Anda di halaman 1dari 20

24

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Laju dan Pola Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tangerang


5.1.1. Laju Konversi Lahan di Kabupaten Tangerang
Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang dikelompokkan menjadi
lima kelas berdasarkan data citra Landsat TM dan ETM+, yaitu lahan terbangun,
tanaman pangan lahan kering (TPLK), tanaman pangan lahan basah (TPLB),
badan air, dan tambak. Penggunaan lahan cenderung mengalami perubahan luas
setiap tahunnya. Beberapa penggunaan lahan mengalami penurunan luas dan
sebaliknya beberapa penggunaan lahan lainnya mengalami peningkatan luas, serta
ada juga penggunaan lahan yang cenderung tetap luasnya. Luas tiap penggunaan
lahan di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 dan tahun 2007 disajikan pada
Tabel 8.
Tabel 8. Luas Setiap Penggunaan Lahan di Kabupaten Tangerang pada Tahun
1997 dan Tahun 2007.
Luas (ha) Laju
Penggunaan Perubahan Pertumbuhan
1997 2007
Lahan (ha) per tahun
Badan air 240,51 240,51 0 0
Lahan terbangun 10.685,34 34.776,60 24.091,26 22,5%
Tambak 6.053,03 6.053,03 0 0
TPLB 60.297,66 49.078,91 -11.218,75 -1,9%
TPLK 41.374,11 28.501,60 -12.872,51 -3,1%
Lahan Pertanian
101.671,77 77.580,51 -24.091,26 -2,4%
(TPLB & TPLK)

Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997


didominasi oleh lahan pertanian. Lahan pertanian terdiri dari tanaman pangan
lahan basah (TPLB) seluas 60.297,66 ha dan tanaman pangan lahan kering
(TPLK) seluas 41.374,11 ha. Pada tahun 2007, luas lahan pertanian mengalami
penurunan sebesar 11.218,75 ha untuk TPLB dan sebesar 12.872,51 ha untuk
TPLK. Penurunan luas lahan pertanian tersebut disebabkan oleh adanya konversi
lahan pertanian ke penggunaan lahan lainnya.
25

Laju konversi lahan pertanian (TPLB dan TPLK) di Kabupaten


Tangerang secara keseluruhan sebesar 2,4 persen per tahun dengan penurunan
luas sebesar 2.409,13 ha per tahun. Konversi lahan TPLB terjadi sebesar 1.121,88
ha per tahunnya dengan laju konversi sebesar 1,9 persen per tahun. Lahan TPLK
mengalami penurunan luas sebesar 1.287,25 ha per tahun dengan laju konversi
sebesar 3,1 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa konversi lahan terjadi
lebih besar pada lahan TPLK bila dibandingkan dengan lahan TPLB.
Penggunaan lahan terbangun di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997
seluas 10.685,34 ha. Lahan terbangun meliputi kawasan pemukiman, kawasan
industri dan kawasan perkotaan. Lahan terbangun mengalami penambahan luas
sebesar 24.091,26 ha pada tahun 2007 dengan laju sebesar 22,5 persen per tahun.
Penambahan luas lahan terbangun di Kabupaten Tangerang diikuti dengan adanya
penurunan luas lahan pertanian. Hal ini menunjukkan adanya konversi lahan
pertanian menjadi lahan terbangun.
Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang yang cenderung tidak
mengalami perubahan adalah badan air dan tambak. Luas badan air dan tambak
tidak mengalami perubahan pada tahun 1997 dan tahun 2007.
Pengecekan lapang dilakukan untuk mengetahui suatu penggunaan
lahan yang sebenarnya di lapang. Titik-titik hasil pengecekan lapang disajikan
pada Tabel Lampiran 1. Contoh penggunaan lahan untuk lahan pertanian berupa
TPLB di Kabupaten Tangerang disajikan pada Gambar 3. TPLB yang ditemui di
Kecamatan Kresek ditampilkan pada Gambar 3a, sedangkan TPLB di daerah
Pakuhaji disajikan pada Gambar 3b.

a. Kresek (106,38;-6,13) b. Pakuhaji (106,62;-6,06)


Gambar 3. Penggunaan Lahan TPLB di Kecamatan Kresek dan Pakuhaji.
26

Tanaman Pangan Lahan Kering (TPLK) merupakan salah satu


penggunaan lahan yang mendominasi di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997.
Contoh foto hasil pengecekkan lapang yang menunjukkan penggunaan lahan
TPLK disajikan pada Gambar 4. Gambar 4a menyajikan contoh penggunaan lahan
sebagai TPLK di Kecamatan Tigaraksa, sedangkan Gambar 4b merupakan TPLK
di daerah Pondok Aren.

a. Tigaraksa (106,48;-6,27) b. Pondok Aren (106,69;-6,28)


Gambar 4. Penggunaan Lahan TPLK di Kecamatan Tigaraksa dan Pondok Aren.

