Disusun oleh :
Roni Ardyantoro
NIM. A131908012
Produksi berbasis kayu dan hasil hutan dalam pelaksanaannya kini tidak
lagi bebas mengambil bahan baku. Awalnya kayu bulat (gelondong) bisa langsung
dijual bahkan di ekspor, kini untuk dapat dijual perlu dilakukan pengolahan
terlebih dahulu. Kayu pada pelaksanaanya perlu melakukan beberapa tahapan
untuk dapat di olah.
Pada level global sertifikasi kayu dapat dipandang sebagai salah satu
instrumen untuk mencapai kelestarian hutan. Kesadaran masyarakat internasional
atas kelestarian, keberlanjutan dan asal usul kayu menjadi tolok ukur penting
dalam perdagangan kayu internasional. Isu illegal trading dan illegal logging
membuat permintaan kayu di pasar internasional menuntut legalitas kayu. Bahkan
sejumlah negara konsumen telah memberlakukan regulasi untuk mencegah
masuknya kayu illegal, seperti Uni Eropa dengan EU Timber Regulation,
Amerika Serikat dengan Lacey Act, dan Australia dengan Australian Prohibition
Act. Awalnya Pemerintah Indonesia memberlakukan sertifikasi wajib
pengelolaan hutan lestari.pada perkembangannya, upaya yang dilakukan sebagai
bentuk respon terhadap kebijakan tersebut pemerintah Indonesia menerakan
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (Suryandari.2017).
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah suatu sistem yang menjamin
kelestarian pengelolaan hutan dan/atau legalitas kayu serta ketelusuran kayu
melalui sertifikasi penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL),
sertifikasi Legalitas Kayu (S-LK), dan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP).
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu diterapkan di Indonesia untuk memastikan agar
semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki
status legalitas yang meyakinkan, terutama bagi konsumen di luar negeri,
sehingga unit manajemen hutan tidak khawatir hasil kayunya diragukan
keabsahannya. Demikian pula dengan industri pengolahan kayu, mereka juga
lebih yakin terhadap legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih mudah
meyakinkan para pembelinya di luar negeri. SVLK (Sistem verifikasi Legalitas
Kayu) sebagai sebuah sistem dari ekolabel yang mampu menunjukkan bahwa
suatu produk berbahan kayu mempunyai asal usul yang jelas serta sah dari
hukum. Sesuai dengan tujuan dari ekolabel sendiri yang memberikan sebuah
pernyataan yang menunjukkan keunggulan produk kayu dalam memberikan
manfaat terhadap perlindungan lingkungan. Kendalanya, persyaratan mengurus
sertifikasi membutuhkan biaya tinggi, sementara banyak pengrajin yang terdiri
dari pengusaha kecil dan menengah tidak mampu membiayai pengajuan sertifikasi
berikut syarat-syarat yang dibutuhkan
BAB II
Tinjauan Pustaka
Ekolabel adalah sertifikasi yang memiliki konsep penilaian atau pengakuan
oleh pihak ketiga yang independen dan dapat dipercaya terhadap manajemen
hutan yang sustainabel. Jaminan bahan baku kayu berasal dari hutan lestari dan
atau mengacu pada kaidah pelestarian lingkungan hidup dibuktikan atau
dinyatakan dalam bentuk sertifikat atau label. Bentuk sertifikat ekolabel itu terdiri
dari sertifikat sistem manajemen lingkungan ISO 14001, sertifikat SFM
(Sustainable Forest Management) dan sertifikat sistem lacak-balak (Chain of
Custody/CoC). Sistem ecolabeling bersifat voluntary ini dimunculkan setelah
sistem Command & Control yang bersifat mandatory tidak mampu mengatasi
permasalahan kerusakan lingkungan hutan di negara-negara tropis.
Manfaat SVLK
1. Membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien dan adil
sebagai salah satu upaya megatasi persoalan pembalakan liar.
