ANALISIS DATA
Persentase total luas sawah Provinsi Kalimantan Barat pada Tahun 2012
dan pada Tahun 2018 berkurang 0,5 % dari luas wilayah Provinsi
Kalimantan Barat. Pada Tahun 2012, luas sawah 2,1 % terhadap luas
total wilayah, dan pada Tahun 2018, luas sawah 1,6 % terhadap total luas
wilayah.
Pada tahun 2012, luas sawah Provinsi Kalimantan Barat berdasarkan
Kementerian Pertanian adalah 305.678,1ha, dan pada tahun 2018, luas
sawah adalah 239.077,7 ha. Berdasarkan luas tersebut, maka dapat
diketahui terjadi pengurangan luas sawah sebesar +66.600,5 ha atau
berkurang sebesar 21,8%. Luas lahan sawah pada kurun waktu 2012
sampai dengan 2018 mengalami perubahan, dimana terjadi penambahan
luas sawah karena adanya kegiatan cetak sawah, dan pengurangan luas
sawah karena adanya alih fungsi lahan sawah menjadi non-sawah, seperti
V-1
perkebunan dan kawasan terbangun. Luas sawah Provinsi Kalimantan
Barat pada Tahun 2012 – 2018 disajikan pada Tabel berikut.
Tabel 5.1. Luas Lahan Sawah Tahun 2012 dan 2018 Provinsi
Kalimantan Barat
Kabupaten / Luas (ha) Persentase
Kota
Wilayah Sawah Sawah Laju Alih Lahan Lahan Laju
Tahun Tahun Fungsi sawah sawah Alih
2012 2018 Lahan terhadap terhadap Fungsi
Sawah Total luas luas Lahan
Wilayah Wilayah Sawah
2012 2018 Total
Berdasarkan Tabel diatas, laju alih fungsi lahan sawah selama tahun 2012
– 2018 adalah sebesar 21,8 %. Luas alih fungsi lahan sawah terbesar
adalah di Kabupaten Landak yakni berkurang 34,6 % dari total luas sawah
Kabupaten Landak pada tahun 2012. Luas alih fungsi lahan sawah terkecil
adalah di Kabupaten Ketapang, yakni berkurang sebesar 7,6% dari luas
total sawah pada Tahun 2012.
V-2
Laju pengurangan fungsi lahan sawah bertanda negatif, dikarenakan
penambahan luas sawah melalui kegiatan cetak sawah. Laju penambahan
sawah terbesar adalah pada Kabupaten Sekadau, yakni 43,7 % dari luas
sawah pada tahun 2012, dan laju penambahan luas sawah terkecil pada
Kabupaten Kapuas Hulu, yakni hanya 5,4 % dari luas total sawah pada
Tahun 2012.
V-3
Tabel 5. 2 Luas Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi Perkebunan
Tahun 2012 sampai 2018 Provinsi Kalimantan Barat
Berdasarkan Tabel diatas, diketahui bahwa luas alih fungsi lahan sawah
pada Tahun 2012 menjadi lahan perkebunan pada Tahun 2018 seluas
3.327,1 ha. Luas alih fungsi lahan terbesar adalah di Kabupaten Landak
seluas + 1.004,2 ha, sedangkan luas alih fungsi lahan terkecil adalah di
Kabupaten Melawi, yakni seluas + 1,3 ha.
V-4
terdiri dari alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan terbangun
(permukiman dan fasilitas umum/sosial, serta kawasan perdagangan/
perindustrian), alih fungsi lahan sawah menjadi perkebunan, dan alih
fungsi lahan sawah menjadi fasilitas umum. Tabel berikut menunjukkan
alih fungsi lahan sawah menjadi lahan terbangun pada Tahun 2012-2018.
V-5
5. 4 Alih Fungsi Lahan Sawah menjadi Kebun Campuran dan/atau
Ladang
Alih fungsi ini sebenarnya corak penggunaan lahan yang dominan pada
lahan sawah yang ditanami dengan pola tumpang sari atau tumpang gilir.
Tabel berikut menyajikan alih fungsi lahan menjadi kebun campuran dan
ladang.
V-6
campuran terbesar di kabupaten Kubu Raya, sedangkan konversi terkecil
pada Kabupaten Melawi.
