing)
Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian
pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya
ini sering pula disebut smothing (melicinkan), karena berupaya
mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan
atau kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan
strategi ini terletak pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama.
Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan tidak menyentuh
masalah pokok yang ingin dipecahkan.
3. Dominating (Forcing)
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya
kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang
untuk menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini
sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas
formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika
cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian
masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan harus
mengambil keputusan dalam waktu yang cepat. Namun, teknik ini
tidak tepat untuk menangani masalah yang menghendaki adanya

12
partisipasi dari mereka yang terlibat dan juga tidak tepat untuk konflik
yang bersifat kompleks . Kekuatan utama gaya ini terletak pada
minimalnya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik.
Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati
untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.
4. Avoiding
Teknik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk
menyelesaikan masalah yang sederhana, atau jika biaya yang harus
dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan
yang akan diperoleh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan
masalah-malasah yang sulit atau “buruk”. Teknik ini kurang tepat pada
konflik yang menyangkut isu-isu penting, dan adanya tuntutan
tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah secara tuntas (Rahim,
2002). Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita
menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous
situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya
bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
5. Compromising
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang
secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan
kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan
menerima (give and take approach) dari pihak-pihak yang terlibat.
Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang
melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki
kekuatan yang sama. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada
prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa
dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan
mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hendel (2005), gaya ini

13
merupakan gaya yang paling banyak dipilih oleh perawat dalam
menyelesaikan konflik yang terjadi.

c. Proses Manajemen Konflik


Proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi,
dan evaluasi (feedback). Penentuan diagnosis merupakan dasar dari
keberhasilan suatu intervensi. Berikut adalah skema proses manajemen
konflik menurut Rahim (2002):

Dalam proses diagnosis yang perlu dilakukan adalah pengumpulan


data-data antara lain identifikasi batasan konflik, besarnya konflik, sumber
konflik, kemudian mengkaji sumber daya yang ada apakah menjadi
penghalang atau dapat dioptimalkan untuk membantu - Measurement -
Analysis - Leadership - Culture - Design - Amount of conflict - Conflict styles
FEEDBACK - Individual - Group - Organization Diagnosis Intervention
Conflict Learning& effectiveness penyelesaian konflik (Huber, 2010). Setelah

14
proses identifikasi (measurement), selanjutnya dilakukan proses analisis
terhadap datadata yang telah dikumpulkan, hal ini bertujuan untuk
menentukan strategi resolusi konflik yang akan diambil disesuaikan
berdasarkan besarnya konflik dan gaya manajemen konflik yang akan dipakai
(integrating, obliging, dominating, avoiding, dan compromising). Proses
selanjutnya adalah intervensi. Terdapat bermacam-macam strategi intervensi
konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi, konsiliasi, mediasi, arbitrasi, litigasi,
dan force. Intervensi ditentukan berdasarkan dua hal, yaitu proses dan
struktural.
Proses yang dimaksud adalah intervensi yang dilaksanakan harus
mampu memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi, seperti misalnya
intervensi mampu memfasilitasi keterlibatan aktif dari individu yang
berkonflik, dan juga penggunaan gaya penyelesaian konflik diharapkan
bersifat sealami mungkin dengan tujuan meningkatkan proses belajar dan
pemahaman individu atau organisasi dalam menyelesaikan konflik saat ini
ataupun yang akan datang (Shetach, 2012). Proses ini juga diharapkan dapat
merubah pola kepemimpinan seseorang dan budaya dalam menyelesaikan
konflik. Dengan demikian organisasi atau individu akan memperoleh
keterampilan baru dalam penanganan konflik. Selain itu, intervensi juga
diharapkan dapat memperbaiki struktur organisasi, seperti dalam hal
mekanisme integrasi dan diferensiasi, hirarki, prosedur, reward system, dan
lain sebagainya. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
suatu organisasi untuk menyelesaikan konflik berdasarkan berbagai sudut
pandang individu yang terlibat di dalamnya menuju ke arah konstruktif
(Rahim, 2002).
Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya
proses kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara
bersama-sama, dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang 20
berkualitas terhadap perkembangan individu atau suatu organisasi yang harus
ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel, 2005). Setelah intervensi,

