Anda di halaman 1dari 12

C.

 RINGER ASETAT (ASERING)


Mencegah hipotermia Perioperatif Sectio
Larutan Ringer Asetat (RA) merupakan salah satu cairan kristaloid yang cukup banyak
diteliti. Larutan RA berbeda dari RL (Ringer Laktat), dimana laktat terutama dimetabolisme
di hati sementara asetat dimetabolisme terutama di otot. Sebagai cairan kristaloid isotonik
yang memiliki komposisi elektrolit mirip dengan plasma, RA dan RL efektif sebagai terapi
resusitasi pasien dengan dehidrasi berat dan syok, terlebih pada kondisi yang disertai asidosis.
Metabolisme asetat juga didapatkan lebih cepat 3-4 kali dibanding laktat. Dengan profil
seperti ini, RA memiliki manfaat-manfaat telah tersedia pada dehidrasi dengan kehilangan
bikarbonat masif yang terjadi pada diare.
Ringer Asetat telah tersedia luas di berbahai negara. Cairan ini terutama diindikasikan
sebagai pengganti kehilangan cairan akut (resusitasi), misalnya pada diare, DBD, luka
bakar/syok hemoragik; pengganti cairan selama prosedur operasi, loading cairan saat induksi
anastesi regional;priming solution pada tindakan pintas kardiopulmonal; dan juga
diindikasikan pada stroke akut dengan komplikasi dehidrasi.
Manfaat pemberian loading cairan pada saat induksi anastesi, misalnya ditunjukkan oleh
studi Ewaldsson dan Hahn (2001) yang menganalisis efek pemberian 350 ml RA secara cepat
(dalam waktu 2 menit) setelah induksi anestesi umum dan spinal terhadap parameter-
parameter volume kinetik. Studi ini memperlihatkan pemberian RA dapat mencegah
hipotensi arteri yang disebabkan hipovolemia sentral yang umum terjadi setelah anestesi
umum/spinal.
Untuk kasus obstetrik, Onizuka dkk (1999) mencoba membandingkan efek pemberian infus
cepat RL dengan RA terhadap metabolisme maternal dan fetal, serta keseimbangan asam
basa pada 20 pasien yang menjalani kombinasi anestesi spinal dan epidural sebelum seksio
sesarea. Studi ini memperlihatkan pemberian RA lebih baik dibanding RL untuk ke-3
parameter diatas, karena dapat memperbaiki asidosis laktat neonatus (kondisi yang umum
terjadi pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengalami eklampsia atau pre-eklampsia).
Dehidrasi dan gangguan hemodinamik dapat terjadi pada stroke eskemik/hemoragik akut,
sehingga umumnya para dokter spesialis saraf menghindari penggunaan cairan hipotonik
karena kekhawatiran akan edema otak. Namun, Hahn dan Drobin (2003) memperlihatkan
pemberian RA tidak mendorong terjadinya pembengkakan sel, karena itu dapat diberikan
pada stroke akut, terutama bila ada dugaan edema otak.
Pada 17 Pebruari 2006 diselenggarakan simposium mengenai RA ini yang merupakan bagian
dari The 3rd Annual Meeting of Indonesia Society of Obstetic Anesthesia – Indonesian Society
of Regional Anesthesia and Pain Medicine in Conjunction with Recent Advances in
Anesthesia Symposium di Grand Melia Hotel, Jakarta.
Dr. Susilo Chandra SpAn dari Departemen Anastesi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM
memaparkan hasil studi komparatif penggunaan RA (ASERING) dan RL pada pasien sectio
cesarean dengan Subarachnoid Anasthesia.
Sebanyak 40 wanita dialokasikan menjadi dua kelompok, yakni kelompok yang menerima
RA dan kelompok RL. Sebelum induksi, masing-masing kelompok mendapat 3 ml/kg/jam.
Segera setelah induksi anestesi subarachnoid, diberikan cairan yang sama sesuai
kelompoknya namun dengan kecepatan bolus 500 ml dalam 30 menit. Tanda-tanda vital,
suhu timpani, suhu aksila dan pengobatan yang diberikan dicatat, baik pada baseline maupun
setiap 5 menit sesudahnya.
