Restatement Batasan Umum (Kecakapan Dan Kewenangan Bertindak Berdasarkan Batasan Umur) 20200420 PDF
Restatement Batasan Umum (Kecakapan Dan Kewenangan Bertindak Berdasarkan Batasan Umur) 20200420 PDF
PENJELASAN
HUKUM TENTANG
Penjelasan Hukum tentang BATASAN UMUR
CM
MY
(Kecakapan dan Kewenangan
CY Bertindak Berdasar Batasan Umur)
CMY
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetak, fotokopi,
mikrofilm, VCD, CD-ROM, dan rekaman suara) tanpa izin tertulis dari Penerbit.
iv Dokumen
Daftar Isi Penjelas
D. Analisis ............................................................................................................................ 88
1. Analisis Undang-Undang ITE terhadap Kecakapan
dan Kewenangan Bertindak Berdasar Umur ............................................. 88
2. Analisis Undang-Undang Perkawinan terhadap
Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Umur ..................... 90
3. Analisis Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadap
Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Umur ...................... 91
4. Analisis Undang-Undang Jabatan Notaris terhadap
Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Umur ...................... 92
E. Tabel-Tabel......................................................................................................................... 94
1. Tabel Umur Anak Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan....... 94
2. Tabel Umur Dewasa Berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan......................................................................................... 96
3. Tabel Belum Dewasa Berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan......................................................................................... 97
4. Tabel Batasan Umur 18 Tahun Berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan.................................................................... 98
5. Tabel Batasan Umur 21 Tahun Berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan......................................................................................... 100
6. Tabel Variasi Batasan Umur Berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan......................................................................................... 101
F. Periodesasi Peraturan Perundang-Undangan di Beberapa
Bidang Terkait . ................................................................................................................ 102
1. Ketentuan Umur dalam Hukum ..................................................................... 102
2. Periodesasi Hukum Tenaga Kerja ................................................................... 104
3. Peraturan Jabatan Notaris ................................................................................ 107
G. Kesimpulan ...................................................................................................................... 111
H. Rekomendasi ................................................................................................................... 111
vi Dokumen
Daftar Isi Penjelas
viii Dokumen
Daftar Isi Penjelas
Hormat kami,
Sebastiaan Pompe
Program Manager
x Dokumen
Kata Pengantar
Penjelas
2 Dokumen Penjelas
Ringkasan Eksekutif
KECAKAPAN DAN
KEWENANGAN BERTINDAK
A. Pokok Pembicaraan
Pokok pembicaraan kita adalah Pasal 330 dan Pasal 1331 BW. Pasal 330 BW dipilih
karena pasal tersebut yang mengatur tentang usia dewasa atau kedewasaan,
berkaitan dengan masalah kecakapan bertindak (handelings-bekwaamheid)—dan
secara tidak langsung juga berkaitan dengan masalah kewenangan bertindak—
padahal ketentuan usia dewasa sebagaimana diatur dalam pasal tersebut sudah
tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Di samping itu, keberadaannya dalam
tata hukum kita sekarang ini patut dipertanyakan. Pasal 1331 BW juga menjadi
fokus pembicaraan karena dalam praktiknya pasal tersebut telah memberikan
perlindungan yang berlebihan kepada si tidak cakap, dengan terlalu mengorbankan
kepentingan lawan janji dari si tidak cakap.
Atas dasar itu, penulis akan meninjau keberadaan Pasal 330 BW dalam tata
hukum kita dan mengusulkan perubahan penafsiran atas Pasal 1331 BW.
Dasar pemikirannya adalah sebagaimana tertuang di bawah ini.
B. Istilah
Sebelum mulai meninjau tentang masalah ”kecakapan” dan ”kewenangan”
bertindak, kita perlu terlebih dahulu menyepakati beberapa istilah yang mirip satu
sama lain, tetapi dalam hukum mempunyai arti dan peran yang sangat berbeda,
yaitu Kewenangan Hukum, Kecakapan Bertindak, dan Kewenangan Bertindak.
Istilah-istilah tersebut pada umumnya diartikan sebagai berikut.
Kewenangan Hukum (rechtsbevoegdheid) adalah kewenangan untuk menjadi
pendukung (mempunyai) hak dan kewajiban dalam hukum.1 Karena kewenangan—
1 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan XXXIV, Jakarta: Intermasa, 2010, hlm. 20,
menggunakan istilah ”pembawa hak”.
2 Ibid.
3 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 11 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
4 J. Satrio, Hukum Pribadi, Bagian I, Persoon Alamiah, Cetakan I, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999,
hlm. 56.
4 Dokumen Penjelas
5 Purwoto S. Gandasubrata, ”Persetujuan Istri/Suami untuk Menjaminkan Harta Bersama dan Batas
Umur Dewasa bagi Seorang Calon Nasabah untuk Membuka Rekening serta Meminjam Uang Kepada
Bank”, Media Notariat, No.10 Tahun IV Januari 1989, hlm. 98.
6 Saidus Syahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya, Ditinjau dari Segi Hukum
Islam, Bandung: Alumni, 1976, hlm. 36, di dalamnya kata ”kecakapan bertindak” dan ”kewenangan
bertindak” dicampuradukkan.
7 Indra Ario Nasution, ”Cessie sebagai Salah Satu Bentuk Penggantian Kreditur Ditinjau dari Segi
Hukum”, Media Notariat, No. 2 Tahun 1, Oktober 1999, hlm. 28.
8 Djuhaendah Hasan-Habib Adjie, ”Masalah Kedewasaan dalam Hukum Indonesia”, Media Notariat,
Januari– Maret 2002, hlm. 87.
9 Baca Dokumen Penjelasan Utama hasil penelitian Universitas Indonusa Esa Unggul: ”Kecakapan
dan Kewenangan Bertindak dalam Hukum Berdasarkan Batasan Umur”, selanjutnya disingkat Hasil
Penelitian Universitas Indonusa Esa Unggul.
6 Dokumen Penjelas
8 Dokumen Penjelas
15 Ibid.
16 Rasjim Wiraatmadja, ”Persetujuan Istri/Suami untuk Menjaminkan Harta Bersama dan Batas Umur
Kedewasaan bagi Seorang Calon Nasabah untuk Membuka Rekening serta Meminjam Uang kepada
Bank”, Media Notariat, No. 10 Tahun IV, Januari 1989, hlm. 89.
17 Yang perlu diingat adalah BW hanya berlaku untuk sebagian saja dari penduduk Indonesia, yaitu
golongan Eropa, Timur Asing Tionghoa (S. 1917: 129 jo S. 1924: 557 dengan sedikit perkecualian) dan
Timur Asing lainnya dengan perkecualian dalam hukum keluarga dan pewarisan ab intestaat (S. 1924:
556).
18 B. Ter Haar Bzn, Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, Cetakan Keempat, Jakarta: J.B. Wolters-
Groningen, 1950, hlm. 140.
19 Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Terjemahan Nani Soewondo, Cetakan Kedua, Djambatan,
1982, hlm. 22.
20 MA 2 November 1976 No. 601 K/Sip/1976, Dimuat dalam RY MA RI, jilid II, hlm. 24.
21 MA 1 Juni 1955 No. 53 K/Sip/952, dimuat dalam RY MA RI, hlm. 175.
22 Soepomo, loc.cit.
23 R.v.J. Padang 27 Juli 1933, dimuat dalam T. 139: 278, sebagaimana dikutip oleh Hilman Hadikusuma,
10 Dokumen Penjelas
Hukum Adat dalam Yurisprudensi, Hukum Kekeluargaan, Perkawinan, Pewarisan, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1993, hlm. 12.
24 Dalam KUH Perdata terjemahan Subekti-Tjitrosudibjo ditulis S. 1917: 138.
25 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bandung: W. Van Hoeve, 1953, hlm. 20.
G. Pendirian Pengadilan
Pengadilan tidak konsisten dengan patokan umur dewasa. Ada yang berpegang
kepada ukuran 21 tahun: PN Jakarta Pusat No. 1138/Pdt.P/1987 PN.JKT.PST ttgl.
22-12-1987; MA No. 59 K/AG/2007, ttgl. 6 Juni 2007; Pengadilan Agama Malang No.
482/Pdt.G/2008/PA.Mlg, ttgl. 22 Mei 2008; Pengadilan Agama Wonosari No. 0432/
Pdt.G/2008/PA.Wno, ttgl. 5-8-2008; MA No. 95 K/AG/2009, ttgl. 17-04-2009; MA No.
294 K/AG/2009, ttgl. 16-06-2009, dan ada yang bisa disimpulkan berpegang pada
patokan umur dewasa 21 tahun, seperti PT Palembang, disimpulkan dari kpts. No.
41/1975 PT Perdata. Di dalam keputusan-keputusan lain Pengadilan berpegang
kepada umur 18 tahun, seperti PN Jakarta Utara No. 1530/Pdt/1987/PN. Jakut, ttgl.
5-11-1987 dan dari keputusan lain, bisa disimpulkan bahwa Pengadilan berpegang
kepada usia dewasa 18 tahun, yaitu MA No. 477/K/Sip/1976 ttgl. 13 Oktober 1976.26
Yang lebih menarik perhatian lagi adalah adanya keputusan Pengadilan Agama yang
memakai ukuran dewasa 21 tahun seperti tersebut di atas.
H. Undang-Undang Perkawinan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sepertinya di Indonesia tidak ada satu
ketentuan umum yang mengatur tentang usia dewasa. Adanya keputusan-keputusan
Pengadilan yang tidak seragam mengenai masalah usia dewasa tidak memberikan
kepastian hukum bagi anggota masyarakat. Di sini tampak akan kebutuhan suatu
ketentuan umum umur dewasa, yang berlaku untuk semua golongan penduduk
Indonesia. Keragu-raguan mengenai kepastian usia dewasa—paling tidak sebelum
keluarnya UUJN No. 30 tahun 2004—mengakibatkan Notaris mengambil sikap aman
dengan mengambil patokan usia dewasa—untuk semua transaksi—21 tahun.27
26 Masih banyak lagi keputusan Pengadilan, yang disebutkan dalam Hasil Penelitian Universitas Indonusa
Esa Unggul, yang menggambarkan pendirian Pengadilan yang tidak seragam mengenai masalah usia
dewasa.
27 Rasjim Wiraatmadja, op.cit., hlm. 80.
12 Dokumen Penjelas
28 Baca bagian menimbang Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, bahwa sesuai dengan falsafah
Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional, perlu adanya Undang-Undang Perkawinan
yang berlaku bagi semua warga negara.
