Anda di halaman 1dari 45

BAB V

ANALISIS DATA

5. 1 Luas Lahan Sawah

Luas Lahan Sawah Potensial yang diidentifikasi berdasarkan Kementerian


Pertanian, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. Data yang digunakan sebagai data awal adalah Luas
Lahan Sawah Tahun 2012 (Kementerian Pertanian). Data peta lahan
sawah tahun 2012 akan menentukan laju alih fungsi lahan sawah pada
tahun 2012 sampai dengan 2018, dengan cara overlay peta tahun 2012
tersebut dengan peta lahan sawah Kementerian Pertanian Tahun 2016
yang diverifikasi pada tahun 2018, peta Kementerian ATR/BPN tahun
2018, dan peta penggunaan lahan 2018 dari Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan.

5. 1.1 Luas Lahan Sawah berdasarkan Kementerian Pertanian dari


2012 - 2018

Persentase total luas sawah Provinsi Kalimantan Barat pada Tahun 2012
dan pada Tahun 2018 berkurang 0,5 % dari luas wilayah Provinsi
Kalimantan Barat. Pada Tahun 2012, luas sawah 2,1 % terhadap luas
total wilayah, dan pada Tahun 2018, luas sawah 1,6 % terhadap total luas
wilayah.
Pada tahun 2012, luas sawah Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan
Kementerian Pertanian adalah 305.678,1ha, dan pada tahun 2018, luas
sawah adalah 239.077,7 ha. Berdasarkan luas tersebut, maka dapat
diketahui terjadi pengurangan luas sawah sebesar +66.600,5 ha atau
berkurang sebesar 21,8%. Luas lahan sawah pada kurun waktu 2012
sampai dengan 2018 mengalami perubahan, dimana terjadi penambahan
luas sawah karena adanya kegiatan cetak sawah, dan pengurangan luas
sawah karena adanya alih fungsi lahan sawah menjadi non-sawah, seperti
V-1
perkebunan dan kawasan terbangun. Luas sawah Provinsi Kalimantan
Barat pada Tahun 2012 – 2018 disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 5.1. Luas Lahan Sawah Tahun 2012 dan 2018 Provinsi
Kalimantan Barat
Kabupaten / Luas (ha) Persentase
Kota
Wilayah Sawah Sawah Laju Alih Lahan Lahan Laju
Tahun Tahun Fungsi sawah sawah Alih
2012 2018 Lahan terhadap terhadap Fungsi
Sawah Total luas luas Lahan
Wilayah Wilayah Sawah
2012 2018 Total

Sambas 594.875,18 59.761,1 43.064,90 - 16.818,67 10,0% 7,2% 28,1%


Bengkayang 548.703,16 15.342,4 10.926,79 - 4.158,73 2,8% 2,0% 27,1%
Landak 835.021,55 39.688,3 26.303,14 - 13.748,41 4,8% 3,1% 34,6%
Mempawah 191.765,33 15.648,9 12.306,63 - 3.307,79 8,2% 6,4% 21,1%
Sanggau 1.249.735,28 18.395,0 24.064,60 5.912,05 1,5% 1,9% -32,1%
Ketapang 2.993.143,54 31.973,1 28.678,81 - 2.440,88 1,1% 1,0% 7,6%
Sintang 2.191.393,00 18.574,6 17.373,75 - 2.841,34 0,8% 0,7% 15,3%
Kapuas Hulu 3.132.769,43 11.790,3 13.092,44 505,49 0,4% 0,4% -4,3%
Sekadau 626.309,83 6.615,1 9.675,49 2.892,84 1,1% 1,5% -43,7%
Melawi 1.012.236,47 4.859,2 3.873,27 - 1.214,68 0,5% 0,4% 25,0%
Kayong Utara 410.482,70 21.930,6 12.037,76 - 9.896,58 5,3% 2,9% 45,1%
Kubu Raya 861.410,35 56.223,5 36.314,77 - 19.904,14 6,5% 4,2% 35,4%
Kota Pontianak 14.715,84 340,0 223,86 - 115,34 2,3% 1,5% 33,9%
Kota Singkawang 54.976,74 4.536,2 2.682,71 - 1.464,29 8,3% 5,6% 32,3%
Jumlah 14.717.538 305.678,1 240.618,92 - 66.600,5 2,1% 1,6% 21,8%
Sumber : Analisis Spasial Peta Sawah Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hotikultura, Provinsi Kalimantan Barat, 2018.

Berdasarkan Tabel diatas, laju alih fungsi lahan sawah selama tahun 2012
– 2018 adalah sebesar 21,8 %. Luas alih fungsi lahan sawah terbesar
adalah di Kabupaten Landak yakni berkurang 34,6 % dari total luas sawah
Kabupaten Landak pada tahun 2012. Luas alih fungsi lahan sawah terkecil
adalah di Kabupaten Ketapang, yakni berkurang sebesar 7,6% dari luas
total sawah pada Tahun 2012.
V-2
Laju pengurangan fungsi lahan sawah bertanda negatif, dikarenakan
penambahan luas sawah melalui kegiatan cetak sawah. Laju penambahan
sawah terbesar adalah pada Kabupaten Sekadau, yakni 43,7 % dari luas
sawah pada tahun 2012, dan laju penambahan luas sawah terkecil pada
Kabupaten Kapuas Hulu, yakni hanya 5,4 % dari luas total sawah pada
Tahun 2012.

5. 2. Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi Perkebunan

Alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan perkebunan merupakan pilihan


untuk meningkatkan pendapatan petani, karena harga jual hasil panen
kelapa sawit dianggap lebih ekonomis daripada padi. Petani memiliki
motivasi untuk mengalihfungsikan sawah menjadi perkebunan sawit
karena kondisi lahan yang baik, memiliki infrastruktur yang memadai, dan
mudah diolah. Alih fungsi lahan sawah menjadi perkebunan disajikan
pada Tabel berikut.

V-3
Tabel 5. 2 Luas Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi Perkebunan
Tahun 2012 sampai 2018 Provinsi Kalimantan Barat

Kabupaten / Kota Luas (ha) Persentase


Wilayah Sawah Tahun Sawah Alih Fungsi Alih Fungsi
2012 Tahun 2018 Lahan Sawah Lahan Sawah
menjadi menjadi
Perkebunan Perkebunan
Sambas 594.875,18 59.761,1 43.064,90 360,0 0,60
Bengkayang 548.703,16 15.342,4 10.926,79 319,6 2,08
Landak 835.021,55 39.688,3 26.303,14 1.004,2 2,53
Mempawah 191.765,33 15.648,9 12.306,63 4,4 0,03
Sanggau 1.249.735,28 18.395,0 24.064,60 763,5 4,15
Ketapang 2.993.143,54 31.973,1 28.678,81 103,1 0,32
Sintang 2.191.393,00 18.574,6 17.373,75 124,0 0,67
Kapuas Hulu 3.132.769,43 11.790,3 13.092,44 - 0,00
Sekadau 626.309,83 6.615,1 9.675,49 165,7 2,51
Melawi 1.012.236,47 4.859,2 3.873,27 1,3 0,03
Kayong Utara 410.482,70 21.930,6 12.037,76 14,7 0,07
Kubu Raya 861.410,35 56.223,5 36.314,77 466,6 0,83
Kota Pontianak 14.715,84 340,0 223,86 - 0,00
Kota Singkawang 54.976,74 4.536,2 2.682,71 - 0,00
Grand Total 14.717.538 305.678,1 240.618,92 3.327,1 1,09
Sumber : Analisis Spasial Peta Sawah Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hotikultura, Provinsi Kalimantan Barat, 2018.

Berdasarkan Tabel diatas, diketahui bahwa luas alih fungsi lahan sawah
pada Tahun 2012 menjadi lahan perkebunan pada Tahun 2018 seluas
3.327,1 ha. Luas alih fungsi lahan terbesar adalah di Kabupaten Landak
seluas + 1.004,2 ha, sedangkan luas alih fungsi lahan terkecil adalah di
Kabupaten Melawi, yakni seluas + 1,3 ha.

5. 3 Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi Kawasan Terbangun

Alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan terbangun menjadi faktor


utama yang dianggap sebagai penyebab menurunnya produksi padi. Jika
produksi padi berkurang, maka ketersediaan beras untuk bahan pangan
masyarakat akan menurun pula.
Alih fungsi lahan sawah menjadi non-pertanian Provinsi Kalimantan Barat

V-4
terdiri dari alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan terbangun
(permukiman dan fasilitas umum/sosial, serta kawasan perdagangan/
perindustrian), alih fungsi lahan sawah menjadi perkebunan, dan alih
fungsi lahan sawah menjadi fasilitas umum. Tabel berikut menunjukkan
alih fungsi lahan sawah menjadi lahan terbangun pada Tahun 2012-2018.

Tabel 5.3 Luas Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi Kawasan


Terbangun Tahun 2012 sampai 2018 Provinsi Kalimantan Barat

Kabupaten / Kota Luas (ha) Persentase


Wilayah Sawah Tahun Sawah Tahun Konversi Lahan Sawah
2012 2018 Lahan Sawah menjadi
menjadi Lahan
Lahan Terbangun
Terbangun
Sambas 594.875,18 59.761,1 43.064,90 911,17 1,52
Bengkayang 548.703,16 15.342,4 10.926,79 21,66 0,14
Landak 835.021,55 39.688,3 26.303,14 117,94 0,30
Mempawah 191.765,33 15.648,9 12.306,63 92,22 0,59
Sanggau 1.249.735,28 18.395,0 24.064,60 107,63 0,59
Ketapang 2.993.143,54 31.973,1 28.678,81 344,82 1,08
Sintang 2.191.393,00 18.574,6 17.373,75 39,18 0,21
Kapuas Hulu 3.132.769,43 11.790,3 13.092,44 23,81 0,20
Sekadau 626.309,83 6.615,1 9.675,49 27,98 0,42
Melawi 1.012.236,47 4.859,2 3.873,27 23,88 0,49
Kayong Utara 410.482,70 21.930,6 12.037,76 179,68 0,82
Kubu Raya 861.410,35 56.223,5 36.314,77 340,00 0,60
Kota Pontianak 14.715,84 340,0 223,86 5,92 1,74
Kota Singkawang 54.976,74 4.536,2 2.682,71 29,76 0,66
Jumlah 14.717.538 305.678,1 240.618,92 2.265,65 0,74
Sumber : Analisis Spasial Peta Sawah Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hotikultura, Provinsi Kalimantan Barat, 2018.

