Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

TRANSPORTASI MARITIM

M. KHIYAR RAHMANU BUDIMAN

X NAUTlKA KAPAL NIAGA II

SMK NEGRI 4 CILEGON


2024

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL I
DAFTAR ISI II

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 3

BAB II : TRANSPORTASI MARITIM DI INDONESIA


A. Kronologi Ringkas Kebijakan Transportasi Maritim Indonesia 5
B. Jenis-Jenis Usaha Maritim 6

C. Profil Armada Transportasi Maritim Di Indonesia 6


D. Masalah Transportasi Maritim Di Indonesia 7

E. Masalah Investasi Transiportasi Maritim 9


F. Hambatan Dalam Pendanaan Kapal 9

G. Masa Depan Transportasi Maritim 10


H. Masalah Finansial Transportasi Maritim 12

I. Struktur Organisasi Di Dalam Kapal 14

BAB III : PENUTUP


A. Kesimpulan 20
B. Saran 20

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pulau-pulau Indonesia hanya bisa tersambung melalui laut-lut di
antara pulau-pulaunya. Laut bukan pemisah, tetapi pemersatu berbagai pulau,
daerah dan kawasan Indonesia. Hanya melalui perhubungan antar-pulau, antar-
pantai, kesatuan Indonesia dapat terwujud. Pelayaran, yang menghubungkan
pulau-pulau, adalah urat nadi kehidupan sekaligus pemersatu bangsa dan
negara Indonesia. Sejarah kebesaran Sriwijaya atau Majapahit menjadi bukti
nyata bahwa kejayaan suatu negara di Nusantara hanya bisa dicapai melalui
keunggulan maritim. Karenanya, pembangunan industri pelayaran nasional
sebagai sektor strategis, perlu diprioritaskan agar
dapat: meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global, karena
nyaris seluruh komoditi untuk perdagangan internasional diangkut dengan
menggunakan sarana dan prasarana transportasi maritim, dan menyeimbangkan
pembangunan kawasan (antara Kawasan Timur Indonesia dan Barat) demi
kesatuan Indonesia, karena daerah terpencil dan kurang berkembang (yang
mayoritas berada di Kawasan Timur Indonesia yang kaya sumberdaya alam)
membutuhkan akses ke pasar dan mendapat layanan, yang seringkali hanya
bisa dilakukan dengan transportasi maritim.
Pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan di
perairan, kepelabuhanan, serta keamanan dan keselamatannya. Secara garis
besar pelayaran dibagi menjadi dua, yaitu Pelayaran Niaga (yang terkait
dengan kegiatan komersial) dan Pelayaran Non-Niaga (yang terkait dengan
kegiatan non-komersial, seperti pemerintahan dan bela-negara).
Angkutan di Perairan (dalam makala ini disepadankan dengan
Transportasi Maritim) adalah kegiatan pengangkutan penumpang, dan atau
barang, dan atau hewan, melalui suatu wilayah perairan (laut, sungai dan
danau, penyeberangan) dan teritori tertentu (dalam negeri atau luar negeri),
dengan menggunakan kapal, untuk layanan khusus dan umum. Wilayah
Perairan terbagi menjadi :
1. Perairan laut: wilayah perairan laut
2. Perairan Sungai dan Danau : wilayah perairan pedalaman, yaitu: sungai,
danau, waduk, rawa, banjir, kanal dan terusan.

3
3. Perairan Penyeberangan: wilayah perairan yang memutuskan jaringan jalan
atau jalur kereta api. Angkutan penyeberangan berfungsi sebagai jembatan
bergerak, penghubung jalur.

Teritori Pelayaran terbagi menjadi:


1. Dalam Negeri: untuk angkutan domestik, dari satu pelabuhan ke pelabuhan
lain di wilayah Indonesia;
2. Luar Negeri: untuk angkutan internasional (ekspor/impor), dari pelabuhan
Indonesia (yang terbuka untuk perdagangan luar negeri) ke pelabuhan luar
negeri, dan sebaliknya.
Angkutan Dalam Negeri diselenggarakan dengan kapal berbendera Indonesia,
dalam bentuk :
1. Angkutan Khusus, yang diselenggarakan hanya untuk melayani kepentingan
sendiri sebagai penunjang usaha pokok dan tidak melayani kepentingan umum,
di wilayah perairan laut, dan sungai dan danau, oleh perusahaan yang
memperoleh ijin operasi untuk hal tersebut.
2. Angkutan Umum, yang diselenggarakan untuk melayani kepentingan umum,
melalui : Pelayaran Rakyat, oleh perorangan atau badan hukum yang didirikan
khusus untuk usaha pelayaran, dan yang memiliki minimal satu kapal
berbendera Indonesia jenis tradisional (kapal layar, atau kapal layar motor
tradisional atau kapal motor berukuran minimal 7GT), beroperasi di wilayah
perairan laut, dan sungai dan danau, di dalam negeri.
Pelayaran Nasional, oleh badan hukum yang didirikan khusus untuk
usaha pelayaran, dan yang memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia
jenis non-tradisional, beroperasi di semua jenis wilayah perairan (laut, sungai
dan danau, penyeberangan) dan teritori (dalam negeri dan luar negeri).
Pelayaran Perintis yang diselenggarakan oleh pemerintah di semua wilayah
perairan (laut, sungai dan danau, penyeberangan) dalam negeri, untuk melayani
daerah terpencil (yang belum dilayani oleh jasa pelayaran yang beroperasi tetap
dan teratur atau yang moda transportasi lainnya belum memadai) atau daerah
belum berkembang (tingkat pendapatan sangat rendah), atau yang secara
komersial belum menguntungkan bagi angkutan laut
Angkutan Luar Negeri diselenggarakan dengan kapal berbendera
Indonesia dan asing, oleh: perusahaan pelayaran nasional yang memiliki
minimal satu kapal Berbendera Indonesia, berukuran 175 GT; perusahaan