29 Subekti, op.cit., hlm. 21.
30 Purwoto Gandasubrata, loc.cit.
14 Dokumen Penjelas
J. Konsekuensi Ketidakcakapan
Karena anak belum dewasa (dan kurandus) tidak cakap untuk bertindak dalam
hukum, dan dalam tindakan hukumnya ia harus diwakili oleh orang tua atau wali
(atau oleh kuratornya) maka semua tindakan hukum yang dilakukan oleh si tidak
cakap adalah tidak sah. Bahkan kalau tindakan si tidak cakap itu secara tegas-tegas
ataupun secara diam-diam disetujui oleh orang yang seharusnya mewakili tindakan
yang bersangkutan, tetap saja tindakan itu tidak sah. Tidak sah di sini bukan dalam
arti tindakan itu batal demi hukum, tetapi dapat dituntut pembatalannya oleh pihak
si belum dewasa (bisa orang tua atau walinya atau oleh yang bersangkutan sendiri
sesudah mereka menjadi dewasa).
31 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1985, hlm. 114.
32 J. Satrio, op.cit., hlm. 18.
33 Catatan: dalam doktrin kata ”batal demi hukum” dalam Pasal 446 B.W ditafsirkan dapat dituntut
pembatalannya.
16 Dokumen Penjelas
37 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Bagian Pertama, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1993, hlm. 86–87.
18 Dokumen Penjelas
38 Dimuat dalam Himpunan Peraturan Perundangan Pendaftaran Tanah, yang dikeluarkan Badan
Pertanahan Nasional.
39 Pedoman Pengisian Akta Jual Beli, Hibah, Pemisahan dan Pembagian, dimuat dalam Himpunan
Peraturan Perundangan Badan Pertanahan Nasional, Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah
jilid 2, diterbitkan oleh BPN, Jakarta 1999.
40 Baca bagian berpendapat di bawah bagian menimbang pada Undang-Undang Pokok Agraria.
20 Dokumen Penjelas
O. Kesimpulan
1. Perlu sekali adanya keseragaman istilah dan pengertian ”kewenangan hukum”,
”kecakapan bertindak”, dan ”kewenangan bertindak”.
2. Dalam hubungannya dengan kecakapan bertindak, yang dikaitkan dengan umur
dewasa, kita telah mempunyai patokan usia dewasa yang berlaku bagi semua
anggota masyarakat dalam UU Perkawinan.
3. Ukuran dewasa 18 tahun adalah ukuran yang pantas.
4. Kewenangan pihak si belum dewasa untuk menuntut pembatalan perjanjian
yang telah ditutupnya, harus dibatasi sampai sejauh si belum dewasa mendapat
rugi atau tidak mendapat manfaat daripada perjanjian itu.
43 Purwoto Gandasubrata, loc.cit., bahkan mengatakan: ”…batas umur kedewasaan adalah 21 tahun
tidak dapat dipertahankan lagi”; Djuhaendah Hasan-Habib Adie, loc.cit.; Syaidus Syahar, loc.cit.;
bahkan Subekti.
22 Dokumen Penjelas
Table of contents
Ages in law
The concepts of minor, legal capacity and legal competence
Capacity for certain acts
Capacity to enter into specific relationships: employment and health care
Alternatives: general or specific emancipation
Consequences of an act by a minor without approval of its legal representatives
Non-contractual liability
Capacity in court
A. Ages in Law
1. As in every system of law, the Dutch law provides for the protection of young
persons that are supposed to be unable to exercise their rights personally. Ac-
cording to Grotius maturity was supposed to be achieved at the age of 25. In
1792 the French introduced the age of 21, as did the Germans in 1875. The
Dutch followed gradually, from 23 in 1838 to 21 in 1901. Since 1988, the line
between minors and adults is drawn at 18.
2. Unmistakably the chosen age of maturity has something to do with an average
person’s intellectual and emotional development, as with its ability to live and
work on its own and manage its affairs.44 Nevertheless, the question at what age
a young person is able to take into account and maintain its interest in any legal
action taken, hardly has been addressed in modern times. Generally speaking it
was felt necessary to grant young people more independence.45 But setting the
44 Compare the remarks on Customary and Sharia Law; Ade Maman Suherman, Capacity and authority to
act (Base on Age Limit), par. B.
45 M.L.C.C. de Bruijn-Luckers, EVRM, minderjarigheid en ouderlijk gezag, diss. Leiden 1994, p. 64.
46 Asser-De Boer I*, Personen- en familierecht, Deventer: Kluwer 2010, nr. 787.
47 Compare the remarks on Customary and Sharia Law; Ade Maman Suherman, Capacity and authority to
act (Base on Age Limit), par. D-4 in fine.
48 Asser-De Boer I*, Personen- en familierecht, Deventer: Kluwer 2010, nr. 791.
49 Prof.dr. T.A.H. Doreleijers, Te oud voor het servet, te jong voor het tafellaken, Oratie Leiden 2009.
24 Perspektif Internasional
50 Before 1985 a boy had to be 18, a girl 16 years old; according to the French Code Civil a girl had to be
15, which the Dutch government of 1838 considered too young, because girls in the Dutch climate zone
were supposed to develop at a slower pace than in France (Asser-De Boer I*, Personen- en familierecht,
Deventer: Kluwer 2010, nr. 117.
51 In the same sense: the articles 6 and 7 of the Indonesian Marriage Law; Ade Maman Suherman, Capac-
ity and authority to act (Base on Age Limit), par. D-6.
52 This is in line with Ade Maman Suherman, Capacity and authority to act (Base on Age Limit), par.
A-5.
53 According to Ade Maman Suherman, Capacity and authority to act (Base on Age Limit), par. B in fine,
the Electronic Information and Transaction Law does not include a specific age limit; still the general
rules on capacity will apply; see par. D-5.
54 E.g. in Hoge Raad 22 Mei 1981, NJ 1982, 122 a positive sign of the legal representatives was absent.
26 Perspektif Internasional
60 Hoge Raad 13 maart 1987, NJ 1988, 190; at the time of hearings at the district-court the girl was almost
19 years old.
28 Perspektif Internasional
G. Non-contractual Liability
1. Minors under the age of 14 cannot be held liable for damages on the ground of
an unlawful act, an onrechtmatige daad (art. 6:164 DCC). Instead, their parents
(the persons with parental authority) or custodians can be held liable, irrespec-
tive of their own behavior, provided that the child would have been liable for
its active62 behavior if it would have been an adult (art. 6:169 par. 1 DCC).63 This
is the law since 1992.64 Previously minors under 14 could be held liable, if the
minor knew how to act and was able to perform accordingly. 65
2. Minors of 14 and older can be held liable for damages.
3. When a 14 or 15 years old minor is liable, its parents or custodians are liable
too, unless they cannot be blamed for not preventing the child’s act (art. 6:169
par. 2 DCC). The scope of this liability is subject to an evaluation of the specific
circumstances of the case: the age, capabilities and character of the child, the
living conditions of the family, the daily routine. Although it is up to the parents
and custodians to convince the court that they are not responsible for not pre-
venting the act, it is considered to be a fairly easy task, because it is generally
accepted that parents and custodians do not have to keep an eye on 14 or 15
years old children all day long.66
4. Parents and custodians are not responsible for the acts of 16 and 17 years old
minors.67
62 A child’s mere failure to act is not sufficient for liability of the parents; Hoge Raad 22 November 1974,
NJ 1975, 149.
63 Thus, the test requires to abstract from the child’s age; Hoge Raad 12 November 2004, NJ 2005, 138.
64 Under Dutch law it would not have been necessary to assess whether the 12 years old child in case m
was a minor; it simply could not be held; Ade Maman Suherman, Capacity and authority to act (Based
on Age Limit), on tort cases.
65 Hoge Raad 9 December 1966, NJ 1967, 69.
66 Under Dutch law case j and l would only have led to responsibility of the parent, if the parent should
have prevented the act of its child; Ade Maman Suherman, Capacity and authority to act (Based on Age
Limit), on tort cases.
67 Under Dutch law cases e, f and k would not have led to responsibility of another person than Defendant
I; Ade Maman Suherman, Capacity and authority to act (Based on Age Limit), on compensation and tort
cases.
30 Perspektif Internasional
1. Terhadap kecakapan:
a) apa saja syarat kecakapan dalam hukum perdata;
b) apa saja yang menyebabkan seseorang dianggap tidak cakap untuk
bertindak dalam hukum?
2. Terhadap kewenangan:
a) wewenang apa saja yang dimiliki subjek hukum sebagai pribadi kodrati;
b) apa saja faktor yang mempengaruhi seseorang memiliki kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum?
1. Bagaimana akibat hukum dari suatu perbuatan yang dibuat oleh seseorang
yang tidak cakap akibat belum dewasa (tinjauan hukum perkawinan,
ketenagakerjaan, perikatan, dan perusahaan)?
2. Bagaimana akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang tidak
memiliki kewenangan akibat syarat umurnya tidak terpenuhi?
a. Istilah Kecakapan
Dari penelusuran literatur yang ada, secara eksplisit tidak disebutkan definisi dari
kecakapan. Menurut Pasal 2 BW, manusia menjadi pendukung hak dan kewajiban
dalam hukum sejak lahir sampai meninggal. Tetapi undang-undang menentukan
tidak semua orang sebagai pendukung hukum (recht) adalah cakap (bekwaam)
untuk melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya.
Cakap (bekwaam) adalah kriteria umum yang dihubungkan dengan keadaan
diri seseorang. Ter Haar dalam Djojodigoeno melihat kecakapan atau Volwassen
adalah suatu kondisi sudah kawin dan hidup terpisah dari orang tuanya. Subekti
menulis orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada
asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya adalah
cakap menurut hukum. Cakap menurut Subekti diartikan mengerti akan sesuatu
yang dilakukan serta mengetahui dampak dari perbuatan yang dilakukannya.
Dengan kata lain, sudah dapat mengendalikan apa yang diperbuatnya serta mampu
mempertanggungjawabkannya.
J. Satrio menulis kecakapan melakukan tindakan hukum dalam hukum perdata,
dapat disimpulkan bahwa pada asasnya yang dapat melakukan tindakan hukum
secara sah dengan akibat hukum yang sempurna adalah mereka yang telah dewasa.