Dari data penelitian didapatkan bahwa parameter hemodinamik pada intra dan postoperative
tidak berbeda bermakna. Ini sekaligus membuktikan bahwa kristaloid cukup efektif untuk
mengatasi hipotensi akibat induksi anestesi regional dan tidak satupun pasien sampai
memerlukan cairan koloid yang harganya >20 kali lebih tinggi daripada kristaloid.
Hasil studi juga memperlihatkan RA dapat mempertahankan suhu tubuh lebih baik dibanding
RL secara signifikan pada menit ke 5, 50, 55, dan 65, tanpa menimbulkan perbedaan yang
signifikan pada parameter-parameter hemodinamik (antara lain denyut jantung dan tekanan
darah sistolik/diastolik) diantara 2 kelompok.
Untuk insiden dan derajat menggigil, kelompok RA juga diperlihatkan mengalami insiden
menggigil yang lebih sedikit dibandingkan kelompok RL sampai dengan menit ke 25
(p<0,05), p="0,029).
D. PARADIGMA BARU DALAM TERAPI CAIRAN MAINTENANCE
Terapi cairan Maintenance bisa dianggap sebagai salah satu terapi pendukung yang penting
bagi pasien rawat-inap. Jika tujuan terapi cairan resusitasi adalah memperbaiki gangguan
hemodinamik, maka tujuan terapi cairan Maintenance adalah memelihara homeostasis pada
pasien yang kurang asupan cairan per oral. Jadi, laju dan jenis cairan infus untuk kedua
indikasi itu berbeda. Untuk resusitasi digunakan “cairan pengganti” seperti normal saline,
ringer asetat/ringer laktat yang bersifat isotonik. Diberikan dengan jumlah besar dan
kecepatan tinggi (20-30 ml/kg/jam) cairan ini digunakan pada keadaan emergensi untuk
menggantikan kehilangan akut. Pada keadaan-keadaan tertentu, cairan pengganti bisa juga
digunakan untuk Maintenance, khususnya jika didapatkan hiponatremia (kadar Na+ <>+ per
L. Produk-produk siap pakai juga sudah lama dikenalkan yakni larutan-larutan KEN dan
larutan DGAA (larutan setengah Darrow). Larutan KAEN dan DGAA memiliki kandungan
kalium yang cukup untuk memelihara kebutuhan homeostasis kalium. Sebagai contoh KEN
3B (20mEq/L) dan DGAA (17.5 mEq/L) memenuhi minimum 20-30 mEq/hari untuk pasien
dewasa.
Belum lama ini dengan dikembangkannya teknik canggih dual chamber oleh Otsuka Japan
cairan Maintenance telah berevolusi dari sekedar mengandung elektrolit basal (Na + dan
K+ dll) juga dilengkapi dengan mikromineral, asam amino dan glukosa.
1. Rasional Untuk Terapi Cairan Maintenance
Berbagai keadaan bisa dialami oleh pasien rawat-inap dan ini sering tidak disadari oleh
dokter.
 Mayoritas pasien sudah berada dalam keadaan dehidrasi moderat, namun
hemodinamik masih baik. Pasien mungkin sudah berhari-hari di rumah dengan
asupan air yang kurang dan ada demam tinggi. Demam tinggi ini menyebabkan
peningkatan insensible water loss.
 Cemas, depresi atau akut. Ini cenderung terjadi pada pasien-pasien yang sudah
mencoba berobat ke sana kemari dan tidak kunjung sembuh.
 Malaise atau letih (fatigue) mungkin merupakan alasan pasien dibawa ke rumah sakit.
 Pasien tidak terbiasa dengan makanan rumah sakit.
 Asupan oral kurang karena pasien teralu lemah untuk mengunyah dan lidah terasa
pahit karena kering.
 Jam makan yang kaku
 Anorexia (tidak napsu makan), nausea (mual), atau stres
 Kesadaran menurun.
Informasi demikian sering luput dari pengamatan dokter, padahal pasien memerlukan
dukungan maintenance untuk keadaan-keadaan tersebut.
Tujuan terapi Maintenance bisa dirangkum sebagai berikut:
1) Memenuhi kebutuhan air dan elektrolit harian untuk homeostasis.
2) Mencegah gangguan elektrolit dan asam-basa.
3) Mendukung terapi primer
4) Membantu proses enzimatik & mp; sintesis protein.
5) Memacu penyembuhan.
Apa ciri-ciri larutan maintenance yang unggul ?