Berdasarkan Tabel diatas, luas lahan sawah yang terkonversi menjadi


permukiman sebesar 2.265,65 ha atau 0,74 % dari luas sawah pada
Tahun 2012. Luas alih fungsi terbesar adalah Kabupaten Sambas
(911,17 ha), dan yang terkecil adalah Kota Pontianak (5,92 ha).

V-5
5. 4 Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi Kebun Campuran dan/atau
Ladang

Alih fungsi ini sebenarnya corak penggunaan lahan yang dominan pada
lahan sawah yang ditanami dengan pola tumpang sari atau tumpang gilir.
Tabel berikut menyajikan alih fungsi lahan menjadi kebun campuran dan
ladang.

Tabel 5.6 Luas Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi Kebun


Campuran dan/atau Ladang Tahun 2012 sampai 2018 Provinsi
Kalimantan Barat

Kabupaten / Kota Luas (ha) Persentase


Wilayah Sawah Sawah Alih Fungsi Alih Fungsi Lahan Lahan
Tahun 2012 Tahun Lahan Lahan Sawah sawah
2018 Sawah Sawah menjadi menjadi
menjadi menjadi Ladang kebun
Ladang Kebun campuran
Campuran
Sambas 594.875,18 59.761,1 43.064,90 1.157,63 14.389,84 1,94 24,1%
Bengkayang 548.703,16 15.342,4 10.926,79 1.653,38 2.164,10 10,78 14,1%
Landak 835.021,55 39.688,3 26.303,14 11.791,93 834,35 29,71 2,1%
Mempawah 191.765,33 15.648,9 12.306,63 319,48 2.891,73 2,04 18,5%
Sanggau 1.249.735,28 18.395,0 24.064,60 2.996,78 2.044,13 16,29 11,1%
Ketapang 2.993.143,54 31.973,1 28.678,81 6.298,86 1.305,93 19,70 4,1%
Sintang 2.191.393,00 18.574,6 17.373,75 1.879,24 798,93 10,12 4,3%
Kapuas Hulu 3.132.769,43 11.790,3 13.092,44 3.030,21 548,53 25,70 23,6%
Sekadau 626.309,83 6.615,1 9.675,49 1.894,00 805,13 28,63 12,2%
Melawi 1.012.236,47 4.859,2 3.873,27 1.197,62 8,09 24,65 0,2%
Kayong Utara 410.482,70 21.930,6 12.037,76 1.302,22 8.399,93 5,94 38,3%
Kubu Raya 861.410,35 56.223,5 36.314,77 3.333,74 14.676,07 5,93 26,1%
Kota Pontianak 14.715,84 340,0 223,86 1,89 107,53 0,56 31,6%
Kota Singkawang 54.976,74 4.536,2 2.682,71 75,63 1.358,90 1,67 30,0%
Jumlah 14.717.538 305.678,1 240.618,92 36.932,62 22.987,34 12,08 8%

Sumber: Analisis Spasial, 2019.


Berdasarkan Tabel diatas, diketahui bahwa konversi lahan sawah menjadi
ladang terbesar adalah di Kabupaten Landak, sedangkan yang terkecil
adalah Kabupaten Mempawah. Konversi lahan sawah menjadi kebun

V-6
campuran terbesar di kabupaten Kubu Raya, sedangkan konversi terkecil
pada Kabupaten Melawi.

5.5. Penyebab Alih Fungsi Lahan Sawah

Alih fungsi lahan Sawah dapat terjadi tiap tahun. Alih fungsi lahan dapat
bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara. Jika lahan sawah
beririgasi teknis diubah menjadi kawasan perumahan atau industri, maka
alih fungsi lahan tersebut bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah
tersebut berubah menjadi misalkan perkebunan tebu, maka alih fungsi
lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya
dapat dijadikan sawah kembali.

Saat ini luas lahan Provinsi Kalimantan Barat yang digunakan untuk
kegiatan pertanian semakin berkurang seiring dengan semakin banyaknya
terjadi alih fungsi atau konversi lahan pertanian. Lahan pertanian yang
biasanya dialihfungsikan oleh petani adalah lahan sawah yang subur
tempat mereka menggantungkan hidupnya. Alih fungsi lahan pertanian
merupakan masalah yang perlu diperhatikan karena ketergantungan
masyarakat terhadap sektor pertanian yang sangat besar.

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah


secara umum adalah tekanan penduduk terhadap lahan, Black Design
Alih Fungsi Lahan, serta bencana alam. Tiap faktor penyebab alih fungsi
lahan sawah disajikan pada masing-masing sub bab.

5. 6. Tekanan Penduduk terhadap Lahan

Analisis kepadatan penduduk perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh


mana tingkat ketergantungan penduduk terhadap lahan di wilayah itu.
Nilai kepadatan penduduk akan menjadi pertimbangan dalam penentuan
arahan pemanfaatan lahan. Semakin tinggi tekanan penduduk maka
rekomendasi pemanfaatan lahan semakin berorientasi pada pemenuhan

V-7
kebutuhan hidup dan pelestarian sumberdaya lahan. Tekanan penduduk
dinyatakan dengan Indeks Tekanan Penduduk (ITP) terhadap lahan,
dihitung dengan menggunakan persamaan Soemarwoto (2007). Jika
Indeks Tekanan Penduduk (ITP) memiliki nilai >2, artinya penduduk
memiliki tingkat kebutuhan tinggi terhadap lahan, dan berimplikasi
terhadap luas lahan yang harus dialokasikan untuk kebutuhan pangan.
Jika nilai ITP berkisar antara 1-2, maka kebutuhan lahan masih dalam
kategori sedang. Jika nilai ITP <1, maka kebutuhan penduduk terhadap
lahan masih rendah, sehingga masih memungkinkan untuk perluasan
areal baru untuk berbagai pemanfaatan lahan.
Persamaan tekanan penduduk merupakan fungsi dari luas lahan minimal
layak hidup (z), proyeksi pertumbuhan penduduk (r), persentase jumlah
petani (f), serta luas total lahan pertanian masing-masing kabupaten/kota.
Luas lahan minimal layak hidup (z) diketahui berdasarkan luas lahan
sawah irigasi dengan intensitas tanam dua kali per tahun, lahan sawah
irigasi dengan intensitas tanam sekali per tahun, lahan sawah tadah hujan
dan lahan kering. Nilai ini memiliki koefisien yang berbeda-beda,
tergantung pada luas masing-masing tipe lahan sawah yang ditanami
padi.
Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Tekanan Penduduk tiap kabupaten
/ kota di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018, diketahui bahwa nilai ITP
tinggi terdapat pada Kabupaten Mempawah, Kabupaten Melawi,
Kabupaten Kubu Raya, dan Kota Pontianak, serta Kota Singkawang. Hasil
perhitungan ITP disajikan pada Tabel berikut.

V-8
Tabel 5. 7 Nilai Indeks Tekanan Penduduk Terhadap Lahan Provinsi
Kalimantan Barat Tahun 2018
Kabupaten / Kota Luas Lahan Petani Luas lahan Laju ITP keterangan
Pertanian (%) minimal Pertumbuhan
Pangan (ha) layak hidup penduduk (r)
(z)
Kab. Sambas 95.264 0,23 0,62 0,94 1,46 sedang
Kab. Bengkayang 93.940 0,24 0,48 1,96 1,46 sedang
Kab. Landak 121.765 0,27 0,33 1,55 0,89 rendah
Kab. Mempawah 23.043 0,15 0,54 1,39 2,66 tinggi
Kab. Sanggau 168.303 0,24 0,37 1,61 0,88 rendah
Kab. Ketapang 240.599 0,13 0,65 2,07 0,94 rendah
Kab. Sintang 75.096 0,20 0,50 1,59 1,90 sedang
Kab. Kapuas Hulu 110.810 0,19 0,40 1,95 0,84 rendah
Kab. Sekadau 41.615 0,26 0,39 1,19 1,17 sedang
Kab. Melawi 9.102 0,19 0,51 1,76 8,95 tinggi
Kab. Kayong Utara 38.899 0,21 0,49 1,87 1,29 sedang
Kab. Kubu Raya 31.124 0,13 0,76 1,66 6,57 tinggi
Kota Pontianak 5.045 0,01 0,75 1,74 3,12 tinggi
Kota Singkawang 7.307 0,08 0,31 2,06 3,71 tinggi
Sumber: Analisis Data BPS, 2018.

Berdasarkan Tabel diatas, nilai ITP memiliki kategori yang berbeda pada
tiap kabupaten / kota. Nilai ITP yang rendah berarti bahwa hasil pertanian
(sawah) pada daerah tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup
penduduknya, dan mengekspor ke daerah lainnya. Nilai ITP sedang
menunjukkan bahwa produksi pertanian masih dapat memenuhi
kebutuhan hidup penduduk di wilayahnya sendiri. Sedangkan Nilai ITP
yang tinggi menunjukkan bahwa produksi pertanian (sawah) pada daerah
tersebut sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup penduduknya,
atau dengan istilah lain harus mengimpor bahan pangan (beras) dari luar
kabupaten.
indeks tekanan penduduk yang tinggi disebabkan oleh sempitnya luas

V-9
total lahan pertanian pangan dan rendahnya persentase jumlah petani
dibandingkan laju pertumbuhan penduduk.
Beberapa daerah yang memiliki ITP tinggi seperti wilayah perkotaan
(Provinsi Kalimantan Barat dan Pontianak) memiliki tingkat kebutuhan
lahan yang tinggi untuk penggunaan lahan non pertanian, misalnya
pemukiman, perdagangan, dan lain-lain. Pada wilayah pedesaan, seperti
Kabupaten Mempawah, lahan pertanian pangan yang mendominasi
kawasan pesisir juga telah dialihfungsikan menjadi kawasan perdagangan
dan pelabuhan.
Pada wilayah Kabupaten Kubu Raya dan Melawi, luas lahan pertanian
juga sangat kecil, sehingga menghasilkan ITP yang tinggi.
Pada wilayah yang memiliki ITP sedang, tekanan penduduk disebabkan
oleh kebutuhan terhadap pengusahaan lahan pertanian secara intensif.
Wilayah Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sintang, Sekadau dan Kayong
Utara, persentase petani cukup tinggi, yakni lebih dari 25% dari jumlah
penduduk kabupaten. Akan tetapi, jika luas lahan pertanian yang
diusahakan tidak bertambah, maka tekanan terhadap lahan akan semakin
tinggi.
Tekanan penduduk terjadap lahan pertanian terjadi karena beberapa
faktor, yakni :
(a) Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk
di suatu wilayah. Peningkatan jumlah penduduk yang pesat telah
meningkatkan permintaan tanah.
(b) Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas
sektor barang dan jasa, terutama pengembangan kawasan
pemukiman dibandingkan dengan sektor pertanian. Secara umum
besaran land rent dari berbagai kegiatan dapat diurutkan sebagai
berikut: Industri > Perdagangan > Permukiman > Pertanian Intensif >
Pertanian Ekstensif. Dapat disimpulkan bahwa sektor yang komersial
dan strategis mempunyai land rent yang lebih tinggi.

