Anda di halaman 1dari 11

DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN

KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN


DI JAWA TENGAH
Kasdi Subagyono

Pesatnya pembangunan sektor industri, perumahan, transportasi, wisata dan sektor


perekonomian lainnya di provinsi Jawa Tengah menuntut tersedianya lahan yang cukup.
Dalam mencukupi kebutuhan tersebut, konversi lahan pertanian sektor-sektor tersebut
tidak dapat dihindarkan bahkan akselerasinya relatif tinggi, dan ironinya yang dijadikan
sasaran adalah lahan pertanian produktif seperti lahan sawah beririgasi. Perkembangan
perkotaan merupakan salah satu yang sangat signifikan menggeser lahan-lahan
produktif untuk pertanian yang dikonversi ke pemanfaatan lain selaras dengan pesatnya
perkembangan kota tersebut. Menurut Wahyunto et al. (2001), pada umumnya konversi
lahan terjadi dari penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian dan dari penggunaan
pertanian untuk kawasan pemukiman dan kawasan industri. Khususnya pada lahan sawah
di kawasan pengembangan, Agus dan Mulyani (2005) mencatat bahwa konversi lahan
berlangsung makin cepat. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut adalah berkurangnya
lahan pertanian produktif yang seharusnya dapat digunakan untuk memproduksi pangan
secara berkelanjutan. Hal tersebut akan mengganggu ketahanan pangan.
Ketahanan pangan mempunyai peran strategis karena beberapa alasan, yaitu (a) akses
terhadap pangan dan gizi yang cukup merupakan hak asasi bagi manusia, (b) pangan
memiliki peranan penting dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas,
dan (c) ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama dalam menopang ketahanan
ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan ketahanan
pangan nasional, ketersediaan pangan yang cukup dalam skala waktu, bermutu, bergizi,
aman, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat harus dipenuhi
sebagaimana diatur dalam UU No. 7/1996 tentang Pangan dan PP No.68/2002 tentang
Ketahanan Pangan.
Pada sisi lain, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang seharusnya sangat
strategis sering diabaikan dalam proses perencanaan pembangunan wilayah. Sementara
itu, dinamika kebutuhan masyarakat senantiasa berkembang yang menuntut ketersediaan
lahan yang sesuai dengan peruntukannya dan mencukupi. Oleh karena itu, konversi lahan
menjadi suatu fenomena yang sulit dicegah, meski masih dapat dikendalikan pada taraf
yang diperbolehkan.
KONVERSI LAHAN

Artikel ini membahas proses dan akselerasi konversi lahan di Jawa Tengah dan
dampaknya terhadap ketersediaan lahan untuk proses produksi pangan dan ketahanan
pangan serta peluang pengendaliannya yang dapat diterima oleh setiap sektor pembangunan
dan aman terhadap lingkungan.

