Anda di halaman 1dari 28

EFEKTIVITAS LAMA PERENDAMAN HCl DAN

KONSENTRASI SURFAKTAN PADA PEMBUATAN


NANOPARTIKEL KITOSAN CANGKANG
UDANG VANNAMEI SECARA
GELASI IONIK

Disusun Oleh :
Tutur Caraka
161710101019

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia mendapat julukan sebagai negara maritim, tidak salah jika
Indonesia menjadi salah satu negara pengekspor udang terbesar. Indonesia tercatat
sebagai negara penghasil udang terbesar ketiga di dunia, dengan produksi pada
tahun 2017 mencapai 1,746 juta USD. Produksi udang di Indonesia terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut data dari peningkatan
produksi udang di Indonesia pertahunnya mencapai 10,49%. Pada tahun 2012
produksinya meraup untung sebesar 1,152 USD, kemudian terus meningkat
hingga sekarang (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2018). Menurut Nadia
(2014) udang yang akan diekspor, sebelumnya diolah terlebih dahulu sehingga
menghasilkan udang kupas dan akan dikirim dalam bentuk beku.
Pengolahan udang sebelum diekspor akan menghasilkan limbah berupa
cangkang, kaki, ekor, dan kepala udang. Limbah-limbah tersebut sangat mudah
rusak karena degradasi enzimatik mikroorganisme sehingga menimbulkan
masalah misalnya pencemaran lingkungan bagi indutri pengolah dan
membahayakan kesehatan. Selain itu limbah ini sangat menyita ruang sehingga
dibutuhkan tempat tertutup yang luas untuk menampungnya (Azhar dkk, 2010).
Menurut Marguerite (2012) limbah-limbah tersebut masih banyak mengandung
protein, lemak, kalsium karbonat, kitin, pigmen, abu dan lainnya. sehingga sangat
disayangkan kandungan-kandungan tersebut akan terbuang dengan percuma
apabila tidak dilakukan pengolahan. Oleh karenanya telah banyak dilakukan
pengolahan untuk memanfaatkan limbah tersebut, salah satunya yaitu dengan
menggunakan kitin yang terdapat pada cangkang udang sebagai bahan utama
pembuatan kitosan.
Kitosan merupakan suatu amina polisakarida yang diperoleh dari turunan
kitin setelah mengalami deasetilasi. rumus kimia dari kitosan yaitu poli (2-amino-
2-dioksi-β-D-Glukosa). Kitosan tergolong ke dalam basa lemah yang kurang larut
dalam air dan pelarut organik, namun larut dalam larutan asam (Li, dkk, 1997).
Manfaat kitosan sangat banyak, diantaranya yaitu sebagai bahan pembentuk gel
pembersih tangan (Rahman, 2012), bahan pengawet (Zheng-zhu, 2002), bahan
pengisi dalam pembuatan sabun transparan (Amin, 2006), dan antibakteri (Candra
dkk, 2008). Untuk meningkatkan manfaatnya dapat dilakukan modifikasi, salah
satu modifikasinya yaitu modifikasi fisik, dengan cara mengubah partikel kitosan
menjadi nanopartikel.
Modifikasi fisik merupakan salah satu modifikasi yang berfungsi untuk
mengubah ukuran partikel menjadi lebih kecil atau sering disebut nanopartikel,
sehingga dengan modifikasi fisik dapat memperluas pemanfaatan kitosan
(Wahyono, 2010). Manfaat dari kitosan akan lebih luas karena kitosan yang
berbentuk nanopartikel akan lebih reaktif. Kitosan dapat lebih reaktif karena
nanopartikel memiliki nilai perbandingan antara luas permukaan dan volume yang
lebih besar jika dibandingkan dengan bahan sejenis dalam ukuran partikel yang
lebih besar (Suwarda dan Maarif, 2012). Salah satu metode pembuatna
nanopartikel yaitu metode gelasi ionik. Metode ini dipilih karena prosesnya yang
sederhana, tidak menggunakan pelarut organik, dan dapat dikontrol dengan
mudah. Prinsip pembentukan partikel pada metode ini adalah terjadinya interaksi
ionik antara gugus amino pada kitosan yang bermuatan positif dengan polianion
yang bermuatan negatif membentuk struktur network inter- dan/atau intramolekul
tiga dimensi. Oleh karena itu diperlukan penelitian ini untuk mengetahui proses
pembuatan nano partikel kitosan yang baik agar dapat meningkatkan
kereaktifannya dan memperluas manfaat kitosan serta dapat menaikkan harga
jualnya.

1.2 Rumusan Masalah


Nano partikel banyak dimanfaatkan karena dapat meningkatkan sifat fisik,
mekanik, dan kimia suatu material tanpa harus merusak struktur atomnya (Qua
dkk,2000). Manfaat mengubah kitosan menjadi nano partikel yaitu dapat
menjadikan kitosan lebih stabil, meningkatkan daya adsorpsinya, dan
meningkatkan kemampuan penghantarannya (Pan dkk, 2002). Pada penelitian
sebelumnya telah dilakukan pembuatan nano partikel kitosan dengan faktor
metode pengecilan ukuran dan lama waktu perendaman HCl yang berbeda.
Hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut yaitu metode pengecilan
ukuran dan waktu perendaman yang menghasilkan mutu nano partikel terbaik
yaitu menggunakan magnetic stirer dengan waktu perendaman 72 jam dengan
konsentrasi surfaktan 0,2%. Mutu kitosan yang mendapat perlakuan perendaman
72 jam telah sesuai dengan SNI kitosan (7949:2013) yaitu kadar air sebesar
11,58%, kadar abu 0,65%, kadar nitrogen 4,75%, dan derajat deasetilasi 82%.
Akan tetapi, belum diketahui pengaruh waktu perendaman yang lebih dari 72 jam
terhadap mutu kitosan yang dihasilkan. Selain itu nanopartikel kitosan yang
dipreparasi dengan metode gelasi ionik ini pada umumnya memiliki tingkat
stabilitas yang rendah. Untuk itu diperlukan penambahan konsentrasi surfaktan
yang sesuai agar dapat mencegah timbulnya penggumpalan (aglomerasi)
antarpartikel sehingga nanopartikel kitosan akan lebih stabil dan dapat
meningkatkan keefektifan pemecehan partikel saat pembentukan nano partikel
kitosan. Oleh karena itu diperlukan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh
lama perendaman HCl terhadapat karakteristik kitosan yang dihasilkan dan
mengetahui konsentrasi surfaktan yang sesuai pada pembuatan nano partikel
kitosan.