Gambar 5 menyajikan contoh penggunaan lahan sebagai lahan


terbangun yang diperoleh dari hasil pengecekan lapang. Gambar 5a merupakan
gambar kawasan industri dan pergudangan Cikupamas yang terletak di
Kecamatan Cikupa, sedangkan kawasan industri Pasar Kemis disajikan pada
gambar 5b.

a. Cikupa (106,50;-6,22) b. Pasar Kemis (106,53;-6,18)


Gambar 5. Penggunaan Lahan untuk Lahan Terbangun di Kawasan Industri
Cikupa dan Kawasan Industri Pasar Kemis.
27

Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang yang cenderung tidak


mengalami perubahan, yaitu badan air dan tambak. Contoh kedua penggunaan
lahan tersebut disajikan pada Gambar 6. Gambar 6a menunjukkan contoh badan
air berupa sungai di Kecamatan Serpong, sedangkan Gambar 6b menunjukkan
contoh penggunaan lahan tambak yang terdapat di Kecamatan Kronjo.

a. Serpong (106,65;-6,35) b. Kronjo (106,43;-6,05)


Gambar 6. Penggunaan Lahan Badan Air di Kecamatan Serpong dan Tambak di
Kecamatan Kronjo.

Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang yang dikelompokkan ke


dalam lima kelas (TPLB, TPLK, lahan terbangun, badan air, dan tambak) dapat
dilihat secara visual pada Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Tangerang pada
tahun 1997 dan tahun 2007 (Gambar 7). Pada Gambar 7 terlihat adanya perubahan
penggunaan lahan antara tahun 1997 dan 2007. Perubahan penggunaan lahan
terlihat nyata dengan adanya penambahan warna merah (lahan terbangun) pada
tahun 2007.
28

Gambar 7. Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Tangerang Tahun 1997 dan 2007
29

5.1.2 Pola Konversi Lahan Pertanian di Kabupaten Tangerang


Penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang mengalami perubahan luas
selama kurun waktu 1997 hingga 2007. Perubahan luas penggunaan lahan tersebut
disebabkan oleh konversi dari penggunaan lahan yang satu ke penggunaan lahan
yang lainnya. Konversi ini mengakibatkan terjadinya penambahan luas pada suatu
penggunaan lahan dan penurunan luas untuk penggunaan lainnya. Konversi lahan
yang terjadi di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 sampai tahun 2007
memiliki pola seperti disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Pola Konversi Lahan di Kabupaten Tangerang
Penggunaan Penggunaan lahan 2007 (ha)
lahan 1997 Badan Lahan JUMLAH
(ha) air terbangun Tambak TPLB TPLK
Badan air 240,51 240,51
Lahan terbangun 10.685,34 10.685,34
Tambak 6.053,03 6.053,03
TPLB 10.880,10 49.078,91 338,65 60.297,66
TPLK 13.211,16 28.162,95 41.374,11
JUMLAH 240,51 34.776,60 6.053,03 49.078,91 28.501,60 118.650,65

Konversi penggunaan lahan terbesar terdapat pada lahan pertanian yang


meliputi tanaman pangan lahan basah (TPLB) dan tanaman pangan lahan kering
(TPLK). Dalam kurun waktu 1997 sampai 2007, TPLB terkonversi menjadi lahan
terbangun seluas 10.880,10 ha dan menjadi TPLK seluas 338,65 ha. Lahan TPLK
mengalami penurunan luas karena terkonversi menjadi lahan terbangun sebesar
13.211,16 ha. Selain terkonversi menjadi penggunaan lahan yang lain, TPLK juga
mengalami penambahan luas yang berasal dari penggunaan lahan lain yang
menjadi TPLK, yaitu dari konversi lahan TPLB sebesar 338,65 ha. Hasil
penelitian Sitorus, Sehani, dan Panuju (2007) menunjukkan bahwa nilai land rent
sebanding dengan kecenderungan perubahan penggunaan lahan. Diduga bahwa
rendahnya nilai land rent padi (TPLB) dibandingkan nilai land rent lahan
palawija (TPLK) di Kabupaten Tangerang menyebabkan terjadinya perubahan
penggunaan lahan dari TPLB ke TPLK.
Lahan pertanian di Kabupaten Tangerang secara keseluruhan
mengalami penurunan luas dari tahun 1997 sampai 2007. Penurunan luas lahan
30