Alih fungsi lahan Sawah dapat terjadi tiap tahun. Alih fungsi lahan dapat
bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara. Jika lahan sawah
beririgasi teknis diubah menjadi kawasan perumahan atau industri, maka
alih fungsi lahan tersebut bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah
tersebut berubah menjadi misalkan perkebunan tebu, maka alih fungsi
lahan tersebut bersifat sementara, karena pada tahun-tahun berikutnya
dapat dijadikan sawah kembali.
Saat ini luas lahan Provinsi Kalimantan Barat yang digunakan untuk
kegiatan pertanian semakin berkurang seiring dengan semakin banyaknya
terjadi alih fungsi atau konversi lahan pertanian. Lahan pertanian yang
biasanya dialihfungsikan oleh petani adalah lahan sawah yang subur
tempat mereka menggantungkan hidupnya. Alih fungsi lahan pertanian
merupakan masalah yang perlu diperhatikan karena ketergantungan
masyarakat terhadap sektor pertanian yang sangat besar.
V-7
kebutuhan hidup dan pelestarian sumberdaya lahan. Tekanan penduduk
dinyatakan dengan Indeks Tekanan Penduduk (ITP) terhadap lahan,
dihitung dengan menggunakan persamaan Soemarwoto (2007). Jika
Indeks Tekanan Penduduk (ITP) memiliki nilai >2, artinya penduduk
memiliki tingkat kebutuhan tinggi terhadap lahan, dan berimplikasi
terhadap luas lahan yang harus dialokasikan untuk kebutuhan pangan.
Jika nilai ITP berkisar antara 1-2, maka kebutuhan lahan masih dalam
kategori sedang. Jika nilai ITP <1, maka kebutuhan penduduk terhadap
lahan masih rendah, sehingga masih memungkinkan untuk perluasan
areal baru untuk berbagai pemanfaatan lahan.
Persamaan tekanan penduduk merupakan fungsi dari luas lahan minimal
layak hidup (z), proyeksi pertumbuhan penduduk (r), persentase jumlah
petani (f), serta luas total lahan pertanian masing-masing kabupaten/kota.
Luas lahan minimal layak hidup (z) diketahui berdasarkan luas lahan
sawah irigasi dengan intensitas tanam dua kali per tahun, lahan sawah
irigasi dengan intensitas tanam sekali per tahun, lahan sawah tadah hujan
dan lahan kering. Nilai ini memiliki koefisien yang berbeda-beda,
tergantung pada luas masing-masing tipe lahan sawah yang ditanami
padi.
Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Tekanan Penduduk tiap kabupaten
/ kota di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2018, diketahui bahwa nilai ITP
tinggi terdapat pada Kabupaten Mempawah, Kabupaten Melawi,
Kabupaten Kubu Raya, dan Kota Pontianak, serta Kota Singkawang. Hasil
perhitungan ITP disajikan pada Tabel berikut.
V-8
Tabel 5. 7 Nilai Indeks Tekanan Penduduk Terhadap Lahan Provinsi
Kalimantan Barat Tahun 2018
Kabupaten / Kota Luas Lahan Petani Luas lahan Laju ITP keterangan
Pertanian (%) minimal Pertumbuhan
Pangan (ha) layak hidup penduduk (r)
(z)
Kab. Sambas 95.264 0,23 0,62 0,94 1,46 sedang
Kab. Bengkayang 93.940 0,24 0,48 1,96 1,46 sedang
Kab. Landak 121.765 0,27 0,33 1,55 0,89 rendah
Kab. Mempawah 23.043 0,15 0,54 1,39 2,66 tinggi
Kab. Sanggau 168.303 0,24 0,37 1,61 0,88 rendah
Kab. Ketapang 240.599 0,13 0,65 2,07 0,94 rendah
Kab. Sintang 75.096 0,20 0,50 1,59 1,90 sedang
Kab. Kapuas Hulu 110.810 0,19 0,40 1,95 0,84 rendah
Kab. Sekadau 41.615 0,26 0,39 1,19 1,17 sedang
Kab. Melawi 9.102 0,19 0,51 1,76 8,95 tinggi
Kab. Kayong Utara 38.899 0,21 0,49 1,87 1,29 sedang
Kab. Kubu Raya 31.124 0,13 0,76 1,66 6,57 tinggi
Kota Pontianak 5.045 0,01 0,75 1,74 3,12 tinggi
Kota Singkawang 7.307 0,08 0,31 2,06 3,71 tinggi
Sumber: Analisis Data BPS, 2018.