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan akhir dari penelitian ini yaitu :
1. Mengetahui pengaruh lama waktu perendaman HCl terhadap karakteristik
kitosan yang dihasilkan
2. Mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi surfaktan terhadap
keefektifan pemecahan partikel dan kestabilan ukuran partikel pada
pembuatan nano partikel kitosan.
3. Mengetahui pengaruh lama perendaman HCl terhadap partikel nano
kitosan yang dihasilkan.

1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para pelaku industri
makanan sebagai referensi dalam pengolahan nanopartikel kitosan mereka
sehingga dapat meningkatkan pemanfaatan kitosan di dunia industri, serta
diharapkan pula dapat meningkatkan nilai ekonomis dari cangkang udang.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cangkang Udang


Pengeksporan udang dilakukan dalam keadaan minus/beku. Bagian-bagian
udang yang akan dibekukan untuk nantinya diekpor hanya bagian badan
(abdomen) hingga ekor (uropod). Bagian kepala dan dada (cephaloporax) tersebut
dibungkus oleh kulit yang keras atau biasa disebut karapas/cangkang. Kulit
tersebut nantinya akan dibuang oleh industri pembekuan udang sebelum nantinya
akan diekspor, kerena bagian tersebut merupakan limbah yang mana akan
mempengaruhi kesegaran dari udang. Oleh karena itu dilakukan inovasi
pengolahan cangkang udang agar dapat dimanfaatkan lagi dan memiliki nilai jual
tinggi. Pengolahannya yaitu dengan menggunakan karapas/cangkang udang
sebagai bahan baku pembuatan kitosan.
Cangkang udang merupakan salah satu sumber yang potensial untuk
digunakan dalam pembuatan kitin dan kitosan, yaitu suatu biopolimer yang secara
komersil berpotensi di bidang industri. Kulit udang mengandung protein 25-40%,
kalsium karbonat 40-50%, dan kitin 20-36,61%, tetapi besarnya kandungan
komponen tersebut tergantung jenis udang dan tempat hidupnya. Secara kimiawi
kitin merupakan polimer β-(1,4)-2asetamida-2-dioksi-D-glukosa yang tidak dapat
dicerna oleh mamalia. Kitin tidak larut dalam air sehingga penggunaannya
terbatas. Namun dengan menghidrolisis kitin dengan menggunakan basa kuat
(proses deasetilasi) menjadi kitosan β-(1,4)-2-amino-2-dioksi-D-glukosa akan
mempunyai sifat kimia yang lebih baik (Srijiantodan Imam, 2005).

2.2 Karakteristik
2.2.1 Kitosan
Kitosan merupakan jenis polimer alami yang dihasilkan dari proses
deasetilasi kitin. Kitosan mempunyai sifat yang khas yakni bioaktifis,
biodegradasi dan tidak beracun. Kitosan merupakan jenis polimer alam yang
mempunyai rantai tidak linier dan mempunyai rumus (C6H11NO4)n. Mempunyai
sifat tidak berbau, berwarna putih dan terdiri dari dua jenis polimer yaitu
poli (2-deoksi,2-asetilamin,2-glukosa) dan poli(2-deoksi,2- amino glukosa) yang
berikatan secara beta (1,4). Kitosan larut dalam pelarut organik, HCl encer, HNO3
encer, dan H3PO4 0,5%, tetapi tidak larut dalam basa kuat dan H2SO4. Sifat
kelarutan kitosan ini dipengaruhi oleh bobot molekul dan derajat deasetilasi.
Bobot molekul kitosan beragam, bergantung pada degradasi yang terjadi selama
proses deasetilasi (Sugita, 2010). Struktur kitosan dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Struktur Kitosan (Ramadan dkk, 2010)