Masalah ketidakcakapan bertindak di dalam hukum, tidak harus sesuai dengan
kenyataan atau dengan kata lain, ketidakcakapan di sini adalah ketidakcakapan
yuridis atau ketidakcakapan yang dipersangkakan (jurisische onbekwaamheid atau
34 Laporan Penelitian
b. Istilah Kewenangan
Terhadap istilah kewenangan, dalam literatur ditemukan dalam masalah
perkawinan. Sebagaimana ditulis oleh Henry Lee A. Weng dalam disertasinya
yang berjudul ”Beberapa Segi Hukum dalam Perkawinan (Some Legal Aspect
of Marriage Contract)” dikatakan bahwa ”Bilamana perkawinan tersebut telah
dilangsungkan meskipun dengan kondisi umur dikategorikan belum dewasa
maka berlaku ketentuan Pasal 330 BW yang berbunyi: ”Yang belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan
tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka
genap dua puluh satu tahun maka mereka tidak kembali berstatus belum
dewasa”. Konsekuensinya, orang tersebut dianggap telah dewasa sebab orang
dewasa tidak memerlukan izin untuk membuat perjanjian. Namun, apabila
perbuatan atau tindakan itu merupakan perbuatan hukum di dalam bidang
hukum kekayaan (vermogensrecht), hukum perjanjian, dan tindakan hukum di
dalam dan di luar pengadilan maka sesuai dengan ketentuan Pasal 47 ayat 1 dan
ayat 2 UU Perkawinan, yaitu orang itu baru dianggap mampu untuk melakukan
tindakan hukum apabila ia telah mencapai genap umur 18 tahun tanpa bantuan
dan perwakilan orang tuanya.”
Selanjutnya, dalam buku Hukum Administrasi Negara yang ditulis oleh
Ridwan H.R. dijelaskan bahwa ada perbedaan antara kewenangan (authority,
gezag) dan wewenang (competence, bevoegdheid). Kewenangan adalah
kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu ataupun kekuasaan
terhadap sesuatu bidang pemerintahan atau bidang urusan tertentu yang
bulat seperti urusan-urusan pemerintahan. Wewenang hanya sesuatu bagian
tertentu saja, misalnya membuat akta jual-beli atas tanah dalam kedudukannya
sebagai PPAT Sementara. Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas
legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur) maka
berdasarkan prinsip ini, ”tersirat bahwa wewenang pemerintah berasal dari
peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah
adalah peraturan perundang-undangan.” Dengan demikian, dari literatur yang
ditemukan dapat diartikan bahwa istilah kewenangan adalah:
1) hak yang diberikan kepada seseorang yang belum mencapai umur dewasa
menurut undang-undang;
2) kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu ataupun kekuasaan
terhadap sesuatu bidang pemerintahan atau bidang urusan tertentu yang
bulat, seperti urusan-urusan pemerintahan.
c. Istilah Anak
Terhadap definisi anak terkait dengan batasan umur, ditemukan banyak literatur
yang memberi batasan umur anak yang berbeda-beda. Dalam hal ini dapat ditelusuri
berdasarkan fase-fase perkembangan anak yang menunjukkan kemampuan atau
kecakapan seorang anak untuk bertindak. Hal ini juga mengakibatkan adanya
penafsiran yang mengartikan definisi operasional istilah-istilah anak dan belum
dewasa secara campur aduk. Dengan demikian, ukuran atau batas umurnya juga
berbeda-beda.
Terkait dengan penggunaan kata ”anak” maka dapat dilihat dari pengertian
konsepsional yang ada dalam literatur. Menurut landraad Hoetanopan dan
R.v.J Padang, anak laki-laki yang berumur 17–18 tahun menurut hukum adat
Batak, pada umumnya sudah wenang bertindak (handelingsbevoegd), bahkan
Padang pernah memutuskan bahwa umur kedewasaan anak laki-laki adalah
15–16 tahun. Berdasarkan uraian di atas, yang dikatakan belum dewasa adalah
mereka yang belum menikah, belum kuat gawe, dan belum dapat mengurus
kepentingannya sendiri.
Sementara dalam Pasal 2 BW menyatakan bahwa anak yang ada dalam
kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, setiap kali kepentingan
si anak menghendakinya. Bila telah mati sewaktu dilahirkan, dia dianggap tidak
pernah ada. Penafsiran atas pasal ini, anak sebagai subjek hukum memiliki
kewenangan, sepanjang kepentingan anak menghendaki.
Di samping undang-undang juga telah menentukan bahwa walaupun tidak
memenuhi syarat-syarat di atas, seseorang dianggap cakap dan berwenang
melakukan perbuatan hukum tertentu.
Kecakapan berbuat (handelings bekwaamheid) dan kewenangan bertindak
menurut hukum ini (recht bevoegdheid) adalah dibenarkan dalam ketentuan
undang-undang itu sendiri, yaitu ”Seorang anak yang belum dewasa (belum
mencapai umur 21 tahun) dapat melakukan seluruh perbuatan hukum apabila
telah berumur 20 tahun dan telah mendapat surat pernyataan Dewasa (venia
36 Laporan Penelitian
d. Istilah Dewasa
Terhadap kata dewasa, di dalam literatur dijumpai banyak definisi yang berasal
dari pengertian belum dewasa dalam Pasal 330 BW. Namun, yang menarik adalah
adanya perbandingan kedewasaan dalam BW dengan makna dewasa dalam Hukum
Islam maupun hukum adat. Hal ini diperlukan mengingat Hukum Perdata kita
pada kenyataannya masih menggunakan sistem pluralisme. Bahkan, hal ini dapat
dibuktikan bahwa masalah kedewasaan dalam Putusan Hakim masih ada yang
menggunakan pertimbangan hukum adat. Dari penelusuran literatur diperoleh
tahapan batasan umur dengan pendekatan psikologis yang kemudian dikaitkan
dengan batasan umur kecakapan hukum, dimulai dari dewasa awal, dewasa
pertengahan hingga dewasa akhir, namun pada umumnya batasan umur seorang
anak telah dianggap mampu dan bertanggung jawab pada umur 18 tahun. Dari
berbagai bahan literatur, belum secara eksplisit dapat ditegaskan bahwa makna
belum dewasa sama dengan anak terkait dengan batasan umur.
Dari data yang diperoleh, ternyata terhadap istilah-istilah di atas, dalam literatur
lebih banyak mengutip istilah-istilah yang berasal dari peraturan secara umum
daripada istilah yang bersumber dari doktrin.
Dari istilah yang diperoleh, memang terdapat istilah yang sering muncul dan
digunakan dalam peraturan perundang-undangan secara bervariasi/beragam,
antara lain kata-kata ”kebelumdewasaan”, ”belum dewasa”, ”belum cukup umur”, dan
anak”. Istilah ”dewasa” atau ”belum dewasa” digunakan dalam beberapa peraturan
di bawah undang-undang, sementara dalam undang-undang sama sekali tidak
ditemukan istilah ”dewasa” maupun ”kebelumdewasaan”.
38 Laporan Penelitian
Subekti
Menurut Subekti, cakap adalah mengerti akan sesuatu yang dilakukan serta mengetahui
dampak dari perbuatan yang dilakukannya. Dengan kata lain, sudah dapat mengendalikan
apa yang diperbuatnya serta mampu mempertanggungjawabkannya.
J. Satrio
J. Satrio menulis kecakapan melakukan tindakan hukum dalam hukum perdata, dikaitkan
dengan unsur kedewasaan dan hal itu secara tidak langsung ada kaitannya dengan
unsur umur, akan tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada dalam BW, antara lain Pasal
307 jo Pasal 308, Pasal 383 BW, maupun Pasal 47 dan Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Pasal 1330 dan Pasal 1446 BW, orang bisa menyimpulkan bahwa
pada asasnya yang dapat melakukan tindakan hukum secara sah dengan akibat hukum
yang sempurna adalah mereka yang telah dewasa. Secara singkat, kecakapan bertindak
bergantung dari kedewasaan yang dibatasi umur. Namun demikian, ada faktor lain,
seperti status menikah, yang bisa mempengaruhi kecakapan seseorang.
Karena kecakapan bertindak dikaitkan dengan faktor umur, dan faktor umur ini
didasarkan atas anggapan bahwa orang di bawah umur tertentu belum dapat menyadari
sepenuhnya akibat dari perbuatannya maka dapat disimpulkan bahwa masalah
Subekti71
Subekti menulis, cakap menurut hukum: ”pada asasnya, setiap orang yang sudah
dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.”
S. Chandra
S.Chandra menulis, kecakapan bertindak dalam hukum (rechtbekwaam heid)
merupakan kemampuan seseorang untuk membuat suatu perjanjian, sebagai perikatan
yang diperbuatnya menjadi sah menurut hukum.72 Ahmad Azhar Basyir73 menjelaskan
kecakapan sempurna yang dimiliki orang yang telah baligh ditekankan pada adanya
pertimbangan akal yang sempurna, bukan pada umur, bilangan tahun yang dilaluinya
(kurang lebih 15 tahun). Namun demikian, ketentuan kedewasaan itu tidak hanya
dibatasi dengan umur 15 tahun, umur seseorang mencapai masa baligh, tetapi juga
mengikutsertakan faktor rasyid (kematangan pertimbangan akal).
71 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, Cet. XI, 1987, hlm. 17.
72 S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah (Persyaratan Permohonan di Kantor Pertanahan),
Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005, hlm. 28.
73 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press,
2004, hlm. 31–32.
74 Dikutip dari Abdul Muchlis, Implementasi Pengawasan Pemerintah Daerah terhadap Eksportir Udang
Beku pada Perusahaan Cold Storage di Kota Tarakan, Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, 2004.
75 Dikutip dari http://kamusbahasaindonesia.org/kedewasaan, Kamis, 22 Juli 2010, Jam 15.25.
40 Laporan Penelitian
Quraisy Syihab77
Umur dewasa menurut tafsir al-Misbah adalah 25 (dua puluh lima) tahun. Dengan
demikian, anak laki-laki maupun perempuan menjadi dewasa pada umur tersebut.