Berdasarkan Tabel diatas, nilai ITP memiliki kategori yang berbeda pada
tiap kabupaten / kota. Nilai ITP yang rendah berarti bahwa hasil pertanian
(sawah) pada daerah tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidup
penduduknya, dan mengekspor ke daerah lainnya. Nilai ITP sedang
menunjukkan bahwa produksi pertanian masih dapat memenuhi
kebutuhan hidup penduduk di wilayahnya sendiri. Sedangkan Nilai ITP
yang tinggi menunjukkan bahwa produksi pertanian (sawah) pada daerah
tersebut sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup penduduknya,
atau dengan istilah lain harus mengimpor bahan pangan (beras) dari luar
kabupaten.
indeks tekanan penduduk yang tinggi disebabkan oleh sempitnya luas
V-9
total lahan pertanian pangan dan rendahnya persentase jumlah petani
dibandingkan laju pertumbuhan penduduk.
Beberapa daerah yang memiliki ITP tinggi seperti wilayah perkotaan
(Provinsi Kalimantan Barat dan Pontianak) memiliki tingkat kebutuhan
lahan yang tinggi untuk penggunaan lahan non pertanian, misalnya
pemukiman, perdagangan, dan lain-lain. Pada wilayah pedesaan, seperti
Kabupaten Mempawah, lahan pertanian pangan yang mendominasi
kawasan pesisir juga telah dialihfungsikan menjadi kawasan perdagangan
dan pelabuhan.
Pada wilayah Kabupaten Kubu Raya dan Melawi, luas lahan pertanian
juga sangat kecil, sehingga menghasilkan ITP yang tinggi.
Pada wilayah yang memiliki ITP sedang, tekanan penduduk disebabkan
oleh kebutuhan terhadap pengusahaan lahan pertanian secara intensif.
Wilayah Kabupaten Sambas, Bengkayang, Sintang, Sekadau dan Kayong
Utara, persentase petani cukup tinggi, yakni lebih dari 25% dari jumlah
penduduk kabupaten. Akan tetapi, jika luas lahan pertanian yang
diusahakan tidak bertambah, maka tekanan terhadap lahan akan semakin
tinggi.
Tekanan penduduk terjadap lahan pertanian terjadi karena beberapa
faktor, yakni :
(a) Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk
di suatu wilayah. Peningkatan jumlah penduduk yang pesat telah
meningkatkan permintaan tanah.
(b) Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas
sektor barang dan jasa, terutama pengembangan kawasan
pemukiman dibandingkan dengan sektor pertanian. Secara umum
besaran land rent dari berbagai kegiatan dapat diurutkan sebagai
berikut: Industri > Perdagangan > Permukiman > Pertanian Intensif >
Pertanian Ekstensif. Dapat disimpulkan bahwa sektor yang komersial
dan strategis mempunyai land rent yang lebih tinggi.
V-10
(c) Rendahnya insentif untuk bertani disebabkan tingginya biaya
produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan
berfluktuasi.
Pada kajian ini, faktor kependudukan dan dan faktor ekonomi dinyatakan
dengan variabel PDRB yang terdiri dari sektor pertanian, pertambangan,
perdagangan, real estate, serta jasa. Faktor pendukung budidaya
pertanian dinyatakan melalui variabel alat dan mesin pertanian baik untuk
pengolahan lahan serta alsintan panen, serta variabel jaringan irigasi.
Keseluruhan variabel dinyatakan melalui persamaan regresi multivariate.
Regresi multivariate mensyaratkan tidak adanya data yang bersifat
multikolinearitas, sehingga data 14 variabel penyebab alih fungsi lahan
sawah harus ditransformasikan melalui analisis PCA (Principal
Component Analysis), dengan metode varimax normalized. Hasil PCA 14
komponen disajikan pada Tabel berikut.
