Anda di halaman 1dari 8

Dampak Pernikahan Dini (perkawinan di bawah umur)

Baru saja kita mendengar berita diberbagai media tentang kyai kaya yang menikahi anak
perempuan yang masih belia berumur 12 tahun. Berita ini menarik perhatian khalayak karena
merupakan peristiwa yang tidak lazim. Apapun alasannya, perkawinan tersebut dari tinjauan
berbagai aspek sangat merugikan kepentingan anak dan sangat membahayakan kesehatan
anak akibat dampak perkawinan dini atau perkawinan di bawah umur. Berbagai dampak
pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur dapat dikemukakan sbb.

1. Dampak terhadap hukum

Adanya pelanggaran terhadap 3 Undang-undang di negara kita yaitu:


a. UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.

Pasal 6 (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun
harus mendapat izin kedua orang tua.

b. UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Pasal 26 (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak
1.) menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya dan;
2.) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

c. UU No.21 tahun 2007 tentang PTPPO


Patut ditengarai adanya penjualan/pemindah tanganan antara kyai dan orang tua anak yang
mengharapkan imbalan tertentu dari perkawinan tersebut.

Amanat Undang-undang tersebut di atas bertujuan melindungi anak, agar anak tetap
memperoleh haknya untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindungi dari perbuatan
kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.

Sungguh disayangkan apabila ada orang atau orang tua melanggar undang-undang tersebut.
Pemahaman tentang undang-undang tersebut harus dilakukan untuk melindungi anak dari
perbuatan salah oleh orang dewasa dan orang tua. Sesuai dengan 12 area kritis dari Beijing
Platform of Action, tentang perlindungan terhadap anak perempuan.

1. Dampak biologis

Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan
sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika
sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan
yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan
jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan
dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan
(penggagahan) terhadap seorang anak.

3.  Dampak Psikologis


Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan
menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak
akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak
mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak
untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya
serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

4. Dampak Sosial

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang
bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap
pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun
termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi
ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan
kekerasan terhadap perempuan.

5. Dampak perilaku seksual menyimpang

Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks
dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan
tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan se-akan2
menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan
pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil
tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan
menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.

Dari uraian tersebut jelas bahwa pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur (anak) lebih
banyak mudharat daripada manfaatnya. Oleh karena itu patut ditentang. Orang tua harus
disadarkan untuk tidak mengizinkan menikahkan/mengawinkan anaknya dalam usia dini atau
anak dan harus memahami peraturan perundang-undangan untuk melindungi anak.
Masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak dapat mengajukan class-action kepada
pelaku, melaporkan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesai (KPAI), LSM peduli anak
lainnya dan para penegak hukum harus melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk
melihak adanya pelanggaran terhadap perundangan yang ada dan bertindak terhadap pelaku
untuk dikenai pasal pidana dari peraturan perundangan yang ada. (UU No.23 tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, UU Perkawinan, UU PTPPO).

Dewasa ini banyak sekali remaja yang sudah terjerumus dalam jurang
kesesatan. Akan tetapi, mereka hampir tidak mempedulikanya. Memang benar, hal
yang paling menakutkan bagi remaja dalam pergaulan bebas mereka adalah masalah
kehamilan dan penyakit menular. Sehingga, saat pacaran mereka begitu selektif dan
ketat supaya tidak terjadi apa yang disebut dengan kehamilan atau tertular penyakit
seksual. Tapi teman remaja lupa, bahwa akar masalahnya justru aktivitas pacarannya
itu. Coba, dua insan berlainan jenis yang sedang dimabuk asmara, pasti menginginkan
untuk selalu bersama. Apabila rumahnya jauh, mereka hanya memencet angka di HP-
nya saja. Lalu tertawa melepas kerinduan, bahkan tak heran mereka membicarakan
hal-hal tentang pergaulan mereka. Dan bila ada kesempatan, langsung membuat janji
untuk bertemu. Pada akhirnya, jangan harap kamu bisa mengendalikan diri.

Sebelum beranjak ke faktor-faktor, sebaiknya menjelaskan apa arti dari


pacaran itu sendiri. Pada hakikatnya pacaran tidak diperbolehkan di agama. Selain itu,
pacaran mendekati zina.

Tuduh-menuduh atau tuding-menuding tentang siapa yang harus bertanggung-


jawab, boleh-boleh saja. Namun ingat, kita harus teliti dan jangan asal tuduh. Tapi
yang pasti, pacaran sudah menjadi gaya hidup remaja. Benar, sepertinya kalau tidak
melakukan itu takut dianggap kuno. Maka jangan heran bila semua media massa
memberikan gambaran yang dibutuhkan dan harus dijalani kaum remaja, dan pacaran
adalah salah satunya Perlu diketahui, bahwa anak gadis di sana, pada usia 17
diberikan kebebasan oleh ortunya untuk bergaul dengan teman pria mereka dengan
sesuka mereka. Yang penting jangan mengkonsumsi narkoba atau berbuat kriminal.