4
pelayaran patungan, antara perusahana asing dengan perusahaan nasional yang
memiliki minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000 GT; dan
perusahaan pelayaran asing, yang harus diageni oleh perusahaan nasional
dengan kepemilikan minimal satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000
GT untuk pelayaran internasional atau minimal satu kapal berbendera
Indonesia, berukuran 175 GT untuk pelayaran lintas-batas).
BAB II
TRANSPORTASI MARITIM DI INDONESIA
A. Kronologi Ringkas Kebijakan Transportasi Maritim Indonesia
Pada tahun 1985 diterbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 yang
bertujuan meningkatkan ekspor nonmigas dan menekan biaya pelayaran dan
pelabuhan. Pelabuhan yang melayani perdagangan luar negeri ditingkatkan
jumlahnya secara drastis, dari hanya 4 menjadi 127. Untuk pertamakalinya
pengusaha pelayaran Indonesia harus berhadapan dengan pesaing seperti
feeder operator yang mampu menawarkan biaya lebih rendah. Liberasi
berlanjut pada tahun 1988 ketika pemerintah melonggarkan proteksi pasar
domestik. Sejak itu, pendirian perusahaan pelayaran tidak lagi disyaratkan
memiliki kapal berbendera Indonesia. Jenis ijin pelayaran dipangkas, dari lima
menjadi hanya dua. Perusahaan pelayaran memiliki fleksibilitas lebih besar
dalam rute pelayaran dan penggunaan kapal (bahkan penggunaan kapal
berbendera asing untuk pelayaran domestik). Secara de facto, prinsip cabotage
tidak lagi diberlakukan.
Pada tahun itu pula diberlakukan keharusan men-scrap kapal tua dan
pengadaan kapal dari galangan dalam negeri. Undang-Undang Pelayaran
Nomor 21 Tahun 1992, semakin memperkuat pelonggaran perlindungan
tersebut. Berdasarkan UU21/92 perusahaan asing dapat melakukan usaha
patungan dengan perusahaan pelayaran nasional untuk pelayaran domestik.
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999, Pemerintah berupaya
mengubah kebijakan yang terlalu longgar, dengan menetapkan kebijakan
sebagai berikut:
1. Perusahaan pelayaran nasional Indonesia harus memiliki minimal satu kapal
berbendera Indonesia, berukuran 175 GT.
2. Kapal berbendera asing diperbolehkan beroperasi pada pelayaran domestik
hanya dalam jangka waktu terbatas (3 bulan).
3. Agen perusahaan pelayaran asing kapal harus memiliki minimal satu kapal
berbendera Indonesia, berukuran 5,000 GT.

5
4. Di dalam perusahaan patungan, perusahaan nasional harus memiliki minimal
satu kapal berbendera Indonesia, berukuran 5,000 GT (berlipat dua dari syarat
deregulasi 1988 yang 2,500). Pengusaha agen kapal asing memprotes keras,
sehingga pemberlakuan ketentuan ini diundur hingga Oktober 2003.
5. Jaringan pelayaran domestik dibagi menjadi 3 jenis trayek, yaitu utama (main
route), pengumpan (feeder route) dan perintis (pioneer route). Jenis ijin operasi
pelayaran dibagi menurut jenis trayek tersebut dan jenis muatan (penumpang,
kargo umum, dan kontener).

B. Jenis-Jenis Usaha Maritim


Usaha jasa angkutan memiliki beberapa bidang usaha penunjang, yaitu
kegiatan usaha yang menunjang kelancaran proses kegiatan angkutan, seperti
diuraikan di bawah :
1. Usaha bongkar muat barang, yaitu kegiatan usaha pembongkaran dan
pemuatan barang dan atau hewan dari dan ke kapal.
2. Usaha jasa pengurusan transportasi (freight forwarding), yaitu kegiatan usaha
untuk pengiriman dan penerimaan barang dan hewan melalui angkutan darat,
laut, udara.
3. Usaha ekspedisi muatan kapal laut, yaitu kegiatan usaha pengurusan dokumen
dan pekerjaan yang berkaitan dengan penerimaan dan penyerahan muatan yang
diangkut melalui laut.
4. Usaha angkutan di perairan pelabuhan, yaitu kegiatan usaha pemindahan
penumpang dan atau barang dan atau hewan dari dermaga ke kapal atau
sebaliknya dan dari kapal ke kapal, di perairan pelabuhan.
5. Usaha penyewaan peralatan angkutan laut atau alat apung, yaitu kegiatan
usaha penyediaan dan penyewaan peralatan penunjang angkutan laut dan atau
alat apung untuk pelayanan kapal.
6. Usaha tally, yaitu kegiatan usaha penghitungan, pengukuran, penimbangan
dan pencatatan muatan untuk kepentingan pemilik muatan dan pengangkut.
7. Usaha depo peti kemas, yaitu kegiatan usaha penyimpanan, penumpukan,
pembersihan, perbaikan, dan kegiatan lain.

C. Profil Armada Transportasi Maritim Di Indonesia


Dari sisi besaran DWT, kapasitas kapal konvensional dan tanker
mendominasi armada pelayaran yang uzur (umur rata-rata kapal Indonesia 21
tahun, 2001, bandingkan dengan Malaysia yang 16 tahun, 2000, atau Singapura
yang 11 tahun, 2000). Meskipun demikian, justru pada kapasitas muatan dry-

6
bulk dan liquid-bulk pangsa pasar domestik armada nasional paling kecil. Pada
umumnya, kapal Indonesia mengangkut kargo umum, tapi sekitar setengah
muatan dry-bulk dan liquid-bulk diangkut oleh kapal asing atau kapal sewa
berbendera asing. Secara keseluruhan armada nasional meraup 50% pangsa
pasar domestik. Sekitar 80% liquid-bulk berasal dari P.T. Pertamina.
Penumpang angkutan laut bukan feri terutama dilayani oleh PT Pelni yang
mengoperasikan 29 kapal (dalam lima tahun terakhir, PT Pelni menambah 10
kapal). Perusahaan swasta juga membesarkan armada dari 430 (1997) menjadi
521 unit (2001).
Armada Pelayaran Rakyat, yang terdiri dari kapal kayu (misalnya
jenis Phinisi, seperti yang banyak berlabuh di pelabuhan Sunda Kelapa)
membentuk mekanisme industri transportasi laut yang unik. Kapal-kapal yang
berukuran relatif kecil (tapi sangat banyak) melayani pasar yang tidak diakses
oleh kapal berukuran besar, baik karena alasan finansial (kurang
menguntungkan) atau fisik (pelabuhan dangkal). Industri pelayaran rakyat
berperan sangat penting dalam distribusi barang ke dan dari pelosok Indonesia.
Armada pelayaran rakyat mengangkut 1.6 juta penumpang (sekitar 8%
penumpang bukan feri) dan 7.3 juta MetricTon barang (sekitar 16% kargo
umum). Tapi kekuatan armada ini cenderung melemah, terlihat dari kapasitas
397,000 GRT pada tahun 1997 menjadi 306,000 GRT pada tahun 2001.
(Sumber data: Stramindo, berdasarkan statistik DitJenHubLa).