15
dilaksanakan suatu evaluasi terhadap setiap tindakan yang dilakukan,
sekaligus hal ini sebagai feedback proses diagnosing pada konflik yang sudah
ada ataupun konflik yang baru.
d. Outcome Resolusi
Konflik Menurut Huber (2010) outcome conflict adalah hasil dari
proses manajemen konflik antara lain:
1. Win-lose Salah satu pihak mendominasi dan pihak yang lain
terabaikan. Yang menduduki porsi lebih besar mendapatkan
kemenangan dan sebaliknya yang lebih sedikit mengalami kekalahan.
2. Lose-lose Semua pihak yang bertentangan mengalami kerugian.
Teknik penyuapan, memperjualbelikan, menggunakan pihak ketiga
untuk mengancam dapat memuncullkan hasil resolusi ini.
3. Win-win Resolusi ini dicapai saat semua pihak menyetujui dan
mendapatkan manfaat dari penyelesaian konflik
2.3 Pengaruh Kepemimpinan dalam Manajemen Konflik
Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a
conflictcompetent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika
terjadinya suatu konflik. Diversitas atau keragaman pihak yang terlibat dalam
suatu konflik juga perlu diidentifikasi karena merupakan sumber potensial
terjadinya konflik, antara lain budaya, gender, posisi (jabatan), dan umur (Ayoko
and Hartel, 2006). Menurut Ayoko (2007) keragaman budaya yang tidak
mendapatkan perhatian dari pemimpin akan menimbulkan dampak destruktif pada
suatu organisasi, seperti terhambatnya komunikasi dan koordinasi. Pemimpin juga
harus mampu memahami reaksi yang ditimbulkan dari suatu 21 konflik,
mendorong respon konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang mampu
menangani konflik secara efektif (a conflict-competent organization) (Runde and
Flanagan, 2007).
Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses
kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama,
dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap

16
perkembangan individu atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan
masalahnya (Hendel, 2005). Menurut Ayoko dan Hartel (2006) untuk
meningkatkan respon konstruktif, seorang pemimpin juga harus mampu
memanajemen timbulnya konflik emosional karena akan menghambat
terbentuknya persatuan dan perkembangan organisasi.
Gaya kepemimpinan sangat mempengaruhi pengambilan strategi penyelesaian
masalah atau konflik, seperti misalnya gaya kepemimpinan demokratis cenderung
memilih strategi integrating (problem solving), obliging, dan compromising yang
lebih menekankan pada kepentingan bersama, gaya kepemimpinan autokratis
cenderung memilih dominating (forcing), sedangkan gaya kepemimpinan Laissez
faire cenderung memilih strategi avoiding (Rahim, 2002). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Brewer (2002) dalam jurnal The International Journal of
Conflict Management, gender juga memegang peranan penting dalam pemilihan
strategi penyelesaian konflik, dimana berdasarkan kuisioner yang dibagikan,
feminine group cenderung memilih strategi avoiding, masculine group memilih
dominating, dan androgynous group (transgender) cenderung memilih strategi
integrating. Dalam penelitian tersebut tidak ditemukan kelompok gender tertentu
yang khusus memilih strategi compromising dan obliging.
Selain itu pemilihan strategi penyelesaian konflik juga dipengaruhi oleh
suasana saat berkomunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin baik, strategi yang
bisa 22 digunakan adalah obliging, integrating, dan compromising. Sebaliknya,
bila suasana komunikasi bersifat defensive, dominating dan avoiding menjadi
pilihan (Hassan, B. et al, 2011).
Pengaruh kepemimpinan dalam pemecahan masalah konflik juga bisa dilihat
dalam model “CAPI” yang dirumuskan oleh Shetach (2012). Dengan menerapkan
CAPI (Coaleshing Authority, Power, and Influence) model’s dalam manajemen
kelompok, diharapkan pemimpin mampu menggunakan kekuatan, otoritas, dan
pengaruhnya dalam memutuskan strategi penyelesaian konflik yang tepat.

