Transportasi Maritim
Transportasi Maritim
Transportasi Maritim
Transportasi Maritim Indonesia
BAGIAN I
PENDAHULUAN
2. Luar Negeri: untuk angkutan internasional (ekspor/impor), dari pelabuhan Indonesia (yang
terbuka untuk perdagangan luar negeri) ke pelabuhan luar negeri, dan sebaliknya.
Angkutan Dalam Negeri diselenggarakan dengan kapal berbendera Indonesia, dalam bentuk:
1. Angkutan Khusus, yang diselenggarakan hanya untuk melayani kepentingan sendiri sebagai
penunjang usaha pokok dan tidak melayani kepentingan umum, di wilayah perairan laut, dan
sungai dan danau, oleh perusahaan yang memperoleh ijin operasi untuk hal tersebut.
2. Angkutan Umum, yang diselenggarakan untuk melayani kepentingan umum, melalui :
Pelayaran Rakyat, oleh perorangan atau badan hukum yang didirikan khusus untuk usaha
pelayaran, dan yang memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia jenis tradisional
(kapal layar, atau kapal layar motor tradisional atau kapal motor berukuran minimal 7GT),
beroperasi di wilayah perairan laut, dan sungai dan danau, di dalam negeri.
Pelayaran Nasional, oleh badan hukum yang didirikan khusus untuk usaha pelayaran, dan
yang memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia jenis non-tradisional, beroperasi di
semua jenis wilayah perairan (laut, sungai dan danau, penyeberangan) dan teritori (dalam negeri
dan luar negeri). Pelayaran Perintis yang diselenggarakan oleh pemerintah di semua wilayah
perairan (laut, sungai dan danau, penyeberangan) dalam negeri, untuk melayani daerah terpencil
(yang belum dilayani oleh jasa pelayaran yang beroperasi tetap dan teratur atau yang moda
transportasi lainnya belum memadai) atau daerah belum berkembang (tingkat pendapatan sangat
rendah), atau yang secara komersial belum menguntungkan bagi angkutan laut
Angkutan Luar Negeri diselenggarakan dengan kapal berbendera Indonesia dan asing,
oleh: perusahaan pelayaran nasional yang memiliki minimal satu kapal Berbendera Indonesia,
berukuran 175 GT; perusahaan pelayaran patungan, antara perusahana asing dengan perusahaan
nasional yang memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000 GT; dan
perusahaan pelayaran asing, yang harus diageni oleh perusahaan nasional dengan kepemilikan
minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000 GT untuk pelayaran internasional
atau minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 175 GT untuk pelayaran lintas-batas)
BAGIAN II
Usaha jasa angkutan memiliki beberapa bidang usaha penunjang, yaitu kegiatan usaha
yang menunjang kelancaran proses kegiatan angkutan, seperti diuraikan di bawah :
1. Usaha bongkar muat barang, yaitu kegiatan usaha pembongkaran dan pemuatan barang dan
atau hewan dari dan ke kapal.
Page 3 of 11
2. Usaha jasa pengurusan transportasi (freight forwarding), yaitu kegiatan usaha untuk
pengiriman dan penerimaan barang dan hewan melalui angkutan darat, laut, udara.
3. Usaha Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL), yaitu kegiatan usaha pengurusan dokumen
dan pekerjaan yang berkaitan dengan penerimaan dan penyerahan muatan yang diangkut
melalui laut.
4. Usaha Angkutan di Perairan Pelabuhan, yaitu kegiatan usaha pemindahan penumpang dan
atau barang dan atau hewan dari dermaga ke kapal atau sebaliknya dan dari kapal ke kapal,
di perairan pelabuhan.
5. Usaha Penyewaan Peralatan Angkutan Laut atau Alat Apung, yaitu kegiatan usaha
penyediaan dan penyewaan peralatan penunjang angkutan laut dan atau alat apung untuk
pelayanan kapal.