V-11
Tabel 5. 8 Hasil Principal Component Analysis terhadap Variabel
yang mempengaruhi alih fungsi Lahan Sawah
V-12
3. Index Irigasi. Variabel yang termasuk dalam kategori ini antara lain
Laju Alih Fungsi Lahan dan Jaringan Irigasi.
Total 15,19971
Sumber : Analisis Data Primer dan Sekunder, 2019.
V-13
Berdasarkan Tabel diatas, secara parsial, diketahui nilai T hitung Index
PDRB < T tabel, sehingga dapat diartikan Index PDRB signifikan
mempengaruhi alih fungsi lahan sawah.
Demikian pula pada index Alsintan, terlihat nilai T hitung Index Alsintan <
T tabel, sehingga dapat diartikan Index Alsintan signifikan mempengaruhi
alih fungsi lahan sawah, dan pada index Irigasi nilai T hitung Index Irigasi
< T tabel, sehingga dapat diartikan Index Irigasi signifikan mempengaruhi
alih fungsi lahan sawah. Akan tetapi berdasarkan nilai b* (absolut),
diketahui bahwa Index Irigasi memiliki nilai yang paling tinggi, sehingga
Index Jaringan Irigasi signifikan mempengaruhi alih fungsi lahan sawah
lebih besar daripada variabel lainnya.
Berdasarkan Tabel diatas, maka persamaan alih fungsi lahan sawah
Provinsi Kalimantan Barat dinyatakan dengan persamaan logistik:
ln V = -3,09 - 0,76(lnX1) - 0,36(lnX2) - 2,25(lnX3) + 0,15
V-15
lahan pertanian untuk merubah penggunaan lahannya antara lain,
karena pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal dan
peningkatan pendapatan melalui alih usaha.
(b) Alih fungsi lahan diawali dengan alih penguasaan lahan. Petani
menjual lahan mereka kepada pihak lain yang akan
memanfaatkannya untuk usaha non pertanian. Pemilik lahan
secara tidak langsung dianggap mengalihfungsikan lahan pertanian
tersebut.
V-16
Pembangunan infrastruktur, terutama jalan, akan menimbulan opportunity
cost, sehingga nilai land rent akan menjadi lebih tinggi. Banyak lahan
sawah yang memiliki produktivitas yang tinggi berada di jalan utama.
Para pemilik lahan cenderung untuk mengalihfungsikan lahan yang dimiliki
karena walaupun lahan yang mereka punya memiliki produktivitas yang
tinggi namun hasil penjualan lahan masih lebih tinggi daripada hasil
produksi padi yang mereka peroleh.
Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah berdasarkan
karakteristik petani, dinyatakan melalui persamaan berikut.
Proses alih fungsi lahan yang dilakukan oleh sebagian besar petani
karena terpaksa. Sebenarnya, petani tidak ingin menjual lahannya karena
pertanian merupakan sumber mata pencaharian pokok. Namun, akibat
adanya bujukan dari makelar (calo) agar petani mau menjual lahannya
sehingga petani terbujuk dan mau menjual lahannya. Hal ini disebabkan
karena wilayah ini merupakan daerah pengembangan perumahan. Kondisi
ini menunjukkan bahwa tidak adanya bargaining position yang dimiliki
petani sehingga petanilah yang menjadi sasaran bagi berbagai pihak baik
pemerintah maupun swasta untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Selain itu, ada juga petani yang proses alih fungsi lahan pertaniannya
secara sukarela. Hal ini diseabkan karena adanya kebutuhan-kebutuhan
petani yang membutuhkan biaya tinggi. Petani melakukan alih fungsi
lahan karena adanya kebutuhan hidup yang mendesak seperti biaya hidup
sehari-hari, biaya sekolah, biaya pernikahan, biaya berobat, biaya naik
haji, modal usaha, dan sebagainya. Bagi petani (responden) yang
memiliki lahan cukup luas, hasil penjualan tersebut akan digunakan untuk
membeli lahan sawah di wilayah lain yang memiliki harga lahan lebih
murah. Namun, bagi petani yang tidak memiliki lahan luas, hasil penjualan
lahan akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau
keperluan lainnya.