Parameter mutu kitosan biasanya dilihat dari nilai derajat deasetilsi, kadar
air, kadar abu, bobot molekul, dan viskositas. Viskositas kitosan dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti derajat deasetilasi, bobot molekul, konsentrasi pelarut, dan
suhu. Gel kitosan terjadi karena terbentuknya jaringan tiga dimensi antara
molekul kitosan yang terentang pada seluruh volume gel yang terbentuk dengan
menangkap sejumlah air di dalamnya. Sifat jaringan serta interaksi molekul yang
mengikat keseluruhan gel menentukan kekuatan, stabilitas, dan tekstur gel. Untuk
memperkuat jaringan di dalam gel biasanya digunakan molekul lain yang
berperan sebagai pembentuk ikatan silang (Keuteur, 1996).
Penggunaan suhu yang terlalu tinggi (di atas 1500C) menyebabkan
pemecahan ikatan polimer (depolimerisasi) rantai molekul kitosan sehingga
menurunkan berat molekulnya. Kitosan dengan berat molekul rendah akan lebih
tepat diterapkan sebagai antibakteri, antifungi, antioksidan dan antitumor. Kitosan
menunjukkan sifat-sifat polimer biomedis misalnya nono-toksik, biokompatibel,
dan biodegradable. Struktur kitosan yang mirip dengan selulosa dan
kemampuanya membentuk gel dalam suasana asam, membuat kitosan memiliki
sifat-sifat sebagai matriks dalam sistem pengantar obat (Sutriyo dkk, 2005).
Kitosan biasa dipakai sebagai pengantar obat berdasarkan kekuatan mekanik dan
keteruraian hayatinya yang lambat. Kitosan berbentuk gel atau lembaran telah
digunakan sebagai pengantar obat yang merupakan zat antikanker
(Dhanikula dkk, 2004)
Derajat deasetilasi menyatakan banyaknya gugus amino bebas dalam
polisakarida. Kitosan merupakan kitin dengan derajat deasetilasi lebih dari 70%.
Deasetilasi adalah proses pengubahan gugus asetil (-NHCOCH3) dan rantai
molecular kitin menjadi gugus amina lengkap (-NH2) pada kitosan dengan
penambahan NaOH konsentrasi tinggi. Kemampuan kitosan bergantung pada
derajat kimia reaktif yang tinggi gugus aminonya (Kusumaningsih dkk, 2004
dalam April, 2008).
2.2.2 Nano Kitosan
Nano partikel merupakan koloid padat yang memiliki ukuran dengan
kisaran 1-100 nm. Nano partikel terdiri dari makro molekul material yang sudah
direduksi ukurannya secara top-down, partikel dari bulk menjadi serbuk lalu
menjadi nano partikel, maupun secara bottom-up, partikel dari ukuran atom
menjadi molekul lalu menjadi nanopartikel (Alleman,1993). Nano kitosan yaitu
kitosan yang memiliki pertikel yang berbentuk padat dengan ukuran sekitar 10 –
1000 nm. Kitosan dalam bentuk nanopartikel ini pun bersifat netral, tidak toksik,
dan memiliki stabilitas yang konstan. Nanopartikel ini digunakan dalam berbagai
rute (aplikasi parental, mucosal misal oral, nasal, dan ocular mucosa) yang sangat
tidak invasive. Dalam sistem pengantaran obat, nanopartikel berperan sebagai
pembawa (carrier) dengan cara melarutkan, menjebak, mengenkapsulasi, atau
menempelkan obat di dalam matriksnya.
Nanopartikel yang berasal dari bahan polimer digunakan sebagai sistem
pengantaran obat yang potensial karena kemampuan penyebarannya di dalam
organ tubuh selama waktu tertentu, dan kemampuannya untuk mengantarkan
protein atau peptida (Mohanraj dan Chen, 2006). Nanopartikel dari bahan
polimer yang biodegradable dan kompatibel merupakan salah satu perkembangan
baik untuk pembawa obat karena nanopartikel diduga terserap secara utuh di
dalam system pencernaan setelah masuk ke dalam tubuh (Wu dkk, 2005 dalam
Wahyono, 2010). Tujuan utama dalam melakukan rancangan nanopartikel sebagai
sistem pengantar obat adalah untuk mengatur ukuran partikel, sifat-sifat
permukaan, dan pelepasan zat aktif pada tempat yang spesifik di dalam tubuh
sebagi sasaran pengobatan. Aplikasi nanoteknologi membuat revolusi baru dalam
dunia industri dan diyakini pemenang persaingan global di masa yang akan datang
adalah negara-negara yang dapat menguasai nanoteknologi. Ruang lingkup
nanoteknologi meliputi usaha dan konsep untuk menghasilkan material atau bahan
berskala nanometer, mengeksplorasi dan merekayasa karakteristik material atau
bahan tersebut, serta mendesain ulang material atau bahan tersebut ke dalam
bentuk, ukuran dan fungsi yang diinginkan.

2.3 Gelasi Ionik


Gelasi atau pembentukan gel merupakan gejala penggabungan atau
pengikatan silang rantai-rantai polimer membentuk jaringan tiga dimensi yang
sinambung dan dapat memerangkap air di dalamnya menjadi suatu struktur yang
kompak dan kaku yang tahan terhadap aliran bertekanan (Fardiaz 1989 dalam
Latifah 2010). Gel yang dapat menahan air dalam strukturnya disebut hidrogel
(Wang dkk. 2004 dalam Napthaleni 2010). Hidrogel dapat diklasifikasikan
menjadi hidrogel kimia dan hidrogel fisika. Contoh hidrogel kimia adalah
hidrogel kitosan yang berikatan silang secara kovalen (Keuteur 1996). Larutan
kitosan pada batas konsentrasi tertentu dalam asam asetat 1% dapat membentuk
gel. Gel kitosan yang terbentuk dapat diperbaiki sifatnya (menurunnya waktu
gelasi dan meningkatnya kekuatan mekanik gel) dengan penambhan PVA (Wang
dkk. 2004 dalam Wahyono 2010). Metode yang paling umum dalam pembuatan
nanopartikel melalui proses gelasi ionik yaitu metode magnetic stirer, metode
homogenizer ultrasonik dan metode high speed. Banyak penelitian difokuskan
untuk membuat nanopartikel dari polimer yang biodegradable: kitosan, gelatin,
dan sodium alginat. Salah satu contoh metode gelasi ionik ini adalah
mencampurkan polimer kitosan dengan polianion sodium tripoliposfat yang
menghasilkan interaksi antara muatan positif pada gugus amino kitosan dengan
muatan tripolifosfat. Tripolifosfat dianggap sebagai zat pengikat silang yang
paling baik (Mohanraj dan Chen 2006). Proses terbentuknya kitosan nanopartikel
dengan gelasi ionik dapat dilihat pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Kitosan Nanopartikel Dengan Gelasi Ionik

