Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH EKONOMI LINGKUNGAN

“SVLK ; Salah Satu Jenis Eco Label Kayu dan Dampaknya”


Dosen pengampu: Prof. Dr. Sigit Santoso, M.Pd

Disusun oleh :
Roni Ardyantoro
NIM. A131908012

PROGRAM STUDI S2 ILMU LINGKUNGAN


PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
BAB I
Pendahuluan

Produksi berbasis kayu dan hasil hutan dalam pelaksanaannya kini tidak
lagi bebas mengambil bahan baku. Awalnya kayu bulat (gelondong) bisa langsung
dijual bahkan di ekspor, kini untuk dapat dijual perlu dilakukan pengolahan
terlebih dahulu. Kayu pada pelaksanaanya perlu melakukan beberapa tahapan
untuk dapat di olah.

Pada level global sertifikasi kayu dapat dipandang sebagai salah satu
instrumen untuk mencapai kelestarian hutan. Kesadaran masyarakat internasional
atas kelestarian, keberlanjutan dan asal usul kayu menjadi tolok ukur penting
dalam perdagangan kayu internasional. Isu illegal trading dan illegal logging
membuat permintaan kayu di pasar internasional menuntut legalitas kayu. Bahkan
sejumlah negara konsumen telah memberlakukan regulasi untuk mencegah
masuknya kayu illegal, seperti Uni Eropa dengan EU Timber Regulation,
Amerika Serikat dengan Lacey Act, dan Australia dengan Australian Prohibition
Act. Awalnya Pemerintah Indonesia memberlakukan sertifikasi wajib
pengelolaan hutan lestari.pada perkembangannya, upaya yang dilakukan sebagai
bentuk respon terhadap kebijakan tersebut pemerintah Indonesia menerakan
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (Suryandari.2017).

Kebijakan sistem verifikasi legalitas kayu merupakan produk pemerintah


Indonesia, yang berawal dari inisiasi parapihak kehutanan dalam menyikapi isu
legalitas kayu hutan dan produk-produk turunan kayu yang dipandang negatif
oleh pihak-pihak di luar negeri. Kemudian, Kementerian Kehutanan menerbitkan
Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 jo. P.68/Menhut-II/2011
tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin atau Pada Hutan Hak.

Terakhir, disempurnakan menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup


dan Kehutanan Nomor P.30/Menlhk/Setjen/PHPL.3/3/2016 tanggal 1 Maret 2016
tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi
Legalitas Kayu pada Pemegang Izin, Hak Pengelolaan atau pada Hutan Hak. Di
Kementerian Perdagangan juga menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 25/M-DAG/PER/4/2016 tentang Ketentuan Ekspor Produk Kehutanan.
Atas konsekuensi diterbitkannya kebijakan tersebut, indutri pengolahan kayu
harus memegang sertifikat legalitas kayu. Dengan sertifikat itu, ada jaminan
bahwa industri tersebut telah memenuhan dokumen asal usul kayu, pengolahan
kayu, dan dokumen penjualan produk kayu menjadi masalah bagi industri kayu
(Novianto. 2018)