pertanian diikuti dengan dengan peningkatan luas lahan terbangun. Hal ini
menunjukkan terjadinya konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun.
Konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun (kawasan permukiman dan
kawasan industri) terjadi karena lahan pertanian memiliki nilai land rent yang
lebih rendah bila dibandingkan dengan lahan terbangun.
Menurut Rustiadi dan Wafda (2007b) konversi lahan pertanian
merupakan konsekuensi perluasan kota yang membutuhkan lahan untuk
pertumbuhan kota. Lahan pertanian meskipun lebih lestari kemampuannya dalam
menjamin kehidupan petani, tetapi hanya dapat memberikan sedikit keuntungan
material atau finansial dibandingkan sektor industri. Pertumbuhan ekonomi di
wilayah perkotaan yang berbasis sektor bukan-pertanian jauh melebihi
pertumbuhan ekonomi wilayah perdesaan yang berbasis pada sektor pertanian.
Akibatnya pada wilayah perkotaan terjadi peningkatan permintaan terhadap lahan
untuk keperluan sarana permukiman, industri maupun infrastruktur lainnya, yang
membutuhkan lahan dalam jumlah tidak sedikit, sehingga konversi lahan
pertanian ke penggunaan lainnya di perkotaan semakin luas.
Perubahan penggunaan lahan per kecamatan pada tahun 1997 dan 2007
di Kabupaten Tangerang disajikan pada Tabel 10. Dari tabel tersebut terlihat
bahwa perubahan penggunaan lahan yang terbesar terjadi pada penggunaan lahan
pertanian (TPLB dan TPLK) yang menjadi lahan terbangun. Kecamatan yang
mengalami konversi lahan TPLB terbesar yaitu Kecamatan Pasar Kemis, yang
diikuti oleh Kecamatan Kosambi, Sepatan, Rajeg dan Curug, sedangkan konversi
lahan TPLK terbesar dijumpai berturut-turut di Kecamatan Serpong, Cikupa,
Pondok Aren, Ciputat dan Pamulang. Kecamatan-kecamatan tersebut sebagian
berbatasan dengan Kota Tangerang, sedangkan sisanya berbatasan dengan Kota
Jakarta. Berdasarkan lokasi tersebut, konversi lahan yang terjadi diduga
merupakan pengaruh perluasan kegiatan ekonomi Kota Tangerang dan Kota
Jakarta.
31

Tabel 10. Perubahan Penggunaan Lahan per Kecamatan tahun 1997 dan 2007 di
Kabupaten Tangerang
Perubahan Penggunaan Lahan (ha)
Kecamatan TPLB TPLB TPLK
- - -
Lahan terbangun TPLK Lahan terbangun
Cisoka 233,41 - 239,91
Tigaraksa 535,04 - 277,10
Cikupa 616,34 - 2.093,83
Legok 536,56 78,07 868,51
Serpong 244,33 113,48 4.318,12
Ciputat 140,68 74,73 1.277,48
Pondok Aren 20,07 13,73 1.409,35
Curug 1.051,47 19,50 761,49
Pasar Kemis 1.632,13 38,48 62,84
Balaraja 692,54 - 798,09
Kresek 87,35 - -
Kronjo 72,15 - -
Mauk 522,90 - -
Rajeg 1.151,61 - -
Sepatan 1.225,67 - -
Teluknaga 423,60 - -
Pamulang 29,26 0,66 1.104,44
Pakuhaji 421,24 - -
Kosambi 1.243,76 - -
Kabupaten Tangerang 10.880,10 338,65 13.211,16

Perubahan penggunaan lahan pada tahun 1997 dan 2007 di Kabupaten


Tangerang secara visual disajikan pada Peta Perubahan Penggunaan Lahan
Kabupaten Tangerang 1997-2007 (Gambar 8). Gambar 8 menunjukkan sebaran
perubahan penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang yang didominasi oleh
konversi lahan pertanian (TPLB dan TPLK) menjadi lahan terbangun.
Gambar 8 menunjukkan adanya pola konsentris pada perubahan
penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang. Pola tersebut dipengaruhi oleh jarak
terhadap pusat kegiatan, yaitu DKI Jakarta dan Kota Tangerang. Selain jarak
terhadap pusat kegiatan, jaringan jalan diduga juga mempengaruhi pola perubahan
penggunaan lahan di Kabupaten Tangerang. Hal ini terlihat pada pola memanjang
32

perubahan penggunaan lahan dari arah timur ke barat di bagian tengah Kabupaten
Tangerang yang dilalui Jalan Tol Nasonal Jakarta – Merak.