2.4 HCl
Asam klorida (HCl) dapat dihasilkan dari H2 dan gas Cl2 di unit sintesis asam
klorida. Nama yang digunakan untuk senyawa ini bergantung pada wujud
fisiknya. Dalam wujud gas atau cairan murni, HCl adalah suatu senyawa
molekular yang disebut hidrogen klorida. Ketika dilarutkan air, molekul HCl
terurai menjadi ion dan dalam keadaan in, zat tersebut dinamakan asam klorida
(Chang, 1999). Reaksi H2 dan Cl2 sehingga menghasilkan HCl sebagai berikut :
H2 + Cl2 → 2 HCl
Beberapa bidang yang memanfaatkan HCl, baik pada skala industri maupun
skala rumah tangga. HCl merupakan bahan baku pembuatan besi (III) klorida
(FeCl3) dan polyalumunium chloride (PAC), yaitu bahan kimia yang digunakan
sebagai bahan baku koagulan dan flokulan. Koagulan dan flokulan digunakan
pada pengolahan air. Sebagai bahan baku pembuatan vinyl klorida, yaitu
monomer untuk pembuatan plastik polyvinyl chloride atau PVC. Asam klorida
digunakan pada industri logam untuk menghilangkan karat atau kerak besi oksida
dari besi atau baja. Asam klorida dimanfaatkan pula untuk mengatur pH
(keasaman) air limbah cair industri, sebelum dibuang ke badan air penerima. HCl
digunakan pada proses produksi gelatin dan bahan aditif pada makanan. Di
laboratorium, asam klorida biasa digunakan untuk titrasi penentuan kadar basa
dalam sebuah larutan. Asam klorida juga berguna sebagai bahan pembuatan cairan
pembersih porselen. HCl digunakan pula dalam proses regenerasi resin penukar
kation (cation exchange resin). Kegunaan-kegunaan lain dari asam klorida
diantaranya adalah pada proses produksi baterai, kembang api dan lampu blitz
kamera. Campuran asam klorida dan asam nitrat (HNO3) atau biasa disebut
dengan aqua regia, adalah campuran untuk melarutkan emas. Pada skala industri,
HCl juga digunakan dalam proses pengolahan kulit. Dan masih banyak lagi
kegunaan dari HCl (Massaidi, 2011).

2.5 Natrium Tripolifosfat (STPP)


Pembentukan ikatan silang ionik salah satunya dapat dilakukan dengan
menggunakan senyawa tripolifosfat. Tripolifosfat dianggap sebagai zat pengikat
silang yang paling baik. Shu dan Zhu (2002) melaporkan bahwa penggunaan
tripolifosfat untuk pembentukan gel kitosan dapat meningkatkan mekanik dari gel
yang terbentuk. Hal ini karena tripolifosfat memiliki rapatan muatan negatif yang
tinggi sehingga interaksi dengan polikationik kitosan akan lebih besar. Menurut
Yongmei dan Yumin (2003) dalam Wahyono (2010), pembentukan nanopartikel
hanya terjadi pada konsentrasi tertentu kitosan dan TPP. Peran TPP sebagai zat
pengikat silang akan memperkuat matriks nanopartikel kitosan. Dengan semakin
banyaknya ikatan silang yang terbentuk antara kitosan dan TPP maka kekuatan
mekanik matriks kitosan akan meningkat sehingga partikel kitosan menjadi
semakin kuat dan keras, serta semakin sulit untuk terpecah menjadi bagian -
bagian yang lebih kecil (Wahyono, 2010).
Natrium tripolifosfat berbentuk serbuk dan atau butir-butir halus berwarna
putih. senyawa ini mudah larut dalam air, sukar larut dalam etanol, dan tidak larut
dalam dietil eter dan n-oktanol. Menurut Phaechamud (2008) natrium tripolifosfat
merupakan unsur yang dapat membentuk ikatan taut silang dengan molekul
kitosan melalui interaksi ionik. Tripolifosfat ini cukup aman digunakan sebagai
agen silang pada proses modifikasi kitosan karena senyawa ini memiliki toksisitas
yang rendah dengan nilai LD50 setelah pemberian oral lebih besar dari 1000 MG
per kg BB serta tidak bersifat mutagenik maupun karsinogenik. selain itu, natrium
tripolifosfat tidak memerlukan kondisi yang khusus pada saat penggunaannya dan
rasio ikatan taut silang dapat dengan mudah dikontrol dengan mengatur PH
larutan natrium tripolifosfat. ada aplikasinya, natrium tripolifosfat banyak
digunakan dalam produk industri dan rumah tangga yakni sebagai komponen
deterjen dan pengawet pada makanan. Berikut struktur natrium tripolifosfat dapat
dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Struktur Natrium Tripolifosfat (Vanshosaz and Karimzadeh,2007).

2.6 Surfaktan
Penelitian nanopartikel kitosan termodifikasi menggunakan emulsifier
yang merupakan senyawa pengikat silang dan surfaktan. Berdasarkan penelitian
Silva dkk. (2006) diketahui bahwa penambahan surfaktan dapat memperkecil
ukuran partikel kitosan. Zat pengikat silang yang sering digunakan adalah
glutaraldehida, sedangkan surfaktan yang banyak dipakai adalah surfaktan
nonionik (Tween 80 dan Span 80). Beberapa contoh surfaktan nonionik adalah
Tween 80 (polietilena sorbitan monooleat) dan Span 80 (sorbitan monooleat).
Tween 80 dan Span 80 bersifat nontoksik yang umumnya digunakan sebagai
emulsifier dan penstabil pada bidang pangan dan farmasi.
Tween 80 adalah ester asam lemak polioksietilen sorbitan, dengan nama
kimia polioksietilen 20 sorbitan monooleat. Rumus molekulnya adalah C64H124O26
dan rumus strukturnya dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Rumus Struktur Tween 80


Pada suhu 25ºC, Tween 80 berwujud cair, berwarna kekuningan dan
berminyak, memiliki aroma yang khas, dan berasa pahit. Larut dalam air dan
etanol, tidak larut dalam minyak mineral.
Kegunaan Tween 80 antara lain sebagai: zat pembasah, emulgator, dan
peningkat kelarutan (Rowe, 2009). Selain fungsi, fungsi tersebut, Tween 80 juga
berfungsi sebagai peningkat penetrasi (Akhtar, dkk., 2011). Tarirai (2005) dalam
Wahyono (2010) telah melakukan penelitian tentang pembuatan gel kitosan
sebagai pembawa obat ibu profen dengan menggunakan senyawa pengikat silang
tripolifosfat dan senyawa surfaktan yang sekaligus berfungsi sebagai pengikat
silang, yaitu asam oleat, sodium laurit sulfat (SLS) dan Tween 80.
BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan


Penelitian ini dilakukan di laboratorium Biokimia dan Rekayasa
Pengolahan Hasil Pertanian gedung C Fakultas Teknologi Pertanian Universitas
Jember, sedangkan waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada kurun waktu
antara maret sampai juli 2020.