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah suatu sistem yang menjamin
kelestarian pengelolaan hutan dan/atau legalitas kayu serta ketelusuran kayu
melalui sertifikasi penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL),
sertifikasi Legalitas Kayu (S-LK), dan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP).
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu diterapkan di Indonesia untuk memastikan agar
semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki
status legalitas yang meyakinkan, terutama bagi konsumen di luar negeri,
sehingga unit manajemen hutan tidak khawatir hasil kayunya diragukan
keabsahannya. Demikian pula dengan industri pengolahan kayu, mereka juga
lebih yakin terhadap legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih mudah
meyakinkan para pembelinya di luar negeri. SVLK (Sistem verifikasi Legalitas
Kayu) sebagai sebuah sistem dari ekolabel yang mampu menunjukkan bahwa
suatu produk berbahan kayu mempunyai asal usul yang jelas serta sah dari
hukum. Sesuai dengan tujuan dari ekolabel sendiri yang memberikan sebuah
pernyataan yang menunjukkan keunggulan produk kayu dalam memberikan
manfaat terhadap perlindungan lingkungan. Kendalanya, persyaratan mengurus
sertifikasi membutuhkan biaya tinggi, sementara banyak pengrajin yang terdiri
dari pengusaha kecil dan menengah tidak mampu membiayai pengajuan sertifikasi
berikut syarat-syarat yang dibutuhkan
BAB II
Tinjauan Pustaka
Ekolabel adalah sertifikasi yang memiliki konsep penilaian atau pengakuan
oleh pihak ketiga yang independen dan dapat dipercaya terhadap manajemen
hutan yang sustainabel. Jaminan bahan baku kayu berasal dari hutan lestari dan
atau mengacu pada kaidah pelestarian lingkungan hidup dibuktikan atau
dinyatakan dalam bentuk sertifikat atau label. Bentuk sertifikat ekolabel itu terdiri
dari sertifikat sistem manajemen lingkungan ISO 14001, sertifikat SFM
(Sustainable Forest Management) dan sertifikat sistem lacak-balak (Chain of
Custody/CoC). Sistem ecolabeling bersifat voluntary ini dimunculkan setelah
sistem Command & Control yang bersifat mandatory tidak mampu mengatasi
permasalahan kerusakan lingkungan hutan di negara-negara tropis.

Tujuan utama dari ecolabeling adalah pelestarian hutan melalui sertifikasi


CoC secara sukarela yang digerakkan melalui mekanisme pasar. Industri yang
berkelanjutan dan ramah lingkungan telah menjadi paradigma baru. Industri
perkayuan, termasuk industri furnitur di Indonesia, dihadapkan pada tuntutan
pasar yang mensyaratkan bahwa bahan baku kayu harus jelas asal-usulnya, bukan
berasal dari illegal logging atau illegal trading. Kini semakin banyak konsumen
negara maju mendeklarasikan persyaratan ketat terhadap dampak lingkungan atas
eksplorasi bahan baku kayu untuk produk furnitur yang diperdagangkan secara
internasional. Kerusakan hutan dapat menjadi ancaman bagi industri furnitur dari
aspek penyediaan bahan baku kayu. Hutan Indonesia menjadi salah satu paru-paru
dunia yang sangat penting peranannya bagi kehidupan isi bumi. Melalui
Kementerian Kehutanan, pemerintah Indonesia menetapkan SVLK secara
mandatori untuk menangkal isu-isu tersebut. Ketentuan SVLK ini ketika pertama
diumumkan dengan keputusan Kementerian Kehutanan melalui Permenhut No.
P.38/Menhut II/2009, sifatnya adalah wajib bagi industri yang belum bersertifikat
ekolabel. Kendala ecolabeling muncul karena industri perkayuan merespon
dengan berbagai persepsi dan tidak serta merta bersedia memenuhi persyaratan
ecolabeling yang bersifat sukarela (voluntary). Respon industri di negara-negara
pengekspor furnitur terhadap ecolabeling ini bermacam-macam. China
menanggapi ecolabeling secara positif. China berhasil meraih peringkat satu
dalam penguasaan pangsa pasar ekspor furnitur dunia. Persaingan dagang
internasional, kini tidak hanya diwarnai oleh kualitas dan harga yang kompetitif
tetapi juga kepedulian terhadap lingkungan

Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK) merupakan sistem pelacakan


yang disusun secara multistakeholder untuk memastikan legalitas sumber kayu
yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia . Sistem Verifikasi Legalitas Kayu
(SVLK) dikembangkan untuk mendorong implementasi peraturan pemerintah
yang berlaku terkait perdagangan dan peredaran hasil hutan yang legal di
Indonesia Sistem verifikasi legalitas kayu diterapkan di Indonesia untuk
memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di
Indonesia memiliki status legalitas yang meyakinkan. Konsumen di luar negeri
pun tidak perlu lagi meragukan legalitas kayu yang berasal dari Indonesia. Unit
manajemen hutan tidak khawatir hasil kayunya diragukan keabsahannya. Industri
berbahan kayu yakin akan legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih
mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri. Prinsip SVLK terdiri atas Tata
Kelola Kehutanan yang baik (Governance) , Keterwakilan (Representatif),
Transparansi/keterbukaan (Credibility).