Gambar 8. Peta Perubahan Penggunaan Lahan Kabupaten Tangerang Tahun


1997-2007

5.2. Laju Pertumbuhan Kepadatan Penduduk, Laju Pertumbuhan Ekonomi,


dan Perkembangan Wilayah Kabupaten Tangerang
5.2.1 Laju Pertumbuhan Kepadatan Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Tangerang meningkat dari tahun ke tahun.
Salah satu penyebab peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Tangerang
adalah banyaknya penduduk yang mulai beralih dari Jakarta ke daerah sekitar
Jakarta, termasuk Kabupaten Tangerang. Perpindahan penduduk ini disebabkan
oleh Kota Jakarta yang tidak mampu lagi menampung peningkatan jumlah
penduduk. Penduduk tersebut ada yang bermukim (tinggal tetap) di Kabupaten
Tangerang atau menjadi penglaju (commuter) untuk bekerja di kota Jakarta.
Peningkatan jumlah penduduk dari tahun 1997 sampai 2007 disajikan pada
Gambar 9.
33

Model Pertumbuhan Jumlah Penduduk di Kabupaten Tangerang


y=23582E2+exp(12.4535+(.135879)*x); R 2= 0.992
3.8E6

3.6E6

3.4E6
kududneP halmuJ

3.2E6

3E6

2.8E6

2.6E6

2.4E6
0 2 4 6 8 10 12

Tahun (1=1997)

Gambar 9. Grafik Jumlah Penduduk dan Model Pertumbuhan Jumlah Penduduk


Kabupaten Tangerang Tahun 1997-2007
Grafik tersebut menunjukkan jumlah penduduk Kabupaten Tangerang
yang terus meningkat dari tahun 1997 sampai tahun 2007. Data jumlah penduduk
diperoleh dari data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik
Kabupaten Tangerang. Jumlah penduduk tahun 1998 dan tahun 1999 tidak dapat
disajikan karena tidak tersedianya data. Peningkatan jumlah penduduk terlihat
sangat jelas dari tahun 1997 yang semula berjumlah 2.680.100 jiwa menjadi
3.473.271 pada tahun 2007 dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 3 persen
per tahun.
Pola pertumbuhan jumlah penduduk Kabupaten Tangerang mendekati
model eksponensial dengan asumsi persen laju pertumbuhan berubah-ubah.
Model eksponensial pertumbuhan jumlah penduduk Kabupaten Tangerang
tersebut memiliki nilai R-square sebesar 0,992. Nilai R-square yang semakin
mendekati 1 menunjukkan model tersebut relatif menggambarkan kondisi
sebenarnya dari pertumbuhan jumlah penduduk di Kabupaten Tangerang.
Peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Tangerang secara langsung
mempengaruhi peningkatan kepadatan penduduk. Hal ini disebabkan oleh
peningkatan jumlah penduduk yang tidak disertai dengan penambahan luas
wilayah Kabupaten Tangerang. Gambar 10 menyajikan kepadatan penduduk
34

(jiwa/km2) per kecamatan di Kabupaten Tangerang pada tahun 1997 dan tahun
2007.

10000
Kepadatan Penduduk 9000
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000 1997
1000
2007
0
Ciputat

Serpong

Pakuhaji

Mauk
Rajeg
Cikupa

Balaraja
Teluknaga

Sepatan

Legok
Curug

Cisoka
Tigaraksa

Kronjo
Kosambi

Pasar Kemis

Kresek
Pondok Aren

Pamulang

Kecamatan

Gambar 10. Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) per Kecamatan di Kabupaten


Tangerang pada Tahun 1997 dan Tahun 2007 (Tangerang dalam
Angka 1997).

Gambar 10 menunjukkan grafik kepadatan penduduk setiap kecamatan


di Kabupaten Tangerang mulai dari yang terdekat sampai yang terjauh dari DKI
Jakarta. Pada grafik tersebut secara umum terlihat adanya pola keterkaitan yang
terbentuk antara kepadatan penduduk dengan jarak ke DKI Jakarta. Semakin
dekat dengan DKI Jakarta, kepadatan penduduk suatu kecamatan cenderung lebih
tinggi. Kepadatan penduduk tertinggi pada tahun 1997 dan tahun 2007 terdapat di
Kecamatan Ciputat, diikuti berturut-turut oleh Kecamatan Pamulang dan Pondok
Aren. Perluasan kegiatan-kegiatan ekonomi di Kota Jakarta menyebabkan banyak
penduduk mulai beralih ke daerah sekitar Jakarta, termasuk ke Kecamatan
Ciputat, Pamulang dan Pondok Aren. Kecamatan Kosambi merupakan salah satu
wilayah yang letaknya dekat dengan DKI Jakarta tetapi memiliki kepadatan
penduduk yang relatif rendah. Hal ini diduga disebabkan karena Kecamatan
Kosambi yang merupakan kawasan pergudangan sehingga kurang memiliki daya
tarik bagi penduduk untuk melakukan migrasi ke kecamatan ini. Kecamatan yang
memiliki kepadatan penduduk terendah pada tahun 1997 adalah Kecamatan
Pakuhaji yaitu sebesar 1.104 Jiwa/Km2. Kecamatan Kronjo dengan kepadatan
35

penduduk sebesar 1.374 Jiwa/Km2 merupakan kecamatan yang memiliki


kepadatan penduduk terendah pada tahun 2007.
Kepadatan penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Tangerang
memiliki laju pertumbuhan per tahun yang berbeda-beda. Gambar 11 menyajikan
laju pertumbuhan kepadatan penduduk per tahun setiap kecamatan di Kabupaten
Tangerang mulai dari yang terdekat sampai yang terjauh dari DKI Jakarta.