17
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Contoh Kasus


Perawat R (wanita) 48 tahun (S2 Keperawatan, pengalaman bekerja 18 tahun)
adalah manajer keperawatan di unit perawatan neuroscience di sebuah rumah sakit di
Chicago. Beliau memiliki keinginan untuk melakukan renovasi pada unit perawatan
yang dipimpinnya dan perawat R pun menemui direktur keperawatan di RS tersebut.
Ketika bertemu dan menyampaikan keinginannya, ternyata menurut direktur
keperawatan, RS hanya memiliki biaya untuk merenovasi 1 unit saja untuk tahun ini,
dan direktur mengatakan sudah ada perawat J (laki-laki) 56 tahun (S1 Keperawatan,
pengalaman bekerja 30 tahun) yang merupakan manajer keperawatan di unit
perawatan bedah ortopedi yang juga mengajukan proposal untuk renovasi. Direktur
menyarankan mereka untuk bertemu satu sama lain untuk membahas masalah yang
terjadi agar mendapatkan keputusan yang tepat. Perawat R dan Perawat J sebelumnya
juga pernah berkonflik tentang penyusunan standar tindakan keperawatan sehingga
mereka jarang menjalin komunikasi secara langsung. Perawat R pun merasa terpaksa
harus menemui Perawat J, dan dalam pertemuan tersebut terjadi perbedaan pendapat
antara keduanya, dimana kedua belah pihak beranggapan bahwa renovasi di unit
perawatan mereka lebih penting dari renovasi di unit perawatan lainnya. Perawat J
juga menganggap perawat R tidak berkewenangan untuk melakukan negosiasi
dengannya, yang memiliki kewenangan tersebut adalah direktur keperawatan.
Konflik ini berdampak pula pada kinerja staf perawat yang bekerja di unit masing-
masing terutama dalam hal kolaborasi. Direktur keperawatan merasa bertanggung
jawab terhadap kondisi ini, dan ingin segera menyelesaikannya.
3.2 Analisa Kasus
3.2.1 Analisa Gaya Kepemimpinan
Konflik terjadi dari suatu ketidaksetujuan antara dua orang atau lebih dalam
suatu organisasi dimana seseorang tersebut merasa ada yang akan mengancam

18
kepentingannya. Sumber-sumber konflik di organisasi dapat ditemukan pada
kekuasaan, komunikasi, tujuan seseorang dan organisasi, ketersediaan sarana,
perilaku kompetisi dan personaliti serta peran yang membingungkan. Seorang
pemimpin harus bisa mempengaruhi orang lain sebagai modal utama pemimpin
dalam menyelesaikan konflik, untuk memperoleh kesan, rasa hormat, kepatuhan,
loyalitas, dan kerjasama serta menimbulkan harapan. Dengan kemampuan ini pula
seorang pemimpin dapat mengubah kepercayaan, nilai-nilai, pendapat, sikap, dan
prilaku orang lain. Tanpa kemampuan ini seorang pemimpin tidak dapat
menyelesaikan konflik dengan efektif (Harsono, 2010). Pemimpin juga harus mampu
menggunakan kekuatan, otoritas, dan pengaruhnya dalam memutuskan strategi
penyelesaian konflik yang tepat. Hal ini sesuai dengan model “CAPI” (Coaleshing
Authority, Power, and Influence) yang dicetuskan oleh Shetach (2012).
Menurut Hudson, dkk (2005), pemimpin, dalam kasus ini adalah direktur
keperawatan, harus memiliki kemampuan untuk memahami sumbersumber konflik
dan mengelola konflik tersebut agar konflik bisa dijadikan sebagai ekplorasi ide-ide
yang kreatif, sehingga bisa meningkatkan kualitas dalam pemberian asuhan
keperawatan kepada klien.
Dalam kasus diatas teori keperawatan yang dapat diterapkan adalah
participative theories dimana pemimpin yang baik mempertimbangkan apa yang
orang lain miliki sebagai masukan. Jenis kepemimpinan pada teori ini memberikan
kepercayaan terhadap bawahan untuk bersama-sama 25 menyelesaikan konflik.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang sesuai dipakai oleh direktur keperawatan untuk
menyelesaikan kasus di atas adalah democratic style dimana pemimpin mendorong
partisipasi bawahan untuk berkontribusi pada proses pengambilan keputusan.
Direktur keperawatan tetap membuat keputusan akhir tetapi kedua manajer
keperawatan terlibat dalam brainstorming dan diskusi. Direktur keperawatan juga
harus menjalankan perannya sebagai seorang pemimpin dalam menyelesaikan konflik
pada kasus di atas, yaitu:
a. Peran interpersonal Untuk menyelesaikan konflik pada kasus diatas, seorang
direktur keperawatan harus bisa menjalankan fungsinya sebagai seorang

