Anda di halaman 1dari 15

MODEL PENGOLAHAN DATA INDERAJA UNTUK PERUBAHAN LAHAN SAWAH

Drs. Jansen Sitorus, M.Sia , Purwandhari, S.Sib dan Luwin Eska Darwini, S.Hutb Peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. LAPAN 70, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710 Magang Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. LAPAN 70, Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710
Ringkasan
b a

Adanya aktitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan penutup/penggunaan lahan. Alih fungsi lahan sudah menjadi fenomena nasional sat ini. Secara sosial dan politik cukup mekhawatirkan para perencana maupun penyelenggara negara. Persoalan makin sulit jika yang di alih fungsikan itu adalah lahan-lahan subur, yang merupakan lahan pertanian khususnya lahan sawah. Dampaknya secara langsung berhubungan dengan ketahanan pangan. Data dari Deptan menunjukkan sejak tahun 1998 sampai dengan 2003 terjadi penuruna luas lahan sawah sekitar juta hektar, dan kalau dirata-ratakan 200.000 Ha pertahun. Berkaitan dengan hal tersebut perlu pemantauan secara lebih sungguh sungguh di wilayah mana dan apa penyebab penurunan luas sawah tersebut, sehingga dapat dibuat kebijakan untuk mengatasinya. Metode konvensional yang selama ini digunakan adalah mengolah data tabular yang sering out of date, sehingga perlu dicari model spasial yang lebih aktual. Citra penginderaan jauh merupakan salah satu yang dapat dianalisis untukmemantau perkembangan penutup/pengguaan lahan pada suatu wilayah. Penelitian ini bertujuan mengkaji model pengolahan data inderaja untuk aplikasi perubahan penutup/penggunaan lahan, khususnya lahan sawah. Penggunaan data multitemporal citra satelit Landsat tahun 1995 dan ASTER tahun 2004 diharakan dapat mengidentikasi perubahan lahan yang terjadi di kabupaten Sidrap propinsi Sulawesi Selatan dari tahun 1995 dan tahun 2004. Berdasarkan perubahan lahan tersebut dapat juga dianalisis pola perubahan lahan dalam kurun waktu tersebut. Metode yang digunakan secara umum adalah change detection mthode, GIS, dan Digital classications. Kata kunci:

Pendahuluan

Adanya aktitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan penutup/penggunaan lahan. Diperkotaan, perubahan umumnya mempunyai pola yang relatif sama, yaitu bergantinya penggunaan lahan lain menjadi lahan urban. Sawah atau lahan pertanian umumnya berubah menjadi pemukiman, industri atau infrastruktur kota. Pola demikian terjadi karena lahan urban mempunyai nilai sewa lahan (land rent) yang lebih tinggi dibanding penggunaan lahan sebelumnya ( Grigg, 1984 dalam Sitorus 2004). Di wilayah pedesaan polanya berbeda karena tutuntan lahan urban untuk kebutuhan perumahan jauh lebih kecil dari perkotaan. Hal itu terjadi karena pertumbuhan penduduk di pedesaan sifatnya alami dan relatif kecil, bahkan banyak pedesaan yang mengalami pertumbuhan minus karena angkatan kerja diserap angkatan kerja di perkotaan. Perubahan penggunaan lahan yang pesat terjadi apabila adanya investasi dibidang pertanian atau perkebunan. Dalam kondisisi ini akan terjadi perubahan lahan hutan, semak, ataupun alang-alang menjadi lahan perkebunan. Perubahan yang dilakukan oleh masyarakat terjadi dalam skala kecil, dan umumnya hanya perubahan jenis tanaman komoditas tertentu menjadi komoditas lain. Aapabila harga pasar komoditas tertentu turun drastis, menyebabkan masyarakat mengganti tanaman mereka yang mempunyai 73

harga jual atau syarat tumbuh tanaman tersebut tidak terpenuhi lagi oleh daya dukung kemampuan lahan pada suatu wilayah karena masalah kesuburan tanah yang menurun ataupun karena terjadinya perubahan iklim. Deteksi perubahan adalah sebuah proses untuk mengidentikasi perbedaan keberadaan suatu obyek atau fenomena yang diamati pada waktu yang berbeda (Singh 1989). Kegiatan ini perlu mendapat perhatian khusus dari sisi waktu maupun keakurasian. Mengetahui perubahan menjadi penting dalam hal mengetahui hubungan dan interaksi antara manusia dan fenomena alam sehingga dapat dibuat kebijakan penggunaan lahan yang tepat (D. Lu, 2003). Umumnya deteksi perubahan meliputi aplikasi sejumlah multi-temporal untuk analisis kuantitatif pengaruh temporal dari suatu fenomena. Keunggulan pengumpulan data berulang, synoptic views, dan format digital yang sesuai untuk pengolahan komputer, data penginderaan jauh seperti; Thematic Mapper (TM), Satellite Probatoire dObservation de la Terre (SPOT), radar dan Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR), menjadi sumber data utama yang digunakan untuk applikasi deteksi perubahan LULC. D. Lu , (2003), merangkum hasil-hasil riset yang berkaitan dengan penggunaan data penginderaan jauh untuk deteksi perubahan. Sepuluh aspek aplikasi deteksi perubahan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh di ringkas dalam: 1. Land-use and land-cover (LULC) change (Gautam and Chennaiah 1985, Gupta and Munshi I985a, Milne and ONeill 1990. Csaplovics 1992, Fung 1992, Ram and Kolarkar 1993, Rignot and Vanzyl 1993, Green el a!. 1994, Adams et al. 1995, Hall et a/. 1995, Salem et al. 1995, Dimyati et al. 1996, Bruzzone and Serpico 1997a, b, Rees and Williams 1997, Kwarteng and Chavez 1998, Prakash and Gupta 1998, Ridd and Liti 1998, Roberts et al. 1998, Sommer et al. 1998, Yuan and Elvidge 1998, Abuelgasim et al. 1999, Bryaiit and Gilvear 1999. Dai and Khorram 1999, Moriscttc et al. 1999, Sohl 1999, Borak et al. 2000, Moriseite and Khorram 2000, Perakis et al. 2000, Tappan et al. 2000, Zhan et al. 2000, Kaufmann and Seto 2001, Zomer et al. 2001, Lunetta et al. 2002, Read and Lam 2002, Weng 2002); 2. Forest or vegetation change (Gupta and Munshi 1985b, Allum and Dreisingcr 1987, Graetz et al. 1988, Vogelmann 1988, Franklin and Wilson 1991, Cihlar et al. 1992, Sader and Winne 1992, Alwashe and Bokhari 1993, Chavez and Mackinnon 1994, Mishra et al. 1994, Coppin and Bauer 1995, Olsson 1995, Townshend and Justice 1995, Mouat and Lancaster 1996, Batista et al. 1997. Islam et al. 1997. Yool et al. 1997, Chen et al. 1998. Hame et al. 1998. Jano et al. 1998. Grovcr et al. 1999. Salami 1999. Salami et al. 1999. Sader et al. 2001, Woodcock et al. 2001. Lu et al. 2002) 3. Forest mortality, defoliation and damage assesment (Nelson 1983. Leckie 1987, Vogelmamf and Rock 1988, Vogelmann I9S9. Price et al. 1992. Collins and Woodcock 1994, 1996. Macomber and Woodcock 1994. Muchoney and Haack 1994, Gopal and Woodcock 1996. 1999, Roylc and Lathrop 1997, Radelo et al. 1999, Rigina et c//. 1999): 4. Deforestation, regeneration and seleclive logging (Richards 1984, Nelson : ital. 1987, Lucas et al. 1993. 2000, 2002. Durricu and Deshaycs 1994. Franklin et al. 1994. Moran et al. 1994. Conway ct al. 1996. Prins and Kikula 1996. Varjo and Folving 1997, Ricotta et al. 1998. Stone and Lefebvre 1998, Alves er al. 1999. Hudak and Wessman 2000, Souza and Barreto 2000, Tucker and Townshend 2000. Hayes and Sader 2001. Alvcs 2002. Asncr ei til. 2002, Wilson and Sader 2002); 5. Wetland change (Christensen et al. 1988. Jensen et (if. 1993. Ramsey and Laine 1997, Elvidge et al. 1998a. Ramsey 1998, Houhoulis and Michener 2000, Kushwaha et al. 2000, Munyati 2000); 6. Forest re (Eividge et al. 1998b. Fuller 2000, Cuomo et al. 2001) and re-aected area detection (Jakubauskas et al. 1990, Shimabukuro et al. 1991. Siljcstrom and Moreno-Lopez 1995, GarciaHaro et al. 2001. Rogan and Yool 2001, Bourgeau-Chavez et al. 2002); 7. Landscape change (Zhene et al. 1997, Cushman and Wallin 2000, Franklin et ul. 2000, Kcpner et al. 2000. Pcralta and Mather 2000. Taylor et al. 2000). 8. Urban change (Quarmby and Cushnie 1989, Li and Ycli 1998. Ridd and Liu 1998, Ward et al. 2000, Chan et al. 2001, Yeh and Li 2001, Liu and Lathrop 2002, Prol-Ledesma et al. 2002. Yang and Lo 2002. Zhang et al. 2002).