D. Masalah Transportasi Maritim Di Indonesia


Dalam periode 5 tahun (19962000) jumlah perusahaan pelayaran di
Indonesia meningkat, dari 1,156 menjadi 1,724 buah, atau bertambah 568
perusahaan (peningkatan rata-rata 10.5 % p.a). Sementara kekuatan armada
pelayaran nasional membesar, dari 6,156 menjadi 9,195 unit (peningkatan rata-
rata 11.3 % p.a). Tapi dari segi kapasitas daya angkut hanya naik sedikit, yaitu
dari 6,654,753 menjadi 7,715,438 DWT. Berarti kapasitas rata-rata perusahaan
pelayaran nasional menurun. Sepanjang periode tersebut, volume perdagangan
laut tumbuh 3 % p.a. Volume angkutan naik dari 379,776,945 ton (1996)
menjadi 417,287,411 ton (2000), atau meningkat sebesar 51,653,131 ton dalam
waktu lima tahun, tapi tak semua pertumbuhan itu dapat dipenuhi oleh
kapasitas perusahaan pelayaran nasional (kapal berbendera Indonesia), bahkan
untuk pelayaran domestik (antar pelabuhan di Indonesia). Pada tahun 2000,
jumlah kapal asing yang mencapai 1,777 unit dengan kapasitas 5,122,307
DWT meraup muatan domestik sebesar 17 juta ton atau sekitar 31%.

7
Walhasil, saat ini industri pelayaran Indonesia sangat buruk.
Perusahaan pelayaran nasional kalah bersaing di pasar pelayaran nasional dan
internasional, karena kelemahan di semua aspek, seperti ukuran, umur,
teknologi, dan kecepatan kapal. Di bidang muatan internasional (ekspor/impor)
pangsa perusahaan pelayaran nasional hanya sekitar 3 % to 5%, dengan
kecenderungan menurun (lihat Tabel di bawah). Proporsi ini sangat tidak
seimbang dan tidak sehat bagi pertumbuhan kekuatan armada pelayaran
nasional.
Data tahun 2002 menunjukkan bahwa pelayaran armada nasional
Indonesia semakin terpuruk di pasar muatan domestik. Penguasaan pangsanya
menciut 19% menjadi hanya 50% (2000: 69%). Sementara untuk muatan
internasional tetap di kisaran 5%. Dari sisi finansial, Indonesia kehilangan
kesempatan meraih devisa sebesar US$10.4 milyar, hanya dari transportasi laut
untuk muatan ekspor/impor saja. Alih-alih memperoleh manfaat dari penerapan
prinsip cabotage (yang tidak ketat) industri pelayaran nasional Indonesia malah
sangat bergantung pada kapal sewa asing. Armada nasional pelayaran
Indonesia menghadapi banyak masalah, seperti: banyak kapal, terutama jenis
konvensional, menganggur karena waktu tunggu kargo yang berkepanjangan;
terjadi kelebihan kapasitas, yang kadang-kadang memicu perang harga yang
tidak sehat; terdapat cukup banyak kapal, tapi hanya sedikit yang mampu
memberikan pelayanan memuaskan; tingkat produktivitas armada dry cargo
sangat rendah, hanya 7,649 ton-miles/DWT atau sekitar 39.7% dibandingkan
armada sejenis di Jepang yang 19,230 ton-miles/DWT.
Pada tahun 2001 perusahaan pelayaran di Indonesia mencapai jumlah
3,078, atau berlipat 3.3 kali dari jumlah tahun 1998. Tapi dalam periode yang
sama, jumlah perusahaan yang memiliki kapal sendiri hanya berlipat 1.3 kali.
Perusahaan pemilik kapal yang menjadi anggota INSA (Indonesia National
Shipowner Association) pada tahun 2001 tercatat 914. Dari jumlah tersebut
82% diantaranya adalah perusahaan yang mengoperasikan kurang dari 3 buah
kapal, dan hanya 4% yang mengoperasikan lebih dari 10 kapal. Hanya sekitar
80% anggota INSA yang mengoperasikan kapal milik sendiri, sisanya
mengoperasikan kapal sewaan.
Hasil survai Stramindo di kalangan perusahaan pelayaran pada tahun
2002 menunjukkan bahwa persepsi bahwa pengembangan perusahaan
pelayaran terhambat karena lima faktor utama, yaitu: regulasi dan
pelaksanaannya; armada yang uzur kesulitan pendanaan untuk investasi operasi
pelabuhan yang kurang baik biaya siluman yang tinggi Survai Stramindo juga

8
menunjukkan adanya keinginan besar di kalangan perusahaan pelayaran
nasional untuk meremajakan kapal dan memperbesar kapasitas asramanya.
Dari sumber lain juga terindikasi adanya harapan untuk memperbesar pangsa
pasar domestik dan internasional bagi armada pelayaran nasional. Seperti
terlihat dari proyeksi INSA untuk memperbesar kapasitas armada pelayaran
nasional hingga tahun 2020 terealisasi Tapi keinginan atau harapan tersebut
tidak mudah diwujudkan, karena berbagai kendala dan persoalan yang sulit.
Armada pelayaran nasional Indonesia kurang mampu meningkatkan daya saing
dan bertumbuh karena beberapa faktor, yaitu pemilik kapal tidak mampu
memperkuat armada dengan pembiayaan sendiri; tingkat bunga yang tinggi
dalam sistem perbankan nasional; dan tidak ada subsidi; tidak ada kebijakan
yang memihak (seperti penerapan asas cabotage); sisa-sisa kebijakan yang tak
menunjang, misalnya keharusan men-scrap kapal tua (padahal secara teknis
dan ekonomis masih dapat dioperasikan) dan keharusan membeli kapal
produksi dalam negeri (padahal kapasitas pasokannya masih relatif terbatas)
keterbatasan fasilitas dan infrastruktur pelabuhan nasional (lebih pada muatan
ekspor/impor); ketaktersediaan jaringan informasi yang memadai.
Situasi pelayaran nasional sangat pelik, karena ketergantungan pada
kapal sewa asing terjadi bersamaan dengan kelebihan kapasitas armada
domestik. Situasi bagai lingkaran tak berujung itu disebabkan lingkungan
investasi perkapalan yang tidak kondusif. Banyak perusahaan pelayaran ingin
meremajakan armadanya, tapi sulit memperoleh pinjaman dari pasar uang
domestik. Dan di sisi lain lebih mudah memperoleh pinjaman dari sumber-
sumber luar negeri. Beberapa perusahaan besar cenderung mendaftarkan
kapalnya di luar negeri (flagged-out). Tapi perusahaan kecil dan menengah
tidak mampu melakukannya, sehingga tak ada alternatif kecuali menggunakan
kapal berharga murah, tapi tua dan scrappy. Akibatnya terjadi ketergantungan
yang semakin besar pada kapal sewa asing dan pemerosotan produktivitas
armada.