6. Usaha Tally, yaitu kegiatan usaha penghitungan, pengukuran, penimbangan dan pencatatan
muatan untuk kepentingan pemilik muatan dan pengangkut.
7. Usaha Depo Peti Kemas, yaitu kegiatan usaha penyimpanan, penumpukan, pembersihan,
perbaikan, dan kegiatan lain yang terkait dengan pengurusan peti kemas.
4. Di dalam perusahaan patungan, perusahaan nasional harus memiliki minimal satu kapal
berbendera Indonesia, berukuran 5,000 GT (berlipat dua dari syarat deregulasi 1988 yang
2,500). Pengusaha agen kapal asing memprotes keras, sehingga pemberlakuan ketentuan
ini diundur hingga Oktober 2003.
5. Jaringan pelayaran domestik dibagi menjadi 3 jenis trayek, yaitu utama (main route),
pengumpan (feeder route) dan perintis (pioneer route). Jenis ijin operasi pelayaran dibagi
menurut jenis trayek tersebut dan jenis muatan (penumpang, kargo umum, dan
kontainer).
Rangkaian regulasi dan deregulasi tersebut di atas menjadi salah satu faktor terhadap
kondisi dan masalah yang dihadapi sektor Transportasi Maritim Indonesia, dari waktu ke
waktu.
internasional bagi armada pelayaran nasional. Seperti terlihat dari proyeksi INSA untuk
memperbesar kapasitas armada pelayaran nasional hingga tahun 2020 terealisasi Tapi
keinginan atau harapan tersebut tidak mudah diwujudkan, karena berbagai kendala dan
persoalan yang sulit. Armada pelayaran nasional Indonesia kurang mampu meningkatkan
daya saing dan bertumbuh karena beberapa faktor, yaitu: pemilik kapal tidak mampu
memperkuat armada dengan pembiayaan sendiri; tingkat bunga yang tinggi dalam sistem
perbankan nasional; dan tidak ada subsidi; tidak ada kebijakan yang memihak (seperti
penerapan asas cabotage); sisa-sisa kebijakan yang tak menunjang, misalnya keharusan
men-scrap kapal tua (padahal secara teknis dan ekonomis masih dapat dioperasikan) dan
keharusan membeli kapal produksi dalam negeri (padahal kapasitas pasokannya masih
relatif terbatas) keterbatasan fasilitas dan infrastruktur pelabuhan nasional (lebih pada
muatan ekspor/ impor); ketaktersediaan jaringan informasi yang memadai.
Situasi pelayaran nasional sangat pelik, karena ketergantungan pada kapal sewa asing
terjadi bersamaan dengan kelebihan kapasitas armada domestik. Situasi bagai lingkaran tak
berujung itu disebabkan lingkungan investasi perkapalan yang tidak kondusif. Banyak
perusahaan pelayaran ingin meremajakan armadanya, tapi sulit memperoleh pinjaman dari
pasar uang domestik. Dan di sisi lain lebih mudah memperoleh pinjaman dari sumber-
sumber luar negeri. Beberapa perusahaan besar cenderung mendaftarkan kapalnya di luar
negeri (flagged-out). Tapi perusahaan kecil dan menengah tidak mampu melakukannya,
sehingga tak ada alternatif kecuali menggunakan kapal berharga murah, tapi tua dan
scrappy. Akibatnya terjadi ketergantungan yang semakin besar pada kapal sewa asing dan
pemerosotan produktivitas armada.
tersedia hanya untuk perusahaan pelayaran besar (credit worthy) Pinjaman Bank Swasta
Nasional: hanya disediakan dalam jumlah sangat kecil (dalam kasus Bank Mandiri
hanya 0.25% dari jumlah total kredit tersalur)
b. Tingkat suku bunga pinjaman domestik 15-17% p.a. untuk jangka waktu pinjaman 5
tahun.