3.2 Bahan dan Alat


Bahan dan alat tentunya manjadi hal yang penting dalam suatu penelitian,
karena apabila bahan dan alat yang diperlukan tidak tersedia maka penelitian akan
tertunda atau bahkan bisa dibatalkan. Bahan yang digunakan untuk penelitian ini
yaitu cangkang udang vannamei, aquades, asam asetat, natrium tripoliphospat
(TPP), dan surfaktan (Tween 80), HCl, dan NaOH. Adapun alat yang dibutuhkan
untuk penelitian ini yaitu magnetic stirer, beaker glass, boiler, timbangan digital,
labu takar, gelas ukur, pH meter, kompor listrik, saringan, alat pengaduk,
termometer, pipet, dan spray dryer.

3.3 Pelaksanaan Penelitian


Pelaksanaan penelitian berfungsi sebagai petunjuk untuk melakukan
tahapan-tahapan dalam penelitian agar tidak keliru nantinya. Suatu rancangan
penelitian yang dibuat dengan jelas akan mempermudah dalam pembuatan produk
atau pun dalam pengamatannya.
3.3.1 Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 2 faktor yaitu lama waktu perendaman
menggunakan HCl dan konsentrasi surfaktan. Faktor pertama yaitu lama
perendaman HCl selama 72 jam, 96 jam, 120 jam dan 144 jam, sedangkan untuk
faktor kedua yaitu konsentrasi surfaktan sebesar 0,1% dan 0,2%. Sehingga
diperoleh 8 sampel, yang mana pada setiap perlakuan dilakukan pengulangan
sebanyak 3 kali. Untuk formulasi yang akan digunakan pada penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 3.1
Tabel 3.1 Formulasi Lama Waktu Perendaman Menggunakan HCl Dan
Konsentrasi Surfaktan
Lama Waktu Konsentrasi Surfaktan
Perendaman HCl 0,1 % (B1) 0,2 % (B2)
72 jam (A1) A1 B1 A1 B2
96 jam (A2) A2 B1 A2 B2
120 jam (A3) A3 B1 A3 B2
144 jam (A4) A4 B1 A4 B2

3.3.2 Tahapan Penelitian


Tahapan penelitian nano kitosan cangkang udang vannemei dimulai dari
pembuatan kitosan, setelah itu pembuatan nano partikel, dan kemudian dilakukan
beberapa analisis yaitu uji kadar air, kadar abu, kadar nitrogen, derajat deasetilasi,
rendemen kitosan, dan uji SEM.
Proses pembuatan kitosan terdiri dari beberapa tahapan yaitu pertama
pembuatan kitin, kedua pembuatan kitosan, ketiga pembuatan gel kitosan,
keempat pembuatan larutan TPP 0,1%, dan kelima pembuatan nano partikel
kitosan.
A. Pembuatan kitin
Pembuatan kitin diawali dengan pembersihan kulit udang menggunakan
air yang mengalir agar menghilangkan kotoran yang masih menempel. Setelah
bersih, kulit udang kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari hingga kering.
Proses pengeringan ini bertujuan agar mempermudah saat proses pengecilan
ukuran. Proses selanjutnya yaitu kulit udang yang telah kering digiling sehingga
nanti akan berbentuk serpihan atau butiran. Cangkang udang yang telah digiling
tersebut kemudian diayak dengan ayakan 45 mesh. Pengayakan dilakukan agar
ukuran butiran cangkang udang yang akan digunakan memiliki ukuran yang
sama/seragam. Kemudian hasil ayakan tersebut dimasukkan ke dalam beaker
glass dengan masing-masing seberat 100 gram. selanjutnya dilakukan
perendaman dengan larutan HCl 1 N 1:7 (gr/ml) dengan perbedaan lama waktu
perendaman 72 jam, 96 jam, 120 jam ,dan 144 jam. Setelah itu, dilakukan
demineralisasi dengan cara dipanaskan hingga suhu 1000C selama 1 jam.
Kemudian dilakukan penyaringan yang bertujuan untuk menghilangkan cairan
CaCl2, sehingga didapatkan residu. Residu tersebut kemudian dicuci menggunakan
air hingga pH residu netral (6,8-7,2), sehingga nantinya sisa CaCl2 akan terbuang
bersama dengan air. Kemudian dilakukan deproteinasi dengan NaOH 3 N (1:7),
pada suhu 90 °C selama 1 jam, dan dilakukan kembali penyaringan dan pencucian
sampai pH netral, sehingga didapatkan kitin. Penyaringan pada proses
deproteinasi bertujuan untuk membuang cairan NaOH dan protein yang terdapat
pada sampel, sedangkan proses pencucian bertujuan untuk membuang air dan sisa
NaOH. Skema kerja pembuatan kitin dapat dilihat pada gambar 3.1.
Cangkang Udang

Pencucian

Pengeringan

Penggilingan

Pengayakan (45 mesh)

Pemasukan ke dalam beaker glass

Perendaman HCl Perendaman HCl Perendaman HCl Perendaman HCl


(1 N) 72 jam (1 N) 96 jam (1 N) 120 jam (1 N) 144 jam

Demineralisasi 1000C, 1 jam

Penyaringan Cairan CaCl2

Air Pencucian I Air+Sisa CaCl2

Deproteinasi NaOH 3 N, 900C, 1 jam

Penyaringan Cairan NaProteinat

Air Pencucian II Air+Sisa NaProteinat

Kitin

Gambar 3.1 Skema kerja pembuatan kitin


B. Pembuatan Kitosan
Pembuatan kitosan diawali dengan menyiapkan kitin yang telah diperoleh
dari proses sebelumnya. Kitin tersebut kemudian dimasukkan lagi ke dalam
beaker glass untuk dideasetilasi dengan NaOH 50 % (1:10), pada suhu 1400C
selama 1 jam menggunakan steam. Proses selanjutnya yaitu dilakukan
penyaringan yang bertujuan untuk membuang cairan CH3CONa dan dilanjutkan
dengan pencucian menggunakan aquades hingga pH residu netral (6,8-7,2),
sehingga nantinya sisa CH3CONa akan terbuang bersama dengan air. Hasil yang
diperoleh dari proses deasetilasi yaitu berupa kitosan. Kitosan kemudian
dimasukkan ke dalam oven untuk dikeringakan dengan suhu 30-400C sekitar 12
jam. Setelah dikeringkan maka akan didapatkan bubuk kitosan. Skema kerja
pembuatan kitosan dapat dilihat pada gambar 3.2.