74

9. Enviromental change (Howarth and Wickware 1981. Jacobberger-Jellison 1994. Armour et al. 199S. Schmidt and Glaesscr 1998). drought monitoring (Peters et al. 2002), ood monitoring (Zhou et al. 2000. Dhakal et al. 2002. Liu et al. 2002), monitoring coastal marine environments (Michalck et al. 1993), decertications (Singh et al. 1990) dan detection of landslide areas (Kimura and Yamaguchi 2000). 10. Aplikasi lain seperti crop monitoring (Manavalan et al. 1995). shifting cultivation monitoring (Dwivedi and Sankar 1991). Road segments (Agouris et al. 2001) dan change in glacier mass balance and fades (Engeset et al. 2002). Adanya kebutuhan data satelit yang terdiri dari data lama dan data baru dengan tenggang waktu yang relatif lama sehingga dapat dilakukan kajian perubahan lahan. Dilain pihak lifetime satelit umumnya sekitar 5 tahun dan tidak diperpanjang dengan generasi berikut. Atas dasar tersebut mau tidak mau harus menggunakan data dari satelit yang berbeda. Oleh karena itu diperlukan kajian perbedaan karakteristik dari satelit yang berbeda , dan teknik pengolahan data untuk mendapatkan informasi penutup lahan. Juga dengan pemanfaatan GIS yang dapat memanfaatkan banyak sumber data yang berbeda, dapat dijadikan sebagai komplemen untuk analisis metode detaksi perubahan. Aplikasi data remote sensing dan GIS digunakan pada penelitian ini untuk memperoleh perubahan lahan di kabupaten Sidrap mulai tahun 1995 sampai deng tahun 2004, dengan memokuskan analisis pada perubahan luas lahan sawah Berdasarkan uraian diatas penelitian ini bertujuan untuk mengkaji model pengolahan data satelit resolusi tinggi untuk kajian perubahan penutup/penggunaan dan menentukan pola peubahan penutup/penggunaan lahan.

2
2.1

Tinjauan Pustaka
Metode Deteksi Perubahan Dengan Data Penginderaan Jauh

Berbagai teknik deteksi perubahan telah dikembangkan, banyak yang telah diringkas dan ditinjau (Singh 1989, Mouat et al. 1993 dan teknik baru secara terus menerus dikembangkan. Sebagai contoh, Spectral Mixture Analysis (Adams et al. 1995, Roberts et al. 1998, Ustin et al. 1998), Li-Strahler Canopy Model ( Macomber dan Woodcock 1994). Transformasi Chi-Square ( Ridd dan Liu 1998), fuzzy sets ( Metternicht 1999. 2001), ANN ( Gopal dan Woodcock 1996, 1999, Abuelgasim et al. 1999, Dai dan Khorram,1999), juga integrasi data dari berbagai sumber (Petit Dan Lanibin 2001) telah digunakan untuk aplikasi deteksi perubahan. D. Lu dalam ringkasannya menemukan 7 Jenis metode yang digunakan dalam menerapkan deteksi perubahan, yaitu : (1)Aljabar, Kategori aljabar meliputi perbedaan citra, regresi citra, perbandingan citra, perbedaan index vegetasi, change vector analysis (CVA) dan substraksi background. Algoritma tersebut mempunyai suatu cirikhas umum, yaitu pemilihan threshold untuk menentukan area yang berubah. Metoda ini (selain CVA) relatif mudah, secara langsung, mudah untuk diterapkan dan diinterpretasikan, tetapi tidak dapat menunjukkan matriks informasi perubahan; (2) Transformasi, Kategori transformasi meliputi: PCA, KT, Gramm-Schmidt (G), dan transformasi Chi-square. Keuntungan metoda ini adalah dalam hal mengurangi redundans antar band dan penekanan informasi yang berbeda pada komponen yang diturunkan. Bagaimanapun, metode ini tidak bisa memberikan perubahan terperinci dan memerlukan pemilihan threshold untuk mengidentikasi area yang berubah. Kerugiannya adalah kesulitan untuk menginterpretasi dan memberikan label informasi perubahan pada citra yang sudah ditransformasi; (3) Klasikasi, Kategori ini meliputi perbandingan post klasikasi, analisa kombinasi spektral-temporal, algoritma deteksi perubahan expectation-maximization (EM), deteksi perubahan unsupervised, deteksi perubahan hybrid, dan ANN. Metoda ini didasarkan pada kasikasi citra, di mana kwantitas dan kualitas data sample sangat krusial untuk menghasilkan hasil klasikasi yang baik. Keuntungan utama dari metoda ini adalah kemampuan untuk memberikan matrik informasi perubahan dan mengurangi dampak eksternal pengaruh perbedaan atmosfer dan lingkungan diantara data citra multi-temporal; (4) Advance Model, Advance Models berdasarkan kategori deteksi perubahan meliputi model reektansi Li-Strahler, model spectral mixture, dan model penilaian parameter biosik (biopyisical parameter estimation). Dalam metoda-metoda ini, nilai reektansi citra sering dikonversi menjadi parameter phisik atau fraksi melalui model linier atau nonlinear. Parameter yang ditransformasi lebih intuitif diinterpretasi dan lebih baik mengekstraksi informasi vegetasi dengan dibandingkan dengan signatures spektral. Kerugian metoda75