SVLK diterapkan secara wajib (mandatory) untuk meningkatkan efisiensi


pengelolaan hutan dan menjaga kredibilitas legalitas kayu dari Indonesia. Seperti
halnya di atur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No 64 Tahun 2012 bahwa
ada 40 jenis produk berbasis kayu 16 di anataranya per 1 Januari 2013 wajib
memiliki sertifikat SVLK sedangkan 14 yang lainnya per 1 Januari 2012. Bagi
unit manajemen yang telah mendapatkan sertifikasi lacak balak (Chain of
Custody/CoC), sertifikasi SVLK tetap wajib. SVLK mulai berlaku sejak 1
September 2009. Kayu disebut legal jika kebenaran asal kayu, ijin penebangan,
system dan prosedur penebangan, administrasi dan dokemtasi angkutan,
pengelohan, dan perdagangan atau pemindahtangannya dapat dibuktikan
memenuhi semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Kayu disebut SAH/LEGAL jika memenuhi kebenaran asal kayu, Ijin,
Penebangan, Sistem dan Prosedur Penebangan, Administrasi dan Dokumen
Angkutan, Pengolahan, Perdagangan/ pemindahtanganannya dapat dibukdkan
memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku. Audit verifiasi legalitas kayu
(VLK) dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi yang telah diakreditasi oleh Komite
Akreditasi Nasional (KAN) dan ditetapkan oleh SK Menteri Kehutanan sebagai
Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LV-LK)

Sertifikat VLK bagi pemegang IUPHHK-HA/HT/RE/Pemegang hak


pengelolaan, IUPHHK-HTR/HKM/HD/HTHR/IPK, IUIPHHK, IUI dengan modal
investasi lebih dari Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) di luar tanah dan
bangunan, dan TPT berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan dan dilakukan
penilikan (surveillance) sekurang-kurangnya 12 bulan sekali. Sertifikat LK bagi
IUI dengan investasi sampai dengan Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) di
luar tanah dan bangunan, TDI dan industri rumah tangga/pengrajin dan pedagang
ekspor berlaku selama 6 (enam) tahun sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan
(surveillance) sekurang-kurangnya 24 bulan sekali. Resertifikasi dilakukan
sebelum berakhirnya masa aktif Sertifikat LK; Terhadap kepemilikan S-LK yang
diperoleh secara kolektif, verifikasi pada proses re-sertifikasi dilakukan terhadap
anggota kelompok yang telah diverifikasi awal maupun pada penilikan, dan
terhadap anggota yang belum diverifikasi pada proses verifikasi awal maupun
pada penilikan, dengan jumlah yang sama dengan jumlah anggota yang
diverifikasi awal, dan dipilih menggunakan pendekatan random sampling;
Pengajuan re-Sertifikasi LK dilakukan selambat-lambatnya 6 bulan sebelum masa
berlaku berakhir; Biaya resertifikasi merupakan beban pemegang izin