V-10
(c) Rendahnya insentif untuk bertani disebabkan tingginya biaya
produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan
berfluktuasi.

5. 7. Faktor Penyebab Alih Fungsi Lahan Sawah

Pada kajian ini, faktor kependudukan dan dan faktor ekonomi dinyatakan
dengan variabel PDRB yang terdiri dari sektor pertanian, pertambangan,
perdagangan, real estate, serta jasa. Faktor pendukung budidaya
pertanian dinyatakan melalui variabel alat dan mesin pertanian baik untuk
pengolahan lahan serta alsintan panen, serta variabel jaringan irigasi.
Keseluruhan variabel dinyatakan melalui persamaan regresi multivariate.
Regresi multivariate mensyaratkan tidak adanya data yang bersifat
multikolinearitas, sehingga data 14 variabel penyebab alih fungsi lahan
sawah harus ditransformasikan melalui analisis PCA (Principal
Component Analysis), dengan metode varimax normalized. Hasil PCA 14
komponen disajikan pada Tabel berikut.

V-11
Tabel 5. 8 Hasil Principal Component Analysis terhadap Variabel
yang mempengaruhi alih fungsi Lahan Sawah

Variabel Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3


Laju Alih Fungsi Lahan Sawah (V) - 0,33 - 0,53 0,74
Tanaman Pangan 0,89 0,44 - 0,04
Tanaman Hortikultura 0,80 0,59 0,03
Tanaman Perkebunan 0,97 0,24 - 0,07
Peternakan 0,98 0,15 - 0,09
Jasa Pertanian dan Perburuan 0,23 0,96 0,16
Kehutanan dan Penebangan Kayu 0,59 0,80 0,06
Perikanan 0,94 0,35 - 0,04
Pertambangan dan Penggalian 0,31 0,94 0,12
Industri Pengolahan 0,99 - 0,06 - 0,13
Konstruksi 0,93 0,36 - 0,06
transportasi dan pergudangan 0,27 0,95 0,15
Real Estate 0,72 0,69 0,03
Alsintan Pengolahan Lahan 0,05 0,99 - 0,00
Alsintan Panen - 0,45 0,37 0,65
Irigasi 0,20 0,42 0,75
Expl.Var 7,50 6,29 1,64
Prp.Totl 0,47 0,39 0,10
Sumber : Analisis Data Primer dan Sekunder (2019).
Keterangan : tercetak tebal mengindikasikan variabel tergabung dalam kelompok
faktor yang sama.

Hasil Analisis PCA menunjukkan bahwa 15 variabel membentuk 3


kelompok faktor utama yang mempengaruhi alih funbgsi lahan sawah.
Kelompok utama tersebut merupakan kumpulan variabel yang memiliki
hubungan dengan nilai koefisien determinasi lebih dari 70%, sehingga
dianggap signifikan mewakili jumlah data. Tiga faktor tersebut antara lain:
1. Index PDRB. Variabel yang termasuk dalam kategori ini antara lain
variabel PDRB Sub Sektor Pertanian Tanaman Pangan, Tanaman
Hortikultura, Tanaman Perkebunan, Peternakan, Perikanan,
Industri Pengolahan, Konstruksi, dan Real Estate.
2. Index Alsintan. Variabel yang termasuk dalam kategori ini antara
lain Jasa Pertanian dan Perburuan, Kehutanan dan Penebangan
Kayu, Pertambangan dan Penggalian, transportasi dan
pergudangan, dan Alsintan pengolahan lahan (traktor).

V-12
3. Index Irigasi. Variabel yang termasuk dalam kategori ini antara lain
Laju Alih Fungsi Lahan dan Jaringan Irigasi.

Transformasi data tiga kelompok faktor (factor score) tersebut


diregresikan melalui persamaan regresi multivariat. Hasil regresi
multivariat disajikan dalam bentuk ANOVA, parsial dan residual output,
dan nilai koefisien determinasi. Hasil Regresi disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 5.9. ANOVA Regresi Multivariat Alih Fungsi Lahan Sawah

Sums df Mean F p-value


ofSquares Squares
Regress. 10,99546 3 3,665154 8,717742 0,003843

Residual 4,20425 10 0,420425

Total 15,19971
Sumber : Analisis Data Primer dan Sekunder, 2019.

Tabel 5.10. Hasil Regresi Multivariat Tiga Kelompok Faktor Alih


Fungsi Lahan Sawah
Regression Summary for Dependent Variable: V (Spreadsheet1)
R= ,85052896 R²= ,72339950 Adjusted R²= ,64041936
F(3,10)=8,7177 p<,00384 Std.Error of estimate: ,64840
b* Std.Err. b Std.Err. t(10) p-value
of b* of b
Intercept -3,09312 0,398373 -7,76437 0,000015
Index PDRB -0,262884 0,166790 -0,75830 0,481115 -1,57613 0,146073
Index Alsintan -0,102211 0,166380 -0,36235 0,589842 -0,61432 0,552723
Index Irigasi -0,785348 0,166724 -2,25093 0,477857 -4,71048 0,000828
Sumber : Analisis Data Primer dan Sekunder, 2019.
Berdasarkan Anova, terlihat bahwa nilai F hitung > F tabel, sehingga
persamaan regresi laju alih fungsi lahan memiliki signifikansi, sehingga
Index PDRB, Index Alsintan, dan Index Jaringan Irigasi secara simultan
mempengaruhi laju alih fungsi lahan sawah dengan hubungan berbanding
terbalik. Nilai Koefisien Determinasi (R2) adalah sebesar 0,85, artinya
seluruh kelompok variabel secara signifikan mempengaruhi alih fungsi
lahan sawah.

V-13
Berdasarkan Tabel diatas, secara parsial, diketahui nilai T hitung Index
PDRB < T tabel, sehingga dapat diartikan Index PDRB signifikan
mempengaruhi alih fungsi lahan sawah.
Demikian pula pada index Alsintan, terlihat nilai T hitung Index Alsintan <
T tabel, sehingga dapat diartikan Index Alsintan signifikan mempengaruhi
alih fungsi lahan sawah, dan pada index Irigasi nilai T hitung Index Irigasi
< T tabel, sehingga dapat diartikan Index Irigasi signifikan mempengaruhi
alih fungsi lahan sawah. Akan tetapi berdasarkan nilai b* (absolut),
diketahui bahwa Index Irigasi memiliki nilai yang paling tinggi, sehingga
Index Jaringan Irigasi signifikan mempengaruhi alih fungsi lahan sawah
lebih besar daripada variabel lainnya.
Berdasarkan Tabel diatas, maka persamaan alih fungsi lahan sawah
Provinsi Kalimantan Barat dinyatakan dengan persamaan logistik:
ln V = -3,09 - 0,76(lnX1) - 0,36(lnX2) - 2,25(lnX3) + 0,15

dimana V : Laju alih fungsi lahan sawah


X1 : Index PDRB
X2 : Index Alsintan
X3 : Index Irigasi
Berdasarkan persamaan tersebut, laju alih fungsi lahan berbanding
terbalik dengan Index PDRB, Index Alsintan dan Index Irigasi. Hal ini
berarti bahwa jika alih fungsi lahan berkurang sebanyak satu satuan,
maka PDRB harus ditingkatkan sebanyak X0,76 satuan, Alsintan
(pengolahan lahan) harus ditingkat sebanyak X0,36 satuan, dan luas lahan
beririgasi harus ditingkatkan sebanyak X2,25 satuan. Index irigasi
merupakan variabel yang terkait secara langsung dengan alih fungsi lahan
sawah karena berada pada satu kelompok yang sama (Tabel).
Berdasarkan index irigasi, permasalahan utama alih fungsi lahan sawah
adalah lahan sawah yang mereka miliki sering tidak dialiri air. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya debit air sungai pada musim kemarau (April –
Juli), rusaknya saluran maupun bangunan air. Terhalangnya saluran
V-14
irigasi ini mengakibatkan tidak adanya aliran air ke lahan pertanian
tersebut. Hal ini mengakibatkan lahan menjadi tidak produktif lagi yang
pada akhirnya akan merugikan petani.

5.8. Proses Alih Fungsi Lahan Sawah


Alih fungsi lahan sawah dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung (Sumaryanto et.al., 2001). Alih fungsi secara langsung
merupakan perubahan penggunaan lahan yang dilakukan oleh petani
pemilik lahan tersebut sendiri, sedangkan alih fungsi lahan secara tidak
langsung merupakan kegiatan alih fungsi lahan yang diawali oleh alih
penguasaan terlebih dahulu. Alih fungsi secara langsung biasanya
dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, dalam upaya
meningkatkan pendapatan, maupun kombinasi keduanya. Alih fungsi
secara tidak langsung melalui alih penguasaan terlebih dahulu, artinya
petani menjual lahan sawah yang dimilikinya lalu lahan sawah tersebut
dialihfungsikan oleh pemilik barunya. Alih penguasaan dapat juga melalui
sistem bagi waris dimana petani membagikan sawahnya kepada
keturunannya.
Proses alih fungsi lahan sawah dapat juga terjadi secara sukarela maupun
secara terpaksa (Puspasari, 2012). Alih fungsi lahan secara sukarela
adalah proses alih fungsi, baik langsung maupun tidak langsung, yang
dilakukan atas dasar keinginan petani sendiri tanpa ada pengaruh dari
orang lain. Alih fungsi lahan secara terpaksa adalah proses alih fungsi
lahan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dilakukan karena
adanya pengaruh dari pihak lain maupun pengaruh dari kondisi wilayah.