c. Jangka waktu pinjaman yang hanya 5 tahun terlalu singkat untuk industri pelayaran;
d. Saat ini, kapal yang dibeli tidak bisa dijadikan sebagai kolateral.
e. Tidak ada program kredit untuk kapal feeder termasuk pelayaran rakyat, kecuali
pinjaman jangka pendek berjumlah sangat kecil dari bank nasional. Program kredit
lunak untuk pelayaran rakyat akan dihentikan, program untuk dok dan galangan kapal
sudah dihapus.
f. Tidak ada kebijakan pendukung.
g. Prosedur peminjaman (appraisal, penyaluran, angsuran) kurang ringkas.
hal, antara lain pertumbuhan pangsa pasar, atau tingkat produktivitas. Stramindo
menargetkan perbaikan tingkat produktivitas kapal dry-cargo, yaitu dari 7,649 ton-miles/
DWT (2001) menjadi 10,000 ton-miles/ DWT (2024). Hal ini bisa dilakukan melalui
berbagai peningkatan dan penyempurnaan di berbagai bidang, antara lain seperti:
peningkatan volume muatan, karena ekstensifikasi kontenerisasi; peningkatan kecepatan
kapal, karena penggunaan armada yang berumur lebih muda; penambahan jumlah hari
produktif (commissionable days), karena perbaikan manajemen kapal; pemangkasan waktu
tunggu di pelabuhan, karena perbaikan manajemen pelabuhan dan sebagainya.
Di samping itu, Stramindo mengasumsikan pembesaran pangsa dari 60% (2001)
menjadi 86% (2014) dan 100% (2024). Target pangsa pasar armada domestik ini bisa dicapai
melalui kebijakan penerapan bertahap asas cabotage, dengan tujuan membentuk armada
yang berdayasaing tinggi. Berdasarkan data tahun 2001, kapasitas armada nasional adalah
7.1 juta DWT/GT dengan umur rata-rata 21 tahun. Pada akhir dasawarsa pertama, tahun
2014, kekuatan armada nasional untuk pelayaran domestik bisa mencapai 86% besaran
proyeksi akhir, dengan penambahan kapasitas 3.4 juta DWT. Hal ini hanya bisa dicapai
dengan penerapan cabotage pada 7 komoditi terpilih (minyak bumi, minyak sawit, batubara,
pupuk, kayu, beras, dan karet). Selain tetap mempertahankan cabotage seperti yang ada
sekarang, dan penggantian kapal tua. Pada akhir dasawarsa kedua, tahun 2024, jika
modernisasi kapal dan manajemen pelayaran berhasil dilakukan secara gradual dan
penerapan sepenuhnya prinsip cabotage, kapasitas armada pelayaran domestik akan
bertambah 3.2 juta DWT sehingga mencapai 13.1 juta DWT untuk kargo dan 0.7 juta GT
untuk penumpang (atau 14.4 juta DWT/GT) dengan umur rata-rata 14 tahun Berdasarkan
proyeksi kapasitas armada pelayaran tersebut di atas, diperlukan investasi sebesar Rp 54.5
trilyun untuk pengadaan armada kapal dalam periode 2004-2014, dan sebesar Rp 75,3
trilyun dalam periode berikutnya, 2015-2024. Pengadaan 4,617 kapal dalam periode selama
20 tahun membutuhkan dana total sebesar Rp 130 trilyun (US$15.3 milyar), atau sama
dengan 8% GDP Indonesia tahun 2002.