metoda ini adalah memerlukan waktu dan proses yang sulit untuk mengembangkan model yang sesuai dari konversi nilai reektansi citra ke parameter biosik; (5) SIG (Sistem Informasi Geogras), Kategori deteksi perubahan berdasarkan GIS meliputi integrasi GIS denga metode penginderaan jauh dan metoda GIS murni. Keuntungan GIS adalah kemampuan untuk menyertakan data dari sumber berbeda untuk aplikasi deteksi perubahan. Walaupun, penggabungan sumber data dengan perbedaan akurasi sering mempengaruhi hasil deteksi perubahan; (6). Analisa Visual , Kategori analisis visual meliputi interpretasi visual dari citra komposit multi-temporal dan digitasi on-screen areal yang berubah. Metoda ini dapatdigunakan secara penuh oleh analis berpengalaman dan ilmuan. Textur, bentuk, ukuran dan pola citra adalah elemen kunci yang digunakan untuk identikasi perubahan LULC melalui interpretasi visual. Elemen ini tidak sering digunakan dalam analisa deteksi perubahan secara digital sebab sulit untuk mengekstraksi unsur-unsur tersebut. Seorang analis ahli menggabungkan semua unsur-unsurdiatas dalam membantu membuat keputusan tentang perubahan LULC dan (7) Teknik Deteksi Perubahan lainnya, Sebagai tambahan dari enam kategori teknik deteksi perubahan yang dibahas diatas, ada beberapa metoda yang tidak bisa dimasukkan dengan salah satu kategori di atas, dan saat ini belum banyak digunakan. Sebagai contoh, Henebry (1993) menggunakan pengukuran ketergantungan spasial dengan citra TM untuk mendeteksi perubahan padang rumput. Wang (1993) menggunakan pengetahuan berbasis vision sistem untuk mendeteksi perubahan land-cover pada pinggiran urban. Lambin dan Strahler (1994) mengggunakan tiga indikator, indeks vegetasi, temperatur permukaan lahan dan struktur spasial, yang diperoleh dari AVHRR, untuk mendeteksi perubahan land-cover di Afrika barat. Lawrence dan Ripple (1999) menggunakan perubahan kurva (Curve change) dan Hussin et al. (1994) menggunakan model produksi area (area production) untuk mendeteksi perubahan tutupan hutan. Morisette et al pada (1999) menggunakan model linier umum untuk mendeteksi perubahan land-cover. Suatu pendekatan berbasis teori kurva (curve-theorem-based) juga digunakan untuk mendeteksi perubahan di delta Yellow river (Yue et al. 2002). Zhang et al (2002) menggunakan kerapatan jalan (road density) dan informasi spektral TM untuk membentuk perbandingan metode berbasis struktur (structure-based methods) spectral-structural post-classication dan perbedaan spectral-structural citrauntuk mendeteksi perubahan urban di Beijing, China. Read dan Lamb (2002) mengidentikasi statistik spasial seperti dimensi fractal dan index MoranS (I), mempunyai potensi untuk mendeteksi perubahan land-cover.

2.2

Satelit ASTER

The Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reection Radiometer (ASTER) adalah suatu sensor multispektral yang diluncurkan oleh NASA pada bulan Desember 1999. ASTER merupakan salah satu sensor dari satelit Terra. Aster memiliki 14 Band yang terbagi dalam kanal visble, infra merah dan kanal thermal infra merah. Resolusi spasial kanal visible VNIR (Visible and Near Infrared Radiometer) adalah 15 m lebih baik dari data LANDSAT-TM yang resolusi spasialnya 30 m. Kanal inframerah SWIR (Short Wave Infrared Radiometer) sama dengan LANDSAT-TM adalah 30 m dan kanal inframerahnya TIR (Thermal Infrared Radiometer) memiliki resolusi 90 m. Tabel-1 merupakan rincian spektral per kanal pada data ASTER. Melihat dari kondisi karakteristik data ASTER maka secara spasial untuk aplikasi klasikasi data ASTER akan lebih baik dibandingkan dengan data LANDSAT-TM, dan demikian juga untuk aplikasi perhitungan suhu permukaan, neraca energi dan aplikasi klimatologi data diperkirakan akan dapat lebih baik dibandingkan dengan data Landsat-TM, karena memiliki penjang gelombangnya dan jumlah kanal yang lebih banyak (ASTER Hand Book, 1999). Dalam perkiraan ini pengaruh suhu udara dan kondisi iklim akan membawa terhadap kondisi tingkat kelembaban dan kandungan H2 0 dan C 02 yang terjadi pada kondisi ligkungan, terutama adanya vegetasi yang tumbuh dan berkembang sehingga Band Aster terpilih terhadap vegetasi boleh dibilang pada Band 2, Band 4, Band 6 dan Band 7 adalah dalam membantu evaluasi kwantitas biomasa, juga mampu memisahkan tubuh air dan vegetasi, Baik untuk identikasi tanaman, terutama untuk membedakan kekontrasan tanah/tanaman dan air. Tabel 1. Karakteristik Mayor Pada Sensor ASTER