25
Laju Pertumbuhan Kepadatan

20

15
Penduduk

10

KRESEK
SERPONG

MAUK
CURUG

CISOKA
LEGOK
KOSAMBI
CIPUTAT
PAMULANG

RAJEG
PONDOK AREN

BALARAJA

KRONJO
SEPATAN

PASARKEMIS

CIKUPA

TIGARAKSA
TELUKNAGA

PAKUHAJI

Kecamatan

Gambar 11. Laju Pertumbuhan Kepadatan Penduduk per Tahun di Setiap


Kecamatan di Kabupaten Tangerang.

Gambar 11 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan kepadatan penduduk


di Kabupaten Tangerang tidak memiliki pola keterkaitan dengan jarak ke DKI
Jakarta. Berdasarkan Gambar 11, laju pertumbuhan kepadatan penduduk tertinggi
terjadi di Kecamatan Pasar Kamis sebesar 19 persen per tahun. Kecamatan Pasar
Kemis yang berkembang menjadi kawasan industri di Kabupaten Tangerang
merupakan faktor penarik bagi penduduk untuk melakukan migrasi ke kecamatan
ini. Kawasan industri pasti membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar.
Kemungkinan tenaga kerja yang berasal dari luar kawasan ini memilih untuk
bermukim (tinggal tetap) di Kecamatan Pasar Kemis, walaupun ada sebagian yang
memilih menjadi penglaju (commuter). Laju pertumbuhan kepadatan yang tinggi
juga terjadi di Kecamatan Sepatan, Curug, dan Pakuhaji yang juga merupakan
kawasan industri di Kabupaten Tangerang. Adapun laju pertumbuhan kepadatan
terendah terjadi di Kecamatan Kronjo, yaitu sebesar 0,2 persen per tahun.
36

5.2.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tangerang


Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Tangerang pada tahun 1997-
2007 dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten
Tangerang. Untuk melihat pertumbuhan ekonomi, PDRB dikelompokkan menjadi
empat sektor, yaitu: (1) sektor pertanian, (2) sektor pertambangan, (3) sektor
industri pengolahan dan (4) sektor jasa yang meliputi (a) sektor listrik, gas, dan air
bersih, (b) sektor bangunan, (c) sektor perdagangan, (d) sektor pengangkutan dan
komunikasi, (e) sektor keuangan, dan (f) sektor jasa-jasa. Keempat sektor usaha
tersebut memberikan kontribusi yang berbeda-beda bagi perekonomian
Kabupaten Tangerang. Gambar 12 menyajikan grafik proporsi (%) yang
menunjukkan besarnya dari kontribusi masing-masing sektor usaha.
60

50

40
Proporsi (%)

30 1997
2007
20

10

0
Pertanian PertambanganIndustri
Sektor UsahaPengolahan Jasa

Gambar 12. Proporsi Sektor Usaha dalam PDRB Tahun 1997 dan Tahun 2007
Kontribusi terbesar untuk PDRB pada tahun 1997 dan tahun 2007
diberikan oleh sektor industri pengolahan, yaitu sebesar 56,4 % dan 48,23 %. Hal
ini menunjukkan bahwa Kabupaten Tangerang tumbuh menjadi kawasan industri
sehingga sebagian besar pendapatan daerahnya disumbangkan oleh sektor
industri. Walaupun tetap sebagai sektor yang memberikan kontribusi terbesar
untuk PDRB Kabupaten Tangerang, proporsi sektor industri mengalami
penurunan sebesar 8,18 % dari tahun 1997 ke tahun 2007. Penurunan proporsi
sektor industri sejalan dengan peningkatan proporsi sektor jasa dalam PDRB
Kabupaten Tangerang, yaitu dari 33,60 % menjadi 42,96 %.
37