5.8.1. Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi Kawasan pemukiman

Pada umumnya, alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan pemukiman


dapat dibagi menjadi dua tipe, yakni :
(a) Alih fungsi lahan menjadi kawasan permukiman dilakukan secara
langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Motif dari pemilik

V-15
lahan pertanian untuk merubah penggunaan lahannya antara lain,
karena pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal dan
peningkatan pendapatan melalui alih usaha.
(b) Alih fungsi lahan diawali dengan alih penguasaan lahan. Petani
menjual lahan mereka kepada pihak lain yang akan
memanfaatkannya untuk usaha non pertanian. Pemilik lahan
secara tidak langsung dianggap mengalihfungsikan lahan pertanian
tersebut.

Sebagaimana diketahui para petani umumnya berpendapatan sedikit


karena kebijakan pemerintah dalam pengaturan harga komoditas
pertanian yang kurang bijak dibandingkan dengan harga input pertanian
yang tinggi. Sehingga mereka cenderung membuat tempat tinggal untuk
keturunannya atau membuat usaha lain dengan mengalihfungsikan lahan
pertanian milik mereka sendiri. Dampak dari alih fungsi ini akan baru
terasa dalam jangka waktu yang lama.
Sebagian besar faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah
adalah dari persepsi sosial budaya, dimana orangtua mewariskan tanah
kepada seluruh ahli warisnya. Faktor kebutuhan akan rumah tinggal
secara individual menyebabkan ahli waris membangun rumah pada
bagian tanah yang menjadi haknya. Jika ahli waris petani masih bekerja di
sektor pertanian, maka tingkat alih fungsi lahan sawah termasuk kategori
rendah. Akan tetapi jika ahli waris sudah tidak memiliki kepentingan
terhadap pertanian, maka tingkat alih fungsi akan menjadi tinggi.
Letak wilayah yang strategis juga mendorong terjadinya alih fungsi lahan
sawah. Penurunan luas lahan sawah seperti di Kota Singkawang,
Kabupaten Kubu Raya, Kabupaten Mempawah, dan Sambas, terjadi tidak
hanya disebabkan oleh pembangunan pemukiman atau perumahan
namun juga disebabkan karena adanya pembangunan jalan, rumah sakit,
gudang dan lain-lain. Tujuan pembangunan ini sebenarnya untuk
meningkatkan prasarana transportasi yang memadai dan layak.

V-16
Pembangunan infrastruktur, terutama jalan, akan menimbulan opportunity
cost, sehingga nilai land rent akan menjadi lebih tinggi. Banyak lahan
sawah yang memiliki produktivitas yang tinggi berada di jalan utama.
Para pemilik lahan cenderung untuk mengalihfungsikan lahan yang dimiliki
karena walaupun lahan yang mereka punya memiliki produktivitas yang
tinggi namun hasil penjualan lahan masih lebih tinggi daripada hasil
produksi padi yang mereka peroleh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah berdasarkan
karakteristik petani, dinyatakan melalui persamaan berikut.
Proses alih fungsi lahan yang dilakukan oleh sebagian besar petani
karena terpaksa. Sebenarnya, petani tidak ingin menjual lahannya karena
pertanian merupakan sumber mata pencaharian pokok. Namun, akibat
adanya bujukan dari makelar (calo) agar petani mau menjual lahannya
sehingga petani terbujuk dan mau menjual lahannya. Hal ini disebabkan
karena wilayah ini merupakan daerah pengembangan perumahan. Kondisi
ini menunjukkan bahwa tidak adanya bargaining position yang dimiliki
petani sehingga petanilah yang menjadi sasaran bagi berbagai pihak baik
pemerintah maupun swasta untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Selain itu, ada juga petani yang proses alih fungsi lahan pertaniannya
secara sukarela. Hal ini diseabkan karena adanya kebutuhan-kebutuhan
petani yang membutuhkan biaya tinggi. Petani melakukan alih fungsi
lahan karena adanya kebutuhan hidup yang mendesak seperti biaya hidup
sehari-hari, biaya sekolah, biaya pernikahan, biaya berobat, biaya naik
haji, modal usaha, dan sebagainya. Bagi petani (responden) yang
memiliki lahan cukup luas, hasil penjualan tersebut akan digunakan untuk
membeli lahan sawah di wilayah lain yang memiliki harga lahan lebih
murah. Namun, bagi petani yang tidak memiliki lahan luas, hasil penjualan
lahan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau
keperluan lainnya.

V-17
5.8.2. Alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan industri dan
perdagangan

Secara umum, alih fungsi lahan sawah diawali dengan alih penguasaan
lahan. Pemilik lahan menjual kepada pihak lain yang akan
memanfaatkannya untuk usaha industri dan perdagangan. Para petani
yang cenderung berpendapatan kecil akan menjual lahannya karena
tergiur akan harga lahan yang ditawarkan oleh para investor. Secara
empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini umumnya berkorelasi positif
dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan
terhadap eksistensi lahan pertanian dengan pola ini berlangsung cepat
dan nyata.

5.8.3. Alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan perkebunan

Alih fungsi lahan sawah menjadi perkebunan terbagi menjadi dua kategori,
yakni perkebunan rakyat dan perkebunan perusahaan. Pada dasarnya
perubahan penggunaan lahan sawah menjadi perkebunan rakyat
dilandasi oleh : pemilihan komoditas pertanian yang lebih ekonomis, dan
pengusahaan pertanian pada lahan yang memiliki faktor pembatas berat.
Komoditas pertanian yang bernilai ekonomis sehingga memicu alih fungsi
lahan sawah adalah tanaman kelapa sawit. Sedangkan pengusahaan
pertanian pada lahan yang memiliki faktor pembatas berat biasanya terkait
dengan faktor ketersediaan air (kekeringan). Pada kondisi tersebut, lahan
sawah biasa terlantar, atau dikonversi dengan tanaman lada, karet,
pinang, kelapa dalam, dan lain-lain. Namun alih fungsi ini pada lahan
dengan faktor pembatas berat ini biasanya bersifat sementara.

5.9. Black Design Alih Fungsi

Black design alih fungsi lahan dapat terjadi akibat dari tuntutan
perkembangan kegiatan penduduk pada daerah-daerah yang awalnya
merupakan basis pertanian sawah menjadi daerah perkotaan yang
V-18
dicirikan dengan zona permukiman, perdagangan, dan industri. Faktor
yang mendorong tuntutan kegiatan penduduk pada lahan sawah adalah:
(a) Masyarakat memiliki perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan
jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan
kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari
RTRW yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk
penggunaan tanah non pertanian.
(b) Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakkan hukum
dari peraturan yang ada.

Akibat dari perilaku myopic diantaranya adalah investasi pada daerah


perkotaan maupun pedesaan, jika suatu individu atau kelompok sudah
mengetahui arah RTRW pada kawasan tertentu, maka seseorang atau
kelompok dapat membeli tanah sawah dengan harga yang relatif rendah.
Jika tanah sawah itu sudah berganti kepemilikan pada orang yang tidak
konsisten terhadap pertanian, maka tanah sawah tersebut akan
terbengkalai, sehingga tidak memungkinkan lagi menghasilkan produksi.

Akan tetapi pada kondisi tertentu, masih banyak sawah yang diusahakan
pada status lahan perorangan atau kelompok, dimana usaha tani tersebut
dijalankan dengan cara menyewa lahan. Dalam hal ini petani yang
mengerjakan berstatus sebagai buruh tani atau penyakap. Jika kondisi ini
masih dipertahankan, maka sawah tersebut masih memiliki produktivitas
dalam jangka waktu tertentu.

Pada kondisi lainnya, masih banyak lahan pertanian (sawah) yang


diusahakan pada Status Fungsi Kawasan Hutan Lindung / Hutan Produksi
/ Hutan Produksi Konversi. Pada kondisi ini hutan lindung, peningkatan
infrastruktur dapat dilaksanakan melalui Izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan. Hal ini PP Nomor 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan

V-19
Kawasan Hutan ditegaskan, penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat
dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak
dapat dielakkan. Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan
sebagaimana dimaksud meliputi kegiatan: a. religi; b. pertambangan; c.
instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi
baru dan terbarukan; d. pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun
pemancar radio, stasiun relay televisi, dan stasiun bumi pengamatan
keantariksaan; e. jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; f. sarana
transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum
untuk keperluan pengangkutan hasil produksi; g. waduk, bendungan,
bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi,
dan bangunan pengairan lainnya; h. fasilitas umum; i. industri selain
industri primer hasil hutan; j. pertahanan dan keamanan; k. prasarana
penunjang keselamatan umum; l. penampungan korban bencana alam
dan lahan usahanya yang bersifat sementara; atau m. pertanian tertentu
dalam rangka ketahanan pangan dan ketahanan energi.

Namun dengan adanya izin pinjam pakai kawasan hutan, maka banyak
konsekuensi yang harus diterapkan misalnya rehabilitasi DAS, pajak,
maupun kompensasi lainnya. Oleh karena itu, jika proses pengendalian
tata ruang sudah berjalan dengan baik, maka status pelepasan kawasan
hutan pada lahan pertanian (sawah) menjadi hal mutlak yang harus
dilaksanakan oleh pimpinan daerah.

Faktor kedua yang menjadi penyebab timbulnya Black Design Alih


Fungnsi Lahan Sawah adalah belum terbentuknya komitmen yang kuat
dan persamaan persepsi tentang tingkat alih fungsi lahan sawah dan perlu
tidaknya upaya khusus dalam pengendalian alih fungsi lahan tersebut.
Selain itu, persepsi tentang kerugian akibat konversi lahan sawah yang
cenderung bias ke bawah (under estimate) menyebabkan dampak
V-20
negatifnya tidak dianggap sebagai persoalan yang perlu ditangani secara
serius dan konsisten.