76

VNIR memiliki performa yang tinggi, instrumen optik tinggi yang mampu mendeteksi pantulan dan permukaan tanah antara level visibel sampai infrared dekat mampu memproduksi citra multi spektum. Bands keempat memiliki sistem lensa optik belakang dengan sudut dari titik nadir sejauh 27,6 serta sebuah detektor yang mampu menghasilkan citra stereoskopik pada orbit single dengan mengkombinasikan panjang gelombang yang sama bands titik terendah. Radiometer ini terkoreksi dengan menggunakan lampu halogen berperforma radiometrik tinggi lampu ini juga memberdayakan sebuah titik fungsi vertikal 24 yang mampu melakukan observasi secara berulang di area yang sama setiap 5 hari. SWIR merupakan instrumen resolusi optik tinggi yang mampu mendeteksi pantulan dari permukaan tanah dengan panjang gelombang pendek infrared antara 1,60 - 2,43 m. Radiometer ini memberdayakan sebuah titik fungsi vertikal di +/- 8,55 . TIR : merupakan instrumen berkecepatan tinggi yang mampu melakukan observasi infrared thermal (8 - 12 m) dari permukaan tanah dalam 5 bands. Radiometer ini dirancang untuk mengidentikasikan sumberdaya mineral dan Radiometer ini memberdayakan sebuah titik fungsi vertical sampai dengan +/8,55 .

2.3

Satelit Landsat

Satelit Landsat 5 Merupakan Serial Satelit LANDSAT yang diluncurkan 5 Maret 1984 oleh NASA USA. Memiliki kemampuan mendeteksi permukaan seluruh permukaan bumi dengan mengirimkan data ke stasiun bumi yang ada di seluruh dunia. Satelit akan kembali medeteksi tempat yang sama dalam 16 hari berikut, dengan lebar sapuan sekitar185 Km dari kutub utara ke kutub selatan, mengitari bumi dengan orbit sunsyncronous, penempatan saat lintas khatulistiwa (equator) dengan descending node sekitar jam 9.30 waktu setempat. Landsat -5 merupakan pengembangan dari satelit Landsat sebelumnya (1, 2 dan 3) dengan peningkatan resolusi spasial, keekaan radiometrik, laju pengiriman data yang lebih cepat, dan fokus penginderaan yang berkaitan dengan vegetasi. Pengembangan sensor Thematik Mapper (TM) dengan penambahan saluran Thermal pada panjang Gelombang ( 10.40 -12.50 mikron) . Kanal ini tidak ada pada Landsat 1,2, dan 3 dengan Sensorl MSS nya. Satelit Landsat 5 merupakan replika dari kemampuan yang tinggi dari perangkat Thematic Mapper dengan memasukkan keistimewaan baru yang lebih serbaguna dan komponen yang lebih esien untuk data studi global, monitoring penutup lahan dan luas area pemetaan lebih akurat dibanding desain terdahulu, dan menunjukkan koreksi radiometric yang stabil dengan gangguan yang rendah. Karaktersitik spektral Landsat-5 TM seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik Satelit Landsat 5 TM

77

2.4

Penutup lahan/Penggunaan lahan

Penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan sikobyek-obyekyang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek-obyek tersebut. Satuan-satuan penutup lahan kadang-kadang juga bersifat penutup lahan alami. (Lillesand dan Kiefer ( 1994 ). Klasikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan berbagai jenis penutup lahan/penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai dengan sistem tertentu. Klasikasi penutup lahan/penggunaan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh unutk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan. Banyak sistem klasikasi penutup/penggunaan lahan yang telah dikembangkan, yang dilatarbelakangi oleh kepentingan tertentu atau pada waktu tertentu. Pemilihan kelas penggunaan/penutup lahan seperti pada penelitian ini terdiri dari 6 kelas, yaitu : Semak/Belukar, Tubuh Air, Hutan, Pemukiman, Sawah dan Tegalan/kebun campur.

2.5

Sistem Informasi Geogras (SIG)

Sistem Informasi Geogra (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang berreferensi spasial atau berkoordinat geogra. SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non spasial (Star dan Estes, 1990 dalam Barus dan Wiradisastra, 2000). Disebutkan juga SIG telah terbukti kehandalannya untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisa dan menampilkan data spasial baik biosik maupun sosial ekonomi. Star dan Estes mengemukakan bahwa secara umum SIG menyediakan fasilitas-fasilitas untuk mengambil, mengelola, memanipulasi dan manganalisa data serta menyediakan hasil baik dalam bentuk grak maupun dalam bentuk tabel, namun demikian fungsi utamanya adalah untuk mengelola data spasial Keuntungan GIS adalah kemampuan untuk menyertakan data dari sumber berbeda untuk aplikasi deteksi perubahan. Walaupun, penggabungan sumber data dengan perbedaan akurasi sering mempengaruhi hasil deteksi perubahan. Lo dan Shipman (1990) menggunakan pendekatan GIS untuk menghitung dampak pengembangan kota baru di Hong Kong, melalui integrasi data multi-temporal foto udara pada land use dan menemukan bahwa overlay citra dengan teknik masking biner bermanfaat dalam menyatakan secara kuantitatif dinamika perubahan pada masing-masing kategori land-use. Di tahun terakhir, pemakaian data multi-sumber (misal: foto udara, TM. SPOT dan peta thematik sebelumnya) sudah menjadi metoda penting untuk deteksi perubahan land-use and land-cover ( LULC) ( Mouat dan Lancaster 1996, Salami 1999, salami et al. 1999, Reil et al. 2000, Dan Lambin 2001. Chen 2002, Weng 2002), khususnya apabila deteksi perubahan merupakan periode interval yang panjang dihubungkan dengan sumber data yang berbeda, format dan ketelitian atau analysis perubahan land-cover multi-scale (Petit dan Lambin 2001). Banyak pendekatan aplikasi GIS terdahulu untuk deteksi perubahan yang difokuskan pada daerah urban. Ini mungkin karena metoda deteksi perubahan tradisional sering menghasilkan deteksi perubahan yang tidak betul karena kompleksitas landscape urban dan model tradisional tidak bisa digunakan secara efektif menganalisa data multi-sumber. Sehingga, kekuatan fungsi GIS memberikan alat yang menyenangkan untuk pengolahan data multi-sumber dan efektif dalam menangani analisa deteksi perubahan yang menggunakan data multi-sumber. Banyak penelitian difokuskan pada integrasi GIS dan teknik penginderaan jauh yang diperlukan untuk analisis deteksi perubahan yang lebih akurat. 78