E. Masalah Investasi Transportasi Maritim


Di Indonesia terdapat dua kelompok besar penyelenggara transportasi
maritim, yaitu oleh Pemerintah (termasuk BUMN) dan swasta. Masing-masing
kelompok terbagi dua. Di pihak Pemerintah terbagi menjadi BUMN pelayaran
yang menyelenggarakan transportasi umum dan BUMN non-pelayaran yang
hanya menyelenggarakan pelayaran khusus untuk melayani kepentingan
sendiri. Pihak swasta terbagi menjadi perusahaan besar dan perusahaan kecil

9
(termasuk pelayaran rakyat). Ragam mekanisme penyaluran dana investasi
pengadaan kapal ternyata sejalan dengan pembagian tersebut. Masing-masing
pihak di tiap-tiap kelompok memiliki mekanisme pembiayaan tersendiri

F. Hambatan dalam Pendanaan Kapal


Dunia pelayaran Indonesia menghadapi banyak hambatan struktural
dan sistematis di bidang finansial, seperti dipaparkan di bawah.
a. Keterbatasan lingkup dan skala sumber dana: Official Development Assitance
(ODA): terkonsentrasi untuk investasi publik di berbagai sektor pembangunan,
kecuali pelayaran. Other Official Finance (OOF): kredit ekspor dari Jepang
sedang terjadwal-ulang. Foreign Direct Investment (FDI): sejauh ini tidak ada
Anggaran Pemerintah: hanya dialokasikan untuk pengadaan kapal pelayaran
perintis. Pinjaman Bank Asing: tersedia hanya untuk perusahaan pelayaran
besar (credit worthy) Pinjaman Bank Swasta Nasional: hanya disediakan dalam
jumlah sangat kecil (dalam kasus Bank Mandiri hanya 0.25% dari jumlah total
kredit tersalur)
b. Tingkat suku bunga pinjaman domestik 15-17% p.a. untuk jangka waktu
pinjaman 5 tahun.
c. Jangka waktu pinjaman yang hanya 5 tahun terlalu singkat untuk industri
pelayaran;
d. Saat ini, kapal yang dibeli tidak bisa dijadikan sebagai kolateral.
e. Tidak ada program kredit untuk kapal feeder termasuk pelayaran rakyat,
kecuali pinjaman jangka pendek berjumlah sangat kecil dari bank nasional.
Program kredit lunak untuk pelayaran rakyat akan dihentikan, program untuk
dok dan galangan kapal sudah dihapus

G. Masa Depan Transportasi Maritim


Proyeksi dalam Study on the Development of Domestic Sea
Transportation and Maritime Industry in the Republic of Indonesia
(Stramindo) – JICA (2003) Gambaran suram tentang transportasi maritim
Indonesia bagai mendung yang menutupi matahari. Potensi yang ada sangat
besar, sehingga masa depan sebenarnya bisa lebih cerah. Terlihat dari hasil
kajian Stramindo yang memproyeksikan pembangunan transportasi maritim
Indonesia untuk 20 tahun ke depan (20042024).
Stramindo memprediksi bahwa dalam periode 20 tahun ke depan (20042024),
volume dry cargo akan berlipat 2.8 kali, volume liquid cargo berlipat 1.4 kali,
dan secara keseluruhan volume angkutan domestik akan berlipat 2 kali. Jenis

10
muatan yang paling pesat pertumbuhannya adalah kargo kontener. Volumenya
akan berlipat 5.2 kali, dari 11 juta ton (2004) menjadi 59 juta ton (2024).
Pertumbuhan dry cargo sejalan dengan kecenderungan pertumbuhan ekonomi,
dan tidak terlalu bergantung pada ketersediaan sumberdaya alam. Tingkat
produksi minyak saat ini akan terhenti pada tahun 2006, seperti diperkirakan
oleh Pemerintah. Di masa 20 tahun ke depan, volume angkutan minyak akan
menurun, sekalipun konsumsi bertambah. Struktur logistik minyak akan
berubah, sebagian volume domestik minyak mentah akan diganti dengan impor
minyak.
Sebagai akibatnya, pertumbuhan volume angkutan liquid-cargo (yang
didominasi minyak) tidak sepesat dry-cargo. Pertumbuhan volume penumpang
(transportasi maritim maupun udara) akan sejalan dengan pertumbuhan GDP.
Tapi GDP yang semakin tinggi hanya berpengaruh positif terhadap transportasi
udara, dan berpengaruh negatif terhadap transportasi laut. Karena itu diprediksi
proporsi laut-udara akan berubah dari 60-40 (2001) menjadi 51-49 (2024)
dengan tingkat pertumbuhan rendah 1.5 kali lipat. Proyeksi pertumbuhan
volume muatan barang dan penumpang domestik yang menggunakan
transportasi maritim
Pertumbuhan volume muatan domestik membutuhkan penambahan
kapasitas armada tranportasi maritim domestik. Tapi perkiraan penambahan
kapasitas dipengaruhi beberapa hal, antara lain pertumbuhan pangsa pasar, atau
tingkat produktivitas. Stramindo menargetkan perbaikan tingkat produktivitas
kapal dry-cargo, yaitu dari 7,649 ton-miles/DWT (2001) menjadi 10,000 ton-
miles/DWT (2024). Hal ini bisa dilakukan melalui berbagai peningkatan dan
penyempurnaan di berbagai bidang, antara lain seperti: peningkatan volume
muatan, karena ekstensifikasi kontenerisasi; peningkatan kecepatan kapal,
karena penggunaan armada yang berumur lebih muda; penambahan jumlah
hari produktif (commissionable days), karena perbaikan manajemen kapal;
pemangkasan waktu tunggu di pelabuhan, karena perbaikan manajemen
pelabuhan dan sebagainya.
Disamping itu, Stramindo mengasumsikan pembesaran pangsa dari
60% (2001) menjadi 86% (2014) dan 100% (2024). Target pangsa pasar
armada domestik ini bisa dicapai melalui kebijakan penerapan bertahap asas
cabotage, dengan tujuan membentuk armada yang berdayasaing tinggi.
Berdasarkan data tahun 2001, kapasitas armada nasional adalah 7.1 juta
DWT/GT dengan umur rata-rata 21 tahun. Pada akhir dasawarsa pertama,
tahun 2014, kekuatan armada nasional untuk pelayaran domestik bisa mencapai