Sektor usaha yang kontribusinya menurun untuk PDRB adalah sektor


pertanian, yaitu dari 9,82 % menjadi 8,73 %. Penurunan kontribusi sektor
pertanian untuk PDRB disebabkan oleh adanya penurunan luas lahan pertanian di
Kabupaten Tangerang antara tahun 1997 dan tahun 2007, yaitu dengan laju
penurunan sebesar 2,4 % per tahun. Sektor pertambangan merupakan sektor usaha
yang memberikan kontribusi terkecil untuk PDRB Kabupaten Tangerang, yaitu
kurang dari 1 % baik untuk tahun 1997 maupun tahun 2007.
Gambar 13 menyajikan grafik yang menggambarkan laju pertumbuhan
sektor-sektor usaha PDRB Kabupaten Tangerang per tahun. Gambar 12
menunjukkan bahwa sektor pertanian, sektor industri pengolahan, dan sektor jasa
mengalami pertumbuhan. Sektor jasa merupakan sektor yang memiliki laju
pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 3,9 % per tahunnya. Laju pertumbuhan per
tahun sektor pertanian dan sektor industri secara berturut-turut, sebesar 0,6 % dan
0,9 % per tahun, sedangkan sektor pertambangan laju pertumbuhannya sebesar -
4,1 % per tahun atau mengalami penurunan.

0.050
0.040
0.030
Laju Pertumbuhan

0.020
0.010
0.000
-0.010 Pertanian Pertambangan Industri Jasa
-0.020 Pengolahan
-0.030
-0.040
-0.050
Sektor Usaha

Gambar 13. Laju Pertumbuhan Sektor Usaha per Tahun di Kabupaten Tangerang.

5.2.3 Perkembangan Wilayah Kabupaten Tangerang


Tingkat perkembangan wilayah di Kabupaten Tangerang dapat
diketahui dari hasil analisis skalogram. Tingkat perkembangan wilayah
dinyatakan dalam bentuk Hirarki, yaitu Hirarki I, Hirarki II, dan Hirarki III.
Hirarki I merupakan daerah yang paling berkembang, sedangkan Hirarki III
menunjukkan daerah yang kurang berkembang. Untuk melakukan analisis
38

skalogram, digunakan 31 variabel yang dikelompokkan ke dalam 8 indeks, yaitu


indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan, indeks fasilitas ekonomi,
indeks fasilitas sosial, indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks
aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, dan
indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan.
Hirarki suatu wilayah dipengaruhi oleh besarnya indeks perkembangan
wilayah tersebut. Semakin besar nilai indeks perkembangan suatu wilayah, maka
semakin berkembang pula suatu wilayah. Demikian pula sebaliknya, semakin
rendah nilai indeks perkembangan suatu wilayah, maka wilayah tersebut memiliki
tingkat perkembangan yang rendah. Untuk mengelompokkan suatu wilayah ke
dalam hirarki tertentu, diperlukan suatu kriteria. Kriteria pengelompokkan suatu
wilayah kedalam hirarki berdasarkan indeks perkembangannya disajikan pada
Tabel 11. Nilai indeks perkembangan setiap desa tahun 2003 dan 2006 secara
lengkap disajikan pada Tabel Lampiran 2 dan 3.
Tabel 11. Kriteria Pengelompokkan Hirarki Desa Tahun 2003 dan Tahun 2006.
Hirarki Kriteria Tahun 2003 Tahun 2006
I IP > rataan + 1.5 standar deviasi IP > 37,62 IP > 39,65
II IP ≥ rataan IP ≥ 20,02 IP ≥ 22,41
III IP < rataan IP < 20,02 IP < 22,41

Analisis skalogram dilakukan pada 328 desa di Kabupaten Tangerang.


Data yang dianalisis berupa data PODES 2003 dan 2006 karena tidak tersedianya
data PODES 1996. Pengelompokkan hirarki dilakukan berdasarkan kriteria yang
tercantum pada Tabel 11. Hasil analisis skalogram Kabupaten Tangerang pada
tahun 2003 dan tahun 2006 disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Hasil Analisis Skalogram Desa-desa di Kabupaten Tangerang Tahun
2003 dan 2006

Kecamatan Hirarki 2003 (%) Hirarki 2006 (%)


I II III I II III
Cisoka 5,88 29,41 64,71 5,88 35,29 58,82
Tigaraksa 4,17 41,67 54,17 8,33 29,17 62,50
Cikupa 9,09 36,36 54,55 4,55 31,82 63,64
Legok 4,17 20,83 75,00 4,17 29,17 66,67
Serpong 10,71 50,00 39,29 14,29 46,43 39,29
Ciputat 38,46 46,15 15,38 15,38 69,23 15,38
39

Tabel 12. (Lanjutan)

Kecamatan Hirarki 2003 (%) Hirarki 2006 (%)