Dadang Hawari78
Secara psikologi, anak dewasa pada umur 25 (dua puluh lima) tahun. BW Pasal 33079
menyatakan bahwa batasan dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah menikah. Hukum Pidana
(KUHP) Pasal 45 menyatakan bahwa dalam menuntut orang yang belum cukup umur
(minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas tahun, Hakim
dapat menentukan ”Hukum Islam (Kompilasi Hukum Islam, Pasal 98 ayat 1): batas umur
Hanafiah
Untuk mengatasi kesulitan itu, ulama Hanafiah kemudian memberikan batasan umur
untuk kepastian hukum, karena ini terkait kecakapan hukum.82
Kedewasaan seseorang memang menjadi tolak ukur untuk menentukan apakah
ia cakap secara hukum atau tidak. Dalam hukum Islam, kecakapan hukum merupakan
kepatutan seseorang untuk melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan
(ahliyat al-wujub), serta kepatutan seseorang untuk dinilai perbuatannya sehingga
berakibat hukum (ahliyat al-ada’).83
80 Djauharah Bawazir dalam Majalah Ummi (Djauharah Bawazir, 1995, Kenalan Remaja Karena Salah
Ibu, Ummi, No. 2, hlm. 14) menyatakan bahwa akil baligh adalah satu masa di mana seseorang secara
seksual sudah dewasa, bagi laki-laki ditandai dengan mimpinya, sedangkan bagi wanita dengan men-
struasi. Mereka sudah harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri, baik kepada Allah maupun
kepada manusia.
81 Ningrum Puji Lestari, op.cit., hlm. 25.
82 A. Djazuli, Ekonomi Syariah Hanya Buat yang Dewasa, dikutip dari http://www.hukumonline.
com/berita/baca/hol17014/ekonomi-syariah-hanya-buat-yang-dewasa, Kamis, 22
Juli 2010, Pukul 16.21.
83 Ibid.
84 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriyah, hlm. 75.
85 Dikutip dari http://72legalogic.wordpress.com/2009/03/08/dewasa-menurut-hukum-positif-indonesia/
42 Laporan Penelitian
Lain halnya dengan cakap hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum
(Djojodiguno menggunakan istilah ”kecakapan bertindak”). Menurut hukum adat,
cakap melakukan perbuatan hukum adalah seorang-orang (baik pria maupun
wanita) yang sudah dewasa. Kriteria (ukuran) dewasa dalam hukum adat adalah
berlainan dengan kriteria yang dipakai dalam hukum perdata Barat. Dalam hukum
adat kriterianya adalah bukan umur, tetapi kenyataan-kenyataan ciri-ciri tertentu.
Menurut hukum adat, ”dewasa” ini baru mulai setelah tidak menjadi tanggungan
orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tua. Jadi, bukan asal sudah kawin
saja. Perlu dijelaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan berumah sendiri dan tidak
lagi menjadi satu dengan orang tua itu adalah cukup, misalnya dengan mendirikan
serta menempati rumah sendiri dalam pekarangan rumah orang tuanya, menempati
bagian gedung rumah orang tuanya yang berdiri sendiri atau yang dipisahkan dari
bagian yang ditempati orang tuanya. Jadi, tidak harus menempati rumah yang
letaknya di luar pekarangan rumah orang tuanya.
Menurut Profesor Djojodiguno86 dalam bukunya ”Asas-Asas Hukum Adat”, hukum
adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang-orang yang sama sekali
tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan yang cakap melakukan perbuatan
hukum. Peralihan dari tidak cakap menjadi cakap dalam kenyataannya berlangsung
sedikit demi sedikit menurut keadaan.
Pada umumnya, menurut hukum adat Jawa seseorang cakap penuh melakukan
perbuatan hukum, apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga sendiri (sudah
”mentas” atau ”mencar” (Jawa)). Tetapi sebaliknya tidak dapat dikatakan bahwa
seseorang yang belum sampai keadaan yang demikian itu, tentu sama sekali belum
cakap melakukan perbuatan hukum, misalnya dalam menghadap hakim di muka
pengadilan untuk perkara perdata. Bila berhubungan dengan umurnya harus
dianggap tidak cakap sepenuhnya maka ia harus diwakili orang tuanya atau walinya,
tetapi bila perkara yang sedang diadili itu ia dianggap telah cukup cakap untuk
memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri, boleh ia menghadap
sendiri, terlepas daripada sudah dewasa atau belum.
86 Djojohadikusumo, Asas-Asas Hukum Adat, Yogyakarta: Gadjah Mada, 1964, hlm. 31.
87 Dikutip dari Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas Hukum Adat, Jakarta: CV Haji Masagung,
1987, hlm. 104.
88 Supomo, Pengantar Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, 1980, hlm. …
89 Abdul Gafur, Pembinaan Generasi Muda, Bandung: Tarsito, 1982, hlm. 50.
90 B. Simanjuntak, Pembinaan dan Mengembangkan Generasi Muda, Bandung: Tarsito, 1984, hlm.
99–100.
44 Laporan Penelitian
Ter Haar91
Seseorang menjadi dewasa ialah saat ia (lelaki atau perempuan) sebagai orang yang
sudah kawin, meninggalkan rumah ibu bapaknya atau ibu bapak mertuanya untuk
berumah lain sebagai laki-bini muda yang merupakan keluarga berdiri sendiri. Soedjono
Dirjosisworo92 menyatakan bahwa menurut Hukum Adat, anak di bawah umur adalah
mereka yang belum menentukan tanda-tanda fisik yang kongkret bahwa ia telah
dewasa.
Namun demikian, agar suatu tindakan menimbulkan akibat hukum yang sempurna
maka orang yang bertindak, pada saat tindakan, harus mempunyai pematangan
berpikir, yang secara normal mampu menyadari sepenuhnya tindakannya dan akibat
dari tindakannya. Orang yang secara moral mampu menyadari tindakan dan akibat dari
91 Ter Haar dalam Safiyudin Sastrawijaya, Beberapa Masalah tentang Kenakalan Remaja, Bandung:
Karya Nusantara, 1977, hlm. 18.
92 Soedjono Dirjosisworo, Hukuman dalam Berkembangnya Hukum Pidana, Bandung: Tarsito, 1983,
hlm. 230.
J. Satrio
J. Satrio mengaitkan kecakapan dengan unsur kedewasaan, dan hal itu secara tidak
langsung ada kaitannya dengan unsur umur. Akan tetapi, dari ketentuan-ketentuan
yang ada dalam BW, antara lain Pasal 307 jo Pasal 308, Pasal 383 BW, maupun Pasal
47 dan Pasal 50 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1330
dan Pasal 1446 BW, orang bisa menyimpulkan bahwa pada asasnya yang dapat
melakukan tindakan hukum secara sah dengan akibat hukum yang sempurna
adalah mereka yang telah dewasa.94
Mengingat kecakapan selalu terkait dengan kedewasaan, kedewasaan
seseorang bila dilihat dari berbagai ketentuan hukum yang berlaku sangat beragam.
Umumnya, ketentuan yang berlaku atas kedewasaan seseorang didasarkan
pada status perkawinan yang pernah dilakukan dan umur. Seseorang dianggap
dewasa selain karena ia sudah menikah juga didasarkan pada umur, yang menurut
ketentuan hukum sudah dewasa. Kedewasaan berdasarkan umur ini merupakan
salah satu parameter yang bersangkutan telah dianggap cakap dan berhak atas apa
yang diatur oleh ketentuan hukum. Dalam hukum, kedewasaan berdasarkan umur
merupakan salah satu unsur terpenting bagi seorang subjek hukum. Meskipun
terdapat upaya dispensasi atau toleransi atas besaran umur yang disahkan oleh
pengadilan, subjek hukum dapat dikatakan belum cakap hukum apabila yang
bersangkutan belum memiliki kecukupan umur. Misalnya dalam hukum perdata
kita, salah satu syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 BW adalah adanya
pihak-pihaknya yang cakap (berkemampuan) untuk melakukan perbuatan hukum,
93 Bertrand A. Hasibuan, “Problematika Kedewasaan Bertindak di dalam Hukum (Studi pada Praktik
Notaris di Kota Medan)”, Tesis, Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm. 36.
94 J. Satrio, op.cit.
46 Laporan Penelitian
Soedjono Dirjosisworo96
Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan staatblaad No. 54 yang berbunyi sebagai
berikut:
”Oleh karena terhadap orang-orang Indonesia berlaku Hukum Adat maka timbul keragu-
raguan sampai umur berapa seseorang masih di bawah umur. Guna menghilangkan
keragu-raguan tersebut oleh pemerintah diadakan staatblad 1931–54 yang isinya
menyatakan antara lain, istilah anak di bawah umur terhadap Bangsa Indonesia ialah
1. mereka yang belum berumur 21 tahun dan sebelumnya belum pernah kawin;
2. mereka yang telah kawin sebelum mencapai umur 21 tahun dan kemudian bercerai
dan tidak kembali lagi di bawah umur;
3. yang dimaksud dengan perkawinan bukanlah perkawinan anak-anak.
Dengan demikian, barang siapa yang memenuhi persyaratan tersebut di atas disebut
anak di bawah umur (minderjarig) atau secara mudahnya disebut anak-anak.”
Menurut Pasal 330 BW, seorang telah dewasa apabila telah berumur 21 tahun, dan telah
kawin sebelum mencapai umur tersebut. Selain itu, di dalam Pasal 1330 BW diatur juga
yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah
Pasal ini secara a-contrario ditafsirkan menjadi persyaratan dari kecakapan. Namun
demikian, khusus mengenai kedudukan seorang istri, sejak keluarnya Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963, tanggal 5 September 1963 yang mencabut
beberapa pasal BW di antaranya Pasal 108 dan 110 BW maka status sebagai istri tidak
lagi mempunyai pengaruh terhadap kecakapan bertindak yang dilakukannya. Dengan
kata lain, sejak dicabutnya pasal 108 dan 110 BW oleh Surat Edaran Mahkamah Agung di
atas maka istri adalah cakap bertindak dalam hukum.
Di samping undang-undang juga telah menentukan bahwa walaupun tidak
memenuhi syarat-syarat di atas, seorang dianggap cakap dan berwenang melakukan
perbuatan hukum tertentu. Kecakapan berbuat (handelings bekwaamheid) dan
kewenangan bertindak menurut hukum ini (recht bevoegdheid) adalah dibenarkan
dalam ketentuan undang-undang itu sendiri, sebagai berikut.
1. Seorang anak yang belum dewasa (belum mencapai umur 21 tahun) dapat melakukan
seluruh perbuatan hukum apabila telah berumur 20 tahun dan telah mendapat surat
pernyataan Dewasa (venia aetatis) yang diberikan oleh Presiden, setelah mendengar
nasihat Mahkamah Agung (Pasal 419 dan 420 KUH Perdata).
2. Anak yang berumur 18 tahun dapat melakukan perbuatan hukum tertentu setelah
mendapat Surat Pernyataan Dewasa dari Pengadilan (Pasal 426 BW).
3. Seseorang yang belum berumur 18 tahun dapat membuat surat wasiat (Pasal 897
BW).