19
leader, dimana direktur keperawatan harus bisa mengajak perawat R sebagai
manajer keperawatan ruangan neuroscience dan perawat J sebagai manajer
ruangan orthopedic untuk duduk bersama dalam menyelesaikan konflik.
Selain itu direktur keperawatan harus menjadi fasilitator antara kedua
manager keperawatan dalam menyelesaikan konflik tersebut.
b. Peran informasional Direktur keperawatan harus melakukan pengamatan dan
pemeriksaan langsung ke ruangan neuroscience dan ruangan orthopedic untuk
mendapatkan informasi yang valid, yakni melihat ruangan mana yang lebih
prioritas untuk dilakukan renovasi.
c. Peran pembuat keputusan Direktur keperawatan harus menjalankan fungsinya
sebagai pembuat keputusan, dimana direktur keperawatan harus memilih
ruangan mana yang akan di renovasi terlebih dahulu agar tidak salah dalam
mendistribusikan sumber dana yang ada. Direktur keperawatan harus mampu
melakukan negosiasi kepada perawat R dan perawat J selaku manager
keperawatan terkait sumber dana yang ada, sehingga dihasilkan keputusan
yang win-win solution antara kedua belah pihak.
3.2.2 Analisa Strategi Penyelesaian Konflik
Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a
conflict-competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami
dinamika terjadinya suatu konflik, memahami reaksi konflik, respon
konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang mampu menangani konflik
secara efektif (a conflict-competent organization) (Runde and Flanagan, 2007).
Menurut Rahim (2002) proses manajemen konflik meliputi proses dari
diagnosis, intervensi, dan evaluasi (feedback). Berdasarkan kasus di atas,
berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan sebagai bentuk strategi
penyelesaian konflik.
a. Diagnosis (Measurement dan analisis)
1. Identifikasi batasan konflik Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik
yang ada antara lain konflik intrapersonal, konflik interpersonal,
konflik intra kelompok dan konflik antar kelompok. Berdasarkan

20
kasus di atas, terdapat 2 jenis konflik yang terjadi antara lain konflik
interpersonal dan konflik antar kelompok. Konflik interpersonal yang
terjadi adalah antara Perawat J dan Perawat R yang sebelumnya sudah
pernah berkonflik dan jarang menjalin komunikasi satu sama lain.
Konflik kedua adalah konflik antar kelompok. Konflik ini dapat timbul
ketika masing-masing kelompok bekerja untuk mencapai tujuan
kelompoknya masingmasing, dalam kasus ini kelompok yang
dimaksud adalah kelompok perawat yang bekerja di unit perawatan
neuroscience dan perawat yang bekerja di unit perawatan bedah
ortopedi yang sama-sama menuntut adanya renovasi di unit perawatan
masing-masing.
2. Identifikasi penyebab konflik Konflik dapat muncul karena ada
kondisi yang melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi
tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri
dari tiga ketegori, yaitu : komunikasi, 27 struktur, dan variabel pribadi
(Robbins, 2008). Dalam kasus di atas sumber terjadinya konflik adalah
3 kategori tersebut. Kurangnya komunikasi yang terjalin antara
Perawat J dan Perawat R menyebabkan komunikasi dua arah sulit
tercapai. Perbedaan jenis kelamin menjadi salah satu penghambat
dalam berkomunikasi asertif, dimana laki-laki cenderung agresif,
independen, dan jarang melibatkan emosi, sebaliknya wanita
cenderung pasif, dependen, dan melibatkan emosi (Brewer et al,
2002). Istilah struktur dalam konteks ini mencakup adanya perbedaan
tujuan dan kepentingan masing-masing kelompok, sedangkan variabel
pribadi yang dimaksud adalah tipe kepribadian masing-masing
pimpinan kelompok berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut
Shetach (2012) konflik juga dapat disebabkan oleh perbedaan
interpersonal dan perbedaan kepentingan. Dalam kasus ini perbedaan
interpersonal yang terjadi terkait pada dimensi-umur, jenis kelamin,
latar belakang pendidikan, dan pengalaman bekerja. Hal ini juga sesuai