11
86% besaran proyeksi akhir, dengan penambahan kapasitas 3.4 juta DWT. Hal
ini hanya bisa dicapai dengan penerapan cabotage pada 7 komoditi terpilih
(minyak bumi, minyak sawit, batubara, pupuk, kayu, beras, dan karet). Selain
tetap mempertahankan cabotage seperti yang ada sekarang, dan penggantian
kapal tua. Pada akhir dasawarsa kedua, tahun 2024, jika modernisasi kapal dan
manajemen pelayaran berhasil dilakukan secara gradual dan penerapan
sepenuhnya prinsip cabotage, kapasitas armada pelayaran domestik akan
bertambah 3.2 juta DWT sehingga mencapai 13.1 juta DWT untuk kargo dan
0.7 juta GT untuk penumpang (atau 14.4 juta DWT/GT) dengan umur rata-rata
14 tahun Berdasarkan proyeksi kapasitas armada pelayaran tersebut di atas,
diperlukan investasi sebesar Rp 54.5 trilyun untuk pengadaan armada kapal
dalam periode 2004-2014, dan sebesar Rp 75,3 trilyun dalam periode
berikutnya, 2015-2024. Pengadaan 4,617 kapal dalam periode selama 20 tahun
membutuhkan dana total sebesar Rp 130 trilyun (US$15.3 milyar), atau sama
dengan 8% GDP Indonesia tahun 2002.
Karena keterbatasan anggaran pemerintah, JICA merekomendasikan
agar Pemerintah Indonesia mencari pinjaman sebesar Rp 2.8 trilyun dari
Official Development Assistance (ODA) melalui program pembangunan
pelayaran antar-pulau (interinsuler), untuk memenuhi 10% investasi domestik
dalam periode 2005-2009. Melalui investasi peremajaan dan modernisasi
armada transportasi maritim, diperkirakan ekonomi Indonesia akan menikmati
multiplier-effect senilai Rp 251.3 trilyun pada tahun 2024. Patut digarisbawahi,
bahwa selain beberapa asumsi dasar umum (misalnya pertumbuhan GDP),
proyeksi tersebut di atas disusun dengan mengandaikan keberhasilan
pembenahan di beberapa bidang. Pada dasarnya pembenahan tersebut
bertujuan meningkatkan produktivitas dan menciptakan iklim investasi yang
kondusif untuk industri pelayaran. Proyeksi di atas akan berhenti hingga
sebatas kertas, tanpa pembenahan yang disarankan.
Pada tahap awal, proyeksi dalam Study on Development of Domestic
Sea Transportation and Maritime Industry in the Republic of Indonesia ini
dapat dipergunakan untuk memaparkan potensi besar industri transportasi
maritim, yang disusun berdasarkan kondisi faktual saat ini.

H. Masalah Finansial Transportasi Maritim


Industri transportasi maritim menghadapi situasi pelik, yaitu
timbulnya masalah ketergantungan pada kapal sewa asing dan kelebihan
kapasitas armada secara bersamaan. Pangkal kepelikan situasi tersebut berasal

12
dari lingkungan investasi perkapalan yang tidak kondusif. Perusahaan
pelayaran yang ingin meremajakan armadanya, sulit memperoleh dukungan
dana. Jika dibiarkan, kepelikan tersebut akan seperti spiral yang menyeret
perusahaan pelayaran ke arah keterpurukan yang semakin dalam.
Hanya ada satu prasyarat yang dibutuhkan, agar perusahaan pelayaran
nasional dapat keluar dari spiral tersebut, yaitu iklim investasi yang kondusif.
Kondusivitas tersebut diperlukan untuk memberdayakan perusahaan pelayaran,
sehingga perusahaan pelayaran tersebut dapat memiliki beberapa karakteristik
kemampuan dalam hal: mengakses sumber dana keuangan untuk pengadaan
kapal yang dibutuhkan menikmati laba bisnis yang stabil menghindari
pemerosotan asset kapal dalam jangka menengah dan panjang melakukan
reinvestasi pada armada yang lebih berdaya saing Perusahaan pelayaran akan
dapat melakukan modernisasi manajemen dan memiliki karakterisitik tersebut
di atas, hanya jika pemerintah mendorong penciptaan iklim investasi yang
kondusif untuk industri pelayaran dengan melakukan: penerapan skema
pendanaan strategis untuk beberapa area pembangunan armada pelayaran,
menyediakan sarana dan prasarana penunjang pelayaran, seperti pelabuhan dan
galangan kapal. Penggalian sumber dana dapat dilakukan dengan berbagai cara
seperti dipaparkan di bawah ini.
a. Pemanfaatan ODA menjadi beberapa skema dan bidang, seperti untuk:
pengadaan kapal berkualitas untuk dijadikan sebagai kapal tipe standard;
pembangunan kapal berkualitas seperti di atas, di galangan kapal dalam negeri;
skema Two-Step Loan (TSL) melalui bank (seperti Bank Mandiri) sebagai
pinjaman bagi perusahaaan besar, untuk pembelian kapal baru, atau
peningkatan mutu kapal, atau pembelian peralatan; skema TSL melalui bank
(seperti BRI) sebagai pinjaman bagi perusahaan kecil atau pelayaran rakyat
untuk pembelian kapal baru, atau peningkatan mutu kapal; dan pelayaran
perintis, dalam bentuk pendanaan program terkait bagi daerah yang disinggahi
kapal perintis, seperti konstruksi prasarana pedesaan, kredit usaha kecil, atau
pembangunan pedesaan.
b. Pemanfaatan pinjaman OOF (non-ODA), seperti dari Jepang, yang akan
tersedia seusai penjadwalan-ulang;
c. Perluasan akses terhadap dana bank luar negeri bagi perusahaan pelayaran
yang melayani angkutan luar negeri. Pembatasan ini perlu dilakukan karena
pinjaman dalam bentuk mata uang asing terlalu beresiko bagi perusahaan
pelayaran dengan angkutan domestik yang berpenghasilan rupiah.