V-17
5.8.2. Alih fungsi lahan sawah menjadi kawasan industri dan
perdagangan
Secara umum, alih fungsi lahan sawah diawali dengan alih penguasaan
lahan. Pemilik lahan menjual kepada pihak lain yang akan
memanfaatkannya untuk usaha industri dan perdagangan. Para petani
yang cenderung berpendapatan kecil akan menjual lahannya karena
tergiur akan harga lahan yang ditawarkan oleh para investor. Secara
empiris, alih fungsi lahan melalui cara ini umumnya berkorelasi positif
dengan proses urbanisasi (pengkotaan). Dampak alih fungsi lahan
terhadap eksistensi lahan pertanian dengan pola ini berlangsung cepat
dan nyata.
Alih fungsi lahan sawah menjadi perkebunan terbagi menjadi dua kategori,
yakni perkebunan rakyat dan perkebunan perusahaan. Pada dasarnya
perubahan penggunaan lahan sawah menjadi perkebunan rakyat
dilandasi oleh : pemilihan komoditas pertanian yang lebih ekonomis, dan
pengusahaan pertanian pada lahan yang memiliki faktor pembatas berat.
Komoditas pertanian yang bernilai ekonomis sehingga memicu alih fungsi
lahan sawah adalah tanaman kelapa sawit. Sedangkan pengusahaan
pertanian pada lahan yang memiliki faktor pembatas berat biasanya terkait
dengan faktor ketersediaan air (kekeringan). Pada kondisi tersebut, lahan
sawah biasa terlantar, atau dikonversi dengan tanaman lada, karet,
pinang, kelapa dalam, dan lain-lain. Namun alih fungsi ini pada lahan
dengan faktor pembatas berat ini biasanya bersifat sementara.
Black design alih fungsi lahan dapat terjadi akibat dari tuntutan
perkembangan kegiatan penduduk pada daerah-daerah yang awalnya
merupakan basis pertanian sawah menjadi daerah perkotaan yang
V-18
dicirikan dengan zona permukiman, perdagangan, dan industri. Faktor
yang mendorong tuntutan kegiatan penduduk pada lahan sawah adalah:
(a) Masyarakat memiliki perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan
jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan
kepentingan nasional secara keseluruhan. Hal ini tercermin dari
RTRW yang cenderung mendorong konversi tanah pertanian untuk
penggunaan tanah non pertanian.
(b) Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakkan hukum
dari peraturan yang ada.
Akan tetapi pada kondisi tertentu, masih banyak sawah yang diusahakan
pada status lahan perorangan atau kelompok, dimana usaha tani tersebut
dijalankan dengan cara menyewa lahan. Dalam hal ini petani yang
mengerjakan berstatus sebagai buruh tani atau penyakap. Jika kondisi ini
masih dipertahankan, maka sawah tersebut masih memiliki produktivitas
dalam jangka waktu tertentu.
V-19
Kawasan Hutan ditegaskan, penggunaan kawasan hutan untuk
kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat
dilakukan untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak
dapat dielakkan. Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan
sebagaimana dimaksud meliputi kegiatan: a. religi; b. pertambangan; c.
instalasi pembangkit, transmisi, dan distribusi listrik, serta teknologi energi
baru dan terbarukan; d. pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun
pemancar radio, stasiun relay televisi, dan stasiun bumi pengamatan
keantariksaan; e. jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api; f. sarana
transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum
untuk keperluan pengangkutan hasil produksi; g. waduk, bendungan,
bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi,
dan bangunan pengairan lainnya; h. fasilitas umum; i. industri selain
industri primer hasil hutan; j. pertahanan dan keamanan; k. prasarana
penunjang keselamatan umum; l. penampungan korban bencana alam
dan lahan usahanya yang bersifat sementara; atau m. pertanian tertentu
dalam rangka ketahanan pangan dan ketahanan energi.
Namun dengan adanya izin pinjam pakai kawasan hutan, maka banyak
konsekuensi yang harus diterapkan misalnya rehabilitasi DAS, pajak,
maupun kompensasi lainnya. Oleh karena itu, jika proses pengendalian
tata ruang sudah berjalan dengan baik, maka status pelepasan kawasan
hutan pada lahan pertanian (sawah) menjadi hal mutlak yang harus
dilaksanakan oleh pimpinan daerah.