Penegakan Perda Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota menjadi hal yang


rumit akibat pesatnya pertumbuhan penduduk dan kegiatan perekonomian
baik jasa maupun perdagangan sehingga konversi lahan menjadi non-
pertanian menjadi tak terelakkan. Penyebab pertama, kebijakan yang
kontradiktif terjadi karena di satu pihak pemerintah berupaya melarang
terjadinya alih fungsi, tetapi di sisi lain kebijakan pertumbuhan
industri/manufaktur dan sektor non pertanian lainnya justru mendorong
terjadinya alih fungsi lahan-lahan pertanian. Yang kedua, cakupan
kebijakan yang terbatas. Peraturan-peraturan tersebut di atas baru
dikenakan terhadap perusahaanperusahaan/badan hukum yang akan
menggunakan tanah dan/atau akan merubah tanah pertanian ke non
pertanian. Perubahan penggunaan tanah sawah ke non pertanian yang
dilakukan secara individual/peorangan belum tersentuh oleh peraturan-
peraturan tersebut. Padahal perubahan fungsi lahan yang dilakukan
secara individual secara langsung diperkirakan cukup luas. Kendala
konsistensi perencanaan disebabkan karena Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) yang dilanjutkan dengan mekanisme pemberian ijin
lokasi adalah instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah
terjadinya konversi lahan sawah beririgasi teknis. Dalam kenyataannya
banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengkonversi tanah
sawah beririgasi teknis menjadi non pertanian. Hal ini akan mengurangi
lahan pertanian kota, sehingga daya dukung kota dalam memenuhi
kebutuhan pangan penduduk juga dapat berkurang. Proses penegakan
peraturan terhadap konversi lahan telah diatur berdasarkan UU no
26/2007 dimana penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya
dapat disebut sebagai pelanggaran.

Kelemahan lain dalam peraturan perundangan yang ada yaitu : (i) Objek
V-21
lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi ditetapkan
berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah
direkayasa, sehingga konversi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar
peraturan yang berlaku; (ii) Peraturan yang ada cenderung bersifat
himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik besarnya sanksi
maupun penentuan pihak yang dikenai sanksi; (iii) Jika terjadi konversi
lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit
ditelusuri lembaga yang paling bertanggung jawab untuk menindak karena
ijin konversi adalah keputusan kolektif berbagai instansi.

Selain itu dua faktor strategis lain adalah pertama, yang sifatnya
fundamental adalah petani sebagai pemilik lahan dan pemain dalam
kelembagaan lokal belum banyak dilibatkan secara aktif dalam berbagai
upaya pengendalian alih fungsi. Kedua, belum terbangunnya komitmen,
perbaikan sistem koordinasi, serta pengembangan kompetensi lembaga-
lembaga formal dalam menangani alih fungsi lahan pertanian. Beberapa
kelemahan dan keterbatasan tersebut di atas telah menyebabkan
instrumen kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang
selama ini telah disusun tidak dapat menyentuh secara langsung simpul-
simpul kritis yang terjadi di lapangan.

V-22
5.9.1 Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Sambas
Berdasarkan RTRW Kabupaten Sambas 2014-2034, diketahui bahwa pola
ruang pertanianmemiliki luas 358.825,07 ha, yang terdiri dari pertanian
lahan basah seluas 79.286,81 ha, dan pertanian lahan kering seluas
279.538,25 ha. Dari luas Pola Ruang Pertanian Lahan Basah, yang
digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah seluas
13.170,92 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat 30,57%
inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Sambas.

Tabel 5.11 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Sambas

Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi pola


wilayah Sawah 2018 ruang (%) keterangan
Hutan Lindung 26.143,46 69,85 0,27% Inkonsisten
Hutan Produksi 93.679,48 408,10 0,44% Inkonsisten
Hutan Produksi Konversi 5.033,11 - 0,00% Konsisten
Hutan Produksi Terbatas 11.118,30 211,01 1,90% Inkonsisten

Kawasan Strategis 10.197,54 - 0,00% Konsisten


Kawasan Terpadu Mandiri 302,82 - 0,00% Konsisten
Kebun Raya 311,73 - 0,00% Konsisten
Permukiman 52.980,50 12.436,87 23,47% Inkonsisten
Pertanian Lahan Basah 79.286,82 20.165,68 25,43% Konsisten
Pertanian Lahan Kering 279.538,26 9.750,69 3,49% Konsisten
Taman Wisata Alam 30.179,97 45,08 0,15% Inkonsisten
Jumlah 588.771,99 43.087,29 13.170,92 30,57%
Sumber: Analisis Spasial, 2019.

V-23
5.9.2 Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Landak
Berdasarkan RTRW Kabupaten Landak 2015-2035, diketahui bahwa pola
ruang pertanian memiliki luas 71.418,81 ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian, yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah
seluas 14.088,39 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat
43,56%inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Landak.

Tabel 5.12 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Landak

Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi keterangan


Wilayah Sawah 2018 Pola Ruang (%)

Kawasan Hankam 45,16 - 0,0% Konsisten


Kawasan Hutan Lindung 55.333,11 175,59 0,3% Inkonsisten
Kawasan Hutan Produksi 117.717,13 2.878,23 2,4% Inkonsisten
Kawasan Hutan Produksi Terbatas 11.673,08 - 0,0% Inkonsisten

Kawasan Hutan Rakyat dan Hutan Desa 15.781,36 47,27 0,3% Inkonsisten
Kawasan Industri 1.119,85 - 0,0% Inkonsisten
Kawasan Pariwisata 649,19 12,03 1,9% Inkonsisten
Kawasan Perdesaan 3.964,32 214,39 5,4% Konsisten
Kawasan Perkebunan 452.960,40 6.862,74 1,5% Inkonsisten
Kawasan Pertanian 71.418,81 14.088,39 19,7% Konsisten
Kawasan Resapan Air 5.705,78 1,69 0,0% Inkonsisten
Kawasan Suaka Alam 53.577,71 10,30 0,0% Inkonsisten
Ruang Terbuka Hijau 57,59 - 0,0% Inkonsisten
Sempadan Sungai 19.698,75 1.056,80 5,4% Inkonsisten
Sempadan Waduk/Danau 170,94 - 0,0% Inkonsisten
Sungai 2.256,16 7,21 0,3% Konsisten
Waduk Danau 154,47 - 0,0% Konsisten
Jumlah 812.283,83 25.354,64 11.044,65 43,56%

V-24
5.9.3. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Bengkayang

Berdasarkan RTRW Kabupaten Bengkayang 2015-2035, diketahui bahwa


pola ruang pertanian memiliki luas 76.544,36 ha, yang terdiri dari
pertanian lahan basah seluas 6.366,46, dan pertanian lahan kering seluas
70.177,90 ha. Dari luas Pola Ruang Pertanian Lahan Basah, yang
digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah seluas 450,34 ha.
Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat 14,55% %
inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Bengkayang.

Tabel 5.13 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Bengkayang

Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi Pola keterangan


Wilayah Sawah 2018 Ruang (%)

APL 263.182,89 5.713,11 2,2% Konsisten


Cagar Alam 633,10 0,06 0,0% Inkonsisten
HL 33.854,07 280,49 0,8% Inkonsisten
HP 63.521,62 664,38 1,0% Inkonsisten

HPK 15.487,62 - 0,0% Konsisten


HPT 46.777,50 72,86 0,2% Inkonsisten
Hutan Rakyat 6.593,02 2,92 0,0% Inkonsisten
Pemukiman 11.313,92 500,95 4,4% Inkonsisten
Perikanan 881,08 14,87 1,7% Inkonsisten
PLB 6.367,26 450,34 7,1% Konsisten
PLK 70.208,76 3.148,92 4,5% Konsisten
Taman Nasional 39.468,01 48,85 0,1% Inkonsisten
Tubuh Air 655,89 0,60 0,1% Konsisten
Jumlah 558.944,74 10.898,36 1.585,38 14,55%

V-25
5.9.4. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Mempawah

Berdasarkan RTRW Kabupaten Mempawah 2014-2034, diketahui bahwa


pola ruang pertanian memiliki luas 8.458,40 ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian Lahan Basah, yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun
2018 adalah seluas 4.886,38 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka
masih terdapat 59,66% inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW
Kabupaten Mempawah.

Tabel 5.14 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Mempawah

Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi Pola keterangan


Wilayah Sawah 2018 Ruang (%)
BASE 1.012,46 11,47 0,00% Konsisten
HL 4.299,11 147,91 3,44% Inkonsisten
HP 51.139,08 443,42 0,87% Inkonsisten
HPK 2.366,83 56,16 2,37% Inkonsisten
HPT 17.259,24 91,56 0,53% Inkonsisten
Pertanian Tanaman Pangan 8.458,40 4.886,38 57,77% Konsisten
Peruntukan Perkebunan 120.288,89 6.503,70 5,41% Inkonsisten
Jumlah 204.824,01 12.140,61 7.242,76 59,66%

V-26
5.9.5. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Sanggau
Berdasarkan RTRW Kabupaten Sanggau 2015-2035, diketahui bahwa
pola ruang pertanian memiliki luas 532.999,20 ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah
seluas 15.399,98 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat
36,02%% inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten
Sanggau

Tabel 5.15 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Sanggau

Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi Pola keterangan


Wilayah Sawah 2018 Ruang (%)

Hutan Produksi 396.437,00 6.877,06 1,73% Inkonsisten


Hutan Produksi Konversi 28.405,00 40,19 0,14% Inkonsisten
Hutan Produksi Terbatas 69.500,00 415,59 0,60% Inkonsisten
Kawasan Lindung 99.188,00 1.333,08 1,34% Inkonsisten
Perkebunan dan Pertanian
Lahan Kering 680.434,00 15.399,98 2,26% Konsisten
Sungai 14.016,00 2,56 0,02% Inkonsisten
Jumlah 1.287.980,00 24.068,46 8.668,48 36,02%

V-27
5.9.6. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Sekadau
Berdasarkan RTRW Kabupaten Sekadau 2015-2035, diketahui bahwa
pola ruang pertanian memiliki luas 8.766,16 ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian Lahan Basah, yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun
2018 adalah seluas 29,02 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih
terdapat 99,69% inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten
Sekadau

Tabel 5.16 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Sekadau

Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi Pola keterangan


Wilayah Sawah 2018 Ruang (%)
HKRA 5.681,57 253,50 4,46% Inkonsisten
HL 53.960,35 - 0,00% Inkonsisten
HP 99.457,05 812,43 0,82% Inkonsisten
HPT 2.098,29 - 0,00% Inkonsisten
HR 35.036,79 309,18 0,88% Inkonsisten
Hutan Kota 347,96 - 0,00% Konsisten
Kawasan Industri 292,82 3,61 1,23% Inkonsisten
Perkebunan Interkultur 59.566,36 1.429,83 2,40% Inkonsisten
Perkebunan Monokultur 270.299,21 5.589,93 2,07% Inkonsisten
Permukiman 28.312,29 962,08 3,40% Inkonsisten
PLB 8.766,16 29,02 0,33% Konsisten
Jumlah 563.818,85 9.389,58 9.360,57 99,69%