Manfaat SVLK
1. Membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien dan adil
sebagai salah satu upaya megatasi persoalan pembalakan liar.
2. SVLK memberi kepastian bagi pasar di Eropa, Amerika, Jepang, dan negara-
negara tetangga bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi oleh Indonesia
merupakan produk yang legal dan berasal dari sumber yang legal.
3. Memperbaiki administrasi tata usaha kayu hutan secara efektif.
4. Menjadi satu-satunya sistem legalitas untuk kayu yang berlaku di Indonesia
5. Menghilangkan ekonomi biaya tinggi.
6. Peluang untuk terbebas dari pemeriksaan-pemeriksaan yang menimbulkan
ekonomi biaya tinggi.
Tujuan SLVK
1. Membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien dan adil
sebagai salah satu upaya mengatasi persoalan pembalakan liar.
2. Memperbaiki tata kepemerintahan (governance) kehutanan Indonesia dan
untuk meningkatkan daya saing produk kehutanan Indonesia.
3. Meningkatkan daya saing produk perkayuan Indonesia
4. Mereduksi praktek illegal logging dan illegal trading
5. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Pelaku Utama dalam SVLK
1. Kementerian Kehutanan sebagai pembuat kebijakan, fungsi pembinaan,
menetapkan LP-PHPL atau LV-LK, unit pengelola informasi VLK
2. Komite Akreditasi Nasional, melakukan akreditasi terhadap LP-PHPL dan
LV-LK
3. LP-PHPL & LV-LK, melakukan penilaian kinerja PHPL dan/atau melakukan
verifikasi legalitas kayu berdasarkan sistem dan standar yang telah ditetapkan
pemerintah
4. Auditee (Unit Managemen), pemegang izin atau pada hutan hak yang
berkewajiban memiliki sertifikat PHPL (S-PHPL) atau Sertifikat Legalitas
Kayu (S-LK)
5. Pemantau Independen, masyarakat madani baik perorangan atau lembaga
yang berbadan hukum Indonesia, yang menjalankan fungsi pemantauan
terkait dengan pelayanan publik bidang kehutanan seperti penerbitan S-
PHPL/S-LK
Dasar hukum pelaksanaan SVLK
1. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
2. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo. No.3 tahun 2008 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan
3. Peraturan menteri kehutanan No. 38/menhut-II/2009 junto Permenhut
P.68/Menhut-II/2011 junto Permenhut P.45/Menhut-II/2012, junto
Permenhut P.42 /Menhut-II/2013 tentang Standard an Pedoman Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
pada Pemegang izin atau pada Hutan Hak
4. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.P.6/VI-
BPPHH/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Penilain Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi dan Verifikasi Legalitas Kayu
Yang harus menerapkan VLK
1. Pemegang izin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada
Hutan Alam (HA/Hutan Tanaman Industri (HTI), Rehabilitasi Ekologi (RE)
2. Hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat
3. Pemilik hutan hak (hutan rakyat)
4. Pemilik Ijin pemanfaatan kayu (IPK)
5. Pemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan (IUIPHHK) dan Industri
lanjutan (IUI Lanjutan) dan Tanda Daftar Industri (TDI)
Standar Legalitas SVLK
Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor
P.8/VI-BPPHH/2012 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu, SVLK
memiliki delapan standar legalitas kayu, yaitu :
1. Standar verifikasi legalitas kayu pada hutan negara yang dikelola oleh
pemegang izin dan pemegang hak pengelolaan
2. Standar verifikasi legalitas kayu pada hutan negara yang dikelola oleh
masyarakat (HTR, HKm, HD)
3. Standar verifikasi legalitas kayu pada hutan hak
4. Standar verifikasi legalitas kayu pada pemegang IPK
5. Standar verifikasi legalitas kayu pada pemegang IUIPHHK dan IUI
6. Standar verifikasi legalitas kayu pada TDI (Tanda Daftar Industri)
7. Standar verifikasi legalitas kayu pada industry rumah tangga dan pengrajin
8. Standar verifikasi legalitas kayu pada TPT
BAB III PEMBAHASAN

A. Kendala UKM

banyak industri rumah tangga mebel terkendala masalah perizinan usaha.


Industri kecil maupun menengah pada mulanya berasal dari industri rumah tangga
yang lokasinya dekat dengan sumber bahan baku (hutan rakyat). Industri rumah
tangga mebel tersebut sudah beroperasi sejak berpuluh-puluh tahun namun tidak
mengurus izin. Industri rumah tangga memiliki kendala saat mengurus Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) maupun izin industri (SIUP) karena lokasi usaha
yang tidak berada pada kawasan budidaya (Rencana Tata Ruang), sehingga
industri rumah tangga mebel kesulitan untuk memperoleh izin.