Kelemahan lain dalam peraturan perundangan yang ada yaitu : (i) Objek
V-21
lahan pertanian yang dilindungi dari proses konversi ditetapkan
berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan relatif mudah
direkayasa, sehingga konversi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar
peraturan yang berlaku; (ii) Peraturan yang ada cenderung bersifat
himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas, baik besarnya sanksi
maupun penentuan pihak yang dikenai sanksi; (iii) Jika terjadi konversi
lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku sulit
ditelusuri lembaga yang paling bertanggung jawab untuk menindak karena
ijin konversi adalah keputusan kolektif berbagai instansi.
Selain itu dua faktor strategis lain adalah pertama, yang sifatnya
fundamental adalah petani sebagai pemilik lahan dan pemain dalam
kelembagaan lokal belum banyak dilibatkan secara aktif dalam berbagai
upaya pengendalian alih fungsi. Kedua, belum terbangunnya komitmen,
perbaikan sistem koordinasi, serta pengembangan kompetensi lembaga-
lembaga formal dalam menangani alih fungsi lahan pertanian. Beberapa
kelemahan dan keterbatasan tersebut di atas telah menyebabkan
instrumen kebijakan pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang
selama ini telah disusun tidak dapat menyentuh secara langsung simpul-
simpul kritis yang terjadi di lapangan.
V-22
5.9.1 Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Sambas
Berdasarkan RTRW Kabupaten Sambas 2014-2034, diketahui bahwa pola
ruang pertanianmemiliki luas 358.825,07 ha, yang terdiri dari pertanian
lahan basah seluas 79.286,81 ha, dan pertanian lahan kering seluas
279.538,25 ha. Dari luas Pola Ruang Pertanian Lahan Basah, yang
digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah seluas
13.170,92 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat 30,57%
inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Sambas.
Tabel 5.11 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Sambas
V-23
5.9.2 Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Landak
Berdasarkan RTRW Kabupaten Landak 2015-2035, diketahui bahwa pola
ruang pertanian memiliki luas 71.418,81 ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian, yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah
seluas 14.088,39 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat
43,56%inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Landak.
Tabel 5.12 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Landak
Kawasan Hutan Rakyat dan Hutan Desa 15.781,36 47,27 0,3% Inkonsisten
Kawasan Industri 1.119,85 - 0,0% Inkonsisten
Kawasan Pariwisata 649,19 12,03 1,9% Inkonsisten
Kawasan Perdesaan 3.964,32 214,39 5,4% Konsisten
Kawasan Perkebunan 452.960,40 6.862,74 1,5% Inkonsisten
Kawasan Pertanian 71.418,81 14.088,39 19,7% Konsisten
Kawasan Resapan Air 5.705,78 1,69 0,0% Inkonsisten
Kawasan Suaka Alam 53.577,71 10,30 0,0% Inkonsisten
Ruang Terbuka Hijau 57,59 - 0,0% Inkonsisten
Sempadan Sungai 19.698,75 1.056,80 5,4% Inkonsisten
Sempadan Waduk/Danau 170,94 - 0,0% Inkonsisten
Sungai 2.256,16 7,21 0,3% Konsisten
Waduk Danau 154,47 - 0,0% Konsisten
Jumlah 812.283,83 25.354,64 11.044,65 43,56%
V-24
5.9.3. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Bengkayang
Tabel 5.13 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Bengkayang
V-25
5.9.4. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Mempawah
Tabel 5.14 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Mempawah
V-26
5.9.5. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Sanggau
Berdasarkan RTRW Kabupaten Sanggau 2015-2035, diketahui bahwa
pola ruang pertanian memiliki luas 532.999,20 ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah
seluas 15.399,98 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat
36,02%% inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten
Sanggau
Tabel 5.15 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Sanggau
V-27