V-28
5.9.7. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Kubu Raya
Berdasarkan RTRW Kabupaten Kubu raya 2015-2035, diketahui bahwa
pola ruang pertanian memiliki luas 109.713,87 ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah
seluas 13.783,78 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat
62,01% inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Kubu
Raya

Tabel 5.17 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Kubu Raya

Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi pola keterangan


wilayah Lahan Basah ruang (%)

APL 3.173,28 20,57 0,65% Inkonsisten


DPCLS 385,26 1,50 0,39% Inkonsisten
HL 136.315,75 1.179,92 0,87% Inkonsisten
HP 134.914,71 188,42 0,14% Inkonsisten

HPK 24.694,00 446,06 1,81% Inkonsisten


HPT 65.226,04 51,99 0,08% Inkonsisten
Perkebunan 281.246,26 10.907,23 3,88% Inkonsisten
Permukiman 81.427,93 9.706,30 11,92% Inkonsisten
Pertanian 109.713,87 13.783,78 12,56% Konsisten
Jumlah 837.097,10 36.285,78 22.501,99 62,01%

V-29
5.9.8. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Sintang
Berdasarkan RTRW Kabupaten Sintang 2015-2035, diketahui bahwa pola
ruang pertanian belum secara spesifik ditetapkan, tetapi masih pada Pola
Ruang APL, yang memiliki luas 893.063,53 ha. Dari luas APL yang
digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah seluas
16.153,62 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat 7,1%
inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Sintang

Tabel 5.18 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Sintang

Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi Pola keterangan


Wilayah Sawah 2018 Ruang (%)

Air 11.278,70 1,04 0,00% Konsisten


APL 893.063,53 16.153,62 0,00% Konsisten
HL 472.205,37 118,12 0,03% Inkonsisten
HP 137.316,59 874,63 0,64% Inkonsisten

HPK 17.840,68 28,67 0,16% Inkonsisten


HPT 604.855,48 213,10 0,04% Inkonsisten
TN 67.969,98 - 0,00% Konsisten
TWA 1.340,26 0,16 0,01% Inkonsisten
Jumlah 2.205.870,58 17.389,34 1.234,68 7,10%

V-30
5.9.9. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Kapuas Hulu
Berdasarkan RTRW Kabupaten Kapuas Hulu 2015-2035, diketahui bahwa
pola ruang pertanian memiliki luas 224.240,46 ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah
seluas 3.877,19 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat
66,36% inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Kapuas
Hulu

Tabel 5.19 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Kapuas Hulu
Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi Pola keterangan
Wilayah Sawah 2018 Ruang (%)

HUTAN LINDUNG (HL) 790.342,96 360,46 0,0% Konsisten


HUTAN PRODUKSI (HP) 187.489,27 1.355,74 0,7% Inkonsisten
HUTAN PRODUKSI KONVERSI (HPK) 30.558,92 12,70 0,0% Inkonsisten
HUTAN PRODUKSI TERBATAS (HPT) 389.375,66 730,85 0,2% Inkonsisten

PEMUKIMAN 15.582,57 1.076,63 6,9% Inkonsisten


PERKEBUNAN 451.807,42 4.557,05 1,0% Inkonsisten
PERTAMBANGAN 69.866,16 955,12 1,4% Inkonsisten
PERTANIAN 211.042,56 3.744,77 0,0% Konsisten
PERTANIAN (DPCLS) 13.197,90 132,42 0,0% Konsisten
SUNGAI DAN DANAU 18.324,67 126,79 0,7% Konsisten
TAMAN NASIONAL (TN) 939.330,70 39,93 0,0% Konsisten
Jumlah 3.116.918,79 13.092,44 8.688,08 66,36%

V-31
5.9.10. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Melawi
Berdasarkan RTRW Kabupaten Melawi 2015-2035, diketahui bahwa pola
ruang pertanian memiliki luas 93.526,22 ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah
seluas 847,66 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat
77,97% inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Melawi.

Tabel 5. 20 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten


Melawi

Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi keterangan


Wilayah Sawah 2018 Pola Ruang (%)

Kawasan Hutan Lindung 226.876,15 161,81 0,1% Inkonsisten


Kawasan Hutan Produksi Konversi 2.252,13 0,00 0,0% Konsisten
Kawasan Hutan Produksi Terbatas 279.990,94 233,89 0,1% Inkonsisten
Kawasan Hutan Produksi Tetap 190.530,50 651,76 0,3% Inkonsisten

Kawasan Industri 7.530,37 32,63 0,4% Inkonsisten


Kawasan Perkebunan 103.100,96 525,64 0,5% Inkonsisten
Kawasan Perlindungan Setempat 107,48 1,92 1,8% Inkonsisten
Kawasan Permukiman 57.272,97 1.383,35 2,4% Inkonsisten
Kawasan Pertanian 93.526,22 847,66 0,9% Konsisten
Kawasan Resapan Air 988,71 - 0,0% Inkonsisten
Kawasan Taman Nasional Bukit Baka-
Bukit Raya 44.794,28 - 0,0% Inkonsisten
Tubuh AIr 5.593,75 9,61 0,2% Inkonsisten
Jumlah 1.012.564,45 3.848,28 3.000,62 77,97%

V-32
5.9.11. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Ketapang
Berdasarkan RTRW Kabupaten Ketapang 2015-2035, diketahui bahwa
pola ruang pertanian belum ditetapkan, tetapi masih tergabung pada Pola
Ruang APL, yang memiliki luas 1.224.262,76 ha. Dari luas Pola Ruang
APL yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah seluas
25.525,11 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat 10,8%
inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Ketapang

Tabel 5. 21 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten


Ketapang

Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi pola ruang


(%) keterangan
wilayah Sawah 2018
Air 15.474,36 21,54 0,00% Konsisten
APL 1.224.262,76 25.525,11 0,00% Konsisten
CA 148.042,43 - 0,00% Inkonsisten
HL 309.166,67 644,72 0,21% Inkonsisten
HP 597.191,04 939,39 0,16% Inkonsisten
HPK 78.870,08 588,16 0,75% Inkonsisten
HPT 631.546,10 609,96 0,10% Inkonsisten
TN 20.084,81 312,18 1,55% Inkonsisten
Jumlah 3.024.638,25 28.641,06 3.094,41 10,80%

V-33
5.9.12. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Kayong Utara
Berdasarkan RTRW Kabupaten Kayong Utara 2015-2035, diketahui
bahwa pola ruang pertanian memiliki luas 49.269,00 ha. Dari luas Pola
Ruang Pertanian yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018
adalah seluas 10.389,39 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih
terdapat 13,7 % inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten
Kayong Utara

Tabel 5. 22 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten


Kayong Utara

Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi Pola keterangan


Wilayah Sawah 2018 Ruang (%)
kawasan hutan produksi 90.207,00 105,30 0,12% Inkonsisten
kawasan industri 305,00 3,53 1,16% Inkonsisten
kawasan lainnya 7.021,00 6,86 0,10% Inkonsisten
kawasan lindung 166.218,00 357,68 0,22% Inkonsisten
kawasan lindung lainnya 2.449,00 0,00 0,00% Inkonsisten
kawasan pariwisata 548,00 - 0,00% Inkonsisten
kawasan perikanan (rumpun laut
dangkal) - - 0,00% Konsisten
kawasan perikanan (tambak) 82,00 15,52 18,92% Inkonsisten
kawasan perkebunan 85.722,00 809,29 0,94% Inkonsisten
kawasan permukiman 8.112,00 323,82 3,99% Inkonsisten
kawasan pertambangan 3.058,00 27,56 0,90% Inkonsisten
kawasan pertanian 49.269,00 10.389,39 21,09% Konsisten
suaka alam laut 158.113,00 - 0,00% Konsisten
Jumlah 571.108,00 12.038,94 1.649,55 13,70%

V-34
5.9.13. Black Design Alih Fungsi Lahan Kota Singkawang
Berdasarkan Kota Singkawang 2014-2034, diketahui bahwa pola ruang
pertanian lahan basah memiliki luas 2.763,00ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian Lahan Basah yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun
2018 adalah seluas 868,66ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih
terdapat 32,1 % inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kota
Singkawang

Tabel 5. 23 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kota


Singkawang

Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi Pola keterangan


Wilayah Sawah 2018 Ruang (%)
Bandara 295,76 - 0,0% Konsisten
Cagar Alam 2.278,08 - 0,0% Inkonsisten
Hankam 81,82 1,50 1,8% Inkonsisten
Hutan Produksi 5.205,67 - 0,0% Konsisten
Hutan Produksi Konversi 196,35 - 0,0% Konsisten
Industri 20,02 - 0,0% Konsisten
Instalasi Pengolahan Air Bersih 1,34 - 0,0% Konsisten
Kawasan Budidaya Terbatas 53,54 - 0,0% Konsisten
Kesehatan 7,58 - 0,0% Konsisten
Pariwisata 1.259,51 56,60 4,5% Inkonsisten
Pelabuhan 474,36 143,28 30,2% Inkonsisten
Pemakaman Umum 50,50 0,13 0,3% Inkonsisten
Pemerintahan 28,04 - 0,0% Inkonsisten
Pendidikan 103,69 4,80 4,6% Inkonsisten
Perairan 159,58 - 0,0% Inkonsisten
Perdagangan dan Jasa 420,84 9,25 2,2% Inkonsisten
Peribadatan 3,18 - 0,0% Inkonsisten
Perkebunan 4.739,34 13,86 0,3% Inkonsisten
Permukiman 8.996,98 629,23 7,0% Inkonsisten
Pertanian Lahan Basah 2.763,00 868,66 0,0% Konsisten
Pertanian Lahan Kering 16.940,04 811,02 0,0% Konsisten
Pertanian Tanaman Tahunan 6.405,97 45,93 0,0% Konsisten
Peternakan dan Pertanian Terpadu 1.111,81 24,57 0,0% Konsisten
PLTD 2,68 0,01 0,5% Inkonsisten
RTH Arboretum 2.250,62 1,48 0,1% Konsisten
RTH Bumi Perkemahan 96,65 - 0,0% Konsisten
RTH Hutan Kota Penyangga 1.568,69 4,22 0,3% Konsisten
RTH Hutan Kota Perbatasan 3.045,60 35,60 1,2% Konsisten
RTH Hutan Kota Perlindungan 751,77 - 0,0% Konsisten
RTH Hutan Kota Perlindungan Abrasi 276,82 - 0,0% Konsisten
RTH Kebun Botani 302,63 2,34 0,8% Konsisten