Dengan begitu, angka seks bebas di negara yang emang membiarkan terjadi
begitu terbukti tinggi. Sebagai contoh, dari data yang didapat PBB mengatakan bahwa
lebih dari 80% siswa SMU di Cina pernah melakukan hubungan seks bebas.
Celakanya lagi, mereka menganggap bahwa hal itu adalah hal yang biasa. Malah ada
yang menyetujui hubungan itu. Menurut hasil survei PBB ada 30,4% yang setuju
dengan seks bebas dan 47,8% yang berpikir hal itu bisa dimaklumi.

Itu bisa terjadi bila hubungan antara dua lawan jenis ini begitu dekat dan
lengket. Sebab, tidak mungkin terjadi hal itu bila hubungannya terjaga dengan benar
dan baik. Sementara dalam pacaran, kamu tahu sendiri bagaimana aktivitasnya? Liar!
Begitulah gambaran perbuatan yang mendekati dengan perzinaan. Dan sudah jelas
bahwa aktivtas zina itu adalah haram. Firman Allah Swt:

ً‫سبِيال‬ َ ‫شةً َو‬


َ ‫سا َء‬ ِ َ‫الزنَا إِنَّهُ َكانَ ف‬
َ ‫اح‬ ِّ ‫َوالَ تَ ْق َربُوا‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS al-Isrâ [17]: 32

Nikah dipersulit, gaul bebas dipermudah. Seringkali manusia suka terbalik


dalam menilai suatu perbuatan. Sebab, yang jadi patokan mereka dalam berbuat cuma
mengandalkan perasaan dan tidak mau menggunakan akalnya. akhirnya, sering dibuat
pusing oleh keputusannya sendiri. Dalam masalah pergaulan bebas, masyarakat suka
menilai bahwa baik dan buruknya suatu perbuatan hanya dilihat dari apakah
perbuatan itu menguntungkan baginya secara materi atau tidak. Itu salah besar. Sebab,
yang kita anggap baik, belum tentu baik dalam pandangan Allah. Dan begitupun
sebaliknya. Firman Allah Swt:

َ‫ش ٌّر لَ ُك ْم َوهَّللا ُ يَ ْعلَ ُم َوأَ ْنتُ ْم الَ تَ ْعلَ ُمون‬ َ ‫سى أَنْ تُ ِحبُّوا‬
َ ‫ش ْيئًا َو ُه َو‬ َ ‫سى أَنْ تَ ْك َرهُوا‬
َ ‫ش ْيئًا َوه َُو َخ ْي ٌر لَ ُك ْم َو َع‬ َ ‫َو َع‬

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui” (QS al-Baqarah [2]: 216).

Ini memang aneh, nikah yang memang ada syariatnya dipersulit, tapi gaul
bebas dipermudah. Buktinya, sarana untuk gaul bebas terus diciptakan dan
dipermudah aksesnya. Kalau dipikir secara logis ibadah yang ingin kita lakukan
dipersulit tapi, kalau mau mejalankan maksiat selalu dipermudah. Kalau untuk nikah
saja kita harus mengurus beragam administrasi. Selain itu kita masih dihadang dengan
peraturan pemerintah yang membatasi usia pernikahan dalam UU Perkawinan.

Itu termasuk kendala eksternal. Selain itu, memang ada juga kendala internal,
yakni belum siap mental dan belum punya biaya. Inilah dilema bagi remaja. Maka
jangan heran bila kemudian jalan keluar bagi remaja untuk menyalurkan naluri yang
tidak tertahankan itu mereka memilih melakukan seks bebas. Sehingga, makin
menambah keyakinannya bahwa MBA adalah jalan terbaik bila saat pacaran mereka
kebablasan. Bukan tak mungkin pula bila kemudian ada remaja yang nekat
menghamili pacarnya bila hubungan mereka tak direstui oleh ortunya. Dan ini sebagai
bukti bahwa ternyata nikah dipersulit kecuali kalau “kecelakaan”.

Kendala internal insyaAllah masih bisa dicari jalan keluarnya. Tapi kalau
sudah kendala eksternal itu sulit. karena melibatkan komponen yang lebih rumit dan
sulit diajak kompromi.

Inilah salah satu produk kapitalisme, yang memang membolehkan setiap


individu untuk berbuat sesukanya, sebab semuanya dijamin dengan kebebasan
bertingkah laku yang ada dalam peraturan HAM. Inilah rusaknya sistem demokrasi.