Kitin

Deasetilasi NaOH 50%, 1400C, 1 jam

Penyaringan Cairan CH3CONa

Air Pencucian Air+Sisa CH3CONa

Pengeringan

Bubuk Kitosan

Gambar 3.2 Skema kerja pembuatan kitosan


C. Pembuatan Gel Kitosan
Pembuatan larutan kitosan konsetrasi 1 % dibuat dengan cara melarutkan 1
gram kitosan ke dalam larutan asam asetat 20 ml konsentrasi 2%. Setelah itu
dilakukan pengadukan agar terbentuk gel dan ditambahkan aquades hingga 100
ml. Selanjutnya dilakukan pengadukan dengan magnetik stirer selama 30 menit
hingga larutan terlihat jernih (Suptijah, dkk 2011).
Kitosan 1 gram

Pelarutan dalam asam asetat 2%, 20 ml

Aquades Pengadukan

Pengadukan 30 menit (magnetik stirer)

Gel Kitosan 1 %

Gambar 3.3 Skema kerja pembuatan gel kitosan 1 %


D. Pembuatan Larutan TPP
Pembuatan larutan Tripolyphosphate (TPP) konsentrasi 0,1% dengan cara
menimbang 0,1 gram natrium tripolifosfat dan melarutkannya ke dalam aquades
80 ml. Setelah itu, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan
aqudes hingga tanda batas.

Natrium TPP 0,1 gram

Pelarutan dalam aquades 80 ml

Penuangan dalam labu ukur 100 ml

Penambahan aquades hingga tanda batas

TPP 0,1 %
Gambar 3.4 Skema kerja pembuatan larutan TPP konsentrasi 0,1%
E. Pembuatan Nano Partikel Kitosan
Pembuatan nano partikel kitosan dimulai dengan menuangkan 100 ml gel
kitosan ke dalam beaker glass. Kemudian dilakukan sizing/pengecilan ukuran
dengan metode magnetic stirrer pada suhu ruang (360C) selama 1 jam sambil
ditambahkan aquades sebanyak 300 ml. Penambahan aquades dilakukan sedikit
demi sedikit. Selanjutnya ditambahkan surfaktan (Tween 80) sebanyak 10
mikronliter dengan perbedaan konsentrasi sebesar 0,1 % dan 0,2%. Setelah itu,
ditambahkan 100 ml tripoliphospat 0,1 % sambil terus diaduk hingga 1 jam.
Penambahan tripoliphospat bertujuan agar ukuran partikel yang dihasilkan tetap
stabil. Setelah didapatkan larutan nano kitosan selanjutnya larutan tersebut
dikeringkan dengan spray dryer dan didapatkan nano partikel kitosan yang telah
berbentuk bubuk. didapatkan larutan nano kitosan selanjutnya larutan tersebut

100 ml Gel Kitosan 1 %

Pengecilan ukuran (360C, 1


jam) & Penambahan aquades
300 ml

Penambahan Penambahan
Surfaktan 10 Surfaktan 10
mikronliter (0,1 %) mikronliter (0,2 %)

Penambahan Tripoliphospat 100 ml (0,1%) &


Penghomogenan 1 jam

Pengeringan (Spray Dryer)

Nano Kitosan
Gambar 3.5 Skema kerja pembuatan nano partikel kitosan

3.4 Variabel Pengamatan


Variabel yang ingin diamati pada penelitian ini ada delapan yaitu :
a. Kadar air (AOAC, 1995),
b. Kadar Abu (AOAC, 1995),
c. Kadar Nitrogen (Nadia dkk, 2014),
d. Derajat Deasetilasi (Domsay, 1985),
e. Rendemen Kitosan (Mardliyati dkk, 2012),
f. Uji Scanning Electron Microscopy (SEM) (Harahap, 2012),