21
dengan pendapat Ayoko and Hartel, 2006 yang mengatakan bahwa
diversitas atau keragaman yang menjadi sumber konflik potensial
adalah budaya, gender, posisi (jabatan), pengalaman, dan umur.
Kemudian untuk perbedaan kepentingan dapat dilihat dari adanya dua
kelompok perawat yang memiliki tujuan dan kepentingan yang
berbeda (terkait posisi, peran, status, dan tingkat hirarki).
3. Identifikasi sumber daya yang dapat dioptimalkan dan yang dapat
menjadi penghalang untuk manajemen konflik Sebelum menentukan
strategi-strategi dalam penyelesaian konflik, Direktur keperawatan
harus melakukan pengkajian faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
penyelesaian konflik, salah satunya sumber daya manusia. Sumber
daya manusia yang dimaksud adalah pemimpin terkait kemampuan,
peran dan fungsi kepemimpinan, serta gaya kepemimpinannya yang
selanjutnya mempengaruhi pilihan strategi manajemen konflik yang
dihadapi.
4. Identifikasi strategi penyelesaian konflik
Konflik dapat menjadi konstruktif atau destruktif tergantung
dari cara menyelesaikan atau memanajemen konflik. Kondisi
konstruktif dapat dirasakan ketika solusi yang diambil memuaskan dan
menguntungkan pihak-pihak yang mengalami konflik. Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan Brewer (2002), penentuan gaya
penyelesaian konflik ditentukan dari gender, yaitu feminine group
cenderung memilih gaya avoiding, masculine group memilih
dominating, dan androgynous group (transgender) cenderung memilih
strategi integrating. Dalam penelitian tersebut tidak ditemukan
kelompok gender tertentu yang khusus memilih strategi compromising
dan obliging. Sedangkan menurut Hassan (2011) pemilihan strategi
penyelesaian konflik adalah berdasarkan suasana komunikasi. Bila
suasana komunikasi terjalin baik, strategi yang bisa digunakan adalah
obliging, integrating, dan compromising. Sebaliknya, bila suasana

22
komunikasi bersifat defensif, dominating dan avoiding menjadi
pilihan. Berdasarkan kasus di atas, gaya penyelesaian konflik yang
dipilih adalah berdasarkan suasana komunikasi bukan berdasarkan
gender, yaitu compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada
posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan
sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling
memberi dan menerima (give and take approach) dari pihak-pihak
yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah
yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi
memiliki kekuatan yang sama, dan penyelesaian masalah dianggap
sebagai prioritas agar tidak berkembang menjadi konflik baru yang
melibatkan pihak lain (Hoffmann, 2005). Kekuatan utama dari
kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak
yang merasa dikalahkan. Outcome resolusi konflik yang diharapkan
dari kasus di atas adalah win-win solution.
b. Intervensi
Strategi intervensi penanganan konflik yang dipakai dalam
kasus di atas adalah fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi. Ketiga strategi itu
melibatkan pihak ketiga yang dalam hal ini adalah direktur
keperawatan. Fasilitasi dilakukan dengan cara mempertemukan kedua
pihak yang berkonflik untuk membangun komunikasi dua arah,
misalnya dalam suatu rapat. Mediasi dimana pihak ketiga membantu
menjalin hubungan yang baik antara kedua belah pihak yang
berkonflik. Kemudian arbitrasi adalah proses selanjutnya dari mediasi,
dimana pihak ketiga akan mendengarkan persepsi atau sudut pandang
kedua pihak. Hal ini juga membantu pemimpin untuk menentukan
prioritas tindakan dan membantu untuk tercapainya suatu kesepakatan
yang adil. Ketiga proses ini juga menjamin terbentuknya komunikasi
yang baik sehingga kompromi merupakan hal yang tepat untuk dipilih.

23
Dalam hal ini kesepakatan yang mungkin ditawarkan dengan
menggunakan prinsip kompromi adalah :
- Melakukan renovasi tahap pertama di kedua unit dengan biaya
operasional dibagi 2, yaitu 50% untuk unit neuroscience,
kemudian 50% untuk unit bedah ortopedi, kemudian di tahun
selanjutnya renovasi dilanjutkan kembali.
- Unit perawatan bedah ortopedi melakukan renovasi fisik dengan
biaya 75%, sedangkan unit neuroscience membeli perlengkapan
sekunder untuk unitnya dengan biaya 25%, di tahun berikutnya
dilakukan barter, unit neuroscience mendapatkan 75% untuk
renovasi fisik, dan unit bedah ortopedi mendapat 25% untuk
melengkapi sarana dan prasarana lainnya.
c. Evaluasi
1. Evaluasi proses 30 Evaluasi terhadap keseluruhan proses
manajemen konflik yang terdiri dari:
- Bagaimana proses berjalan?
- Terdapat progress atau tidak?
- Berapa orang yang terlibat?
- Apakah option yang ditawarkan diterima oleh pihak yang
berkonflik?
- Bagaimana reaksi pihak yang berkonflik (negatif/positif,
verbal/nonverbal)?
- Apakah strategi yang dipilih mengarah pada penyelesaian
masalah atau memunculkan masalah baru?
- Apakah terdapat hambatan dalam implementasi strategi yang
direncanakan dalam intervensi? 2)
2. Evaluasi hasil
Membandingkan hasil yang didapatkan dengan indikator yang
telah direncanakan dalam intervensi. Hal yang perlu dievaluasi
adalah apakah hasil manajemen konflik mengarah pada proses