 Praktis, mudah dan aman diberikan
 Disamping elektrolit basal (Na+, K+, Cl-) juga mengandung mikromineral (Mg++, Ca++,
P) yang dibutuhkan untuk metabolisme sel.
 Adanya zinc membantu penyembuhan jaringan. Karena zinc memacu deposisi kolagen
pada jaringan yang rusak.
 Mengandung asam amino kualitas tinggi (diperkaya BCAA, tinggi EAA) untuk
memacu sintesis protein)
 Glukosa untuk mempertahankan kadar gula normal (euglycemia)
Produk yang bisa memenuhi kriteria tersebut adalah AMINOFLUID”. Komposisi
AMINOFLUID dan larutan Maintenance lain (KAEN3B) serta Ringer Laktat diberikan
dibawah:
Tabel 1. Komposisi AMINOFLUID dibandingkan RL dan KAEN3B
AMINOFLUI ASPEN
Komposisi KAEN3B Ringer Laktat
D guideline”
Air 2000 2000 2000 30-40 ml/kg/hari
Na+ 70 100 260 1-2 mEq/kg/hari
K+ 40 40 8 1-2 mEq/kg*/hari
Cl- 70 100 218 Sesuai kebutuhan
Mg++ 10 - - 8-20 mEq/hari
Ca++ 10 - - 10-15 mEq/hari
P 20 - - 20-40 mEq/hari
Zn 10  mol - - 2.5-5 g
Asam amino AA 60 g - - 0.8 g/kg/hari
Glukosa 150 g 54 g - -
Kebutuhan basal untuk homeostasis K+ adalah 20-30 mEq/hari (10); f kebutuhan basal asam
amino pada pasien nonstressed; V protein sparing effect.
2. Mengapa Perlu Mikromineral ?
Disamping elektrolit basal, seperti natrium, kalium, klor, larutan maintenance masa
kini harus mengandung mikromineral yang dibutuhkan untuk proses metabolisme. Peran dan
dosis anjuran diberikan pada tabel 2.

Tabel 2. Fungsi dan Dosis anjuran air dan elektrolit.


Fungsi ASPEN AMINOFLUID
Air(ml) Komponen sel dan kompartemen 30-40ml/kg 2000
cairan tubuh lain, pengaturan
suhu, pelarut, pelumas
Na+(mEq) Bersama klorida mempertahankan 1-2mEq/kg 70
volume dan osmolaritas darah,
mengatur muatan listrik di
neuromuscular junction dan
mempengaruhi asam-basa
K+(mEq) Kepekaan neuromuskular 1-2mEq/kg 40
(Neuromusculer excitability),
sintesis protein dan kolagen,
proses enzimatik dalam produksi
energi sel. Bersama natrium dan
kalsium memelihara irama
jantung. Bagian dari sistem dapat
tubuh untuk mengatur asam-basa.
Cl-(mEq) Bersama natrium memelihara Sesuai 70
osmolaritas cairan ekstrasel, kebutuhan
(ECF). Memelihara imbang untuk
sairan. Memelihara asam-basa. memelihara
Pertukaran oksigen dan CO2 di asam-basa
sel darah merah, komponen getah
lambung.
Mg++(mEq) Sangat penting untuk sistem 8-20 10
enzim, aktivitas neuromuskuler,
esensial untuk metabolisme ATP,
Na+,K+, pump. Sekresi hormon
paratroid dan fungsi jantung.
++
Ca (mEq) Pertumbuhan gigi dan tulang, 10-15 10
fungsi neuromuskular,
pembekuan darah, asam-basa dan
aktivasi enzim tertentu.