4. Orang laki-laki yang telah mencapai umur 18 tahun dan perempuan yang telah
berumur 15 tahun dapat melakukan perkawinan (Pasal 29 BW).
5. Pengakuan anak dapat dilakukan oleh orang yang telah berumur 19 tahun (Pasal 282
BW).
6. Anak yang telah berumur 15 tahun telah dapat menjadi saksi (Pasal 1912 BW).
48 Laporan Penelitian
Romualdo Manurung98
Dalam tesisnya, Romualdo menulis ”... Adapun kriteria seseorang yang dianggap cakap
menurut hukum apabila:
1. seseorang dianggap telah dewasa, artinya sudah berumur 21 tahun atau telah
menikah walaupun belum berumur 21 tahun;
2. tidak berada dalam pengampuan;
3. tidak mabuk.
Hal yang menyebabkan seseorang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam BW99
Pasal 1329 dinyatakan bahwa ”Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali
jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”. Selanjutnya, dalam Pasal 1330 BW ditegaskan
kategori yang tidak cakap adalah sebagai berikut:
Hukum Islam
Dalam Hukum Islam juga dikenal istilah ”baligh”. Baligh merupakan istilah
dalam Hukum Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai
kedewasaan. Baligh diambil dari bahasa Arab yang secara bahasa memiliki
arti ”sampai”, maksudnya ”telah sampainya umur seseorang pada tahap
kedewasaan”.100 Prinsipnya, seorang laki-laki yang telah baligh jika sudah
pernah mimpi basah (mengeluarkan sperma). Adapun seorang perempuan
disebut baligh jika sudah menstruasi. Nyatanya cukup sulit memastikan
pada umur berapa seorang lelaki bermimpi basah (rata-rata umur 15 tahun)
atau seorang perempuan mengalami menstruasi.101 Untuk mengatasi
kesulitan itu, ulama Hanafiah kemudian memberikan batasan umur untuk
kepastian hukum, karena ini terkait kecakapan hukum.102 Kedewasaan
seseorang memang menjadi tolak ukur untuk menentukan apakah ia
cakap secara hukum atau tidak. Dalam hukum Islam, kecakapan hukum
merupakan kepatutan seseorang untuk melaksanakan kewajiban dan
meninggalkan larangan (ahliyat al-wujub), serta kepatutan seseorang untuk
dinilai perbuatannya sehingga berakibat hukum (ahliyat al-ada’).103 Oleh
karena itu, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ukuran
ketidakcakapan dalam Hukum Islam adalah kebelum-balighan seseorang
berdasarkan ukuran tersebut di atas.
50 Laporan Penelitian
Abdul Muchlis106
Abdul Muchlis menulis dalam tesisnya ”... menurut ketentuan hukum yang berlaku, yaitu
Pasal 1329 BW bahwa semua orang cakap membuat perjanjian kecuali mereka yang
tergolong sebagai berikut:
1. orang yang belum dewasa,
2. hukum perdata memberi batasan dewasa, yaitu umur 21 tahun atau sudah
menikah;
3. Hukum Perkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974) memberi batasan dewasa,
yaitu umur 18 tahun atau sudah menikah;
4. Hukum Perlindungan Anak (Undang-Undang No. 23 Tahun 2002) memberikan
batasan dewasa pada umur 18 tahun;
5. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.
104 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: Citra Aditya Bakti,
1999, hlm. 65.
105 Pasal 433 BW: Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata
gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan
pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.
106 Abdul Muchlis, Implementasi “Pengawasan Pemerintah Daerah terhadap Eksportir Udang Beku pada
Perusahaan Cold Storage di Kota Tarakan”, Tesis, Program Pascasarjana, Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada, 2004, hlm. 17–18.
Romualdo Manurung107
Secara a-contrario, yang menyebabkan seseorang dianggap tidak cakap untuk bertindak
dalam hukum berdasarkan tulisan Romualdo adalah
1. belum dewasa,
2. berada dalam pengampuan,
3. boros, dan
4. dalam keadaan mabuk.
52 Laporan Penelitian
F.A.M. Stroink108
Kewenangan adalah kemampuan yuridis dari orang, dalam hal ini kewenangan
berdasarkan hukum publik adalah kemampuan yuridis dari badan. Di tempat
pertama, kewenangan badan harus dibedakan dari wakil untuk mewakili badan.
Hak dan kewajiban yang diberikan kepada wakil harus dibedakan dari hak dan
kewajiban yang diberikan kepada badan. Di tempat kedua, pengertian kewenangan
dari badan tidak hanya dari badan berdasarkan hukum publik, tetapi juga kewajiban
berdasarkan hukum publik. Jika berbicara hak dan kewajiban, hal itu mengandung
arti bahwa orang melihat kewenangan semata-mata sebagai hak, sebagai kuasa.
Dalam pada itu, hal menjalankan hak berdasarkan hukum publik sedikit banyak
selalu terikat kepada kewajiban berdasarkan hukum publik yang tidak tertulis (asas
umum) pemerintahan yang baik.
Ridwan H.R.109
Ada perbedaan antara kewenangan (authority, gezag) dan wewenang (competence,
bevoegdheid). Kewenangan, yang biasanya terdiri dari beberapa wewenang, adalah
kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu ataupun kekuasaan terhadap
sesuatu bidang pemerintahan atau bidang urusan tertentu yang bulat, seperti
urusan-urusan pemerintahan. Wewenang hanya sesuatu bahagian yang tertentu
saja, misalnya membuat akta jual-beli atas tanah dalam kedudukannya sebagai PPAT
Sementara.
Seiring dengan pilar utama negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel
atau het beginsel van wetmatigheid van bestuur) maka berdasarkan prinsip ini, ”tersirat
bahwa wewenang pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya
sumber wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.
Achmad Sanusi110
Pada dasarnya, dapat diterima bahwa setiap manusia (menselijk wezen) dianggap
sebagai orang (persoon) atau subjek-hukum. Ia mempunyai wewenang hukum,
yaitu wewenang untuk memiliki hak-hak subjektif. Hak-hak keperdataan tidak
digantungkan pada hak-hak kewarganegaraan dalam lapangan kenegaraan. Hak
108 F.A.M. Stroink, terj. Ateng Syafrudin, Pemahaman tentang Demokrasi, Refika Aditama, hlm. 24–25.
109 Ridwan H.R. “Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2002, hlm.74, dikutip dari Mu-
hamad Benny, Kewenangan Camat sebagai PPAT Sementara dalam Membuat Akta Peralihan Hak atas
Tanah dengan Ganti Rugi”, Tesis, Medan: Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas
Sumatra Utara, 2004, hlm. 59–60.
110 Achmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung: Tarsito,
1977, hlm.122–123.
111 J.H.A. Logeman dan G.J. Resink, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, Jakarta: Ichtiar
Baru-Van Hoeve, 1975.
112 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, loc.cit.
54 Laporan Penelitian
Zerina113
Orang yang berwenang untuk menjadi wali pada prinsipnya adalah setiap orang yang
tidak dikecualikan oleh undang-undang. Akan tetapi, Pasal 379 BW menyebutkan lima
golongan orang yang dikecualikan atau yang tidak boleh menjadi wali, yaitu:
1. orang yang sakit ingatan (krankzinnigen);
2. orang yang belum dewasa (minderjarigen);
3. orang yang diletakkan di bawah pengampuan (curatele); mereka yang dipecat
atau dicabut (ontzet) dari kekuasaan orang tua atau perwalian atas penetapan
pengadilan;
4. para ketua, wakil ketua, sekretaris Balai Harta Peninggalan, kecuali atas anak-
anak tiri pejabat-pejabat sendiri;
5. faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang memiliki kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum.
BW114
Berdasarkan Pasal 1329 BW dinyatakan ”Tiap orang berwenang untuk membuat
perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu”. Selanjutnya dalam Pasal
113 Zerina, “Konsep Kedewasaan Berkenaan dengan Keabsahan Akta PPAT”, Tesis, Surabaya: Magister
Kenotariatan, Universitas Airlangga, 2006, hlm.25.
114 R. Subekti, R. Tjitrosudibio, loc.cit., Pasal 1329, 1330, 1331
Implikasi dari Pasal 1330 BW tersebut kemudian dinyatakan dalam Pasal 1331 BW, yaitu
”Oleh karena itu, orang-orang yang dalam pasal yang lalu dinyatakan tidak cakap untuk
membuat persetujuan, boleh menuntut pembatalan perikatan yang telah mereka buat
dalam hal kuasa untuk itu tidak dikecualikan oleh undang-undang. Orang-orang yang
cakap untuk mengikatkan diri, sama sekali tidak dapat mengemukakan sangkalan atas
dasar ketidakcakapan seorang anak-anak yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh
di bawah pengampuan, dan perempuan-perempuan yang bersuami”.
Dengan demikian dapat disimpulkan, undang-undang telah menentukan bahwa
untuk dapat bertindak dalam hukum, seseorang harus telah cakap dan berwenang. Agar
dapat dikatakan telah cakap dan berwenang maka seseorang harus memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan oleh undang-undang, yaitu telah dewasa, sehat pikirannya (tidak
di bawah pengampuan) serta tidak bersuami bagi wanita.
Menurut Pasal 330 BW, seseorang telah dewasa apabila telah berumur 21 tahun, dan
telah kawin sebelum mencapai umur tersebut. Umur tersebut sampai kini menjadi
ukuran kewenangan seseorang dalam bertindak.
Bertrand A. Hasibuan115
Menurut landraad Hoetanopan dan R.V.J. Padang, anak laki-laki yang berumur
17–18 tahun menurut hukum adat Batak pada umumnya sudah wenang bertindak
(handelingsbevoegd), bahkan Padang pernah memutuskan bahwa umur kedewasaan
anak laki-laki adalah 15–16 tahun.
Berdasarkan uraian di atas, yang dikatakan belum dewasa adalah mereka yang belum
menikah, belum kuat gawe, dan belum dapat mengurus kepentingannya sendiri.116
Namun dalam beberapa undang-undang pengaturan tersebut berbeda. Berikut ini tabel
untuk memperjelas pembedaan tersebut.