Tantangan mendasar penerapan SVLK bagi UKM adalah banyak dari


perusahaan tersebut tidak memenuhi persyaratan dasar legalitas bisnis. Lambatnya
proses verifikasi legalitas juga disebabkan karena biaya sertifikasi yang tinggi,
ketidakcocokan antara persyaratan SVLK dengan strategi penghidupan petani
hutan rakyat, terbatasnya pemahaman dikalangan usaha perkayuan skala kecil
mengenai kebutuhan dan manfaat SVLK, dan terbatasnya kapasitas lembaga
verifikasi untuk melaksanakan verifikasi SVLK. kriteria prioritas dalam
impelementasi SVLK berturut-turut dari yang nilai tertinggi hingga terendah
adalah kebijakan pemerintah, kesiapan institusi, kesiapan pengusaha dan
penerimaan pasar. Aspek ekonomi dan kelembagaan menjadi penting, karena dua
hal tersebut banyak memengaruhi pelaksanaan kebijakan SVLK pada industri..

Bagi petani penambahan biaya berapun nilainya apabila tidak


meningkatkan harga output dianggap tidak menarik. Karena selama ini sumber
penghasilan masyarakat tergantung pada hutan rakyat. Keberadaan SVLK belum
memberikan dampak berupa harga output yang lebih tinggi dan belum
berpengaruh terhadap kelestarian hutan rakyat. Pemasalahan hutan rakyat masih
mendasar menganut sistem tebang butuh untuk menyokong kehidupan sehari-hari.

Faktor biaya manfaat ekonomi mempengaruhi keberhasilan kebijakan


SVLK di sektor perkayuan skala kecil. Faktor biaya meliputi biaya pemenuhan
standar, audit dan penilikan termasuk biaya pelatihan kelembagaan dan
pembentukan organisasi hutan rakyat. Menurut pendidikan dan pelatihan
merupakan faktor yang menentukan keberhasilan penerapan kebijakan SVLK.
Biaya pengurusan izin industri, kemudahan kredit dan suku bunga ringan, ada
jaminan peningkatan harga output, besar modal perusahaan, pengurangan biaya
penilikan, pengurangan biaya sertifikasi, peningkatan akses pasar, harga bahan
baku kayu stabil dan kontinuitas ketersediaan kayu.

