Anda di halaman 1dari 9

A.

UPACARA SEKATEN

Perayaan Sekaten yang dilaksanakan setiap tahun di Karaton


Surakarta adalah wujud Mikul Dhuwur Mendhem Jero dari Karaton
terhadap perjuangan Wali Songo yang telah berhasil menyebarkan
tuntunan nabi Muhammad SAW. Untuk kepentingan dakwah, oleh para
wali di Demak, kelahiran Nabi tersebut diperingati selama seminggu, dari
tanggal 5-15 Rabbingulawal. Peringatan yang lazim dinamai Maulud Nabi
itu, oleh para wali disebut Sekaten, yang berasal dari kata Syahadatain
(dua kalimat Syahadat, yakni persaksian manusia muslim bahwa Tida
Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah Utusan Allah).

Istilah-istilah dalam upacara Sekaten:

Tuntunan

Sekaten diadakan sebagai penghormatan terhadap lahirnya


tuntunan bagi manusia, yang perlu terus-menerus didengungkan ke
pelosok masyarakat sampai kapanpun juga. Masyarakat yang datang ke
Sekaten tidak lain hanya ingin mendapatkan pencerahan (berkah) dari
tuntunan yang telah terbukti membawa manusia hidup dalam
kebahagiaan lahir dan batin. Semangat perayaan Sekaten tak lain sebuah
peringatan kepada manusia untuk dapat saling menghormati satu sama
lain, dapat mengakui ide-ide orang lain, bisa mengakui kesalahan dengan
Legawa dan menerima kemenangan dengan syukur, dan takwa serta
tidak takabur.

Tontonan

Di Karaton Surakarta tradisi menabuh gamelan itu masih tetap


dilaksanakan di Bangsal Pagongan, Mesjid Agung Karaton Surakarta.
Yang harus disimak dari Gendhing-gendhing Gamelan Kyai Guntur
Madu dan Kyai Guntur Sari adalah makna yang ada di dalamnya.
Setidaknya ada dua kebenaran yang hendak disampaikan. Pertama adalah
Syahadat Taukhid, yakin pada adanya Allah SWT, dilambangkan dalam
gendhing ‘Rembu’, berasal dari kata Robbunayang yang artinya Allah
Tuhanku yang dikumandangkan dari gamelan Kyai Guntur Madu.
Kemudian yang kedua yaitu Syahadat Rosul dari Gamelan Kyai Guntur
Sari, yakni berkumandangnya Gendhing ‘Rangkung’, berasal dari kata
Roukhun yang artinya Jiwa Besar atau Jiwa Yang Agung. Semua tidak
hanya sebagai tontonan atau hiburan belaka.

Nut Jaman Kelakone

Artinya, baik sebagai Tuntunan maupun sebagai Tontonan,


keduanya harus tetap berdasarkan pada tujuan semula diadakannya
perayaan Sekaten. Jangan sampai kepercayaan masyarakat yang telah
mengakar dikaburkan oleh penonjolan unsur tontonannya. Kita tidak
boleh semena-mena dan nggampangke masalah.

Jika hendak menge-tengahkan keragaman dan keunikan etnis


berikut eksotismenya dengan menampilkan berbagai atraksi dan seni
budaya daerah, selayaknya ditampilkan seminggu sebelum dan sesudah
hari-H perayaan. Sedangkan seminggu sebelum hingga hari-H perayaan,
benar-benar merupakan rasa syukur atas tuntunan yang telah dibawa
Nabi Muhammad.

B. UPACARA GREBEG

Dalam tradisi Kerajaan Karaton Surakarta terdapat tiga jenis


Upacara Grebeg, diantaranya Upacara Grebeg Mulud, Upacara Grebeb
Pasa, dan Upacara Grebeg Besar.

 Grebeg Mulud
Diselenggarakan pada tahun Dal (8 tahun sekali) Grebeg
dilaksanakan pada hari Jum’at Kliwon, selanjutnya pada hari Ahad
(minggu) Paing sekitar 24 BBWI ISKS Pakoeboewono sekalian GK. Ratu
Alit di Pawon atau dapur “Gondorasan:” untuk “adang” atau menanak
nasi.

 Grebeg Pasa

Tatacara yang dilaksanakan adalah Abdidalem “Pareden” atau


gunungan 1 rakit atau 2 buah diarak menuju Masjid Ageng Karaton oleh
para Abdidalem dan prajurit Karaton sebanyak 4 pleton. Selesai didoakan
di masjid dibagi seperti Grebeg Mulud.

 Grebeg Besar

Pada upacara Grebeg Besar, terdapat tatacara yang dilaksanakan sebagai


berikut:

1) Penyerahan kelengkapan “Jamasan Pusaka” atau minyak untuk


membersihkan pusaka diterimakan kepada sesepuh Kadilangu
(Ahli waris Sunan Kalijaga). Minyak diserahkan, yaitu lisah sepuh,
lisah cendana dan kembang.
2) Dikeluarkannya ajad dalem “Pareden”atau gunungan pada kurang
lebih pukul 10.00 WIB. Tatacara yang dilaksanakan adalah seperti
pada Grebeg Pasa

Setelah perayaan sekaten berlangsung 7 hari, maka tepat tanggal 12


Rabiulawal, diadakan upacara selamatan dengan sesaji “Gunungan” yang
diselenggarakan oleh Sinuhun Paku Buwana. Puncak perayaan sekaten
itu bersamaan dengan Grebeg Mulud Nabi, serta dipusatkan di Masjid
Agung yang terletak di sebelah barat Alun-Alun utara.

