Konversi Lahan Pertanian
Konversi Lahan Pertanian
Artikel ini membahas proses dan akselerasi konversi lahan di Jawa Tengah dan
dampaknya terhadap ketersediaan lahan untuk proses produksi pangan dan ketahanan
pangan serta peluang pengendaliannya yang dapat diterima oleh setiap sektor pembangunan
dan aman terhadap lingkungan.
150
DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tangah (Jawa Tengah dalam Angka 2009)
Sesuai dengan penggunaannya, lahan sawah sebagian besar digunakan untuk lahan
sawah beririgasi teknis dengan luasan sebesar 39,26%, selebihnya digunakan untuk lahan
sawah beririgasi setengah teknis, lahan sawah beririgasi sederhana, lahan sawah beririgasi
desa/non PU, sawah tadah hujan dan lainnya. Sedangkan lahan bukan sawah digunakan
untuk berbagai peruntukan yaitu tegal/kebun, ladang/huma, padang rumput, bangunan/
pekarangan, dan lahan yang tidak diusahakan.
151
KONVERSI LAHAN
1004 590
1002
580
1000
998 570
996 560
994
992 550
990 540
988 Sawah
530
986
984 520
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Gambar 1. Penurunan luas lahan sawah dari tahun 1999 sampai dengan 2008
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah
Perubahan penggunaan lahan lebih nyata terlihat di wilayah perkotaan karena pesatnya
proses pembangunan terutama pada sektor ekonomi. Penggunaan lahan untuk kawasan
industri, pemukiman, dan jalan merupakan yang dominan dalam perubahannya. Konversi
lahan sawah dan lahan pertanian lainnya terjadi relatif cepat sehingga lahan pertanian
mengalami penyusutan. Pada Gambar 2 disajikan penggunaan lahan di DAS Garang
yang berada di wilayah kabupaten dan kota Semarang tahun 1939, 1988, dan 2000. Dari
kawasan pantai hingga hulu DAS Garang yang luasnya 20.080 ha, perubahan penggunaan
lahan terlihat secara nyata. Secara rinci perubahan penggunaan lahan di wilayah tersebut
diilustrasikan pada Gambar 3.
Di wilayah pantai, dari tahun 1939 hingga 2000, perubahan garis pantai dan
terganggunya wilayah ini jelas terlihat sebagai pengaruh proses abrasi akibat perkembangan
pesat areal pemukiman dan terganggunya lingkungan akibat aktivitas masyarakat yang
sangat tinggi. Demikian pula halnya di wilayah hulu hingga hilir DAS Garang, perubahan
penggunaan lahan khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian menunjukkan laju
yang relatif cepat. Perkembangan sektor ekonomi ditunjukkan oleh berkembangnya
kawasan industri, perumahan dan jalan serta infrastruktur lain yang membutuhkan lahan.
Menurut Puslitbangtanak (2001), akibat konversi lahan, areal sawah berkurang 10 ha/
tahun, dan perkembangan wilayah perkotaan menyita lahan 50 ha/tahun dan kawasan
industri 2 ha/tahun.
152
DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH
Gambar 2. Penggunaan lahan wilayah DAS Garang Kabupaten dan Kota Semarang tahun
1939, 1988, dan 2000
Sumber: Puslitbangtanak (2001)
153
KONVERSI LAHAN
1939-1988
1988-2000
154
DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH
155
KONVERSI LAHAN
sudah mendekati 39%. Kondisi ini menunjukkan bahwa konversi lahan sulit dicegah tetapi
masih memungkinkan untuk dikendalikan (Agus dan Irawan 2006). Perencanaan konversi
lahan yang lamban akan menyebabkan pengembang tidak tertarik untuk memanfaatkan
lahan, sebaliknya konversi lahan yang cepat akan terus menstimulasi terjadinya konversi
lahan. Jika 39% lahan sawah di Jawa Tengah dikonversi untuk penggunaan selain pertanian,
kondisi ini akan sangat mengancam ketahanan pangan.
Tabel 2. Perencanaan spasial sawah beririgasi dalam hubungannya dengan konversi lahan
di Jawa Tengah
Sawah Tadah
Total Sawah
Hujan Sawah Beririgasi Perencanaan Spasial Sawah Beririgasi
Provinsi Konversi Dipertahankan
ha % ha % ha % ha % ha %
Jawa Tengah 1.124.940 12,64 331.910 20,89 793.030 10,84 310.410 39,14 482.620 60,86
Jawa dan
Bali 3.933.370 44,18 442.120 34,13 3.391.250 46,36 1.669.600 49,23 1.721.650 50,77
Indonesia 8.903.220 100,00 1.488.480 17,84 7.314.740 82,16 3.099.020 42,37 4.215.740 57,63
Sumber: Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (2004) dalam Winoto (2005) dengan
modifikasi
156
DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH
ha (2%) lahan sawah dapat dialihfungsikan dengan syarat dan 42.448 ha (4%) sisanya
boleh dialihfungsikan.