3.5 Prosedur Analisis


3.5.1 Kadar air
Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah
mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 0C selama 1 jam.
Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 15 menit) dan
dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali
hingga beratnya konstan. Sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan
tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 0C selama 5 jam,
kemudian cawan dimasukkan ke dalam desikator sampai dingin dan selanjutnya
ditimbang kembali.
(𝐵1 − 𝐵2)
%𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 = 𝑋100%
𝐵
Keterangan: B = berat sampel (gram)
B1= berat (sampel+cawan) sebelum dikeringkan
B2= berat (sampel+cawan) setelah dikeringkan
3.5.2 Kadar Abu
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 600
0
C, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang
hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke
dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api hingga tidak berasap lagi.
Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 0C selama 1
jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Kadar abu
ditentukan dengan rumus:
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑏𝑢 = 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑑𝑎𝑛 𝑐𝑎𝑤𝑎𝑛 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 (𝑔) − 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐶𝑎𝑤𝑎𝑛 𝐾𝑜𝑠𝑜𝑛𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑏𝑢
%𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 = 𝑋100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 𝑎𝑤𝑎𝑙
3.5.3 Kadar Nitrogen
Analisis kadar protein terdiri dari tiga tahap yaitu tahap destruksi, destilasi,
dan titrasi. Analisis kadar protein dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak
0,25 gram dan masukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL dan ditambah selenium
0,25 gram serta3 mL H2SO4 pekat. Sampel didestruksi selama 1 jam hingga cairan
bening. Campuran tersebut dibiarkan hingga dingin, kemudian dipindahkan ke
alat destilasi. Labu Kjeldahl yang telah digunakan dicuci dengan akuades 50 mL.
Air cucian tersebut dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambah 20 mL
NaOH 40% hingga berwarna coklat kehitaman, selanjutnya didestilasi. Hasil
destilasi ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL H3BO3 2% diberikan 2
tetes indikator Brom Cresol Green-Methyl Red berwarna merah muda,
selanjutnya dititrasi dengan larutan HCl 0,1 N sampai berubah menjadi warna
merah muda. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung
dengan persamaan di bawah ini:
(ml HCl − ml Blanko) x N HCl x 14
Presentase kadar N = x 100%
mg sampel
3.5.4 Derajat Deasetilasi
Kitosan sebanyak 0,2 gram ditambahkan ke dalam mortar dan
ditambahkan pula 200 mg KBr, kemudian digerus sampai homogen. Bahan
tersebut harus tercampur dengan cepat karena KBr dapat menyerap air. Air yang
terserap dapat menyebabkan pelet hasil penempaan tidak baik. Campuran kitosan
dan KBr kemudian dimasukkan dalam cetakan pelet dan dipadatkan dalam
keadaan vakum pada tekanan 80 kN. Pelet tersebut kemudian ditempatkan atau
dimasukkan ke dalam tempat sel pada spektrofotometer inframerah IR408 yang
sudah dinyalakan dan stabil, Kemudian tombol pendeteksian ditekan, sehingga
akan muncul histogram FTIR pada rekorder yang memunculkankan puncak
puncak dari gugus fungsi yang terdapat pada sampel kitosan. Histogram yang
diperoleh dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif misalnya
analisis kuantitatif derajat deasetilasi dari kitosan. Pengukuran derajat deasetilasi
berdasarkan kurva yang tergambar oleh spektrofotometer. Puncak tertinggi (P0 )
dan puncak terendah (P) dicatat dan diukur dengan garis dasar yang dipilih.
Nisbah absorbansi dihitung dengan rumus:
𝐿𝑜𝑔𝑃0
𝐴=
𝑃
Keterangan:
P0 = Jarak antara garis dasar dengan garis singgung antara dua puncak tertinggi
dengan panjang gelombang 1.655cm-1 atau 3.450 cm-1
P = Jarak antara garis dasar dengan lembah terendah dengan panjang gelombang .
1.655cm-1 atau 3.450 cm-1
Perbandingan absorbansi pada 1.655cm-1 dengan absorbansi 3.450 cm-1
digandakan satu per standar N-deasetilasi kitosan (1,33). Dengan mengukuran
absorbansi pada puncak yang berhubungan, nilai persen N-deasetilasi dapat
dihitung dengan rumus:
𝐴1.655 1
%𝑁 − 𝑑𝑒𝑎𝑠𝑒𝑡𝑖𝑙𝑎𝑠𝑖 = [1 − ( 𝑋 )]
𝐴3.450 1,33

Keterangan: A1.655 = Absorbansi pada panjang gelombang 1.655 cm-1


A. 3.450 = Absorbansi pada panjang gelombang 3.450 cm-1
1,33 = konstanta untuk derajat deasetilasi yang sempurna. .
3.5.5 Rendemen Kitosan
Rendemen kitosan ditentukan berdasarkan persentase berat kitosan yang
dihasilkan terhadap berat serbuk cangkang udang yang digunakan. Rumus untuk
mencari rendemen nanopartikel kitosan yaitu
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐾𝑖𝑡𝑜𝑠𝑎𝑛
𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 = 𝑋 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐶𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎𝑛𝑔 𝑈𝑑𝑎𝑛𝑔
3.5.6 Uji Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM (Scanning Electron Microscopy) digunakan untuk mengamati
morfologi permukaan. Sampel disiapkan dengan menaruh sampel pada carbon
tape yang ditempelkan dengan menaruh sampel pada carbon tape yang
ditempelkan pada plat. Karakteristik uji SEM untuk sampel dilakukan pada
tegangan 22kV dan perbesaran 500.000 kali. Plat kemudian dimasukkan ke dalam
alat FE SEM dan ditembakkan dengan elektron untuk penggambarannya.
3.6 Analisa Data
Analisa pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
menggunakan uji Two Way ANOVA pada taraf uji 5%. Perlakuan yang
menunjukkan perbedaan nyata akan diuji lanjut menggunakan uji DMRT. Hasil
yang diperoleh kemudian diolah menggunakan SPSS dan disajikan dalam bentuk
diagram dan tabel. Hasil yang telah tersaji kemudian dijelaskan secara deskriptif.
DAFTAR PUSTAKA

Alleman, E., Gurny, R., dan Doelker, E. 1993.Drug-loaded Nanoparticles-


Preparation Methods and Drug Targeting Issues, European Journal of
Pharmaceutics and Biopharmaceutics.,39:173-191.

Amin, H.2006. Kajian penggunaan khitosan sebagai antibakteria dalam


pembuatan sabun transparan.skripsi.Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official methods of


analysis. The Association of Official Analytical Chemist.Inc. Washington,
DC.

Azhar, Minda, J. Efendi, E. Syofyeni, R.M. Lesi, dan S. Novalina. “Pengaruh


konsentrasi NaOH dan KOH terhadap derajat deasetilasi kitin dari kulit
udang”. Eksakta 1, No. 11, pp. 1-8, Feb. 2010.

Candra,P.2008. Kitosan dari cangkang udang dan aplikasi kitosan sebagai bahan
antibakteria pada kain katun. Skripsi.Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Chang R. 1999. Kimia Dasar: Konsep-Konsep Inti Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Dhanikula AB, Pachagnula R. 2004. Development and characterization of


biodegradable chitosan films for local delivery of paclitaxel.
www.aapsj.org [10 Oktober 2010].