V-35
RTH LOR dan Taman Kota 111,08 23,43 21,1% Konsisten
RTH Penyangga Bandara 366,18 - 0,0% Konsisten
RTH Sabuk Hijau 104,78 - 0,0% Konsisten
Tambak 297,06 0,30 0,1% Inkonsisten
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) 41,27 - 0,0% Inkonsisten
Terminal Tipe A 3,87 - 0,0% Inkonsisten
Jumlah 60.816,71 2.676,20 858,95 32,10%

V-36
5.9.14. Black Design Alih Fungsi Lahan Kota Pontianak
Berdasarkan RTRW Kota Pontianak 2014-2034, diketahui bahwa pola
ruang pertanian seluas 930,48. Ha. Dari luas Pola Ruang Pertanian dan
peternakan tersebut, yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun
2018 adalah seluas 16,99 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih
terdapat 78,05 % inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kota
Pontianak

Tabel 5. 26 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kota


Pontianak

Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi Pola keterangan


Wilayah Sawah 2018 Ruang (%)

Buffer Zone 26,47 - 0,0% Inkonsisten


Fasilitas Kebudayaan & Pariwisata 72,40 - 0,0% Konsisten
Fasilitas Kesehatan 35,43 1,80 5,1% Inkonsisten
Fasilitas OlahRaga 60,02 0,00 0,0% Inkonsisten
Fasilitas Pemerintahan 121,53 0,02 0,0% Konsisten
Fasilitas Pendidikan 350,67 6,05 1,7% Inkonsisten
Fasilitas Peribadatan 26,14 0,68 2,6% Inkonsisten
Hutan Kota 236,06 29,38 0,0% Konsisten
Industri & Pergudangan 267,75 - 0,0% Konsisten
Makam 62,35 6,09 9,8% Inkonsisten
Militer 4,67 - 0,0% Konsisten
Pelabuhan 46,76 7,46 16,0% Inkonsisten
Perdagangan & Jasa 717,64 0,52 0,1% Inkonsisten
Permukiman 7.121,54 148,33 2,1% Inkonsisten
Pertanian & Peternakan 930,48 16,99 0,0% Konsisten
PLTD 6,08 - 0,0% Konsisten
Ruang Terbuka Hijau 128,16 0,43 0,0% Konsisten
Sebaran Gambut 677,69 - 0,0% Konsisten
Taman RT 0,74 - 0,0% Konsisten
Terminal 5,96 - 0,0% Konsisten
TPA 16,99 - 0,0% Konsisten
Jumlah 10.915,53 217,74 170,93 78,50%

V-37
5.10. Upaya Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah

Upaya pengendalian alih fungsi lahan sawah dilakukan berdasarkan faktor


penyebabnya, yakni index PDRB, Index Alsintan, dan Index Irigasi, serta
dari faktor Black Design RTRW.
5.10.1. Peningkatan PDRB

Upaya peningkatan PDRB dilakukan terutama pada Sub Sektor Tanaman


Pertanian, Tanaman Hortikultura, Peternakan, dan Jasa Pertanian.
Peningkatan PDRB melibatkan kegiatan agriindustri hulu sampai hilir.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan
PDRB adalah :
(a) Peningkatan Produktivitas Lahan Pertanian
(b) Peningkatan Produk Pertanian Panen melalui peningkatan produk
UMKM siap olah
(c) Peningkatan Produk Pertanian Panen melalui peningkatan produk
UMKM siap santap
(d) Peningkatan integrasi ternak pada lahan sawah maupun
hortikultura
(e) Stabilisasi harga produk pertanian

5.10.2 Peningkatan Penggunaan Alsintan

Alsintan yang memiliki kontribusi terhadap pengurangan alih fungsi lahan


adalah alsintan pengolahan tanah. Pada Tahun 2018, ketersediaan
alsintan di Provinsi Kalimantan Barat adalah 5% dari total kebutuhan
seluruh lahan sawah (KATAM, 2018). Beberapa kegiatan yang dapat
dilakukan dalam rangka peningkatan penggunaan Alsintan antara lain:
(a) Perbaikan jalan usaha tani (JUT)
(b) Peningkatan Brigade Alsintan
(c) Peningkatan kualifikasi operator dan bengkel

Peningkatan kerjasama tenaga teknis dan brigade alsin.

V-38
5.10.3. Peningkatan Jumlah dan Perbaikan Jaringan Irigasi

Jaringan irigasi sangat diperlukan pada Kabupaten / kota di seluruh


Provinsi Kalimantan Barat, terkait dengan belum terlaksananya tata air
mikro pada petak lahan sawah petani baik karena belum ada jaringan
irigasi, maupun karena kurangnya perawatan pada jaringan irigasi yang
telah ada. Berdasarkan kebutuhan air lahan sawah seluruh Provinsi
kalimantan Barat (PPE, 2017), terdapat beberapa wilayah yang memiliki
ketersediaan air sangat rendah, rendah, yang sangat memerlukan
jaringan irigasi. Kebutuhan kabupaten / kota yang berstatus ketersediaan
air rendah terhadap jaringan irigasi disajikan pada Tabel berikut

Tabel 5. 27 Kebutuhan Jaringan Irigasi pada Lahan Sawah Provinsi


Kalimantan Barat

Kabupaten Luas Lahan Sawah (ha) Luas Status Pengairan (ha) Luas Kebutuhan Pengairan Persentase
(ha)
2018 Ketersediaan Lahan Lahan Sawah Perbaikan Pembangunan Sawah Perbaikan Pembangunan
Air Rendah Sawah Non Irigasi Irigasi Irigasi beririgasi Irigasi Irigasi
Irigasi
Sambas 43.064,90 15.242,38 6.938,74 36.125,65 2.276,05 12.983,20 16,11% 5,29% 30,15%
Bengkayang 10.926,79 2.956,04 8.415,57 2.511,11 9.469,82 1.293,38 77,02% 86,67% 11,84%
Landak 26.303,14 9.052,84 15.970,59 10.330,37 5.846,27 2.965,77 60,72% 22,23% 11,28%
Mempawah 12.306,63 6.285,77 2.904,90 9.631,13 628,53 5.607,92 23,60% 5,11% 45,57%
Sanggau 24.064,60 1.362,31 7.344,57 16.753,92 237,06 1.121,63 30,52% 0,99% 4,66%
Ketapang 28.678,81 9.093,83 19.460,96 9.217,88 18.855,79 10.395,37 67,86% 65,75% 36,25%
Sintang 17.373,75 1.866,68 4.189,99 13.190,12 716,16 1.153,63 24,12% 4,12% 6,64%
Kapuas Hulu 13.092,44 768,20 1.687,41 11.405,03 87,33 684,41 12,89% 0,67% 5,23%
Sekadau 9.675,49 460,59 2.109,10 7.578,31 197,51 263,63 21,80% 2,04% 2,72%
Melawi 3.873,27 225,94 1.920,06 1.953,21 170,80 296,56 49,57% 4,41% 7,66%
Kayong Utara 12.037,76 7.461,73 11.980,10 57,66 7.446,64 16,50 99,52% 61,86% 0,14%
Kubu Raya 36.314,77 18.498,04 985,09 35.322,99 270,57 18.211,50 2,71% 0,75% 50,15%
Pontianak 223,86 118,93 - 223,86 - - 0,00% 0,00% 0,00%
Singkawang 2.682,71 818,64 - 2.682,71 - 817,96 0,00% 0,00% 30,49%
Jumlah 240.618,92 240.618,92 83.907,08 156.983,94 46.202,54 55.811,45 34,87% 19,20% 23,19%
Sumber: Analisis Spasial, 2019.

Berdasarkan Tabel diatas, diketahui bahwa lahan sawah seluruh

V-39
kabupaten / kota di Provinsi Kalimantan Barat memiliki tingkat kerawanan
terhadap ketersediaan air kecuali Kabupaten Kapuas Hulu dan Kota
Pontianak. Jaringan irigasi yang telah dibangun bervariasi, mulai dari
sangat kurang (Kota Singkawang), sampai cukup memadai (Kabupaten
Ketapang dan Kayong Utara). Provinsi Kalimantan Barat masih
memerlukan pembangunan irigasi pada 55.811,45 hektar sawah, atau
23,19% dari total lokasi lahan sawah, serta perbaikan pada 46.202,54
hektar sawah.

Kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan jaringan irigasi lahan


sawah antara lain:

(a) Meningkatkan kapasitas Perkumpulan Petani Pemakai Air


(b) Peningkatan bangunan irigasi
(c) Peningkatan saluran tersier
(d) Rehabilitasi bangunan dan saluran irigasi
(e) Peningkatan pengadaan pompa
(f) Membangun Kawasan Pertanian terpadu

5.11. Regulasi lahan Sawah

Regulasi lahan berkaitan dengan peraturan yang mengatur pola


penggunaan lahan, dimana pada prinsipnya bertujuan untuk:
1. Mengurangi Perubahan penggunaan tanah/lahan (baik secara
langsung dan/atau tidak langsung)
2. Meningkatkan jasa ekosistem dan keanekaragaman hayati
3. Meningkatkan kapasitas produksi tanah/lahan
4. Meningkatkan Kualitas dan ketersediaan air

Regulasi lahan pertanian di Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan pola


ruang merupakan amanat Perda No 1/2014 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Kalimantan Barat yang menjadi arah bagi penetapan
fungsi kawasan budidaya (pertanian dan non-pertanian) dan fungsi

V-40
lindung. Berdasarkan UU no 26/2007 tentang Tata Ruang, minimal 30 %
dari luas wilayah kota diharuskan menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH)
untuk memenuhi fungsi lindung pada kawasan budidaya. Kawasan
pertanian Provinsi Kalimantan Barat menjadi bagian dari RTH.