P(mmol) Esensial untuk metabolisme 20-40 20
nutrien Ko-faktor dalam berbagai
sistem enzim, komponen ATP
Zinc merupakan trace element yang dikandung dalam AMINOFLUID
Fungsi Eksresi urin AMINOFLUID
Zinc Memacu penyembuhan 7,6 10 micromol/L
jaringan Zinc perlu untuk micromol/hari
pembentukan kolagen, yang
merupakan bahan penting
untuk penyembuhan dan
perbaikan jaringan. Zinc juga
memiliki aktivitas imunitas
seluler. Dibutuhkan untuk
metabolisme nutrien dan
sintesis asam nukleat (DNA
and RNA)
Mengapa dalam larutan Maintenance ada BCAA (Branch-Chained Amino Acids) ? Leucine,
isoleucine dan valine merupakan asam amino rantai cabang dan merupakan asam amino yang
terbanyak diteliti, dan dibuktikan memiliki efek farmakologis (4,5,6,7,8):
1) Prekursor (zat pendahulu) dalam sintesis glutamine dan alanine pada otot rangka
2) Pada banyak penyakit konsumsi BCAA meningkat
3) Leucine paling jelas efeknya dan berguna untuk sintesis protein. Ini telah diteliti pada
sepsis dan luka bakar
4) BCAA meningkatkan nafsu makan dengan menghambat masuknya triptofan (prekursor
serotonin) ke dalam susunan saraf pusat. Dengan berkurangnya kadar serotonin, maka
perangsangan sistem melanokortin akan berkurang di hipotalamus. Ini diikuyi dengan
peningkatan napsu maka (diperlihatkan pada gambar C dibawah)
5) Pada sepsis rasio BCAA (branched chain amino acids): AAA (aromatic amino acids) akan
menurun
6) Pasien yang selamat dari sepsis ternyata memiliki kandungan BCAA lebih tinggi daripada
yang meninggal
7) BCAA memacu aliran darah ke otak.
Gambar A. Ada dua sistem di hipotalamus Melanocortin (Pro-opiomelanocortin) merupakan
sistem saraf serotoninergik. Jika melanocortin dirangsang maka akan terjadi anorexia (tidak
napsu makan). Kebalikannya, NPY bersifat prophagic, artinya jika dirangsang maka napsu
makan akan meningkat. Interaksi kedua sistem inilah yang mengatur imbang asupan dan
pemakaian energi.
Gambar B. pada banyak penyakit sistemik, sitokin akan diproduksi oleh sel darah putih, dan
ini akan merangsang pembentukan serotonin dan merangsang melanocortin. Efek
perangsangan ini adalah anoreksia. Serotonin berasal dari triptofan. Triptofan masuk ke
dalam sistem saraf pusat melalui saluran yang sama dengan BCAA. Jadi triptofan bersaing
dengan BCAA. Ada bukti bahwa peningkatan triptofan di otak akan menyebabkan rasa letih
central fatigue).
Gambar C. pemberian BCAA (leucine, isoleucine, bvaline) akan memblok masuknya
triptofan, disusul dengan penurunan serotonin. Kemudian nbnapsu makan akan meningkat.
3. Bagaimana Larutan Maintenance Berbeda Dengan Nutrisi Parenteral ?
Walaupun tidak ada definisi yang tegas di dalam kepustakaan, berdasarkan kepentingand ari
konstituen larutan infus, kita bisa mengkategorikan suatu produk sebagai larutan
maintenance, jika komponen air dan elektrolit (dalam konsentrasi moderat) sebagai unsur
dominan sedangkan kandungan asam amino dan glukosa menyediakan sekedar kebutuhan
basal untuk homeostasis dan bukan untuk replesi protein dan energi. Sebaliknya kandungan
yang menjadi prioritas dari nutrisi parenteral adalah kandungan asam amino atau NPC
(nonprotein calories baik sebagai karbohidrat atau lipid).
4. Cara Memberikan Larutan Maintenance
Tempat kanula; larutan yang mengandung osmolaritas kurang dari 900 mOsm/L bisa
diberikan melalui vena tepi. Namun sebaiknya dipilih vena yang lebih proksimal (basilica,
cephatic atau median cubital) karena tingginya insiden flebitis jika digunakan vena punggung
tangan. Pasien usia lanjut lebih rentan terhadap flebitis dibandingkan dewasa muda.
Laju pemberian umumnya 20 tetes per menit (drip makro). Namun perlu diperhatikan
kandungan glukosa dan kalium dari setiap larutan infus. Pada dewasa laju maksimum
pemberian glukosa adalah 4 g/kg/minute , dan kalium 10 mEq per jam. Walaupun anjuran
asupan kalium harian adalah 1-2 mEq/kg, dosis maintenance minimum dewasa untuk
homeostasis bisa dipenuhi dengan 20-30 mEq hari.
Obat suntik tidak boleh dioplos ke dalam AMINOFLUID karena bisa meningkatkan
osmolaritas dan mengganggu kestabilan komposisi. Bila dianggap perlu, obat suntik bisa
diberikan dengan piggy bag (untuk drip kontinyu) atau via stop cork (jika bolus) sementara
aliran infus primer dihentikan.