56 Laporan Penelitian
Hukum Perdata (BW) Umur 21 Tahun atau Umur 21 tahun Pasal 330 BW (penafsiran
sudah menikah secara logika terbalik/ ar-
gumentum a-contrario)
Hukum Adat Kuat gawe Kuat gawe Tidak secara tegas meng-
atur umur berapa seorang
dikatakan dewasa, yang
penting mampu (ca-
pable) dalam melakukan
perbuatan hukum, sep-
erti memenuhi kebutuhan
sendiri
Hukum Islam Umur 15 tahun, sudah Sudah baligh/ Umur 15 tahun sifatnya
baligh mimpi basa/su- relatif, tergantung pada
dah menstruasi kematangan emosi dari in-
dividu yang bersangkutan,
sumber al-Hadist
UU No. 13 Tahun 2003 Umur 13-15 sudah da- >18 th (penafsiran Undang-undang ini tidak
tentang Ketenaga pat bekerja, dengan secara logika ter- secara tegas mengatakan
kerjaan pembatasan/ syarat balik/ argumen- kedewasaan diawali pada
(Pasal 69) tum a contrario umur berapa, termasuk
pada Pasal 1 Ang- kemampuan untuk bekerja.
ka 26) Namun, pada Undang-
Undang No. 12 Tahun 1948
tentang Undang- Undang
Kerja (sudah tidak belaku
karena lahirnya Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003)
Pasal 1 ayat 1 huruf b me-
nyatakan secara tegas bah-
wa dewasa >18 tahun
UU No. 27 Tahun 1948 18 tahun (Pasal 3 ayat Tidak Mengatur Tidak secara tegas me-
tentang DPR 1 huruf b) nyatakan kedewasaan,
namun hanya mengatur
kewenangan untuk ber-
tindak
Undang-Undang No. 39 Tidak mengatur 18 tahun (Pasal 1 Ditafsirkan secara logika ter-
Tahun 1999 tentang Angka 5) balik dari pengertian anak,
Hak Asasi Manusia namun demikian batas
umur dewasa tidak secara
tegas dinyatakan
Undang-Undang RI No. Tidak mengatur 18 tahun (Pasal 1 Ditafsirkan secara logika ter-
23 Tahun 2002 tentang ayat 1) balik dari pengertian anak,
Perlindungan Anak namun demikian batas
umur dewasa tidak secara
tegas dinyatakan
58 Laporan Penelitian
60 Laporan Penelitian
Saidus Sahar
Menurut Saidus Sahar, dalam Hukum Islam ada beberapa hal yang harus diperhatikan
berkenaan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (6) Undang-Undang Perkawinan, antara
lain:120
1. bagi pria, meskipun belum berumur 21 tahun tidak perlu ada izin dari orang tua;
2. menurut Imam Daud Dhahiry, wanita janda tidak memerlukan izin wali nikah,
demikian juga wanita yang cerdas (rasjdah), yang hidup berdiri sendiri menurut
Imam Hanafi, Muh. Ali, dan lain-lain;
3. menurut Imam Syafi’i, setiap perkawinan harus ada wali, terutama bagi wanita yang
belum menikah walaupun umurnya sudah lebih dari 21 tahun.
118 Henry Lee A. Weng, “Beberapa Segi Hukum dalam Perkawinan” (Some Legal Aspect of Marriage
Contact), Disertasi, Universitas Sumatera Utara, 1986, hlm. 136.
119 Saidus Sahar, Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya Ditinjau dari Segi Hukum
Islam, Bandung: Alumni, 1976, hlm. 85.
120 Ibid., hlm. 76.
121 Ibid., hlm. 88.
62 Laporan Penelitian
Apabila syarat a dan b dilanggar maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Bila
syarat c dan d dilanggar maka perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum.
Selanjutnya, dalam penjelasan UU ketenagakerjaan, khususnya pada poin b di
atas, yaitu kemampuan atau kecakapan adalah para pihak yang mampu atau
cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian. Bagi tenaga kerja anak, yang
menandatangani perjanjian adalah orang tua atau walinya.
Apabila dilihat sepintas, hal ini hampir serupa dengan klausul pada Pasal
1320 BW. Namun, sama sekali berbeda sebab meskipun diawali dari Hukum
Perdata (Privaat Rechterlijke), dalam perkembangan sekarang rezim Hukum
Perburuhan masuk ke dalam ranah Hukum Publik (Publiek Rechterlijke).
Di dalam Pasal 1 Angka 3 UU Ketenagakerjaan disebutkan bahwa yang
dimaksud pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah
atau imbalan dalam bentuk lain. Pemahaman frase ”setiap orang” dalam definisi
tersebut tentu saja adalah kepada semua orang dengan tidak mengecualikan
apakah orang tersebut cakap atau tidak menurut hukum. Sebab, apabila pekerja
berkeinginan untuk bekerja maka kaidah pada Pasal 52 UU Ketenagakerjaan
haruslah dipenuhi. Oleh karena itu, penulis memahami frase ”setiap orang”,
artinya merujuk kepada semua orang, termasuk anak. Hal ini pun dapat
dijelaskan dengan argumentasi pengertian anak seperti telah didefinisikan juga
dalam Pasal 1 Angka 24 UU Ketenagakerjaan, yakni anak adalah setiap orang
yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun.
Atas pemahaman definisi anak sebagaimana tertulis dalam ketentuan
ini, apabila secara a-contrario maka kebalikan dari anak adalah dewasa. Itulah
sebabnya umur 18 tahun menjadi pedoman untuk menentukan seseorang
dikategorikan anak atau tidak. Apabila ia berada di bawah 18 tahun maka
kategorinya adalah anak. Adapun bila di atas 18 tahun maka seharusnya di
kategorikan dewasa.
Terkait dengan pekerja anak, undang-undang secara tegas melarang
mempekerjakan anak. Hal ini dapat diketahui dari Pasal 68 UU Ketenagakerjaan.
Namun demikian, ketentuan ini ternyata dapat diterobos apabila persyaratan
dalam Pasal 69 dipenuhi. Adapun pihak yang berwenang masuk dalam
perjanjian kerja tersebut, apabila mengacu kepada penjelasan Pasal 52, adalah
orang tua atau wali.
64 Laporan Penelitian
Apabila melihat pada penjelasan Pasal 52, yang berhak masuk ke dalam
perjanjian kerja, dalam konteks mempekerjakan anak125 adalah orang tua atau
walinya. Hal ini ternyata menunjukkan semangat yang diusung dalam Pasal
1601g BW, yaitu membuka peluang kerja bagi anak tetap terakomodasi dalam
Pasal 69 jo Pasal 52 UU Ketenagakerjaan.
Namun, yang lebih penting adalah konteks kedewasaan dalam Hukum
Ketenagakerjaan, yang diusung dalam UU Ketenagakerjaan, yaitu seseorang
yang mencapai umur 18 tahun. Oleh karena itu, dalam konteks akibat hukum
dari suatu perbuatan yang dibuat oleh seseorang yang tidak cakap akibat
belum dewasa, khusus dalam Hukum Ketenagakerjaan, sepanjang perbuatan
tersebut di bidang ketenagakerjaan dan memenuhi syarat UU Ketenagakerjaan,
orang tersebut dianggap cakap. Namun, bila terkait dengan Hukum Kekayaan
(vermogens recht) akan berlaku Pasal 330 BW. Artinya, perbuatan hukum yang
dilakukan oleh seseorang yang ticak cakap akibat belum dewasa, hanya dapat
dilakukan dengan kuasa dari wali atau orang tua.
125 Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun, berdasarkan Pasal 1 Angka
24 UU Ketenagakerjaan.
126 Fatah Chotiib Uddin, Kajian Pemberian Hak Tanggungan dengan Opjek Tanah Hak Milik Anak Belum
Dewasa Sebagai Jaminan Kredit Modal Kerja pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Cabang
Sleman, Tesis, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2008, hlm. 91.
66 Laporan Penelitian
68 Laporan Penelitian
c. Kesimpulan
BW berada di Bumi Indonesia sejak tahun 1848 sehingga umurnya telah lebih dari 150
tahun. Hal ini menjadi permasalahan ketika tahun 1963 terbit Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 3 Tahun 1963 yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung pada saat
itu, R. Wirjono Prodjodikoro, S.H.
Isi SEMA No. 3 Tahun 1963 lebih mempopulerkan hal-hal yang dinyatakan tidak
berlaku, seperti beberapa pasal di dalam BW, yaitu pasal-pasal 108 dan 110 BW
tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan-perbuatan dan untuk
menghadap di muka pengadilan tanpa izin atau bantuan suami, serta pasal-pasal
lainnya. Namun, perihal gagasan dari Menteri Kehakiman saat itu, Sahardjo, S.H., yang
menganggap Burgerlijk Wetboek tidak sebagai undang-undang, tetapi sebagai suatu
dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis, tidak
terekspos dengan baik. Padahal, gagasan ini kemudian telah ditawarkan dan disetujui
secara bulat oleh Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia dan berbagai sarjana
hukum.
Karena alasan ini, tim peneliti selanjutnya berpendapat bahwa kedudukan BW
saat ini tak lebih dari kelompok hukum yang mengisi kekosongan hukum, yang saat
ini belum diatur oleh Hukum Positif133 yang berlaku di Indonesia. Atau dengan kata lain,
posisi BW adalah pedoman atau sekumpulan norma-norma hukum secara umum,
yang dianggap berlaku sepanjang belum ada aturan yang spesifik. Konsekuensinya
133 Hukum Positif adalah hukum yang saat ini berlaku di wilayah tertentu (dalam konteks ini adalah
wilayah Indonesia).
70 Laporan Penelitian
136 Hukum Positif adalah hukum yang saat ini berlaku di wilayah tertentu (dalam konteks ini adalah
wilayah Indonesia).
72 Laporan Penelitian
Bagi Tim Peneliti, dari penelitian literatur ini membuahkan hasil sebagai
berikut.
15. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 1999
18. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 2000
27. Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional 2004
28. Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia 2004
30. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 2004
a. Sumber Data
Data bahan-bahan penelitian berupa peraturan perundang-undangan diperoleh
dari beberapa sumber, baik melalui internet, CD Pustaka Perundang-Undangan,
berbagai perpustakaan, seperti Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Perpustakaan Nasional, dan Perpustakaan DPR RI. Selain itu, penulis juga melakukan
penelusuran data ke DPR dan beberapa kementerian, seperti Kementerian Kesehatan
RI, Kementerian Hukum dan HAM RI, dan Kementerian Agama RI.
b. Pengolahan Data
Data diolah dengan melalui bebeberapa tahapan.
1) Pengumpulan Data
Seluruh peraturan dikumpulkan, kemudian disusun dalam suatu tabel dengan
mendata tahun dan jenis peraturan terkait. Tahun diundangkannya suatu peraturan
diperlukan untuk memahami kronologi perkembangan suatu aturan tertentu.