B. Dampak industri, IKM


Dampak positif yang dirasakan oleh pihak pengusaha industri kecil,
sedang, maupun besar adalah memiliki assessment untuk syarat ekspor dan
manajemen usaha lebih tertib, sehingga dapat mengevaluasi kinerja industri demi
eksistensi industri itu sendiri. Sedangkan dampak yang kurang menguntungkan
pengusaha sedang dan besar adalah belum ada penambahan akses pasar dan
peningkatan harga output karena menggunakan kayu bersertifikasi. Selain itu
kebijakan yang mudah berubah, dalam waktu yang singkat membuat iklim usaha
semakin tidak pasti. Bagi pengusaha kecil dan mikro, pengurangan biaya
assessment untuk SVLK berdasarkan PermenLHK Nomor P.96/Menhut-II/2014
perlu disertai dengan persyaratan kelompok yang berdampak secara tanggung
renteng bagi semua anggota kelompok masih menjadi kendala. Melihat
pengalaman dari negara lain, persepsi beberapa pelaku usaha di Amerika bahwa
pertimbangan kompleksitas dan biaya sertifikasi menjadi poin penting untuk tetap
mempertahankan keuntungan. Mereka lebih peduli bagaimana memperoleh
keuntungan kompetitif dan memperluas akses pasar daripada sertifikasi.
Persyaratan administrasi yang dibuat pemerintah seyogyanya untuk
mengurangi kebocoran produk kayu ilegal. Rumitnya administrasi bagi industri
kecil menimbulkan peluang celah untuk penambahan biaya bagi pengurusan
SVLK mengekspor produk kayunya, karena tidak diimbangi dengan kapasitas
sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Apalagi sebagian besar pengusaha
kecil ini banyak yang belum memiliki izin usaha sebagai salah satu persyaratan
SVLK. SVLK memiliki persyaratan administrasi yang lebih sederhana dan murah
dibanding Forest Stewardship Council (FSC). Melalui skema FSC mendapatkan
jaminan harga produk yang lebih tinggi dari konsumen. Upaya untuk meraih
keberhasilan program SVLK diperlukan dukungan Pemda khususnya untuk
melakukan sosialisasi tentang masalah perizinan bagi syarat SVLK dan
melakukan pendampingan di tingkat petani. Kebijakan SVLK berlaku baik untuk
peredaran barang kayu dalam negeri maupun ke luar negeri. Namun, sejauh ini
SVLK tidak berdampak kepada barang kayu untuk permintaan lokal karena
konsumen tidak mensyaratkan sertifikasi. Selama ini petani merasa belum
memerlukan SVLK, yang terpenting adalah bagaimana memenuhi kebutuhan
sehari-hari bagi keluarganya. Penambahan biaya sertifikasi dan rumitnya
administrasi menjadi beban yang tidak ringan, sementara tidak ada peningkatan
harga kayu rakyat (Nurrochmat et al., 2016). Pemerintah perlu memberikan
sosialisasi lebih intensif dan pendampingan agar petani dan usaha kecil dapat
mengadopsi kebijakan dengan lebih baik. Koordinasi pusat ke daerah selayaknya
ditingkatkan, mengingat implementasi kebijakan SVLK tidak hanya berdampak
terhadap target yaitu industri dan hutan rakyat, tetapi juga memberikan pengaruh
kepada pemerintah daerah, yaitu :
1. Kebijakan pusat yang mudah berubah berdampak terhadap kurang adanya
kepastian dalam pelaksanaan SVLK
2. Pemerintah daerah (Pemda) kabupaten/ kota kurang terlibat terkait
kewenangan terhadap daerah (UU Nomor 23 tahun 2014), sementara di
lain pihak sosialisasi masih terbatas dilakukan.
3. Monitoring industri yang telah sertifikasi SVLK belum terealisasi karena
Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LP & VI ) tidak
berkoordinasi dengan Pemda (keperluan data base), apakah suatu industri
lulus verifikasi atau tidak. Sehingga Pemda belum dapat memantau
kegitan SLK di lapangan. Koordinasi antara lembaga verifikasi dan Pemda
perlu dilakukan untuk memantau peredaran kayu.
4. Tumpang tindih kebijakan pemeriksaan peredaran kayu Surat Keterangan
Asal Usul (SKAU) dan SVLK
C. Dampak Sertifikasi Ekolabel Terhadap Industri Furniture

Industri furniture merupakan industri yang memiliki potensi besar bagi


negara-negara hutan tropis, termasuk Indonesia. Karena dalam proses bisnisnya
industri ini memerlukan jumlah tenaga kerja yang cukup banyak (furniture yang
memerlukan tangan manusia dalam membuat pola kayu tertentu dan tahapan
proses lainnya) serta pasokan sumber daya kayu yang besar. Kerusakan hutan
tropis akibat tingginya permintaan penebangan kayu inilah yang memprakarsai
munculnya ekolabel sebagai solusi menuju hutan lestari. Namun sayangnya
beberapa perusahaan furniture mengganggap munculnya konsep ekolabel sebagai
tekanan untuk perdagangan internasional, karena beberapa negara maju menolak
produk perkayuan yang tidak memiliki sertifikat ekolabel.

Sebenarnya sertifikasi CoC memiliki dampak positif terhadap industri


furnitur yaitu dalam peningkatan daya saing ekspor, pangsa pasar, peningkatan
profit dan kesejahteraan karyawan. Sertifikasi CoC juga berdampak positif
signifikan terhadap hutan yang dikelola menurut kaidah lingkungan dan
sustainabel. Hal ini disebabkan industri bersertifikat harus menggunakan kayu
yang berasal dari hutan lestari. Hutan merupakan sumber bahan baku utama bagi
industri furnitur kayu. Industri furnitur yang telah bersertifikat CoC hanya dapat
melakukan proses produksi dengan menggunakan bahan baku yang berasal dari
hutan lestari yang ditunjukkan dengan sertifikat SFM. Hutan Indonesia
merupakan salah satu yang terbesar di dunia, sangat potensial untuk mendukung
peningkatan pangsa pasar ekspor mebel dunia. Sertifikasi ekolabel perlu didorong
untuk membangun industri furnitur yang sustainabel. Memang sudah sewajarnya
system ecolabeling ini disikapi sebagai tahapan yang lebih baik menuju
penyelamatan hutan tropis.