5. Cara Menilai Manfaat Terapi Suportif
Keberhasilan dan kegagalan terapi tidak bisa dilakukan oleh suatu terapi tunggal, tetapi
pendukung sifatnya adalah membantu terapi primer. Untuk mengevaluasi manfaat terapi
secara holistil, bisa digunakan sistem skoring untuk gejala-gejala subyektif yaitu skor fatigue,
napsu makan dan aktivitas sehari-hari.
6. Monitoring dan Komplikasi Potential
Monitoring adalah hal terpenting dala terapi cairan MAINTENANCE. Bila tersedia fasilitas
lab, idealnya diperiksa panel elektrolit dan metabolik (Na +, K+, Cl-, HCO3-, BUN, glukosa,
creatinine), sebelum memberikan cairan. Pada kasus yang cukup serius atau berat paling tidak
harus diperiksa Na+ dan K+. Tidak sesuai untuk memberikan cairan natrium rendah
(hipotonik) ke pasien dengan hiponatremia. Di lain pihak, tidak tepat jika cairan dengan
natrium tinggi (misal NS) diberikan kepada pasien dengan hipernatremia. Bilamana perlu,
larutan Maintenance bisa digabung dengan larutan pengganti (Asering, RL, Normal saline)
atau produk nutrisi parenteral.
Hipokalemia banyak dijumpai pada pasien rawat-inap dan bisa dicegah. Pentingnya kalium
terungkap dari laporan tentang prevalensi hipokalemia di eberapa rumah sakit, dimana
pasien-pasien hanya diberikan larutan pengganti selama perawatan. Larutan pengganti
mengandung 4 mEq/L of K+ (Ringer Lactate) or 0 mEq of K+ (normal saline) Hiperkalemia
bisa diinduksi dan atau diperberat jika larutan yang mengandung kalium diberikan kepada
pasien oliguria (vol urine <>
E. PATOFISIOLOGI
Kelainan utama pada DBD ialah (1) bertambahnya permeabilitas vaskuler
yang menyebabkan terjadinya kebocoran plasma dan terjadinya
hipovolemi intravaskuler, (2) gangguan hemostasis (angiopati,
trombositopeni dan koagulopati). Pemulihan volume cairan intravaskuler
secara dini dan adekuat Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID). Secara
teoritis tahapan perubahan pada permeabilitas dinding vaskuler dan
pengaruhnya terhadap perbedaan tekanan onkotik cairan intravaskuler
dan ekstravaskuler secara sederhana terlihat pada gambar Skematis
kebocoran plasma pada DBD.
Pada saat terjadi kebocoran plasma, albumin, air dan elektrolit
keluar dari kompartemen intravaskuler kedalam kompartemen
ektravaskuler (B). Dengan adanya protein dalam kompartemen
ektravaskuler tekanan osmotik cairan ekstravaskuler meningkat dan
perbedaan (gradien) tekanan osmotik infra dan ektra vaskuler menurun
dengan akibat penarikan masuk air dan elektrolit pada sisi kapiler venus
menurun.

Gambar Skematis kebocoran plasma pada DBD


Berkurangnya cairan yang masuk kembali ke kompartemen
intravaskuler menyebabkan terjadinya hipovolemi intravaskuler,
hemokonsentrasi, viskositas darah meningkat, aliran darah menurun,
perfusi jaringan berkurang dan mungkin terjadi renjatan dengan
komplikasi yang berat yaitu KID yang dapat menyebabkan intravaskuler
menyebabkan terkumpulnya cairan di kompartemen ektravaskuler yang
dapat bermanifestasi sebagai cairan pleura, ascites dan cairan pada
dinding organ di perut.
Pada fase penyembuhan permeabilitas dinding vaskuler membaik,
kebocoran plasma berhenti, akan tetapi sebagian albumin/protein masih
ada dikompartemen ekstravaskuler dan perbedaan tekanan infra dan
ekstravaskuler belum kembali normal sehingga masih mungkin terjadi
balans negatif antara cairan yang keluar dan yang masuk kembali
kedalam kompartemen intravaskuler (D). Pada saat semua sisa
protein/albumin ekstravaskuler telah dimetabolisma maka perbedaan
tekanan osmotik infra dan ekstra vaskuler menjadi normal kembali (E)
cairan ekstravaskuler (efusi pleura, ascites dll) diresorpsi kembali dan
menghilang.