Karena keterbatasan anggaran pemerintah, JICA merekomendasikan agar Pemerintah
Indonesia mencari pinjaman sebesar Rp 2.8 trilyun dari Official Development Assistance
(ODA) melalui program pembangunan pelayaran antar-pulau (interinsuler), untuk memenuhi
10% investasi domestik dalam periode 2005-2009. Melalui investasi peremajaan dan
modernisasi armada transportasi maritim, diperkirakan ekonomi Indonesia akan menikmati
multiplier-effect senilai Rp 251.3 trilyun pada tahun 2024. Patut digarisbawahi, bahwa selain
beberapa asumsi dasar umum (misalnya pertumbuhan GDP), proyeksi tersebut di atas
disusun dengan mengandaikan keberhasilan pembenahan di beberapa bidang. Pada dasarnya
pembenahan tersebut bertujuan meningkatkan produktivitas dan menciptakan iklim investasi
yang kondusif untuk industri pelayaran. Proyeksi di atas akan berhenti hingga sebatas kertas,
tanpa pembenahan yang disarankan.
Pada tahap awal, proyeksi dalam Study on Development of Domestic Sea
Transportation and Maritime Industry in the Republic of Indonesia ini dapat dipergunakan
Page 9 of 11
untuk memaparkan potensi besar industri transportasi maritim, yang disusun berdasarkan
kondisi faktual saat ini
BAGIAN III
KESIMPULAN
A. Umum
Industri pelayaran, bahkan transportasi maritim yang merupakan salah satu
bagiannya, memiliki banyak aspek yang saling terkait. Karena itu, upaya peningkatan daya-
saing pada aspek yang relevan perlu dilakukan secara simultan. Berikut dipaparkan beberapa
aspek yang relevan. Pembenahan administrasi dan manajemen pemerintahan di laut,
termasuk keselamatan dan keamanan maritim serta perlindungan laut.
Pembenahan manajemen pelabuhan, untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas
Pembangunan prasarana dan sarana penunjang pelayaran Penetapan kebijakan pelayaran
nasional dan rencana strategis pembangunan perhubungan laut. Termasuk penerapan asas
cabotage yang bertujuan tidak sekedar sebagai pelindung industri pelayaran domestik, tetapi
untuk peningkatan daya-tawar dalam persaingan global yang sengit.
Modernisasi manajemen bisnis pelayaran Pembenahan sistem hukum maritim dan
penyesuaian materi peraturan perundangan dengan dinamika perkembangan dunia
kemaritiman Pembinaan dan penyiapan sumberdaya secara memadai dan mencukupi
Kerjasama yang lebih baik antara sektor publik dan swasta Penciptaan iklim investasi yang
kondusif untuk industri pelayaran Beberapa masalah utama jangka menengah dapat
diagendakan untuk ditangani, seperti di bidang Pajak: pengurangan dan atau pembebasan
Pajak Penghasilan Badan dan awak kapal dan barang-barang kebutuhan perusahaan yang
menggunakan kapal berbendera Indonesia.
Pendanaan: pinjaman lunak jangka panjang untuk industri pelayaran, fasilitas khusus
keuangan untuk pengadaan kapal, dan kredit investasi untuk perusahaan pelayaran penghasil
devisa; Fasiltas perdagangan: ekspor dengan C&F/CIF, imor dengan FOB Ratifikasi United
Nations Convention on Mortgage and Lien Kontrak jangka panjang antara pemilik kapal
dengan pengguna jasa Sosialisasi nilai strategis industri pelayaran Review terhadap jumlah
pelabuhan yang melayani perdagangan internasional (kini 141) Peningkatan fasilitas dan
layanan kepelabuhanan
B. Finansial
Industri transportasi maritim menghadapi situasi pelik, yaitu timbulnya masalah
ketergantungan pada kapal sewa asing dan kelebihan kapasitas armada secara bersamaan.
Pangkal kepelikan situasi tersebut berasal dari lingkungan investasi perkapalan yang tidak
kondusif. Perusahaan pelayaran yang ingin meremajakan armadanya, sulit memperoleh
dukungan dana. Jika dibiarkan, kepelikan tersebut akan seperti spiral yang menyeret
perusahaan pelayaran ke arah keterpurukan yang semakin dalam.