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menteri


kehutanan dan menteri perdagangan sangat kompak untuk menerapkan
implementasi penuh SVLK, termasuk pada produk mebel dan kerajinan. Meski
demikian, harus diakui banyak pelaku usaha yang kesulitan untuk mendapat
sertifikat LK. Sebagai gambaran, sampai akhir Agustus 2014 lalu, jumlah industri
pengolahan kayu yang telah mendapat sertifikat LK, baru 1.136 unit. Padahal,
usaha skala mikro dan rakyat jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu unit.
Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, Dwi Sudharto mengakui, ada sejumlah usaha kehutanan
skala mikro dan kecil, umumnya mebel dan furnitur, yang mengalami kesulitan
untuk mendapat sertifikat S-LK. Namun, pemerintah juga tidak tinggal diam. Soal
biaya sertifikasi, misalnya. Banyak pelaku usaha mikro dan kecil yang kesulitan
membayar biaya sertifikasi yang besarnya berkisar Rp30 juta-Rp50 juta. Selain
itu, pemerintah pun menyediakan bantuan pembiayaan untuk pendampingan dan
audit lewat anggaran Kemenhut dan lembaga donor, sejak tahun 2012. Masih soal
kemudahan bagi usaha skala rakyat, SVLK memungkinkan penggunaan dokumen
deklarasi kesesuaian pemasok (DKP) untuk kayu dan produk kayu yang mereka
hasilkan bersumber dan diproses secara legal. Dokumen diterbitkan secara
mandiri dan tidak perlu diverifikasi oleh auditor sehingga bebas biaya.
Penggunaan DKP masih sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi
sertifikasi seperti diatur oleh Internasional Standardization Organization (ISO).

Banyak hal positif dari penerapan SVLK. Termasuk soal semakin


tertibnya pelaku usaha perkayuan menjalankan bisnisnya. Sebab, untuk
mendapatkan sertifikat LK, mereka harus mendokumentasikan tata usaha kayu
secara lengkap. Bukan itu saja, mereka harus mempunyai semua dokumen
legalitas terkait perizinan usahanya, seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP),
Tanda Daftar Perusahaan (TDP), bahkan nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Mereka juga harus memiliki dokumen kesejahteraan karyawan seperti K3 dan
bebas dari pekerja anak.