2. SVLK memberi kepastian bagi pasar di Eropa, Amerika, Jepang, dan negara-
negara tetangga bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi oleh Indonesia
merupakan produk yang legal dan berasal dari sumber yang legal.
3. Memperbaiki administrasi tata usaha kayu hutan secara efektif.
4. Menjadi satu-satunya sistem legalitas untuk kayu yang berlaku di Indonesia
5. Menghilangkan ekonomi biaya tinggi.
6. Peluang untuk terbebas dari pemeriksaan-pemeriksaan yang menimbulkan
ekonomi biaya tinggi.
Tujuan SLVK
1. Membangun suatu alat verifikasi legalitas yang kredibel, efisien dan adil
sebagai salah satu upaya mengatasi persoalan pembalakan liar.
2. Memperbaiki tata kepemerintahan (governance) kehutanan Indonesia dan
untuk meningkatkan daya saing produk kehutanan Indonesia.
3. Meningkatkan daya saing produk perkayuan Indonesia
4. Mereduksi praktek illegal logging dan illegal trading
5. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Pelaku Utama dalam SVLK
1. Kementerian Kehutanan sebagai pembuat kebijakan, fungsi pembinaan,
menetapkan LP-PHPL atau LV-LK, unit pengelola informasi VLK
2. Komite Akreditasi Nasional, melakukan akreditasi terhadap LP-PHPL dan
LV-LK
3. LP-PHPL & LV-LK, melakukan penilaian kinerja PHPL dan/atau melakukan
verifikasi legalitas kayu berdasarkan sistem dan standar yang telah ditetapkan
pemerintah
4. Auditee (Unit Managemen), pemegang izin atau pada hutan hak yang
berkewajiban memiliki sertifikat PHPL (S-PHPL) atau Sertifikat Legalitas
Kayu (S-LK)
5. Pemantau Independen, masyarakat madani baik perorangan atau lembaga
yang berbadan hukum Indonesia, yang menjalankan fungsi pemantauan
terkait dengan pelayanan publik bidang kehutanan seperti penerbitan S-
PHPL/S-LK
Dasar hukum pelaksanaan SVLK
1. Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
2. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo. No.3 tahun 2008 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan
Hutan
3. Peraturan menteri kehutanan No. 38/menhut-II/2009 junto Permenhut
P.68/Menhut-II/2011 junto Permenhut P.45/Menhut-II/2012, junto
Permenhut P.42 /Menhut-II/2013 tentang Standard an Pedoman Penilaian
Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
pada Pemegang izin atau pada Hutan Hak
4. Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.P.6/VI-
BPPHH/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Penilain Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi dan Verifikasi Legalitas Kayu
Yang harus menerapkan VLK
1. Pemegang izin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada
Hutan Alam (HA/Hutan Tanaman Industri (HTI), Rehabilitasi Ekologi (RE)
2. Hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat
3. Pemilik hutan hak (hutan rakyat)
4. Pemilik Ijin pemanfaatan kayu (IPK)
5. Pemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan (IUIPHHK) dan Industri
lanjutan (IUI Lanjutan) dan Tanda Daftar Industri (TDI)
Standar Legalitas SVLK
Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor
P.8/VI-BPPHH/2012 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja
Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu, SVLK
memiliki delapan standar legalitas kayu, yaitu :
1. Standar verifikasi legalitas kayu pada hutan negara yang dikelola oleh
pemegang izin dan pemegang hak pengelolaan
2. Standar verifikasi legalitas kayu pada hutan negara yang dikelola oleh
masyarakat (HTR, HKm, HD)
3. Standar verifikasi legalitas kayu pada hutan hak
4. Standar verifikasi legalitas kayu pada pemegang IPK
5. Standar verifikasi legalitas kayu pada pemegang IUIPHHK dan IUI
6. Standar verifikasi legalitas kayu pada TDI (Tanda Daftar Industri)
7. Standar verifikasi legalitas kayu pada industry rumah tangga dan pengrajin
8. Standar verifikasi legalitas kayu pada TPT
BAB III PEMBAHASAN
A. Kendala UKM