2.6

Lahan sawah di Kabupaten Sidrap

Kabupaten Sidrap merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Sulawesi Selatan, Ibukotanya Pangkajene, sekitar 180 km dari kotal. Luas wilayah 1.883.25 Ha dengan letak geogras terletak pada koordinat antara 3 43 sampai 4 09 Lintang Selatan dan 119 41 sampai 120 10 Bujur Timur. Dengan perbatasan wilayah :Sebelah Utara: Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Enrekang Sebelah Selatan : Kabupaten Barru dan Kabupaten Soppeng Sebelah Timur : Kabupaten Luwu dan Kabupaten Wajo Sebelah Barat : Kabupaten Pinrang dan Kota Parepare. Kabupaten Sidrap mempunyai 11 Kecamatan, 38 Kelurahan dan 65 Desa. Jumlah penduduk sebanyak 253.535 orang yang terdiri dari laki-laki 123.620 orang dan perempuan 129.915 orang (www.sidrap.go.id). Di sektor pertanian tanaman pangan, Kabupaten Sidrap adalah pemasok terbesar beras untuk stok pangan nasional di Sulsel. Sistim pertanian di Kabupaten Sidrap saat ini, selain pengairan pengairan teknis 26.617, setengah teknis 7.170 Ha, irigasi sederhana 703 Ha, irigasi sederhana non PU 2.722 Ha, tadah hujan 8.987 Ha. Total lahan pertanian tanaman pangan 46.190 Ha, dengan total produksi gabah kering setiap tahunnya sekitari sekitar 460.000 ton atau setara 230.000 ton beras. Gambar -1 memperlihatkan luas dinamis lahan sawah pertahunnya sejak tahun 1969-2004. Terlihat ada pola kenaikan yang drastis sekitar tahun 1976, hal itu terjadi karena adanya perbaikan irigasi sehingga sawh dapat ritanami lebih dari satu kali setiap tahunnya, Secara umum polanya menunjukkan kenaikan meskipun ada uktuasi. Sejak tahun 2000 sampai 2004 ada pola penurunan luas tanam sawah, yaitu dari 77.820 ha menjadi 73.724 ha.

Gambar 1. Perkembangan Luas tanam sawah pertahunnya di kab. Sidrap sejak tahun 1969-2004 ( Sumber : diolah dari data dinas pertanian Kab. Sidrap Sulsel)

3
3.1

Metodologi
Tempat dan Waktu

Lokasi penelitian adalah wilayah administrasi kabupaten Sidrap propinsi Sulawesi Selatan mulai tahun 1995 sampai dengan tahun 2004.

3.2

Alat dan Bahan

Pengolahan data menggunakan perangkat lunak GIS (ARC View Ver. 3.2), Image Processing ERMapper (ver. 6.4). Bahan yang diperlukan terdiri dari alat digitasi serta data primer maupun data sekunder sebagai berikut : 1. Citra Landsat tahun 1995 (21 Februari dan 30 Mei) dan ASTER tahun 2004 (12 Mei 04 November). 2. Peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) dengan skala 1:50.000 dari Bakosurtanal. 3. Peta wilayah administrasi tingkat kecamatan sampai Kabupaten 4. Data Tabulasi Sidrap dalam angka yang menyangkut angka statisitik pertanian, sosek dan lain-lain. 79

3.3

Digitasi Peta RBI

Batas wilayah desa diperoleh dari hasil digitasi on screen peta topogra skala 1: 50.000 yang terlebih dahulu di scan dalam format gambar (JPEG) kemudian di koreksi gemetrik tehadap keempat titik sudut masing masing dari delapan lembar peta untuk seluruh kabupaten Sidrap. Proses dilakukan menggunakan ERMapper dan format JPEG dikonversi dengan format ERS. Digitasi dilakukan dengan ARCView, dari peta tersebut diperloleh Batas adnministrasi dan penggunaan lahan dalam bentuk poligon sedangkan Jalan dan sungai dalam bentuk vektor. Proses selanjutnya menggunakan fungsi geoprocessing yang ada di ArcView, yaitu proses dissolved untuk membangun kabupaten maupun penggunaan lahan.

3.4

Koreksi Geometrik

Adanya sumber-sumber distorsi geometrik selama akuisisi citra seperti pengaruh rotasi bumi, kelengkungan bumi, kecepatan scanning dari beberapa sensor yang tidak normal, dan efek panoramik menyebabkan posisi setiap objek di citra tidak sama dengan posisi geogras permukaan bumi yang sebenarnya. Untuk mengkoreksi distorsi tersebut dilakukan dua tahapan (Gonzalez, 1977), yaitu menentukan fungsi transformasi dan melakukan resampling citra. Pada koreksi ini diperlukan data titik kontrol tanah atau Grouund Control Point (GCP) yang bisa diekstraksi dari peta tofogra ataupun dengan memanfaatkan Global Positioning Satellite (GPS). Dengan menggunakan fungsi transformasi, hubungan antara posisi (x,y) citra asli (input) dengan citra terkoreksi (output) adalah sebagai berikut : u = f (x, y) v = g (x,y), dengan (x,y) koordinat pixel citra input dan (u,v) koordinat pixel output (koordinat bumi) Fungsi transformasi yang umum digunakan untuk distorsi yang bersifat acak adalah fungsi transformasi polinomial, misalnya untuk orde dua adalah sebagai berikut : u = a0 + a1 x + a2 y + a3 xy + a4 x2 + a5 y2 v = b0 + b1 x + b2 y + b3 xy + b4 x2 + b5 y2 (1) dimana a0 . . . ,b0 . . . , b5 . adalah koesien persamaan yang masing-masing variabel. Koesien ini dapat ditentukan dengan membangun 6 persamaan linier, yang berarti memilih minimal 6 GCP. Nilai pixel pada citra ouput ditentukan dengan metode resampling, salah satunya metoda interpolasi bilinier seperti berikut : I (x,y) = a1 I(u, v+1) + a2 I(u, v) + a3 I(u+1, v+1) + a4 I(u+1, v) (2) dimana: a1 , a2 , a3 , a4 : intepolasi keempat titik tetangga citra input yang merupakan domain I(x,y). Pengolahan yang sama akan dilakukan kepada semua citra sehingga posisi objek yang sama setiap citra mempunyai koordinat kartesian maupun geogras yang sama. Hal penting pada koreksi geometrik ini adalah keakurasian hasil koreksi. Metode yang digunakan adalah memilih titik GCP yang mempunyai RMS kecil dan membuang titik GCP yang mempunyai RMS besar dari sebaran GCP yang diambil dari peta tofogra dengan menguji titik tersebut pada fungsi polinomial persamaan (1).