2) Pengkualifikasian
Setelah data dikumpulkan, kemudian dilakukan pengelompokan ber
dasarkan tujuan penelitian, yang terdapat dalam Term of Reference, dengan
fokus pencarian data perundang-undangan dan produk hukum lainnya terhadap
2. Pengelompokan Masalah
Dari berbagai peraturan perundang-undangan dan produk hukum lain yang terkait
dengan pengaturan kecakapan dan kewenangan bertindak, terkait dengan batasan
umur, kami dapat menyimpulkan beberapa permasalahan sebagai berikut:
a. ada beberapa istilah terkait dengan perumusan batasan umur yang berbeda-
beda dalam peraturan perundang-undangan;
3. Teknik Penelitian
Dalam hal ini, dilakukan pengutipan langsung dari BW berbahasa Belanda untuk
menunjukkan yang aslinya dan kemudian memberi perbandingan terjemahan dari
beberapa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu
1) Prof. R. Soebekti, S.H.,
2) Dr. Andi Hamzah, S.H., dan
3) Engelbrecht.
Kemudian dilakukan analisis dengan pendekatan 1) komparatif guna mem
bandingkan antarperaturan dan terjemahan dari masing-masing BW; setelah berbagai
macam penggunaan istilah dan konsep terkait dengan tema dipetakan, digunakan
pendekatan 2) deskriptif untuk menggambarkan berbagai istilah yang digunakan
dalam masing-masing peraturan berikut landasan konsepsionalnya; dan selanjutnya
3) preskriptif, yaitu masalah-masalah disharmoni peristilahan yang diperoleh
dicarikan pemecahan permasalahannya guna mendapatkan rekomendasi bagi
restatement dalam hukum perdata, khususnya terkait dengan bidang perkawinan,
perikatan, ketenagakerjaan serta hukum perusahaan.
b. Istilah Cakap
Dalam Pasal 1330 BW dinyatakan bahwa ”Onbekwaam om overeenkomsten te
treffen ziijn:
a. minderjarigen;
b. die onder curatele gesteld zijn;
c. getrouwde vrouwen, in de gevelien bij de wet voorzien.
Secara konsepsional, cakap (bekwaam) terkait kepada keadaan seseorang
berdasarkan unsur fisiologis dan psikologis sehingga makna kecakapan terkait
dengan umur, melekat pada mereka yang telah tidak lagi ”minderjarig”, yaitu
setelah dianggap memasuki fase kedewasaan akhir atau disebut adulthood, yaitu
21 tahun (Pasal 330 BW). Hal ini terkait dengan kapasitas mental dan akal
sehat seseorang untuk mengetahui akibat-akibat perbuatannya.
2. Pendewasaan Terbatas
Diatur dalam Pasal 426–43 KUH Perdata, yaitu seseorang dapat mengajukan
pendewasaan secara terbatas apabila usianya telah mencapai 18 tahun,
dengan syarat orang tua/walinya tidak keberatan, dan diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang, dan dapat ditarik kembali sewaktu-
waktu.
”Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan
orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas, dan saudara
kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan
keputusan Pengadilan dalam hal-hal...”.
Dalam Pasal 46 ayat (2) UU Perkawinan dinyatakan bahwa ”Jika anak telah
dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya....”. Istilah ”dewasa”
menjadi semakin kabur, jika melihat dengan penafsiran sistematikal,
bahwa kedudukan Pasal 46 ayat (2) terletak sebelum Pasal 47, yang artinya
pengertian kata ”dewasa” mengacu pada pasal-pasal sebelumnya. Dalam
hal ini, ketentuan yang mengatur batasan umur adalah Pasal 6 dan 7 UU
Perkawinan, yang menyatakan bahwa seseorang berumur 21 tahun dapat
melakukan perkawinan. Jadi, batasan umur hal ini sama dengan makna
kedewasaan pada Pasal 330 BW.
137 Dalam Pasal 7 ayat (1) menyatakan umur minimal bagi seorang pria dan wanita yang belum dewasa,
sebagaimana dinyatakan bahwa ”Perkawinan hanya diizinkan pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”
138 Pasal 1330 BW menyatakan bahwa ”Tak cakap untuk membuat persetujuan adalah anak yang belum
dewasa.”
Catatan:
Ada satu Peraturan Daerah yang menyebutkan istilah ”belum cukup umur”.
Dari berbagai sumber data terhadap pencari kerja di Indonesia, sebagian besar
perusahaan, khususnya yang bergerak di bidang retail dan customer service, memberi
persyaratan umur minimal 17 tahun dan memiliki SIM. Oleh karena itu, umur
produktif di Indonesia sesungguhnya telah dimulai pada umur 17 atau 18 tahun.
Lebih jauh, dalam konteks batasan umur untuk bertindak diperoleh dari UU No.
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa syarat untuk menjadi penghadap dan
saksi di antaranya adalah telah berumur 18 tahun dan cakap melakukan perbuatan
hukum. Dengan demikian, oleh pembuat undang-undang umur 18 tahun dianggap
telah dapat dibebani tanggung jawab hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat (1)
yang mengatakan bahwa ”Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;
b. cakap melakukan perbuatan hukum.”
D. Analisis
1. Analisis UU ITE terhadap Kecakapan dan Kewenangan
Bertindak Berdasar Umur
UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak
menggunakan istilah yang terkait dengan tema ”kecakapan dan kewenangan
bertindak berdasarkan batas umur”. Namun mengingat bahwa transaksi
elektronik mengacu pada perbuatan hukum terkait dengan perikatan (dalam
hal ini bersifat elektronik) yang menimbulkan akibat hukum perikatan maka
hal ini menarik untuk diteliti, karena justru UU ITE tidak mengatur masalah
kecakapan atau kewenangan bertindak secara khusus (lex specialis) dan tidak
memberi pengaturan secara jelas terhadap syarat material bagi perbuatan
hukum perjanjian elektronik. Dengan demikian, menjadi kompleks ketika UU ITE
memberikan keluasan makna bagi ”seseorang” yang melakukan transaksi dalam
elektronik, hal yang sekiranya dapat berbenturan dengan BW.
Analisisnya adalah sebagai berikut.
Pasal 2 UU ITE, yang berlaku pada siapa pun, menyatakan sebagai berikut.
”Undang-Undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan
hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada
di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang
139 Sidang Raker DPR RI dengan Menkominfo dan Menhukham, Rabu, 17 Mei 2006, hlm. 4.
140 Pasal 9 UU ITE menyatakan ”Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus menyedia-
kan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.”
141 Pasal 17 UU ITE menyatakan
(1) Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat.
(2) Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik
dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama
transaksi berlangsung.
142 Pasal 21 UU ITE menyatakan:
(1) Pengirim atau Penerima dapat melakukan Transaksi Elektronik sendiri, melalui pihak yang dikua-
sakan olehnya, atau melalui Agen Elektronik.
(2) Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi
tanggung jawab pada pihak yang bertransaksi;
b. Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik
menjadi tanggung jawab pemberi kuasa; atau jika dilakukan melalui Agen Elektronik, segala akibat hu-
kum dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara Agen Elektronik.
Pasal 6
(2) Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin
dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup
atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun.
Di dalam ketentuan Pasal 6 ayat (2) memperlihatkan bahwa
kewenangan untuk melakukan perkawinan bersifat mutlak ketika seseorang
sudah berumur 21 tahun. Jadi, meskipun menurut Pasal 7 ayat (1), pria
yang mencapai umur 19 tahun dan wanita yang mencapai umur 16 tahun
Pasal 1 angka 8
Anak Didik Pemasyarakatan adalah
a. Anak Pidana, yaitu anak yang berdasarkan putusan
pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;
Undang-Undang Republik b. Anak Negara, yaitu anak yang berdasarkan putusan
2. Indonesia No. 12 Tahun 1995 pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan
tentang Pemasyarakatan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur
18 (delapan belas) tahun;
c. Anak Sipil, yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau
walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di
LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas)
tahun.
Pasal 1
Undang-Undang No. 3 Tahun
Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah
3. 1997 tentang Pengadilan
mencapai umum 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
Anak
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Pasal 1 angka 5
Undang-Undang No. 39 Tahun Anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18
4. 1999 tentang Hak Asasi (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak
Manusia yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya.
Undang-Undang No. 21
Pasal 1 angka 5
Tahun 2007 tentang
10. Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas)
Pemberantasan Tindak Pidana
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Perdagangan Orang
Undang-Undang Republik
Pasal 2
Indonesia No. 23 Tahun
ayat (1) huruf a
11. 2004 tentang Penghapusan
Yang dimaksud dengan anak dalam ketentuan ini adalah
Kekerasan dalam Rumah
termasuk anak angkat dan anak tiri.
Tangga
Pasal 1
Keputusan Presiden
Istri dan anak yang berumur di bawah delapan belas tahun
Republik Indonesia No. 56
dari seseorang yang memperoleh kewarganegaraan Republik
14. Tahun 1996 tentang Bukti
Indonesia melalui proses pewarganegaraan, langsung ikut
Kewarganegaraan Republik
serta menjadi warganegara Republik Indonesia mengikuti
Indonesia
kewarganegaraan suami/ ayahnya tersebut.
2. Undang-Undang Republik Penjelasan Pasal 8 ayat (4) Yang dimaksud dengan anak
Indonesia No. 36 Tahun yang belum dewasa adalah anak yang belum berumur 18
2008 tentang Perubahan (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Keempat Atas Undang-
Undang No. 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan
16. Pasal 1 ke (3) Keputusan Anak adalah anak yang berumur di bawah 18 (delapan belas)
Menteri Kehakiman Republik tahun dan belum kawin.
Indonesia No. M.02-IZ.01.10
Tahun 1995 tentang Visa
Singgah, Visa Kunjungan,
Visa Tinggal Terbatas, Izin
Masuk,
dan Izin Keimigrasian
2. SK Mendagri Dirjen Agraria Dewasa adalah apabila seseorang telah ”mentas” sehingga
Direktorat Pendaftaran Tanah apabila seorang notaris atau PPAT mempergunakan batasan
(Kadaster) No. Dpt.7/539/7-77, umur 19 atau 20 tahun untuk dewasa, hal ini dapat diterima
tertanggal 13-7-1977 sebagai benar.
143 Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan hanya dikatakan, ”Untuk menjaga kesehatan suami-sitri dan keturunan,
perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.”
144 Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan hanya dikatakan, ”Untuk menjaga kesehatan suami-sitri dan keturunan,
perlu ditetapkan batas-batas umur untuk perkawinan.”