5.9.6. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Sekadau
Berdasarkan RTRW Kabupaten Sekadau 2015-2035, diketahui bahwa
pola ruang pertanian memiliki luas 8.766,16 ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian Lahan Basah, yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun
2018 adalah seluas 29,02 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih
terdapat 99,69% inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten
Sekadau
Tabel 5.16 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Sekadau
V-28
5.9.7. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Kubu Raya
Berdasarkan RTRW Kabupaten Kubu raya 2015-2035, diketahui bahwa
pola ruang pertanian memiliki luas 109.713,87 ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah
seluas 13.783,78 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat
62,01% inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Kubu
Raya
Tabel 5.17 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Kubu Raya
V-29
5.9.8. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Sintang
Berdasarkan RTRW Kabupaten Sintang 2015-2035, diketahui bahwa pola
ruang pertanian belum secara spesifik ditetapkan, tetapi masih pada Pola
Ruang APL, yang memiliki luas 893.063,53 ha. Dari luas APL yang
digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah seluas
16.153,62 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat 7,1%
inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Sintang
Tabel 5.18 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Sintang
V-30
5.9.9. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Kapuas Hulu
Berdasarkan RTRW Kabupaten Kapuas Hulu 2015-2035, diketahui bahwa
pola ruang pertanian memiliki luas 224.240,46 ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah
seluas 3.877,19 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat
66,36% inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Kapuas
Hulu
Tabel 5.19 Luas Lahan Sawah pada Pola Ruang RTRW Kabupaten
Kapuas Hulu
Pola Ruang Luas (ha) Inkonsistensi Pola keterangan
Wilayah Sawah 2018 Ruang (%)
V-31
5.9.10. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Melawi
Berdasarkan RTRW Kabupaten Melawi 2015-2035, diketahui bahwa pola
ruang pertanian memiliki luas 93.526,22 ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah
seluas 847,66 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat
77,97% inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Melawi.
V-32
5.9.11. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Ketapang
Berdasarkan RTRW Kabupaten Ketapang 2015-2035, diketahui bahwa
pola ruang pertanian belum ditetapkan, tetapi masih tergabung pada Pola
Ruang APL, yang memiliki luas 1.224.262,76 ha. Dari luas Pola Ruang
APL yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018 adalah seluas
25.525,11 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih terdapat 10,8%
inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten Ketapang
V-33
5.9.12. Black Design Alih Fungsi Lahan Kabupaten Kayong Utara
Berdasarkan RTRW Kabupaten Kayong Utara 2015-2035, diketahui
bahwa pola ruang pertanian memiliki luas 49.269,00 ha. Dari luas Pola
Ruang Pertanian yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun 2018
adalah seluas 10.389,39 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih
terdapat 13,7 % inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kabupaten
Kayong Utara
V-34
5.9.13. Black Design Alih Fungsi Lahan Kota Singkawang
Berdasarkan Kota Singkawang 2014-2034, diketahui bahwa pola ruang
pertanian lahan basah memiliki luas 2.763,00ha. Dari luas Pola Ruang
Pertanian Lahan Basah yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun
2018 adalah seluas 868,66ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih
terdapat 32,1 % inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kota
Singkawang
V-35
RTH LOR dan Taman Kota 111,08 23,43 21,1% Konsisten
RTH Penyangga Bandara 366,18 - 0,0% Konsisten
RTH Sabuk Hijau 104,78 - 0,0% Konsisten