24
yang konstruktif atau destruktif. Manajemen konflik yang
konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses kreativitas di
dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-
sama, dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang
berkualitas terhadap perkembangan individu atau suatu
organisasi yang harus ditemukan pemecahan masalahnya
(Hendel, 2005). Sedangkan konflik bersifat destruktif bila
berfokus hanya pada satu individu saja, menggunakan emosi
yang bersifat negatif, dan menurunkan fungsi suatu grup atau
organisasi (Runde and Flanagan, 2007).

25
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide,
nilainilai, keyakinan, dan perasaan antara dua orang atau lebih. Seorang pemimpin
memiliki peran yang besar dalam mengelola konflik yang konstruktif dalam
pengembangan, peningkatan, dan produktivitas suatu organisasi. Gaya kepemimpinan
seseorang sangat mempengaruhi pemilihan strategi penanganan konflik (integrating,
obliging, dominating, avoiding, dan compromising). Salah satu model penyelesaian
konflik yang digunakan adalah Model Rahim (2002), yang terdiri atas proses
diagnosis, intervensi, dan evaluasi. Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan
langkah-langkah identifikasi, antara lain identifikasi batasan konflik, sumber konflik,
potensi sumber daya manusia, dan identifikasi strategi yang akan dilakukan. Proses
selanjutnya adalah intervensi. Terdapat bermacam-macam strategi intervensi konflik,
antara lain negosiasi, fasilitasi, konsiliasi, mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force yang
dapat dipilih berdasarkan gaya kepemimpinan seseorang. Intervensi yang dipilih
bersifat sealami mungkin dan mampu memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi
dan meningkatkan proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam
menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan datang. intervensi juga diharapkan
dapat memperbaiki struktur organisasi, seperti dalam hal mekanisme integrasi dan
diferensiasi, hirarki, prosedur, reward system, dan lain sebagainya. Proses terakhir
adalah evaluasi sebagai mekanisme umpan balik terhadap proses diagnosis dan
intervensi yang telah dilakukan.
4.2 Saran
Perlu adanya kegiatan pelatihan dasar kepemimpinan yang berkelanjutan bagi
profesi keperawatan, khususnya sebagai perawat pengelola (manajer) untuk dapat 32

26
menerapkan gaya kepemimpinan yang baik dalam menentukan strategi penyelesaian
konflik.

DAFTAR PUSTAKA

Ayoko, O.B. & Hartel C.E. (2006). Cultural diversity and leadership “a conceptual
model of leader intervention in conflict events in culturally heterogenous
workgroups. Cross Cultural Management: An International Journal, 13(4), 345-
360.
Ayoko, O.B. (2007). Communication openness, conflict events and reactions to
conflict in culturally diverse workgroups. Cross Cultural Management: An
International Journal, 14 (2), 105-124.
Brewer, N., Mitchell, P., Weber, N. (2002). Gender role, organizational status, and
conflict management styles. The International Journal of Conflict Management.
13(1), 78-94.
Buckley M.R & Brown J.A. (2005). Barnard on conflicts of responsibility
“implications for today’s perspectives on transformational and authentic
leadership”. Management Decision Journal, 43(10), 1396.
CNO. (2009). Practice Guidelines Conflict prevention and management. Retrieved
from: http://www.cno.org/global/docs/prac/47004_conflict_prev.pdf.
Harsono. (2010). Paradigma ”Kepemimpinan Ketua” dan Kelemahannnya. Makara,
Sosial Humaniora. 14(1), 56-64.

27

Anda mungkin juga menyukai