13
d. Pemanfaatan dana bank nasional dengan cara menekan suku bunga,
menyederhanakan prosedur, dan memperbarui sistem penjaminan (untuk ini
dibutuhkan peraturan perundangan tentang mortgage).
e. Penetapan kebijakan pendanaan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan
transparansi.
Pembaharuan kebijakan finansial untuk industri transportasi maritim
Indonesia bukan hal yang berlebihan dibandingkan dengan kebijakan di
beberapa negara Asean. Negara-negara tersebut telah menetapkan kebijakan di
bidang registrasi kapal, pajak dan cukai, prinsip cabotage, dan dukungan fiskal
untuk pengembangan kekuatan armada pelayaran nasional masing-masing.
Sebagai contoh misalnya Filipina dan Singapura :
1. Di bidang registrasi kapal, Filipina dan Singapura memperluas skema
registrasi kapal hingga mencakup bare-boat charter ship dengan opsi beli.
2. Di bidang pendanaan kapal, Filipina telah menerapkan sistem two-step-loan
sejak 1995, dan menjalin kerjasama dengan Japan Bank for International
Cooperation (JBIC) dan Malaysia dalam pengelolaan “shipping fund” untuk
meningkatkan nilai strategis dan meremajakan umur armada pelayaran
domestiknya.
Bidang kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan,
pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut,
bangunan kelautan, dan jasa kelautan, merupakan andalan dalam menjawab
tantangan dan peluang tersebut. Pernyataan tersebut didasari bahwa potensi
sumberdaya kejautan yang besar yakni 75% wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) adalah laut dan selama ini telah memberikan
sumbangan yang sangat berarti bagi keberhasilan pembangunan nasional.
Sumbangan yang sangat berarti dari sumberdaya kelautan tersebut,
antara lain berupa penyediaan bahan kebutuhan dasar, peningkatan pendapatan
masyarakat, kesempatan kerja, perolehan devisa dan pembangunan daerah.
Dengan potensi wilayah laut yang sangat luas dan sumberdaya alam serta
sumberdaya manusia yang dimiliki Indonesia. kelautan sesungguhnya memiliki
keunggulan komparatif, keunggulan kooperatif dan keunggulan kompetitif
untuk menjadi sektor unggulan dalam kiprah pembangunan nasional dimasa
depan.
Pembangunan kelautan selama tiga dasa warsa terakhir selalu
diposisikan sebagai pinggiran (peryphery) dalam pembangunan ekonomi
nasional. Dengan posisi semacam ini sektor kelautan dan perikanan bukan
menjadi arus utama (mainstream) dalam kebijakan pembangunan ekonomi

14
nasional. Kondisi ini menjadi menjadi ironis mengingat hampir 75 % wilayah
Indonesia merupakan lautan dengan potensi ekonomi yang sangat besar serta
berada pada posisi geo-politis yang penting yakni Lautan Pasifik dan Lautan
Hindia, yang merupakan kawasan paling dinamis dalam percaturan dunia baik
secara ekonomi dan potitik. Sehingga secara ekonomis-politis sangat logis jika
kelautan dijadikan tumpuan dalam perekonomian nasional.

I. Struktur Organisasi Di Dalam Kapal


Struktur organisasi kapal terdiri dari seorang Nakhoda selaku
pimpinan umum di atas kapal dan Anak Buah kapal yang terdiri dari para
perwira kapal dan non perwira/bawahan (subordinate crew). Struktur
organisasi kapal diatas bukanlah struktur yang baku, karena tiap kapal bisa
berbeda struktur organisaninya tergantung jenis, fungsi dan kondisi kapal
tersebut. Selain jabatan-jabatan tersebut dalam contoh struktur organisasi kapal
diatas, masih banyak lagi jenis jabatan di kapal, diluar jabatan Nakhoda.
Misalnya di kapal pesiar ada jabatan-jabatan Bar-tender, cabin-boy, swimming-
pool boy, general purpose dan lain sebagainya. Dikapal lain misalnya terdapat
jabatan juru listrik (electrician), greaser dan lain sebagainya. Semua orang yang
mempunyai jabatan di atas kapal itu disebut Awak kapal, termasuk Nakhoda,
tetapi Anak kapal atau Anak Buah Kapal (ABK) adalah semua orang yang
mempunyai jabatan diatas kapal kecuali jabatan Nakhoda.
Untuk kapal penangkap ikan masih ada jabatan lain yaitu Fishing master, Boy-
boy (pembuang umpan, untuk kapal penangkap pole and Line (cakalang), dlsb.

Nakhoda Kapal
UU. No.21 Th. 1992 dan juga pasal 341.b KUHD dengan tegas menyatakan
bahwa Nakhoda adalah pemimpin kapal, kemudian dengan menelaah pasal 341
KUHD dan pasal 1 ayat 12 UU. No.21 Th.1992, maka definisi dari Nakhoda
adalah sebagai berikut:
“ Nakhoda kapal ialah seseorang yang sudah menanda tangani Perjanjian Kerja
Laut (PKL) dengan Pengusaha Kapal dimana dinyatakan sebagai Nakhoda,
serta memenuhi syarat sebagai Nakhoda dalam arti untuk memimpin kapal
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku “ Pasal 342 KUHD secara
ekplisit menyatakan bahwa tanggung jawab atas kapal hanya berada pada
tangan Nakhoda, tidak ada yang lain. Jadi apapun yang terjadi diatas kapal
menjadi tanggung jawab Nakhoda, kecuali perbuatan kriminal.