Produksi bahan pangan dari ubi kayu dan ubi jalar cenderung menurun dalam 5
tahun terakhir (2005–2009), sebaliknya produksi padi dan jagung cenderung meningkat.
Kondisi ini menunjukkan bahwa intensifikasi tanaman pangan yang mengintroduksikan
inovasi teknologi budi daya masih prioritas pada padi dan jagung, dan relatif kurang pada
ubi kayu dan ubi jalar. Ketersediaan beras tahun 2010 sebagai bahan pangan telah melebihi
(surplus) 2,9 juta ton. Hal ini disebabkan produksi padi meningkat setiap tahunnya. Dari
target produksi 9.733.950 ton GKG, data ARAM III menunjukkan realisasi produksi
mencapai 10.078.084 ton GKG.
157
KONVERSI LAHAN
300000
250000
200000
150000
100000
50000
0
0 50000 100000 150000 200000
Pada awalnya, perluasan areal (ekstensifikasi) untuk sawah di Jawa (termasuk Jawa
Tengah) umumnya dilakukan oleh petani, pemerintah memfasilitasi upaya tersebut sejak
era 1980-an. Namun, fasilitasi pemerintah saat ini dan ke depan tampaknya menurun dan
akan menurunkan laju ekstensifikasi. Upaya untuk mengontrol laju konversi yang semakin
cepat harus dilakukan dan ini harus disadari masyarakat bahwa laju konversi yang tidak
terkontrol akan mengancam ketahanan pangan. Kondisi ini menuntut pemerintah untuk
menetapkan maksimum konversi lahan sawah yang masih diperbolehkan, agar konversi
lahan dapat dikontrol dan ketahanan pangan dapat dipertahankan.
158
DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH
Penutup
Konversi lahan pertanian produktif di Jawa Tengah terus berlangsung dengan laju
yang cenderung meningkat. Dari luas 1.002.236 ha pada tahun 1999, lahan sawah
menyempit seluas 11.654 ha menjadi 990.652 ha pada tahun 2008 dengan laju konversi
rata-rata 1.930 ha/tahun. Meskipun produksi pangan terutama padi dan jangung masih
cenderung meningkat dalam 5 tahun terakhir (2005–2009), konversi lahan relatif belum
mengganggu produksi kedua komoditas tersebut. Peningkatan produksi tersebut terjadi
lebih diakibatkan oleh intervensi upaya intensifikasi daripada ekstensifikasi. Namun,
ketidak seimbangan antara perluasan areal lahan pertanian khususnya sawah dengan laju
konversi lahan pada saat tertentu akan mengganggu proses produksi bahan pangan dan
ketahanan pangan di Jawa Tengah.
Meski sulit dicegah, konversi lahan masih memungkinkan untuk dikendalikan pada
tingkat yang masih diperbolehkan.Di Jawa Tengah, luas lahan yang dikonversi, 310.410
ha (39,14%) masih pada tingkat yang lebih rendah dari yang dipertahankan, 482.620
ha (60,86%). Perimbangan laju konversi dengan laju ekstensifikasi lahan sawah harus
diwujudkan sebagai upaya kontrol terhadap ketersediaan lahan untuk proses produksi
pangan. Menurut Fahmudin Agus dan Irawan (2006), maksimum konversi lahan yang
diperbolehkan harus diimbangi dengan ekstensifikasi yang tepat untuk swasembada beras
berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Agus F, Mulyani A. 2005. Judicious use of land resources for sustaining Indonesian rice
self-sufficiency. Presented at International Rice Conference 12-14 September,
Denpasar, Bali, Indonesia.Agus F and Irawan. 2006. Agricultural land conversion as
a threat to food security and environmental quality. Seminar Multifungsi Pertanian
(Multifuctionality of Agriculture), Bogor 27–28 Juni 2006.
BPS Provinsi Jawa Tengah. 2009. Jawa Tengah dalam Angka 2009. Semarang: BPS.
Pasandaran E. 2006. Alternatif kebijakan pengendalian konversi lahan sawah beririgasi
di indonesia. Seminar Multifungsi Pertanian (Multifuctionility of Agricultuture),
Bogor 27–28 Juni 2006.
Puslitbangtanak. 2001. Environmental and Economic Functions of Paddy Field (Sawah)
in Case Watersheds in Java. Bogor: Puslitbangtanak.
Wahyunto, Abidin Z, Priyono A, Sunaryo. 2001. Landuse Change in Citarik Watershed
West Java and Garang Watershed Central Java. In Proceedings National Seminar on
the Multifunction of Paddy Fields. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor. (In Indonesian). pp 39–63.
159