I II III I II III
Pondok Aren 27,27 54,55 18,18 27,27 63,64 9,09
Curug 36,36 54,55 9,09 36,36 54,55 9,09
Pasar Kemis 0 40,00 60,00 0 60,00 40,00
Balaraja 12,00 24,00 64,00 12,00 36,00 52,00
Kresek 5,56 16,67 77,78 5,56 22,22 72,22
Kronjo 0 22,22 77,78 5,56 33,33 61,11
Mauk 3,70 14,81 81,48 3,70 14,81 81,48
Rajeg 0 14,29 85,71 7,14 7,14 85,71
Sepatan 6,25 18,75 75,00 6,25 18,75 75,00
Teluknaga 7,69 15,38 76,92 7,69 15,38 76,92
Pamulang 25,00 37,50 37,50 12,50 50,00 37,50
Pakuhaji 0 21,43 78,57 7,14 7,14 85,71
Kosambi 0 30,00 70,00 0 30,00 70,00
Kabupaten Tangerang 8,84 30,18 60,98 8,84 32,93 58,23

Berdasarkan Tabel 12, pada tahun 2003 sebagian besar desa (60,98%)
di Kabupaten Tangerang berhirarki III, sedangkan sisanya berhirarki II (30,18%)
dan berhirarki I (8,84%). Pada tahun 2006, terjadi peningkatan jumlah desa
berhirarki II dibandingkan tahun 2003. Sementara itu, presentase jumlah desa di
Kabupaten Tangerang yang berhirarki III berkurang dari 60,98 persen menjadi
58,23 persen dari periode 2003 ke 2006. Hal ini menunjukkan adanya
perkembangan di desa-desa tersebut. Adapun jumlah desa di Kabupaten
Tangerang yang berhirarki I secara keseluruhan tidak mengalami perubahan
(8,84%). Penyebaran desa-desa berhirarki I, II, dan III di Kabupaten Tangerang
pada tahun 2003 dan 2006 secara spasial disajikan pada Gambar 13.
40

Gambar 13. Peta Hirarki Wilayah Desa-desa di Kabupaten Tangerang tahun 2003
dan 2006
41

Perkembangan suatu wilayah ditandai dengan adanya penambahan


jumlah fasilitas-fasilitas atau semakin lengkapnya fasilitas di suatu wilayah.
Selain itu, kemudahan mencapai suatu fasilitas (aksesibilitas) yang dicirikan
dengan perkembangan jaringan jalan juga menggambarkan perkembangan suatu
wilayah. Pembangunan fasilitas dan jaringan jalan membutuhkan lahan. Jumlah
lahan yang terbatas menyebabkan terjadinya konversi lahan pertanian untuk
memenuhi kebutuhan lahan tersebut. Adanya perkembangan wilayah di
Kabupaten Tangerang diduga terkait dengan terjadinya konversi lahan pertanian
menjadi lahan bukan-pertanian di kabupaten tersebut.

5.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian


Konversi lahan pertanian yang terjadi di Kabupaten Tangerang pada
tahun 1997 sampai tahun 2007 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Analisis
penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di
Kabupaten Tangerang dilakukan dengan menggunakan teknik regresi bertatar
(stepwise regression). Variabel yang digunakan dalam stepwise regression
berjumlah 14 (empat belas variabel), yaitu satu variabel sebagai variabel tujuan
(Y) dan 13 (tiga belas) variabel sebagai variabel penduga (X) yang mempengaruhi
variabel tujuan. Nilai yang digunakan pada setiap variabel merupakan nilai laju
pertumbuhan per tahun dari setiap variabel. Hasil analisis regresi disajikan pada
Tabel 13 (hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel Lampiran 4).
Tabel 13. Hasil Analisis Regresi
Variabel Koefisien t p-level
Aksesibilitas pendidikan 0,24 1,94 0,08164
Aksesibilitas pemerintahan 0,23 2,66 0,02376
Aksesibilitas kesehatan -0,62 -5,64 0,00021
Fasilitas pendidikan 0,89 6,99 0,00004
Fasilitas ekonomi 0,26 3,37 0,00711
PDRB Sektor Pertanian 0,24 3,46 0,00613
PDRB Sektor Industri Pengolahan -0,41 -3,96 0,00270
PDRB Sektor Jasa -0,30 -4,12 0,00207
R-square (R2) 0,96
42