F. PENATALAKSANAAN
Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi dan
mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID).
Selama 3 dekade telah dilakukan penilaian ulang dan pembaikan pengelolaan DBD di Bagian
Ilmu kesehatan Anak RS Sumber Waras, dan upaya ini diikuti dengan penurunan angka
kematian, walaupun demikian harus diingat berbagai faktor lain yang mungkin berpengaruh
terhadap mortalitas DBD secara umum.
Larutan Kristaloid
Cairan yang dapat diberikan pada penderita DBD menurut WHO
ialah cairan Dextrose 5% - Saline fisiologik (aa), pada DSS dapat diberikan
larutan Ringer Laktat (RL), dextrose 5% - saline fisiologik, dektrose 5%-0,5
saline (D5-0,5S), dextrose 5%-0,5 RL atau dextrose 5%-1/3 saline. Terapi
standar yang diberikan pada penderita DBD di RS Sumber Waras sejak
tahun 1968 ialah larutan dextrosa 5%-0,5 saline. Pemilihan larutan ini
dalam terapi DBD ialah dengan pertimbangan pada DBD perbedaan
tekanan osmotik infra dan ekstra vaskuler menurun sehingga bila
diberikan larutan isotonik atau hipotonik dapat memperberat terjadinya
cairan ekstravaskuler (efusi pleura).
Dalam keadaan normal pada kapiler arterial terdapat perbedaan antara
tekanan hidrostatik (35 mmHg) yang mendorong air keluar pembuluh
darah dengan tekanan osmotik cairan (25 mmHg) yang menahan air
keluar vaskuler. Di lain pihak pada kapiler venous perbedaan terjadi
karena menurunnya tekanan hidrostatik (15 mmHg) sedangkan tekanan
osmotik tetap (25 mmHg). Dengan demikian jumlah cairan yang keluar
darikapiler arterial sama dengan cairan yang masuk ke kompartemen
intravaskuler di daerah kapiler venous.
Pemberian larutan RL secara bolus (20 ml/kg BB) akan menyebabkan penambahan volume
vaskuler hanya dalam waktu yang singkat karena larutan tersebut akan segera didistribusikan
ke seluruh kompartemen interstisial (ekstravaskuler) dengan perbandingan 1:3, sehingga dari
20 ml bolus tersebut hanya 5 ml yang tetap berada dalam ruang intravaskuler dan 15 ml
masuk ke dalam ruang interstisial. Pada DBD dimana terjadi kebocoran plasma mungkin
lebih banyak larutan RL yang masuk ke ruang interstisial karena menurunnya perbedaan
tekanan osmotik infra dan ekstra vaskuler. Secara teoritis pemberian larutan Dextrose 5%-0,5
saline yang bersifat hipersomatik mungkin dapat mengurangi redistribtisi larutan ke ruang
interstisial dan dengan demikian efek ekspansi vaskuler lebih lama dari RL.
Larutan Koloid
Dalam upaya menurunkan kematian DSS dirasakan perlunya
pemberian larutan yang dapat dengan segera memperbaiki volume
intravaskuler dan aliran darah, tanpa memperberat risiko bertambahnya
efusi pleura.
Untuk mengatasi renjatan selain pemberian cairan kristaloid
dipikirkan juga pemberian cairan koloid yang bertahan lebih lama dalam
sirkulasi dan mudah dimetabolisme bila terjadi ekstravasasi ke dalam
jaringan. Sejak tahun 1988 dalam protokol penatalaksanaan DSS di RS
Sumber Waras dipergunakan larutan koloid 6% hexaethyl starch (HES)
40/0,5. Mengingat kelainan utama pada DBD/ DSS adalah bertambahnya
permeabilitas kapiler yang menyebabkan kebocoran plasma, maka dalam
pemilihan larutan koloid dipertimbangkan sifat sebagai berikut :
1) Oleh karena pada DBD terjadi kebocoran plasma, dipilih larutan koloid
golongan karbohidrat (dextran atau HES), dengan pertimbangan bila
keluar dari ruangan intravaskuler ke kompartemen interstisial dapat
dimetabolisme dengan tuntas menjadi H2O dan CO2.