C. UPACARA TAHUN DAL


Sejarah

Selain upacara Sekaten dan Grebeg, Karaton Kasunanan Surakarta


juga menyelenggarakan Tradisi Adang Tahun Dal, yaitu tradisi menanak
nasi oleh raja sendiri, lalu di bagikan pada pegawai karaton dan
masyarakat. Dandang yang digunakan dinamai Dandang Kyai Duda yang
riwayatnya konon merupakan peninggalan Joko Tarub.

Jalannya Upacara

Pada hari Minggu sore tanggal 11 Mulud para abdi dalem


termasuk para ulama keraton serta juru kunci makam-makam milik
keraton telah hadir. Kurang lebih pukul 20.00, Sinuhun diiringi putra-
putri Sinuhun tiba di dapur karaton memasuki salah satu ruangan
Gondorasan. Ikut pula hadir para istri Sinuhun serta para tamu
kehormatan. Para petugas dan keluarga keraton berpakaian adat Jawa
dengan warna putih. Sementara itu dandang Kyai Duda serta kendil Nyai
Rejeki telah berada diatas tungku api abadi. Dandang Kyai Duda terus-
menerus diusapi semacam param serta para ulama dan juru kunci terus
menerus berdoa tanpa henti.

Sekitar pukul 24.00 Sinuhun diikuti beberapa putra kembali ke


karaton, sedang yang lain tetap di Gondorasan menunggu hingga nasi
masak. Kurang lebih pukul 00.30 nasi telah masak, digelar diatas tempat
yang sudah disediakan lalu dikipasi hingga dingin, manjadi nasi pulen.

Keesokan harinya, Senin pon tanggal 12 Mulud tahun Dal pukul


11.00 para keluarga Sinuhun beserta para abdi dalem telah hadir di
keraton. Dengan diiringi beberapa kerabat Sinuhun memasuki tempat
upacara dan menempatkan diri ditengah-tengah. Didepan tempat duduk
Sinuhun telah tersedia meja panjang berisi piring serta nasi hasil adang
semalam. Kemudian tiba saatnya selamatan memperingati hari kelahiran
Nabi Muhammad SAW dimulai. Inti dari selamatan adalah pembacaan
doa memuji kebesaran Tuhan, mengucapkan puji syukur atas karuniaNya
memohonkan pahala Nabi Muhammad SAW.

Tradisi “Adang Tahun Dal” adalah tradisi yang sangat langka dan
sulit diikuti oleh orang diluar lingkungan karaton, karena dilaksanakan di
dalam keraton. Tetapi pada akhirnya akan menumbuhkan rasa
kebersamaan antara Raja dan para abdi dalem, yang merupakan simbol
“manunggaling kawulo gusti” (bersatunya raja dengan rakyatnya). Inti
tercermin dari tindakan Sinuhun memasak nasi kemudian membagi-
bagikan serta makan bersama rakyatnya.

MUSEUM

Karaton Paku Buwono Solo mempunyai benda-benda budaya


yang tersimpan di Museum Karaton Surakarta Hadiningrat. Museum
Karaton terdiri dari bangunan pokok, yaitu bangunan sebelah barat dan
bangunan sebelah timur. Dari tiap-tiap bangunan sudah di atur ruang-
ruangnya yang memuat hasil kriya Karaton Surakarta.

 Ruang I berisi gambar-gambar dan ukir-ukiran sebagai berikut :


1) Gambar Ingkang Sinuhun Paku Buwana VII (1830-1858), Paku
Buwana VII (1858-1861), Paku Buwana X dalam sebuah pigura
yang besar.
2) Gambar Paku Buwana X berdiri dengan mengenakan busana
kebesaran.
3) Dua buah gambar Kangjeng Ratu Emas, permaisuri Paku Buwana
X.
4) Beberapa kursi ukiran dari jaman Paku Buwana IV (1788-1920).
5) Dua buah kursi ukiran dari Giayar (Bali) yang dipersembahkan
kepada Ingkang Sinuhun Paku Buwana X.
6) Sebuah kursi ukir-ukiran tempat duduk Ingkang Sinuhun Paku
Buwana X.

 Ruang II berisi benda-benda perunggu dan batik

Dalam lemari-lemari kaca dipajang bermacam-macam benda dan


arca perunggu antara lain arca Budha Avalokiteswara, dan alat-alat
upacara agama. Di dalam ruang ini juga terdapat arca Bali dari Jaman
purbakala, yaitu arca Dewa Kuwera, arca Dewi Durga, arca Dewi Tara,
dan arca Dewa Siwa Mahaguru.