15
Misalkan seorang Mualim sedang bertugas dianjungan sewaktu kapal
mengalami kekandasan. Meskipun pada saat itu Nakhoda tidak berada di
anjungan, akibat kekandasan itu tetap menjadi tanggung jawab Nakhoda.
Contoh yang lain seorang Masinis sedang bertugas di Kamar Mesin ketika tiba-
tiba terjadi kebakaran dari kamar mesin. Maka akibat yang terjadi karena
kebakaran itu tetap menjadi tanggung jawab Nakhoda. Dengan demikian secara
ringkas tanggung jawab Nakhoda kapal dapat dirinci antara lain :

1. Memperlengkapi kapalnya dengan sempurna


2. Mengawaki kapalnya secara layak sesuai prosedur/aturan
3. Membuat kapalnya layak laut (seaworthy)
4. Bertanggung jawab atas keselamatan pelayaran
5. Bertanggung jawab atas keselamatan para pelayar yang ada diatas kapalnya
6. Mematuhi perintah Pengusaha kapal selama tidak menyimpang dari peraturan
perundang-undangan yang berlaku

Jabatan-jabatan Nakhoda diatas kapal yang diatur oleh peraturan dan


perundang-undangan yaitu :

1. Sebagai Pemegang Kewibawaan Umum di atas kapal. (pasal 384, 385 KUHD
serta pasal 55 UU. No. 21 Th. 1992).
2. Sebagai Pemimpin Kapal. (pasal 341 KUHD, pasal 55 UU. No. 21 Th. 1992
serta pasal 1/1 (c) STCW 1978).
3. Sebagai Penegak Hukum. (pasal 387, 388, 390, 394 (a) KUHD, serta pasal 55
No. 21 Th. 1992).
4. Sebagai Pegawai Pencatatan Sipil. (Reglemen Pencatatan Sipil bagi Kelahiran
dan Kematian, serta pasal 55 UU. No. 21. Th. 1992).

16
5. Sebagai Notaris. (pasal 947 dan 952 KUHPerdata, serta pasal 55 UU. No. 21,
Th. 1992).

1. Nakhoda sebagai Pemegang Kewibawaan Umum


Mengandung pengertian bahwa semua orang yang berada di atas kapal,
tanpa kecuali harus taat serta patuh kepada perintah-perintah Nakhoda demi
terciptanya keamanan dan ketertiban di atas kapal. Tidak ada suatu alasan
apapun yang dapat dipakai oleh orang-orang yang berada di atas kapal untuk
menentang perintah Nakhoda sepanjang perintah itu tidak menyimpang dari
peraturan perundang-undangan. Aetiap penentangan terhadap perintah
Nakhoda yang demikian itu merupakan pelanggaran hukum, sesuai dengan
pasal 459 dam 460 KUH. Pidana, serta pasal 118 UU. No.21, Th. 1992. Jadi
menentang perintah atasan bagi awak kapal dianggap menentang perintah
Nakhoda karena atasan itu bertindak untuk dan atas nama Nakhoda.

2. Nakhoda sebagai Pemimpin Kapal


Nakhoda bertanggung jawab dalam membawa kapal berlayar dari
pelabuhan satu ke pelabuhan lain atau dari tempat satu ke tempat lain dengan
selamat, aman sampai tujuan terhadap penumpang dan segala muatannya.

3. Nakhoda sebagai Penegak Hukum


Nakhoda adalah sebagai penegak atau abdi hukum di atas kapal sehingga
apabila diatas kapal terjadi peristiwa pidana, maka Nakhoda berwenang
bertindak selaku Polisi atau Jaksa. Dalam kaitannya selaku penegak hukum,
Nakhoda dapat mengambil tindakan antara lain :
1. Menahan/mengurung tersangka di atas kapal
2. Membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
3. Mengumpulkan bukti-bukti
4. Nakhoda sebagai Pegawai Catatan Sipil
Apabila diatas kapal terjadi peristiwa-peristiwa seperti kelahiran dan
kematian maka Nakhoda berwenang bertindak selaku Pegawai Catatan Sipil.
Tindakan-tindakan yang harus dilakukan Nakhoda jika di dalam pelayaran
terjadi kelahiran antara lain :
1. Membuat Berita Acara Kelahiran dengan 2 orang saksi (biasanya Perwira
kapal)
2. Mencatat terjadinya kelahiran tersebut dalam Buku Harian Kapal

17
3. Menyerahkan Berita Acara Kelahiran tersebut pada Kantor Catatan Sipil di
pelabuhan pertama yang disinggahi.
Jikalau terjadi kematian :
1. Membuat Berita Acara Kematian dengan 2 orang saksi (biasanya Perwira
kapal)
2. Mencatat terjadinya kematian tersebut dalam Buku Harian Kapal
3. Menyerahkan Berita Acara Kematian tersebut pada Kantor Catatan Sipil di
pelabuhan pertama yang disinggahi
4. Sebab-sebab kematian tidak boleh ditulis dalam Berita Acara
Kematian maupun Buku Harian Kapal, karena wewenang membuat visum ada
pada tangan dokter
Apabila kelahiran maupun kematian terjadi di luar negeri, Berita Acaranya
diserahkan pada Kantor Kedutaan Besar R.I. yang berada di negara yang
bersangkutan.

Anak Buah Kapal (ABK)


1. Hak-hak Anak Buah Kapal
∙ Hak Atas Upah
∙ Hak Atas Tempat Tinggal dan Makan
∙ Hak Atas Perawatan waktu sakit/kecelakaan
∙ Hak Atas Cuti
∙ Hak Atas Pengangkutan untuk dipulangkan

2. Kewajiban Anak Buah Kapal


Kewajiban-kewajiban Anak Buah Kapal antara lain :
∙ Taat kepada perintah atasan, teristimewa terhadap perintah Nakhoda
∙ Meninggalkan kapal (turun ke darat) harus dengan ijin Nakhoda atau yang
mewakilinya
∙ Tidak membawa barang dagangan, minum-minuman keras, dan senjata (api) di
atas kapal
∙ Melakukan tugas tambahan atau kerja lembur jika dianggap perlu oleh
Nakhoda

18
∙ Turut membantu menyelamatakan kapal, penumpang, dan muatannya, dalam
kecelakaan kapal
∙ Berprilaku sopan, serta tidak mabuk-mabukan di kapal dalam rangka turut
menciptakan keamanan dan ketertiban diatas kapal