Page 10 of 11
Hanya ada satu prasyarat yang dibutuhkan, agar perusahaan pelayaran nasional dapat
keluar dari spiral tersebut, yaitu iklim investasi yang kondusif. Kondusivitas tersebut
diperlukan untuk memberdayakan perusahaan pelayaran, sehingga perusahaan pelayaran
tersebut dapat memiliki beberapa karakteristik kemampuan dalam hal: mengakses sumber
dana keuangan untuk pengadaan kapal yang dibutuhkan menikmati laba bisnis yang stabil
menghindari pemerosotan asset kapal dalam jangka menengah dan panjang melakukan
reinvestasi pada armada yang lebih berdaya saing Perusahaan pelayaran akan dapat
melakukan modernisasi manajemen dan memiliki karakterisitik tersebut di atas, hanya jika
pemerintah mendorong penciptaan iklim investasi yang kondusif untuk industri pelayaran
dengan melakukan: penerapan skema pendanaan strategis untuk beberapa area
pembangunan armada pelayaran, menyediakan sarana dan prasarana penunjang pelayaran,
seperti pelabuhan dan galangan kapal. Penggalian sumber dana dapat dilakukan dengan
berbagai cara seperti dipaparkan di bawah ini.
a. Pemanfaatan ODA menjadi beberapa skema dan bidang, seperti untuk: pengadaan kapal
berkualitas untuk dijadikan sebagai kapal tipe standard; pembangunan kapal berkualitas
seperti di atas, di galangan kapal dalam negeri; skema Two-Step Loan (TSL) melalui
bank (seperti Bank Mandiri) sebagai pinjaman bagi perusahaaan besar, untuk pembelian
kapal baru, atau peningkatan mutu kapal, atau pembelian peralatan; skema TSL melalui
bank (seperti BRI) sebagai pinjaman bagi perusahaan kecil atau pelayaran rakyat untuk
pembelian kapal baru, atau peningkatan mutu kapal; dan pelayaran perintis, dalam
bentuk pendanaan program terkait bagi daerah yang disinggahi kapal perintis, seperti
konstruksi prasarana pedesaan, kredit usaha kecil, atau pembangunan pedesaan.
b. Pemanfaatan pinjaman OOF (non-ODA), seperti dari Jepang, yang akan tersedia seusai
penjadwalan-ulang;
c. Perluasan akses terhadap dana bank luar negeri bagi perusahaan pelayaran yang
melayani angkutan luar negeri. Pembatasan ini perlu dilakukan karena pinjaman dalam
bentuk mata uang asing terlalu beresiko bagi perusahaan pelayaran dengan angkutan
domestik yang berpenghasilan rupiah.
d. Pemanfaatan dana bank nasional dengan cara menekan suku bunga, menyederhanakan
prosedur, dan memperbarui sistem penjaminan (untuk ini dibutuhkan peraturan
perundangan tentang mortgage).
e. Penetapan kebijakan pendanaan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan transparansi.
Pembaharuan kebijakan finansial untuk industri transportasi maritim Indonesia
bukan hal yang berlebihan dibandingkan dengan kebijakan di beberapa negara Asean.
Negara-negara tersebut telah menetapkan kebijakan di bidang registrasi kapal, pajak dan
cukai, prinsip cabotage, dan dukungan fiskal untuk pengembangan kekuatan armada
pelayaran nasional masing-masing. Sebagai contoh misalnya Filipina dan Singapura :
1. Di bidang registrasi kapal, Filipina dan Singapura memperluas skema registrasi kapal
hingga mencakup bare-boat charter ship dengan opsi beli.
2. Di bidang pendanaan kapal, Filipina telah menerapkan sistem two-step-loan sejak 1995,
dan menjalin kerjasama dengan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan
Page 11 of 11
Malaysia dalam pengelolaan “shipping fund” untuk meningkatkan nilai strategis dan
meremajakan umur armada pelayaran domestiknya.