Penggunaan Lahan di Jawa Tengah


Dari aspek geografis dan ekonomi, posisi Jawa Tengah sangat strategis, karena diapit
oleh tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta yang prospektif
baik untuk pasar bagi produk-produk sektor ekonomi untuk dipasarkan maupun pusat
pemasaran produk-produk dari provinsi-provinsi tersebut. Luas wilayah Jawa Tengah
adalah 3.254.412 ha terbagi dalam 29 kabupaten dan 6 kota dengan 563 kecamatan dan
8.553 desa/kelurahan. Wilayah terluas adalah kabupaten Cilacap dengan luas 213.851 ha
atau sekitar 6,57% dari total wilayah Jawa Tengah. Sedangkan wilayah yang paling kecil
adalah kota Magelang yang memiliki luas 1.812 ha.
Berdasarkan topografinya, Jawa Tengah terbagi dalam 4 wilayah dengan ketinggian
yang berbeda, yaitu (a) wilayah dengan ketinggian 0–100 m di atas permukaan laut (dpl)
yang memanjang di wilayah pantai utara dan selatan mencakup luasan 53,3%, (b) wilayah
dengan ketinggian 100–500 m dpl yang memanjang di bagian tengah mencakup luasan
27,4%, (c) wilayah dengan ketinggian 500–1.000 m dpl seluas 14,7%, dan (d) wilayah
dengan ketinggian lebih dari 1.000 m dpl seluas 4,6%.
Macam dan luasan penggunaan lahan di provinsi Jawa Tengah sangat beragam
yang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti agro-ekosistem (jenis tanah, tipe iklim,
kondisi hidrologi, dan landform), sosial, ekonomi, budaya, dan manajemen lahan. Untuk
menyederhanakan gambaran penggunaan lahan dan untuk mendapatkan gambaran
pergeseran lahan sawah menjadi penggunaan lain melalui konversi, wilayah dibagi ke dalam
(a) lahan sawah dan (b) lahan bukan sawah. Pada Tabel 1 disajikan data penggunaan lahan
di Jawa Tengah tahun 1999–2008. Sebagai gambaran, pada tahun 2003, luas lahan sawah
995.469 ha dan lahan bukan sawah 1.353.832 ha. Dalam periode yang relatif singkat
(5 tahun), luas areal sawah menurun dari tahun 1999 ke tahun 2003 seluas 6.837 ha
(0,68%) dengan rata-rata per tahun seluas 1.367 ha (0,14%). Bila dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, luas lahan sawah pada tahun 2003 menurun 0,3%, sebaliknya lahan
bukan sawah meluas 0,3%. Pada tahun 2004, luas lahan sawah 996.197 ha dan lahan
bukan sawah 1.352.089 ha. Pada periode 2004–2008, luas areal sawah berkurang 5.545
ha (0,6%), sedangkan lahan bukan sawah menurun sebesar 78.422 ha (5,8%). Dari lahan
bukan sawah yang mengalami peningkatan adalah untuk penggunaan ladang/huma sebesar
3.759 ha (39,2%).

150
DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH

Tabel 1. Penggunaan lahan 1999–2008 di Jawa Tengah


Luas(ha)
PengguaanLahan
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Lahansawah 1.002.306 998.008 999.136 998.456 995.469 996.197 995.972 992.455 990.824 990.652
LahanBukanSawah: 1.350.908 1.350.528 1.353.825 1.349.673 1.353.832 1.352.089 1.352.043 1.344.519 1.273.512 1.273.667
Bangunan/Pekarangan 571.421 580.079 581.491 574.620 572.012 575.916 580.976 581.011 521.769 524.465
Tegal/Kebun 766.599 755.394 760.180 759.931 763.249 759.028 752.842 744.343 737.677 732.853
Ladang/Huma 7.251 5.889 5.769 8.391 9.811 9.587 10.642 12.205 10.341 13.346
Padangrumput 2.699 6.322 3.699 3.098 2.723 2.662 2.709 1.846 1.906 1.231
Sementaratidakdiusahakan 2.938 2.844 2.686 2.633 6.022 4.896 4.874 5.114 1.819 1.772

Sumber: BPS Provinsi Jawa Tangah (Jawa Tengah dalam Angka 2009)

Sesuai dengan penggunaannya, lahan sawah sebagian besar digunakan untuk lahan
sawah beririgasi teknis dengan luasan sebesar 39,26%, selebihnya digunakan untuk lahan
sawah beririgasi setengah teknis, lahan sawah beririgasi sederhana, lahan sawah beririgasi
desa/non PU, sawah tadah hujan dan lainnya. Sedangkan lahan bukan sawah digunakan
untuk berbagai peruntukan yaitu tegal/kebun, ladang/huma, padang rumput, bangunan/
pekarangan, dan lahan yang tidak diusahakan.

Dampak Konversi Lahan Pertanian


Laju Konversi Lahan
Dalam sepuluh tahun terakhir, secara umum lahan sawah di Jawa Tengah mengalami
penyempitan dengan variasi dari tahun ke tahun akibat konversi ke penggunaan lain. Dari
luas 1.002.236 ha pada tahun 1999, lahan sawah menyempit seluas 11.654 ha menjadi
990.652 ha pada tahun 2008 dengan laju konversi rata-rata 1.930 ha/tahun (Gambar
1). Konversi lahan sawah tercepat terjadi pada tahun 1999–2000 dengan laju 4.298 ha
per tahun, sedangkan laju konversi lahan terendah terjadi pada tahun 2007–2008 dengan
laju 172 ha/tahun. Lahan sawah umumnya dikonversi untuk bangunan baik perumahan
maupun sarana industri, sebagian lain dikonversi untuk penggunaan lainnya seperti jalan.
Luas areal untuk penggunaan bangunan/pekarangan relatif meningkat dari tahun 1999
hingga 2006.