D. Rasio Biaya Penerapan SVLK terhadap Keuntungan


Salah satu alasan pelaku usaha kayu skala kecil kurang merespon dalam
penerapan kebijakan SVLK karena tingginya biaya pengurusan sertifikasi.
Permen LHK No. P.1/2016 mensyaratkan biaya yang harus dibayar ada di periode
awal yaitu sebesar Rp 7.787.500,-. Biaya penilikan tidak diatur dalam peraturan
tersebut. Biaya penilikan merupakan biaya yang disesuaikan dengan kondisi
teknis saat proses penilikan. Biaya penilikan biasanya sebesar 80% dari biaya
sertifikasi awal. Biaya penilikan yang harus dibayarkan sejumlah Rp 6.230.000,-
untuk masing masing penilikan. Pada beberapa industri, biaya sertifikasi awal
mendapatkan dana bantuan dari pemerintah tetapi biaya penilikan tidak
mendapatkan dana bantuan dari pemerintah. Ketertarikan industri rumah tangga
mebel dalam menerapkan SVLK masih minim. Industri rumah tangga akan
tertarik dalam menerapkan SVLK apabila program bantuan pembiayaan untuk
sertifikasi diteruskan dan jaminan keterbukaan pasar ekspor setelah penarapan
SVLK.
Adanya penambahan biaya sertifikasi pada biaya input industri sedang dan
besar diperkirakan hanya 3%. Dari segi ekonomi tentang biaya sertifikasi ini tidak
memberatkan industri sedang dan besar. Eksistensi industri sedang dan besar tidak
terpengaruh oleh penambahan biaya sertifikasi. Untuk industri mikro furniture
penambahan biaya sertifikasi relatif kurang berpengaruh, karena besaran biaya
sertifikasi bisa mencapai 5,6%. Penambahan biaya sertifikasi pada industri
mikro/rumah tangga akan menambah biaya sebesar 25,3% pada industri kayu dan
industri hasil hutan lainnya. Dampak biaya sertifikasi paling berpengaruh pada
industri mikro kayu dalam hal ini industri penggergajian, bahan bangunan dan
kerajinan.
BAB IV
Kesimpulan
Belum banyak dampak positif yang dirasakan oleh industri maupun petani
hutan rakyat setelah pelaksanaan SVLK. Pemberlakuan SVLK membuka akses
ekspor dan mendorong pelaku usaha untuk tertib usaha, tetapi SVLK belum
mampu menjadi insentif pasar bagi pemilik SVLK tersebut. SVLK belum mampu
memberikan peningkatan harga output (premium price).
Bagi industri kecil/mikro (syarat kelompok dan dampak tanggung renteng
masih memberatkan), SVLK belum memberikan akses pasar yang baru,
administrasi memberatkan, apalagi kepemilikan sertifikat SVLK juga tidak
berdampak terhadap eksistensi industri khususnya pasar lokal, inefisiensi biaya
penilikan karena Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LPVI) mayoritas
berada di Jakarta/ibukota propinsi, dan syarat administrasi yang rumit.
Petani merasa belum memerlukan SVLK, yang terpenting adalah
bagaimana memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena biaya sertifikasi yang cukup
besar bagi petani, maka petani disyaratkan untuk berkelompok dalam mengajukan
sertifikasi yang memiliki dampak tanggung renteng bagi anggota kelompok
taninya. Secara umum SVLK juga belum dapat meningkatkan partisipasi dalam
pelestarian hutan. Berdasarkan fakta pada tingkat kelompok tani, kebijakan SVLK
pada hutan rakyat dan perdagangan kayu di tingkat lokal belum efektif.
Penambahan biaya sertifikasi terhadap biaya input tidak memberatkan bagi
industri sedang, besar, dan kecil, tetapi memberikan dampak yang memberatkan
bagi industri mikro. Biaya lain yang lebih memberatkan adalah biaya untuk
memenuhi persyaratan SVLK yaitu segala macam perizinan industri. Kesulitan
utama IKM belum sepenuhnya terselesaikan dari segi modal usaha, pemasaran,
dan kesulitan bahan baku, sehingga implementasi SVLK di tingkat yang paling
rendah masih menemui hambatan. Pembentukan asosiasi atau koperasi untuk
industri kecil dipandang sebagai salah satu solusi yang baik dari sisi ekonomi
maupun kelembagaan.
Daftar Pustaka

Departemen Kehutanan. Apa dan Bagaimana SVLK. Diakses dari


http://silk.dephut.go.id/index.php/info/vsvlk/3

Fitriani TA. 2016. Dampak Sertifikasi Ekolabel terhadap Industri Furniture.


Diakses dari http://www.jtanzilco.com/blog/detail/462/slug/dampak-
sertifikasi-ekolabel-terhadap-industri-furniture

Novianto, Exwan. 2018. Menjalankan Sertifikasi Verifikasi Legalitas Kayu,


Mandatory Bagi Industri Kayu

Suryandari EY et al .2017. Dampak Implementasi Sertifikasi Verifikasi Legalitas


Kayu Terhadap Keberlanjutan Industri Kayu Dan Hutan Rakyat . Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan., Vol. 14 No.1, 2017 : 19-37

Anda mungkin juga menyukai