Peraturan Pengawakan Kapal


Dengan diberlakukannya Amandemen International Convention on
Standard of Training Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW)
1995 sebagai penyempurnaan STCW 1978, maka Menteri Perhubungan
menetapkan peraturan dalam bentuk Keputusan Menteri Perhubungan No.70
Th.1998 tanggal, 21 Oktober 1998 tentang Pengawakan Kapal Niaga.
Pada BAB II Pasal 2 ayat (1) dan (2) bahwa pada setiap kapal niaga
yang berlayar harus diawaki dengan susunan terdiri dari : seorang Nakhoda,
sejumlah perwira, sejumlah rating. Susunan awak kapal didasarkan pada :
daerah pelayaran, tonase kotor kapal (gross tonnage/GT) dan ukuran tenaga
penggerak kapal (kilowatt/KW). Pada pasal 8 menetapkan dan memperjelas
bahwa awak kapal yang mengawaki kapal niaga sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
∙ bagi Nakhoda, Mualim atau Masinis harus memiliki sertifikat keahlian pelaut
yang jenis dan tingkat sertifikatnya sesuai dengan daerah pelayaran, tonase
kotor dan ukuran tenaga penggerak kapal dan memiliki sertifikat ketrampilan
pelaut
∙ bagi operator radio harus memiliki sertifikat keahlian pelaut bidang radio yang
jenis dan tingkat sertifikatnya sesuai dengan peralatan radio yang ada di kapal
dan memiliki sertifikat ketrampilan pelaut
∙ bagi rating harus memiliki sertifikat keahlian pelaut dan sertifikat ketrampilan
pelaut yang jenis sertifikatnya sesuai dengan jenis tugas, ukuran dan jenis kapal
serta tata susunan kapal.

Departemen Dek
Kapten/Nakhoda/Master adalah pimpinan dan penanggung jawab pelayaran
1. Mualim I/Chief Officer/Chief Mate bertugas pengatur muatan, persediaan air
tawar dan sebagai pengatur arah navigasi

19
2. Mualim 2/Second Officer/Second Mate bertugas membuat jalur/route peta
pelayaran yg akan di lakukan dan pengatur arah navigasi
3. Mualim 3/Third Officer/Third Mate bertugas sebagai pengatur, memeriksa,
memelihara semua alat alat keselamatan kapal dan juga bertugas sebagai
pengatur arah navigasi.
4. Markonis/Radio Officer/Spark bertugas sebagai operator radio/komunikasi
serta bertanggung jawab menjaga keselamatan kapal dari marabahaya baik itu
yg di timbulkan dari alam seperti badai, ada kapal tenggelam, dll.

Departemen Mesin
1. KKM (Kepala Kamar Mesin)/Chief Engineer, pimpinan dan penanggung
jawab atas semua mesin yang ada di kapal baik itu mesin induk, mesin bantu,
mesin pompa, mesin crane, mesin sekoci, mesin kemudi, mesin freezer, dll.
2. Masinis 1/First Engineer bertanggung jawab atas mesin induk
3. Masinis 2/Second Engineer bertanggung jawab atas semua mesin bantu.
4. Masinis 3/Third Enginer bertanggung jawab atas semua mesin pompa.
5. Juru Listrik/Electrician bertanggung jawab atas semua mesin yang
menggunakan tenaga listrik dan seluruh tenaga cadangan.
6. Juru minyak/Oiler pembantu para Masinis/Engineer

Ratings atau bawahan

A. Bagian dek:
1. Boatswain atau Bosun atau Serang (Kepala kerja bawahan)
2. Able Bodied Seaman (AB) atau Jurumudi
3. Ordinary Seaman (OS) atau Kelasi atau Sailor
4. Pumpman atau Juru Pompa, khusus kapal-kapal tanker (kapal pengangkut
cairan)

B. Bagian mesin:
1. Mandor (Kepala Kerja Oiler dan Wiper)
2. Fitter atau Juru Las

20
3. Oiler atau Juru Minyak
4. Wiper
C. Bagian Permakanan:
1. Juru masak/ cook bertanggung jawab atas segala makanan, baik itu memasak,
pengaturan menu makanan, dan persediaan makanan.
2. Mess boy / pembantu bertugas membantu Juru masak

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai transportasi laut diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa pengaruh dari sarana dan prasarana itu adalah Sarana dan prasarana
transportasi memiliki beberapa dampak yang secara langsung maupun tidak langsung
dalam masyarakat. Ketersediaan dan lancarnya sarana dan prasarana transportasi
menghapuskan perisolasian suatu daerah serta aksesibilitas pun semakin meningkat.
Peningkatan ini membuka suatu peradaban baru bagi daerah pedesaan tersebut.
Sehingga kemajuan dan modernisasi yang berasal dari daerah pusat pemerintahan
dapat dengan mudah masuk. Kebutuhan transportasi merupakan kebutuhan turunan
(derived demand) akibat aktivitas ekonomi, sosial, dan sebagainya. Sarana
transportasi yang ada di laut memegang peranan vital dalam aspek sosial ekonomi
melalui fungsi di stribusi antara daerah satu dengan daerah yang lain. Pelabuhan
adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai atau danau untuk menerima kapal
dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya.

B. Saran
Untuk meminimalisir kecelakaan di laut, terutama yang disebabkan oleh faktor
human error yang menjadi topik pembahasan makalah ini maka diperlukan peran
semua pihak baik pemerintah, masyarakat maupun swasta. Berikut beberapa saran
yang dapat disampaikan sebagai upaya untuk mengantisipasi terjadi kecelakaan
transportasi laut.
1. Sistem navigasi kapal dan semua peralatan yang dipergunakan di kapal angkutan
transportasi laut harus segera dilengkapi dan dilakukan perawatan secara berkala.
2. Pengadaan sistem patroli perlu dilakukan, berkaitan dengan ketidaknyamanan
jalur-jalur pelayaran saat ini, terutama untuk menjaga keamanan penumpang dan

21
barang, penertiban terhadap kapal yang mengangkut penumpang dan barang yang
berlebih, serta kapal-kapal yang tidak memiliki keamanan yang memadai.

22

Anda mungkin juga menyukai