151
KONVERSI LAHAN

1004 590
1002
580
1000

Luas Bangunan (x 1.000 ha)


Luas Sawah (x 1.000 ha)

998 570
996 560
994
992 550
990 540
988 Sawah
530
986
984 520
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Gambar 1. Penurunan luas lahan sawah dari tahun 1999 sampai dengan 2008
Sumber: BPS Provinsi Jawa Tengah

Perubahan penggunaan lahan lebih nyata terlihat di wilayah perkotaan karena pesatnya
proses pembangunan terutama pada sektor ekonomi. Penggunaan lahan untuk kawasan
industri, pemukiman, dan jalan merupakan yang dominan dalam perubahannya. Konversi
lahan sawah dan lahan pertanian lainnya terjadi relatif cepat sehingga lahan pertanian
mengalami penyusutan. Pada Gambar 2 disajikan penggunaan lahan di DAS Garang
yang berada di wilayah kabupaten dan kota Semarang tahun 1939, 1988, dan 2000. Dari
kawasan pantai hingga hulu DAS Garang yang luasnya 20.080 ha, perubahan penggunaan
lahan terlihat secara nyata. Secara rinci perubahan penggunaan lahan di wilayah tersebut
diilustrasikan pada Gambar 3.
Di wilayah pantai, dari tahun 1939 hingga 2000, perubahan garis pantai dan
terganggunya wilayah ini jelas terlihat sebagai pengaruh proses abrasi akibat perkembangan
pesat areal pemukiman dan terganggunya lingkungan akibat aktivitas masyarakat yang
sangat tinggi. Demikian pula halnya di wilayah hulu hingga hilir DAS Garang, perubahan
penggunaan lahan khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian menunjukkan laju
yang relatif cepat. Perkembangan sektor ekonomi ditunjukkan oleh berkembangnya
kawasan industri, perumahan dan jalan serta infrastruktur lain yang membutuhkan lahan.
Menurut Puslitbangtanak (2001), akibat konversi lahan, areal sawah berkurang 10 ha/
tahun, dan perkembangan wilayah perkotaan menyita lahan 50 ha/tahun dan kawasan
industri 2 ha/tahun.

152
DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH

Gambar 2. Penggunaan lahan wilayah DAS Garang Kabupaten dan Kota Semarang tahun
1939, 1988, dan 2000
Sumber: Puslitbangtanak (2001)

153
KONVERSI LAHAN

1939-1988

1988-2000

Gambar 3. Konversi lahan pertanian di wilayah DAS Garang, kabupaten/kota Semarang


Sumber: Puslitbangtanak (2001)

154
DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH

Dampak Konversi Lahan Pertanian


Dampak langsung dari konversi lahan pertanian adalah berkurangnya luas areal tanam
dan panen khususnya tanaman pangan, karena sebagian besar lahan yang dikonversi
adalah lahan sawah yang seharusnya menjadi tumpuan proses produksi pangan. Yang lebih
memprihatinkan adalah bahwa sasaran lahan yang dikonversi adalah lahan-lahan pertanian
dengan produktivitas yang relatif tinggi. Pada sisi lain, kondisi ini tidak diimbangi dengan
laju ekstensifikasi yang memadai, sehingga pengurangan luas lahan pertanian berlangsung
secara terus menerus dalam waktu yang relatif cepat.
Dampak lain dari konversi lahan antara lain adalah (a) berkurangnya lahan pertanian
produktif, (b) menurunnya produksi dan produktivitas tanaman (khususnya tanaman
pangan), (c) terganggunya potensi dan ketersediaan sumber daya air, (d) ketahanan pangan
dalam jangka panjang. Dalam banyak kasus, konversi lahan selalu terjadi pada kawasan
lahan kelas I dengan produktivitas tinggi, terutama di kawasan sekitar perkotaan sebagai
dampak dari perkembangan dan perluasan kota. Sebagai akibat dari hilangnya sebagian
besar lahan produktif, proses produksi tanaman pangan khususnya, terganggu dan berujung
pada menurunnya produksi dan produktivitas tanaman pangan. Konversi lahan juga
sering berdampak buruk terhadap kawasan-kawasan tangkapan air dan kelestarian sumber
daya air, menyebabkan ketersediaan air khususnya untuk proses produksi tanaman pangan
terganggu baik kuantitas maupun kualitasnya. Dalam kondisi seperti ini, keberlanjutan
ketahanan pangan terancam.