Dalam ajaran agama kita telah diatur dengan jelas, bagaimana seharusnya kita
bersikap dan bertingkah laku. Tentu supaya kita selamat di dunia dan di akhirat. Jadi
sebetulnya, nikah dalam usia dini lebih baik dari pada MBA. Nikah ibadah, gaul bebas
maksiat. Namun, bila kita masih belum mampu ke arah sana. Lebih baik hindari
pacaran, seringlah berpuasa, dan fokus belajar

Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan dalam usia muda:

1. Menurut RT. Akhmad Jayadiningrat, sebab-sebab utama dari perkawinan usia muda
adalah:

a. Keinginan untuk segera mendapatkan tambahan anggota keluarga

b. Tidak adanya pengertian mengenai akibat buruk perkawinan terlalu muda, baik
bagi mempelai itu sendiri maupun keturunannya.
c. Sifat kolot orang jawa yang tidak mau menyimpang dari ketentuan adat.
Kebanyakan orang desa mengatakan bahwa mereka itu mengawinkan anaknya
begitu muda hanya karena mengikuti adat kebiasaan saja.

2. Terjadinya perkawinan usia muda menurut Hollean dalam Suryono disebabkan


oleh:

a. Masalah ekonomi keluarga

b. Orang tua dari gadis meminta masyarakat kepada keluarga laki-laki apabila mau
mengawinkan anak gadisnya.

c. Bahwa dengan adanya perkawinan anak-anak tersebut, maka dalam keluarga


gadis akan berkurang satu anggota keluarganya yang menjadi tanggung jawab
(makanan, pakaian, pendidikan, dan sebagainya) (Soekanto, 1992 : 65).

Selain menurut para ahli di atas, ada beberapa faktor yang mendorong
terjadinya perkawinan usia muda yang sering dijumpai di lingkungan masyarakat kita
yaitu :

a. Ekonomi

Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis
kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya
dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.

b. Pendidikan

Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan


masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang
masih dibawah umur.

c. Faktor orang tua

Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-
laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.
d. Media massa

Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian


Permisif terhadap seks.

e. Faktor adat

Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan
perawan tua sehingga segera dikawinkan.

Hukum Pernikahan Dini

Pasal 6 ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa untuk melangsungkan suatu
perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua
orang tua.

Namun dalam prakteknya didalam masyarakat sekarang ini masih banyak dijumpai sebagian
masyarakat yang melangsungkan perkawinan di usia muda atau di bawah umur. Sehingga
Undang-undang yang telah dibuat, sebagian tidak berlaku di suatu daerah tertentu meskipun
Undang-Undang tersebut telah ada sejak dahulu. Di Indonesia pernikahan dini berkisar 12-
20% yang dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan pada pasangan
usia muda usia rata-rata umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan dini dengan
usia pengantin di bawah usia 16 tahun sebanyak 26,95%. Di Tasikmalaya sendiri khususnya
di desa Mandalagiri kecamatan Leuwisari kabupaten Tasikmalya yang telah melangsungkan
perkawinan pada usia muda berjumlah lebih dari 15 orang.

Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-
28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah
berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun
mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat,
hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik sera psikis emosional,
ekonomi dan sosial.

Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari satu sisi dapat
mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa
merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah pernikahan. Sebagian masyarakat yang
melangsungkan perkawinan usia muda ini dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor
yang mendorong mereka untuk melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah umur.
Pernikahan dini

Pernikahan Dini merupakan sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang
sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternative, setidaknya menurut penawaran Prof. Dr.
Sarlito Wirawan Sarwono pada tahun 1983, melalui tulisannya berjudul Bagaimana Kalau
Kita Galakkan Perkawinan Remaja? Ketika fitnah syahwat kian tak terkendali, ketika seks
pranikah semakin merajalela, terutama yang dilakukan oleh kaum muda yang masih duduk di
bangku-bangku sekolah, tidak peduli apakah dia SMP bahkan SD, apalagi SMA maupun
perguruan tinggi.

Tapi sederet pertanyaan dan kekhawatiranpun muncul. Nikah diusia remaja, mungkinkah?
Siapkah mental dan materinya? Bagaimana respon masyarakat? Apa tidak mengganggu
sekolah? Dan masih banyaksederetpertanyaanlainnya.

Dari sisi psikologis, memang wajar kalau banyak yang merasa khawatir. Bahwa pernikahan
di usia muda akan menghambat studi atau rentan konflik yang berujung perceraian, karena
kekurangsiapan mental dari kedua pasangan yang masih belum dewasa betul. Hal ini terbaca
jelas dalam senetron “Pernikahan Dini” yang pernah ditayangkan di salah satu stasiun
televisi. Beralasan memang, bahwa mental dan kedewasaan lebih berarti dari sekedar materi,
untuk menciptakan sebuah rumah tangga yang sakinah seperti yang diilustrasikan oleh
sinetron tersebut.