2) Manfaat ekspansi/pengembangan volume vaskuler.
Berdasarkan pengamatan Himalgyi efek pemberian koloid terhadap
volume vaskuler dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu :
a) Ekspander fase dini (early phase volume expander)
Pada golongan ini efek dini terhadap ekspansi volume koloid yang
diberikan akan tetapi segera setelah infus dihentikan menurun kembali
dan dapat menimbulkan hipovolemi lagi oleh karena sebenarnya jumlah
koloid yang diberikan kurang dari kebutuhan. Termasuk dalam golongan
ini ialah larutan koloid hiperonkotik antara lain 10% dextran 40,6% HES
200/0,5 dan 10% HES 200/0,5.
b) Ekspander fase lambat (late phase volume expander)
Larutan koloid golongan ini pada awalnya tidak bersifat
hiperonkotik. Pada fase awal manfaat ekspansi 80% dari jumlah koloid
yang diberikan, sehinggaa larutan koloid yang diberikan melebihi jumlah
defisit. Pada fase selanjutnya terjadi pemecahan HES molekul besar oleh
amilase darah menjadi HES molekul kecil yang masih bersifat koloid
sehingga efek lambat dari koloid ini ialah larutan bersifat hiperonkotik,
cairan ekstraseluler masuk kedalam lumen intravaskuler, dengan daya
ekspansi sebesar 190% dari jumlah/volume yang diberikan dengan risiko dapat terjadi
oedem paru. Termasuk dalam kelompok ini ialah 6% HES 450/0,7.
c) Volume replacement solution
Larutan koloid 6% dextran 60,5% dextran 40 dan 6% HES 40/0,5 bersifat isoonkotik, efek
terhadap ekspansi volume intravaskuler berjumlah 100% dari jumlah koloid yang diberikan.
1) Metabolisme dan lamanya tissue persistance bila larutan koloid keluar dari pembuluh
darah.
Hal ini penting untuk dipertimbangkan oleh karena pada DBD/DSS terjadi kebocoran plasma
sehingga secara teoritis koloid dengan BM rendah mungkin ikut keluar dari pembuluh darah
(ekstravasasi). Metabolisme dextran dan HES 40 sama yaitu ekskresi terutama melalui urin
dan sebagian hasil melalui traktus gastrointestinalis. Sisanya diambil oleh hati, limpa dan
ginjal dan pada organ ini dipecah secara tuntas menjadi H dan CO. Sebagian kecil koloid
yang diinfuskan mengalami ekstravasasi dan menetap dalam jaringan. Makin banyak koloid
yang mengalami ekstravasasi dan makin lambat metabolismenya makin besar kerusakan
jaringan terutama pada kelenjar limfe, hati dan ginjal. Begitu pula makin besar BM koloid
dan makin banyak ikatan hydroxyetilglycosid, makin banyak sisa koloid di jaringan. Fraksi
residu dari 6% HES 40/0,7 berjumlah 37%, 10% HES 200/0,5 berjumlah 26%, 6% HES
200/0,5 berjumlah 28% dan 6% HES 40/0,5 berjumlah 2%.
2) Hipersensitivitas
Frekuensi reaksi alergik setelah pemberian dextran berkisar antara 0.002%-4,6% pada
pemberian HES berkisar antara 0,08%-2,6%. Cardia Respiratory arrest hanya timbul pada
pemberian deztran terutama dextran 60 dan HES 450, renjatan pada pemberian HES 200
sedangkan reaksi alergi pada pemberian HES 40 bersifat ringan sampai sedang.
3) Efek Rheologik dari larutan koloid yang bermanfaat dalam pencegahan terjadinya
komplikasi lebih lanjut dari DSS.
Efek rheologik meliputi :