Pengendalian Konversi Lahan


Pengendalian konversi lahan dilakukan dengan berbagai pendekatan, beberapa
di antaranya adalah melalui (a) perencanaan penggunaan lahan, dan (b) kebijakan
penggunaan lahan. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang pada saat ini sering
dikesampingkan dalam setiap perencanaan pembangunan, pada masa yang akan datang
harus diimplementasikan dengan konsisten. Peran pemerintah daerah dan pusat sangat
strategis dalam menetapkan kebijakan penggunaan lahan dan pengendalian konversi
lahan.

Perencanaan Penggunaan Lahan


Perencanaan penggunaan lahan dilakukan di kabupaten/kota atau provinsi didasarkan
pada perubahan penggunaan lahan sebelumnya dan arah pembangunan. Hal ini sangat
penting untuk memberikan gambaran ketersediaan lahan sawah saat ini yang masih dapat
digunakan untuk proses produksi pangan (padi, jagung, kedelai, ubi jalar, dan lain-lain).
Pada sisi lain, perencenaan tersebut sekaligus mengontrol konversi lahan. Pada Tabel 2
disajikan data konversi lahan sawah, penambahan areal sawah, dan perimbangannya di Jawa
Tengah. Meskipun masih lebih rendah dari Jawa dan Bali serta nasional, konversi lahan

155
KONVERSI LAHAN

sudah mendekati 39%. Kondisi ini menunjukkan bahwa konversi lahan sulit dicegah tetapi
masih memungkinkan untuk dikendalikan (Agus dan Irawan 2006). Perencanaan konversi
lahan yang lamban akan menyebabkan pengembang tidak tertarik untuk memanfaatkan
lahan, sebaliknya konversi lahan yang cepat akan terus menstimulasi terjadinya konversi
lahan. Jika 39% lahan sawah di Jawa Tengah dikonversi untuk penggunaan selain pertanian,
kondisi ini akan sangat mengancam ketahanan pangan.
Tabel 2. Perencanaan spasial sawah beririgasi dalam hubungannya dengan konversi lahan
di Jawa Tengah
Sawah Tadah
Total Sawah
Hujan Sawah Beririgasi Perencanaan Spasial Sawah Beririgasi
Provinsi Konversi Dipertahankan
ha % ha % ha % ha % ha %
Jawa Tengah 1.124.940 12,64 331.910 20,89 793.030 10,84 310.410 39,14 482.620 60,86
Jawa dan
Bali 3.933.370 44,18 442.120 34,13 3.391.250 46,36 1.669.600 49,23 1.721.650 50,77
Indonesia 8.903.220 100,00 1.488.480 17,84 7.314.740 82,16 3.099.020 42,37 4.215.740 57,63
Sumber: Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (2004) dalam Winoto (2005) dengan
modifikasi

Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan


Konversi lahan akan selalu terjadi, karena perkembangan pesat pembangunan sektor
ekonomi yang menyita potensi dan ketersediaan lahan. Selain melalui perencanaan
penggunaan lahan yang tepat, kebijakan pengendalian konversi lahan merupakan alternatif
yang dapat dilakukan. Kebijakan yang langsung melalui regulasi tata ruang yang mengatur
penggunaan dan pemanfaatan lahan merupakan yang utama, namun demikian masih
diperlukan alternatif lain dari kebijakan yang mampu memfasilitasi terimplementasikannya
pengendalian konversi lahan secara berkelanjutan. Menurut Pasandaran (2006),
alternatif kebijakan pengendalian konversi lahan pada lahan sawah beririgasi yang dapat
diimplementasikan antara lain adalah kebijakan pengendalian melalui otoritas sentral,
pemberian insentif terhadap perluasan sawah baru dan pemilik sawah beririgasi yang
perlu dilindungi, dan membangun kemampuan kolektif masyarakat tani setempat dalam
mengendalikan konversi lahan sawah. Lebih jauh dikemukakan bahwa model kebijakan
yang terakhir apabila difasilitasi dengan baik dapat memperkuat kapital sosial yang ada
pada masyarakat karena munculnya rasa kebersamaan identitas dan kepemilikan.
Penerapan UU lahan pertanian pangan berkelanjutan diimplementasikan sebagai
upaya untuk mengendalikan konversi lahan sawah dan mendukung ketahanan pangan
daerah maupun nasional. RTRW Provinsi Jawa Tengah menetapkan bahwa 983.598 ha
atau 93% dari luas lahan sawah keseluruhan (1.054.903 ha berdasarkan data tahun 2008)
tetap dipertahankan sebagai lahan pertanian berkelanjutan. Sementara itu, sebesar 20.055