145 Pasal 66 UU No.1 Tahun 1974 mengatakan: “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No.
74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan
peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang
ini,dinyatakan tidak berlaku.
146 Pasal 1330 mengatakan bahwa, ”Yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:
1. anak yang belum dewasa;
2. … dst.
Dari ketentuan tersebut maka dapat ditafsirkan secara penafsiran o-contrario yang cakap adalah anak
(orang) yang telah dewasa.
Gambaran ringkas perkembangan aturan tenaga kerja atau hukum tenaga kerja
dapat dilihat pada tabel berikut.
Meskipun belum ada batasan umur mengenai penghadap, notaris harus dapat
mencari keterangan apakah penghadap tersebut sudah dewasa atau belum. Notaris
dapat meyakinkan diri dengan berbagai cara, seperti memeriksa surat-surat, paspor,
147 Dalam buku karya G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta, Erlangga, 1992,
hlm.177, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”para penghadap” dalam Pasal 24 PJN hanya mereka
yang datang menghadap kepada notaris untuk pembuatan akta itu, bukan mereka yang diwakili dalam
akta itu, baik diwakili secara lisan maupun tertulis, ataupun dalam kedudukan atau jabatan.
”(1) Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin
Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin
atau pernah kawin wajib memiliki KTP.
(2) Orang Asing yang mengikuti status orang tuanya yang memiliki Izin
Tinggal Tetap dan sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun wajib memiliki
KTP.”
Bagaimana pada zaman kolonial? Batasan umur di zaman kolonial mengacu
pada Pasal 330 BW yang mengatakan bahwa: ”Yang belum dewasa adalah
mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin
sebelumnya.”149
Atau Pasal 13 ayat (1) Huwelijksordonantie-Indonesiers Java Minahasa en Amboina
(Ordonantie 15 Feb. 1933, S.1933-74) yang mengatakan:
”Yang dimaksud dengan orang yang belum dewasa, bila umurnya dapat
diketahui, untuk penerapan ordonansi ini di Jawa dan Madura, ialah orang-
orang yang tidak kawin yang belum mencapai umur delapan belas tahun,
dan di luar daerah itu yang tidak kawin yang belum mencapai umur dua
puluh tahun.”
Tapi perlu diingat bahwa Ordonansi ini adalah untuk Orang Indonesia Kristen di
Jawa, Minahasa, dan Ambon. Artinya bila dia bukan Orang Kristen di Jawa, Minahasa,
dan Ambon, batasan kedewasaannya mengacu pada pasal 330 BW.
148 Tan Thong Kie, Studi Notariat, Serba Serbi Praktik Notaris, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994, hlm. 279.
149 Ini berarti bila telah berumur 21 tahun lebih, misalnya berumur 22 tahun maka orang tersebut
dikatakan telah dewasa.
1. Semula batasan umur penghadap tidak diatur secara tegas dalam Peraturan
Jabatan Notaris Staatblad 1860-3.
151 Sesuai dengan Pasal 91 UU No. 30 Tahun 2004, pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku.
1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860: 3) sebagaimana telah diubah terakhir
dalam Lembaran Negara Tahun 1945 No. 101.
2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
3. Undang-Undang No. 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran
Negara Tahun 1954 No. 101, Tambahan Lembaran Negara No. 700).
4. Pasal 54 Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 34,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4379).
5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
G. Kesimpulan
Dari hasil penelusuran peraturan perundang-undangan dapat dilihat
beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Terdapat berbagai macam istilah ukuran umur seseorang, ada yang
menggunakan istilah ”dewasa” (i.e. UU Perkawinan), ”belum dewasa/belum
cukup umur” (i.e. Perda Tarakan), ”anak” (UU Ketenagakerjaan).
2. Bahwa istilah yang beragam mengandung konsekuensi terhadap batas umur
seseorang yang dianggap cakap atau berwenang dalam hukum keperdataan.
3. Bahwa dengan adanya ketidakseragaman batas umur maka terhadap
penentuan akibat perbuatan hukum dapat menjadi rancu dan multitafsir dalam
pertanggungjawaban seseorang di hadapan hukum.
H. Rekomendasi
Pengaturan kecakapan bertindak berdasarkan batasan umur sebagaimana dalam
Pasal 330 BW ternyata tidak diikuti oleh peraturan perundang-undangan yang kami
telusuri. Dengan demikian, kami tidak menemukan peraturan perundang-undangan
lain yang secara tegas mengatur hal yang sama sebagaimana Pasal 330 BW.
Pengaturan kecakapan bertindak berdasarkan batasan umur yang mengacu
pada Pasal 47 dan Pasal 50 UU Perkawinan, yaitu yang menentukan batas umur
adalah 18 tahun, memiliki persamaan dengan Pasal 1 Angka 26 UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjan dan Pasal 39 UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, yang sama-sama menentukan batas umur adalah 18 tahun.
Bila dilihat dari UU di luar lingkup penelitian, semakin banyak bukti/fakta yang
memperlihatkan bahwa batas umur yang banyak dipergunakan adalah 18 tahun.
2. Sumber Data
Upaya pengumpulan produk hukum yang relevan dengan tema penelitian dilakukan
dengan mendatangi lembaga-lembaga, seperti:
a. Mahkamah Agung RI
b. Arsip Nasional RI
c. Mahkamah Konstitusi RI
PN#PT#MA
21%
PN=PT=MA
79%
Gambar 1 Perbandingan Putusan Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan
Mahkamah Agung
> 1 Istilah
9%
Anak
2%
Di Bawah Umur
(Blm Ckp Umur)
Belum Dewasa 57%
32%
UU No 1/1974
13%
KUH Perdata
11%
N/A
76%
18 Tahun
13%
N/A 21 Tahun
57% 30%
Gambar 4 Perbandingan Putusan dan Penetapan Pengadilan Berdasarkan Batasan Umur dalam
Menentukan ”Di Bawah Umur” atau ”Dewasa”
2) Permohonan Perwalian
Pada permohonan sebagaimana terdapat dalam Penetapan Pengadilan Negeri
Barabai No 18/Pdt.P/1985/PN.Brb tanggal 30 Agustus 1985, majelis hakim
menguraikan ukuran untuk menilai anak yang di bawah umur (belum dewasa)
adalah yang belum berumur 21 Tahun.
Walaupun dalam pertimbangan hukumnya, hakim menguraikan Pasal 50 Ayat
(1) UU No. 1 Tahun 1974, yang menyebutkan bahwa anak yang belum mencapai
umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali,
namun dalam pertimbangan selanjutnya hakim menegaskan kembali bahwa
pengertian anak dalam hal ini adalah anak yang belum mencapai umur 21
Tahun dan belum pernah kawin.
Hakim menetapkan Pemohon adalah kakek dari 2 (dua) orang anak ahli waris
dari orang tuanya yang meninggal. Pemohon adalah pengasuh kedua anak
tersebut yang masing-masing berumur 12 tahun dan 10 tahun, yang dianggap
belum cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Tujuan dari pemohon adalah
untuk mengurus harta warisan milik kedua anak tersebut untuk kehidupan dan
pendidikan.
Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang digunakan
untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan dasar
hukum yang digunakan sebagai pertimbangan, menunjukkan kelemahan
hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.
Dalam penetapan hakim yang tidak ditemukan batasan umur yang diguna-
kan untuk menyatakan kondisi di bawah umur dan juga tidak mencantumkan
dasar hukum yang digunakan sebagai pertimbangan, menunjukkan kelemahan
hakim dalam memberikan dasar pertimbangan pada penetapannya.
c. Mazhab Historis
Friedrich Carl Von Savigny menyatakan bahwa hakikat dari sistem hukum menurut
Savigny adalah sebagai pencerminan jiwa rakyat yang mengembangkan hukum
itu. Semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal
dari pembentuk undang-undang. Sir Henry Maine mengatakan bahwa masyarakat
ada yang ”statis” dan ada yang ”progresif”. Masyarakat progresif adalah masyarakat
yang mampu mengembangkan hukum melalui tiga cara, yaitu fiksi, equity, dan
perundang-undangan.
d. Mazhab Utilitariansm
Tokoh mazhab ini adalah Jeremy Bentham dan Rudolph von Jhering. Bentham
mengemukakan pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi
segenap warga masyarakat secara individual. Rudolph von Jhering menyatakan
hukum merupakan suatu alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Hukum
adalah sarana untuk mengendalikan individu-individu agar tujuannya sesuai dengan
tujuan masyarakat di mana mereka menjadi warganya. Hukum merupakan suatu
alat yang dapat dipergunakan untuk melaksanakan perubahan-perubahan sosial.
C. Kesimpulan
Dengan melihat beberapa putusan dan kualifikasi atas istilah dan batas umur terkait
dengan pertimbangan hakim, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.
1. Hakim dalam memberikan putusan, baik penetapan maupun putusan terhadap
Undang-Undang
E.g. in Hoge Raad 22 Mei 1981, NJ 1982, 122 a positive sign of the legal representa-
tives was absent.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Kompilasi Hukum Islam (Inpres No.1 Tahun 1991)
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan
Notaris, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pradnya Paramita, Cet.34,
2004, Psl. 330.
Undang-Undang No. 27 Tahun 1948 tentang DPR.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 2007. Tesis,
Magister Kenotariatan. Semarang: Universitas Dipenogoro. hlm. 64.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwak-
ilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Undang-Undang No. 66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer.
Undang-Undang No.18 tahun 2003 tentang Advokat.
Undang-Undang No.19 Tahun 1955 tentang Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagan-
gan Orang.
Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang No.29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara Republik Indonesia.
Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang No.7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Dewasa,
http://kamusbahasaindonesia.org/kedewasaan,
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php
Kecakapan dan kewenangan bertindak sebagai salah satu pokok bahasan Restatement mengandung istilah-istilah yang
sangat beragam dan tidak memiliki kejelasan batasan umur tertentu dalam peraturan perundang-undangan yang
C
berlaku. Pengertian “kecakapan” (legal capacity) dan “kewenangan” (legal authority) sering digunakan secara
M
tumpang-tindih di berbagai peraturan perundang-undangan. Akibatnya, dalam praktik sering terjadi kesimpangsiuran
Y penafsiran.
CM
Buku ini merupakan salah satu upaya untuk menjawab kesimpangsiuran penafsiran tersebut. Tujuan utama dari buku ini
MY
adalah mewujudkan gambaran yang jelas tentang beberapa konsep penting hukum Indonesia modern. Metode yang
CY
digunakan adalah analisis terhadap tiga sumber hukum, yaitu peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan
CMY literatur yang otoritatif.
K
34608100141