3.5

Klasikasi Unsupervised

Unsupervised classications merupakan salah satu dari dua metode yang digunakan untuk mentransformasikan citra multispektral menjadi informasi tematik kelas penutup lahan. Prosedur umumnya mengasumsikan bahwa citra dari area gegrs tertentu adalah di kumpulkan pada multi region dari spectrum elektromagnetik. Dengan menggunakan metode ini , program klasikasi mencari pengelompokan secara natural atau clustering berdasarkan sifat spectral dari setiap pixel. Hasil klasikasi merupakan kelas-kelas spektral yang belum diketahui identitasnya, karena didasarkan hanya pada pengelompokan secara natural. Pengguna harus membandingkan dengan data referensi, misalnya dengan data penggunaan lahan. Dengan demikian kelas-kelas spektral tersebut dapat diberikan identitasnya.Pada software ErMapper teknik ini menggunakan iterasi otomatis sehingga lebih mudah digunakan. Pengguna hanya memasukkan parameter banyak kelas yang dinginkan dan minimum standar deviasi masing masing kelas pada dialog box yang tersedia. Proses selanjutnya adalah memberi identitas

80

penutup lahan dan warna yang berbeda dari masing-masing kelas pada citra output. Pemberian nama kelas memerlukan pengetahuan mengenai jenis penutup lahan yang terdapat pada daerah tersebut, jika tidak diperlukan data referensi ataupun data survei.

3.6

Filter High Pass EgdeSsharpen

Penggunaan lter spasial merupakan operasi lokal bedasarkan manipulasi nilai DN citra dengan tujuan mengurangi kejelasan atau kecerahan citra ataupun sebaliknya sesuai dengan aplikasi tertentu. Banyak jenis lter yang telah dikembangkan dimana pemanfaatannya tergantung pada tujuan memanipulasi kenampakan objek tertentu pada citra. Filter penajaman tepi (high pass edge sharpen lter) merupakan operasi kenampakan yang terkena bising acak. Masalah bising acak biasanya mempengaruhi kenampakan kecil berukuran kurang dari ukuran resolusi spasial, namun kontras terhadap kenampakan disekelilingnya. Oleh karena itu dengan menekankan beberapa kenampakan akan diperoleh peningkatan resolusi spasial, maka seringkali penting untuk memperbesar nilai citra untuk menajamkan kenampakan tertentu. Filter ini mempunyai karakteristik menyalurkan dan memperkuat komponen suatu citra sehingga bagian garis garis atau batas antara objek yang ada pada gambar akan tampak lebih tajam. Matriks dibawah merupakan operasi dengan ukuran window 3X3

Tabel. Matriks high pass edge lter (window 3x3)

3.7

Akurasi Hasil Klasikasi

Keakuratan hasil klasikasi dapat dihitung dengan cara membandingkan citra hasil klasikasi dengan data referensi. Data referensi yang dimaksud dapat berupa : (1) Data cek lapangan yang diambil secara acak pada areal yang dicakup citra satelit untuk masing masing kelas. (2) Area data latih digital (training area) yang sudah dibuat sebelumnya dari hasil interpretasi secara visual diatas citra satelit dengan bantuan monitor komputer; dan (3) Peta penutup lahan digital, yang merupakan data digital dengan ukuran data, resolusi permukaan dan waktu pembuatannya mendekati tanggal perolehan data satelit yang akan dikelaskan. Evaluasi ketelitian klasikasi dilakukan dengan perhitungan matrik kesalahan (Confussion matrix). Matrik ini berordo m x m dengan nilai m adalah jumlah kelas yang ditetapkan dalam klasikasi. Baris dan kolom matrik menunjukkan jumlah piksel hasil pengujian pada kelas-kelas tersebut. Jumlah seluruh piksel yang terdapat pada setiap baris dan kolom adalah jumlah total piksel yang diuji

Tabel 3. Bentuk Matrik Kesalahan ( Confussion Matrik ) Hasil Pengujian Piksel Setiap Kelas ( Jumlah Kelas =3 ) ( Jaya, 1996 ) Dari informasi ini dapat dipelajari penyimpangan klasikasi yang berupa kelebihan jumlah piksel dari kelas yang lain atau emisi (omission error) dan kekurangan jumlah piksel pada masing-masing kelas atau

81

komisi (commission error). Pada suatu kasus yang ideal, seluruh elemen yang bukan diagonal di dalam matrik kesalahan tersebut harus bernilai nol yang mengisyaratkan tidak adanya penyimpangan dalam klasikasi ( Lillesand Kiefer,1994 ). Produsers Accuracy (PA) adalah peluang (dalam %) suatu piksel akan diklasikasikan dengan benar yang menunjukkan seberapa baik masing-masing kelas di lapangan telah diklasikasi. Users Accuracy (UA) adalah peluang (dalam) suatu piksel dari citra yang telah terklasikasi,secara actual mewakili kelas-kelas tersebut dilapangan. Sedangkan Overall Accuracy (OA) adalah presentase dari piksel-piksel yang telah terkelaskan dengan tepat (Congalton,1991). Formulasi matematis ketiga ukuran akurasi tersebut seperti ditunjukkan persamaan (3) berikut: rumusssssssssss Keterangan : Xi = jumlah piksel yang diklasikasi dengan tepat ke kelas i Yi = total kolom Zi = Jumlah piksel yang terklasikasi ke dalam kelas ke i m = jumlah kelas N = jumlah piksel yang diuji Ketelitian klasikasi merupakan suatu kreteria penting dalam menilai hasil pemrossesan klasikasi data citra penginderaan jauh. Anderson et.al. (1976) dan Milazzo(1980) dalam Jensen (1986) menyatakan bahwa tingkat ketelitian klasikasi dengan menggunakan data penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85% dan harus kurang lebih sama untuk setiap kategori. Dengan demikian dapat dibuat secara umum bagan pengolahan citra satelit untuk mencapai hasil dalam penelitian ini seperti Gambar 2.