Tambak 297,06 0,30 0,1% Inkonsisten
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) 41,27 - 0,0% Inkonsisten
Terminal Tipe A 3,87 - 0,0% Inkonsisten
Jumlah 60.816,71 2.676,20 858,95 32,10%
V-36
5.9.14. Black Design Alih Fungsi Lahan Kota Pontianak
Berdasarkan RTRW Kota Pontianak 2014-2034, diketahui bahwa pola
ruang pertanian seluas 930,48. Ha. Dari luas Pola Ruang Pertanian dan
peternakan tersebut, yang digunakan untuk lahan sawah pada Tahun
2018 adalah seluas 16,99 ha. Berdasarkan sebaran sawah, maka masih
terdapat 78,05 % inkonsistensi sawah pada pola ruang RTRW Kota
Pontianak
V-37
5.10. Upaya Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah
V-38
5.10.3. Peningkatan Jumlah dan Perbaikan Jaringan Irigasi
Kabupaten Luas Lahan Sawah (ha) Luas Status Pengairan (ha) Luas Kebutuhan Pengairan Persentase
(ha)
2018 Ketersediaan Lahan Lahan Sawah Perbaikan Pembangunan Sawah Perbaikan Pembangunan
Air Rendah Sawah Non Irigasi Irigasi Irigasi beririgasi Irigasi Irigasi
Irigasi
Sambas 43.064,90 15.242,38 6.938,74 36.125,65 2.276,05 12.983,20 16,11% 5,29% 30,15%
Bengkayang 10.926,79 2.956,04 8.415,57 2.511,11 9.469,82 1.293,38 77,02% 86,67% 11,84%
Landak 26.303,14 9.052,84 15.970,59 10.330,37 5.846,27 2.965,77 60,72% 22,23% 11,28%
Mempawah 12.306,63 6.285,77 2.904,90 9.631,13 628,53 5.607,92 23,60% 5,11% 45,57%
Sanggau 24.064,60 1.362,31 7.344,57 16.753,92 237,06 1.121,63 30,52% 0,99% 4,66%
Ketapang 28.678,81 9.093,83 19.460,96 9.217,88 18.855,79 10.395,37 67,86% 65,75% 36,25%
Sintang 17.373,75 1.866,68 4.189,99 13.190,12 716,16 1.153,63 24,12% 4,12% 6,64%
Kapuas Hulu 13.092,44 768,20 1.687,41 11.405,03 87,33 684,41 12,89% 0,67% 5,23%
Sekadau 9.675,49 460,59 2.109,10 7.578,31 197,51 263,63 21,80% 2,04% 2,72%
Melawi 3.873,27 225,94 1.920,06 1.953,21 170,80 296,56 49,57% 4,41% 7,66%
Kayong Utara 12.037,76 7.461,73 11.980,10 57,66 7.446,64 16,50 99,52% 61,86% 0,14%
Kubu Raya 36.314,77 18.498,04 985,09 35.322,99 270,57 18.211,50 2,71% 0,75% 50,15%
Pontianak 223,86 118,93 - 223,86 - - 0,00% 0,00% 0,00%
Singkawang 2.682,71 818,64 - 2.682,71 - 817,96 0,00% 0,00% 30,49%
Jumlah 240.618,92 240.618,92 83.907,08 156.983,94 46.202,54 55.811,45 34,87% 19,20% 23,19%
Sumber: Analisis Spasial, 2019.
V-39
kabupaten / kota di Provinsi Kalimantan Barat memiliki tingkat kerawanan
terhadap ketersediaan air kecuali Kabupaten Kapuas Hulu dan Kota
Pontianak. Jaringan irigasi yang telah dibangun bervariasi, mulai dari
sangat kurang (Kota Singkawang), sampai cukup memadai (Kabupaten
Ketapang dan Kayong Utara). Provinsi Kalimantan Barat masih
memerlukan pembangunan irigasi pada 55.811,45 hektar sawah, atau
23,19% dari total lokasi lahan sawah, serta perbaikan pada 46.202,54
hektar sawah.
V-40
lindung. Berdasarkan UU no 26/2007 tentang Tata Ruang, minimal 30 %
dari luas wilayah kota diharuskan menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH)
untuk memenuhi fungsi lindung pada kawasan budidaya. Kawasan
pertanian Provinsi Kalimantan Barat menjadi bagian dari RTH.
Selain itu hal lain yang menyulitkan dalam upaya pengendalian alih
fungsi lahan sawah adalah belum adanya instrumen kebijakan yang
V-42
dapat dioperasionalkan di tingkat lapangan. Efektivitas instrumen
hukum masih sangat rendah, demikian juga instrumen ekonomi dan
zonasi. Salah satu persoalan mendasar berkaitan dengan berbagai
instrumen kebijakan tersebut adalah rendahnya angka keterlibatan
semua pemangku kepentingan dalam proses penyusunan dan
implementasi kebijakan. Keikutsertaan berbagai instansi pada proses
penyusunan RTRW kurang dari 50%, dan pada umumnya mereka
hanya menerima hasil akhir dari penyusunan RTRW yang disusun
Bappeda bersama konsultan. Dinas terkait hanya diundang ketika
pada proses akhir sebelum disahkan sebagai Peraturan Daerah
(Perda). Hal ini memerlukan upaya partisipatif dalam penentuan
rencana tata ruang wilayah, baik RTRW maupun RDTR.
Persentase
Belum Jumlah Luas
Kabupaten Luas Wilayah (ha) Lahan Cetak
diusahakan (ha)
Sawah