156
DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH

ha (2%) lahan sawah dapat dialihfungsikan dengan syarat dan 42.448 ha (4%) sisanya
boleh dialihfungsikan.

Ketahanan Pangan Berkelanjutan


Untuk mendukung ketahanan pangan di Jawa Tengah, ketersediaan lahan sawah
khususnya untuk proses produksi padi sangat diperlukan. Jika konversi lahan berlangsung
cepat, keberlanjutan proses produksi padi terganggu dan bukan tidak mungkin akan
menggoyahkan ketahanan pangan. Konversi lahan harus terkendali pada tingkat yang
masih diperbolehkan untuk mendukung ketahanan pangan berkelanjutan.
Data lima tahun terakhir (2005–2009), BPS mencatat produksi padi meningkat
dari 8,42 juta ton pada tahun 2005 meningkat menjadi 9,33 juta ton pada tahun 2009,
produksi jagung meningkat dari 2,19 juta ton tahun 2005 menjadi 2,80 juta ton pada
tahun 2009, ubi kayu meningkat dari 3,48 juta ton tahun 2005 menjadi 3,55 juta ton
pada tahun berikutnya kemudian cenderung menurun dari tahun ke tahun hingga tahun
2009. Produksi ubi jalar umumnya lebih rendah dari produksi sumber bahan pangan padi,
jagung dan ubi kayu, dan produksinya lebih rendah dari Provinsi Jawa Barat (Tabel 3).
Tabel 3. Produksi padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar di Jawa Tengah tahun 2005–
2009
Produksi (ton)
Komoditas
2005 2006 2007 2008 2009
Padi 8.424.096 8.729.291 8.616.855 9.136.405 9.326.123
Jagung 2.191.258 1.856.023 2.233.992 2.679.914 2.796.274
Ubi Kayu 3.478.970 3.553.820 3.410.469 3.325.099 3.369.046
Ubi Jalar 144.598 123.485 143.364 117.159 119.670
Sumber: BPS

Produksi bahan pangan dari ubi kayu dan ubi jalar cenderung menurun dalam 5
tahun terakhir (2005–2009), sebaliknya produksi padi dan jagung cenderung meningkat.
Kondisi ini menunjukkan bahwa intensifikasi tanaman pangan yang mengintroduksikan
inovasi teknologi budi daya masih prioritas pada padi dan jagung, dan relatif kurang pada
ubi kayu dan ubi jalar. Ketersediaan beras tahun 2010 sebagai bahan pangan telah melebihi
(surplus) 2,9 juta ton. Hal ini disebabkan produksi padi meningkat setiap tahunnya. Dari
target produksi 9.733.950 ton GKG, data ARAM III menunjukkan realisasi produksi
mencapai 10.078.084 ton GKG.

157
KONVERSI LAHAN

Konversi dan Ekstensifikasi Lahan Sawah


Agus dan Irawan (2006) menganalisis hubungan antara maksimum laju konversi
lahan yang diperbolehkan dengan laju ekstensifikasi sawah untuk mempertahankan
keberlanjutan swasembada pangan (Gambar 4). Sebagai gambaran, jika pencetakan sawah
di suatu wilayah seluas 50.000 ha/tahun, maksimum konversi yang diperbolehkan harus
tidak melebihi 50.000 ha/tahun. Jika konversi lahan sawah dapat dikurangi menjadi
75.000 ha th-1, masih diperlukan ekstensifikasi sekurang-kurangnya 100,000 ha th-1 dari
sekarang sampai tahun 2025.
400000
y = 2.196x - 64212
350000
Ekstensifikasi (ha/tahun)