1. Pernikahan Dini dalam Perspektif  Psikologi

Sebetulnya, kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial


telah dijawab dengan logis dan ilmiah oleh Muhammad Fauzil Adhim dalam bukunya
“Indahnya Pernikahan Dini”, juga oleh Clarke-Stewart & Koch lewat bukunya “Children
Development Through”: bahwa pernikahan di usia remaja dan masih di bangku sekolah
bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran
utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang bahwa menikah bisa
menjadi solusi alternatif untukmengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali.

Di kedua buku itu (dan juga di sekitar kita) ada banyak bukti empiris dan tidak perlu
dipaparkan disini bahwa menikah di usia dini tidak menghambat studi, bahkan justru bisa
menjadi motivasi untuk meraih puncak prestasi yang lebih cemerlang (seperti tertera sederet
nama orang sukses yang melakukan pernikahan dini). Selain itu, menurut bukti-bukti (bukan
hanya sekedar teori) psikologis, pernikahan dini juga sangat baik untuk pertumbuhan emosi
dan mental, sehingga kita akan lebih mungkin mencapai kematangan yang puncak
(Muhammad Fauzil Adhim, Indahnya Pernikahan Dini, 2002). Bahkan menurut Abraham M.
Maslow, pendiri psikologi humanistik yang menikah di usia 20 tahun, orang yang menikah di
usia dini lebih mungkin mencapai taraf aktualisasi diri lebih cepat dan lebih sempurna
dibanding dengan mereka yang selalu menunda pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya,
menurut M. Maslow, dimulai dari saat menikah. Pernikahan akan mematangkan seseorang
sekaligus memenuhi separuh dari kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada
gilirannya akan menjadikan manusia, mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian
yang mengesankan ibid).

Bagaimana dengan hasil penelitian di salah satu kota di Yogya bahwa angka perceraian
meningkat signifikan karena pernikahan dini? Ternyata, setelah diteliti, pernikahan dini yang
rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan “kecelakaan” (yang disengaja). Hal
ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan
kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat.

Adapun urgensi pernikahan terhadap upaya menanggulangi kenakalan remaja barangkali


tidak bias dibantah. Takut rasanya ketika kita mendengar hasil sebuah penelitian bahwa 90%
mahasiswi di salah satu kota besar di negara muslim ini sudah tidak perawan lagi. Pergaulan
bebas atau free sex sama sekali bukan nama yang asing di telinga kaum remaja, saat ini. Kita
akan menyaksikan kehancuran yang berlangsung pelan-pelan, tapi sangat mengerikan para
gadis (yang sudah tidak gadis lagi) hamil di luar nikah. Untuk menanggulangi musibah kaum
remaja ini hanya satu jawabnya: nikah.

1. Pernikahan Dini dalam Perspektif Agama

Jika menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25, maka
bagaimana dengan agama? Rasulullah saw.Bersabda:

“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai ba’ah, maka kawinlah.
Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga
kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya
adalah kendali (dari gairah seksual)” (HR. Imam yang lima).

Hadits di atas dengan jelas dialamatkan kepada syabab (pemuda). Siapakah syabab itu?
Mengapa kepada syabab? Menurut mayoritas ulama, syabab adalah orang yang telah mencap
aqil baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun. Aqil baligh bisa ditandai dengan
mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita) atau telah mencapai usia limabelas
tahun. Ada apa dengan syabab?
Sebelumnya, menarik diperhatikan sabda Nabi savv,
“perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan
pukullah mereka karena tidak mengerjakannya setelah berusia sepuluh tahun dan pisahkan
tempat tidurnya” (Ahmad dan Abu Dawud).

Pesan Nabi di atas, selain bermakna sebagai pendidikan bagi anak juga menyimpan sebuah
isyarat bahwa padausia sepuluh tahun, seorang anak telah memiliki potensi menuju
kematangan seksual. Sebuah isyarat dari Nabi saw, Sembilan belas Abad yang silam. Kini,
dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi (baik cetak atau elektronik)
yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum remaja, maka tak heran apabila sering
terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah
dasar. Karenanya, Sahabat Abdullah bin Mas’ud ra, selalu membangun orientasi menikah
kepada para pemuda yang masih single dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi
isteri yang shalihah.

Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut melangkah adalah
kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang beriman. Bukankah
Allah telah menjamin rezeki hamba-Nya yang mau menikah, seperti yang tersirat dalam
suratal-Nur ayat 32 yang artinya, “dan jika mereka miskin maka Allah akan membuatnya
kaya dengan karunia-Nya”. Bukankah Rasul-Nya juga menjamin kita dengan sabdanya,
“Barang siapa yang ingin kaya, maka kawinlah.”

Anda mungkin juga menyukai