Pendekatan dan metode yang diterapkan untuk mengendalikan alih fungsi


lahan pertanian tergantung pada tiga aspek secara simultan yaitu: (1)
cakupan, tujuan, dan sasaran pengendalian alih fungsi lahan pertanian itu
sendiri, (2) permasalahan empiris yang terkait dengan penyebab, pola,
dan dampak alih fungsi lahan pertanian, dan (3) sumberdaya yang dimiliki
yang diperkirakan dapat dipergunakan untuk mendukung pendekatan atau
metode pengendalian yang akan diterapkan. Pertimbangan untuk
menentukan pendekatan dan metode yang akan diterapkan harus
mengacu pada azas efisiensi dan efektivitasnya. Efisiensi mengacu pada
seberapa banyak sumberdaya (waktu, tenaga, dana) yang diperlukan
untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan; sedangkan
efektivitas mengacu pada sejauhmana sasaran dicapai dalam konteks
cakupan, kualitas, dan peluang keberlanjutannya. Pearce and Turner
(1990) merekomendasikan tiga pendekatan secara bersamaan dalam
pengendalian alih fungsi lahan yaitu melalui regulasi, akuisisi dan
manajemen serta insentif dan charges.

Pendekatan regulasi berarti pemerintah menetapkan aturan dalam


pemanfaatan lahan yang ada, berdasarkan pertimbangan teknis,
ekonomis dan sosial. Selain itu diperlukan mekanisme perizinan yang
jelas dan transparan dengan melibatkan semua stakeholder yang ada
dalam proses alih fungsi lahan. Dalam pendekatan acquisition and
management , pihak terkait perlu menyempurnakan sistem dan aturan jual
beli lahan serta penyempurnaan land tenure yang ada, yang mendukung
ke arah upaya mempertahankan keberadaan lahan pertanian. Sedangkan
melalui incentive and charges, pemberian subsidi (insentif) kepada petani
V-41
yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang dimilikinya, serta penerapan
pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan
pertanian.

Prosedur dalam penetapan regulasi adalah sebagai berikut:


(a) Identifikasi instrumen kebijakan. Pendekatan dan metode yang
berbeda berimplikasi pada instrumen kebijakan yang akan
diterapkan. Sebagai contoh, jika pendekatan yang ditempuh adalah
regulasi dan metode yang akan diterapkan adalah zonasi, maka
instrumen yang sesuai adalah peraturan perundang-undangan
beserta kelembagaan pendukungnya, dana yang diperlukan untuk
sosialisasi, kontrol terhadap pelaksanaan perundang-undangan,
dan sebagainya. Jika pendekatan yang digunakan berupa incentive
and charges dan metode yang diterapkan adalah peningkatan
insentif kepada petani untuk mempertahankan usahataninya.
Penentuan instrumen kebijakan harus mempertimbangkan
kelayakan teknis, ekonomi, sosial, dan politik.
(b) Implementasi kebijakan. Jika langkah-langkah di atas telah
dilaksanakan maka tahap paling krusial tentu saja implementasi
dari strategi kebijakan yang telah ditentukan.
(c) Evaluasi. Diperlukan untuk mengukur sejauhmana strategi
kebijakan yang diterapkan tersebut mencapai sasarannya dan
sangat diperlukan untuk memperoleh masukan yang bermanfaat
penyempurnaan lebih lanjut. Hal ini mempertimbangkan bahwa
secara empiris alokasi lahan merupakan hasil interaksi berbagai
faktor yang sangat kompleks. Sejumlah perbaikan harus selalu
dilakukan untuk meningkatkan efektivitasnya maupun dalam rangka
mengantisipasi dinamika yang dihadapi di lapangan.

Selain itu hal lain yang menyulitkan dalam upaya pengendalian alih
fungsi lahan sawah adalah belum adanya instrumen kebijakan yang

V-42
dapat dioperasionalkan di tingkat lapangan. Efektivitas instrumen
hukum masih sangat rendah, demikian juga instrumen ekonomi dan
zonasi. Salah satu persoalan mendasar berkaitan dengan berbagai
instrumen kebijakan tersebut adalah rendahnya angka keterlibatan
semua pemangku kepentingan dalam proses penyusunan dan
implementasi kebijakan. Keikutsertaan berbagai instansi pada proses
penyusunan RTRW kurang dari 50%, dan pada umumnya mereka
hanya menerima hasil akhir dari penyusunan RTRW yang disusun
Bappeda bersama konsultan. Dinas terkait hanya diundang ketika
pada proses akhir sebelum disahkan sebagai Peraturan Daerah
(Perda). Hal ini memerlukan upaya partisipatif dalam penentuan
rencana tata ruang wilayah, baik RTRW maupun RDTR.

Untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah diperlukan instrumen


hukum yang merupakan kondisi derajat pertama, dan instrumen
ekonomi sebagai kondisi derajat kedua. Selain itu, diperlukan pula
adanya rekayasa kelembagaan sosial atau penguatan kelembagaan
lokal di tingkat petani. Mengingat tingkat urgensi, permasalahan, dan
kendala yang dihadapi antar daerah berbeda maka strategi dalam
yang diperlukan dalam implementasi kebijakan membutuhkan adanya
kategorisasi. Terdapat tiga kategori yaitu: (1) Kategori 1, yakni wilayah
yang status ancaman konversi lahan sawah telah mencapai level yang
sangat tinggi sehingga urgensi pengendaliannya sangat tinggi; (2)
Kategori 2, yakni wilayah yang status ancaman konversi lahan sawah
termasuk tinggi sehingga urgensi pengendaliannya termasuk tingkat
tinggi; dan (3) Kategori 3, yakni wilayah dengan status ancaman
konversi lahan sawah sedang - rendah sehingga urgensi
pengendaliannya adalah termasuk kategori sedang.

Wilayah-wilayah yang termasuk Kategori 1 adalah Kota Singkawang,


Kabupaten Mempawah, dan Kabupaten Kubu Raya. Prioritas sasaran
V-43
utama kebijakan adalah pembatasan yang sangat ketat terhadap alih
fungsi lebih lanjut yang dimensinya mencakup lokasi maupun
besarannya. Prioritas sasaran berikutnya adalah minimalisasi dampak
negatif yang ditimbulkan oleh alih fungsi lahan sawah tersebut dan
memperkecil peluang terjadinya alih fungsi lahan sawah di semua
lokasi.
Instrumen kebijakan yang sesuai untuk Kategori 1 tersebut adalah (1)
Kompensasi Terhadap Kerugian Akibat Hilangnya Manfaat Dari Sifat
Multi Fungsi, (2) Pengembangan/rehabilitasi infrastruktur, (3) Bantuan
teknis pengembangan teknologi, (4) Kebijakan harga (Subsidi input
dan atau output), (5) Asuransi Pertanian, dan (6) Keringanan pajak
lahan bagi petani sawah.

Prioritas sasaran di wilayah Kategori 2 adalah Kabupaten Sambas,


Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau, dan Kabupaten Bengkayang
adalah memperkecil peluang terjadinya alih fungsi lahan sawah lebih
lanjut, dan selanjutnya adalah minimalisasi dampak negatif akibat alih
fungsi lahan sawah, dan yang terakhir adalah melakukan pembatasan
alih fungsi lahan sawah. Terkait dengan efektivitas masing-masing
instrumen kebijakan maupun jangka waktu yang diperlukan untuk
pengendalian alih fungsi di wilayah tersebut, instrumen kebijakan yang
sesuai untuk Kategori 2 adalah Bantuan teknis pengembangan
teknologi, Pengembangan/rehabilitasi infrastruktur, Kebijakan harga
(Subsidi input dan atau output) dan Asuransi Pertanian.

Wilayah-wilayah yang termasuk Kategori 3 adalah Kabupaten


Ketapang, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Sekadau, Kabupaten
Kapuas Hulu dan Kabupaten Melawi, dimana prioritas sasaran
kebijakan memperkecil peluang terjadinya alih fungsi lahan sawah
lebih lanjut. Prioritas berikutnya adalah melakukan pengendalian.
Instrumen kebijakan yang sesuai untuk wilayah ini adalah
V-44
pengembangan/ rehabilitasi infrastruktur, bantuan teknis
pengembangan teknologi, dan kompensasi Terhadap Kerugian Akibat
Hilangnya Manfaat dari Sifat Multi Fungsi Sawah.

5.12. Pencetakan Lahan Sawah Baru

Pencetakan lahan sawah dilakukan dalam upaya memenuhi kebutuhan


lahan sawah, yang sesuai dengan pola ruang pertanian tiap kabupaten /
kota. Pencetakan lahan sawah baru dilakukan pada lahan yang saat ini
masih dalam kondisi semak belukar atau lahan terbuka. Berdasarkan Peta
Penutup Lahan 2019 dan Pola Ruang Pertanian, luas lahan yang dapat
dikembangkan untuk pencetakan lahan sawah baru adalah + 15.543,38
ha. Sebaran lahan untuk pencetakan lahan sawah baru tiap kabupaten
disajikan pada Tabel berikut.

Tabel 5.28. Cadangan Lahan Sawah Bukaan Baru Provinsi


Kalimantan Barat

Persentase
Belum Jumlah Luas
Kabupaten Luas Wilayah (ha) Lahan Cetak
diusahakan (ha)
Sawah

Sambas 639.470,00 1.287,37 25.029,13 3,91%


Bengkayang 539.730,00 168,61 6.061,56 1,12%
Landak 990.910,00 4.714,01 24.015,78 2,42%
Mempawah 127.690,00 579,05 4.452,62 3,49%
Sanggau 1.285.770,00 2.791,00 41.343,01 3,22%
Ketapang 3.124.074,00 5.995,85 64.623,81 2,07%
Sintang 2.163.500,00 634,96 225.749,70 10,43%
Kapuas Hulu 2.984.200,00 5.595,90 45.274,11 1,52%
Sekadau 544.430,00 3.985,58 43.318,08 7,96%
Melawi 1.064.400,00 365,44 1.728,13 0,16%
Kayong Utara 456.826,00 2.604,05 2.944,73 0,64%
Kubu Raya 698.520,00 3.836,37 3.836,37 0,55%
Kota Pontianak 10.780,00 - - 0,00%
Kota Singkawang 50.400,00 425,06 425,06 0,84%
Jumlah 14.680.700,00 32.983,27 488.802,09 3,33%
Sumber: Analisis Spasial, 2019
V-45

Anda mungkin juga menyukai