 Ruang III berisi adegan Pengantin Jawa dan perlengkapannya


1) Patung kuda dari kayu lengkap dengan pakaiannya, untuk dinaiki
pengantin pria kerajaan.
2) Dua buah joli berukiran.
3) Sebuah joli besar berisi sebuah peti, keduanya berukiran dibuat
pada jaman Paku Buwana X.
4) Relief pada dinding yang melukiskan adegan sebagai berikut:
a. Keberangkatan calon pengantin kerajaan laki-laki dan
perempuan dari Karaton Kepatihan
b. Calon pengantin puteri duduk dalam joli, calon pengantin laki-
laki naik kuda membawa tombak diiringi pengawal.
c. Pengantin menjalankan ikab-nikah
d. Pengantin menjalankan tatacara panggih
e. Peragaan dengan patung yaitu adegan pengantin perempuan
dan laki-laki duduk bersila di Krobongan diapit dua patah.
 Ruang IV berisi adegan kesenian rakyat
1) Adegan pagelaran wayang kulit purwa mencakup kelir, wayang
dan dalang.
2) Wayang beber dengan perlengkapan: dhalang, niyaga dan
gamelan.
3) Dinding sebelah timur terdapat relief
4) Klenengan
5) Pertunjukan wayang kulit
6) Pertunjukan pada peralagaan perkawinan, supitan, ruwat dan
bersih desa.
7) Dinding sebelah berat dalam almari kaca terdapat adengan-
adengan sebagao berikut.
a. Wayang kulit purwa
b. Wayang kulit gedhog
c. Wayang kulit madya
d. Wayang golek dari kayu berbentuk manusia
e. Wayang klitik seperti wayang kulit tetapi dibuat dari kayu.

 Ruang V

Dalam ruang ini dipajang bermacam-macam topeng yang khusus


digunakan untuk kelengkapan tari topeng, yang ceritanya mengambil
dari cerita Panji Inukertapati, Panji Asmarabangun, Dewi Galuh Ajeng,
Dewi Galuh Candrakirana, Klana dan sebagainya. Pada dinding sebelah
timur terdapat relief sebagai berikut:

1) Pertunjukan jaran kepang/kuda lumping


2) Pertunjukan tarian teledek: seorang wanita meneri diiringi gamelan
3) Pertunjukan Lawung: dua orang naik kuda membawa sodok
bertarung dan diiringi gamelan
4) Pande keris
5) Upacara selamatan: beberapa orang berdoa memohin selamat
dalam tatacara Islam
 Ruang VI berisi alat upacara

Dalam ruang ini dipamerkan bermacam-macam benda alat upacara


sebagai berikut :

1) Bokor, kendhi, beri, kecohan, dan sumbul


2) Perhiasan
3) Payung bersusun tiga untuk upacara kitanan Ingkang Sinuhun
Paku Buwana IV

 Ruang VII
1) Kereta Kyai Garudha Dari Jaman Sinuhun Paku Buwana II di
Kartasura, persembahan VOC.
2) Kereta Kyai Rajapeni.
3) Kereta terbuka, dipergunakan oleh Raja berkeliling kota, dan
diperkirakan dari jaman Ingkang Sinuhun Paku Buwana X.
4) Kereta Kyai Garudhaputra.
5) Kereta kerajaan dipakai pada jaman I Paku Buwana VII sampai
Paku Buwana X untuk menjemput tamu agung.

 Ruang VIII
1) Relief pertemuan antara Ingkang Sinuhun Paku Buwana (1823-
1830) dengan Pangeran Dipanegara. Keduanya dilikiskan dengan
naik kuda dan masing-masing dengan pengawal.
2) Relief pengadilan pada jaman kuno (Pepe)

Didalam ruangan ini terdapat pula:

a. Almari-almari kaca yang berisi benda-benda upacara seperti


tongkat, gading, pedang, tameng/perisai, dan lar badak.
b. Patung kuda dari kayu yang diperlengkapi dengan pakaian
perang seperti: busur, panah, dan tempat senjata api.
c. Tombak Sarajantra: Tombak bermata satu dengan alat
pertahanan yang berputar dan bermata delapan.
d. Pada dinding sebelah selatan dipajang senjata kuno antara lain :
bedil, pistol, pedang, tameng, keris, panah, dan pelana kuda.
e. Pada dinding sebelah utara ada diorama yang menggambarkan
perang Pangeran Dipanegara di Gua Selarong. Dalam diorama
tadi tampak: Pangeran Dipangeran naik kuda putih, Kyai Maja,
dan Sentot Prawiradirdja.

 Ruang IX

Dalam ruangan ini tersimpan benda-benda Karaton Sebagai berikut:

1) Patung kayu Rajamala merupakan patung kepala raksasa untuk


hiasan perahu pada jaman Ingkang Sinuhun Paku Buwana IV
2) Maket rumah Jawa : gaya limasan dan gaya kampung
3) Patung-patung kecil dari tanah liat yang menggambarkan aneka
warna pakaian abdi dalem dan prajurit Karaton.
4) Keramik dan porselin Kuno yang dahulu menjadi perlengkapan
rumah tangga.
5) Alat permainan rakyat : dakon, adu jangkrik, adu keci, dan adu
kemiri.

Anda mungkin juga menyukai