Domsay T M, Robert. 1985. Evaluation of Infra Red Spectroscopic Techniques


for analyzing Chitosan. Macromol Chem 186, 1671.

Domsay T M, Robert. 1985. Evaluation of Infra Red Spectroscopic Techniques


for analyzing Chitosan. Macromol Chem 186, 1671.
Harahap, Yosmarina.2012. Mardliyati E. 2010. Pengenalan Pemanfaatan
Nanopartikel Kitosan sebagai Matriks Enkapsulasi. Jakarta: Badan
Pengkaji dan Penerapan Teknologi.Skripsi. Depok. Universitas Indonesia.

Kementerian Kelautan dan Perikanan [KKP]. “Statistik Perikanan Tangkap,


Perikanan Budaya dan Ekspor – Impor Setiap Provinsi seluruh Indonesia”.
Pusat Data Statisitik dan Informasi, Sekretariat Jenderal Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Rep. 2017. http://kkp.go.id/

Keuteur J. 1996. Nanoparticles and Microparticles for drug and vaccine delivery.
Eur J of Pharmaceutics and Biopharmaceutics 189: 19-34.

Latifah S. 2010. Stabilitas mikrokapsul ketoprofen dengan penyalut kitosan


alginat [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor

Li, Q, Duun, E.T., Grandmaison,E.w., dan Goosen, M.F.A.,1997. Application and


properties of chitin and chitosan, edited by MFA Goosen, Lancaster:
Technomic Publishing Company.pp.3-29

Mardliyati E. 2010. Pengenalan Pemanfaatan Nanopartikel Kitosan sebagai


Matriks Enkapsulasi. Jakarta: Badan Pengkaji dan Penerapan Teknologi.

Marguerite, R. Physical properties of chitosan dan derivatives in sol and gel


states. In Chitosan-Based Systems for Biopharmaceuticals: Delivery,
Targeting and Polymer Therapeutics. Chichester, UK: John Wiley & Sons,
23–44, 2012.

Mohanraj UJ and Y chen. 2006. Nanoparticles - A Review. Tropical Journal of


Pharmaceutical Research 5(1): 561-573.

Nadia LM, Suptijah P, Ibrahim B. 2014. Produksi dan karakterisasi nano kitosan
dari cangkang udang windu dengan metode gelasi ionik. Jurnal
Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan. 17(2):119-126.
Napthaleni. 2010. Nanoenkapsulasi ketoprofen tersalut kitosan-alginat
berdasarkan jenis dan ragam konsentrasi surfaktan [skripsi]. Bogor:
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.

Pan Y., Li Y., Zhao H., Zheng J., Xu H., Wei G., Hao J., Cui F., 2002, Bio-
adhesive polysaccharide in protein delivery system: chitosan nanoparticles
improve the intestinal absorption of insulin in vivo, Int. J. Pharm., 249:
139-147.

Qua-guo, L., Y, Jian-wu, L. Ying, dan P. A-fang. 2000. Fabrication of


nanocrystalline W-Ni-Fe pre-alloyed powders by mechanical alloying
technique,” Trans. Nonferrous Met. Soc. China, vol. 19, no. 2006259, pp.
s711–s717.

Rahman, A.2012.Kitosan sebagai bahan antibakteri alternatif dalam formulasi gel


pembersih tangan (band sanitizer). Skripsi.Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Ramadan. L.O.A.N., C.L. Radiman., D. Wahyuningrum., V. Suendo.,


L.O.Ahmad., S. Valiyaveetil. (2010). Deasetilasi Kitin Secara Bertahap
dan Pengaruhnya Terhadap Derajat Deasetilasi Serta Massa Molekul
Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5(1), 2010,17-21.

Rawat,M.,singh, D., dan saraf, s.2006.Nanocarriers: promising, vehicle for


bioactive drugs,Biol.pharm.Bull.,29(9):1790-1798.

Rowe RC, Sheskey PJ, Quinn ME. 2009. Handbook of Pharmaceutican


Excipients. London (UK): Pharmaceutical Press and the American
Pharmacists Association.

Shu XZ and Zhu KJ. 2002. Controlled Drug Release Properties of Ionically
CrossLinked Chitosan beads: The Influence of Anion Structure.
International Journal of Pharmaceutics 233: 217-225.
Silvia. SS. 2006. Physical Propertis and Biocompatibility of Chitosan/ Sury
Blendet Membran, Jurnal of Material Science 16. 575- 579.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2004. Air dan air limbah bagian 11: Cara uji
derajat keasaman pH dengan menggunakan alat pH meter. Jakarta (ID):
Badan Standarisasi Nasional.

Srijianto dan Imam.2005.Optimasi deasetilasi kitin pada udang. Jurnal Kimia Vol.
2, No. 5,p.1904-9730.

Suptijah P, Jacoeb AM, Rachmania D. 2011. Karakteristik nano kitosan cangkang


udang vannamei (Litopenaeus vannamei) dengan Metode Gelas Ionik.
Jurnal Perikanan Indonesia. XIV(2):78-84.

Sutriyo, Joshita D, Indah R. 2005. Perbandingan pelepasan propanol hidroklorida


dari matriks kitosan, etil selulosa, dan hidroksipropil metal selulosa.
Majalah Ilmu Kefarmasian 2: 145-153.

Varshosaz, J. Dan S. Karimzadeh (2007). Development of crosslinked chitosan


films for oral musocal delivery of lidocaene. Resarch in Pharmaceutical
Sciences, 2, 43-52

Wahyono, D. 2010. Ciri nanopartikel kitosan dan pengaruhnya pada ukuran


partikel dan efisiensi penyaluran ketoprofen [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Yongmei X, Yumin D. 2003. Effect of moleculer structure of chitosan on protein


delivery properties of chitosan nanoparticles. International Journal of
Pharmaceutics 250: 215-226.

Zheng, LY, Zhu JF.2002.Antimicrobial Activity of chitosan with different


molecular weights.carbohydrate Polymers,527-530.

Anda mungkin juga menyukai