1. Penurunan viskositas darah
2. Penurunan viskositas plasma darah
3. Efek dis-agregasi terhadap eritrosit
4. Memperbaiki fleksibilitas eritrosit
5. Efek dis-agregasi terhadap trombosit
6. Sirkulasi mikro dan perfusi jaringan.
Dextran dan HES molekul besar menurunkan viskositas darah tapi
tidak menurunkan viskositas plasma darah. 10% Dextran 40
menyebabkan kenaikan viskositas plasma darah dan mengurangi
fleksibilitas eritrosit. Sedangkan 6% HES 40/0,5 memberikan semua efek
rheologik di atas. Efek dis-agregasi eritrosit disebabkan karena dilusi
dari aggregating protein (fibrinogen dan 2 makroglobulin) serta pada
pemberian koloid muatan listrik positif pada dinding eritrosit bertambah
sehingga sesuai dengan hukum fisika akan memberikan efek saling
menolak/menjauh sehingga tidak mudah terjadi agregasi (rouleux
formation). Keadaan tersebut terjadi pula pada trombosit sehingga
agregasi trombosit dicegah sehingga kemungkinan terjadinya KID
dikurangi. Pada pemberian cairan kristaloid muatan listrik positif
berkurang sehingga terjadi tendensi untuk saling mendekat dan terjadi
agregasi. Daya menurunkan agregasi trombosit HES 40 lebih baik dari
Dextran.
Efek rheologik tersebut menyebabkan aliran darah lebih lancar,
eritrosit lebih fleksibel sehingga mikrosirkulasi dan perfusi jaringan lebih
baik dan dapat mencegah terjadinya asidosis metabolik.
Sifat 6% HES 40/0,5 secara teoritis dapat memperbaiki renjatan
dengan risiko efusi pleura minimal serta efek rheologiknya dapat
mencegah komplikasi lebih lanjut dari DSS termasuk KID dan perdarahan
hebat.
Larutan Albumin
Larutan albumin 5% bersifat isoonkotik sedangkan larutan albumin
25% bersifat hiperonkotik dengan daya ekspansi volume tiap 1 g (4 ml)
dapat menarik air dari ekstravaskuler sebanyak 18 ml. Pemberian albumin
25% secara bolus mungkin menaikkan tekanan onkotik plasma sehingga
air dan elektrolit masuk ke pompartemen intravaskuler dengan demikian
memperbaiki volume intravaskuler. Sifat dan manfaat larutan albumin
sama dengan plasma darah

BAB IV

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa pengaruh berbagai faktor tersebut pada
respons penderita terhadap obat pada umumnya menyebabkan regimen dosis obat perlu
disesuaikan. Besarnya penyesuaian dosis biasanya tidak dapat diperhitungkan, jadi hanya
dikira-kira saja berdasarkan educated guess, kecuali dalam hal penyesuaian terhadap berat
badan dan penyesuaian akibat gangguan organ yang lain. Penyesuaian dosis hasil
perhitungan tidak menjamin dosis yang tepat, karena disamping adanya asumsi-asumsi dalam
melakukan perhitungan farmakokinetik sehingga kadar yang dicapai belum tentu dalam
batas-batas kadar terapi, masih ada faktor-faktor farmakodinamik yang tidak diperhitungkan,
yang dapat memberikan respons yang menyimpang meskipun kadar yang dicapai sudah
benar. Tetapi penyesuaian dosis hasil perhitungan tentunya lebih mendekati dosis yang tepat
dibandingkan dengan dosis hasil perkiraan saja.
Dengan demikian pengamatan dan pemantauan klinis yang ketat dan berkesinambungan
merupakan tindakan yang mutlak harus dikerjakan dalam pengelolaan DBD dan penyakit
yang lain. Ringer Asetat dan Ringer Laktat sangat efektif sebagai terapi resusitasi pasien
dengan dehidrasi berat dan syok, terlebih kondisi asidosis.
B. SARAN
- Sebaiknya cara pemberian cairan infus disesuaikan dengan kondisi pasien
- Memberikan terapi suportif yang baik akan memacu penyembuhan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Daniel, 2008, Kolom (Paradigma Baru dalam Terapi Cairan Maintenance), Vol. 7, Jakarta.
Daniel, 2006, Gerai (Ringer Asetat “Asering(R)” Mencegah Hipotermia Perioperatif Sectio),
Vol. 5, Jakarta.
.......... , 2000, Ringer Laktat (Lactate Ringer Injection USP), PT. Widatra Bhakti, Pandaan,
Jawa Timur.
Staf Farmakologi FKUI, 2000, Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Tatang Kustiman Samsi, 2000, Cermin Dunia Kedokteran (Artikel : Penatalaksanaan
Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras), Fakultas Kedokteran Universitas
Tarumanegara, Jakarta.

Diposkan oleh KIMIA UNS di 20.45   


Label: 1, suma'iyah, terapan 1

Anda mungkin juga menyukai