Persamaan regresi yang terdapat pada Tabel 13 memiliki nilai R-square


(R2) sebesar 0,96. Nilai R-square (R2) mendekati 1 menunjukkan bahwa
pemilihan variabel penduga sebagai variabel yang mempengaruhi variabel tujuan
relatif tepat. Faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kabupaten
Tangerang dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu (1) aksesibilitas ke suatu
fasilitas, (2) jumlah fasilitas, dan (3) PDRB. Berdasarkan Tabel 13, variabel
penduga yang berpengaruh sangat nyata (p-level < 0,05) yaitu aksesibilitas ke
pusat pemerintahan, PDRB sektor jasa, fasilitas pendidikan, aksesibilitas ke
fasilitas kesehatan, PDRB sektor pertanian, PDRB sektor industri pengolahan, dan
fasilitas ekonomi. Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan merupakan variabel yang
berpengaruh nyata (p-level < 0,1).
Seluruh variabel yang berperan nyata terhadap konversi lahan pertanian
secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok variabel, yaitu variabel
yang meningkatkan peluang terjadinya konversi lahan pertanian dan variabel yang
menurunkan peluang terjadinya konversi lahan pertanian. Variabel yang berperan
meningkatkan peluang konversi lahan pertanian ke penggunaan lainnya adalah
aksesibilitas ke pusat pemerintahan, fasilitas pendidikan, PDRB sektor pertanian,
fasilitas ekonomi, dan aksesibilitas ke fasilitas pendidikan. PDRB sektor jasa,
aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, dan PDRB sektor industri pengolahan
merupakan variabel yang menurunkan peluang terjadinya konversi lahan
pertanian.
PDRB sektor jasa dan sektor industri pengolahan memiliki koefisien
negatif pada persamaan regresi. Hal ini menunjukkan bahwa jika terjadi
peningkatan laju pertumbuhan dari PDRB sektor jasa dan sektor industri
pengolahan, maka laju pertumbuhan lahan pertanian akan menurun atau jumlah
konversi lahan pertanian di Kabupaten Tangerang akan semakin meningkat.
Lahan pertanian akan dikonversi menjadi lahan bukan-pertanian dalam rangka
memenuhi kebutuhan permintaan lahan untuk industri dan pemukiman.
Laju pertumbuhan PDRB sektor pertanian Kabupaten Tangerang
mempengaruhi laju pertumbuhan lahan pertanian di Kabupaten Tangerang. Jika
PDRB sektor pertanian mengalami petumbuhan maka lahan pertanian
kemungkinan tidak akan mengalami perubahan penggunaan lahan.
43

Konversi lahan pertanian juga dipengaruhi oleh fasilitas ekonomi,


fasilitas pendidikan, aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, aksesibilitas ke fasilitas
pendidikan dan aksesibilitas ke pusat pemerintahan. Aksesibilitas ke fasilitas
kesehatan memiliki koefisien negatif. Hal tersebut menunjukkan indikasi jika
aksesibilitas ke fasilitas kesehatan semakin mudah, maka jumlah lahan pertanian
akan semakin berkurang karena lahan pertanian tersebut memiliki kemungkinan
dikonversikan untuk keperluan pembangunan jalan.
Fasilitas pendidikan, fasilitas ekonomi, aksesibilitas ke fasilitas
pendidikan dan aksesibilitas ke pusat pemerintahan berperan positif. Peningkatan
jumlah fasilitas pendidikan dan fasililitas ekonomi mempengaruhi terjadinya
konversi lahan. Akan tetapi, peningkatan jumlah fasilitas pendidikan dan fasilitas
ekonomi ini tidak mengurangi luas lahan pertanian di Kabupaten Tangerang. Hal
tersebut bisa terjadi karena kemungkinan fasilitas pendidikan dan fasilitas
ekonomi dibangun di area yang memang bukan lahan pertanian atau dengan kata
lain fasilitas-fasilitas tersebut dibangun di area lahan terbangun, misalnya di
kawasan perkotaan atau kawasan pemukiman.
Sama halnya seperti fasilitas pendidikan dan fasilitas ekonomi,
aksesibilitas ke fasilitas pendidikan dan aksesibilitas ke pusat pemerintahan juga
berperan positif. Kemudahan mencapai suatu fasilitas pendidikan atau pusat
pemerintahan mempengaruhi konversi lahan. Tetapi, tidak terjadi pengurangan
luas penggunaan lahan pertanian akibat semakin mudahnya fasilitas pendidikan
dan pusat pemerintahan dicapai. Hal ini mungkin disebabkan pembangunan
infrastruktur jalan menuju fasilitas pendidikan dilakukan area lahan yang sudah
terbangun sama seperti pembangunan fasilitas-fasilitas pendidikan. Pusat
pemerintahan umumnya terletak di tengah-tengah kota, jadi diduga pembangunan
infrastruktur jalan menuju pusat pemerintahan hanya dilakukan di area lahan yang
sudah terbangun tanpa harus mengkonversi lahan pertanian. Hal ini mungkin saja
terjadi di Kabupaten Tangerang, melihat kondisi infrastruktur jalan di kawasan
perkotaan yang sudah cukup baik. Sementara itu, di daerah pedesaan, kondisi
jalannya belum begitu baik.

Anda mungkin juga menyukai