Secara geografis wilayah Banyumas merupakan daerah yang diapit oleh
pegunungan serayu disebelah Utara dan Barat, wilayahnya juga banyak dialiri oleh sungai kecil dan besar yang berasal dari pegunungan Dieng. Wilayah Banyumas termasuk subur karena terdiri dari timbunan vulkanis muda, sehingga sangat cocok untuk budidaya padi (Sukardi 2014:11-12). Mayoritas mata pencaharian penduduk Banyumas adalah sebagai petani padi, buah dan sayur-sayuran. Adanya timbunan material vulkanis karena sebagian wilayah Banyumas, tepatnya Kecamatan Cilongok terletak persis di lereng bagian Selatan kaki Gunung Slamet. Banyaknya aliran sungai besar yang mengaliri desa-desa juga dimanfaatkan oleh masyarakat Cilongok untuk budidaya ikan tawar melalui media tambak. Selain itu, beberapa juga bekerja di sektor peternakan seperti ayam atau itik. Sebelum masa Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, wilayah Banyumas merupakan daerah mancanegara dari kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa. Namun, setelah perang Jawa (Perang Diponegoro 1825-1830) wilayah ini menjadi daerah kekuasaan Kasunanan Surakarta. Setelah itu dilepaskan menjadi daerah kekuasaan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1830 (Herusatoto, 2008:14). Daerah Banyumas yang sangat potensial di bidang pertanian ini menjadikan beberapa keuntungan bagi penduduknya. Banyak wilayah Banyumas yang mengandalkan sektor wisata dengan tema pertanian ataupun perkebunan. Salah satu contohnya adalah kebun buah starwberry dan taman bunga yang ada di daerah Baturraden. Tanaman-tanaman mudah tumbuh subur di daerah ini berkat Sungai serayu yang mengapitnya, selain dimanfaatkan oleh para petani, bendungan sungai yang berada di Rawalo yaitu Bendung Gerak Serayu juga dijadikan sebagai obyek wisata yang bertemakan peraian. Di pertengahan 2017, wilayah Dusun Sambirata, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas. Terjadi peristiwa mengeruhnya sumber mata air pada aliran- aliran sungai yang mengaliri sebagian besar Kecamatan tersebut, khususnya desa Sambirata. Mengeruhnya aliran-aliran sungai tersebut karena adanya eksploitasi Panas Bumi di lereng selatan Gunung Slamet. Dari awal tahun, PT Sejahtera Alam Energi (PT SAE) telah menargetkan bahwa kawasan Cilongok yang berada di lereng Selatan kaki Gunung Slamet akan dibangun sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB). Listrik yang dihasilkan oleh PLTPB Baturraden yang nantinya di rencanakan akan dijual kepada PLN pada tahun 2022. Pada kuartal ke empat tahun 2017, sekitar bulan Oktober-Desember, masih dalam tahap eksploitasi. Tahap selanjutnya masih direncanakan, yaitu untuk pengembangan panas bumi yang akan digunakan menjadi tenaga listrik. Menurut direktur PT SAE, Bregas H Rochadi, tahap pertama adalah studi permukaan atau survei pendahuluan, dari survei pendahuluan didapatkan perkiraan dimana letak panas bumi yang ada sehingga bisa menentukan titik-titik pengeborannya. Belum rampung pengerjaan PLTPB tersebut, telah banyak menuai protes dari warga sekitar pembangunan, karena terjadinya pengeruhan mata air yang digunakan sebagai sumber mata pencaharian mereka sehari-hari. Banyak warga yang mengandalkan air bersih dari sungai-sungai tersebut untuk dijadikan sumber air sehingga mengganggu kegiatan ekonomi masyarkat Desa Sambirata. Selain terganggunya sumber air bersih, eksploitasi ini menyebabkan hewan dan satwa liar dari hutan gunung yang turun ke desa karena ekosistem yang dirusak serta pohon-pohon ditebangi, hewan dan satwa ini mencari makanan di desa yang dtinggali masyarakat dan merusak ladang pertanian mereka. Dengan insiden ini, masyarakat lereng Gunung Slamet, mahasiswa dan para tokoh seniman di Banyumas menggelar aksi turun ke jalan untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan meminta kepada Bupati Banyumas untuk menghentikan eksploitasi panas bumi di lereng Selatan Gunung Slamet. Mereka mendesak agar Bupati Banyumas Achmad Husain menyatakan sikap menolak atas pembangunan proyek PLTPB di lereng selatan Gunung Slamet, namun beliau mengaku tidak bisa berbuat banyak, karena izin pembangunan proyek tersebut berasal dari Pemerintah Provinsi Jateng. Setelah menemui Bupati masa ini yang terdiri dari berbagai golongan masyarakat kemudian melanjutkan orasi di Gedung Dewan Kabupaten Banyumas untuk mendesak agenda yang sama. Selain orasi, para seniman juga menggelar protes yang dinamai dengan Aksi Air Suci Handayani Cermin, yang merupakan aksi teatrikal dengan menggambarkan ancama terhadap alam, terutama air dan hutan. Protes lainnya juga dilakukan oleh warga desa Panembahan, mereka melakukan aksi mandi air keruh, mereka memprotes sebab pengeruhan air yang terjadi menimbulkan banyak penyakit kulit terutama pada anak-anak. Menanggapi protes dari masyarakat Banyumas, pihak pembangunan proyek PLTPB akhirnya melakukan antisipasi pencemaran air sungai yang keruh akibat pembukaan lahan di lokasi proyek dengan melakukan penyaringan air dan drainase air dari beberapa titik di wallpad H, dengan tujuan air yang yang berasal dari aereal proyek mengalir ke aliran sungai dengan kondisi yang tidak keruh. Selain itu, tanah yang terbuka akibat penebangan pohon dilakukan dengan metode pengerasan dan ditutup menggunakan terpal, hal ini bertujuan agar air yang mengalir tidak langsung membawa lumpur ke dalam aliran sungai. PT SAE juga menjelaskan bahwasannya proyek yang mereka jalankan adalah program pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan listrik nasional dan PT SAE mendapat tugas dari pemerintah untuk membangun PLTPB Baturraden dan listrik yang dihasilkan akan dijual ke PLN dengan harga yang sudah ditetapkan,