Gambar 2. Bagan Alur Model Perubahan Luas penutup Lahan

Pengolahan Data dan Hasil

Untuk mendapatkan perubahan lahan sawah dari tahun 1995 sampai tahun 2004 di kabupaten Sidrap dilakukan sejumlah pengolahan data baik menggunakan software ERMapper dan Arcview terhadap data raster satelit maupun data vektor. Penutup lahan 1995 di turunkan dari data LANDSAT, sedangkan penutup lahan tahun 2004 diturunkan dari data ASTER. Metode yang dilakukan adalah klasikasi digital kedua jenis citra. Adanya liputan awan pada data Landsat dan ASTER mengurangi keltitian klasikasi, sehingga diperlukan dua data Landsat tahun 1995 dan dua data ASTER tahun 2004. Citra yang diklasikasi adalah Lansdat tanggal 30 Mei 1995, sedangkankan data Landsat 14 November 1995 digunakan sebagai komplemen ketikan melakukan editing hasil klasikasi. Band yang digunakan untuk 82

Lansat adalah band 2,4 dan Band 5, sedangkan untuk ASTER menggunaka sensor VNIR nya yaitu band 1, 2 dan Band 3. Hal yang sama juga berlaku pada data ASTER, dimana citra yang diklasikasi adalah citra tanggal 12 Mei 1994, sedangakan komplemennya digunakan citra ASTER tanggal 04 November 2004. Setelah selesai proses klasikasi dilakukan uji keakurasian hasil, kemudian overlay untuk proses mendapatkan pola perubahan lahan. Adapun langkah langka yang dilakukan adalah sebagai berikut.

4.1

Koreksi Geometri Data Satelit

Koreksi geometrik data Landsat dilakukan dengan model transformasi ane , titik GCP diambil dari Peta RBI skala 1: 50.000. Ada delapan buah peta RBI yang mencakup seluruh kabupaten Sidrap. Metode yang dilakukan adalah scanning peta RBI menjadi data digital gambar dalam format JPEG, kemudian dikonversi menjadi format ErMapper sehingga dapat dilakukan koreksi geometri peta tersebut dengan mengacu informasi posisi lokasi keempat titik masing masing peta RBI. Data Landsat maupun data ASTER kemudian dikoreksi terhadap peta RBI. Proses selanjutnya adalah kropping data sesuai dengan batas wilayah administrasi kabupaen Sidrap.. Hasil di Overlay citra Landsat dan ASER dengan dengan batas wilayah Sidrap dapat dilihat seperti Gambar 3.

Gambar 3. Overlay Batas wilayah Kabupaten Sidrap dengan ASTER RGB ( Band 231) tahun 2004 dan Citra Landsat RGB ( Band 542) Tahun 1995 Yang sudah Terkoreksi secara Geometrik

4.2

Penggunaan Lahan Berdasarkan Peta RBI

Penggunaan lahan menurut Peta RBI skala 1: 50.000 dilakukan dengan mendigitasi peta RBI yang sudah dikoreksi. Digitasi on screen batas penggunaan lahan dilakukan degan Arcview. Masing-masing kelas di hitung luas lahannya. Ada 8 kategori yang tersedia yaitu: belukar, danau/waduk, hutan, kebun, pemukiman, rawa, sawah dan tegalan/Ladang. Luasan masing-masing kelas ditunjukkan seperti Tabel 4. Luas lahan sawah sekitar 47.452 Ha, yang terdiri dari lahan sawah irigasi dan tadah hujan. Hasil klasikasi berdasarkan peta RBI, digitasi jalan, sungai dan batas administrasi sampai tingkat kecamatan ditunjukkan pada Gambar 4. Tabel 4. Luas Penggunaan/penutup Lahan Berdasarkan Peta RBI (1991)

83

Gambar 4: Hasil Digitasi Kelas Penggunaan Lahan ( diolah dari 8 Lbr Peta RBI Skala 1: 50.000, Bakosurtanal, 1991)

4.3

Filtter Highpass Egde Sharpen

Operasi lter spasial merupakan operasi lokal bedasarkan manipulasi nilai DN dengan tujuan pengurangan kejelasan atau kecerahan citra ataupun sebaliknya sesuai terutama pada batas penggunaan lahan. Pada lahan sawah sangat menolong dalam mengidentikasi batas sawah dengan pemukiman, tegalan dan jenis lahan lain. Gambar 5 memperlihatkan hasil ltering semua band (RGB), terlihat bahwa hasil ltering dapat meningkatkan kejelasan batas sawah dengan tegalan dan pemukiman. Selain itu lter dapat meningkatkan kejelasan jalan. Citra Landsat hasil ltering tersebut lebih tepat digunakan untuk analisis visual, khusus pada penentuan batas jenis penutup/penggunaan lahan ketika proses editing hasil klasikasi.

Gambar 5. Filtering highpass edge dapat mengidentikasi batas sawah dengan pemukiman dan tegalan ( Kiri Landsat RGB, kanan : citra hasil lter)

4.4

Unsupervised Classied

Unsupervised classied pada ERMapper menyediakan dialog box interaktif untuk input parameter classier, seperti jumlah kelas, maximum iterasi dan standar deviasi. Dari hasis pengolahan data ASTER maupun Landsat diklasikasi menjadi 64 kelas kemudian direklasikasi pertama menjadi 24 kelas kemudian di beri label. Hasil reklasikasi pertama di reclas lagi sesuai dengan keperluan, yaitu sebanyak 6 kelas, anatara lain : (1) Belukar , (2) Hutan , (3) Tubuh air , (4) Pemukiman, (5) Sawah, dan (6) Tegalan/ladang, Proses editing hasil klasikasi penutup/penggunaan lahan tahun 1995 dilakukan dengan referensi peta RBI dan data Multi temporal Landsat. Citra yang ditutupi awan diganti dengan Peta RBI, sedangkan citra multitemporal sangat banyak membantu editing hasil klasikasi apabila terdapat kelas yang meragukan. Misalnya spektral sawah pada fase bera relatif sama dengan penutup lahan lahan 84

terbuka. Dengan menggunakan citra multitemporal akan terlihat bahwa lahan terbuka akan tetap sama, sedangkan sawah fase bera akan berobah menjadi lahan sawah pada fase lain, misalnya vegetatif atau fase air. Metode yang sama dilakukan pada data ASTER untuk menghasilkan 6 kelas yang diinginkan. Proses editing hasil klasikasi, seperti menghilangkan Awan menggunakan Multitemoral citra ASTER, dan juga hasil survai lapangan Selain itu juga dengan melakukan ltering untuk memperjelas batas sawah dengan penutup lahan lain, misalnya pemukiman dengan tegalan, semak, belukar dan lain-lain. Hasil Klsikasi berikut luasan masing- masing kelas penutup lahan pada tahun 1995 dan 2004 seperti pada Gambar 6, sedangkan perhitungan luas masing masing penutup lahan disajikan pada Tabel 4.