300000

250000

200000

150000

100000

50000

0
0 50000 100000 150000 200000

Maksimum konversi yang diperbolehkan (ha/tahun)

Gambar 4. Hubungan antara maksimum konversi lahan yang diperbolehkan dengan


ekstensifikasi untuk swasembada beras berkelanjutan
Sumber: Agus and Irawan (2006)

Pada awalnya, perluasan areal (ekstensifikasi) untuk sawah di Jawa (termasuk Jawa
Tengah) umumnya dilakukan oleh petani, pemerintah memfasilitasi upaya tersebut sejak
era 1980-an. Namun, fasilitasi pemerintah saat ini dan ke depan tampaknya menurun dan
akan menurunkan laju ekstensifikasi. Upaya untuk mengontrol laju konversi yang semakin
cepat harus dilakukan dan ini harus disadari masyarakat bahwa laju konversi yang tidak
terkontrol akan mengancam ketahanan pangan. Kondisi ini menuntut pemerintah untuk
menetapkan maksimum konversi lahan sawah yang masih diperbolehkan, agar konversi
lahan dapat dikontrol dan ketahanan pangan dapat dipertahankan.

158
DAMPAK DAN STRATEGI PENGENDALIAN KONVERSI LAHAN UNTUK KETAHANAN PANGAN DI JAWA TENGAH

Penutup
Konversi lahan pertanian produktif di Jawa Tengah terus berlangsung dengan laju
yang cenderung meningkat. Dari luas 1.002.236 ha pada tahun 1999, lahan sawah
menyempit seluas 11.654 ha menjadi 990.652 ha pada tahun 2008 dengan laju konversi
rata-rata 1.930 ha/tahun. Meskipun produksi pangan terutama padi dan jangung masih
cenderung meningkat dalam 5 tahun terakhir (2005–2009), konversi lahan relatif belum
mengganggu produksi kedua komoditas tersebut. Peningkatan produksi tersebut terjadi
lebih diakibatkan oleh intervensi upaya intensifikasi daripada ekstensifikasi. Namun,
ketidak seimbangan antara perluasan areal lahan pertanian khususnya sawah dengan laju
konversi lahan pada saat tertentu akan mengganggu proses produksi bahan pangan dan
ketahanan pangan di Jawa Tengah.
Meski sulit dicegah, konversi lahan masih memungkinkan untuk dikendalikan pada
tingkat yang masih diperbolehkan.Di Jawa Tengah, luas lahan yang dikonversi, 310.410
ha (39,14%) masih pada tingkat yang lebih rendah dari yang dipertahankan, 482.620
ha (60,86%). Perimbangan laju konversi dengan laju ekstensifikasi lahan sawah harus
diwujudkan sebagai upaya kontrol terhadap ketersediaan lahan untuk proses produksi
pangan. Menurut Fahmudin Agus dan Irawan (2006), maksimum konversi lahan yang
diperbolehkan harus diimbangi dengan ekstensifikasi yang tepat untuk swasembada beras
berkelanjutan.

Daftar Pustaka
Agus F, Mulyani A. 2005. Judicious use of land resources for sustaining Indonesian rice
self-sufficiency. Presented at International Rice Conference 12-14 September,
Denpasar, Bali, Indonesia.Agus F and Irawan. 2006. Agricultural land conversion as
a threat to food security and environmental quality. Seminar Multifungsi Pertanian
(Multifuctionality of Agriculture), Bogor 27–28 Juni 2006.
BPS Provinsi Jawa Tengah. 2009. Jawa Tengah dalam Angka 2009. Semarang: BPS.
Pasandaran E. 2006. Alternatif kebijakan pengendalian konversi lahan sawah beririgasi
di indonesia. Seminar Multifungsi Pertanian (Multifuctionility of Agricultuture),
Bogor 27–28 Juni 2006.
Puslitbangtanak. 2001. Environmental and Economic Functions of Paddy Field (Sawah)
in Case Watersheds in Java. Bogor: Puslitbangtanak.
Wahyunto, Abidin Z, Priyono A, Sunaryo. 2001. Landuse Change in Citarik Watershed
West Java and Garang Watershed Central Java. In Proceedings National Seminar on
the Multifunction of Paddy Fields. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Bogor. (In Indonesian). pp 39–63.

159

Anda mungkin juga menyukai