Gambar 6 . Penutup lahan/penggunaan Lahan Kabupaten Sidrap tahun 1995 diturunkan dari data LANDSAT (atas) dan tahun 2004 diturunkan dari data ASTER (kanan) Berdasarkan Hasil klasikasi citra satelit dapat dilihat Tabel 4 yang merupakan luasan penutup lahan tahun 1995 dan tahun 2004. Terlihat secara umum bahwa tidak ada perubahan luas lahan yang sangat signikan pada periode tersebut. Pengurangan luas lahan terjadi pada Hutan sebesar 2.030 ha dan tegalan sebesar 2.202,2 Ha. sedangkan penutup lahan yang bertambah luas adalah Belukar/semak sebesar 999,3 ha , Pemukinan sebesar 960,6, tubuh air sebesar 1.682, 8 ha. Khusus pada lahan sawah ada perkembangan yang relatif kecil, yaitu sebesar 589.5 ha. Sedangkan pola perubahan lahan ditunjukan pada tabel 5. Tabel 5. Hasil klasikasi penutup/penggunaan Lahan Tahun 1995 dan 2004 (*) negatif menunjukkan pengurangan)

85

4.5

Pola Perubahan Penutup/Penggunaan Lahan

Analisis dari tabel confuse matriks dengan ketelitian 92.6 % dan derajat kappa 0.89 seperti ditunjukkan pada Tabel 5 dapat menunjukkan pola perubahan penutup lahan di Kabupaten Sidrap dari tahun 1995 sampai tahun 2004. Ada penurunan luas hutan sebesar 2.030 Ha, hutan tersebut beralih fungsi menjadi tegalan 1.030,7 Ha dan semak Belukar 999,3 Ha pada tahun 2004. Perubahan tersebut umumnya karena campur tangan manusia, yaitu untuk kebutuhan ekonomi dialih fungsikan menjadi tegalan atau kebun campur. Sementara Lahan sawah terjadi perkembangan luas sebesar 589,5 Ha. Pola perubahan pada lahan sawah berdasarkan Tabel 5 adalah ada penurunan sawah menjadi pemukiman sebesar 441.2 Ha, di sisi lain ada lahan laian yang menjadi laha sawah. Rwa (tubuh air) dialihfungsikan menjadi sawah sebesar 511,2, lainnya tegalan sebesar 519.4 Ha. Jadi sawah berkurang sebesar 441.2 Ha dan bertambah dari lahan rawa dan tegalan sebesar 1. 130 ha. Terjadinya lahan rawa menjadi sawah disebabkan perbaikan drainase atau teknologi lain, sehingga penutup lahan rawa dapat ditanami padi sawah pada tahun 2004. Terjadinnya perubahan sawah menjadi tegalan lebih disebabkan sistem irigasi yang belum terdistribusi dengan baik sehingga petani memanfaatkan lahan mereka menjadi pertanian lahan kering, dan pada citra diidentikasi sebagai kebun campur atau tegalan. Hal lain yang memungkinkan adalah human error disebabkan banyaknya tutupan awan pada citra. Tubuh Air (danau/waduk) bertambah luas karena adanya pembangunan bendungan Saddang untuk irigasi, sehingga lahan tegalan pada tahun 1995 berubah fungsi menjadi tubuh air (waduk) pada tahun 2004. Tabel 6. Pola Perubahan Lahan kabupaten Sidrap tahun 1995 dan tahun 2000 (Ha)

86

Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis citra penginderaan jauh Tahun 1995 dan tahun 2004 dapat disimpulkan beberapa hal berikut. 1. Integrasi GIS dengan data inderaja multi temporal dapat dimanfaatkan untuk menentukan luasan lahan sawah secara spasial, yaitu dengan memanfaatkan beda fase penutup lahan sawah pada citra. 2. Hasil ketelitian klasikasi data Landsat sekitar 89.4 % sedangkan hasil ketelitian klasikasi data ASTER 92.6 %, menunjukkan ada pengaruh ketelitian resolusi spasial untuk ketelitian klasikasi. 3. Citra multitemporal pada waktu akusisi yang berdekatan sangat membantu sebagai komplemen dari citra yang diklasiikasi, yaitu untuk editing tutupan awan dan juga memastikan hasil klasikasi. 4. Ada penurunan luas Hutan (sebesar 2.030,0 Ha, Tegalan (2.202,2 Ha ))selama periode 1995 -2004. Sedangkan penutup lahan yang mengalami perkembangan lus adalah Semak/belukar (999,3 Ha ) , pemukiman (960 Ha) dan lahan sawah sebesar 589,5 Ha. 5. Pola perubahan pada lahan sawah mengalami perubahan fungsi menjadi pemukiman sebesar 441.2 Ha, sementara lahan ada yang berubah menjadi laha sawah. Tubuh air (Rawa) menjadi sawah sebesar 511,2, dan tegalan 519.4 Ha. Jadi sawah berkurang sebesar 441.2 Ha dan bertambah dari lahan rawa dan tegalan sebesar 1. 130 ha. 6. Adanya peningkatan tubuh air (waduk), disebakan adanya pembangunan bendungan irigasi Saddang.

Pustaka
Barus B., dan U.S. Wiradisastra, 2000, Sistem Informasi Geogra, Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartogra, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Congngalton, R.G., 1991, A Review of Assessing the Acuracy of Classication Remote Sensed Data, Remote Sensing Environ., 37:35-46. Firman T., , Land Conversion and Urban Development in the Nothern Region of West Java, Indonesia, Land Urban Studies, pp 1027- 1046, Vol. 34. Lu, D, P. Mausel at all, Jun 2004, Change Detection Techniques, International J. Remote Sensing, Vol 25, No 12, P.2365 -2407. Malingreau, J.P. and Rosalia C., 1981, A Land Cover/Land Use Clasication for Indonesia,Yogyakarta : Puspics, The Faculty of Geography, Gajah Mada University. Rustiadi, E., K. Mizuno, and T. Kitamura, 1998, Analyis of Land Use Changes in City Suburbs (A Case Study on Some Subdistricts of Bekasi Area of West Java Indonesia), Journal of Rural Planning Assosiation, Vol. 18, No.1. Sitorus, J, 2004, Analisis Pola Spasial Penggunaan Lahan dan Suburbanisasi di Kawasan Jabotabek Periode 1992 2000, Tesis, IPB. -, 2001, ASTER Higher-Level Product User Guide, Version 2.0. JPL, California Instirute of Technology. -, 2000, Land Use Change and Forest Management, PERHIMPI. -, 2003, Kabupaten Sidrap Dalam Angka.

87

Anda mungkin juga menyukai